ANALISA DAKWAAN DAN ALAT-ALAT BUKTI KHUSUS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI ERA REFORMASI
M. Khalid Ali Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang Abstrak Pemberantasan Korupsi memang harus dilaksanakan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary measures). Maka Undang-undang pemberantasan korupsi di Indonesia sempat mengalami beberapa kali perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberantas korupsi harus dilaksanakan dengan cara represif yang bermuara dengan diadilinya para terdakwa pelaku korupsi di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian dakwaan yang tepat dan alat-alat bukti yang jelas serta lengkap sangatlah berperan penting dalam pemberantasan korupsi di era reformasi ini dapat berjalan sesuai dengan keinginan masyarakat dan negara. Kata Kunci : Pemberantasan Korupsi, Dakwaan, Alat-Alat Bukti Khusus.
Pendahuluan Praktek korupsi di Indonesia sudah terjadi secara sistematis dan meluas yang tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara sebesar 760 trilyun, 240 trilyunnya adalah untuk pengadaan barang dan jasa. Menurut survey Bappenas 40% dari 240 trilyun anggaran untuk pengadaan barang dan jasa itu hilang di korupsi. Taruhlah, angka itu tidak akurat, bukan 40% tetapi 30%, maka sudah dapat dibayangkan sekitar 80 trilyun uang Negara tidak bisa diselamatkan. Suatu jumlah yang cukup signifikan untuk misalnya, meningkatkan gaji pegawai negeri/aparat penegak hukum. Itu baru dari pengadaan barang dan jasa. Karenanya diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak bahwa korupsi itu memang perlu diberantas. Pemeberantasan korupsi memang perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary measures). Selain dengan pembentukan badan yang diberi kewenangan istimewa dan luar biasa untuk memberantas korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga dengan pembuktian Undang-Undang yang
memperluas perbuatan yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi dengan sanksi yang lebih berat, serta diberlakukan dengan hukum acara yang lebih mudah untuk membuktikan perkara pidana korupsi. Meskipun demikian, secara umum dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tetap dilaksanakan menurut hukum acara yang berlaku yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Undang-undang korupsi di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu mulai Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2001 tidak dapat berdiri sendiri karena sifatnya hanya merubah dan menambah beberapa pasal tertentu dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penulisan yang lebih tepat adalah Undang-
39 Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001, yang di tulisan ini akan disebut dengan UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara represif bermuara pada diadilinya terdakwa pelaku korupsi di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dipidana atau diadilinya terdakwa pelaku tindak pidana korupsi sangat bergantung pada dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan alat-alat bukti di dalam persidangan tindak pidana korupsi. Desakan dari pelbagai pihak agar terdakwa pelaku tindak pidana korupsi dapat dihukum oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tentunya sudah didengar oleh para Hakim Tindak Pidana Korupsi. Namun demikian, hakim sebagai pengemban kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri akan menjatuhkan putusan yang didasarkan pada hukum dan keadilan. Apapun yang diputuskan hakim sepanjang didasari fakta dan pertimbangan hukum tanpa suatu pamrih, tentu akan menjadi putusan yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Era Reformasi Memberantas (dan mestinya juga mencegah) tindak pidana Korupsi, merupakan salah satu tema sentral reformasi, disamping menegakkan Demokrasi, Negara berdasarkan atas Hukum, HAM, dan lain-lain. Pokoknya, memberantas dan mencegah terjadi semua keadaan yang bertentangan dengan asas negara berkonstitusi dan cita-cita kemerdekaan. Tindak pidana korupsi bukan saja merugikan keuangan negara, tetapi sekaligus sendi-sendi moral, dan hukum yang menjadi dasar tumbuhnya budaya dan peradaban yang baik dan sehat. Sayangnya setelah lebih lima tahun dalam suasana reformasi belum ada tandatanda signifikan telah terjadi penindakan atau Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tepat dan tidak tebang pilih. Bahkan ada berbagai pihak yang menyampaikan persepsi, Korupsi di masa reformasi, bukan
saja tetap ada, melainkan mununjukkan suatu eskalasi baik lingkungan, lingkup, maupun jumlahnya atau dengan kata lain malah meluas seperti wabah penyakit. Kalau lontaran persepsi itu benar, sungguh ironis dan sangat menyedihkan. Harapan membentuk suatu pemerintahan yang baik (good governance) terutama dalam arti pemerintahan yang bersih (clean government) akan kembali sirna seperti di masa-masa yang telah lalu. Salah satu kambing hitam (scapegoat) yang didengung-dengung sebagai biang kesulitan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena para reformis tidak berhasil membuat garis pemisah yang tegas dengan para komponen lama baik politik, ekonomi, pemerintahan, dan lain sebagainya. Siapakah yang mesti disalahkan? Siapakah yang tidak dapat melaksanakan secara sungguh-sungguh dalam membuat garis pemisah tersebut? Mestinya bukan rakyat biasa, atau para pekerja pemerintahan (birokrasi). Yang bertanggungjawab adalah pelaku-pelaku yang diberi tanggung jawab dan kepercayaan untuk menjalankan roda baru negara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisisen, efektif, dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Tentu saja, kesadaran moral pelaku pemerintahan, untuk memperbaiki diri, dan menghentikan tingkah laku yang tidak terpuji seperti korupsi dan lain sebagainya, sangat-sangatlah penting. Menghadapi berbagai ”kelumpuhan tekad” di atas, tidaklah lagi cukup menyerahkan berbagai perbaikan atau pembaruan itu kepada saluran-saluran struktur pemerintahan (governmental structure) yang ada. Diperlukan peran publik yang lebih besar seperti pers, lembaga sosial dan lain-lain. Tetapi inipun belum menjamin upaya menjalin menuju jalan yang benar (the right track). Subjektivitas berbagai kekuatan sosial kadang-kadang begitu menonjol dan sangat berorientasi pada kepentingan-kepentingan kekuasaan belaka. Keinginan untuk berbagi, mendapat atau menyokong kekuasaan masih begitu kuat. Masih sangat nampak berbagai kekuatan sosial yang menunjukkan sifat
40 sebaga pengikut politik (political partisan) bahkan pengikut kekuasaan (power partisan) daripada sebagai pengikut sosial (social partisan). Pemberdayaan masyarakat yang terjadi selama reformasi, menjadi berlawanan (kontra produktif) dalam upaya membangun tatanan dan budaya demokrasi dan negara berdasarkan hukum yang sehat yang memberi sebesar-besarnya manfaat kepada rakyat banyak, karena pemberdayaan itu lebih baik banyak ditujukan pada aspek kekuasaan, menguasai sebagai pangreh daripada sebagai pamong. Telah berbilang tahun berbagai keluhan terhadap penyelenggaraan peradilan negara kita. Campur tangan pemerintah, putusan yang dirasa kurang adil, pelaksanaan putusan yang ditunda, pemerasan terhadap pencari keadilan, putusan ditentukan oleh kesanggupan menyuap, keberpihakan kepada yang berkuasa dan pemilik uang, tunggakan penyelesaian perkara, dan lain-lain, merupakan keluhan dan menjadi konsumsi berita yang setiap hari kita baca, bahkan mungkin pernah dialami sendiri. Terlepas dari kebenaran atas keluhan-keluhan di atas, agak kurang benar (fair) dan kurang lengkap kalau berbagai keluhan di atas hanya dipusatkan pada badan peradilan. Ada bagian dari proses peradilan yang tidak semata-mata menjadi kompetensi badan peradilan. Dalam peradilan pidana, proses peradilan merupakan rangkaian dari proses penyelidikan sampai pelaksanaan putusan hakim. Kesulitan yang dihadapi para pencari keadilan (yang benar-benar mendambakan keadilan) telah dialami sejak hari pertama berhubungan dengan para penegak hukum. Acapkali kita mendengar rakyat kecil pencari keadilan menyatakan: “suatu perkara kehilangan seekor kambing akhirnya malahan kehilangan dua atau tiga kambing”. Pencuri ayam karena kemiskinan dihukum antara tiga-enam bulan bahkan mungkin satu tahun. Sebaliknya mereka yang merugikan Negara bertrilyun-trilyun rupiah, jangankan ada proses peradilan, malahan dengan terbuka dan sengaja diberikan semacam kekebalan (imunitas)
dari proses peradilan, dengan alasan “jasa” terhadap Negara. Sehingga banyak koruptor yang sesungguhnya lepas dari jeratan hukum dengan mengorbankan anak buahnya karena tidak tahu apa-apa. Mungkin dalam proses keperdataan sepintas tidak ada keterkaitan tetapi kalau diamati lebih jauh peranan pihak Jaksa Penuntut Umum selaku Pengacara Negara cukup dominan untuk mencapai tujuan peradilan tindak pidana korupsi dalam hal pengembalian uang negara. . Dalam proses penegakan hukum, pemeriksaan di muka pengadilan merupakan instansi terakhir munuju pelaksanaan hukum dan keadilan. Apakah suatu persoalan hukum akan sampai ke muka pengadilan tergantung kepada pencari keadilan dan para penegak hukum yang mendahului pemeriksaan dihadapan pengadilan. Harus diakui pemeriksaan di pengadilan merupakan kunci terpenting. Pengadilan atau Majelis Hakim yang menentukan apakah pencari keadilan akan mendapat perlakuan hukum yang benar dan adil. Tetapi putusan majelis hakim tetaplah sebagai rangkaian paling akhir (sebelum eksekusi) dari proses peradilan secara keseluruhan. Titik rawan dalam pemeriksaan pengadilan, bukan hanya berkenan dengan suap atau tekanan-tekanan lain yang menyebabkan majelis hakim tidak lagi netral. Selain itu, keluaran (output) pengadilan, ditentukan juga oleh rangkaian pemeriksaan terdahulu, yang meliputi penyelidikan, penyidikan, dan dakwaan, atau gugatan yang diajukan. Dapat terjadi, terdakwa dibebaskan atau dilepas, atau gugatan ditolak atau dikalahkan karena rangkaian proses pendahuluan tidak sempurna (atau sengaja dibuat tidak sempurna), sehingga majelis hakim secara hukum akan membebaskan atau melepaskan terdakwa, arau menolak gugatan. Ada tuntutan agar majelis hakim tidak hanya memperhatikan keadilan formal (formal justice) melainkan juga harus memperhatikan keadilan substantif (substantive justice). Tuntutan ini tidak sepenuhnya salah, dan memang seharusnya demikian. Tetapi tetap ada batas-batasnya. Majelis Hakim tidak dapat misalnya
41 mencari-cari bukti atau menyimpangi prosedur substantif (substantive procedure) atau sekedar untuk menghukum seorang atau beberapa terdakwa. Tetapi juga, majelis hakim juga tidak boleh menjadi sebegitu formalnya, yang dapat dianggap sebagai suatu cara tersembunyi untuk melepaskan atau membebaskan terdakwa, atau menghindari suatu proses-proses yang adil dan benar menurut hukum (obstruction of justice). Dakwaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi Hampir dapat dipastikan setiap perkara pidana korupsi, siapapun terdakwanya dan berapapun nilai kerugiannya, oleh Jaksa Penuntut Umum akan dikenakan dakwaan melanggar Pasal 2 (1) UU Pemberantasan Korupsi sebagai dakwaan Primer dan kemudian Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi sebagai dakwaan subsidernya. Penyusunan dakwaan dalam bentuk Subsidiaritas seperti itu memang dapat dipahami karena inti perbuatan terdakwa pada pokoknya sama. Pasal 2 (1) berbunyi: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 3 berbunyi : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewanangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ada beberapa catatan di dalam penerapan dakwaan pasal 2 dan pasal 3 dari UU Pemberantasan Korupsi : 1. Bagian inti delik (delictsbestanddelen), yang selama ini diartikan sebagai unsurunsur delik, dari kedua pasal tersebut ada perbedaannya. Bagian inti delik dalam pasal 2 UU Pemberantasan Korupsi adalah : melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Perbuatan melawan hukum dalam di dalam rumusan pasal ini dijadikan bagian inti delik, atau disebut sifat melawan hukum khusus, oleh karena itu jika unsur melawan hukum ini tidak terbukti, maka putusan majelis hakim adalah putusan bebas (Vrijspak). Hal ini berbeda dengan rumusan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi, dimana perbuatan melawan hukum tidak dijadikan bagian inti delik (disebut sifat melawan hukum yang umum/diamdiam), karena itu meskipun rumusan delik telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa, namun jika ditemukan alasanalasan pembenar atau pemaaf atas perbuatan terdakwa tersebut, maka putusan majelis hakim adalah putusan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Sebagaimana diketahui, dasar/alasan pembenar atau pemaaf merupakan dasar peniadaan pidana (straff uitsluitings gronden) yang wajib dipertimbangkan majelis hakim dalam putusannya. Dasar peniadaan pidana ini sendiri dari dasar peniadaan pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan yang diatur di luar undangundang. Yang diatur di dalam undang-
42 undang, disebut juga sebagai alasan pembenar tercantum di dalam Pasal 4951 KUHP, sedangkan alasan pemaaf diatur di dalam Pasal 44 KUHP (orang gila), atau pasal 48 KUHP (daya paksa/noodstand). Yang diatur di luar undang-undang (Yurisprudensi), disebut juga sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang negatif (fungsi meniadakan pidana) didasarkan pada asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis yang bersifat umum, misalnya negara tidak dirugikan, kepentingan umum terlayani, dan terdakwa tidak mendapat untung (MA No. 42 K/Kr/1965 tgl 8 Januari 1965 dan MA No. 81 K/Kr/1973 tgl 30 Maret 1977). Mahkamah Agung sejak Putusan No. 275 K/Pid/1982 tgl 15 Desember 1983, dalam perkara korupsi Bank Bumi Daya, menganut dan menerapkan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif (fungsi untuk memidana). Sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif didasarkan pada asas kepatutan dalam masyarakat, yaitu apabila ada seorang pegawai negeri yang menerima fasilitas secara berlebihan serta keuntungan lainnya dengan maksud agar ia dapat menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya, merupakan perbuatan melawan hukum karena menurut kepatutan merupakan perbuatan tercela atau perbuatan yang menusuk rasa keadilan masyarakat banyak. Bagaimana nasib ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi yang positif pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 003/PUU-IV/2006 tgl 25 Juli 2006 lalu? Penjelasan Pasal 2 (1) UU Pemberantasan Korupsi mengenai sifat melawan hukum materiil (dalam fungsi yang positif) oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan demikian yang masih berlaku hanyalah melawan hukum dalam arti yang formil. Putusan ini tentu saja menimbulkan perdebatan dari berbagai kalangan.
Dalam Diskusi Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada tanggal 24 Agustus 2006, Eddy OS Harriej, dari FH UGM, mengemukakan bahwa Mahkamah Konstitusi berpegang pada asas legalitas yang lahir dari aliran klasik dalam hukum pidana yang tujuannya hanya untuk melindungi kepentingan individu. Padahal, dalam hukum pidana, kejahatan yang berakibat terhadap keamanan dan kesejahteraan masyarakat merupakan wujud nyata aliran modern hukum pidana yakni untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas luas. Karenanya, asas legalitas tidak dapat berlaku mutlak. Undang-Undang Pemberantasan Korupsi merumuskan sifat melawan hukum dalam arti formil dan materiil dengan dasar pemikiran Pertama, kejahatan korupsi adalah kejahatan yang sangat terkait dengan nasib banyak orang dimana uang negara yang dicuri bisa bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedua, kepentingan hukum yang akan dilindungi oleh pembentuk UndangUndang adalah keuangan dan perekonomian negara. Ketiga, kejahatan korupsi hampir semua dilakukan secara terorganisasi dengan modus operandi yang canggih sehingga sering dapat lolos dari rumusan melawan hukum formal. Karena itu, dalam membasmi korupsi, hakim tidak boleh hanya berkutat pada sifat melawan hukum formal tetapi juga sifat melawan hukum material. Prof. Komariah menambahkan, dicantumkan atau tidaknya unsur melawan hukum secara materiil dalam Undang-Undang sebenarnya tidak banyak pengaruhnya . Karena pada hakikatnya sifat melawan hukum secara materiil itu sudah melekat pada (sifat melawan hukum formil) sebagai perbuatan yang tidak patut dan tidak terpuji.1 1
Prof. Komariah Emong Sapardjaja, diskusi eksaminasi Putusan MK, Fak. Hukum UGM, 24 Agustus 2006, www.hukum.ugm.ac.id
43 Melawan hukum formil adalah melawan hukum dalam arti melawan hukum yang tertulis, yang berarti melanggar undangundang maupun peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku (PP, Keppres, Peraturan Menteri, Perda dsb) Bagaimana sikap Mahkamah Agung? Dari dua putusan yang dijatuhkan pasca putusan Mahkamh Konstitusi, diantaranya Putusan tanggal 21 Februari 2007 dalam perkara Achmad Rojadi jelas terlihat bahwa dalam perkara korupsi Mahkamah Agung tetap menganut ajaran sifat melawan hukum formil dan materiil dalam fungsi positif dengan dasar dari doktrin dan yurisprudensi, yang pertimbangannya termuat dalam Yurisprudensi tgl 15 Desember 1983 No. 275 K/Pid/1982 tersebut diatas. 2. Catatan Kedua, Untuk dakwaan yang disusun secara subsidiaritas, pada asasnya dakwaan primair harus dibuktikan lebih dahulu, jika terbukti, maka dakwaan subsidair tidak dipertimbangkan lagi. Jika dakwaan primair tidak terbukti, baru dakwaan subsidairnya baru dibuktikan. Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi ini dikenal sebagai pasal karet (bahkan ada yang menyebutnya pasal keranjang sampah)2, maksudnya semua perbuatan korupsi bisa masuk ke pasal 2 sebab disitu ada rumusan melawan hukum. Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi pun (dakwaan subsidair) juga akan cocok dan masuk ke dalam pasal 2 sebab unsur penyalahgunaan jabatan ataupun wewenang sesungguhnya juga perbuatan melawan hukum. Dengan meletakkan pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi sebagai dakwaan primair untuk perkara-perkara korupsi, dengan sendirinya akan menutup kesempatan pembuktian Pasal 3 sebagai dakwaan subsidair karena penyalahgunaan wewenang/jabatan dalam pasal 3 itu juga akan memenuhi unsur melawan hukum Pasal 2 dalam dakwaan primair. 2
www.hukumonline.com
Hal ini tentu bisa dirasakan tidak adil jika misalnya, seorang bendaharawan atau pimpro yang menyalahgunakan kewenangan atau jabatannya demi kepentingan atasannya atau orang lain harus terbukti melanggar pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang ancaman penjaranya sangat berat, minimum 4 tahun disertai denda minimum 200 juta rupiah. Padahal dia sebagai orang yang memiliki jabatan atau kewenangan lebih tepat dikenakan pasal 3 (subsidair). Pertimbangan majelis hakim untuk meloloskan terdakwa dari dakwaan pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi biasanya adalah dengan alasan terdakwa tidak dapat dikategorikan memperkaya diri sendiri (Pasal 2) melainkan hanya menguntungkan orang lain atau korporasi (Pasal 3) karena nilai yang di korupsi kecil. Penulis berpendapat nilai besar atau kecil ini sangat subyektif dan sulit untuk dijadikan ukuran nilai korupsinya. Terhadap pelanggaran pasal 5 (2) Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, juga tidak jarang dimasukkan sebagai dakwaan lebih subsidair. Hal ini juga tidak adil dan tidak tepat sebab yang bersangkutan akan sulit meloloskan diri dari dakwaan primair melanggar pasal 2. Apakah dakwaan subsidiaritas seperti ini harus dibatalkan hakim dan terdakwanya kemudian dibebaskan dari tahanan? Tentunya hakim akan berpikir seribu kali untuk melakukan hal itu. Ada salah satu Bapak Hakim Agung yang berpendapat bahwa jika faktafaktanya demikian, dakwaan subsidiaritas tidak perlu dibatalkan akan tetapi harus dibaca/ditafsirkan sebagai dakwaan alternatif, jadi jaksa penuntut umum atau majelis hakim akan langsung memilih dakwaan mana yang lebih cocok dengan fakta-faktanya.
44 Pendapat ini sangat logis sebab jika faktanya memang lebih cocok kepada dakwaan subsidair/lebih subsidair, kenapa tidak langsung dikenakan dakwaan yang bersangkutan daripada membuat pertimbangan yang mengadaada untuk membebaskan terdakwa dari dakwaan primairnya. Asas spesialitas/kekhususan dari suatu ketentuan pidana tetap harus diterapkan dalam perkara korupsi. Ada satu contoh kasus lagi, misalnya kasus penggelapan pajak yang nilainya milyaran rupiah. Dalam kasus ini jelas negara dirugikan dan perbuatan penggelapan pajak tersebut, hal ini jelas perbuatan memperkaya diri sendiri secara melawan hukum. Karena semangatnya para penegak hukum yang memberantas korupsi, pelakunya dituntut melanggar pasal 2 UU Pemberantasan Korupsi sebagai dakwaan primair, pasal 3 sebagai dakwaan subsidair dan Undang-Undang Perpajakan sebagai dakwaan lebih subsidair. Nah, mau diapakan terdakwa ini?, maksudnya bagaimana sikap hakim menangani perkara ini? Asas spesialitas tetap harus digunakan. Bilamana undang-undang yang khusus yang dimaksud tidak menyebut secara tegas pelanggaran undang-undang itu sebagai tindak pidana korupsi, maka tetap berlaku undang-undang yang khusus tersebut. Jika ada kasus yang demikian hendaknya semua pihak lebih cermat dan hati-hati. Janganlah setiap kasus yang merugikan negara dibawa ke kasus korupsi. Kalau memang hendak didakwa tindak pidana korupsi, maka hendaknya dakwaan tidak disusun secara subsidiaritas tapi lebih kepada secara alternatif. Alat-alat Bukti dalam Perkara Korupsi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menunjuk Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum acara yang berlaku, oleh karena itu proses penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di sidang pengadilan, termasuk hukum pembuktian dan putusannya harus
didasarkan pada KUHAP, kecuali secara khusus ditentukan oleh aturan yang lain. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut sistem pembuktian negatif (negative wettlijk bewijlast) yaitu untuk dapat menghukum terdakwa tindak pidana korupsi harus dipenuhi setidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan bahwa tindak pidana korupsi telah terjadi dan terdakwa bersalah karena melakukannya (Pasal 183 KUHAP jo. Pasal 6 UU No. 4/2004). Sedangkan alat-alat bukti sah yang dapat dipergunakan untuk pembuktian ada 5 jenis yaitu 1) Keterangan Saksi, 2) Keterangan Ahli, 3) Surat, 4) Petunjuk, dan 5) Keterangan Terdakwa. (Pasal 184 ayat 1 KUHAP). Khusus untuk perkara korupsi Undang-Undang Pemberantasan Korupsi memperkenalkan penggunaan bukti-bukti baru yang diperoleh dan sarana elektronik dan teknologi informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 26A dan penjelasannya yaitu berupa: Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapt dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna Singkatnya, bukti-bukti berupa sarana elektronik seperti cd-rom atau flashdisk, e-mail, faksimile, bukti pembicaraan telepon atau transkripnya, transaksi perbankan atau print out-nya dapat dipergunakan sebagai bukti tindak pidana korupsi. Meskipun bukti-bukti tersebut bisa berbentuk dokumen, Undang-undang tidak menggolongkannya sebagai alat bukti surat atau alat bukti yang berdiri sendiri,
45 melainkan masih berupa barang bukti yang dapat ditarik sebagai alat bukti Petunjuk. Penerapannya sama dengan UU Terorisme. Kesimpulan Dalam Proses Pemberantasan Korupsi harus tetap memperhatikan prosedur penegakan hukum untuk mendapatkan keadilan yang substantif dan didambakan baik oleh pencari keadilan maupun masyarakat dan negara. Ada berbagai pihak yang menyampaikan dugaan, Korupsi di masa reformasi, bukan saja tetap ada, melainkan mununjukkan suatu eskalasi baik lingkungan, lingkup, maupun jumlahnya, bahkan semakin meluas seperti wabah penyakit. Hal ini yang harus kita perangi bersama anggapan tersebut dengan cara yang sesuai dengan yang telah diatur oleh pembuat Undang-Undang. Hampir dapat dipastikan setiap perkara korupsi, siapapun terdakwanya dan berapapun nilai kerugiannya, oleh Jaksa Penuntut Umum akan dikenakan dakwaan melanggar Pasal 2 (1) UU Pemberantasa Korupsi sebagai dakwaan Primer dan kemudian Pasal 3 sebagai dakwaan subsidernya. Hal ini sangat tidak efektif, lebih baik Jaksa Penuntut Umum langsung menunjuk Pasal yang lebih tepat agar tidak ada alasan yang mengada-ada untuk mengesampingkan Pasal yang tidak dapat diterapkan dalam dakwaannya. Singkatnya, bukti-bukti berupa disket/cd-rom, e-mail, faksimile, bukti pembicaraan telepon atau transkripnya, transaksi perbankan atau print out-nya dapat dipergunakan sebagai bukti tindak pidana korupsi, namun tidak dapat dianggap sebagai alat bukti baru, hal ini mungkin bisa menjadi pertimbangan perubahan UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lebih baik di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA Atmasasmita, Peradilan Binacipta.
Romli.1996. Sistem Pidana. Bandung:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Muladi. 1996. Kapita Selekta Hukum Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Pacher, Herbert L. 1968. The Limits Of The Criminal Sanction. California: Stanfort University Press. Subekti dan Tjitrosoedibio, R. 1982. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita. Tania, Ira, Teori Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007. Utrecht, E. Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta 1966. Peraturan Perundang-undangan : UU RI No. 31 Tahun 1999 jo UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Referensi lain : www.hukumonline.com. Media Massa Kompas