Anak dalam Realitas Hidup Kekinian dan Urgensi Pengembangan Teologi Anak Abd A‘la IAIN Sunan Ampel Surabaya, International Center for Islam and Pluralism (ICIP) Jakarta
Abstract: Modern living mechanism seems to hide a paradigm that children are things that bring difficulty therefore, in reality children’s life is ignored and pictured a trouble face Thus, there should be an attention and deep thought toward the future of children’s beginning from understanding children life where should be formulated its basic theology so that each step of human life would be in their substance in according with the intention of creating them as explained in the Qur’an. Without returning to their substance where then formulated in theology and jurisprudence, human life will always be confronted to prolong crisis. Keywords: Anak, Teologi, Pengembangan
I. Pendahuluan Dewasa ini dunia kehidupan anak-anak, terutama di Indonesia, menampakkan wajah yang cukup buram, tanpa pesona, bahkan cukup mengerikan. Di sana sini penuh dengan borok yang membuat mereka sedikit demi sedikit terkelupas dari masa depan mereka yang menjanjikan. Bahkan ada fenomena kental, mereka nantinya bisa-bisa tercerabut dari kehidupan itu sendiri. Pada satu sisi, kekurangan gizi mewabah menjangkiti anak di berbagai daerah, dan pada sisi yang lain kekerasan langsung terhadap anak dalam Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
27
Abdul A’la
beragam bentuknya menjadi fenomena yang terus menguat dari saat ke saat. Ironisnya, dalam kondisi yang cukup memprihatinkan itu, kita—para elit negeri ini, entah pejabat, tokoh agama, dan masyarakat secara keseluruhan—belum memiliki sikap yang tegas, strategi holistik, dan advokasi transformatif dalam menangani persoalan anak yang sejatinya merupakan permata kehidupan saat ini, dan sebagai penerus kehidupan di masa depan. Alih-alih, kita terjebak pada pola penanganan yang bersifat ad hoc, instan, dan terkesan kuat lebih bersifat karitas yang kurang memiliki jangkauan menyeluruh dan orientasi berspektrum jauh ke depan. Persoalan kian menjadi parah dan bertambah ruwet dengan adanya sementara tokoh yang justru cenderung menutup-nutupi realitas buram yang menimpa anak dan dunia mereka. Jika hal itu dibiarkan terus berkelanjutan, maka tidak berlebihan manakala bangsa ini akan mengalami kehilangan satu generasi. Hal ini tentu bukan hanya karena persoalan kekurangan gizi semata sehingga dua puluh tahun ke depan hasil dari kondisi balita dan anak-anak adalah generasi dengan tingkat kecerdasan, produktivitas dan kreativitas yang rendah.1 Namun juga akibat dari kekerasan langsung terhadap anak yang dipastikan akan membuat perkembangan psikologis mereka serta hal-hal yang berkaitan dengan itu tidak atau sulit berkembang normal. Pada sisi ini penyikapan yang kritis terhadap masalah anakanak kita sangat urgen untuk dilakukan. Tulisan ini mencoba untuk memotret kehidupan anak dengan segala nuansa yang melatarbelakanginya. Berdasarkan penggambaran itu, kita mencoba mendiskusikannya melalui perspektif teologis yang bagi kebanyakan masyarakat Indonesia agama pada hakikatnya merupakan aspek intrinsik dalam kehidupan, tapi sering ditinggalkan dalam hidup keseharian Lihat IDEA, Nestapa Pembangunan Sosial: Studi Dampak Beban Utang terhadap Pembangunan Pendidikan dan Kesehatan, Cetakan I, (Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia, 2001), hlm. 204. Ungkapan tersebut dikutip dari Bisnis Indonesia, 10 Oktober 1999 dari pernyataan Haryono Suyono. 1
28
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Anak dalam Realitas Hidup Kekinian dan Urgensi Pengembangan Teologi Anak
mereka.
II. Wajah Buram Dunia Anak dan Akar Masalahnya Sebagaimana disinggung sebelum ini, salah satu persoalan anak Indonesia dewasa ini menampakkan diri dalam bentuk merebaknya anak yang kekurangan gizi. Berdasarkan data Susenas 2003 yang kemudian diolah Departemen Kesehatan, 28 persen dari sekitar 18 juta anak usia di bawah lima tahun berstatus kurang gizi. Menurut catatan Kompas, sejak krisis melanda Indonesia hingga saat ini, jumlah anak balita yang menderita gizi buruk relatif tidak berkurang. Dua hingga empat dari 10 anak balita di 72 persen kabupaten di negeri ini diperkirakan mengalami kondisi gizi yang kurang.2 Kenyataan ini tentu akan berpengaruh besar terhadap kualitas bangsa Indonesia di masa depan. Generasi mendatang adalah generasi yang tidak memiliki kecerdasan memadai dalam berbagai dimensinya; generasi yang kemungkinan tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam merespon persoalan yang mereka hadapi. Penelusuran secara arif dan akurat atas kondisi tersebut akan mengantarkan kepada semacam kesimpulan bahwa terjadinya gizi buruk pada anak-anak balita Indonesia sejatinya bukan karena sekadar persoalan kesehatan dan kemiskinan yang mendera masyarakat kita. Hal ini menyeruak ke permukaan dan mengisi relung-relung ruang publik masyarakat karena ada trend kuat yang mengarah kepada terjadinya pemiskinan struktural; bukan sekadar kemiskinan alamiah. Kebijakan Negara secara umum, dan kebijakan ekonomi Pemerintah secara khusus—sampai batas tertentu—telah terperangkap dalam bingkai globalisasi yang polanya sangat kapitalistis, yang hanya menguntungkan segelintir masyarakat di negara Barat yang maju, dan banyak menistakan masyarakat di negara berkembang. Pemiskinan yang sedang berlangsung itu kian berdampak jauh pada kualitas anak-anak kita ketika penanganan kesehatan juga menampakkan kesemrawutan, serta sebagai upaya mendulang emas 2
Kompas, Sabtu 04 Juni 2005.
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
29
Abdul A’la
dalam air keruh. Sebagai misal, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang sejak era otonomi daerah menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah justru nyaris lumpuh atau (minimal, pen) tidak dapat berfungsi optimal. Selain hal itu karena ketiadaan dana operasional, juga karena sekadar difungsikan sebagai balai pengobatan bagi pasien dan masyarakat ekonomi lemah, bahkan juga sebagai alat yang ditargetkan untuk mengisi kantong pendapatan daerah.3 Melihat fenomena yang sedang berkembang ini kita mungkin tidak berlebihan jika mengatakan gizi buruk yang menimpa anakanak Indonesia lebih merupakan—meminjam konsep Galtung— sebagai kekerasan struktural. Dalam kekerasan model ini, topdogs (masyarakat penghuni papan atas yang berjumlah kecil) mendapatkan lebih banyak dari underdogs (masyarakat kelas bawah) sebagai representasi dari pertukaran kehidupan (terutama ekonomi, pen) yang timpang. Dengan demikian, masyarakat kelas bawah sedemikian dirugikan sehingga mereka bisa mati kelaparan atau punah karena penyakit; atau mereka dibiarkan dalam penderitaan permanen, seperti kekurangan pangan (bagi yang dewasa, dan gizi buruk bagi anak-anak, pen), dan juga menyebarnya penyakit. Semua itu—menurut Galtung—terjadi dalam struktur rumit yang kait mengait satu dengan yang lain, dan berada di ujung rantai, serta hubungan kausalitas yang mengalami ramifikasi dan sangat panjang.4 Kekerasan struktural dalam bentuk lain juga tampak menguat yang kian meminggirkan anak-anak Indonesia dari kehidupan masa depan yang cerah. Pendidikan yang sebermula sekali ditujukan untuk memanusiakan manusia dalam realitasnya justru memetamorfosis menjadi alat kekerasan terhadap anak. Haryanto, misalnya, siswa kelas IV SDN Sanding, Garut, Jawa Barat pada Hari Anak Nasional 2004 lalu melakukan bunuh diri karena malu tidak mampu membayar uang sekolah. Demikian pula yang dilakukan Mashudi siswa warga Ibid. Johan Galtung, “Kekerasan Kultural” dalam Jurnal Wacana, (Edisi 9. Tahun III 2002), hlm. 16. 3 4
30
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Anak dalam Realitas Hidup Kekinian dan Urgensi Pengembangan Teologi Anak
Desa Sendang, Sikucing, Rowosari, Kendal, Jawa Tengah karena tidak lulus ujian akhir nasional (UAN), dan Nurul, siswa sekolah menengah kejuruan di Pasir Gombong Cikarang, Bekasi karena malu tidak naik kelas.5 Secuil contoh ini menunjukkan betapa dunia pendidikan telah berkembang menjadi media dan institusi kekerasan dalam bentuk senyata-nyatanya. Masalah kekerasan terhadap anak menjadi begitu dilematis karena kekerasaan struktural tersebut bergandeng erat dengan kekerasan fisik. Di berbagai daerah, anak-anak mengalami siksaan fisik, mengalami pelecehan seksual, dan bahkan dibunuh oleh orangorang terdekat korban, dan justru sering terjadi di rumah sendiri. Kompas menyebutkan, kekerasan fisik ini pada umumnya muncul dalam situasi yang penuh tekanan yang dialami oleh para pelaku dan tentu saja juga dirasakan korban. Situasi ini diperparah oleh faktor lain, seperti kemiskinan (baca: pemiskinan), minimnya perhatian orang tua terhadap anak, dan terkikisnya kekerabatan.6 Semua paparan ini memperlihatkan betapa anak telah terkerangkeng dalam suatu kondisi yang dari segala arahnya muncul ancaman kekerasan. Anak-anak lalu menjadi makhluk yang benarbenar tidak berdaya, bukan karena sunnatullah menjadikan demikian, tapi karena aspek-aspek kehidupan telah menganggapnya sebagai obyek yang akan dijadikan mangsa, sebagai korban dari saat ke saat. Akar masalah dari kekerasan ini tentu sangat kompleks. Hal itu, salah satunya, berujung kepada sikap dan pandangan yang menjadi anutan umat manusia, serta kondisi kehidupan yang dialami mereka. Tanpa kita sadari, kita saat ini tampaknya terjebak kepada paradigma kehidupan yang bernuansa kuat mengarah kepada pragmatisme dan sejenisnya. Kehidupan sosial kita begitu jauh berjalan dalam pola kehidupan yang individual-egoistis. Fenomena Lihat A. Sudiarja, “Filsafat Pendidikan, Siapa Masih Peduli?” dalam Jurnal Basis, (Nomor 07-08, Tahun Ke-55, Juli-Agustus 2006), hlm. 4 ff. 6 Lihat Kompas, (08 Januari 2006). 5
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
31
Abdul A’la
di sekitar kita menunjukkan tentang sikap kita yang hanya memikirkan diri kita par excellent. Sikap, perilaku dan nyaris segala aktivitas kita diarahkan untuk memperkokoh pemuasaan diri, kepentingan diri sendiri, dan untuk saat ini semata. Dalam situasi itu, kita menyikapi anak-anak kita dalam posisi yang seutuhnya merepresentasikan hal yang demikian. Sebagian kita membesarkan anak kita bukan karena merujuk kepada tanggung jawab kemanusiaan, apalagi yang bersifat teologis. Mereka “mengasuh” (atau lebih tepat, membiarkan hidup) anak-anak lebih karena dorongan yang bersifat pragmatis dengan menjadikan mereka sebagai bagian dari “investasi” masa depan mereka. Karena itu ketika mereka melihat “investasi” ini kurang menguntungkan, bahkan dianggap hanya sebagai beban, mereka tanpa malu-malu berusaha—sadar atau tidak sengaja—untuk mengabaikannya. Bahkan sebagian mereka justru mengeliminasinya dalam berbagai bentuk dan cara, dari yang sangat subtle hingga benar-benar vulgar dan anarkis. Sejalan dengan itu, sisi-sisi tertentu (jika tidak dari seluruh sisinya) modernitas yang kita anut—menurut hasil penelitian Arlie Hochschild yang dikutip Sindhunata—menuntut mekanisme hidup yang sebenarnya mengandung “ketidaksukaan bahkan kebencian terhadap anak-anak”. Hal ini dapat dilacak dari gaya hidup manusia modern yang dipenuhi dengan “mimpi buruk” dalam bentuk kehidupan yang serba tergesa-gesa. Ketika pagi bangun, mereka begitu terburu-buru dan terkesan kuat ingin segera meninggalkan keluarga dan anak-anak mereka. Hidup keluarga di rumah bukan lagi menjadi oase kedamaian yang membahagiakan, tapi menjadi beban-tugas yang mau tidak mau harus dilakukan. Di rumah, anak-anak dan suami/istri tampak menjengkelkan. Dengan demikian, mekanisme hidup modern tanpa terasa menyimpan semacam paradigma bahwa anak-anak hanya sesuatu yang merepotkan. Karena merepotkan dan dianggap beban, mereka maunya menyerahkan segala sesuatu yang berurusan dengan anak kepada pendidikan sekolah dan sejenisnya.7 Lihat Sindhunata, “Tanda-Tanda Zaman: Anak Hanyalah Beban” dalam Basis, (Nomor 07-08, Tahun Ke-55, Juli-Agustus 2006), hlm. 3. 7
32
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Anak dalam Realitas Hidup Kekinian dan Urgensi Pengembangan Teologi Anak
Di sini anak telah menjadi bola permainan kehidupan; di rumah ditendang sebagai obyek kekerasan, menggelinding ke sekolah, ditendang lagi sebagai salah satu obyek dari ritual kekerasan yang dilakukan subyek dan institusi yang mengklaim diri sebagai ejawantah pendidikan. Padahal senyatanya lembaga pendidikan dan segala jejaringannya telah berkembang menjadi monster yang menakutkan, terutama bagi anak-anak dan masa depan mereka, yang setiap saat siap menerkam untuk membunuh mereka. Akar persoalan lain yang memicu terjadinya kekerasan terhadap anak adalah tradisi keagamaan yang berkutat dengan masa lalu. Ada (jika tidak banyak) di antara kita, khususnya kalangan Muslim, yang menganut teologi romantisme-literalistik. Mereka meyakini bahwa kehidupan Islam awal masa Rasulullah (saw) dan generasi pertama merupakan ideal type yang sempurna, bukan hanya dari aspek nilai, tapi dari bentuk, pola, cara dan dimensi yang lain. Pola keberagamaaan ini menuntut mereka untuk melestarikan segala aspek kehidupan sebagaimana yang telah dicontoh dan dilakukan Nabi dan Sahabat. Dengan sedikit memodifikasi deskripsi El Fadl, pola keberagamaan ini dapat ditelusuri pada kelompok Wahhabi dan sejenisnya. Menurut El Fadl, “Wahhabism advocated the return to what `Abd al-Wahhab saw as the pristine and pure origins of Islam. Accordingly, Wahhabism rejected the cumulative weight of historical baggage and insisted upon a return to the precedents of the Rightly Guided early generations (salah al-salih). 8 Dengan demikian, para penganut keberagamaan ini berusaha membumikan kehidupan masa Rasulullah apa adanya, termasuk dalam pola dan cara menjalankan “pengasuhan” dan “pendidikan” untuk anak-anak mereka. Mereka sering menyikapi anak-anak yang kreatif yang tidak sama dengan cara hidup orang tua mereka sebagai anak-anak nakal, sesat dan sejenisnya yang perlu “diluruskan”. Dalam melakukan pelurusan itu, mereka tidak jarang menggunakan kekerasan dalam beragam bentuknya, baik dalam bentuk kultural maupun bersifat langsung Khaled Abou El Fadl, Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist, (New York: HarperSanFrancisco, 2005), hlm. 71. 8
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
33
Abdul A’la
secara fisik. Pada perkembangan lebih lanjut, pola keberagamaan ini— kebetulan atau sengaja—dalam realitasnya berselingkuh dengan sistem dan bangunan pendidikan dalam menyebarkan (minimal menghantarkan) kekerasan terhadap anak. Terlepas adanya upaya untuk mereformasi pendidikan, fenomena kuat yang berkecambah dewasa ini masih memperlihatkan wajah pendidikan yang menggambarkan suatu struktur di mana anak (peserta didik) berada dalam bagian paling bawah yang terinjak oleh unsur-unsur lain. Anak-anak sebagai peserta didik menjadi obyek langsung dari kurikulum yang didukung oleh kerangka (visi, misi, filsafat dan teori pendidikan) dan pranata (sarana dan prasarana) yang semuanya cenderung otoritarianistik. Struktur ini didukung dengan metode anjing, dalam mana anak-anak sebagai anjing dididik oleh guru sebagai tuan dengan sistem reward dan punishment, agar si anjing setia dan tunduk kepada sang tuan melalui pendekatan top-down yang mengasumsikan bahwa guru adalah pusat kebenaran dan pengetahuan, serta lebih bermoral dan pandai sehingga tidak boleh dibantah.9 Karena itu, anak yang membantah terhadap gurunya dianggap sebagai suatu kesalahan. Dalam realitasnya, kesalahan ini harus ditebus melalui penerimaan anak terhadap perlakuan yang semena-mena dan sering merujuk kepada tindak kekerasan. Konkretnya, akar kekerasan terhadap anak ada di mana-mana, mulai di rumah, di ranah publik, hingga di lembaga pendidikan. Akar persoalan yang bertebaran di mana-mana ini menjadikan bangunan kekerasan begitu kokoh, dan tidak mudah untuk dieliminasi dalam waktu sekejap, dan dengan pola penanganan yang tambal-sulam. Lebih dari itu, bangunan kekerasan ini telah berkembang menjadi semacam labirin yang sulit untuk diketahui mana pintu masuknya dan mana pintu keluarnya. Apalagi batunya tersusun begitu rumitnya, antara satu bagian dengan yang lain kait mengkait dengan kokoh serta sulit dilacak mana yang menjadi fondasi dan Francis Wahono, “Kekerasan dalam Pendidikan” dalam Jurnal Wacana, (Edisi 9. Tahun III 2002), hlm. 99-100. 9
34
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Anak dalam Realitas Hidup Kekinian dan Urgensi Pengembangan Teologi Anak
mana yang menjadi batu dinding.
III.Urgensi Pengembangan Teologi Anak Melihat kompleksitas persoalan kekerasan terhadap anak, kita niscaya untuk memutus mata rantai yang menghubungkan satu unsur dengan elemen yang lain. Dalam konteks Indonesia dengan masyarakatnya yang sering mengklaim diri sebagai masyarakat yang sangat religius, pendekatan dari sudut teologis sangat signifikan untuk diangkat. Sebuah teologi anak sangat urgen untuk ditumbuhkembangkan. Dengan memodifikasi konsep Rahman, teologi anak yang perlu dirumuskan, digeluti, dikembangkan, dan disebarkan dengan serius saat ini ke depan adalah teologi dalam bentuk ijtihad intelektual (yang serius, sistematis dan holistik) yang dapat memberikan pernyataan keberimanan dan koheren mengenai sikap al-Quran terhadap anak dan segala hal-hal yang berkaitan dengan hal itu sehingga orang yang beriman, atau orang yang mau beriman menjadikannya sebagai pandangan dunia yang dijadikan landasan bagi segala pikiran dan hati-spiritualnya.10 Dengan demikian setiap Muslim yang mengabaikan hal tersebut akan dipaksa oleh kondisi dan keyakinan agama yang dianutnya sebagai orang yang kurang sempurna (atau bahkan tidak memiliki) keimanan sebagaimana yang dikehendaki Islam. Teologi ini meniscayakan kita untuk mencandera dan menganalisis eksistensi dan hakikat anak dari perspektif ajaran dan nilainilai Islam substantif secara holistik. Dalam al-Quran, kata kunci yang dapat dijadikan rujukan untuk pengembangan teologi anak berpulang kepada dua kata dasar; dhurriyah, dan walad beserta derivasinya, serta juga tidak bisa dilepaskan dari kata khalifah. Dalam membaca al-Quran semisal surat al-Taghabun (64: 15) banyak di antara umat Muslim yang memaknainya secara literalistik bahwa anak merupakan fitnah, cobaan dalam pengertian konotasi Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformartion of Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1984), hlm. 155. 10
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
35
Abdul A’la
yang negatif. Kita kurang memiliki keberanian moral untuk memahaminya secara lebih positif sebagai batu ujian dari Tuhan untuk mengetahui kadar tanggung jawab kita dalam mengasuh dan membesarkan mereka. Melihat keseluruhan ayat-ayat al-Quran yang mengangkat persoalan anak, pemaknaan yang terakhir ini sesungguhnya lebih dapat dipertanggungjawabkan secara teologis dan akademik. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran manusia di muka bumi yang ditugaskan untuk menjadi khalifah Tuhan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, salah satu kewajiban kita adalah mewariskan peran tersebut kepada anak-anak kita yang akan menggantikan posisi kita di masa depan. Terkait dengan itu, al-Quran surah al-Nisa’ (4:9), berdasarkan tafsir ringkasan al-Tabari, mengingatkan kita, “And let those (executors and guardians) have the same fear in their minds as they would have for their own, if they had left weak offspring behind. So let them fear Allah and speak right word”.11 Ayat ini menegaskan kewajiban setiap umat Muslim untuk mengembangkan kondisi yang dapat mengantarkan anak dan keturunannya dalam kehidupan yang jauh dari segala kelemahan dan ketidakberdayaan. Artinya, umat Muslim berkewajiban untuk mengembangkan anak-anak mereka (sebagai generasi masa depan) menjadi generasi berkualitas, dan penuh pencerahan. Generasi model ini, sebagaimana dinyatakan al-Quran surah Luqman (31:13-20) dan surah Ibrahim (14:20) adalah generasi berpaham monoteistis yang hanya menuhankan Tuhan dan memandang segala sesuatu selain Tuhan sebagai makhluk, serta menyikapi sesama manusia dalam pandangan yang penuh kesetaraan dan keadilan. Dengan monoteisme seperti itu, mereka menjadi penegak “salat” (yang transformatif) yang dapat mengantarkan mereka kepada kemampuan untuk menghindari diri dari segala kekejian dan munkarat, mampu mendorong pengembangan segala yang ma`ruf, serta tegar dalam menghadapi segala persoalan dan Muhammad Muhsin Khan dan Muhammad Taqi-ud-Din Al-Hilali, Interpretation of the Meaning of the Noble Qur’an, (Riyadh: Dar-us-Salam, Publications, 1999), hlm. 116. 11
36
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Anak dalam Realitas Hidup Kekinian dan Urgensi Pengembangan Teologi Anak
cobaan. Pada saat yang sama, mereka dapat berkembang optimal sebagai manusia yang rendah hati yang menjauhi segala sikap yang merepresentasikan arogansi dan sejenisnya. Proses dinamis ini akan menjadikan mereka sebagai manusia— sebagaimana disebutkan al-Quran dalam surah Maryam (19: 15)— yang selalu hormat (dalam pengertian holistik-substantif) kepada generasi yang lebih tua dan kepada sesama, berpenampilan simpatik, bijak, bermoral dan cerdas tapi tidak angkuh. Mereka dalam segala aktivitas yang dilakukan selalu mendasarkan diri kepada salam; kepada kedamaian hakiki. Awal kehidupannya adalah kedamaian, perjalananan kehidupannya juga damai, dan demikian akhir kehidupan, serta kehidupan eskatologisnya sarat dengan kedamaian. Pencapaian generasi ideal ini—sebagaimana dinyatakan alQuran 4:9 tersebut di atas—merupakan tanggung jawab kita; para orang tua, pranata sosial pendidikan dan keagamaan, masyarakat, dan tentunya juga lembaga negara. Apapun alasan kita, kita sama sekali tidak dapat menampik peran yang diembankan kepada kita. Sebab dilihat dari prespektif mana pun—agama, sosial, dan lainnya— hal itu telah menjadi bagian intrinsik dari keberadaan kita sebagai makhluk Tuhan yang berfitrah cinta, sebagai makhluk sosial, serta makhluk yang sama sekali tidak bisa lari dari kecenderungan beragama. Teologi anak dalam al-Quran tampaknya—sampai batas tertentu—sejalan dengan familiarisme Aristoteles. Artinya, keluarga dan pendidikannya merupakan inti pokok fondasi masyarakat yang menentukan hidup matinya masyarakat (dan masa depan anak, pen). Masih menurut Aristoteles—sebagaiman dikutip Koesoema—poedagagi yang baik tidak sekadar bersifat preventif, tapi lebih dari itu harus menjadi sebuah proses dinamis pembentukan diri terusmenerus untuk menjadikan anak sebagai sosok pribadi yang berkualitas, terlebih secara moral.12 Melalui keluarga pendidikan Lihat A. Doni Koesoema, “Pendidikan Anak: Bukan Mesin Reproduksi Kultur Sosial” dalam Jurnal Basis, (Nomor 07-08, Tahun Ke55, Juli-Agustus 2006), hlm. 65-66. 12
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
37
Abdul A’la
anak dimulai. Setelah itu masyarakat dengan segala pranata yang ada di dalamnya secara bersamaan dan interdependensi harus mendukung proses dinamis pendidikan anak tersebut. Satu hal yang perlu ditekankan di sini, pendidikan merupakan proses holistik yang mencakup pengembangan anak untuk being (yang terkait dengan moralitas dan kedirian) dan untuk having (yang berhubungan dengan penguasaan ketrampilan), serta sekaligus penghindaran mereka dari segala hal yang akan menghambat pencapaian kondisi tersebut. Pada tataran ini segala kekerasan mutlak harus dijauhkan dari kehidupan anak, baik dalam bentuk represi, penahanan, pengusiran, marginalisasi, fragmentasi, eksploitasi, maupun desosialisasi dan sebagainya. Hal ini mengisyaratkan signifikansi keluarga, masyarakat, dan negara untuk terlibat secara aktif dan intens untuk menciptakan kondisi kondusif dalam merealisasikan proses tersebut. Namun, semua institusi tersebut perlu menyadari batas-batas peran yang diembannya sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan juga tidak akan memunculkan hal-hal yang mengarah kepada sikap otoritarianisme dan sejenisnya yang justru akan menghambat proses transformasi, atau akan membiaskan proses ke arah yang berseberangan dengan nilai-nilai pendidikan anak. Tidak diragukan lagi, kesalingbergantungan antara satu institusi dan institusi yag lain, serta antara satu unsur dan unsur lain merupakan faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan proses pengahantaran anak menuju kehidupan ideal mereka. Gramsci menyatakan, “That is, it is essential to conceive of man as a series of active relationship (a process) in which individuality, while of the greatest importance, is not the sole element to be considered. The humanity reflected in every individual consists of various elements; the individual, other men, and nature”.13 Karena itu, pengembangan keluarga sebagai institusi yang sakinah yang mampu menyebarkan mawaddah dan Antonio Gramsci, “What is Man” dalam William Mc Neill dan Karen S. Feldman (eds.), Continental Philosophy: An Anthology, (Massachussetts: Balckwell Publishers, 1998), hlm. 241. 13
38
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Anak dalam Realitas Hidup Kekinian dan Urgensi Pengembangan Teologi Anak
rahmah di lingkungan keluarga dan masyarakat merupakan kondisi yang sama sekali tidak bisa diabaikan. Demikian pula masyarakat yang harus ditumbuhkembangkan adalah masyarakat dalam bentuk civil society dengan segala nilai-nilai civility yang dianutnya. Negara pun harus menjadi negara yang demokratis yang mampu mengalirkan aliran nilai-nilai demokratis substantif ke seluruh relungrelung ruang publik. Melihat amburadulnya realitas dunia anak, pandangan dunia alQuran mengenai anak menjadi tidak terelakkan untuk mulai dibincang secara serius dan diupayakan untuk dijangkarkan ke dalam hidup kekinian “sesegera mungkin”. Dalam rangka menjadikan prinsip-prinsip Islam ini bergaung dalam realitas, umat Islam perlu menyikapi teologi anak tersebut sebagai dasar pandangan yang memiliki interdependensi dengan keilmuan Islam dasar yang lain, yaitu akhlak dan hukum. Dalam bahasa lain, pandangan dasar tersebut tidak boleh tidak harus dirumuskan ke dalam norma-norma etika-moral yang memiliki daya operasional yang tinggi, dan setelah itu ditubuhkan ke dalam produk hukum yang mengikat. Sebagai misal, paparan di atas menyebutkan bahwa salah satu aspek penting dari teologi anak adalah pengembangan diri anak seutuh mungkin. Teologi ini perlu dijabarkan secara normatif sebagai kewajiban orang tua dan masyarakat untuk mengantarkan anak kepada kondisi yang memungkinkan terjadinya perlindungan hak-hak anak sehingga mereka nantinya dapat melakukan pengembangan diri seoptimal mungkin. Konkretnya, dengan memodifikasi konsep dari Athar, hak-hak dasar anak yang perlu dilindungi adalah mempelajari dan mempraktikkan ajaran agama, terutama masalah moralitas substantif. Mereka mutlak diperlakukan sebagai person (yang utuh) dalam lingkungan yang kondusif untuk tumbuh-kembang hingga dewasa sehingga nantinya menjadi warga negara dan umat manusia yang berguna. Sejalan dengan itu, mereka berhak sepenuhnya untuk menerima belaian cinta, perhatian, dan perlindungan dari orang tua, masyarakat dan negara. Demikian pula, adalah hak mereka untuk menerima Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
39
Abdul A’la
pendidikan, dan perlindungan finansial untuk masa depan mereka.14 Hak-hak dasar ini sama sekali tidak bisa diamputasi sedikit pun dan oleh siapa pun. Hal ini mutlak untuk diperhatikan karena hakhak itu seutuhnya dibingkai oleh nilai-nilai teologis. Dalam rangkaian norma-norma luhur itu anak-anak diberi peluang dan ranah yang luas untuk mengembangkan eksistensinya sedini mungkin. Namun sejarah menunjukkan, seagung apa pun suatu norma, seluhur apa pun suatu moralitas, ia sulit untuk menjadi sebuah kekuatan yang transformatif. Karena itu, produk hukum yang seutuhnya mendukung dan melindungi terhadap tegaknya norma tersebut menjadi mutlak untuk segera digagas. Sebelum diskusi digelar, sebelum gagasan dituangkan, kita perlu menyadari bahwa dalam perumusan hukum yang akan mendukung atas pengembangan anak-anak sebagaimana diangkat sebelum ini, kita diharapkan tidak terperangkap dalam persoalan yang berhubungan dengan sekadar simbol dan atribut keagamaan formal. Sekali kita terlena dalam buaian simbol formal, kita sering melupakan substansi persoalan, serta mengabaikan inti ajaran dan nilai Islam. Hal ini bukan berarti kita menegasikan signifikansi atribut formal agama. Dalam kasus-kasus tertentu, terutama yang berkaitan dengan keimanan kita yang bersifat ke dalam, hal semacam itu tak terhindarkan sebagai bagian melekat pada diri seseorang sebagai entitas kedirian. Namun ketika akan diusung ke ruang publik, nilai-nilai itu perlu diformulasi kembali sebagai nilai yang dapat memberikan pencerahan kepada semua. Dengan demikian, keberadaan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin tidak hanya akan berupa klaim kebenaran sepihak semata, tapi akan berwujud dalam kenyataan hidup umat manusia yang menyejarah dari masa ke masa.
IV.Mengembalikan Anak ke Dunia Asalnya Sejatinya, perbincangan tentang teologi anak dalam perspektif Islam Lihat Shahid Athar, MD., “Influencing the Behaviour of Muslim Youth and Their Parents” dalam http://www.islmic-world.net/ parenting/parenting_page/parent_child_index.htm. 14
40
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Anak dalam Realitas Hidup Kekinian dan Urgensi Pengembangan Teologi Anak
sama sekali bukan hal yang baru. Persoalannya, sejauh ini para elit dan tokoh Muslim yang mencoba mengkaji dan merumuskannya secara serius relatif masih sangat sedikit. Alih-alih, kita (umat Islam) ketinggalan jauh dengan teman-teman kita yang Kristiani. Lebih dari itu, dalam menyikapi persoalan yang dihadapi anak-anak, sebagian kita sedemikian terpaku dengan persoalan-persoalan praktis yang terjadi di lapangan. Paling banter, kita hanya menyikapinya dari sudut pendidikan, sosial, politik, atau hukum yang tidak diletakkan secara tegas di atas landasan teologis. Pengabaian— eksplisit atau implisit—terhadap aspek teologis anak, menjadikan kita dewasa ini memiliki anggapan bahwa persoalan maraknya kekerasan terhadap anak, penelantaran terhadap mereka dan masalah-masalah lain yang serupa, hal itu terjadi karena kekurangpedulian kita. Kita belum menganggapnya sebagai persoalan yang akan menjadikan keberimanan kita mengalami degradasi, sebagaimana pula kita mungkin belum meyakini bahwa semua itu terjadi karena keimanan kita masih bersifat parsial dan jauh dari kesempurnaan. Melalui peletakan persoalan anak sebagai persoalan teologis, kita dituntut untuk meresponsnya secara lebih serius, sistematis, dan kreatif. Dengan mendasarkan diri kepada dasar-dasar teologis, kita menjadi tidak terelakkan untuk merealisasikan, mengimplementasikan prinsip-prinsip teologis itu—melalui proses sebagaimana diuraikan sebelum ini—ke dalam kehidupan, saat ini dan tidak bisa ditunda lagi. Dalam ungkapan lain, kita wajib mengembalikan anakanak ke dunia mereka sebagaimana Tuhan mengafirmasikannya dalam teks-teks suci. Artinya, hak-hak asazi anak—sebagaimana dibincang sebelum ini—perlu dilindungi secara berkesinambungan dari saat ke saat. Sebagai persoalan teologis, pencapaian kondisi ini memerlukan dekonstruksi paradigma yang kita anut dan kita pegang teguh selama ini. Kita perlu mengkritisi pola keberagamaan yang selama ini kita jalani. Agama jangan dikembangkan lagi sekadar sebagai ideologi (yang dipersepsikan sama dengan ideologi lain seperti kapiInnovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
41
Abdul A’la
talisme, dan sosialisme), atau sebagai alat pencapaian kepentingan kita yang subyektif dan sesaat. Namun kita perlu mengembangkannya menjadi sekumpulan nilai-nilai moralitas yang pada satu pihak dapat menjadikan ritual keagamaan yang kita jalani bukan sekadar tradisi dan seremonial mati, tapi sebagai media dialog intens kita dengan sang Khaliq, dan pada pihak lain dapat menjadikan diri kita sebagai manusia yang benar-benar mengalami pencerahan. Melalui dialog intens dengan Tuhan, kita berusaha menelanjangi diri sendiri; mulai dari kritik diri terhadap pandangan kita terhadap anak-anak kita hingga perlakuan kita terhadap mereka, termasuk tindak kekerasan—baik langsung, struktural maupun kultural— terhadap anak-anak kita. Pada saat yang sama, kita harus berani melakukan tekad untuk terus mengembangkan keberagamaan kita untuk mencapai sedekat mungkin dengan kebenaran hakiki. Dengan demikian, setahap demi setahap kita akan mengalami pencerahan— yang dalam konsep Kant—merupakan man‘s emergence from his selfincurred immaturity.15 Kita lalu menjadi manusia dewasa yang menyadari dan memiliki kearifan dalam menyikapi seluk beluk kehidupan secara utuh. Di sana ada anak-anak kita yang perlu belaian dan perhatian, atau bahkan pengarahan, tapi sekaligus tetap memberikan mereka ruang yang cukup untuk berkembang dengan bebas, dinamis dan kreatif sesuai dengan perubahan zaman yang mereka lalui. Namun di samping itu kita juga seharusnya awas bagaimana bisa mengantarkan mereka untuk tetap berada dalam kerangka nilainilai substantif agama yang kokoh. Karena pemberian kebebasan pada satu pihak, dan penciptaan suasana dialogis untuk mendasarkan diri mereka pada nilai-nilai agama merupakan bagian dari teologis sebagaimana diajarkan al-Quran surah al-‘Alaq (30:5). Melalui penciptaan kondisi semaca itu, anak-anak kita diharapkan memiliki kemampuan untuk mengkonstektualisasikan nilai agama dengan realitas Immanual Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightment?” dalam Lawrence E. Cahoone (ed), From Modernism to Postmodernism: An Anthology, (Massachussetts: Balckwell Publishers, 1996), hlm. 51. 15
42
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Anak dalam Realitas Hidup Kekinian dan Urgensi Pengembangan Teologi Anak
kehidupan secara kreatif, tapi tetap autentik. Dari dekonstruksi paradigma, kita juga niscaya untuk mendekonstruksi pranata-pranata kehidupan. Kita perlu menyoroti lembaga yang selama ini dianggap sebagai lembaga pendidikan, negara dan hukum yang melindungi anak, dan sebagainya secara kritis. Sebab bukan mustahil, antara simbol yang disandangnya dan aktivitas yang selama ini berjalan bisa berada dalam oposisi biner. Lihat saja di sekitar kita, namanya bisa saja lembaga pendidikan, tapi substansinya telah menjadi media pemberangusan dan pembunuhan karakter anak dan masa depan mereka. Teologi anak senyatanya merupakan bagian dari teologi Islam secara keseluruhan. Teologi ini tidak bisa dipisahkan dari teologi pembebasan, teologi perempuan, teologi keluarga, dan teologi transformatif secara umum. Dalam proses perumusannya, upaya internalisasi dan eksternalisasinya, kita harus menyikapinya sebagai sesuatu yang utuh yang berinterdependensi bukan saja dengan teologiteologi yang lain, tapi juga dengan ilmu keislaman dasar yang lain, semisal akhlak dan fiqh. Kita memang harus jujur, tulus dan realistis bahwa pengembalian anak ke dunia mereka, atau pengembalian hak-hak anak, dan upaya perlindungan mereka dari segala hal yang akan menghambat proses pengembangan diri mereka, merupakan proyek besar, yang memerlukan penanganan sistematis, kreatif dan penuh tanggung jawab, serta membutuhkan waktu yang tidak singkat. Namun kita menyadari, bahwa semua itu adalah persoalan keagamaan teologis yang tidak mungkin dihindari oleh kaum beragama. Dengan demikian, apa pun alasan kita, kita sebagai umat beragama tidak bisa mengelaknya dan lari dari tanggung jawab agama. Atau, kita akan menjadi umat yang beragama, tapi pada hakikatnya pandangan, sikap dan perilaku kita sangat ateistis. Lalu, untuk apa kita beragama?
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
43
Abdul A’la
BIBLIOGRAFI Athar MD., Shahid. “Influencing the Behaviour of Muslim Youth and Their Parents”. dalam http://www.islmic-world.net/ parenting/parenting_page/parent_ child_index.htm. El Fadl, Khaled Abou. Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist. New York: HarperSanFrancisco, 2005. Galtung, Johan. “Kekerasan Kultural”. dalam Jurnal Wacana, Edisi 9. Tahun III 2002. Gramsci, Antonio. “What is Man”. dalam William Mc Neill dan Karen S. Feldman (eds.), Continental Philosophy: An Anthology, Massachussetts: Balckwell Publishers, 1998 IDEA. Nestapa Pembangunan Sosial: Studi Dampak Beban Utang terhadap Pembangunan Pendidikan dan Kesehatan. Cetakan I, Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia, 2001. Kant, Immanual. “An Answer to the Question: What is Enlightment?”. dalam Lawrence E. Cahoone (ed), From Modernism to Postmodernism: An Anthology, (Massachussetts: Balckwell Publishers, 1996), hlm. 51. Khan, Muhammad Muhsin dan Muhammad Taqi-ud-Din Al-Hilali. Interpretation of the Meaning of the Noble Qur’an. Riyadh: Dar-usSalam, Publications, 1999. Koesoema, A. Doni. “Pendidikan Anak: Bukan Mesin Reproduksi Kultur Sosial”. dalam Jurnal Basis, Nomor 07-08, Tahun Ke-55, Juli-Agustus 2006. Kompas. 08 Januari 2006. Kompas. Sabtu 04 Juni 2005. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformartion of Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1984. Sindhunata. “Tanda-Tanda Zaman: Anak Hanyalah Beban”. dalam Jurnal Basis, Nomor 07-08, Tahun Ke-55, Juli-Agustus 2006. Sudiarja, A. “Filsafat Pendidikan, Siapa Masih Peduli?”. dalam Jurnal Basis, Nomor 07-08, Tahun Ke-55, Juli-Agustus 2006. Wahono, Francis. “Kekerasan dalam Pendidikan” dalam Jurnal Wacana. Edisi 9. Tahun III 2002.
44
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009