Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis Jamal Zaini Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Abstrak Allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) merupakan salah satu bentuk penyakit akibat respons imun hiperreaktif terhadap aspergillus fumigatus tanpa disertai invasi jaringan. Kelainan ini hampir semuanya ditemukan pada penderita asma ataupun fibrosis kistik terutama yang memiliki atopi. Mekanisme yang mendasarinya saat ini masih terus diteliti. Insidens penyakit ini sangat bervariasi dan diperkirakan dapat ditemukan pada sekitar 7-18% penderita asma dan 5-10% penderita fibrosis kistik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kombinasi gejala klinis, pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Penemuan dini dan pemberian terapi lebih awal diharapkan dapat mencegah progresivitas penyakit, kerusakan parenkim paru dan penurunan fungsi paru. (J Respir Indo. 2013; 33:191-8) Kata kunci : Allergic bronchopulmonary aspergillosis, aspergillus spp, asma, fibrosis kistik.
a
Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis Abstract Allergic bronchopulmonary aspergillorsis (ABPA) is a hypersensitivity disorder induced by a fungus aspergillus fumigatus in the lung, although the precise mechanism need further exploration, this clinical entity mostly found in difficult asthma or cystic fibrosis with the prevalence around 7-18 % in asthmatics and 5-10% in cystic fibrosis. The diagnosis is based on the presence of a combination of clinical, biological and radiological criteria. Early diagnosis and appropriate therapy could decelerate disease progression. (J Respir Indo. 2013; 33:191-8) Keywords : Allergic bronchopulmonary aspergillosis, aspergillus spp, asthma, cystic fibrosis.
PENDAHULUAN Aspergillus spp merupakan spesies jamur yang
sangat bervariasi dan diperkirakan dapat ditemukan
mudah ditemukan di seluruh penjuru dunia, namun
pada sekitar 7-18% penderita asma dan 5-10%
hanya sedikit yang bersifat patogen pada manusia.
penderita fibrosis kistik. Penemuan dini dan pemberian
Spora sangat kecil sehingga mudah terhirup ke saluran
terapi lebih awal diharapkan dapat mencegah
napas yang kemudian dapat tumbuh dan berkembang.1-4
progresivitas penyakit, kerusakan parenkim paru dan
Karakteristik respons imun pejamu menentukan jenis
penurunan fungsi paru.1-5
kelainan/jenis penyakit yang akan muncul pada paparan aspergillus sehingga dikenal beberapa tipe seperti tipe
PATOFISIOLOGI ABPA
safrofitik pada aspergiloma, tipe alergi pada allergic
Patofisiologi ABPA sangat kompleks dan belum
aspergillus sinusitis, allergic bronchopulmonary
sepenuhnya diketahui. Pada pejamu yang alergi,
aspergillosis (ABPA), hypersensitivity pneumonia dan
keberadaan Aspergillus fumigatus di paru menimbulkan
tipe invasif seperti pada aspergillosis invasive dan
aktivasi sel limfosit T, sitokin, pelepasan imunoglobulin
chronic necrotizing pulmonary aspergillosis.3,5
dan mengundang sel inflamasi lain. Inflamasi lokal yang
Allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) merupakan salah satu bentuk penyakit akibat respons
terjadi dapat menyebabkan produksi mukus, hiperreaktivitas bronkus dan bronkiektasis.7,8
imun hiperreaktif terhadap Aspergillus fumigatus tanpa
Spora aspergillus sangat kecil berukuran 3-5 µm
disertai invasi jaringan. Kelainan ini hampir semuanya
sehingga akan dapat mencapai saluran napas distal jika
ditemukan pada penderita asma ataupun fibrosis kistik
spora atau miselia ataupun antigen aspergillus tersebut
terutama yang memiliki atopi.
191
4-6
Insidens penyakit ini
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
terhirup. Mekanisme tubuh pertama kali yang berperan
Defence mechanism against fungal infections
mengolah dan mempresentasikan spora dan miselia
Spores, mycelia, antigens
antigen (antigen presenting cell). Selama proses
Airway, skin
tersebut sel dendritik akan mengeluarkan sitokin dan juga mempresentasikan antigen jamur ke sel T melalui
First line of defence
major histocompatibility complex class II. Pada pejamu sIgA + Complement
Opsonization
Alveolar macrophages
Phagocytosis
normal terjadi aktivasi sel T helper 1 (Th1) ataupun sel Th2. Respons sel Th1 ditandai dengan aktivasi makrofag dan aktivasi netrofil, juga menginisiasi
Infiltration/fungal colonization
produksi antibodi imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin A (IgA) yang memproteksi terhadap
Mucociliary clearance Mucus
infeksi aspergillus (gambar 1).9-12
Barrier
Pada pejamu yang memiliki bakat alergi dapat Lesions
terjadi aktivasi Th2 yang berlebihan dan menghasilkan sitokin dan imunoglobulin yang memicu terjadinya
Second line of defence
inflamasi alergi. Hal ini terjadi pada pejamu yang alergi Antigen release
Phagocytosis
Killing
terhadap aspergillus dan pada ABPA. Sel Th2 yang teraktivasi akan menghasilkan sitokin yang berperan
IL-2, INF-g
Antigen-presenting cells
Th1 responses (Protection)
T-cell activation Cytokine release
IL-4, IL-5
memicu aktivasi respons imun alergi. Interleukin (IL)- 4 merupakan salah satu sitokin penting.13 Sitokin ini berhubungan dengan konversi isotipe imunoglobulin
Th2 responses (Allergy)
(Ig) pada sel B sehingga menghasilkan IgE, berhubungan dengan ekpresi molekul adhesi sel pada sel endotel dan molekul ligan adhesi sel vaskuler pada
Gambar 1. Patogenesis ABPA Dikutip dari (8)
eosinofil dan juga ekpresi Fc reseptor IgE dan IgA pada eosinofil. Imunoglobulin E akan mengaktivasi sel mast
untuk mengatasinya adalah aktivasi innate immune
jika mengikat antigen aspergillus, bersama dengan IL-5
response pada saluran napas yang terdiri dari
kemokin yang dihasilkan sel mast akan merekrut
opsonisasi oleh sistem komplemen dan sIgA ataupun
eosinofil. Eosinofil merupakan sel yang dianggap
fagositosis oleh makrofag alveolar. Seiring dengan itu,
memiliki peran penting pada ABPA. Degranulasi sel
mekanisme bersihan mukosilier oleh kerja sel epitel
mast dan eosinofil akan memicu pelepasan mediator
bersilia dibantu oleh mukus juga aktif dengan membawa
vasodilator dan bronkokonstriksi. Sel B dan sel T yang
spora/miselia tersebut ke saluran napas atas untuk
teraktivasi akan masuk ke dalam sirkulasi limfatik dan
ditelan atau dibatukkan.
8-10
melepas sitokin ke sirkulasi sistemik. Interleukin-4
Pada kelompok dengan fibrosis kistik, lapisan
dalam sirkulasi sistemik akan memicu produksi IgE dan
mukus menjadi kental dan terjadi pula disfungsi
serum total IgE akan jauh meningkat melebihi kadar
mekanisme bersihan mukosilier jalan napas sehingga
aspergillus-spesifik IgE. Antibodi IgE dan IgG spesifik
mengganggu proses bersihan spora dan akhirnya
aspergillus juga dapat dideteksi dalam sirkulasi
spora mudah terdeposisi dan berkembang dalam
sistemik.11-13
saluran napas. Zat proteolitik yang dihasilkan aspergillus juga dapat mengganggu bersihan saluran
KARAKTERISTIK PEJAMU
napas dan merusak pertahanan sel epitel. Jika terjadi
Banyak ahli menganggap bahwa kerentanan
kolonisasi, aspergillus akan berkembang dan tumbuh
terhadap ABPA berhubungan dengan faktor genetik
sehingga antigen yang dihasilkan semakin banyak.
7,9,10
Sel dendritik merupakan sel utama yang
yang berkaitan dengan respons inflamasi pada kelompok atopik. Faktor genetik yang berhubungan
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
192
Tabel 1. Gambaran radiologis yang dapat ditemukan pada ABPA Gambaran radiologis
Keterangan
Penemuan foto toraks tersering Transient Perubahan permanen Penemuan HRCT* tersering
Konsolidasi menyebar (patchy areas of consolidation) Infiltrat : toothpaste and gloved finger shadows karena impaksi mukoid dan pelebaran bronkus Kolaps baik segmental ataupun lobaris Parallel-line shadows yang menggambarkan pelebaran bronkus Ring-shadows diameter 1-2 cm menggambarkan dilatasi bronkus en face Lesi fibrosis pada lobus atas dengan kavitasi Bronkiektas sentral Mucus plugging dengan bonkosel Konsolidasi Nodul sentrilobuler dengan tree-in-bud opacities Penebalan dinding bronkus Atelektasis Perfusi mosaik dengan air trapping saat inspirasi
* HRCT : High resolution computed tomography
Dikutip dari (2)
Tabel 2. Kriteria diagnosis ABPA
jamur dianggap tidak berhubungan, namun memiliki
Rosenberg 1977
Revisi Rosenberg 1991
kesamaan riwayat atopi dan asma namun beberapa
Asma Peningkatan total IgE (>1000 ng/mL) Uji kulit tipe lambat positif Eosinofilia serum (> 1 x 109 /L) Presipitin Infiltrat parenkim paru Bronkiektas sentral
ABPA-CB (central bronchiectasis) Asma Uji kulit tipe cepat positif Peningkatan total IgE Peningkatan IgG dan IgE spesifik A. fumigatus Bronkiektas sentral ABPA-S (serologic) Asma Uji kulit tipe cepat positif Peningkatan total IgE Peningkatan IgG dan IgE spesifik A. fumigatus Tambahan Mucus plug Sputum + aspergillus Presipitin Infiltrat parenkim paru Uji kulit tipe lambat positif
penelitian membuktikan hubungan antara sinusitis
Dikutip dari (3)
alergi jamur dengan ABPA. Patofisiologi sinusitis alergi jamur berhubungan dengan kelainan anatomi sinus dan hal ini menerangkan mengapa hanya sebagian kecil pasien ABPA juga memiliki sinusitis alergi jamur. Pada beberapa keadaan, ABPA berhubungan dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pasca tuberkulosis, terapi infliximab pada sarkoidosis. Kondisi ini juga dilaporkan pada sindrom hiper IgE, bronchocentric granulomatosis dan granulomatosis kronik. 2-5,15 ABPA dan asma Hubungan antara ABPA dan asma belum
dengan munculnya ABPA misalnya human leukocyte
sepenuhnya dimengerti. Tidak jelas apakah asma
antigen (HLA) DR-2, polimorfisme IL-10, polimorfisme
meningkatkan risiko ABPA atau asma dan ABPA
IL-15, polimorfisme tumour necrosis factor (TNF),
memiliki kesamaan predisposisi. Sekitar 25% pasien
polimorfisme IL-13, polimorfisme IL-4, polimorfisme toll
asma juga memiliki sensitisasi dengan aspergillus,
like receptor (TLR), polimorfisme gen surfactan protein
(aspergillus hypersensitivity) namun hanya sebagian
A dan mutasi cystic fibrosis transmembrane
kecil saja yang berkembang menjadi ABPA.
conductance regulator (CFTR). Kondisi ABPA ini terjadi
Diperkirakan ABPA ditemukan pada 7-18% pasien
umumnya pada pasien asma dan fibrosis kistik yang
asma. Hipotesis yang berkembang adalah abnormalitas
2,3
saluran napas, perubahan produksi dan susunan kimia
Pasien dengan ABPA ternyata juga memiliki kekerapan
mukus kemungkinan berperan dalam berkembangnya
tinggi munculnya kondisi atopik lain seperti rinitis alergi,
ABPA pada pasien asma. Mutasi gen CFTR juga
konjungtivitis alergi, dermatitis atopik dan hipersen-
ditemukan lebih banyak pada pasien asma dan ABPA
keduanya memiliki hubungan kuat dengan atopi.
sitivitas terhadap makanan. Sinusitis alergi jamur
tanpa fenotip fibrosis kistik. Onset ABPA biasanya
merupakan salah satu respons imun alergi terhadap
muncul setelah beberapa tahun terdiagnosis sebagai
aspergillus. Pada awalnya ABPA dan sinusitis alergi
asma. Insidens ABPA lebih tinggi pada dewasa
193
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
Tabel 3. Protokol penatalaksanaan ABPA Penatalaksanaan ABPA Glukokortikoid oral Regimen 1 Regimen 2
Follow up dan monitoring
Itrakonazol oral
Keterangan Prednisolon 0,5mg/kg/hari selama 1-2 minggu, kemudian selang sehari selama 6-8 minggu. Diturunkan 5-10 mg tiap 2 minggu dan dihentikan. Ulang pemeriksaan total serum IgE dan foto toraks 6-8 minggu. Prednisolon 0,75 mg/kg selama 6 minggu; 0,5 mg/kg/hari selama 6 minggu; kemudian diturunkan tiap 5mg dalam 6 minggu hingga total pemberian 6-12 bulan. Ulang pemeriksaan total IgE tiap 6-8 minggu selama 1 tahun Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, foto toraks dan pemeriksaan total serum IgE tiap 6 minggu untuk melihat respons terapi. Penurunan 35% IgE dan menghilangnya infiltrat menggambarkan respons yang baik. Peningkatan nilai IgE 2 kali dapat menunjukan eksaserbasi subklinis. Jika pasien tidak dapat dilakukan tapering off prednisolon, maka dianggap telah berkembang menjadi stadium IV. Pemberian steroid dapat dilakukan selang sehari dengan dosis minimal. Monitor efek samping seperti hipertensi dan diabetes. Kadang perlu dipertimbangkan pemberian kalsium oral ataupun bifosfonat untuk profilaksis osteoporosis. Dosis: 200 mg 2x/hari selama 16 minggu kemudian satu kali/hari selama 16 minggu. Indikasi : Kasus relaps pertama atau ABPA yang tergantung steroid. Monitor efek samping, interaksi obat, respons klinis, radiologis dan pemeriksaan IgE. Dikutip dari (2)
dibandingkan pada anak. 2,3,14,16
arah ABPA harus dipikirkan pada pasien asma atau fibrosis kistik dengan gejala sistemik. 2,3,5,7
ABPA dan fibrosis kistik Pasien dengan fibrosis kistik memiliki risiko terjadinya ABPA. Prevalensi ABPA pada fibrosis kistik
Laboratorium Serum IgE total di atas 1000 IU/ml merupakan
meningkat terutama pada laki-laki, dewasa muda
tanda khas ABPA. Imunoglobulin E spesifik aspergillus
dengan fungsi paru rendah, memiliki riwayat mengi,
juga meningkat. Dapat pula ditemukan IgG spesifik
asma atau ditemukan pseudomonas pada sputum.
aspergillus, presipitin ataupun eosinofilia. Pemberian
Atopi ditemukan pada sekitar 60% pasien fibrosis kistik
kortikosteroid dapat menurunkan reaksi alergi sehingga
dan diperkirakan ABPA ditemukan pada 5-10% pasien
pada pasien ABPA dengan kortikosteroid sistemik dapat
fibrosis kistik. Kelainan mekanisme bersihan jalan
tidak ditemukan eosinofilia atau peningkatan total
napas yang merupakan ciri khas fibrosis kistik dianggap
serum IgE signifikan. Pemeriksaan lain yang berguna
merupakan faktor langsung penyebab ABPA walaupun ada beberapa faktor pendukung lain.
2,3,16,17
adalah dengan skin test menggunakan antigen A.fumigatus. Pemeriksaan serum presipitin untuk menilai antibodi IgG aspergillus juga dapat dilakukan
GAMBARAN KLINIS
walapun bersifat tambahan saja. 2,3,5,9
Munculnya ABPA pada pasien asma dan fibrosis kistik ditandai dengan batuk yang memburuk, mengi
Radiologi
dan meningkatnya produksi sputum. Produksi mukus
Foto toraks ditemukan perselubungan pada
tebal dan kental sering ditemukan dan kadang sangat
parenkim ataupun bronkiektasis. Infiltrat biasanya
sulit untuk dilakukan penghisapan. Dahak yang
bersifat eosinofilik sehingga responsif terhadap
dibatukkan dapat berupa “mucus plug” kental berwarna
pemberian steroid dan kadang salah diagnosis sebagai
tengguli atau kecoklatan hingga kehitaman. Mukus
pneumonia. Gambaran perselubungan opak yang
kental tersebut terdiri dari eosinofil yang telah
terjadi dapat diakibatkan oleh bronkosel, mucus
terdegenerasi, serpihan sel epitel dan musin.
plugging, atelektasis ataupun kolaps lobus. Computed
Hemoptisis dapat terjadi akibat inflamasi ataupun
tomography (CT) scan merupakan cara yang paling
bronkiektasis. Gejala sistemik seperti demam subfebris,
baik untuk mendeteksi semua kelainan tersebut lebih
malaise dan berat badan turun dapat terjadi. Evaluasi ke
detail. Bronkiektasis sentral pada pemeriksaan high
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
194
resolution computed tomography (HRCT) merupakan
Pasien asma/ fibrosis kistik
kelainan patognomonic untuk ABPA, namun tidak semua ABPA dapat ditemukan kelainan ini. 2,3,18-21 Variasi penemuan radiologis pada ABPA dapat dilihat pada tabel 1. Kultur sputum Jamur A.fumigatus dapat tumbuh pula pada pasien dengan kelainan paru karena jamur ini ditemukan dimana-mana dan mudah terhirup. Kultur
Curiga ABPA jika terdapat salah satu dari parameter berikut: 1. Foto toraks atau HRCT menunjukkan infiltrat rekurens dan atau bronkiektasis sentral 2. Gejala klinis refrakter 3. Uji kulit dengan antigen Aspergillus fumigatus (AF) positif 4. Kultur sputum tumbuh jamur Aspergillus fumigatus 5. Eosinofilia perifer sangat menonjol
Lakukan pemeriksaan spesifik untuk ABPA: 1. Total serum IgE > 1000 ng/ml 2. IgE atau IgG spesifik A.fumigatus
sputum A.fumigatus hanya merupakan pemeriksaan tambahan saja dan bukan untuk membantu menegakkan diagnosis ABPA. 2,3
Keduanya positif : ABPA
Salah satu positif: Follow up/ ulang tes secara periodik
Dikutip dari (2)
Fungsi paru Gambaran fungsi paru sangat tidak spesifik
Keduanya negatif: Bukan ABPA
Gambar 2. Alur diagnosis ABPA
untuk membantu diagnosis ABPA karena hampir semua pasien telah memiliki kelainan paru sebelumnya.
dilakukan pemeriksaan kadar antibodi spesifik
Manfaat pemeriksaan fungsi paru pada ABPA adalah
A.fumigatus. Pemeriksaan ini diperlukan untuk
memonitor perkembangan penyakit. Kadang ditemukan
membedakan ABPA dengan asma sensitif aspergillus.
gambaran obstruksi reversibel parsial terutama pada
Pemeriksaan presipitin juga dapat digunakan sebagai
ABPA ringan/awal. Jika penyakit telah progresif dapat
alternatif pemeriksaan kadar antibodi spesifik
ditemukan gambaran obstruksi menetap dan
aspergillus.2,3,20 Alur diagnosis ABPA dapat dilihat pada
berkurangnya volume paru akibat perubahan dan
gambar 2.
kerusakan interstisial paru. Kapasitas difusi dapat
Peningkatan kadar eosinofil merupakan
ditemukan mengalami penurunan selama eksaserbasi
gambaran primer yang sering ditemukan walaupun
dan tetap rendah pada ABPA stadium akhir. 2,3
banyak yang sudah tidak menggunakannya lagi. Peningkatan eosinofil serum tidak sensitif dan tidak
DIAGNOSIS ABPA
spesifik, namun jika ditemukan sangat mendukung
Hingga saat ini belum ada konsensus
diagnosis ABPA. Bronkiektasis sentral merupakan
internasional berkaitan dengan kriteria diagnosis ABPA
tanda khas ABPA, walaupun ada juga ABPA tanpa
sehingga standar diagnosis kadang berbeda tiap
disertai bronkiektasis. Kelompok ABPA-S merujuk pada
negara. Kriteria diagnosis yang saat ini banyak dipakai
ABPA yang terdiagnosis secara serologis, sedangkan
adalah kriteria yang dikemukakan oleh Rosenberg-
ABPA-CB (central bronchiectasis) merujuk pada ABPA
Greenberger (tabel 2). Petanda yang digunakan tidak
dengan bronkiektasis sentral. Perbedaan ini memiliki
ada yang sensitif ataupun spesifik, sehingga dibutuhkan
implikasi klinis yaitu ABPA-S memiliki kemungkinan
integrasi gejala klinis, radiologis dan serologis untuk
kerusakan paru permanen lebih rendah dan frekuensi
menegakkan diagnosis ABPA. 2,3,19
eksaserbasi lebih sedikit jika dibandingkan dengan
Jika seseorang dicurigai ABPA, diperlukan
ABPA-CB. 2,3,19
pemeriksaan serum total IgE dan uji hipersensitivitas kulit terhadap A.fumigatus. Uji kulit positif merupakan
Diagnosis banding
penanda sangat sensitif untuk mengetahui sensitisasi
Diagnosis banding ABPA meliputi asma refrakter,
aspergillus, namun tidak spesifik untuk ABPA. Jika hasil
fibrosis kistik, TB, sarkoidosis, pneumonia eosinofilik,
uji kulit positif dan terjadi peningkatan IgE perlu
asma sensitif aspergillus, ataupun bronkogenik
195
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
granulomatosis. 2,3
TERAPI Tujuan terapi adalah tercapainya remisi dengan menekan inflamasi dan mencegah destruksi parenkim
PERJALANAN KLINIS Perjalanan penyakit ABPA saat ini masih belum
paru ireversibel. Belum ada pedoman dan kesepakatan
jelas dan sangat sulit diprediksi, namun para ahli telah
internasional mengenai terapi ABPA namun secara
membuat stadium klinis. Stadium klinis digunakan untuk
umum terapi yang diberikan didasarkan pada stadium
klasifikasi populasi pasien, pedoman terapi dan prediksi
penyakit. Jenis terapi yang ada diantaranya pemberian
respons terapi. Perkembangan stadium tidak selalu
kortikosteroid sistemik ataupun inhalasi, antijamur, dan
muncul berurutan karena perkembangan penyakit
antibodi monoklonal anti IgE (omalizumab). Terapi
sangat bervariasi sering waktu, baik parameter klinis
tersebut didasarkan pada kesepakatan para ahli karena
ataupun parameter imunologis. Hipotesis yang
hingga saat ini belum ada uji klinis ideal dengan jumlah
berkembang saat ini adalah jika penyakit ditemukan
sampel memadai untuk membuktikannya. 2,5
lebih dini dan diterapi lebih awal, kemungkinan berkembangnya fibrosis paru akan makin kecil.
1-5
Eksaserbasi akut (stadium I ataupun III) merupakan perburukan gejala klinis, muncul infiltrat
Pada stadium I, pasien memenuhi semua kriteria
baru dan terjadi peningktan 2x kadar total serum IgE.
diagnosis ABPA, termasuk peningkatan serum IgE dan
Eksaserbasi akut dapat diberikan kortikosteroid yang
IgG spesifik A.fumigatus. Serum total IgE mencapai
diharapkan dapat mencapai remisi. Stadium IV
puncak seiring ditemukannya infiltrat pada foto toraks,
didefinisikan sebagai kondisi yang sudah tergantung
sedangkan serum IgE mencapai puncak 4 bulan
steroid (steroid dependent) namun untuk mencegah
kemudian. Kelompok ini biasanya sangat responsif
efek jangka panjang steroid diperlukan dosis
terhadap pemberian steroid oral yang ditandai dengan
kortikosteroid minimal yang dapat mengontrol gejala.
perbaikan gejala klinis, perubahan radiologis, kadar IgE
Penggunaan steroid jangka panjang tidak direkomen-
menuju normal. Jika perbaikan ini bertahan 6 bulan
dasikan, karena itu perlu dipertimbangkan modalitas
pasien dianggap masuk ke stadium II atau yang disebut
terapi lain ataupun pemberian antijamur. Inhalasi
fase remisi. Stadium II ini dapat bertahan dalam waktu
kortikosteroid kadang dapat mempercepat terjadinya
yang tidak terbatas namun dapat muncul kembali
remisi dan dapat menurunkan kebutuhan kortikosteroid
sewaktu-waktu. Stadium III atau relaps, ditandai
sistemik. Stadium akhir/ stadium V dapat terjadi kapan
munculnya infiltrat baru, peningkatan kadar IgE atau
saja. Rekomendasi terapi untuk kondisi ini masih sangat
rekurensi pada salah satu kriteria diagnosis setelah
jarang dan tidak berdasarkan uji klinis. Biasanya
terjadinya remisi. Stadium IV menggambarkan
memiliki prognosis buruk dan sering muncul infeksi
kelompok pasien dengan gejala klinis dengan atau
berulang Pseudomonas dan Staphylococcus aureus.
tanpa infiltrat pada foto toraks namun tidak responsif
Pada kondisi ini perlu dipikirkan transplantasi paru. 22,23
terhadap pemberian kortikosteroid yang ditandai
Antijamur dapat digunakan dengan tujuan
dengan peningkatan kadar IgE dan antibodi
menurunkan jumlah jamur dan mencegah stimulasi
A.fumigatus persisten. Usaha untuk menghentikan
antigen berlebihan yang akhirnya dapat menurunkan
pemberian kortikosteroid pada stadium IV akan
inflamasi. Antijamur yang pernah diuji coba antara lain
menimbulkan eksaserbasi. Stadium V menggambarkan
nistatin, amfoterisin B, natamisin, ketokonazol dan
sudah terjadinya fibrosis paru dan munculnya
itrakonazol. Ketokonazol memberikan hasil yang
bronkiektasis luas disertai batuk kronik produktif.
menjanjikan namun memiliki efek samping cukup berat,
Kadang diperlukan pemberian kortikosteroid jangka
sedangkan penggunaan itrakonazol juga cukup
panjang pada stadium ini. Pada kelompok ini sering
menjanjikan dengan efek samping minimal dan dapat
ditemukan riwayat infiltrat berulang pada asma
ditoleransi baik. Rekomendasi penggunaan antijamur
sehingga sering diberikan terapi antibiotik dan kortikosteroid jangka pendek.
1-5,22
pada ABPA adalah sebagai tambahan jika kortikosteroid tidak efektif (corticosteroid sparring agent). Laporan
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
196
kasus juga menyebutkan penggunaan varikonazol 2,3,22,23
cukup memiliki potensi untuk terapi ABPA.
Protokol
terapi ABPA dapat dilihat dalam tabel 3.
1004–13. 8. Crameri R, Blaser K. Allergy and immunity to fungal infections and colonization. Eur Respir J. 2002; 19:151–7.
KESIMPULAN Allergic bronchopulmonary aspergillosis merupakan salah satu bentuk penyakit akibat Aspergillus fumigatus yang banyak ditemukan pada asma ataupun fibrosis kistik. Kondisi ini perlu dicurigai jika ditemukan perburukan gejala klinis, serum eosinofilia dan infiltrat baru pada pemeriksaan radiologis. Ditemukannya peningkatan serum total IgE, bronkiektasis sentral dan mucus plug pada HRCT meningkatkan kecurigaan ke arah ABPA. Patofisiologi yang mendasari ABPA adalah reaksi imunologis dengan ciri khas aktivasi eosinofil dan produksi IgE oleh karena itu penggunaan imunosupresi merupakan salah satu pendekatan terapi yang direkomendasikan. Penggunaan antijamur juga perlu dipertimbangkan sebagai corticosteroid sparring agent. Penemuan dini dan pemberian terapi lebih awal diharapkan dapat mencegah progresivitas penyakit, mencegah kerusakan parenkim paru lebih luas/ permanen dan mencegah penurunan fungsi paru.
DAFTAR PUSTAKA 1. Cockrill BA, Hales CA. Allergic bronchopulmonary aspergillosis. Annu Rev Med. 1999;50:303-16. 2. Agarwal R. Allergic bronchopulmonary aspergillosis. Chest. 2009;135:805-26. 3. Patterson K, Strek ME. Allergic bronchopulmonary aspergillosis. Proc Am Thorac Soc. 2010;7:237-44.
9. Banerjee B, Kurup V. Molecular biology of aspergillus allergens. Immunol Allergy Clin North Am.1998;18:601–18. 10. Balloy V, Chignard M. The innate immune response to Aspergillus fumigatus. Microbiol Infect. 2009; 11:919-27. 11. Knutsen AP, Chauhan B, Slavin RG. Cell-mediated immunity in allergic bronchopulmonary aspergillosis. Immunol Allergy Clin North Am. 1998; 18:575–99. 12. Kauffman HF, Tomee JFC. Inflammatory cells and airway defense against aspergillus fumigatus. Immunol Allergy Clin North Am.1998;18:619–40. 13. Murali PS, Greenberger PA, Kurup VP. Cytokines in allergic bronchopulmonary aspergillosis. Immunol Allergy Clin North Am.1998;18:681–94. 14. Novey HS. Epidemiology of allergic bronchopulmonary aspergillosis. Immunol Allergy Clin North Am.1998;18:641–53. 15. Agarwal R, Agarwal AN. Aspergillus hypersensitivity and allergic bronchopulmonary aspergillosis in patients with bronchial asthma: systematic review and meta-analysis. Int J Tuberc Lung Dis. 2009;13: 936–44. 16. Denning DW, O'Driscoll BR, Hogaboam CM, Bowyer P, Niven RM. The link between fungi and severe asthma: a summary of the evidence. Eur Respir J. 2006;27:615–26. 17. Rapaka RR, Kolls JK. Pathogenesis of allergic
4. Antunes J, Fernandes A, Borrego LM, Leiria-Pinto P,
bronchopulmonary aspergillosis in cystic fibrosis:
Cavaco J. Cystic fibrosis, atopy, asthma and ABPA.
current understanding and future directions. Med
Allergol Immunopathol. 2010;38:278-84.
Mycol. 2009;47:S331–7.
5. Soubani AO, Chandrasekar PH. The clinical
18. Moss RB. Allergic bronchopulmonary aspergillosis
spectrum of pulmonary aspergillosis. Chest. 2002;
and Aspergillus infection in cystic fibrosis. Curr Opin
121:1988–99.
Pulm Med.2010;16:598-603.
6. Riscili BP, Wood KL. Noninvasive pulmonary
Francxa AT, Kalil J. Allergic bronchopulmonary
30:315–35.
aspergillosis' diagnosis remains a challenge. Respir
7. Tillie-Leblond I, Tonnel A-B. Allergic bronchopulmonary aspergillosis. Allergy. 2005; 60:
197
19. Oliveira E, Giavina-Bianchi P, Fonseca LAM,
aspergillus infections. Clin Chest Med. 2009;
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
Med. 2007;101:2352–7. 20. Sarma PU, Banerjee B, Bir N, Kurup V.
Immunodiagnosis of allergic bronchopulmonary
of allergic bronchopulmonary aspergillosis. Mayo
aspergillosis. Immunol Allergy Clin North
Clin Proc. 2001;76:930–8.
Am.1998;18:525–47.
23. Walsh TJ, Anaissie EJ, Denning DW, Herbrecht R,
21. Lynch DA. Imaging of asthma and allergic
Kontoyiannis DP, Marr KA, et al. Treatment of
bronchopulmonary mycosis. Radiol Clin North
aspergillosis: Clinical practice guidelines of the
Am.1998;36:129–42.
Infectious Diseases Society of America. CID. 2008;
22. Vlahakis NE, Aksamit TR. Diagnosis and treatment
46:327–60.
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
198