AKU LANTIP, PRIAYI ITU Sapardi Djoko Damono Namaku Lantip. Dalam bahasa Jawa, lantip berarti cerdas, tajam otaknya. Aku memang diciptakan cerdas oleh Pak Ageng, tokoh yang berpendirian bahwa mangan ora mangan kumpul. Lha Pak Ageng itu siapa? Ia mungkin Mas Kayam, seorang yang serba bisa dan karenanya tidak jelas apa sebab begitu banyak yang telah dikerjakannya. Dan semuanya mendapat pujian. Tapi mungin juga bukan – tergantung dari teori apa yang ada dalam kepala kita. Jika ya, maka Mas Kayam telah menyebut dirinya priayi yang dihormati banyak pihak, terutama sekali Mister Rigen, pembantunya yang setia. Nama-‐nama pilihannya mengandung makna ganda ternyata: seperti juga namaku dan pembantunya itu, yang mengingatkan kita pada seorang presiden di negeri yang konon paling demokratik dan sekaligus berarti, dalam bahasa Jawa, pandai menyesuaikan yang tersedia dan yang diperlukan. Meskipun kami berada dalam dua dunia yang berbeda, aku meganggap pelayan itu saudaraku, orang kecil yang diciptakan sebagai punakawan yang sangat terampil dalam melayani para priayi. Bedanya mungkin adalah bahwa Mister Rigen hidup di dunia glenyengan sedang aku ditakdirkan menjalani hidup di dunia yang mirip risalah sosiologi. Tetapi berdasarkan hakikat dan dalam perkembangan dunia penciptaan, apa pula beda antara keduanya? Namun demikian begini. Kadang-‐kadang aku menyadari juga kedudukanku sebagai sejenis punakawan. Hanya saja, aku ini
punakawan siapa? Dan jenis yang mana? Apakah aku sebenarnya dewa yang turun di dunia, menyamar sebagai punakawan untuk menjadi mata-‐mata kayangan, atau punakawan yang diciptakan untuk sekedar bertugas menghibur penonton wayang. Tugas Mister Rigen lebih jelas, maksudku tugasnya sebagai punakawan dalam kolom koran, dunia rekaan Pak Ageng yang dahsyat itu. Ia juru hibur dan menjadi sasaran gendiran Pak Ageng. Dan sesuai dengan strategi yang sudah ditentukan, Mister Rigen tetap saja menjadi pembantu Pak Ageng; seperti yang diakuinya sendiri, sampai kapan pun dan apa pun yang dikerjakannya ia toh akan menjadi punakawan Pak Ageng dalam dunia glenyengan yang sangat mengasyikkan itu. Meskipun ia telah sukses menjalankan apa yang disebut Rigenomics, tandingan dari Reaganomics, strategi ekonomi di sebuah negera adikuasa. Sementara aku harus melewati, amit-‐ amit, gerakan vertikal dalam dunia risalah sosiologi. Lha anak penjual tempe saja kok disudutkan menjadi priayi, hanya demi – entahlah. Mas Rigen tidak pernah disebut punya nama lain, sedangkan namaku yang pertama – atau sejati? – adalah Wage. Aku heran kenapa namaku mesti diganti hanya karena Wage konon, setidaknya menurut si empunya cerita, terdengar ndeso. Bahkan aku sendiri pernah bilang bahwa nama Wage itu ndeso dan wagu. Yang menggelikan lagi, konon anak sekolah tidak pantas bernama Wage. Lho, iki kepriye; kan ada putri priayi agung yang diberi nama Senik atau Tumbu, jenis-‐jenis keranjang anyaman bambu. Ini gagasan yang diplintir atau apa? Ini sebenarnya masalah serius. Wage adalah
nama salah satu hari dalam kalender Jawa yang sepekan terdiri atas lima hari, yakni Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Paing. Di dunia embok-‐ ku, nama-‐nama hari itu ditetapkan sebagai nama orang sebab memudahkan ingatan. Dan biasanya dikatakan juga bahwa si Kliwon lahir ketika Gunung Merapi njeblug atau ketika nontran-‐ ontran zaman Jepang. Dan nama-‐nama itu diperlukan untuk menentukan weton, hari kelahiran yang sekaligus menentukan watak dan nasibku. Namaku bukan Rebo atau Setu, nama hari yang berasal dari Negeri Barat (ingat bahwa India, Arab, dan Eropa sama-‐ sama terletak di sebelah Barat), tetapi benar-‐benar dari dusun. Tetapi benarkah demikian, aku tidak begitu yakin juga; mungkin nama-‐nama hari pasaran itu berasal dari Barat juga. Tetapi alasan bahwa Wage adalah nama yang ndeso rasanya kok tidak begitu pas. Kita kenal Wage R. Supratman yang sama sekali tidak terkesan ndeso, bukan?. Tetapi baiklah, aku memang harus berganti nama ketika tampak ada akses ke dunia priayi. Agar perpindahan status ke atas itu ampak dramatik, dikatakan bahwa embok adalah seorang penjual tempe. Orang Jawa bangga sekali akan tempe, bahkan menganggap dirinya pencipta tempe, makanan yang membuatnya survive meskipun kehidupannya di bawah garis kemiskinan. Namun demikian, penjual makanan kebanggaan itu tetap saja dianggap rendah derajatnya, mungkin sekali bukan karena barang yang dijualnya tetapi karena cara menjualnya. Bagaimanapun konotasi makanan yang gurih itu jelek, buktinya oleh seorang presiden di
tahun 1950-‐an dan 1960-‐an kita sering disebut bangsa tempe, dengan konotasi negatif. Aku tidak tahu apakah dalam penamaan bangsa tempe itu sang presiden yang selalu muncul di depan khalayaknya mengenakan peci (untuk menyembunyikan botaknya?) menyiratkan juga daya tahan bangsa yang di masa pemerintahannya benar-‐ benar menderita karena, antara lain, diselenggrarakannya sejenis demokrasi, yakni yang terpimpin. Sebagai wong cilik, embok tentu tidak kenal demokrasi; tetapi ia jelas paham benar proses pembuatan tempe. Dan bagi orang Jawa yang suka saru, tempe bisa berarti juga anu, baik karena bentuknya maupun – dan terutama -‐-‐ karena bunyinya. Yang sampai sekarang menjadi pertanyaanku adalah kenapa embok hidup sebagai penjual tempe. Apakah ia penjual anu juga? Dan kalau memang demikian halnya, apakah aku mesti malu juga punya ibu demikian? Bukankah, konon, banyak orang yang suka menyaru? Mungkin ibu memang menjual tempe dan anu-‐nya sekaligus, dan dengan demikian bisa bergaul dengan para priayi yang memang mengenal benar cara hidup semacam itu. Buktinya aku, sampai akil balig, tidak diberi tahu ayahku siapa. Aku hanya diberi tahu bahwa lelaki yang menanamkan benih ke gua garba ibuku itu sedang pergi jauh, padahal ia ternyata bedhes, kecu, gentho, maling cecrekan dan sederet panjang umpatan yang konon dihapal oleh semua priayi terhormat. Ternyata beliau adalah pahlawan yang telah menanamkan benih seorang yang kemudian dikenal lantip seperti aku, dan yang konon gugur dalam menjalankan tugasnya sebagai kecu. Ternyata ayahku adalah Gus
Sunandar, priayi yang ibunya kawin dengan seorang petani miskin. Jadi, kalau ada perempuan priayi kawin dengan petani miskin, anaknya harus menjadi kecu, anak buah tokoh legendaris yang bernama Samin Genjik. Lha ini kan sesuai juga dengan prinsip yang ada dalam sejumlah babad atau dongeng atau legenda orang Jawa, meskipun hubungan antara kepala kecu itu denganku tidak langsung. Aku selalu merindukan pahlawan itu meskipun tidak pernah secara jelas diceritakan demikian oleh Pak Ageng. Sebagai manusia yang tahu bahwa bayi tidak bisa lahir hanya dari perempuan tanpa laki-‐laki, tentu aku menjadi gelisah juga oleh pertanyaan seputar siapa sebenarnya ayahku. Aku, dalam dunia risalah sosiologi itu, tidak pernah mengalami goncangan jiwa yang disebabkan oleh rentetan pertanyaan seputar siapa gerangan ayahku. Mungkin karena kesibukanku mengurus perpindahan status dari anak penjual tempe menjadi anak angkat Ndoro Guru, seorang priayi yang konon juga berasal, masyaallah, dari kalangan pidak pedarakan? Apakah aku dianggap malu mempunyai ayah gentho atau kecu? Kenapa mesti malu? Bukankah ayahku itu, meskipun bajingan, masih tergolong priayi? Apa priayi tidak punya hak menjadi bajingan? Aku curiga, jangan-‐jangan akses ke dunia priayi itu terbuka bagiku karena orang tua angkatku tahu bahwa aku sebenarnya anak priayi juga, meskipun sekaligus juga seorang gentho. Lha kalau memang begitu keadaan senyatanya, sebenanrnya kan tidak terjadi apa yang dinamakan perpindahan status itu. Tapi, sudahlah.
Namun, mungkin sekali jalan hidupku memang diatur sedemikian rupa sehingga aku harus dianggap menanggung malu kalau dihubung-‐hubungkan dengan ayahku. Karena beliau tidak bertanggung jawab atas perbuatannya, yakni menghamili seorang penjual tempe, beliau pun minggat – dan karenanya aku diciptakan sebagai anak jadah, anak haram, lembu peteng. Aku suka berpikir begini. Siapa tahu semua tokoh sejarah yang di zaman lampau menguasai Tanah Jawa ini juga lembu peteng? Ken Angrok, Raden Wijaya, Damarwulan, Raden Patah, Ki Ageng Pemanahan, dan bahkan ada presiden di zaman Republik ini – mungkin sekali memang lembu peteng. Mungkin diam-‐diam orang Jawa berpikir bahwa wibawa, keperkasaan, kecerdasan, dan segala sifat ksatria hanya bisa dimiliki seorang lembu peteng. Orang yang akhirnya harus bertanggung jawab kepada kesejahteraan rakyat harus memehami betul masalah wong cilik, dan hal itu hanya bisa terlaksana lewat “proses” kelahirannya sebagai lembu peteng atau berpegang pada motif penyamaran. Dalam hal ini ada sejumlah kstaria pewayangan, ada sejumlah jenis Raden Panji, dan ada Den Hardo – itu lho, saudaraku yang diciptakan Pram. Kalaupun itu semua pikiran ngawur, tetap saja aku bangga akan ayahku dan diriku sendiri: beliau seorang ksatria yang menyamar sebagai anak penjual tempe dan sekaligus sebagai lembu peteng. Aku aslinya wong ndeso, sementara Ndoro Guru dan istrinya priayi. “Meskipun priayi, tidak terlalu jauh membuat jarak dengan kami.” Kami ini wong ndeso yang diciptakan untuk menyuarakan gagasan itu. Itu kan menyiratkan bahwa bagaimanapun masih saja
ada jarak antara kami (sebagai punakawan?), dan ndoro kami, seorang mantri guru. Kami tetap saja wong ndeso dan guru itu ya ndoro. Kami juga menyadari bahwa berada beberapa tingkat di bawah keluarga Ndoro Guru. Tentu bukan karena mereka kaya dan kami miskin, tetapi karena mereka “terpandang” dan kami entah apa. Tetapi terpandang atau tidak, kami tetap saja miskin meskipun dalam berbagai kasus yang menyangkut sejumlah wong cilik dalam dunia ciptaan Pak Ageng ini sama sekali tidak tersirat atau tersurat kesengsaraan yang berlebihan karena kemiskinan kami. Kami bukan kaum proletar yang oleh Pak Ageng ditugasi melakukan perlawanan terhadap kaum borjuis atau kaum modal yang menekan kami. Dunia kami jauh dari itu. Dengan demikian kami tetap wong cilik dan Noro Guru tetap saja priayi yang tak perlu gentar menghadapi kaum proletar. Kalau tegangan yang tidak hiruk-‐pikuk semacam itu tidak terus dijaga oleh Pak Ageng, perjalanan hidupku tentulah tidak begitu bermakna ditinjau dari perspektif mobilitas vertikal. Maaf, aku bukan sosiolog seperti Pak Ageng, tetapi aku kan sudah terlanjur lantip. Perihalku itu juga kira-‐kira sama dengan yang harus dijalani ndoro-‐ku, seorang yang memiliki akses ke dunia priayi lewat pendidikan sehingga diangkat menjadi seorang guru bantu. Pendidikan dan kepriayian ternyata sejalan, demikian setidaknya (mungkin) menurut Pak Ageng. Begitu menerima beslit sebagai guru bantu, ia resmi dianggap masuk ke kalangan priayi. Masalah seputar nama dirinya lebih dahsyat lagi. Oleh Ndoro Seten, embok-‐nya disuruh memberinya nama Sudarsono. Dan, meskipun merasa shock
lantaran nama itu bukan nama ndeso, ibunya kok ya akhirnya menerima anjuran itu, meskipun tetap merasa bahwa nama itu terlalu berat bagi wong cilik. Rupanya priayi mahabaik yang pernah sangat tersinggung kehormatannya karena kepalanya, mustaka-‐ nya, pernah kena tempeleng Jepang itu memang dipersiapkan untuk menjadi galih dari suatu keluarga besar yang mendasari dongeng Pak Ageng ini. Untung saja ia tidak jadi dinamakan Ngusman atau Ngali, nama-‐nama yang sesuai dengan nama ayahnya, Kasan. Ya tentu aku senang juga, sebab tanpa nasib beliau yang sedemikian itu mana bisa aku bergerak vertikal. Mungkin kalau namanya Ngali, misalnya, namaku akan tetap saja Wage – dan dengan nama-‐nama itu tentunya kami tidak perlu merasa dibebani oleh tugas-‐tugas kepriayian yang ruwet hubungan-‐hubungan antarmanausianya. Lha, ternyata aku juga sudah masuk ke dalam dikotomi priayi-‐wong cilik yang melibatkan nama, pendidikan, dan, amit-‐amit, kolusi. Betapa tidak, Ndoro Guru itu menjadi schoolopziener karena bantuan Ndoro Seten, kan? Dan pada dasarnya berbagai jenis kolusi itulah yang menyebabkan lancarnya proses menjadi priayi. Tetapi ia sadar betul bahwa, sesuai pesan orang tuanya, tetap ada jarak antara mereka dan dunia priayi Ndoro Seten. Meskipun Ndoro Guru disebut priayi juga. Buktinya ketika ia akan dinikahkan, orang tuanya bilang, “Kita juga harus tampil gagah, meski kita cuma petani saja. Dan jangan lupa, yang akan kita jual itu kowe, Le. Seorang priayi juga.” Kepriayian ternyata bisa juga diperjualbelikan oleh petani – “meski cuma petani saja.”
Aku suka merindukan ayahku. Ia konon minggat karena tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, yang – tentu tak diketahuinya – telah menghasilkan seorang priayi terhormat. Dan dalam perjalanan hidupku selanjutnya, aku akhirnya harus memahami juga bahwa minggat bukanlah suatu perbuatan yang nista. Sama sekali bukan. Eyang Kusumo, priayigung yang menjalani hidup sesuai dengan motif pengembaraan dan, mungkin, penyamaran juga suka minggat begitu saja dari tempatnya mondok, tanpa pamit. Dan kebiasaannya itu dianggap wajar saja sebab rupanya sesuai dengan perangai priayi pengembara. Ah, seandainya saja jalan hidupku sejalan dengan Eyang Kusumo! Bayangkan, jadi burung yang terbang bebas ke sana ke mari dan hinggap di mana saja yang ia suka, lalu terbang lagi kalau sudah bosan. Bayangkan, jadi bas kethoprak – ya meskipun gagal. Apakah wong cilik berhak bebas seperti Eyang Kusumo. Kalau beliau bisa menjadi bas kethoprak maka kemungkinan besar kami hanya berhak jadi pemain. Kethoprak adalah dunia rekaan yang dahsyat, tempat kami menyaksikan kisah hidup para priayi sambil sekaligus menyadari tempat kami di bumi. Mungkin karena itulah ia gampang sekali berpindah-‐pindah channel, mulai dari yang lesung sampai yang humor. Seandainya Eyang Kusumo dilahirkan sebagai Timbul, kabudayan orang Jawa pasti benar-‐benar menjadi sebuah tradisi – sesuatu yang tidak mandhek tetapi merupakan suatu proses yang terus berkelanjutkan berkat imajinasi dan kreativitas. Apakah kami ternyata dihidupkan dalam dunia kethoprak? Tentang hal ini aku akan mendiskusikannya dengan
klangenan Pak Ageng yang lain, yang jauh lebih kondhang dari kami, yakni Mbak Bawuk dan Bu Sri Sumarah. Tapi itu memerlukan waktu khusus yang untuk kali ini belum tersedia. Dan sebagai lembu peteng cum priayi aku membayangkan, seandainya Pak Ageng masih sugeng, beliau tentu akan menatapku tajam-‐tajam sambil bertanya, “Paham?” Depok, 15 April 2003