AKTUALISASI TRADISI MANDI KASAI ADAT PERNIKAHAN KE DALAM NASKAH DRAMA; SOLUSI PENGEMBANGAN KREATIVITAS PELESTARIAN BUDAYA LOKAL (Disampaikan dalam Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah IndonesiaIKABUDI VI Komisariat Lampung)
Oleh : Dr. Rusmana Dewi, M.Pd Dosen Tetap Yayasan pada STKIP PGRI Lubuklinggau
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk mengaktualisasikan Tradisi Mandi Kasai Adat Pernikahan ke dalam Naskah Drama; Solusi Pengembangan Kreativitas Pelestarian Budaya Lokal. Rumitnya rangkaian acara, dan memakan banyak waktu, serta pengaruh arus globalisasi yang serba praktis, membuat tradisi pernikahan ini makin tergerus. Dengan mewujudkan tradisi mandi kasai ke dalam bentuk naskah drama, merupakan alternatif pelestarian budaya daerah. Sesuai dengan warnanya naskah drama tradisional maka mengandung unsur pantun, rejung, senjang, mantra dengan harapan, tradisi ini dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk bahan ajar bermuatan lokal, materi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang berkaitan dengan penulisan naskah drama tradisional, maupun mata pelajaran Seni Budaya. Dengan terwujudnya naskah drama berangkat pada tradisi pernikahan yang ada di Kota Lubuklinggau, tidak saja mengenalkan nilai-nilai budaya kepada generasi muda, namun juga menjadi salah satu solusi melestarikan budaya lokal khususnya di kota Lubuklingau sebagai kekayaan budaya Nusantara.
Kata Kunci : Tradisi Mandi Kasai, Drama, Pelestarian Budaya Lokal.
PENDAHULUAN
Salah satu budaya yang perlu dipertahankan sekaligus dilestarikan adalah tradisi. Di dalam KBBI dijelaskan tradisi /tra·di·si/ n 1. adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; 2. penilaian atau anggapan bahwa caracara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Bukan suatu hal yang baru, menilik arus globalisasi mengakibatkan banyak kearifan lokal sebagai cikal bakal budaya yang pernah tumbuh di negeri ini lambat laun pupus, bahkan hilang sama sekali. Banyak generasi tidak kenal dengan identitas kearifan lokalnya. Tak ketinggalan kearifal lokal yang ada di Sumatera Selatan ini. Misalnya kearifan lokal sastra lisannya; rejung, mantra, cerita rakyat, pantun, lagu daerah (rakyat-no name). Selanjutnya permainan rakyat, tari tradisional, tari ritual, bahkan etika budaya persedekahan, lamaran, nikahan, syukuran dan lain sebagainya yang berkembang di kalangan masyarakat zaman dahulu lambat laun ditinggalkan masyarakatnya. Di Lubuklinggau, salah satu tradisi pernikahan yang pernah ada, dan mulai ditinggalkan masyarakatnya ialah tradisi mandi kasai. Mandi kasai yaitu mandi yang dilaksanakan oleh pengantin usai pernikahan atau persedekahan. Mandi kasai dilaksanakan petang hari, dengan berbagai ritualnya, dan harus dilakukan di sungai (air lalu). Selanjutnya, bagaimana aktulaisasi tradisi mandi kasai adat pernikahan ini ke dalam naskah drama sebagai solusi pengembangan kreativitas pelestarian budaya lokal. Sesuai dengan tujuannya naskah drama untuk mengatualkan sisi tradisi ke dalam bentuk naskah drama. Untuk dapat mengatualisasikannya dalam bentuk naskah drama tentu saja membutuhkan pemikiran kritis sehingga bisa dikemas menjadi sebuah peristiwa yang sedikit banyak tidak berbeda dengan budaya yang terjadi pada zamannya. Endraswara (2011:16) menyatakan drama hadir atas dasar imajinasi teradap hidup kita. Inti drama, tidak terlepas dari sebuah tafsir kehidupan. Bahkan apabila dinyatakan drama sebagai tiruan (memitik) terhadap kehidupan juga tidak keliru. Detil atau tidak dia berusaha memontret kehidupan secara imajinatif. Tujuannya untuk mewujudkan tradisi mandi kasai ke dalam bentuk naskah drama, merupakan alternatif pelestarian budaya daerah. Produk yang dihasilkan berupa naskah drama yang mengandung satra lisan; pantun, rejung, senjang, mantra, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk bahan ajar bermuatan lokal, materi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang berkaitan dengan penulisan naskah drama tradisional, maupun mata pelajaran Seni Budaya.
Tradisi Mandi Kasai Mandi Kasai, adalah salah satu rangkaian tradisi penikahan adat Kota Lubuklinggau, yang memiliki tatacara ritiualnya.
Biasanya mandi kasai dilaksanakan sore hari, usai
persedekahan. Mandi kasai maksudnya untuk membersihkan lahir batin kedua pengantin, agar malam pertama mereka penuh berkah. Biasanya rangkaian acara akan dipimpin oleh pemangku/adat perkawinan yaitu gindo/ penggawa (perangkat dusun), Tiang Kule (juru kule/ pembicara khusus), Tue Batin (orang tua-tua lelaki yang mengiringi di belakang Tiang Kule) khusus mengetuai pekerjaan/ pihak laki-laki, Tue Bayan (perempuan mengetuai pekerjaan khusus bidang perempuan). Bnoyan (perempuan yang dituakan setingkat Tiang Kule) . Tue Bujang (khusus mengetuai urusan remaja laki-laki). Tue Gadis
(khusus mengetuai urusan
remaja perempuan). Dukun Bayan (Dukun khusus mengatur ritual pengantin). Sebagaimana upacara pada umumnya, ada alat-alat yang diperlukan dalam kegiatan upacara adat mandi kasai berkaitan dengan alat-alat tradisional yang yang disakralkan yaitu berupa benda pusaka.
Maka ketika ritual dilaksanakan akan dikeluarkan alat-alat yang
diperlukan antara lain yaitu: pusaka penunggu dusun (dalam bentuk keris), talam (nampan kuningan), kain tenun tiga warna, selendang rebang, bedong (pending/ikat pinggang) dari kuningan/ tembaga/suasana, deda (ikat kepala/gandik/mahkota) dilengkapi dengan sumping, dan peralatan perhiasan khas daerah, seperti gelang, kalung. Peliman, mangkuk langer, payung berjumbai-jumbai, tikar puar. Selendang pelangi, kain songket, pakaian pengantin, pakaian raja, pakaian penari (sesuai jenis, dan untuk laki-laki/perempuan). Alat-alat tetabuan; terbangan, gendang panjang, gong, ketipung, tetawak, kenong, saron, genggong, turing, rebab, biola, keromong duabelas, tambur jidor (tamjidor), serdam tipak tujuh. Beras kunyit, pisang emas, jeruk purut, jeruk nipis, kelapa muda, ayam hidup, ayam punjung, telur ayam, wewangian, kembang tujuh warna, daun pandan, akar wangi, daun setawar sedingin, kemenyan ulung, bedak seribang gayau (bedak seri gayu/bedak beras), tembakau, rokok siong, pincuk daun pisang (mangkuk wadah nasi), kunyit. Bubur abang, bubur putih. Mandi kasai, biasanya dilaksanakan usai pernikahan. Maka menjelang malam pertama pengantin wajib dimandikan terlebih dahulu. Mandi dengan berbagai riytualmya inilah yang disebut mandi kasai atau penyucian/pembersihan lahir batin sebelum “campur”, selanjutnya nikah adam,
artinya menikah secara adat. Setelah nikah adam, maka pengantin baru
dinyatakan resmi menjadi suami istri.
Aktualisasi Mandi Kasai dalam Naskah Drama
Berbicara aktualisasi mandi kasai ke dalam naskah drama, maka tidak lepas berbicara tentang mewujudkan rangkaian tradisi mandi kasai sesuai dengan
struktur drama.
Endraswara (2011: 21) membagi struktur drama yang baku yaitu; pertama, ada babak yang akan membentuk keutuhan kisah kecil, lengkap dengan petunjuknya. Kedua, adegan. Setiap babak biasanya akan dibagi-bagi menjadi beberapa adegan yang dibatasi oleh perubahan peristiwa. Ketiga, merupakan bagian yang sangat penting dan secara lahiria membedakan sastra drama dengan jenis fiksi lainnya. Keempat, prolog. Sebagaimana prosa maka drama pun mengenal bagian awal, tengah dan solusi serta peleraian. Prolog dalam drama tidak terlalu dianggap penting. Prolog biasanya bagian naskah yang ditulis pengarang pada bagian awal yang memuat pengenalan pemain. Kelima, epilog. Yaitu penutup drama yang biasanya cukup disampaikan oleh pembawa acara atau narator di belakang panggung. Untuk membuat naskah drama yang menarik, makaharus ada konflik. Menjadikan naskah yang menarik itu menjadi pertimbangan yang dapat melibatkan berbagai macam karakter elemen masyakat: ada kepala adat, tokoh pemuda, orang tua, saudara laki-laki yang menjadi penjaga dalam keluarga, dan lain sebagainya. Naskah harus mampu menunjukkan karakter tokoh yang kuat untuk menekankan perannya sebagai bagian dari waarga dan masyakarat sekaligus menggambarkan kekuatan masyarakat dalam menjaga adat. PEMBAHASAN Aktualisasi mandi kasai menjadi naskah drama, artinya memasukkan berbagai unsur yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat pada zamannya. Misalnya memasukan unsur tari tradisionalnya, lagu daerah, rejung, pantun, senjang, mantra, dan lain-lain menjadi laut/plot naskah. Lalu memasukan unsur pepatah, nasehat, kata bijak tradisional, sebagai bagian dari doalog, menafsirkan berbagai properti tradisional meski tersirat dalam naskah, termasuk juga memasukkan unsur musik tradisinya. Secara
etimologi drama berasal
dari bahasa Yunani dram berarti gerak, yang
menojolkan percakapan (dialog) dan gerak-gerak para pemain (akting) di panggung. Yang memeragakan cerita yang tertulis di dalam naskah (Wiyanto.2012:1). Pementasan naskah drama dikenal dengan istilah teater. Tujuannya sebagai bentuk tontonan yang mengandung cerita yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Selanjutnya hal yang diceritakan adalah kisah hidup manusia dalam masyarakat yang diproyeksikan ke atas panggung. Seni pertunjukan ini tidak terlepas pada naskah. Naskah drama adalah karya fiksi yang memuat kisah atau lakon. Sebagaimana diungkapkan Edraswara (2011: 36) bahwa naskah
drama adalah kesatuan teks yang memuat kisah; part teks, artinya ditulis sebagian besar saja atau garis besar cerita, biasanya untuk pemain yang sudah mahir, selanjutnya full teks dengan penggarapan komplet meliputi dialog, monolog, karakter, iringan dan lain sebagainya. Selanjutnya dijelaskan naskah yang lengkap terdiri atas babak dan adegan-adegan. Ada beberapa kategori naskah pentas, yaitu : a) Naskah yasan, artinya teks drama yang sengaja diciptakan sejak awal sudah berupa naskah drama. Naskah semacam ini biasa ditulis oleh seorang sutradara. b) Naskah garapan, artinya teks drama yang berasal dari olahan cerita prosa atau puisi diubah ke dunia drama. Biasanya penggarapan naskah terikat oleh jalan cerita sebelumnya. sehingga bagian kecil saja yang diubah. Hal ini memang lebih mudah. Sebab penggarap tidak perlu berimajinasi dari awal. c) Naskah terjemahan artinya naskah yang berasal dari bahasa lain, diperlukan adopsi dan penyesuaian dengan budanyanya (Endraswara. 2011: 37). Berdasarkan pandangan di atas, artinya segala bentuk sosial kehidupan manusia dapat diproyeksikan ke dalam bentuk naskah drama.
Selanjutnya bagaimana memproyeksikan
secara aktual tradisi ke dalam naskah drama? Terutama tradisi mandi kasai yang memiliki etika tersediri pada masyarakatnya. Naskah Drama Tradisional Mandi Kasai NASKAH DRAMA TRADISIONAL SELINDANG KONENG (Ritual Mandi Kasai)
Sinopsis Kisah berawal pada persedekahan anak Penggawe Renop, di dusun Batu Urip Dalam. Masyarakat menyambut dan membantu persiapan persedekahan dengan gembira. Demi mengangkat adat dusun, Penggawe Renop, mejojo calon menantunya yang berasal dari pulau seberang. Satar Ali, anak Penggawe Renop, menentang untuk mandi kasai. Panjangnya rangkaian ritual membuat Satar Ali tidak sabar. Rangkaian adat dianggapnya hanya mempersulit dan mengada-ada. Dengan sabar, akhirnya Umak dan pemangku adat berhasil membujuk Satar Ali. Akhirnya Satar Ali mematuhi keinginan adat di dusunnya. Ritualpun dilaksanakan, diikuti masayarakat dengan antusias. Namun sungguh tidak di duga, pengantin wanita tiba-tiba tidak sadarkan diri. Kegembiraan menjadi ricuh. Simpang siur pendapatpun muncul. Pemicu musibah karena sebelumnya Satar Ali yang telah menentang adat . Pengantin wanita meninggal dunia. Dusun Batu Urip Dalam berduka. BABAK 1 Setting Panggung menggambarkan sebuah perkampungan yang ramai. Masyarakat sangat antusias menyambut perkawinan Satar Ali, anak lelaki Penggawe Renop. Kesibukan terlihat di sana-sini. Bujang gadis, orang tua, anak-anak, bercengkrama dengan akrabnya. Beberapa gadis menari rodet dengan gembira.
Rejung: Seriti terbang mealai-alai Tekukur makan unjung padi Tradisi adat mandi kasai Ini royat jak dusun kami Ayam bekokok di pucuk kandang Kandang jak di boloh betung Ngandon ke sikak bukan nak tendang Nak bebagi cerite aghai teang NARATOR Menjelang akhir sedekahan pemangku adat sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mandi kasai. Namun tidak disangkah, Satar Ali menentang ritual mandi kasai ini. Hal ini
membuat umaknya panik. Bagaimana tidak, sebagai orang beradat ritual harus terlaksana. Pantang mengangkat amparan padi ketika tikar baru tegelar. (Teaterikal : panggung menggambarkan suasana sedikit kacau. Semua terpukau melihat Satar Ali yang menolak ritual. (Sound efeck sedikit menyayat) Satar Ali
Ai..alangkah banyaknya mecam a, Mak? Nembay nak mandi kasai-mandi kasai ian? Jeman mak kak lah beubah. Lah modern, Nembay nak belek ngan jeman bilek? Umak Tapi ini adat istiadat dari nenek moyang kita dulu, nak, kalau bukan kita siapa lagi yang akan melestarikan adat kita? Satar Ali
Oii ..Mak, Kemane nak delak hagela macam tiko, mangkuk langer, peliman, sumping, sadengen, bakul, kain lasem, halendang…aiii…aiii…kah benyak macamtu. Ah, aku enggan! Kumalu mandi besimbur-simbur ngan wang benyak.! Umak Jengan benyak resan, nak, nurutlah kate wang tue. Satar Ali
Oi Umak..Umak, telo belango, kain tanjung, kopiah, keris, papaj, col gi jeman mak kak. Cukuplah jeman Umak ngan Bak dulu . Nembah keje be. Pokok’a ku enggan! Pemangku Adat Satar Ali, tiko pughun lah tebentang, jemo padi pantang diangkat. Sanak sedulur lah bekumpul, nak ngelek bujang nak kayo mandi. Segela doa lah bepanjat Satar Ali. Dak akan detang angin ke payeh, kalu kite ade di gunung, dak akan detang sedusun raye, kalo bukan adat bejunjung. Reti’a, adat ttap adat anak lanang, jengan ngah lupe warisan nenek moyang kite. Satar Ali
Ah, umak ngan Wak Pemangku Adat kak, hame bae. Kuno!!! Tarian: pelan-pelan musik sedikit menghentak, mengantarkan pada etnik berpower. Beberapa gadis muncul, menari dengan gerakan-gerakan gembira. BABAK 2
Narator Akhirnya, Satar Ali mengalah juga. Pemangku adat (pelara) bersama tuo bujang dan tuo dere, menuntun pengantin ke tepi sungai. Arak-arak sepanjang jalan, dan teriakan pelara memecah
suasana. Sepasang pengantin didudukan di atas tikar. Pemangku adat (pelara), memberikan petuah dan membaca mantra lalu malanger sepasang pengantin. Usai dilanger, sepasang pengantin digiring ke dalam sungai diikuti Pemangku adat (pelara). Mandi besimbursimburan penuh kegembiraan. Teaterikal :Pemangku adat (pelara) melaksanakan ritual balanger; Bismillahi Rahmanir Rahim meghaan Muhammad, meghaan Sulaiman, meghaan Mariam, umban di bumi, umban dipemadian Humm…sepasang pengantin luk peri bidadari, meghaan luk dewa dewi. Tangge ke langit, tangge ke serge, tangge segale tangge, tiaktiak serasan , Segiring, sepaut, sereasan. Bismillah…. Bujang empat poloh lah kumpul Gades empat puluh lahtah undak Lepaslah penguluh bujang Lepaslah penguluh gadis Die seagok tunggal kate Die sekete tunggal bese Bismillahi Rohmanir Rahaim.. Teaterikal simbur-simburan Pengantin dan penonton yang berada di darat turut basah dan gembira dalam acara simbur-simburan tersebut. Pemangku Adat Oiii…aghai lah petang, pengantin lah udem mandi. Pemangku adat (pelara)kembali membimbing pengantin bersama tua bunjang dan tua gadis. Sepasang pengantin digantikan pakaian pengganti. Kain lasem, rambut disanggul, rebang kain dililitkan. Sepasang pengantin di suruh makan sirih dan pemasangan sumping lalu saling menyuapi. Diikuti mantra Pemangku adat (pelara) Paye kundu merela naik Soring endak numtai dendam rindu Ndak rinjek di sedepa Nak mantap dikandung ibu Jangan ngah ilang ditengah malam Jangan hilang di tengah duka Kur hamangat nga anakku (Beberapa gadis menari. Tari ritual menggambarkan kesepakatan dan doa untuk kedua mempelai agar rumah tangga mereka menjadi rumah tangga yang dama). Narator Empat puluh bujang dan gadis adalah lambang keangungan sekaligus pelepasan masa berakhirnya masa lajang bujang dan dere. Selanjutnya mereka akan menjalankan rumah tangga mereka penuh berkah dan doa. Namun, tiba-tiba mempelai wanita terjatuh. Semua menjadi panik. Ada yang mengatakan ini karena Satar Ali telah menolak ritual sebelumnya. Ada juga yang mengatakan bahwa ritual tidak diterima. Satar Ali menjerit histeri, mengetahui istrinya sudah tak bernyawa.
Teaterikal Penduduk panik , Satar Ali menjerit histeris, mengguncang-guncang tubuh istrinya yang telah kaku. Semua bergesah membawa/membopong pengantin wanita ke dusun. Tarian Beberapa penari menggambarkan warna duka (kematian). Diikuti musik etnik dan lagu menyayat. Panggung sepi kembali. TAMAT
SIMPULAN Sebagai insan kreatif, banyak tradisi yang dapat diaktualkan dalam bentuk karya sastra apa saja. Aktualisasi mandi kasai, hanyalah secuil tradisi yang telah ditinggalkan oleh masyakatat Lubuklinggau dan sekitarnya. Jika tidak dideskripsikan sebagai macam-macam tradisi dan budaya daerah, atau mengubahnya dalam bentuk karya yang lain, maka tidak menutup kemungkinan, masa yang akan datang anak cucu tidak mengenal bahkan tidak tahu sama sekali jika di daerahnya ada sistem adat yang memiliki nilai-nilai luhur, sarat dengan ajaran moral dan etika. Di samping itu, naskah drama yang merangkat pada tradisi memberikan sebagai peluang untuk berkarya
masyarakat, dapat
pada penulis, budayawan, pelaku seni,
pengamat budaya, pelajar, mahasiswa, guru dan dosen, sebagai bentuk kreativitas yang bisa dikembangkan. Pada kahirnya, karya-karya ini, dapat dijadikan sebagai materi ajar bagi guru dan dosen, berkaitan dengan seni budaya dan sastra daerah. Dengan demikian, kita telah membantu mengabadikan (mencatat) sisi kecil tradisi yang dinamis, yang pernah tumbuh sebagai kekayaan budaya lokalitas dan kekayaan budaya Nusantara.*** DAFTAR PUSTAKA Arifin. Max. 1980. Teater Sebuah Perkenalan Dasar. Flores: Nusa Indah Darwis, Sapda Prijaya. 2007. Tata Cara adat Perkawinan SukuBangsa Linggau di Sumatera Selatan. KPKPNB Sumsel. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ed. Ke-4). Jakarta. PT Gramedfia Pustaka Utama. Eka D. Sitorus. The Art of Acting. Seni Peran untuk Teater, Film & TV.Jakarta: Gramedia Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Epistomologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress. -------, 2011. Metode Pembelajaran Drama. Apresisi, Ekspresi, dan Pengkajian. Yogyakarta: Buku Seru Wiyanto, Asul.2002. Terampil Bermain Drama. Jakarta: Grasindo.