AKTUALISASI NILAI-NILAI LUHUR PANCASILA DALAM UPACARA MELASTI PETIRTAN JOLOTUNDO DI KECAMATAN TRAWAS KABUPATEN MOJOKERTO
Dwi Chahyawati, Suwarno Winarno, dan I Ketut Diara Astawa Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected] ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: latar historis Upacara Melasti di Petirtan Jolotundo, prosesi dan makna simbol yang dipergunakan dalam Upacara Melasti, kesesuaian makna simbolik dalam Upacara Melasti dengan aktualisasi nilainilai luhur Pancasila, persepsi masyarakat tentang prosesi dan makna Upacara Melasti, serta prospek prosesi Upacara Melasti sebagai pengembangan wisata di Jolotundo Kecamatan Trawas. Metode dalam penelitian ini adalah kualitatif. Temuan penelitian menunjukkan bahwa (1) Latar historis Upacara Melasti di Petirtan Jolotundo karena jemaat Hindu mempercayai bahwasannya Petirtan Jolotundo merupakan sumber mata air suci yang dapat meleburkan segala kotoran baik kotoran dunia (bhuwana agung) dan kotoran yang ada pada diri manusia (bhuwana alit) yang merupakan peninggalan dari raja Airlangga. (2) Prosesi Upacara Melasti terdiri dari tiga tahapan; tahapan persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Unsur yang harus ada pada sarana Melasti, antara lain: bunga, kewangen, api, air, bija, sirih, kapur, tebu, telor itik, uang, beras, rampe, kelapa, itik, ayam. (3) Kesesuaian makna simbolik dalam Upacara Melasti dengan aktualisasi nilai-nilai luhur Pancasila tidak ada yang bertolak belakang, makna simbolik upacara Melasti semuanya tetap berjalan pada koridor dan nilai-nilai Pancasila. (4) Persepsi masyarakat tentang prosesi dan makna Upacara Melasti di Petirtan Jolotundo hampir semua masyarakat dapat menerima dengan baik pelaksanaannya. Justru dengan adanya Melasti banyak masyarakat sekitar yang diuntungkan. (5) Prospek prosesi Upacara Melasti sebagai pengembangan wisata di Petirtan Jolotundo akan terus terjaga kelangsungannya mengingat upacara Melasti sudah ada sejak tahun 1990 hingga saat ini. Kata Kunci: Aktualisasi Nilai Luhur Pancasila, Upacara Melasti
Negara Indonesia merupakan negara yang berpaham monoteisme. Ada enam agama yang diakui di Indonesia yaitu: Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Konghucu. Dari ke enam agama tersebut, Hindu merupakan agama yang terkenal kaya akan corak budayanya. Umat Hindu sering melaksanakan 1
ritual keagamaan secara simbolis yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Umat Hindu atau biasanya disebut umat Hindu Dharma berkeyakinan bahwa Agama Hindu yang mereka anut berasal dari Sang Hyang Widhi yang diturunkan ke dunia dan pertama kalinya berkembang di sekitar sungai suci Sindu (Parisada Hindu Dharma, 1967:8). Tujuan Agama Hindu adalah untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidup. Di dalam pustaka suci Weda tertulis bahwa agama atau dharma ialah untuk mencapai moksa dan mencapai kesejahteraan hidup makhluk. Moksa disebut juga “mukti” yang berarti mencapai kebebasan jiwa atau kebahagiaan rohani yang abadi. Selayaknya rumah yang memiliki kerangka bangunan, Agama Hindu pun mempunyai kerangka dasar yang berjumlah tiga yaitu: Tatwa (filsafat), Susila (etika) dan Upacara (ritual), (Parisada Hindu Dharma, 1967:8). Sampai sekarang Agama Hindu tetap berkembang di Indonesia, salah satunya di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Sudah lebih dari dua periode tempat tersebut dijadikan sebagai pelaksanaan upacara umat Hindu, khususnya Upacara Melasti. Walaupun masyarakat Desa Seloliman mayoritas memeluk Agama Islam, namun masyarakat tetap toleransi terhadap pelaksanaan upacara umat Hindu yang datang dari luar Desa Seloliman. Mereka menyambut dengan baik pelaksanaan upacara umat Hindu, bahkan ikut berpartisipasi dalam hal penjagaan keamanan selama upacara berlangsung. Setiap perayaan hari raya, umat Hindu akan melaksanakannya melalui upacara atau ritual yang diartikan sebagai alat pensucian jiwa. Hari raya Nyepi memiliki beberapa rangkaian upacara, antara lain Melasti, Tawur Agung, Pangrupukan, Catur Brata dan Ngembak Geni (Pendit, 2001:43—46). Upacara melasti dilaksanakan dua hari sebelum hari raya Nyepi. Inti upacara ini adalah pembersihan bhuwana agung (makrokosmos) baik dari diri manusianya atau dari alam semesta beserta isinya serta mencari air kehidupan untuk mensucikan diri (yang salah satunya air suci Jolotundo) serta untuk menghancurkan segala sifat buruk. Mengingat dasar filsafat negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, semua penganut agama yang beragam di Indonesia mengakui bahwa Pancasila sesuai dengan jiwanya, perasaannya, pandangan hidupnya. Tidak ada di antara penganut agama yang merasakan adanya jurang pemisah antara Pancasila dengan agama yang 2
dianutnya. Kedudukan Agama Hindu di dalam Pancasila adalah jelas, faktanya bahwa kehidupan beragama dibawah naungan Pancasila di Indonesia bukan merupakan perlakuan yang menganaktirikan suatu golongan pendukung agama minoritas (Dekker dan Penjarikan, 1972:8). Pancasila dengan tegas mengakui beragam agama yang ada di Indonesia serta memberikan stimulus yang positif kepada tiap-tiap agama untuk mengembangkan ajaran-ajarannya.
METODE PENELITIAN Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode diskriptif (Moleong, 2004:131). Jenis penelitian ini ialah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk
tentang
hubungan-hubungan,
kegiatan-kegiatan,
sikap-sikap,
pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan berpengaruh dari suatu fenomena (Whitney dalam Nazir, 2003:16). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian dengan mengamati atau mewawancarai informan. Data sekunder ialah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat pribadi, buku harian, not, sampai dokumen-dokumen resmi dari berbagai instansi pemerintahan. Untuk mengumpulkan sejumlah informasi yang diperlukan di lapangan maka peneliti terjun langsung ke lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data antara lain: observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data kualitatif ini menggunakan langkah-langkah atau alur yang terjadi bersamaan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau alur vertifikasi data. Tahap-tahap penelitian yang dilakukan peneliti adalah (1) tahap pralapangan, (2) tahap pelaksanaan, (3) tahap laporan.
3
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil yang diperoleh peneliti dengan cara terjun langsung di lapangan, peneliti menemukan beberapa temuan yang akan dibahas lebih rinci sebagai berikut. Latar historis upacara Melasti di Petirtan Jolotundo, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto Berdasarkan hasil temuan penelitian diketahui bahwa latar historis Upacara Melasti di Petirtan Jolotundo menjadi tempat favorit karena umat Hindu mempercayai bahwasannya Petirtan Jolotundo merupakan peninggalan Raja Uddayana dari Bali dan menikah dengan Putri Mahendradatta dari Jawa. Dari perkawinan tersebut lahirlah seorang putra bernama Airlangga. Petirtan ini merupakan monumen cinta kasih bukti penyambutan dari Raja Uddayana untuk kelahiran putranya Prabu Airlangga dan dibangun 997 M. Temuan ini tidak sesuai dengan pendapat Koes Indarto (2008:127) pembuatan taman Bhagenda yang selesai pada tahun saka 947 bersamaan pula dengan selesainya pembuatan patirthan yang dititahkan oleh baginda untuk dibuat di sumber air tempat mandi sang Yogi di sebelah barat gunung Penanggungan. Diundangkan arsitek dari luar Jawa serta tukang batu, tukang besi dan rakyat bergiliran kerjabakti. Banyak orang yang bekerja membuat candi air itu selama lima tahun. Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa candi Petirtan Jolotundo bukan merupakan bangunan dari Raja Uddayana untuk menyambut kelahiran putranya Prabu Airlangga, melainkan Petirtan Jolotundo ialah petirtan yang dibangun pada masa Airlangga yang merupakan putra dari Raja Uddayana dan Putri Mahendradatta. Pembangunan tersebut dibantu oleh banyak orang termasuk rakyat yang bergiliran untuk bekerjabakti dan berlangsung selama lima tahun. Upacara Melasti dimaknai sebagai upacara peleburan kotoran dan pengambilan air suci kehidupan ditengah-tengah laut. Dari pemahaman tersebut, jemaat Hindu mempercayai bahwasannya air yang mengalir dari 52 pancuran dinding candi Petirtan Jolotundo merupakan salah satu air suci yang dapat meleburkan segala kotoran baik kotoran dunia (bhuwana agung) dan kotoran yang ada pada diri manusia (bhuwana alit). Temuan ini sesuai dengan pendapat Koes 4
Indarto (2008:129) dari setiap ujung lingga memancar air yang ditampung tigabelas pancuran dan ditampung lagi oleh enambelas pancuran yang lalu turun mancur dengan indahnya ke dalam kolam. Airnya sangat jernih dan banyak ikan berenang-renang bergerombol kesana-kemari. Selesai pembuatan candi air pada tahun saka 947 segera diresmikan menjadi pemandian air suci dan dinamakan Jalatundha. Prosesi dan makna simbol yang dipergunakan dalam upacara Melasti di Petirtan Jolotundo a. Prosesi Upacara Melasti Prosesi upacara Melasti dibagi menjadi tiga tahapan, yakni tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, dan tahapan penutup. Berikut uraian dari masingmasing tahapan tersebut. 1) Tahapan Persiapan Jemaat
Hindu
dari
masing-masing
daerah
melaksanakana
ritual
keagamaan di masing-masing pura. Tujuan ritual keagamaan itu untuk memohon izin kepada Sang Hyang Widi guna melaksanakan upacara Melasti. Melasti bertujuan untuk memohon tirta amertha sebagai air pembersih dari Sang Hyang Widhi sekaligus pula menghilangkan unsur-unsur bhuta yang dapat mengganggu pelaksanaan hari Nyepi. 2) Tahapan Pelaksanaan Pada tahapan pelaksanaan ini terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan sebagai makna simbolik kepada Sang Hyang Widhi, tahapan tersebut antara lain: (a) Seluruh jemaat dari masing-masing pura yang mengikuti ritual Melasti di Jolotundo menuju ke tempat pelaksanaan untuk menyiapkan iringiringan sebelum masuk ke dalam petirtaan. (b) Setelah semua jemaat sudah berkumpul maka ritual dapat dimulai dengan diawali penggotongan sarana dan prasarana pemelastian yang sering disebut dengan mendak ide betara. Di belakang orang yang sedang ngarak banten suci terdapat orang yang mengiringinya dengan membawa Bendera umbul-umbul beserta diiringi gong dan gamelan. Umbul-umbul ini merupakan simbol dari Sang Hyang Widi. (c) Sarana prasarana pemelastian yaitu: Pratima, senjata dewatanawasanga, tedung, tombak, prelingga, keris, banten sebagai sarana pemelastian di petirtaan serta diiringi 5
dengan gamelan-gamelan seperti gong sepanjang perjalanan menuju memasuki petirtaan. Temuan ini sesuai dengan pendapat Adimihardja, dkk (1999:143) kegiatan ritus atau upacara menggunakan berbagai sarana dan prasarana, seperti tempat pemujaan, patung dewa, alat bunyi-bunyian, perlengkapan sesajen, dan pelaku upacara. Perlengkapan tersebut diberi arti atau makna simbolik sesuai dengan dasar keyakinan. (d) Sesampainya di tempat upacara di altar tengahtengah dilaksanakan upacara persembahyangan sebagai sujud bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa berwujud Betara Waruna dipimpin oleh tokoh spiritual atau disebut pamangku. (e) Dalam pelaksanaan ritual, ditandai pula dengan adanya larung sesaji. Larung merupakan simbol untuk melepas kotoran. Seperti ada ayam dan bebek yang dilepaskan ke petirtannya. Bebek itu simbol positif, sedangkan ayam simbol negatif. Temuan ini sesuai dengan pendapat I Ketut Wiana (2008:184—185) ada tiga jenis binatang yang dijadikan simbol Tri Guna. Itik simbol sifat Sattwam, ayam simbol sifat Rajas, dan babi simbol sifat Tamas. Itik dalam kehidupannya sehari-hari sangat damai dan tenang. Dapat membedakan antara baik dan buruk, antara yang patut dan tidak patut, sifat-sifat itik inilah yang sangat baik dikembangkan pada diri. Ayam sifatnya sangat energik, suka berkelahi dan berak disembarang tempat. Sifat-sifat ayam ini harus dihilangkan sifat negatifnya dan diambil sifat positifnya yaitu energik dan pantang menyerah dalam perjuangan hidup. (f) Upacara melasti dilanjutkan dengan persembahan caru yang diperuntukkan bagi para bhuta agar tidak mengganggu jalannya upacara. (g) Setelah itu dilanjutkan dengan persembahan sesaji kepada dewa yang di puja. Sesudah selesai mengantarkan persembahan, para peserta upacara mengambil sikap duduk dengan baik: laki-laki duduk bersila, sedangkan perempuan duduk bersimpuh. Kemudian dilakukan penyucian umat peserta upacara dengan pemercikan tirtha oleh pamangku. Dilanjutkan dengan upacara puja yang diakhiri dengan penerimaan anugerah air suci, bija, dan bunga. 3) Tahapan Penutup Dilaksanakan kegiatan berupa pengembalian pratima, senjata maupun simbolsimbol suci Sang Hyang Widhi ke pura semula prasarana tersebut diambil.
6
b. Simbol dalam Upacara Melasti Dalam Upacara Melasti banyak menggunakan prasarana yang masingmasing mengandung makna simbol, diantaranya: (1) Cane; terdiri dari Janur, gedebog, sirih, kain-kain, fungsinya untuk memohon doa pada Sang Hyang Widhi agar upacara berjalan lancar.Janur merupakan lambang pertiwi, sedangkan sirih merupakan lambang penghormatan. Sirih dapat diartikan sebagai lambang pemujaan pada Dewa Visnu manifestasi Hyang Widi dalam fungsi Nya sebagai Maha Pemelihara alam semesta dengan segala isinya. (2) Sendewatonawosango (9 dewa penjuru dunia). Simbol demokrasi, saling menyayangi, saling didengar semua suara umat manusia. 9 sekte berkumpul menjadi satu kesepakatan. (3) Lelontek (gambar binatang). Bermakna agar semua manusia di dunia jauh dari kesombongan atau keangkuhan.
(4) Pratima (bentuk kecil patmasane; buana
agung). Bermakna untuk mensucikan alam semesta dan mensucikannya dengan mantra-mantra. Temuan ini sesuai dengan pendapat Ni Made Sri Arwati (2008:19) upacara malasti, malis, atau makiis mempunyai makna untuk menyucikan arca, pratima, pralingga. Fungsi arca, pratima, pralingga itu adalah sebagai media untuk memusatkan pikiran dalam rangka memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para Dewa-dewi, dan Bhatara-Bhatari serta leluhur. (5) Gong merupakan bagian dari 5 jenis suara. Ketika upacara ada lima unsur yang wajib ada seperti mantra, swa, pukul, darmagito, dan suara gong. Lima unsur ini dapat disebut Pancagito. Tujuannya agar kita lebih fokus menghadap Tuhan. (6) Prayascitta, banten ini sebagai lambang penyucian rohaniah. (7) Byakala, banten ini bermakna sebagai lambang penyucian bersifat lahiriah. (8) Bunga/puspa; selalu memberikan bau yang harum, warna yang indah. Bunga
disini
dilambangkan sebagai rasa ketulusikhlasan untuk berserah diri pada Sang Hyang Widi dengan pikiran yang suci. (9) Api yang memancarkan sinar, memiliki simbol sebagai perantara antara manusia dengan pencipta, sebagai pencerah dan penunjuk dalam kegelapan, sebagai pembasmi malapetaka. Temuan ini sesuai dengan pendapat Made Suandra (2005:8)
apinya dupa adalah simbol Hyang Agni,
mempunyai sifat membasmi mala menjadi suci, berfungsi utama sebagai pengantar sembah menghubungkan antara manusia dengan Hyang Widhi. (10) Air; ini merupakan unsur yang sangat penting dalam ritual. Air yang digunakan 7
dalam upacara-upacara disebut tirtha karena telah disucikan melalui satu proses tertentu. Tirtha merupakan lambang penyucian atau pembersih. Temuan ini sesuai dengan pendapat Suhardana (2005:17) air merupakan lambang pensucian diri dan amrta atau air kehidupan dan kebahagiaan. Kesesuaian makna simbolik dalam upacara Melasti dengan aktualisasi nilainilai luhur Pancasila. 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menegaskan bahwa Bangsa Indonesia dan setiap warga negaranya harus mengakui adanya Tuhan. Begitu pula dengan umat Hindu. Sebagai ajaran agama yang diakui secara resmi di Indonesia, umat Hindu menjelang perayaan Hari Raya Nyepi menggelar ritual Melasti dengan tujuan untuk meningkatkan Sraddha dan Bhakti pada para Dewata manifestasi Tuhan Yang Maha Esa untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan sifat-sifat buruk baik dari diri manusia ataupun dari alam semesta dan mencegah kerusakan alam. Ritual yang di tujukan kepada Sang Hyang Widhi semuanya disimbolkan melalui sarana dan prasarana atau banten (sesaji). 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila kedua yang mencerminkan adanya hak asasi manusia, hal ini tercermin pada jemaat ketika pelaksanaan ritual Melasti hendak berakhir, semua jemaat berhak untuk menerima percikan Tirtha yang diberikan oleh para pamangku. Tirtha yang dipercikkan di atas kepala, kemudian diminum, dan selanjutnya diusapkan diwajah, masing-masing dipercikkan tiga kali. Semua dilakukan oleh pamangku secara adil tanpa membedakan antara jemaat satu dengan yang lainnya. 3. Persatuan Indonesia Nilai nasionalisme Indonesia yang tercermin pada sila ini ialah dalam mengatasi paham golongan, suku, dalam upaya menumbuhkan persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang padu dan tidak terpecah-pecah. Hal ini tercermin pada jemaat umat Hindu yang meniadakan unsur kegolongan, mereka secara bersama-sama bersatu untuk merendahkan diri, duduk berjajar, saling bergotong royong dalam mempersiapkan sarana dan prasarana ritual Melasti. Ketika ritual Melasti, busana yang dikenakan pun berbeda-beda, ada 8
yang menggunakan pakaian putih lengkap dengan udeng dan sarung, ada juga yang menggunakan kaos berwarna-warni. Hal ini menunjukkan identitas umat Hindu yang beragam pula. Dan bukan menjadi alasan untuk bercerai, sesuai dengan semboyan bangsa Bhinneka Tunggal Ika. 4. Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan. Sila ini menegaskan bahwa Bangsa Indonesia akan terus memelihara dan mengembangkan semangat bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam perwakilan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Wakil Ketua PHDI, I Gusti Ketut Budiarta yang mengungkapkan bahwa sarana ritual Melasti yang menyimbolkan Sendewatonawosango yang berarti sembilan dewa penjuru dunia merupakan simbol demokrasi, saling menyayangi, saling didengar semua suara manusia. 9 sekte berkumpul menjadi satu kesepakatan; Siwa yang memimpin di tengah, Wisnu yang di utara, Betara di timur, Brahma yang di selatan, Mahadewa di barat. Dengan adanya pembagian ini akhirnya Hindu aman tenteram. Disinilah cerminan demokrasi. Sehingga setiap ritual melasti akan ada sarana yang menyimbolkan Dewatonawosango simbol dari nilai demokrasi. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini menegaskan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Keadilan dalam bidang kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Cerminan dari nilai keadilan dan kesejahteraan dapat dilihat pada sarana Banten Prayascitta dan Byakala. Dua banten ini memiliki tujuan untuk penyucian yang bersifat rohaniah dan lahiriah. Persepsi masyarakat tentang prosesi dan makna upacara Melasti di Petirtan Jolotundo, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Dari beberapa hasil wawancara dengan informan tokoh agama Islam, perangkat desa sekaligus penduduk setempat, juru pelihara dan pengelola Petirtan Jolotundo, serta ahli spiritual agama Hindu, intinya tidak ada yang buruk dari prosesi dan makna Melasti. Justru dengan adanya pelaksanaan upacara Melasti di Petirtan Jolotundo dapat menambah pemasukan masyarakat sekitar petirtan, baik
9
sebagai tukang ojek, pengangkut air, dan juru parkir. Serta upacara Melasti dapat dijadikan sebagai penerapan nilai toleransi antar umat beragama. Prospek prosesi upacara Melasti sebagai pengembangan wisata di Petirtan Jolotundo Prospek kedepannya tentang Upacara Melasti akan terus ada dan tetap ada. Mengingat Upacara Melasti sudah ada sejak tahun 1990 hingga saat ini, dan pelaksanaan Upacara Melasti di Jolotundo tidak pernah memberikan dampak negatif atau kerugian kepada masyarakat disekitar Jolotundo. Justru dengan adanya Melasti dapat memperkerjakan masyarakat disekitar Petirtaan Jolotundo sebagai tukang ojek, tukang angkut air, dan juru parkir. Berhubungan dengan pengembangan wisata di Petirtaan Jolotundo, terlihat jelas melalui pelaksanaan perayaan hari besar umat Hindu yang digelar di Jolotundo, dapat menjadikan Jolotundo semakin terkenal sebagai daerah wisata religi yang mampu menarik perhatian pengunjung dan dapat menjadi salah satu potensi perekonomian di Desa Seloliman. Pelaksanaan Melasti di Jolotundo yang sering diunggah ke internet seusai pelaksanannya, dapat memberikan dampak baik pula pada pengembangan wisata Jolotundo. Masyarakat luar akan semakin tahu mengenai wisata religi yang terdapat di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto khususnya Petirtan Jolotundo. Dan dapat menarik pengunjung melalui situs yang telah diunggah tersebut.
PENUTUP Kesimpulan Dari penjabaran di atas dapat diambil kesimpulan tentang Aktualisasi Nilai-Nilai Luhur Pancasila Dalam Upacara Melasti Petirtan Jolotundo Di Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, sebagai berikut: 1. Latar historis upacara Melasti di Petirtan Jolotundo, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto menjadi tempat favorit karena letaknya yang strategis di kaki Gunung Penanggungan, memiliki puluhan sumber air, dengan hawa sejuk di ketinggian 525 meter di atas permukaan laut. Petirtan Jolotundo ialah peninggalan raja Airlangga yang masih memiliki keturunan dari raja Uddayana dari Bali dan ratu Mahendradatta dari Jawa. Jemaat Hindu 10
mempercayai bahwasannya air yang mengalir dari 52 pancuran dinding candi Petirtan Jolotundo merupakan sumber mata air/air suci yang dapat meleburkan segala kotoran baik kotoran dunia (bhuwana agung) dan kotoran yang ada pada diri manusia (bhuwana alit). 2. Prosesi dan makna simbol yang dipergunakan dalam upacara Melasti di Petirtan Jolotundo sebagai berikut: Prosesi ritual Melasti terdiri dari tiga tahapan, yakni tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, dan tahapan penutup. Masing-masing tahapan memiliki beberapa langkah yang mengandung makna simbolik. Makna simbol yang dipergunakan dalam ritual tergambar dalam bentuk banten atau sesaji. Banten-banten tersebut terdiri atas unsur bunga, api, air yang memiliki makna simbolik sesuai kepercayaan agama Hindu. 3. Kesesuaian makna simbolik dalam Upacara Melasti dengan aktualisasi nilainilai luhur Pancasila memiliki keterikatan, tidak ada yang bertolak belakang atau melenceng dari nilai-nilai luhur Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan sebagai dasar negara dapat menjadi filter dalam segala aspeknya. Begitu pula dengan makna simbolik upacara Melasti semuanya tetap berjalan pada koridor dan nilai-nilai Pancasila, tidak ada yang menentang atau keluar dari nilai luhur Pancasila. Termasuk upacara Melasti dimana nilai-nilai luhur Pancasila dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ketiga Persatuan Indonesia, sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sila kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hampir semua nilai luhur itu terdapat pada upacara Melasti. 4. Persepsi masyarakat tentang prosesi dan makna Upacara Melasti di Petirtan Jolotundo terurai dengan jelas. Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan beberapa informan mulai dengan tokoh agama Islam, penduduk setempat dan sekaligus perangkat desa, juru pelihara dan pengelola Petirtan Jolotundo, serta ahli spiritual agama Hindu, semua merespon bahwasannya dapat menerima dengan baik pelaksanaan Melasti di Petirtan Jolotundo. Masyarakat sekitar tidak ada yang menolak atau protes terhadap pelaksanaan tersebut. Justru dengan adanya Melasti banyak masyarakat sekitar yang 11
diuntungkan, masyarakat dapat bekerja baik sebagai tukang ojek, tukang pengangkut air, ataupun juru parkir. Melasti dapat menjadi tambahan pendapatan bagi masyarakat. 5. Prospek prosesi Upacara Melasti sebagai pengembangan wisata di Petirtan Jolotundo akan terus ada dan tetap ada mengingat upacara Melasti sudah ada sejak tahun 1990 hingga saat ini, dan pelaksanaan Upacara Melasti di Jolotundo tidak pernah memberikan dampak negatif atau kerugian kepada masyarakat disekitar Jolotundo. Justru dengan adanya Melasti dapat memperkerjakan masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN Adimihardja, Kusnaka, dkk. 1999. Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi. Bandung: Humaniora Utama Press. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Arwati, Ni Made Sri. 2008. Hari Raya Nyepi. Denpasar Budiyanto. 2005. Kewarganegaraan Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama. Dekker, Nyoman, dan Ktut, Sudiri Penjarikan. 1972. Pokok-pokok Agama Hindu. IKIP Malang: Lembaga Pembina Pendidikan Agama (Leppa) Hasan, Hambali, H., Dastini, A., Azis Numal Usmawadi, M., Syafei Wahid. 1992/1993. Upacara Tradisional Dalam Kaitannya Dengan Peristiwa Alam Dan Kepercayaan Daerah Sumatera Selatan. Sumatera Selatan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Herusatoto, Budiono. 2000. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia Indiarto, Koes. 2008. Katuturanira Maharaja Erlangga. Surabaya: Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PANUNGGALAN Lembaga Javanologi Surabaya, Koordinator Jawa Timur Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma
KBBI. Aktualisasi (On Line). (http://KBBI.web.id). Diakses pada 5 Desember 2013 12
Lantini, Endah Susi, V., Risti Ratnawati,Suyami, Titik, Mumfangati. 1996. Refleksi Nilai-nilai Budaya Jawa Dalam Serat Suryaraja. Jakarta: CV. Putra Sejati Raya. Milez dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penerjemah Tjetjep Rohendi. Jakarta: UI-Press. Moleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nazir, Moch. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: PT Ghalia Indonesia Nurkancana, Wayan. 2001. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Jakarta: Balai Pustaka Nurkancana, Wayan. 2001. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Jakarta: BP Parisada Hindu Dharma. 1967. Upadeca tentang adjaran-adjaran Agama Hindu. Singaradja: Pertjetakan Indonesia Pasha, Musthafa Kamal. 1988. Pancasila, UUD 1945, dan Mekanisme Pelaksanaannya. Yogyakarta: Mitra Gama Widya Pendit, N. S. 2001. Nyepi Kebangkitan, Toleransi dan Kerukunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Suandra, Made. 2005. Tuntunan Kramaning Sembah. Denpasar: Upada Sastra. Subagya, R. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Djaya Pirusa Suhardana, K.M. 2005. Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu. Surabaya: Paramita. Suralyn, I.A.P. 2005. Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-Upacara Yajna. Surabaya: Paramita
Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah, Edisi Kelima. Malang: UM PRESS 13
Visvanathan, E.D. 2004. Apakah Saya Orang Hindu (Am I A Hindu). Terjemahan Putra. N. P dan Reny, S.A.P. Denpasar: PT. Pustaka Mageni. Wahyudi, Wanny Rahardjo. 2012. Tembikar Upacara di Candi-Candi Jawa Tengah Abad ke 8-10. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Wiana, I Ketut. 2008. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita Wikarman, I.N.S. dan Sunarya, I.G. 2005. Hari Raya Hindu Bali-India (Suatu Perbandingan). Surabaya: Paramita
14