perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
AKSESIBILITAS DIFABEL DALAM RUANG PUBLIK (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Aksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik di Kota Surakarta)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat–syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi
Oleh: Galih Hapsari Putri D 0307077
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan kepada:
Bapak dan Ibu untuk semua doa, bimbingan, kasih sayang selama ini.
Kakak dan Adik untuk semua kebersamaan kita bertiga dalam suka maupun duka.
Ardhian Suandhika untuk setiap dukungan semangat dan doa yang diberikan.
Peneliti
Galih Hapsari Putri
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
"Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. ( 1 Korintus 10 : 23 )
Hari ini harus melakukan yang terbaik karena semuanya dari, oleh, dan untuk Tuhan Yesus ( Penulis )
Peneliti
Galih Hapsari Putri
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAC Galih Hapsari Putri. 2011. ACCESSIBILITY OF DISABLED PEOPLE IN PUBLIC SPACES (Descriptive Qualitative Study Concerning the Accessibility of Disabled People in the Public Spaces in the City of Surakarta). Thesis.Study Program Sociology Universitas Sebelas Maret Surakarta Surakarta is one place to live for disabled people either as a permanent residence or temporarily, especially for those who are following the training. For this reason the city of Surakarta is called friendly for disabled people and earned the nickname as the centre of disabled people, other than that there is regulation Number 2 of 2008 on the equality of disabled. Surakarta experiencing quite rapid development in the public space. so that any infrastructure and facilities of buildings and the environment is expected to be accessed and utilized by all people to realize equal opportunity in all aspects of life and livelihood. Disabilities often discriminated against by many parties, such discrimination can be seen in terms of public facilities which are not touched them. The purpose of this study was to determine the accessibility of disabled people on public space in the city of Surakarta. This type of study is a qualitative descriptive study. Data is collected by in-depth interviews and search of documents relating to research issues. Informants in this study are civil service, family-related disabilities as well as private parties. Disabilities are as key informants. Sampling is done by purposive sampling. Data was collected through non-participatory observation techniques and in-depth interviews. To analyze data using interactive data analysis. Validity of data was done by using triangulation of sources. From the research results can be seen that public spaces in the city of Surakarta, most have provided facilities for the disabled. This is because Surakarta has had no 2 of 2008 legislation regarding Equality disabilities. Unfortunately the facilities provided by these public spaces can not be accessed properly by the disabled. To be able to use the facility often disabilities should receive assistance from others. Moreover from the data analysis found that the public spaces in the city of Surakarta, has some issues problems ie there are some technical design, conditions not conducive, and inadequate facilities and lack of maintenance. The issue of accessibility was found that the disabled can be apathetic and be open minded. Life with disabilities requiring equality in the public space, so the construction should focus on aspects of accessibility and facilities for the disabled, so that the disabled can be independent in life.
Keywords: Accessibility, Disabled, Public Space.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Galih Hapsari Putri. D0307077. 2011. AKSESIBILITAS DIFABEL DALAM RUANG PUBLIK (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Aksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik Di Kota Surakarta). Skripsi. Program Studi Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kota Surakarta merupakan salah satu tempat berdomisilinya kaum difabel baik sebagai tempat tinggal permanen maupun untuk sementara waktu terutama bagi yang sedang mengikuti pelatihan–pelatihan. Untuk itulah maka kota Surakarta disebut kota yang ramah bagi kaum difabel dan mendapat julukan sebagai kota pusat kaum difabel, selain itu terdapat Perda Nomer 2 tahun 2008 mengenai kesetaraan difabel. Surakarta mengalami pembangunan yang cukup pesat dalam ruang publiknya. sehingga setiap prasarana dan sarana pada bangunan gedung dan lingkungannya diharapkan dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua orang mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Difabel sering sekali didiskriminasi oleh banyak pihak, diskriminasi tersebut dapat dilihat dalam hal fasilitas umum yang belum sepenuhnya menyentuh mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aksesibilitas difabel mengenai ruang publik di Kota Surakarta. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan pencarian dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah pegawai dinas, keluarga difabel serta pihak swasta terkait. Difabel adalah sebagai informan kunci. Pengambilan sample dilakukan dengan purposive sampling dan snowball sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi non partisipasi dan wawancara mendalam. Untuk menganalisa data mengunakan analisa data interaktif. Validitas data dilakukan dengan teknik triangulasi sumber. Hasil penelitian ini adalah bahwa ruang publik di kota Surakarta kebanyakan telah menyediakan fasilitas bagi difabel. Hal ini dikarenakan Surakarta telah memiliki Perda No 2 Tahun 2008 mengenai Kesetaraan Difabel. Namun sangat disayangkan fasilitas yang disediakan oleh ruang publik tersebut kurang dapat diakses dengan baik oleh difabel. Untuk dapat menggunakan fasilitas tersebut seringkali difabel harus mendapat bantuan dari orang lain. Selain itu ditemukan bahwa ruang publik di kota Surakarta terdapat beberapa permasalahan yaitu permasalahan desain teknis, kondisi yang tidak kondusif, dan fasilitas yang kurang memadai serta kurang perawatan. Mengenai masalah aksesibilitas ditemukan bahwa difabel dapat bersikap apatis maupun bersikap terbuka. Kehidupan difabel membutuhkan kesetaraan dalam ruang publik yang dalam pembangunannya harus mementingkan aspek aksesibilitas dan fasilitas bagi difabel, sehingga difabel dapat mandiri. Kata Kunci: Aksesibilitas, Difabel, Ruang Publik.
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala anugerah dan berkat-Nya yang telah dilimpahkan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi yang berjudul “Aksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik” (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Aksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik Di Kota Surakarta). Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah aksesibilitas bagi difabel memang masalah sering dijumpai di berbagai tempat. Aksesibilitas ini akan berpengaruh dalam kehidupan para difabel. Kota Surakarta sebagai kota ramah difabel merupakan kota yang pertama kali merumuskan Perda Kesetaran Difabel, selain itu kota Surakarta juga sedang mengalami pembangunan fisik yang sangat pesat. Bagi para difabel pembangunan di Surakarta diharapkan mementingkan para difabel yang memiliki kebutuhan khusus dalam aksesibilitasnya. Karena itulah peneliti mengkaji penelitian tentang difabel dan aksesibilitasnya dalam ruang publik yang berada di Kota Surakarta. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan dan kesempurnaan mengingat keterbatasan pengetahuan serta pengalaman yang penulis miliki, dan dalam kesempatan ini penulis ingin berterima kasih dan menyampaikan penghargaan yang mendalam kepada: 1. Prof. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Dr. Bagus Haryono, M.Si.selaku Ketua Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Akhmad Ramdhon, S.Sos, M.A selaku Dosen Pembimbing skripsi yang bersedia meluangkan waktu untuk konsultasi pembuatan laporan skripsi. 4. Drs. Jefta Leibo, S.U. selaku Ketua Penguji Skripsi 5. Drs. TA. Gutama, M. Si selaku Sekretaris Penguji Skripsi
6. Dra Rahesli Humsona, M.Si Selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingannya selama ini. 7. Aparat Pemerintah, Pihak Swasta, dan difabel di Kota Surakarta yang telah memberikan informasi dan data bagi penulis. 8. Teman-temanku Sosiologi 2007 Dian, Antonia, Yesica, Panggio, Lody, Pandhu, Sigit, Arief, dan Mas Irfan. Serta teman–teman angkatan 2007 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Perjuangan kita masih panjang. 9. Semua pihak yang telah turut membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan, penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang mendalam bagi Anda semua Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Surakarta, November 2011
commit to user viii
Galih Hapsari Putri
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman Halaman Judul
................................................................................... i
Halaman Persetujuan ................................................................................... ii Halaman Pengesahan ................................................................................... iii Halaman Persembahan
....................................................................... iv
Motto ........................................................................................................... v Abstrac
............................................................................................... vi
Abstrak
............................................................................................... vii
Kata Pengantar
................................................................................... viii
Daftar Isi
............................................................................................... ix
Daftar Foto
..........................................................................................
xiii
Daftar Tabel ............................................................................................... xiv Daftar Lampiran…………………………………………………………….xv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Perumusan Masalah ..............................................................
7
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ................................................................
8
E. Review Literatur……………………………………………
8
F. Kerangka Teori……………………………………………...
12
1. Ruang Publik…………………………………………….
12
2. Aksesibilitas……………………………………………..
16
3. Difabel…………………………………………………..
17
G. Kerangka Pemikiran………………………………………..
20
H. Metode Penelitian...................................................................
26
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II DESKRIPSI LOKASI ................................................................ A. Kota Surakarta......................................................................... 32 B. Difabel Di Kota Surakarta....................................................... 33 B.1. Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof. Dr. Soeharso............................................................ 34 B.2. Jumlah Difabel Di Kota Surakarta.................................. 36 C. Layanan Publik Di Kota Surakarta...........................................39 C.1. Pasar – Pasar Di Kota Surakarta....................................... 39 C.2. Transportasi Di Kota Surakarta.........................................40 C.2.1. Terminal Tirtonadi............................................. 41 C.2.2. Halte Batik Solo Trans.................................
42
C.3. Tempat – Tempat Ibadah Di Kota Surakarta................... 44 C.3.1. Masjid Agung Surakarta.................................... 45 C.3.2. Gereja Kristen Jawa Margoyudan..................... 46 C.4. Taman – Taman Di Kota Surakarta................................ 47 C.5. Mall dan Store Di Kota Surakarta.................................. 48 BAB III ANALISIS DATA .................................................................... A. Permasalahan Aksesibilitas...............................................
52
1. Masalah Desain Teknis…………………………………… 52 a. Taman Sekartaji…………………………………..
54
b. Halte Batik Solo Trans……………………………
57
c. Masjid Agung Surakarta………………………….
59
2. Ruang Yang Tidak Kondusif………………………….
62
a. Pasar Gede………………………………………..
62
b. Terminal Tirtonadi……………………………….
63
3. Fasilitas Yang Tidak Memadai dan Kurang Perawatan..
65
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 Mengenai Kesetaraan Difabel……………………………………………………….. 69 B.1. Proses Terbentuknya Perda ………………………….. 69 B.2. Hambatan Pembentukan Perda ………………………
73
C. Kondisi Ruang Publik Di Kota Surakarta…………………... 79 C.1. Sebelum Adanya Perda Kesetaraan Difabel………….. 80 C.1.1. Konsep Pembangunan Ruang Publik…………. 80 a. Pasar Gede…………………………………… 81 b. Terminal Tirtonadi…………………………… 84 c. Gereja Kristen Jawa Margoyudan……………. 86 d. Masjid Agung Surakarta…………………….. 88 e. Solo Grand Mall………………………..
90
C.1.2. Fungsi dan Fasilitas Ruang Publik……………… 92 a. Pasar Gede……………………………………. 93 b. Terminal Tirtonadi……………………………. 94 c. Gereja Kristen Jawa Margoyudan……………. 97 d. Masjid Agung Surakarta……………………… 98 e. Solo Grand Mall……………………………… 99 C.2. Setelah Adanya Perda Kesetaraan Difabel……………. 102 C.2.1. Konsep Pembangunan Ruang Publik…………. 102 a. Taman Sekartaji……………………………... 102 b. Halte Batik Solo Trans……………………… 105 C.2.2. Fungsi Dan Fasilitas Ruang Publik…………... 108 a. Taman Sekartaji…………………………….
108
b. Halte Batik Solo Trans……………………..
110
D. Aksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik………………… 113 D.1. Intensitas Kedatangan Difabel Dalam Ruang Publik…. 113 1. Ruang Publik Yang Sering Dikunjungi…………… 114 a. Solo Grand Mall……………………………... 114 b. Gereja Kristen Jawa Margoyudan…………… 115
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Ruang Publik Yang Jarang Dikunjungi…………… 116 a. Taman Sekartaji…………………………….. 116 b. Masjid Agung Surakarta……………………. 116 3. Ruang Publik Yang Sangat Jarang Dikunjungi…… 117 a. Pasar Gede…………………………………… 117 b. Halte Batik Solo Trans………………………. 118 c. Terminal Tirtonadi…………………………… 119 D.2. Sikap Difabel Dalam Mengakses Ruang Publik………. 119 a. Apatis………………………………………………. 120 b. Bersikap Terbuka dan Mau Menerima……………. 120 BAB IV PENUTUP ................................................................................. A. Kesimpulan...........................................................................
131
B. Implikasi................................................................................
133
B.1. Implikasi Empiris.........................................................
133
B.2. Implikasi Teoritis.........................................................
134
B.3. Implikasi Metodologis..................................................
135
C. Saran......................................................................................
136
DAFTAR PUSTAKA
....................................................................... 138
LAMPIRAN
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR FOTO
Foto 01. Foto 02. Foto 03. Foto 04. Foto 05. Foto 06. Foto 07. Foto 08. Foto 09. Foto 10. Foto 11. Foto 12. Foto 13. Foto 14. Foto 15. Foto 16. Foto 17. Foto 18. Foto 19. Foto 20. Foto 21.
Pintu Masuk Taman Sekartaji……………………………. Halte Batik Solo Trans Yang Ditunggui Petugas………… Halte Batik Solo Trans Menggunakan Rem……………… Lorong Sempit Di Pasar Gede……………………………. Akses Rem Terminal Tirtonadi………………………….. Pertautan Lantai Terminal Tirtonadi…………………….. Akses Rem Masjid Agung Surakarta…………………….. Pintu Masuk Pasar Gede………………………………….. Akses Rem Pasar Gede…………………………………. Akses Rem GKJ Margoyudan…………………………… Tempat Wudlu Khusus Masjid Agung…………………... Akses Rem Solo Grand Mall…………………………….. Guildingblock Pasar Gede………………………………… Pintu Masuk GKJ Margoyudan………………………….. Bentuk Tempat Wudlu Masjid Agung……………………. Fasilitas Kursi Roda SoloGrand Mall…………………..... Difabel Di Solo Grand Mall……………………………… Bentuk Akses Taman Sekartaji…………………………… Halte BST Portabel Tampak Depan……………………… Halte BST Portabel Tampak Belakang…………………… Rem Di Taman Sekartaji………………………………….
commit to user xiii
56 58 59 63 66 67 67 90 83 87 89 91 94 98 99 100 101 104 107 107 110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Tabel. 01. Tabel 02. Tabel 03. Tabel 04. Tabel 05. Tabel 06. Tabel 07. Tabel 08. Tabel 09. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12.
Jumlah Difabel Di Kota Surakarta Tahun 2007…………….36 Yayasan Penyandang Cacat Di Kota Surakarta…………… 38 Pembangunan dan Perluasan terminal………………….. 41 Banyaknya Bus dan Penumpang yang Masuk Terminal Tirtonadi........................................................... 42 Tempat Ibadah di Kota Surakarta di Tiap Kecamatan......... 44 Banyaknya Penduduk di Tiap Kecamatan Menurut Agama yang Dianut.......................................................... 45 Hambatan yang Dialami Difabel..................................... 124 Kondisi Ruang Publik Sebelum Adanya Perda Kesetaraan Difabel........................................................... 125 Kondisi Ruang Publik Setelah Adanya Perda Kesetaraan Difabel............................................................ 126 Jenis Aksesbilitas Difabel Dalam Ruang Publik.............. 127 Intensitas Kedatangan Difabel Dalam Ruang Publik....... 130 Sikap Difabel Terhadap Akses Yang diterima Dalam Ruang Publik......................................................... 130
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 01. Lampiran 02. Lampiran 03. Lampiran 04. Lampiran 05. Lampiran 06. Lampiran 07. Lampiran 08. Lampiran 09. Lampiran 10. Lampiran 11.
Pedoman Wawancara Matriks Wawancara Perda Nomor 2 Tahun 2008 Kesetaraan Difabel Surat Permohonan Ijin Dinas dan Pihak Swasta Surat Selesai Penelitian Peta Kota Surakarta Denah Masjid Agung Surakarta Denah Los Pasar Gede Denah Sirkulasi Bus Di Terminal Tirtonadi Denah Jalur Batik Solo Trans Dokumentasi
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kota Surakarta merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah yang dikenal dengan keramahannya. Sebagai salah satu kota yang yang merupakan kota terpadat di Indonesia, maka kota ini memiliki berbagai macam keunggulan salah satunya adalah mengenai pembangunannya dan julukannya sebagai kota ramah bagi difabel. Hal ini dikarenakan kota Surakarta merupakan salah satu tempat berdomisilinya difabel baik sebagai tempat tinggal permanen maupun untuk sementara waktu terutama bagi yang sedang mengikuti pelatihan– pelatihan. Untuk itulah maka kota Surakarta merupakan kota yang ramah bagi difabel dan mendapat julukan sebagai kota pusat
difabel. (YJP, nomor 65:
123,166). Data dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam buku BPS Surakarta dalam Angka tahun 2009 terdapat data mengenai difabel.
Berikut
adalah data jumlah difabel pada tahun 2009: jumlah penyandang cacat tubuh adalah sebanyak 514 orang, penyandang tuna netra sebesar 112 orang, penyandang tuna mental adalah 59 orang, serta penyandang tuna rungu/wicara adalah 224 orang. Total difabel di Surakarta pada tahun 2009 adalah 909 orang. Sedangkan data pada tahun 2008 menunjukkan bahawa jumlah difabel di Surakarta adalah sebesar 1464 orang. Akan tetapi penyandang cacat tubuh kian meningkat dan penyandang netra mengalami penurunan.
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah penyandang cacat atau difabel di Kota Surakarta sangat banyak.
Karena itu pula lah maka banyak panti
rehabilitasi di kota Surakarta. Di kota ini terdapat sebuah pusat rehabilitasi bagi penyandang cacat yaitu BBRSBD ( Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa ) Prof. Dr. Soeharso, serta adanya beberapa Panti Sosial bagi difabel untuk menangani kecacatan–kecacatan yang bersifat khusus.
Keramahan kota ini
terbukti dari adanya berbagai macam program bimbingan pelatihan bagi difabel yang tinggal di kota Surakarta antara lain adalah ketrampilan menjahit, fotografi, reparasi sepeda motor, salon, handicraft, percetakan, pertukangan, las dan bubut, pertukangan kayu, politur, ukir kayu, elektronika, border, tata boga, serta bengkel. (Demartoto, 2005: 54).
Pendidikan yang digunakan untuk berinteraksi dan
bersosialisasi dalam rangka menunjang pemberdayan masyarakat. (Nasution, 1995:35).
Pemberdayaan menunjuk pada menunjuk pada kemampuan orang,
khusunya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan dan kemampuan dalam memnuhi kebutuhan dasarnya, menjanngkau sumber–sumber produktif yang dapat meningkatkan mutu hidup, serta dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan (Suharto, Edi. 2005: 58).
Dengan adanya pelatihan–
pelatihan, maka difabel diharapkan mampu untuk dapat mengakses segala yang dibutuhkan didalam suatu ruang publik. Dalam segi pembangunan kota Surakarta juga mengalami perkembangan dan pertumbuhan dalam segi ruang publiknya. Ruang merupakan suatu tempat yang dapat menunjukkan perletakan sebuah objek, yang harus dapat diakses secara fisik oleh masyarakat umum yaitu dapat berupa taman, lapangan, bangunan
commit to user 2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pasar, tempat ibadah, trotoar, dan lain–lain. (Hariyono, 2007: 134). Ruang publik merupakan suatu tempat umum yang digunakan banyak orang untuk menghabiskan waktu luang.
Akan tetapi keadaan ruang publik seringkali
membuat kesusahan bagi difabel untuk menikmatinya. Selain itu adapula beberapa ruang yang merupakan tempat berkumpulnya individu dari berbagai golongan, namun apakah ruang tersebut dapat diakses dengan mudah bagi difabel masih merupakan suatu tantangan bagi difabel itu sendiri. Bagi difabel ruang publik haruslah sesuai dan aksesibel terhadap kebutuhan mereka. Difabel memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menikmati ruang dan fasilitas publik yang ada. Semua kelengkapan prasarana dan sarana pada bangunan gedung dan lingkungannya diharapkan agar dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua orang termasuk
difabel dan semua orang guna mewujudkan kesamaan kesempatan
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dengan adanya akses ruang publik maka fasilitas bagi difabel di masyarakat dapat sedikit terpenuhi, sehingga memungkinkan tidak ada pembedaan fasilitas ruang publik antara difabel maupun non difabel dalam mengaksesnya. Mengenai penyediaan aksesibilitas sebenarnya sudah diatur dalam Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Bab 1 pasal 1 ayat 4 berbunyi aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Demikian pula halnya dengan kota Surakarta, perkembangan dan pembangunan kota Surakarta menyebutkan bahwa Kota ini mementingkan
commit to user 3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hak dan kewajiban difabel, diantaranya dengan dibuatnya Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 mengenai Kesetaraan Difabel. (YJP, Nomor 65:124). Menurut Perda tersebut aksesibilitas fisik adalah meliputi layanan yang terkait dengan perencanaan dan peruntukkan pembangunan kawasan kota serta fasilitas publik. Aksesibilitas dalam hal non fisik berupa bidang pendidikan dan ketenagakerjaan bagi difabel mempunyai kesempatan yang sama. (Demartoto, 2005:58). Sejalan dengan itu yang dimaksud dengan aksesibilitas fisik adalah lingkungan fisik yang oleh difabel agar dapat dihampiri, dimasuki, atau dilewati, dan dapat dipergunakan fasilitas yang ada di dalamanya tanpa bantuan. (JYP no.65 hal 79). Dalam hal yang lebih luas aksesibilitas fisik mencakup akses terhadap berbagai bangunan, alat transportasi dan komunikasi, serta berbagai fasilitas luar di luar ruangan termasuk sarana rekreasi sebagai ruang publik. Aksesibilitas bagi difabel merupakan salah satu sarana untuk membuat kehidupan difabel menjadi lebih baik. Difabel sendiri merupakan suatu akronim dari Different Ability People atau Orang yang memiliki kemampuan yang berbeda. Pandangan masyarakat yang negatif terhadap difabel juga menyebabkan kelompok tersebut sulit untuk mendapatkan kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dengan masyarakat lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan (Demartoto Argyo, 2005). Data WHO menunjukkan bahwa jumlah difabel di negara berkembang mendekati angka 10% dari total jumlah penduduk negara tersebut. Sebagai negara berkembang, jumlah difabel di Indonesia pun juga mencapai
commit to user 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jumlah 10 juta jiwa pada tahun 2005 dan akan terus meningkat pada tahun–tahun berikutnya (Purwanta, 2002:105) Penyandang cacat fisik sering sekali didiskriminasi oleh banyak pihak, baik itu dalam pekerjaan, pendidikan bahkan dalam hal fasilitas umum yang belum sepenuhnya menyentuh mereka. Sampai saat ini, penyandang cacat fisik belum mendapatkan fasilitas seperti layaknya orang dengan tubuh tanpa cacat. Istilah penyandang cacat itu sendiri merupakan suatu diskriminasi juga, kata cacat umum digunakan untuk menyebut beberapa orang yang memiliki kemampuan mental di bawah rata–rata. Untuk mengatasi istilah yang dirasa negatif tersebut, maka digunakanlan istilah Difabel. Purwanta (2004: 53) menyatakan bahwa “sebenarnya cacat itu tidak ada, cacat merupakan rekayasa atau konstruksi sosial yang sengaja dibangun melalui sistem kekuasaan baik yang berada pada jalur struktural maupun jalur kultural. Proses pencacatan itu sendiri dimulai dari penyebutan atau pemberian istilah mulai dari yang menyakitkan hingga yang dimaksudkan menghaluskan tetapi intinya tetap memiliki konotasi penolakan hingga perlakuan dan penempatan pada posisi marjinal dalam struktur masyarakat. Cacat yang sebenarnya tidak ada itu menjadi ada karena berbagai macam media dan prosesnya.
Karena adanya
kecacatan tersebut maka para difabel dianggap tidak mampu untuk mengikuti arus perkembangan dan pembangunan. Akan tetapi pembangunan seringkali mengabaikan
minoritas atau orang yang berkebutuhan khusus. Seperti yang
diungkapkan oleh Shaun Grech:
commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“disability remains excluded from development, at research, policy and programme levels, and the voices of disabled poor people in the so called developing countries remain largely unheard” (cacat tetap dikecualikan dari pembangunan, pada penelitian, kebijakan dan tingkat program, dan pendapat orang miskin cacat di negara-negara berkembang sebagian besar tetap tak terdengar).
Ideologi kenormalan menyatakan bahwa seseorang disebut normal adalah bila orang mempunyai organ tubuh lengkap dan berfungsi dengan baik, harus mempunyai kepala, kaki/ tangan, dan organ lainnya layaknya seorang manusia. Seseorang yang tidak memiliki ketidakfungsian, kehilangan salah satu atau lebih organ yang dimilikinya, maka orang tersebut akan dianggap sebagai orang yang tidak normal, seseorang yang tidak sempurna, atau istilah yang sering digunakan adalah cacat atau penyandang cacat. Pada hakekatnya manusia adalah makhluk hidup yang memerlukan proses bergerak atau berpindah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal sebagian dari manusia tersebut ada yang memiliki hambatan–hambatan dalam bergerak maupun berpindah tempat, baik secara permanen maupun sementara.
Salah satunya adalah penyandang cacat, yang
diyakini sebagai orang yang tidak normal dan selalu membutuhkan bantuan serta figur yang memiliki kekurangan. Walaupun demikian difabel tetaplah masyarakat yang harus terpenuhi hak dan kewajibannya salah satunya adalah dalam akses ruang publik yang ada. Penelitian ini melihat pentingnya aksesibilitas ruang publik bagi difabel. Karena difabel mempunyai hak dan kewajiban yang sama didalam hukum dan bermasyarakat. Seharusnya masyarakat dapat mengawali dengan menerima kecacatan itu sungguh–sunggguh ada. Kecacatan adalah bagian dari kehidupan manusia, bagian dari dunia yang ditinggali bersama.
commit to user 6
Penyandang cacat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membutuhkan manusia normal bukan sebagai pakar atau manajemen dalam kehidupan, tapi menjadi seorang teman. Sehingga perjuangan para penyandang cacat merupkan perjuangan yang perlu dihargai dalam upayanya mencari keadilan sosial. Kurangnya penghargaan dan apresiasi terhadap menyebabkan sedikitnya aksesibilitas yang diterima
difabel dapat
dan berimbas pada
kehilangan hak yang seharusnya didapatkannya.
B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, maka akan dikaji gambaran mengenai aksesibilitas difabel dalam kaitannya dengan ruang publik, dan hasilnya terhadap kehidupan difabel. Rumusan masalah tersebut akan dikaji melalui pertanyaan sebagai berikut 1. Bagaimanakah konsep ruang publik di Kota Surakarta? 2. Bagaimanakah aksesibilitas difabel dalam ruang publik di kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aksesibilitas difabel mengenai ruang publik di Kota Surakarta, untuk mengetahui konsep pembangunan serta bagaimana kondisi ruang publik di kota Surakarta baik sebelum maupun setelah adanya Perda Kesetaraan Difabel.
Dengan membaca hasil penelitian ini,
diharapkan pembaca mampu mengetahui dan mengerti mengenai aksesibilitas difabel yang selama ini masih dianggap sebagai permasalahan yang tidak penting karena difabel dianggap sebagai terpinggirkan.
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan pengetahuan mengenai aksesibilitas difabel di ruang publik dalam kaitannya dengan tindakan sosial dalam ilmu sosiologi. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada: a. Masyarakat luas hendaknya tidak memandang sebelah mata mengenai permasalahan yang dialami oleh
difabel serta dapat berperan dalam
membantu menyediakan fasilitas yang sesuai untuk difabel. b. Sebagai bahan informasi bagi pembuat dan pengambil keputusan/ pemerintah kota dan pihak swasta dalam hal pembangunan akses bagi difabel.
E. Review Literatur Dalam penelitian mengenai difabel ini, peneliti juga memerlukan referensi berbagai macam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Hal ini perlu
dilakukan untuk menambah informasi serta wawasan peneliti mengenai difabel. Ada beberapa penelitian mengenai difabel yang ditemukan oleh penulis yaitu antara lain adalah sebagai berikut: Penelitian Muhammad Imdad yang berjudul “Peran LSM Dalam Pemberdayaan Difabel Korban Gempa Bumi di Kabupaten Klaten” (2008) dijelaskan bahwa difabel memerlukan pendampingan dari berbagai macam
commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
organisasi masyarakat agar mereka tidak terpuruk oleh ketidakberdayan mereka. Peran pendampingan bagi difabel korban gempa bumi di Klaten berupa penyuluhan penguatan potensi diri difabel yaitu dengan memberikan training kwirausahaan, dan motivasi bagi difabel agar mereka tetap terus melanjutkan hidup. Peran LSM dalam pemberdayaan difabel memiliki tiga macam dampak yaitu dampak psikologis yaitu dengan adanya bimbingan psikologis dari difabel lama agar dapat menguatkan orang yang menjadi difabel baru. Karena seringkali difabel baru tidak merasa diterima dengan keadaannya yang sekarang sehingga butuh bimbingan dan motivasi dari difabel lama agar para difabel baru dapat terus mlanjutkan hidup.
Dampak yang kedua adalah dampak aksesibilitas yaitu
penyediaan dan pemberian alat bantu bagi difabel agar tetap dapat melaksanakan mobilitas sosialnya. Aksesibilitas yang disediakan seperti tongkat kruk, kursi roda, maupun ramp (jalan masuk yang dibuat untuk memudahkan kursi roda lewat) agar dapat aksesibel bagi difabel. Dampak yang ketiga adalah dampak ekonomi yang berhubungan dengan kesejahteraan yaitu dengan diadakannya pelatihan–pelatihan, melalui pelatihan tersebut difabel mampu membiayai hidupnya sendiri tanpa tergantung orang lain. Selain itu terdapat penelitian yang ditulis oleh Saudara Bondan mengenai difabel perempuan dalam kaitannya dengan tindakan dan aksesibilitasnya dalam pelayanan kesehatan reproduksi di kota Surakarta. Penelitian ini menemukan bahwa hanya sedikit perempuan difabel yang mengetahui kesehatan tentang reproduksi wanita. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai penelitian dari Saudara Bondan.
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian Bondan Dwi S yang berjudul “ Tindakan dan Aksesibilitas Perempuan Difabel Dalam Kaitannya Dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi di Kota Surakarta” (2006), menemukan bahwa perempuan difabel mengalami tripel diskriminasi yaitu perempuan difabel selain mendapat stigma karena mereka “perempuan“ juga karena mereka “difabel“ serta sebagian besar diantara mereka memiliki kondisi yang “miskin“ (dalam arti ekonomi sosial, politik serta sektor kehidupan lain).
Selain itu dalam pelayanan kesehatan perempuan difabel
seringkali tidak mendapatkan hak dan perannya. Hal ini dikarenakan adanya nilai dari segi sosial budaya masyarakat yang mempunyai mitos bahwa difabel itu aseksual, karena kedifabelannya itu pula maka difabel “dianggap” tidak mampu mengekspresikan seksualitasnya, bahkan “dianggap tabu” bila sampai mempunyai anak. Karena hal itulah maka aksesibilitas perempuan difabel menjadi terhambat bahkan tidak terpenuhi, perempuan difabel merasa dimarginalkan atau dinomorduakan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Perempuan difabel juga sering mendapat diskriminasi, serta yang tidak kalah penting adalah pengabaikan terhadap kesehatan reproduksi.
Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa perempuan difabel hanya mengetahui sedikit info mengenai kesehatan reproduksi karenta terbatasnya akses mereka untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Ada pula penelitian dari saudara Gita Putri mengenai Hubungan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri remaja difabel. Penelitian ini mengunaka penelitian kauntitatif dan ditemukan bahwa remaja difabel masih belum terbiasa
commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyesuaikan diri di masyarakat karena berbagai macam faktor dan hal. Berikut sedikit review penelitian Gita Putri mengenai remaja difabel. Penelitian Gita Putri yang berjudul “ Hubungan Konsep Diri Remaja Difabel Dengan Penyesuaian Diri Terhadap Lingkungan “ (2007) menemukan bahwa ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara konsep diri dengan penyesuaian diri. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Ketika individu merasa dirinya sejajar dengan dan setara dengan orang lain meskipun memiliki kekurangan, dalam hal ini kekurangan dalam hal fisik, maka individu tersebut menjadi lebih percaya diri dan memudahkan mereka menyesuaikan diri dengan orang lain maupun dengan lingkungannya.
Konsep diri adalah bagaimana
individu memandang dirinya sendiri, yang meliputi pengharapan, pengetahuan, dan penilaian tentang diri sendiri. Berdasarkan penelitian ini, dapat dinilai bahwa remaja difabel dengan konsep diri yang baik maka penyesuaian dirinya akan baik pula, begitu juga sebaliknya. Hasil penelitian ini juga memberikan informasi tentang sumbangan efektif dari masing – masing variable. Sumbangan efektif yang diberikan konsep diri terhadap penyesuaian diri adalah sebesar 60%. Ini berarti masih ada factor lain yang mempengaruhi penyesuaian diri remaja difabel. Adapun factor tersebut diantaranya adalah kondisi lingkungan, jika lingkungan dapat menerima dan memberikan fasilitas yang lebih memadai bagi remaja difabel, maka penyesuaian dirinya menjadi lebih baik. Faktor lainnya adalah adanya norma, dan adat istiadat karena adanya kecenderungan menutupi jika ada anggota keluarga yang lahir tidak normal atau cacat, hal itu akan mempersulit individu dengan kekurangan tersbut untuk menyesuaikan diri.
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari berbagai macam penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa difabel masih mengalami permasalahan di dalam bermasyarakat. Difabel masih memiliki perasaan malu yang membuat diri mereka merasa berbeda dengan orang lain. Perasaan berbeda tersebut menyebabkan difabel kurang bisa menyesuaikan diri di masyarakat, difabel kurang memahami mengenai pengetahuan akan berbagai hal.
Selain itu difabel masih membutuhkan orang lain dalam
kehidupannya dan masih belum bisa untuk hidup mandiri.
F. Kerangka Teori Difabel merupakan orang yang memiliki kemampuan yang berbeda, begitu pula dengan aksesibilitasnya dalam ruang publik. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penelitian ini maka akan dikemukakan beberapa konsep dalam skripsi yang dibuat peneliti. Adapun konsep yang digunakan dalam pembuatan skripsi ini adalah:
1. Ruang Publik Istilah publik adalah istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu public yang berarti masyarakat, negara, umum. Didalam Bahasa Inggris, pengertian kata public menjadi masyarakat, negara, umum dipakai berganti-ganti misalnya: a. Yang didefinisikan sebagai “masyarakat” misalnya public relationship (hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat), dan lain– lain.
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Yang didefinisikan sebagai “negara“ misalnya public authorities (otoritas negara), public building (gedung negara), public finance (keuangan negara) c. Yang didefinisikan sebagai ”umum” misalnya adalah public offering (penawaran umum),
Public ownership (milik umum), publik utility
(perusahaan umum), public space (ruang umum). (Syafiie, 1999: 18) Dalam beberapa pengertian dari kata publik tersebut akan difokuskan kepada satu hal yaitu public space. Dalam pengertian bahasa Indonesia adalah ruang umum namun lebih dikenal dengan ruang publik. Ruang publik adalah ruang yang fungsi dan manfaatnya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan publik/ masyarakat (bukan untuk seseorang ataupun kelompok-kelompok tertentu). Menurut Roger Scurton (1984:32) setiap ruang publik memiliki makna sebagai berikut: sebuah lokasi yang didesain seminimal apapun, memiliki akses yang besar terhadap lingkungan sekitar, tempat bertemunya manusia/pengguna ruang publik dan perilaku masyarakat pengguna ruang publik satu sama lain mengikuti norma-norma yang berlaku setempat. Meskipun sebagian ahli mengatakan umumnya ruang publik adalah ruang terbuka, Rustam Hakim (2003:50) mengatakan bahwa, ruang umum pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu maupun secara kelompok, dimana bentuk ruang publik ini sangat tergantung pada pola dan susunan massa bangunan.
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Hakim (2003:50), Jenis ruang publik terbagi atas dua macam yaitu: a. Ruang publik tertutup adalah ruang publik yang terdapat di dalam suatu bangunan. b. Ruang publik terbuka yaitu ruang publik yang berada di luar bangunan yang sering juga disebut ruang terbuka (open space). Ruang publik selalu berhubungan dengan pembangunan, pembangunan pada hakikatnya merupakan proses perubahan menuju kondisi yang lebih baik, baik secara fisik maupun secara spiritual. Hal ini tercermin dari definisi berikut: “Pembangunan merupakan suatu proses pembauran yang kontinyu dan terus menerus dari keadaaan tertentu kepada suatu keadaan yang lebih baik“ Menurut Salim (1986:3) mengatakan bahwa hakekat pembangunan adalah (1) kemajuan lahiriah seperti sandang, pangan, papan, dan lain – lan (2) kemajuan dalam bidang batiniah, pendidikan, rasa aman, dan rasa keadilan, (3) kemajuan yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana tercermin dalam perbaikan hidup berkeadilan sosial. Tak jauh berbeda dengan pendapat Sondang P. Siagian tentang definisi pembangunan. Pembangunan yaitu suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. (Siagian, 1972:45).
commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari definisi pembangunan tersebut maka menurut Siagian (1972:53) ada beberapa pokok ide yang perlu dipahami: a. Pembangunan merupakan suatu proses. Proses berarti suatu kegiatan yang terus menerus dilakukan, meskipun sudah barang tentu bahwa proses itu sudah dapat dibagi menjadi tahap–tahap tertentu dan berdiri sendiri. b. Pembangunan merupakan suatu usaha yang sadar dilakukan c. Pembangunan dilakukan secara berencana dan perencanaan itu berorientasi pada pertumbuhan dan perubahan. d. Pembangunan mengarah kepada modernitas yaitu sebagai cara hidup baru dan lebih baik daripada sebelumnya serta berkemampuan untuk menguasai alam lingkungannya. Pembangunan ruang publik harus bersifat responsif, demokratis, dan bermakna. Ruang publik yang responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan
kepentingan luas. Secara demokratis yang dimaksud
adalah ruang publik itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus terkotak-kotakkan akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya. Bahkan, unsur demokratis dilekatkan sebagai salah satu watak ruang publik karena ia harus dapat
dijangkau (aksesibel) bagi warga dengan berbagai kondisi fisiknya,
termasuk para penderita cacat tubuh maupun lansia. (Hakim, 2003: 52).
commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Aksesibilitas Perda Kesetaraan Difabel Nomor 2 tahun 2008 aksesibilitas fisik adalah meliputi layanan yang terkait dengan perencanaan dan peruntukkan pembangunan kawasan kota serta fasilitas publik. Sedangkan menurut Peraturan pemerintah RI Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, menyatakan bahwa aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi difabel guna mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Negara semestinya mengakui pentingnya aksesibilitas dalam proses terciptanya kesamaa kesempatan dalam semua aspek kehidupan dalam kegiatan bermasyarakat bagi difabel dari semu jenis kecacatan yang ada.
Hak dan
kewajiban difabel semestinya terpenuhi sama dengan hak dan kewajiban dari non difabel. Menurut Demartoto (2005: 57) aksesibilitas terbagi atas dua macam yaitu: a. Aksesibilitas fisik yaitu berupa guilding block bagi difabel netra, tangga ramp, hand rail (pegangan tangan), lift, rambu–rambu lalu lintas, dan tanda–tanda atau signage. b. Aksesibilitas
non
fisik
ketenagakerjaan. Semua
yaitu
berupa
pendidikan
dan
difabel memiliki kesempatan yang
sama dalam meperoleh pendidikan dan pekerjaan. Menurut Adinda dalam JYP Nomor 65: 79 mengatakan bahwa aksesibilitas fisik adalah lingkungan fisik yang oleh difabel agar dapat dihampiri, dimasuki atau dilewati, dan dapat digunakan wilayah dan fasilitas yang terdapat
commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
didalamnya tanpa bantuan. Dalam pengertian yang lebih luas diartikan mencakup kemudahan terhadap berbagai bangunan, alat tranportasi dan komunikasi, serta berbagai fasilitas di luar ruangan termasuk rekreasi. Sedangkan aksesibilitas non fisik yaitu berupa pendidikan dan pekerjaan. Kedua macam aksesibilitas ini saling mempengaruhi satu sama lain apabila berbagai macam hambatan struktural dalam bangunan–bangunan dan fasilitas–fasilitas yang disediakan bagi kepentingan umum ternyata tidak selalu mudah bagi difabel untuk berpartisipasi penuh dalam situasi normal baik dalam bidang pendidikan maupun pekerjaan serta rekreasi. Namun dalam penelitian ini lebih ditekankan pada aksesibilitas fisik difabel dalam ruang publik.
3. Difabel Menurut Perda Nomor 2 Tahun 2008 kota Surakarta mengenai Kesetaraan Difabel dikatakan bahwa difabel adalah setiap orang yang memiliki kelainan fisik dan/ mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan yang selayaknya, yang terdiri dari (1) penyandang cacat fisik, (2) penyandang cacat mental, dan (3) penyandang cacat fisik dan mental. Sedangkan kesetaraan difabel adalah kondisi yang menjamin terwujudnya keadilan bagi difabel. Untuk menjelaskan berbagai macam kecacatan diatas maka akan dijelaskan sebagai berikut (Demartoto, 2005: 10):
commit to user 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain pada gerak trubuh , penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara. b. Cacat mental adalah kelainan mental dan tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit antara lain: a) retardasi mental, b) gangguna psikiatrik funsional, c) alkoholisme, d) gangguan mental organic dan epilepsy. c. Cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus. Apabila yang cacat adalah keduanya maka sangat mengganggu penyandang cacatnya. Istilah penyandang cacat merupakan suatu diskriminasi, kata cacat umum digunakan untuk menyebutkan beberapa orang yang memliki kemampuan mental di bawah rata–rata. Untuk mengurangi stigma negatif dalam hal tersebut maka digunakanlah istilah Difabel (Different Ability People) yang berarti manusia yang memiliki kemampuan yang berbeda. Kemampuan yang berbeda yang dimaksud adalah hanya kemampuan fisik saja. Istilah difabel sekarang ini mungkin masih kurang tedengar gaungnya daripada dengan istilah penyandang cacat. (Purwanta, 2004: 107). Pembedaan antara manusia normal dengan mereka yang mendapat julukan penyandang
cacat
ketidakadilan.
ternyata
melahirkan
berbagai
Menurut Purwanta (2004: 174)
macam
ada berbagai manifestasi
ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi terhadap sebagai berikut:
commit to user 18
diskriminasi
difabel adalah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Terjadi diskriminasi ekonomi sehingga melahirkan pemikinan ekonomi terhadap difabel b. Terjadinya subordinasi terhadap mereka yang dicacatkan. Dalam rumahtangga, masyarakat, maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa menganggap ada penyandang cact itu sendiri. Sebagai contoh banyak peraturan yang menyebutkan syarat tidak cacat jasmani untuk jenis pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan kecacatan jasmani. c. Pelabelan negatif (stereotype) terhadap
difabel dan akibat dari
stereotype itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Dalam masyarakat banyak sekali stereotype yang dilabelkan pada difabel yang akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan, dan merugikan difabel. d. Kekerasan terhadap difabel. Kekerasan ini mulai dari kekerasan fisik seperti pemukulan sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti
pelecehan,
menganggap
tidak
mampu,
penciptaan
ketergantungan, dan sebagainya. e. Sempitnya akses sosial dan budaya serta fisik bagi difabel ini telah menyulitkan ruang gerak difabel dan telah mengakibatkan beban kerja yang luar biasa bagi difabel baik di lingkungan domestik maupun publik.
commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
G. Kerangka Pemikiran Penelitian ini menggunakan tindakan sosial dari Max Weber. Tindakan sosial ini diasumsikan oleh Max Weber bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasar pada pengalaman, persepsi, pemahaman, dan penafsirannya atas obyek dari situasi tertentu.
Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang
rasional yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana paling tepat. (Ritzer, 2003:38). Tujuan Weber dalam teori tindakan adalah untuk memfokuskan perhatian pada individu, pola, regularitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas. Tindakan dalam pengertian orientasi perilalu yang dapat dipahami secara subjektif yang hanya hadir sebagai perliaku seorang atau beebrapa orang manusia individual. (Ritzer, 2008: 137). Weber mengunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan dengan cara mengidentifikasikan empat tipe tindakan dasar. Tipologi ini tidak hanya penting untuk memhami apa yang dimaksud Weber dengan tindakan, yang terpenting adalah pembedaan yang dilakukan Weber terhadap dasar tindakan rasional. Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial antar hubungan sosial itu. Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu: 1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi tindaka nyata
commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Tindakan nyata yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat membatin dan bersifat subyektif. 3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu istuasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam. 4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada individu. 5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu. Konsep rasionalitas Weber merupakan suatu kerangka bersama secara luas dimana aspek–aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Konsep rasionalitas Weber mencakup empat hal yaitu: a.
Zwerk Rational / Rasionalitas Sarana Tujuan Yakni tindakan sosial murni adalah tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan – harapan ini digunakan sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan – tujuan actor lewat upaya dan perhitungan yang rasional.
b. Werktrational Action / Rasionalitas Nilai Dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan cara yang paling tepat atau lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Dalam tindakan ini memang sukar untuk difahami. Tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesdaran akan nilai perilaku–perilaku etis, estetis, religius, atau bentuk
commit to user 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perilaku lain yang terlepas dari prospek keberhasilannya. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang hendak dicapai. Tindakan ini rasional meski tak serasional yang pertama. c. Affektual Action Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor.tindakan ini sukar difahami. d. Tradisional Action Tindakan
yang
didasarkan
pada
kebiasaan-kebiasaan
dalam
mengerjakan sesuatu dimasa lalu saja. (Ritzer, 2003: 40-41) Untuk mempelajari tindakan sosial adalah dengan metode penafsiran dan pemahaman, yang menurut terminologi Weber adalah verstehen, yaitu suatu upaya tindakan si aktor dengan memahami motif dari tindakan yang dilakukannya. Salah satu teori yang sepenuhnya berawal dari karya Max Weber adalah teori aksi. Beberapa asumsi fundamental Teori Aksi dikemukakan oleh Hinkle dengan merujuk karay Mac Iver, Znaniecki, dan Parsons sebagai berikut: 1. Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal dan posisinya sebagai obyek. 2. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan terrtentu. Jadi tindakan manusi bukan tanpa tujuan
commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Dalam bertindak manusi mengunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut. 4. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya 5. Manusia memilih, menilai, dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang, dan apa yang telah dilakukannya. 6. Ukuran–ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan. 7. Studi mengenai hubungan antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri vicarious experience. Menurut Cooley sesuatu yang memiliki arti penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah apa yang disebut sebagai kesadaran subyektif dan hal ini merupakan pengakuan tehadap sifat aktif dan kreatif individu.
Selain dari
kesadaran subyektif, menurut Cooley perasaan-perasaan individual, sentimen, dan ide-ide merupakan faktor pendorong manusia untuk berinisiatf atau mengakhiri tindakannya terhadap orang lain. (Ritzer, 2003:47) Menurut Parsons, sejak semula telah menjelaskan bahwa teori aksi tidak dapat menerangkan keseluruhan aspek kehidupan sosial.
Parsons menyusun
skema unit-unit dasar tindakan sosial dengan karakteristik sebagai berikut: 1. Adanya individu sebagai aktor.
commit to user 23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu 3. Aktor mempunyai alternatif cara, alat, serta teknik untuk mencapai tujuannya. 4. Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan.
Kendala tersebut
berupa situasi dan kondisi, sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu 5. Aktor berada di bawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan. Dari hal tersebut diatas merupakan suatu cara untuk mengkaji masalah mengenai aksesibilitas difabel dalam kaitannya dengan ruang publik. Tindakan individu diarahkan menuju suatu tujuan tertentu. Kota Surakarta merupakan salah kota yang mengalami perkembangan dalam hal pembangunan yang cukup pesat. Hal ini terbukti dari banyaknya fasilitas–fasilitas serta pembangunan dalam segi fisik yang terlihat sebagaimana sekarang ini.
Pembangunan Kota Surakarta
merupakan bagian dari layanan bagi masyarakat agar terpenuhi dari segi kenyamananannya.. Sedikit banyak dalam perencanaan dan manajemen perkotaan harus peka terhadap persoalan-persoalan yang ada di Kota Surakarta. Kota ini mendapatkan julukan sebagai kota yang ramah terhadap difabel karena banyaknya panti rehabilitasi yang sesuai dengan jenis kecacatanya. Walaupun mengalami pembangunan yang pesat namun masih banyak hal yang terlewatkan bagi terpinggirkan seperti difabel.
commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Aksesibilitas kehidupannya. memadai.
merupakan
bagian
dari
kehidupan
manusia
dalam
Akan tetapi tidak semua orang dapat mengalami akses yang
terpinggirkan seperti difabel salah satu contohnya yang seringkali
mengalami kesulitan dalam mengakses berbagai hal. Hal ini berkaitan dengan stigma negatif yang tertanam pada banyak orang bahwa urusan difabel adalah yang nomor dua. Padahal aksesibilitas merupakan jembatan bagi difabel untuk dapat bersosialisasi dengan kehidupan luar. Keterbatasan aksesibilitas bagi difabel pada dasarnya sekarang ini masih terjadi. difabel masih menjadi kelompok yang termarginalkan, terpingirkan, dan miskin. Untuk mengetahui mengenai aksesibilitas difabel dalam ruang publik maka hal pertama yang harus dilakukan adalah melihat permasalahanpermasalahan yang dihadapi oleh difabel jika mereka mengakses ruang publik. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat saja membawa mereka ke dalam situasi yang sulit.
Dari sini nantinya akan dilihat bagaimanakah sebenarnya
kondisi ruang publik yang ada di Kota Surakarta. Sebagaimana diketahui bahwa Kota Surakarta telah memiliki Perda yang menjunjung tentang kesetaran hak difabel untuk mendapatkan kemudahan dalam berbagai bidang
yaitu Perda
Nomor 2 Tahun 2008 salah satunya adalah kemudahan mengenai aksesibilitas. Dari sini pula akan diketahui apakah konsep pembangunan ruang publik yang giat digalakkan sesuai dengan peraturan tersebut dan dapat membawa kemudahan bagi difabel untuk mengakses ruang publik. Kosep pembangunan ruang publik ini akan berpengaruh pada aksesibilitas difabel dalam ruang publik, khususnya aksesibilitas fisiknya.
commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode penelitian adalah cara untuk mengumpulkan data dan fakta yang ada. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif menggambarkan, mengungkapkan, menceritakan, dan meringkas berbagai kondisi dan situasi yang ada. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata tertulis atau lisan dari orang–orang dan perilaku yang dapat diamati. (Moleong, 2002:3). Alasan memilih pendekatan ini adalah menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan yang diteliti, lebih peka dan dapat menyesuaikan diri terhadap pendalaman masalah. Yaitu memahami aksesibilitas difabel terhadap ruang publik, dan mempelajari hasil pembangunan ruang publik yang sedang giat digalakkan bagi kehidupan difabel. Pendekatan triangulasi juga digunakan untuk menguji keabsahan data dan menemukan kebenaran objektif sesungguhnya. Metode ini sangat tepat untuk menganalisis kejadian tertentu di suatu tempat tertentu dan waktu tertentu. Triangulasi adalah teknik pemerikasaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekkan atau sebagai pembanding
terhadap data tersebut.
Penelitian ini menggunakan triangulasi
sumber, yaitu dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. (Moleong, 2002:178)
commit to user 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian ini adalah di Kota Surakarta. Adapun dipilihnya lokasi ini sebagai tempat penelitian adalah karena Kota Surakarta mempunyai tempat rehabilitasi terbesar di Asia Tenggara, selain itu banyak pula balai yang berkaitan dengan difabel sebagai wadah pengembangan sesuai dengan jenis kecacatannya. Kota Surakarta juga dinilai sebagai surga
difabel dan sedang mengalami
pembangunan kota yang cukup pesat baik itu ruang publik maupun fasilitas didalamnya.
3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah sumber data primer yaitu Data yang peneliti peroleh dari wawancara dengan difabel, keluarga, serta aparat pemerintah dan swasta yang terkait. Selain itu peneliti juga menggunakan data sekunder yaitu data yang peneliti peroleh secara tidak langsung seperti literatur dari buku, arsip, dokumentasi yang berkenaan dengan penelitian ini. Penelitian deskriptif kualitatif menggunakan pengamatan dan wawancara di lapangan. Data yang digunakan disini adalah data kualitatif dengan teknik observasi non partisipasi dan wawancara mendalam. Observasi non partisipasi adalah kegiatan pengumpulan data yang bersifat non verbal dimana peneliti tidak berperan ganda. Peneliti berperan sebagai pengamat belaka dan tidak turut serta sebagai actor yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan. Wawancara adalah cara yang dipakai untuk memperoleh informasi melalui kegiatan interaksi sosial antara peneliti dengan yang diteliti. Di dalam interaksi itu
commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peneliti berusaha mengungkap gejala yang sedang diteliti melalui kegiatan tanya jawab. Wawancara dilakukan dengan pedoman panduan wawancara (interview guide) yang berisi hal–hal pokok yang berkaitan dengan apa yang ingin digali lebih dalam dari nara sumber dalam hal ini adalah
difabel dan juga aparat
pemerintah dan swasta serta keluarga dari difabel. Studi kepustakaan dilakukan sebelum peneliti pergi ke lapangan untuk mengumpulkan data sekunder berkenaan dengan masalah yang diteliti yaitu berupa buku–buku. Koran majalah, dan internet. Dalam melakukan penelitian peneliti menggunakan alat berupa kamera. Gambar yang nantinya akan diambil dapat digunakan sebagai dokumentasi dalam penelitian ini. Dengan difabel di kota Surakarta yang menjadi populasi secara keseluruhan maka peneliti menggunakan teknik pengambilan sample dengan teknik purposive sampling yaitu peneliti memilih informan dan key informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang lengkap dan benar selain itu. Selain itu peneliti menggunakan teknik snowball sampling yaitu dengan menggulirkan sampel atas dasar informasi yang didapatkan sebelumnya untuk membangun kerangka informasi bagi peneliti. (Ritzer, 2003:31) Subyek yang peneliti ambil sebagai key informan adalah difabel yang dipilih berdasarkan jenis kelamin, usia, dan jenis kecacatan, yang sekaligus dapat memberikan banyak informasi dan berkaitan dengan kebutuhan peneliti. Hal demikian ini memengaruhi perbedaan aksesibilitas yang terjadi pada difabel. Sedangkan informan dalam penelitian ini adalah keluarga serta aparat pemerintah
commit to user 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang terkait serta pihak swasta. Aparat pemerintahan terkait yang dimaksud dsini adalah dari Dinas Tata Ruang Kota, Dinas Perhubungan (Halte Batik Surakarta Trans dan Terminal Tirtonadi), Badan Lingkungan Hidup (Taman Sekartaji), dan Dinas Pengelolaan Pasar (Pasar Gede). Sedangkan Pihak swasta yang dimaksud disini adalah Pengurus Masjid Agung Surakarta, Majelis Gereja Kristen Jawa Margoyudan, dan Menejemen Pengelolaan Solo Grand Mall. Alasan dipilihnya informan serta lokasi dalam penelitian ini adalah karena Masjid Agung Surakarta dan Gereja Kristen Jawa Margoyudan merupakan tempat ibadah tertua di Kota Surakarta dengan penganut agama terbesar di kota Surakarta, selain itu kedua tempat tersebut terdapat jemaah difabel dan kemudahan bagi difabel. Taman Sekartaji dipilih karena merupakan Taman yang dibangun dekat dengan balai rehabilitasi serta taman merupakan tempat publik bagi semua masyarakat. Solo Grand Mall dan Pasar Gede merupakan ruang publik yang setiap harinya dikunjungi oleh ribuan orang tanpa memandang perbedaan status sosial, dan ekonomi. Yang terakhir adalah Halte Batik Solo Trans dan Terminal Tirtonadi, tempat ini dipilih karena setiap harinya orang membutuhkan sarana tranportasi tanpa terkecuali, dan kebanyakan dari masyarakat lebih memilih menggunakan bus dalam bertransportasi.
commit to user 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Teknik Analisis Data Teknik analisi data yang digunakan adalah teknik analisis interaktif mulai dari pengumpulan data sekunder dan data primer yang didalamnya terdapat tiga komponen yaitu : reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. (Bungin, 2003: 70). Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada penyederhanan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar“ yang muncul dari catatan–catatan penulis di lapangan.
Setelah data terkumpul
terjadilah tahap reduksi selanjutnya seperti membuat ringkasan, membuat kode, dan penelusuran tema. Reduksi data berlangsung terus menerus hingga laporan akhir tersusun (Milles, 1992: 16). Penyajian data yaitu suatu sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya pengambilan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan melihat penyajian–penyajian tersebut kita bisa memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan berdasrkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian tersebut. (Milles, 1992: 17). Penarikan kesimpulan dan verifikasi sebagian dari suatu hasil kegiatan yang utuh.
Verifikasi adalah kemungkinan pemikiran singkat yang melintas
dalam pikiran penganalisis pada waktu menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan lapangan, atau upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan dalam data yang lain. Singkatnya makna yang muncul dari data harus di uji kebenarannya, kecocokannya yang merupakan validitasnya itu sendiri (Milles, 1992:18)
commit to user 30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar Analisa Data Model Interaktif
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Kesimpulan: Penarikan Verivikasi
Sumber: Mathew B. Milles & A. Michael Huberman
commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II DESKRIPSI LOKASI
A. Kota Surakarta Surakarta, juga disebut Solo atau Sala, adalah kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah, Indonesia yang berpenduduk 503.421 jiwa dan kepadatan penduduk 13.636/km2. Surakarta dan kota-kota satelitnya (Kartasura, Surakarta Baru, Palur, Colomadu, Baki, Ngemplak) adalah kawasan yang saling berintegrasi satu sama lain. Kawasan Surakarta Raya ini unik karena dengan luas kota Surakarta sendiri yang hanya 44 km persegi dan dikelilingi kota-kota penyangganya yang masing-masing luasnya kurang lebih setengah dari luas kota Surakarta dan berbatasan langsung membentuk satu kesatuan kawasan kota besar yang terpusat. Luas wilayah Kota Surakarta beserta wilayah-wilayah kota penyangganya saat ini sekitar 150 km² dengan jumlah penduduknya sekitar 1 juta jiwa. Surakarta memiliki semboyan "Berseri", akronim dari "Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah", sebagai slogan pemeliharaan keindahan kota. Untuk kepentingan pemasaran pariwisata, Surakarta mengambil slogan pariwisata Solo, The Spirit of Java (Jiwanya Jawa) sebagai upaya pencitraan kota Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa. Jumlah penduduk kota Surakarta pada tahun 2010 adalah 503.421 jiwa, terdiri dari 270.721 laki-laki dan 281.821 wanita, yang tersebar di lima kecamatan yang meliputi 51 kelurahan dengan daerah seluas 44,1 km2. Tingkat kepadatan
commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penduduk di Surakarta adalah 11.370 jiwa/km2, yang merupakan kepadatan tertinggi di Jawa Tengah (kepadatan Jawa Tengah hanya 992 jiwa/km2). Jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, kota Surakarta merupakan kota terpadat di Jawa Tengah dan ke-8 terpadat di Indonesia, dengan luas wilayah ke13 terkecil, dan populasi terbanyak ke-22 dari 93 kota otonom dan 5 kota administratif di Indonesia. (BPS,2009)
B. Difabel di Kota Surakarta Kota Surakarta merupakan salah satu tempat berdomisilinya difabel baik sebagai tempat tinggal permanent maupun untuk sementara waktu terutama bagi difabel yang mengikuti pelatihan–pelatihan. Salah satu tempat pelatihan yang ada adalah BBRSBD (Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa) Prof. Dr. Soeharso yaitu sebagai tempat awalnya pergerakan kaum difabel. Banyaknya difabel di Kota Surakarta dapat dilihat dari jumlah difabel dengan berbagai jenis kecacatan. Kota Surakarta sebagai kota yang sedang dalam masa pembangunan mementingkan kehidupan difabel. Kota Surakarta patut menjadi percontohan bagi kota lain untuk berani memulai memenuhi hak para difabel yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta. Kota ini telah merumuskan dan memberlakukan kebijakan yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Aksesibilitas di tempat pelayanan publik akan disediakan untuk menunjang kebutuhan para penyandang difabilitas. kerajaan
Dalam perkembangannya, kota Surakarta yang semula berbentuk mengalami
berbagai
pembangunan
di
segala
sektor,
dimana
pembangunan ini bertujuan untuk membuat kota menjadi wilayah kehidupan yang
commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nyaman dan aman. Pembangunan yang dimaksud adalah bertumbuhnya banyak ruang publik di Kota Surakarta.
B.1.
Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof. Dr.
Soeharso Sejarah berdirinya BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta, diawali dengn sejarah pertumbuhan Rehabilitasi Centrum Prof. Dr. Soeharso Surakarta tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan bangsa Indonesia. Semasa revolusi fisik pada tahun 1945-1950 banyak sekali rakyat, terutama pejuang yang cacat diakibatkan oleh pertempuran dalam melawan penjajah untuk mempertahankan Republik Indonesia. Pada tahun 1946 dimulailah percobaan-percobaan pembuatan kaki atau tangan tiruan (protese) untuk pelayanan kepada korban perang yang bertempat di garasi mobil Rumah Sakit Umum Surakarta oleh almarhum Prof. Dr. Soeharso dan almarhum Bapak R. Soeroto Reksopranoto. Pada pertengahan tahun 1948 pembuatan protese mendapat perhatian dari Kementrian Kesehatan dengan mengeluarkan biaya untuk memindahkan ruangan pembentukan protese dari garasi ke Rumah Sakit Darurat yang terletak di belakang rumah sakit tersebut. Sambil menunggu selesainya pembuatan protese, kepada penyandang cacat diberikan pelatihan berupa ketrampilan kerja. Sejak tahun 1983 Balai Besar rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta dijadikan pusat untuk pelatihan bagi tenaga kader rehabilitasi,
commit to user 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
baik tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Kementrian Sosial dan tingkat internasional yang bekerja sama dengan ILO. Kedudukan dan Tugas Pokok dari BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta adalah Unit Pelaksana Teknis di Bidang Rehabilitasi Sosial Bina Daksa di lingkungan Kementrian Sosial yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Dirjen Rehabilitasi Sosial, dengan tugas pokok melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial, resosialisasi, penyaluran, dan bimbingan lanjut bagi orang dengan kecacatan tubuh agar mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat, rujukan nasional, pengkajan, dan penyiapan standar pelayanan, pemberian informasi serta koordiansi dengan instansi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Struktur organisasi Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa berdasakan keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia no: 55/HUK/2003 Tanggal 23 Juli 2003, Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta dipimpin oleh seorang Direktur yang dibantu oleh empat Kepala Bagian, Kelompok Jabatan Fungsional, dan tiga Kepala Departemen. Adapun bagianbagian tersebut adalah Divisi Administrasi, Divisi Program dan Advokasi Sosial, Divisi Rehabilitasi Sosial, Divisi Penyaluran dan Bimbingan Lanjut, Instalasi/ Workshop.
commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B.2. Jumlah Difabel di Kota Surakarta Di Surakarta juga terdapat berbagi jenis yayasan yang bergerak bagi difabel, maka dari itu Surakarta seringkali disebut sebagai kota yang ramah bagi difabel. Banyaknya yayasan yang bergerak pada penyandang cacat juga dikarenakan difabel banyak ditemukan di Kota Surakarta. Selain itu ruang publik di Kota Surakarta juga mendukung adanya kesetaraan terhadap difabel. Berikut akan disajikan data mengenai jumlah difabel yang bernaung di Kota Surakarta. Data dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja pada tahun 2007 menyatakan bahwa jumlah difabel di kota Surakarta tercatat sebagai berikut
Tabel 01 Jumlah Difabel di Kota Surakarta tahun 2007 Difabel
Laki - laki
Perempuan
- Cacat Tubuh
337
205
- Cacat Rungu Wicara
115
99
- Cacat Netra
124
139
- Cacat Mental Raterdasi
109
95
-Cacat Mental Eks Psikotik
141
104
- Cacat Ganda
54
33
- Cacat Bibir Sumbing
17
14
Total
897
689
Sumber: BPS, 2007
Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah total penyandang cacat adalah sebesar 1586 orang difabel. Difabel tersebut belum termasuk difabel anak serta penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis dan juga kusta. Penyandang
commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cacat tubuh mempunyai total sebesar 542 orang, penyandang cacat netra sebesar 363 orang, penyandang cacat tna rungu sebesar 214 orang, cacat mental raterdasi sebesar 204 orang, penyandang cacat eks prikotik 245 orang, penyandang cacat ganda 87 orang, dan penyandang cacat bibir sumbing terdapat 31 orang. Dari data diatas juga dapat dilihat bahwa kebanyakan difabel adalah bejenis kelamin laki – laki. Sedangkan data dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam buku BPS Surakarta dalam Angka tahun 2009 menyebutkan bahwa jumlah difabel dari tahun 2008 ke tahun 2009 mengalami penurunan. Berikut adalah data jumlah difabel pada tahun 2009: jumlah penyandang cacat tubuh adalah sebanyak 514 orang, penyandang tuna netra sebesar 112 orang, penyandang tuna mental adalah 59 orang, serta penyandang tuna rungu / wicara adalah 224 orang. Total difabel di Surakarta pada tahun 2009 adalah 909 orang. Sedangkan data pada tahun 2008 menunjukkan bahawa jumlah difabel di Surakarta adalah sebesar 1464 orang. Bila dibandingkan dengan tahun 2008 maka jumlah difabel pada tahun 2009 mengalami penurunan yang cukup banyak, penurunan tersebut banyak terjadi pada penyandang tuna netra dan penyandang tuna mental. Namun penyandang cact tubuh kian meningkat. Selain itu walaupun terdapat banyak difabel di Kota ini, namun ada banyak yayasan pula yang bergerak di bidang rehabilitasi bagi difabel. Beberapa yayasan tersebut akan disajikan dalam tabel berikut:
commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 02 Yayasan Penyandang Cacat di Kota Surakarta No 1.
Nama Yayasan
Keterangan
4.
Panti rehabilitasi bagi difabel tuna netra Yayasan Sosial Budi Insani Panti yang membimbing dan membina orang yang sebelumnya menderita sakit jiwa Yayasan Balai Penampungan Yayasan ini menampung penderita Penderita Paraplegia Surakarta paraplegia dari keluarga tidak mampu dan memberikan pelatihan, keterampilan, dan permodalan Yayasan Selthered Workshop Panti Rehabilitasi cacat tubuh
5.
Yayasan Asuhan Anak Tuna
6.
Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara
7.
Yayasan Kesejahteraan Anak – anak Buta
8.
Yayasan Sosial Setya Dharma
9.
Yayasan Pembinaan Anak Cacat
10.
Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara
11.
Yayasan Pelayanan Penyandang Cacat Ganda Bhina Sejahtera
2.
3.
Yayasan Catur Indria
12.
Yayasan Pembina Sekolah Luar Biasa 13. Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Surakarta Sumber: Demartoto,2005
Yaysan pendidikan formal luar biasa untuk anak cacat Panti yang memberikan pendidikan, kursus, dan pelatihan kepada difabel netra dan tuna rungu wicara Yayasan yang memberikan pelayanan rehablitasi bagi anak – anak difabel netra. Yayasan yang memberikan pelayanan dan rehabilitasi untuk anak – anak cacat mental Yayasan yang memberikan pelayanan kepada anak – anak cacat bawaan maupun karena sebab lain Yayasan yang memberikan pendidikan kepada difabel tuna rungu wicara Yayasan ini memberikan pelayanan rehabilitasi sosial, pendidikan, dan pengasramaan bagi difabel ganda Merupakan panti rehabilitasi anak cacat mental Panti ini memberikan pelayanan rehabilitasi bagi difabel netra.
Banyaknya panti rehabilitasi inilah maka Kota Surakarta disebut surga bagi difabel.
Di kota ini difabel diperhatikan secara lebih serius bila
commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibandingkan dengan kota yang lainnya, baik dari segi rehabilitasi maupun dari segi aksesibilitasnya.
C. Layanan Publik di Kota Surakarta C.1. Pasar – Pasar di kota Surakarta Walaupun memiliki banyak pasar tradisional, namun penulis hanya memfokuskan pada satu pasar yaitu Pasar Gede. Pasar seperti yang diketahui khalayak umum sangatlah ramai, banyak orang bertransaksi dan berjual beli untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Salah satunya adalah Pasar Gede Kondisi pasar Gede sekarang ini sangatlah penuh dengan orang berjualan dan sampai memakan pertengahan jalan yang digunakan pembeli untuk lewat. Jumlah pedagang di Pasar gede mencapai 633 orang. Jumlah yang sangat banyak dengan perbandingan luas lahan 10.421m2. Sebagai pasar tradisional peninggalan masa lalu, pasar ini merupakan aset budaya masyarakat Surakarta. Salah satu keunggulan pasar Gede adalah, turut memperhatikan keperluan penyandang cacat dengan dibangunnya prasarana khusus bagi pengguna kursi roda dan pengguna tongkat. Kondisi bangunan pasar ini jauh lebih baik dari pasar pada umumnya. Bentuk fungsi bangunan seperti atap, sirkulasi udara, masuknya cahaya sangat tepat agar kondisi pasar tidak pengap, lembab dan juga menciptakan iklim komunikasi yang baik dengan cara membuat lorong yang dibuat lebar untuk memudahkan interaksi antar pedagang.
commit to user 39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasar Gede pada mulanya berdiri kecil pasar kecil di lahan seluas 10.421m2. Pasar Gede ini berdiri tepat didepan Gubernuran yang sekarang ini menjadi Balaikota. Sekarang ini Pasar Gede memiliki 4 buah blok dengan jumlah total pedagang sebanyak 633 orang.
Masing blok terdiri dari yaitu Blok I
berjumlah 114 orang pedagang, Blok II 168 orang pedagang, Blok III sebanyak 140 orang, Blok IV berjumlah 134 orang, dan terakhir di lantai II yaitu penjual daging sebanyak 63 orang. (wawancara dengan Bapak Suwarji, 15 Juli 2011) Jelasnya pasar Gede sebagai pasar tradisional tidak kehilangan pamornya bila dibandingkan dengan pasar moderen yang banyak tumbuh di Kota Surakarta. Transakasi jual beli terjadi setiap harinya, dan selalu terlihat sibuk. Kegiatan perdagangan bergeliat setiap saat.
C.2. Transportasi di Kota Surakarta Terminal bus besar kota ini bernama Terminal Tirtonadi yang beroperasi 24 jam karena merupakan jalur antara yang menghubungkan angkutan bus dari Jawa Timur (terutama Surabaya dan Banyuwangi) dan Jawa Barat (Bandung). Selain terminal kota Surakarta juga memiliki banyak halte–halte bus yang tersebar di berbagai ruas jalan. Untuk moda transportasi baru ada Batik Solo Trans yang mulai beroperasi pada tahun 2010 yang lalu. Batik Solo Trans ini memiliki haltenya sendiri yang sering disebut dengan shelter Batik Surakarta Trans ataupun Halte Batik Solo Trans.
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C.2.1. Terminal Tirtonadi Pada awal tahun 1975, terminal Bus Surakarta yang pada saat itu bernama Stasiun Bus Harjodaksino yang berada di kampung Gemblegan dipandang lagi tidak mampu untuk menampung jumlah bus yang kian bertambah.
Mengingat
kondisi yang tidak memadai tersebut dapat menimbulkan kemacetan, maka ditetapkan antara lain perlunya relokasi terminal bus yang selanjutnya dinamakan Terminal Bus Tirtonadi Surakarta dan mulai beroperasi pada tanggal 18 juli 1976. Tabel 03 Pembangunan dan perluasan Terminal Jenis Tahun / luas Pembangunan Pertama Tahun 1975 Pengoperasian Pertama 18 Juli 1976 Perluasan Pertama Tahun 1988 Perluasn Kedua Tahun 1991 Luas setelah renovasi kedua 3,5 Ha Rencana Perluasan 1,5 Ha Sumber: UPTD Terminal Tirtonadi Terminal tirtonadi yang sekarang sedang mengalami tahap renovasi karena terminal yang saat ini dirasa sudah terlalu penuh sehingga perlu ada perluasan. Dengan jumlah bus yang datang perharinya mencapai 2400 bus, dan jumlah pengguna jasa layanan transportasi mencapai 9000 orang perharinya maka sangat jelas bahwa terminal yang sekarang ini terlalu sempit. Kondisi bangunan di terminal Tirtonadi tidak cukup baik. Lantai di sekitar terminal sangat kotor dan ada beberapa bagian yang rusak. Terdapat rem yang biasa digunakan sebagai jalur troli barang yang membuatnya rusak. Walaupun sudah disediakan tempat samapah, di beberapa sudut masih terdapat banyak sampah berserakan. Diperkirankan pembangunan bertahap ini akan selesai pada
commit to user 41
perpustakaan.uns.ac.id
awal tahun 2013.
digilib.uns.ac.id
Dengan adanya berbagai macam pembangunan ini, maka
masyarakat dapat menjadi lebih nyaman dalam menggunakan jasa angkutan umum. Tabel 04 Banyaknya Bus dan Penumpang yang Masuk Terminal Tirtonadi Jumlah Bus Jumlah Bulan Penumpang AKDP AKAP Januari 44.866 43.117 1.958.107 Februari 40.184 37.756 1.736.215 Maret 44.579 41.801 1.923.744 April 42.619 41.263 1.865.145 Mei 43.188 41.653 1.889.873 Juni 42.022 43.072 1.460.973 Juli 44.658 47.423 1.601.508 Agustus 44.006 43.947 1.524.333 September 61.021 51.068 1.827.603 Oktober 47.206 50.278 1.649.177 November 42.293 44.149 1.490.141 Desember 43.871 47.775 1.580.353 JUMLAH 540.513 533.302 20.507.172 Sumber: BPS, 2009
Data diatas memperlihatkan bahwa jumlah peumpang ataupun masyarakat pengguna jasa transportasi sangat banyak. Bahkan pada tahun 2009 jumlah total penumpang yang masuk ke terminal ini adalah mencapai duapuluh juta orang lebih. Maka layak jika terminal Tirtonadi ini butuh perluasan untuk mengurangi kepadatan.
C.2.2. Halte Batik Solo Trans Batik Solo Trans merupakan solusi transportasi umum di Kota Surakarta yang nyaman, aman, dan tepat waktu, BST merupakan bantuan dari Kementrian Perhubungan sebanyak 15 unit. Pemilihan nama BST yaitu untuk menyesuaikan
commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
program jangka panjang Pemerintah Kota Surakarta yang akan meningkatkan dunia Pariwisata dengan mengangkat tema batik sebagai ciri kas Kota Surakarta. Halte BST diluncurkan pertama kali pada tahun 2010 yang memiliki manfaat untuk mengoptimalkan kenyamanan pengguna jasa layanan transportasi. Batik Solo Trans merupakan salah ikon kota Surakarta mengenai transportasi. Bis yang mengusung tema tentang batik iniberoperasi sejak tahun 2010. Dengan tema "Batik", mencoba melekatkan ke hati masyarakat kota Surakarta maupun luar kota Surakarta bahwa batik tidak hanya merupakan sebuah objek yang lekat dengan pakaian saja, akan tetapi diapliasikan ke dalam sebuah moda transportasipun tidak aneh. Bus ini merupakan sebuah angkutan umum yang mengutamakan kenyamanan dan ketepatan waktu dengan harga yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Dikatakan tepat waktu dikarenakan bus ini hanya berhenti dan menaikan penumpak di sebuah halte yang telah disiapkan. Halte tersebut diberi nama Shalter BST. Shelter BST ini sudah terdapat sejumlah 35 buah, 24 diantaranya berada di kota Surakarta, dan 11 lainnya berada di luar Surakarta. Halte BST ini nantinya direncanakn dibuat sebanyak 51 buah. Untuk halte yang sekarang ada yang disebtu halte portable atau semi permanent jumlahnya mencapai 20 buah. Halte BST ini dibuat untuk kebutuhan masyarakat Surakarta akan transportasi tanpa terkecuali. (wawancara dengan Bapak Suryo, 20 Juli 2011). Ada beberapa halte yang ditunggui petugas untuk melihat data ketepatan, salah satu halte BST tersebut adalah halte BST Pasar Gede. Dilihat dilapangan kondisi halte–halte BST masih bagus dan terawat. Sedangkan halte yang semi
commit to user 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
permanent atau portable juga masih terlihat terawatt dan tidak disalahgunakan oleh masyarakat umum.
C.3 Tempat – tempat Ibadah di Kota Surakarta Di kota Surakarta terdapat banyak tempat ibadah untuk keberagaman agama di Kota Surakarta. Berikut akan dijelaskan banyaknya tempat ibadah di kota Surakarta dan banyaknya penganut masing–masing agama di Kota Surakarta.
Kecamatan
Laweyan
Tabel 05 Tempat Ibadah di Kota Surakarta di Tiap Kecamatan Masjid Mushola Gereja Gereja Pura dan Kristen Khatolik Langar 132 38 20 2 -
Vihara
2
Serengan
43
22
21
-
-
1
Pasar Kliwon Jebres
79
23
11
2
-
1
105
74
55
1
1
3
Banjarsari
146
57
62
-
1
4
JUMLAH
505
214
169
5
2
11
Sumber: BPS, 2009 Walupun memeiliki agama yang berbeda–beda namun para warga masyarakat di Kota Surakarta ini saling mendukung dan membaur.
Tabel
dibawah ini akan menampilakn mengenai banyaknya penduduk di Kota Surakarta berdasarkan agama yang dianut.
commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 06 Banyaknya Penduduk di Tiap Kecamatan Menurut Agama yang Dianut Kecamatan Islam Katholik Kristen Budha Hindu Laweyan
89.652
10.980
9.313
399
210
Serengan
49.444
6.609
7.397
118
91
Pasar Kliwon
69.571
8.996
8.662
667
148
Jebres
98.764
20.984
21.282
1.420
869
Banjarsari
130.892
20.059
22.843
1.158
320
JUMLAH
438.892
67.628
69.497
3.762
1.638
Sumber: BPS, 2009 Jika dilihat pada table diatas maka di Kota Surakarta penganut agama muslim menempati urutan pertama, lalu selanjutnya adalah penganut agama Kristen, setelah itu penganut agama Khatolik, Budha, dan Hindu. Maka fokus penelitian ruang publik yaitu tempat ibadah difokuskan pada Masjid Agung dan Gereja Kristen Jawa Margoyudan, seperti kebanyakan agama yang dianut oleh warga masyarakat Surakarta.
C.3.1 Masjid Agung Surakarta Masjid Agung Surakarta didirikan tidak lama setelah pusat kerajaan Kartasura dipindahkan ke Surakarta pada 17 Februari 1745M. Letak Masjid Agung Surakarta tidak begitu jauh dari keraton yaitu di sebelah barat alun–alun utara dan menghadap ke timur. Dalam perkembangannya, Masjid Agung Surakarta telah mengalami pembangunan yang cukup banyak dan sebagai salah satu ikon tempat ibadah umat Islam ini menjadi sasaran para pedagang maupun pembeli di Pasar Klewer untuk melaksanakan ibadah sholat dan tempat untuk berisitirahat bagi sebagian orang.
commit to user 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kondisi yang sekarang ini memang sangat tidak layak mengingat Masjid Agung Surakarta termasuk salah satu cagar budaya yang dilindungi dan dipertahankan. Kenyamanan ruangan yang ada merupakan faktor penting bagi jamaah yang akan melaksanakan ibadah sholat. Begitu pula dengan tempat wudlu, karena tempat tersebut merupakan tempat vital bagi setiap orang yang akan melaksanakan ibadah, maka perlu adanya perbaikan yang dilakukan. Namun tanpa mengubah bentuk tempat wudlu yang sudah aksesibel bagi masyarakat maupun bagi difabel.
Dengan kondisi ruangan yang nyaman maka semakin
banyak pula orang yang akan atang ke Masjid Agung Surakarta. Hingga sekarang ini Masjid Agung masih menjadi salah satu tempat wisata ziarah bagi wisatawan.
Lebih dari 1000 orang setiap harinya yang
berkunjung ataupun untuk melakukan solat di masjid ini. Masjid Agung tetap berdiri kokoh sama seperti ketika pertamakali dibangun, dan menjadi salah satu masjid kebanggan di Kota Surakarta.
C.3.2. Gereja Kristen Jawa Margoyudan Berdirinya GKJ Margoyudan diawali dari persekutuan yang dipimpin oleh Dr.J.G Scheurer, seorang dokter utusan Zending. Seiring perkembangannya pada 13 April 1916, diadakan pemilihan anggota Majelis yang pertama. Maka pada hari Minggu 30 April 1916 diresmikan terbentuknya majelis dan berdirinya Gereja Keristen Jawa Margoyudan. Arsitektur bangunan gereja ini masih kental dengan sentuhan Belanda kuno, mengingat pembangunan gereja ini didirakan oleh arsitek
commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Belanda dan kelestariannya yang masih terjaga.Gereja ini secara keseluruhan memiliki kondisi yang masih baik. Jumlah jemaat yang berada di bawah gereja ini yaitu 3000 orang jemaat, yang diantaranya terdapat 20 orang jemaat penyandang cacat. Gereja Kristen Margoyudan merupakan pelopor terbentuknya gereja–gereja Kristen Jawa di kota Surakarta termasuk didalamnya adalah Gereja Kristen Indonesia.
C.4. Taman – Taman di Kota Surakarta Sebagai salah satu taman di Kota Surakarta maka Taman Sekartaji merupakan Taman yang diresmikan oleh walikota Surakarta Jokowi pada tanggal 20 Februari 2009 ini dapat dikatakan berbeda karena Taman Sekartaji berada di pinggiran sungai atau bantaran sungai kali Anyar, di kawasan Mojosongo, Jebres, Surakarta. Melihat fisik taman yang begitu dekat dengan sungai, semakin menguatkan keberadaan tempat ini untuk dijadikan tempat yang sangat cocok untuk bersantai atau beristirahat sejenak sembari melihat derasnya aliran sungai Kali Anyar yang mengalir menuju sungai Bengawan Surakarta. Pada mulanya Taman Sekartaji ini berupa lahan yang dihuni oleh PKL penjual bunga. Sepanjang bantaran sungai kali Anyar tersebut banyak penjual bunga yang tinggal semi permanent. Namun kebijakan pemerintah kota yang mengharuskan kota Surakarta memiliki lahan terbuka hijau sebanyak 20% mengaharuskan para penjual bunga ini harus pindah tempat atau direlokasi. Walaupun diharuskan pindah tempat ternyata Pemerintah Kota telah menyedikan tempat yang tidak jauh dari tempat mereka semula berjualan. Relokasi tersebut
commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berada di sebelah barat Pedaringan yaitu berupa shelter–shelter yang telah dilengkapi dengan kamar mandi umum. Taman tersebut masih tegolong baru. Taman ini berdiri karena ada surat edaran dari walikota Surakarta yang ingin merubah bantaran sungai menjadi daerah konservasi, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Sultan dari Badan Lingkungan Hidup. “ Sebenarnya pembuatan Taman Sekartaji dan Taman Tirtonadi dibuat untuk memenuhi perintah dari walikota untuk revitalisasi bantaran sungai mbak. Jadi adanya kebijakan untuk penataan ruang publik menjadi lahan terbuka hijau hingga 20%. (wawancara, 13 Juli 2011). Akan tetapi sepertinya taman tersebut belum sepenuhnya selesai karena masih ada beberapa bagian taman yang kosong terlihat masih belum digarap. Lewat Taman Sekartaji ini setidaknya Surakarta sudah mampu menyulap bantaran kali menjadi sebuah taman yang indah ini bisa sedikit mengurangi sebab terjadinya banjir dan menjadi ruang terbuka hijau. Dengan dibangunnya Taman Sekartaji, diharapkan untuk masyarakat kota Surakarta pada umumnya semakin peduli dengan lingkungan sekitar termasuk di kawasan bantaran sungai Kali Anyar. Walaupun yang pada mulanya tidak terawat dan mengandung resiko bencana yang tinggi pada akhirnya kawasan ini diubah menjadi sebuah tempat multifungsi selain sebagai tempat bersantai tetapi juga sebagai daerah konservasi yang tentunya memiliki manfaat bagi warga Surakarta.
C.5. Mall dan Store di Kota Surakarta Pusat bisnis kota Surakarta terletak di sepanjang jalan Slamet Riyadi. Banyak pusat perbelanjaan terdapat di kota Surakarta ini. Dalam penelitian ini
commit to user 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ruang publik mengenai pusat perbelanjaan dikhususkan pada Solo Grand Mall sebagai Mall pertama di Kota Surakarta. Solo Grand Mall yang dibangun diatas lahan seluas 12.080 m2, merupakan bangunan pusat perdagangan yang bernuansa Mal, dimana bangunan komersial ini terdiri atas 7 lantai dengan total luasannya 63.000 m2.
Mall yang mulai
beroperasi pada 04 Desember 2004 memiliki banyak fasilitas yang ditawarkan di dalam Mall ini. Dengan fasilitas yang memadai maka banyak pula pengunjung yang datang. Di setiap lantai terdapat lift dan escalator maupun travelator untuk menunjang kenyamanan pengunjung. Pengunjung yang datang pun merasakan kenyamanan, ruang parkir roda emapt dan roda dua yang luas serta adanya penjagaan. Semua lantai dapat diakses dnegan baik oleh semua orang. Terdapat pula ruang untuk ibu dan anak menyusui yang dapat digunakan oleh ibu dan anak yang membutuhkan ruang terserbut. Banyak fasilitas yang ditawarkan kepada msyarakat luas. (solograndmall.co.id) Dari disini dapat terlihat bahwa kota Surakarta memiliki berbagai macam ruang publik dan fasilitas yang sangat banyak, diantaranya adalah Pasar Gede, Taman Sekartaji, Halte Batik Solo Trans, Terminal Tirtonadi, Masjid Agung Surakarta, Gereja Kristen Jawa Margoyudan, dan Solo Grand Mall. Setiap ruang publik memiliki fungsi dan kesemuanya haruslah dapat digunakan oleh semua masyarakat dapat menjadi kebanggaan kota Surakarta. Selain itu ruang publik haruslah dirawat agar tetap terjaga dengan baik. Berbagai macam ruang publik inilah yang membawa kota Surakarta di dalam perkembangan yang cepat ke arah yang lebih baik.
commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III ANALISIS DATA
Ruang publik merupakan ruang dimana masyarakat dapat berkumpul dan menghabiskan waktu sejenak. Ruang publik dapat bermacam–macam bentuknya sesuai dengan jenis dan fungsinya yang berbeda–beda. Ada berbagai jenis antara lain yaitu tempat ibadah, tempat atau sarana transportasi, taman kota, pasar maupun mall, dan lain sebagainya. Sebagai ruang publik maka kegunaan secara umum adalah sepenuhnya untuk masyarakat yang membutuhkan tanpa pembedaan apapun. Sekarang ini kota Surakarta merupakan kota yang mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dalam segi apapun terlihat sangat berkembang. Salah satunya adalah dari sisi ruang publik yang begitu jelas. Diakui bahwa Surakarta juga merupakan salah satu surga bagi difabel, karena begitu banyak akses yang mudah bagi para difabel ini untuk menggunakannya. Menurut Dinas Tata Ruang Kota, Surakarta memang telah menjalankan Perda No. 2 Tahun 2008 yaitu mengenai kesetaraan difabel. Semua pembangunan yang baru haruslah sesuai dengan peraturan tersebut.
Namun untuk pembangunan yang lama diharapkan juga
segera untuk menambahkan akses bagi difabel. Surakarta mempunyai sejarah yang baik mengenai difabel. Sejak menjadi rujukan Asia Pasifik dalam penyelenggaraan rehabilitasi difabel pada tahun 1957, Surakarta dikenal menjadi kota peduli difabel. Dibawah pimpinan Prof. dr Soeharso, di saat itu banyak lembaga rehabilitasi difabel yang didirikan, seperti
commit to user 50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
RC (yang sekarang menjadi BBRSBD), YPAT (yang sekarang menjadi YPAC), dan Rumah Sakit Orthopedi. Pada waktu itu konsep rehabilitasi difabel dilakukan secara total, mulai dari penanganan medis hingga pelatihan untuk memperoleh pekerjaan. Banyaknya panti rehabilitasi difabel yang bermunculan di Surakarta mengundang difabel dari luar kota berdatangan untuk mendapatkan rehabilitasi. Selain rehabilitasi terdapat pula pelatihan yang membuat difabel menjadi lebih betah, selain itu terdapat banyak akses bagi difabel di kota ini. Dalam penelitian ini lebih ditekankan pada aksesibilitas secara fisik kesetaraan terhadap difabel yang sekarang ini seringkali masih menjadi masalah bagi difabel. Aksesibilitas fisik meliputi layanan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah maupun pihak swasta bagi difabel dalam akses yang lebih mudah untuk menggunakannya. Aksesibilitas ini dibuat oleh pemerintah dengan harapan sebagai bentuk sebuah kemandirian untuk difabel. Selain itu difabel yang dipilih adalah difabel tunadaksa yaitu difabel yang berkursi roda dan difabel yang memakai tongkat.
Untuk jenis kecacatannya ada berbagai jenis yaitu polio,
amputasi, dan kelainan pertumbuhan tulang.
Penderita tunadaksa merupakan
cacat yang diasumsikan memeiliki persoalan yang paling kompleks dengan jenis cacat lain, terutama dalam hal aksesibilitas Jadi bisa dibilang setiap apa yang yang akan dikembangkan oleh pemerintah harus sesuai dengan kebutuhan difabel tersebut. Hal ini karena difabel juga memiliki hak untuk mengakses sesuatu yang dapat diakses oleh orang normal. Setiap pembangunan yang ada haruslah mendapat ijin dari Pemerintah Kota, karena hal itu adalah untuk masyarakat umum dan juga bukan untuk
commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kelompok tertentu, jadi setiap orang dapat menikmati ruang tersebut tanpa kesulitan ataupun pembedaan.
A. Permasalahan Aksesibilitas Dalam penelitian ini yang difokuskan pada masalah aksesibilitas fisik difabel ditemukan bahwa banyak permasalahan yang ditemukan oleh peneliti. Permasalahan tersebut menjadi suatu rintangan bagi difabel dalam kemudahan mendapatkan aksesibilitas.
Beberapa permasalahan mengenai aksesibilitas
difabel, sejauh apa yang ditemukan oleh peneliti di lapangan : 1. Masalah Desain Teknis Permasalahan desain teknis berkaitan dengan bentuk bangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan difabel. Sebagai contoh adalah rem yang terlalu tinggi, sempitnya jalan masuk menuju suatu ruangan, tidak adanya guilding block dalam suatu bangunan. Bagi difabel berkursi roda maka beberapa hambatan desain teknis yang dialami adalah: 1. Perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti pada tangga atau parit. 2. Tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar. 3. Tidak cukupnya ruang untuk berbelok, lubang pintu dan koridor yang terlalu sempit 4. Permukaan jalan yang tidak rata atau berlubang (misalnya karena adanya bebatuan) menghambat jalannya kursi roda.
commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hambatan ini dialami oleh salah seorang difabel berkursi roda yaitu Amsori Zakim yang kesulitan mengakses Taman Sekartaji, karena sarana rem landai yang tidak ada antara trotoar dan jalan hal ini mengakibatkan difabel berkursi roda tidak bisa masuk kedalamnya. Dari sini jelas terlihat Perda kesetaran difabel masih belum menjangkau hingga kebutuhan difabel dalam ruang publik Taman yang sedianya memang digunakan untuk melakukan aktivitas bersantai. Selain itu jalanan yang tidak rata juga menjadi salah satu permasalahan yang dialami difabel. Keadaan jalan yang tidak rata menyulitkan difabel untuk dapat mandiri terkhusus bagi difabel berkursi roda, kesulitan bisa dialami para difabel bila tiba-tiba kursi roda yang mereka terantuk sesuatu seperti lubang ataupun batu kerikil. Hasil dari lapangan ditemukan pula bahwa difabel berkursi roda juga mengalami kesulitan ketika akan mengakses Halte Batik Solo Trans, yang sejatinya ada setelah Perda kesetaraan difabel ada. Tingginya tingkat kecuraman rem yang berada di sisi pintu masuk halte membuat difabel berkursi roda harus memerlukan bantuan orang lain untuk mengaksesnya. Kecuraman bagi difabel berkursi roda membuat difabel tersebut membutuhkan bantuan orang lain dan tidak dapat mandiri.
Padahal dengan
kecuraman yang ada maka kemandirian yang diharapkan terjadi pada difabel menjadi tidak terjadi. Hambatan tidak saja dialami oleh difabel pemakai kursi roda, difabel pemakai tongkat atau semi ambulant pun juga mengalami hambatan yang dapat
commit to user 53
perpustakaan.uns.ac.id
mempersulit dirinya.
digilib.uns.ac.id
Berikut adalah hambatan bagi difabel tongkat yang
ditemukan di lapangan.: 1. Tangga yang terlalu tinggi. 2. Lantai yang terlalu licin. 3. Pintu lift yang menutup terlalu cepat.
Tangga yang terlalu tinggi dan banyak dirasakan oleh Muhamad Rosul ketika akan menunaikan ibadah sholat di Masjid Agung Surakarta. Tangga yang berada di masjid tersebut tinggi dan banyak, difabel akan mengalami kelelahan dan sedikit kesulitan untuk melewatinya. Bagi difabel semi ambulant atau pemakai tongkat, walaupun tidak separah kursi roda tetap saja mereka akan mengalami kesulitan dengan tempat yang mempunyai ketinggian curam. Lantai yang licin seperti lantai tempat wudlu di Masjid Agung juga sedikit menghambat difabel, walaupun di tempat tersebut telah dibuat khusus bagi difabel untuk berwudlu. Dari penjabaran diatas mengenai permasalahan desain teknis mengenai aksesibilitas difabel maka dapat diketahui ada beberapa ruang publik yang peneliti teliti masih belum sesuai dengan keadaan difabel. Ruang publik tersebut antara lain yaitu: a. Taman Sekartaji Taman yang terbuka merupakan simbol dari perjumpaan antar individu, keluarga maupun komunitas. Warga masyarakat dari berbagai kalangan membaur dalam keindahan taman . Anak kecil, remaja, orang
commit to user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dewasa, lanjut usia bahkan difabel bisa kita temui di taman. Tidak saja akhir pekan tapi juga di hari kerja, taman terus ramai sampai malam. Selain itu taman adalah ruang terbuka hijau merupakan sarana estetika yang mampu memberikan kesejukan dikala musim panas, pori-pori kota berfungsi menyerap air dikala musim hujan, paru-paru kota menyaring polusi udara co2 serta tempat bersosialisasi warga.
Kebutuhan warga masyarakat terhadap taman sama
pentingnya dengan kebutuhan sandang dan pangan, karena keberadaanya bisa memberikan nilai positif terhadap produktifitas warga dalam merilekskan pikiran. Taman Sekartaji salah satu taman yang dibangun di Kota Surakarta yang memiliki fungsi sebagai daerah konservasi, taman yang dibangun di sepanjang bantaran sungai ini merupakan ruang publik yang ramai dikunjungi masyarakat. Salah satunya adalah difabel tentunya, karena bertempat tepat di depan pusat pelatihan difabel yaitu BBRSBD Prof. DR. Soeharso.
Difabel dari sekolah
tersebut sering menghabiskan waktu disitu. “Taman Sekartaji ini kan pake anak tangga kak, ga ada jalan buat saya yang pakai kursi roda, yaudah jadi bisanya yaw cuma disini saja. Jadi ya lebih baik saya tinggal diasrama BBRSBD saja dan tidak kemana – kemana. Kalau buat saya kak, taman ini harusnya dikasi rem yang landai biar difabel kursi roda kaya saya bisa masuk kebawahnya, kan saya juga pengen liat taman ini kak. Agak iri juga liat temen-temenku bisa sampe ke bawah, tapi saya ga bisa. “ ( wawancara dengan Amsori Zakim 08 Juli 2011 )”
commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Foto 01
Keterangan: Pintu masuk Taman yang berupa anak tangga yang menyulitkan difabel berkursi roda masuk ke dalamnya. Sumber : Dokumentasi peneliti Bentuk dari taman ini adalah memanjang dengan berbagai macam jenis tanaman, namun untuk dapat melihat taman ini harus melalui anak tangga yang jumlahnya beberapa. Dari hal ini difabel seperti Amsori yang berkursi roda tidak dapat menikmati Taman Sekartaji yang notabene memang tidak dibangun untuk difabel. Lain halnya dengan difabel yang mengalami kecacatan semi ambulant yaitu difabel yang cacat dan perlu mengunakan tongkat masih dapat menggunakan dan mengakses Taman Sekartaji sampai ke bawah dan di sepanjang bantaran sungai. “ Kalau aku sendiri akses tangga ataupun rem bisa mbak, soalnya kan aku pakai tongkat jadi tanpa bantuan teman pun aku bisa masuk menikmati sekartaji. Aku bisa masuk dengan mudah kan disitu adanya tangga , tp ga tau juga kalau yang pakai kursi roda bisa atau tidak”. ( wawancara dengan Eman Permana, 08 Juli 2011 )
Jika melihat keadan ini maka difabel berkursi mengalami kesulitan untuk mengakses sedangkan untuk difabel yang menggunakan tongkat tidak kesulitan untuk mengaksesnya.
Hal ini yang memengaruhi perbedaan intesitas difabel
untuk berkunjung ke Taman Sekartaji. Bagi difabel bertongkat mereka sering
commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berkunjung untuk nongkrong ataupun bersantai, tapi bagi difabel berkursi roda karena hambatan akses tidak memadai membuat difabel menjadi malas mengunjungi tempat tersebut. Jadi untuk Taman Sekartaji yang lebih mengedepankan pada ruang terbuka hijau untuk prioritas utama, dan sebagai ruang publik bagi masyarakat sebagai prirotas kedua, maka taman ini belum sepenuhnya bisa menjangkau masyarakat khususnya bagi difabel. Hal ini menjadikan salah satu permasalahan infrastruktur dan fungsi yang masih membelit difabel berkursi roda. Bentuk bangunan yang tidak mengunakan akses landai di pintu masuk menjadikan difabel kesulitan.
b. Halte Batik Solo Trans Transportasi merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan. Setiap orang membutuhkan transportasi, baik tua maupun muda.
Batik Solo Trans
merupakan solusi transportasi umum di Kota Surakarta yang nyaman, aman, dan tepat waktu. Halte BST diluncurkan pertama kali pada tahun 2010 yang memiliki manfaat untuk mengoptimalkan kenyamanan pengguna jasa layanan transportasi. Halte Batik Solo Trans terdiri dari perpaduan antara unsur modern dan tradisional yang sangat tampak pada bangunannya. Haltenya didominasi warna merah dan material kaca serta dihiasi pola-pola batik pada bagian bawahnya. Atapnya juga menggunakan jenis atap yang sering digunakan pada rumah-rumah tradisional Jawa. Halte Batik Solo Trans juga memiliki pengawas . Di beberapa
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
halte ada seorang pengawas yang bertugas memberitahu sopir tentang interval waktu antarbus. Rupanya hal interval waktu ini sangat diperhatikan. Foto 02
Keterangan : Halte yang ditunggui oleh petugas, namun bentuk halte ini tidak aksesibel bagi difabel. Sumber : Dokumentasi peneliti
Bentuk lainnya adalah adanya anak tangga dan jalan landai yang memiliki pegangan bagi difabel disisi kanan maupun kiri.
Halte Batik Solo Trans
dirancang memang untuk difabel. Namun tidak semua bisa haltenya bisa, bahkan rem pun tidak semua halte Batik Solo Trans landai, kemiringan bahkan ada yang mencapai sekitar 60 derajat. Selain itu titik halte juga berada di tempat tertentu, hal ini menyulitkan difabel untuk merasakan halte maupun bus Batik Solo Trans. “ Aku emang sering naik bis mbak tapi kalau naik BST aku belum pernah sama sekali aku jadi malas nyoba bis batik surakarta trans, mending naik bis yang lain aja, soalnya lebih gampang”. ( wawancara,08 Juli 2011)
Tingginya kecuraman inilah yang menjadi hambatan desain teknis bagi difabel. Dengan rem yang sangat curam maka difabel akan kesulitan mengakses. Seharusnya tingkat kecuraman rem bagi difabel adalah bekisar antara 6–10 derajat. Namun bila melihat halte Batik Solo Trans, hampir semuanya memiliki
commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kecuraman lebih dari 10 derajat. Selain itu juga ada banyak halte Batik Solo Trans yang masih portable atau semi permanen, yaitu yang berupa anak tangga saja. Tentunya hal ini merupakan suatu kesulitan tersendiri bagi difabel, bahkan difabel berkursi roda tidak akan bisa menggunakannya. Foto 03
Keterangan: Halte BST yang mengunakan akses landai namun curam Sumber : Dokumentasi peneliti
Dari hal tersebut diatas dapat dilihat bahwa masyarakat difabel kebanyakan masih belum mampu untuk mengakses Halte Batik Solo Trans. Selain karena harus di titik tertentu untuk dapat menaikinya, halte dari BST itu sendiri masih banyak yang kurang bisa dijangkau oleh difabel. Mulai dari tingkat kecuraman maupun rem yang berbenturan dengan pohon-pohon dipinggir jalan.
c. Masjid Agung Surakarta Masjid Agung Surakarta ini adalah masjid terbesar di Surakarta. Dibangun sekitar tahun 1727 atas prakarsa Pakubuwono X. Masjid ini memiliki arsitektur Jawa Klasik, terletak di bagian barat Alun-alun Surakarta. Dengan status masjid negara dan kerajaan karena segala keperluan masjid disediakan oleh kerajaan dan
commit to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masjid juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan kerajaan. Masjid Agung Surakarta sebagai ikon kota Surakarta merupakan menjadi salah satu tujuan wisata para wisatawan. Setiap harinya banyak orang berkunjung kesana baik untuk beribadah maupun untuk melihat keindahan dari masjid Agung ini. Salah seorang difabel yaitu Saudara Rosul yang sering mengunjungi masjid mengungkapkan bahwa mudah untuk masuk kebangunan Akan tetapi karena harus naik tangga yang lumayan tinggi membuat dirinya menjadi lelah. “ Kalau mau sholat disana itu naiknya tinggi mbak, ngga kesulitan sih tp lumayan bikin capai dan menguras tenaga juga. Saya pakai anak tangga saja bisa masuk ke dalamnya, tapi kalau yang kursi roda paling ngga ya harus ada jalannya, bukan anak tangga seperti itu.”. (wawancara, 23 Juni 2011) Pendapat Saudara Rosul juga mendapat dukungan dari Bapak Bambang seorang difabel semi ambulant yang menggunakan tongkat, beliau mengatakan merasa capai jika akan melaksanakan ibdah sholat karena harus lah naik anak tangga yang cukup banyak dan tinggi. “Nek Cuma mlaku teng mriki nggih mboten enten napa – napa ne, niki kan nggih ibadah terus kathah pahalane. Kulo solat nggih solat biasa mbak, nek teng masjid cerak griya kulo mboten enten undak–undakane tapi teng mriki enten nggih radi kesel asline mbak, tapi niku ibadah itungane. (Kalau Cuma untuk menuju kesini (Masjid Agung Surakarta ) itu tidak ada apa–apanya saya anggap itu ibadah yang banyak pahalanya. Saya solat ya solat biasa mbak, kalau di masjid dekat rumah saya tidak ada tangganya, tapi kalau disini ada jadi yaw agak capai sebenarnya mbak, tapi ya itu ibadah.)”. (wawancara, 20 Juli 2011)
Bagi difabel yang mengunakan kursi roda untuk mencapai ibadah di ruang dalam tidak akan bisa karena harus menaiki anak tangga yang tinggi. Menurut
commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kepala TU Masjid Agung yang setiap harinya berada disana, pengunjung difabel berkursi roda hampir tidak ada kalaupun ada pasti tidak bisa melaksanakan ibadah solat sampai ke bangunan utama. “ Bagi mereka yang berkursi roda biasanya mereka Cuma sampai serambi aja mbak sholatnya, tapi kalo yang pakai tongkat bisa masuk kedalam. Kan tempat didalam itu berupa tangga mbak, jadi ya susah buat mereka yang pakai kursi roda, ga ada tempat khusus bagi difabel mbak kecuali tempat buat wudhu itu. “ (wawancara, 20 Juli 2011).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masjid Agung Surakarta aksesibel terhadap difabel namun hanya bagi difabel pemakai tongkat. Hambatan berupa arsitekrutal desain teknis ini berupa anak tangga yang tinggi untuk menuju ruang utama dan itu membuat difabel kesulitan untuk mengakses saat akan sholat. Sedangkan untuk tempat wudlunmya tidak ada hambatan infrastrukturnya karena tempat wudlu dibangun sebagai bentuk kepedulian terhadap difabel dalam menjalankan ibadahnya menjadi lebih mudah. Dapat terlihat bahwa hambatan desain teknis ini merupakan suatu permasalahan bagi difabel, seperti yang diutarakan Hinkle dalam teori aksi bahwa kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak dapat diubah dengan sendirinya. Dari hal ini jika dikaitkan dengan ruang publik maka dapat dilihat
bahwa ruang publik yang seharusnya demokratis yaitu dapat
dimanfaatkan masyarakat umum tanpa terkotak-kotak ternyata masih belum aksesibel bagi difabel. Difabel tidak akan bisa mengkases jika tidak ada pembangunan yang memihak kearah mereka. Hambatan desain teknis ini membuat difabel menjadi terkotak-kotak karena mereka belum mampu mengakses dengan baik.
commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Ruang Yang Tidak Kondusif Keadaan ruang yang tidak kondusif adalah ketika ruangan tersebut terlalu sempit ataupun ramai, sehingga difabel tidak bisa dengan mudah mengakses tempat tersebut. Perasaan tidak nyaman akan menghampiri difabel jika difabel merasa terdesak didalam suatu ruangan. Terdapat beberapa ruang publik yang diteliti dengan keadan yang tidak kondusif bagi difabel adalah Pasar Gede dan Terminal Tirtonadi.
a. Pasar Gede Pasar Gede merupakan pasar yang telah mengunakan fasilitas bagi difabel namun difabel merasa kurang nyaman jika harus berada didalam pasar. “ternyata apa rame banget sampe saya kedesak–desak orang. memang mudah masuknya sih mbak, tp itu didalamnya terlalu ramai dan membuat saya ga merasa santai untuk berbelanja.” (wawancara, 23 Juni 2011)
Pasar Gede tempat bertransaksi jual beli ini setiap harinya dipadati oleh lebih kurang seribu orang tiap harinya. Lorong tempat pengunjung untuk berjalan pun semakin sempit karena dipakai untuk berjualan. Orang normal saja merasa kesulitan ketika harus berjalan di lorong yang penuh pedagang tersebut apalagi orang yang berkebutuhan khusus seperti difabel. “sebenarnya pasar Gede itu sendiri udah sangat bisa diakses buat masuknya, yaw tapi itu mungkin mereka ga bisa leluasa apalagi pedagangnya kan kalo jualan ada yang ditengah–tengah, mungkin itu yang membuat penyandang cacat itu tidak nyaman.” (wawancara dengan Bapak Suwarji, 15 Juli 2011)
commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Foto 04
Keterangan: Lorong sempit diantara pedagang yang tidak leluasa baik bagi difabel maupun masyarakat luas Sumber : Dokumentasi Peneliti
Hal inipun sebenarnya juga sudah diakui oleh pegawai Pasar Gede, pedagang yang berada di tengah lorong tersebut membuat tidak leluasa bagi difabel maupun orang normal dalam berbelanja. Namun untuk mengusir keluar pedagang juga tidak bisa dilakukan karena mereka merupakan pedagang sah di pasar gede yang selalu membayar retribusi. Keadaaan pasar yang ramai serta jalan yang menjadi sempit membuat difabel enggan untuk mengunjungi pasar lagi.
b. Terminal Tirtonadi Terminal Tirtonadi setiap harinya terdapat ribuan pengunjung yang datang dan pergi. Bahkan sangat sedikit sekali difabel yang mengakses terminal. Salah seorang difabel yaitu Amzori mengatakan bahwa Terminal itu sangat tidak kondusif dan sangat tidak nyaman bagi orang–orang berkebutuhan khusus. “Buat naik atau turun ke bis nya juga butuh bantuan orang soalnya tinggi bis dan lantainya ga sama, selain itu rame juga.” (wawancara, 08 Juli 2011)
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keadaan ruang yang tidak kondusif menjadi salah satu permasalahan aksesibilitas tempat yang sempit dan terlalu banyak orang menjadikan difabel akan merasa enggan untuk menjangkau di tempat tersebut. Dalam hal ini terminal menjadi salah satu ruang publik yang memiliki keadaan yang tidak kondusif. Walaupun mungkin bagi orang normal hal ini biasa, namun nyatanya tidak bagi difabel.
Difabel memiliki kemampuan yang berebda, maka keadaan yang
diinginkan pun harus sedikit berbeda. Jika orang normal keadan ramai masih bisa bertahan, namun tidak bagi difabel yang membutuhkan ruang untuk bisa menyesuaikan diri. Dari pihak terminal juga mengatakan difabel hanya sedikit sekali yang terlihat ada di terminal, hal ini dikarenakan terminal yang sangat ramai dan walupun sudah disediakan akses rem namun tidak bisa digunakan dengan baik. “saya jarang melihat difabel di terminal ini, hanya sekitar 1% saja setiap bulannya ada nya difabel, jadi sangat jarang sekal, kondisi terminal tirtonadi yang sekarang adalah terlalu sempit dan sesak bagi bus–bus yang masuk dan keluar, begitu pula dengan masyarakat penguna jasa transportasi juga semakin banyak” ( wawancara dengan Bapak Henry, 20 Juli 2011).
Banyaknya penguna jasa terminal ini yang membuat difabel merasa tidak nyaman. Amzori difabel berkursi roda mengatakan membutuhkan ruang yang cukup, akses yang tepat, dan tidak terlalu ramai, karena keramaian dapat membuatnya tidak nyaman. Kondisi yang tidak kondusif dalam ruang publik merupakan permasalahan aksesibilitas difabel yang cukup sering ditemui. Kondisi seperti ini mengakibatkan difabel merasa tidak percaya diri karena mereka akan kurang bisa menyesuaikan
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diri dengan keadaan di sekitarnya. Sempitnya akses sosial bagi mereka telah membuat ruang gerak
difabel semakin terbatas.
Hal ini sama seperti yang
diungkapkan oleh Parsons dalam skema unit dasar tindakan sosial yaitu aktor berhadapan dengan kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai suatu tujuan. Keterbatasan difabel dalam mengkases karena kondisi yang tidak dapat dikendalikan oleh difabel itu sendiri membuat mereka menjadi malas bahkan enggan mencapai suatu ruang publik, dalam hal ini adalah pasar dan terminal. Kedua ruang publik ini dirasa tidak sesuai dengan keadaan mereka yang memiliki kemampuan yang berbeda.
3. Fasilitas Yang Tidak Memadai dan Kurang Perawatan Tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh semua orang merupakan persoalan kesamaan kesempatan dan keadilan sosial. Akses terhadap fasilitasfasilitas umum merupakan hak bagi semua masyarakat, bukan pilihan semata. Lebih dari itu, penataan lingkungan yang sesuai dengan aksesibilitas akan juga memberikan lebih banyak kenyamanan bagi warga masyarakat pada umumnya. Kota Surakarta juga seharusnya menjamin bahwa dalam perencanaan suatu bangunan, konstruksi,dan desain fisik, utamanya yang bersifat publik, adalah mempertimbangkan akses para difabel dan para perencana pembangunan haruslah memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap difabel. Untuk keperluan tersebut, difabel harus dilbatkan dalam proses konsultasi perencanaan bangunan.
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagi kebanyakan orang keperluan akses bagi difabel itu termasuk nomor dua, karena permasalahan aksesibilitas bagi kebanyakan orang adalah tidak penting. Di kota Surakarta sendiri diketahui bahwa terdapat Perda Kesetaraan Difabel yang mewajibkan setiap bangunan terdapat akses yang ramah bagi difabel. Namun pada kenyataannya banyak dari ruang publik sebenarnya sudah memberikan akses bagi difabel namun difabel tetap tidak bisa merasakan manfaatnya. Seperti yang telihat di terminal Tirtonadi, ditempat tersebut sudah terdapat rem atau jalan landai, namun ternyata rem tersebut sudah tidak layak bagi difabel. Bahkan rem terdsebut beralih fungsi menjadi tempat jalan bagi troli angkutan barang. Selain itu rem tersebut terdapat kerusakan yang cukup sulit bila difabel melewatinya. Fasilitas tersebut tidak terawat dan dibiarkan begitu saja. Seperti yang terlihat dalam gambar berikut:
Foto 05
Keterangan : Akses rem Terminal Tirtonadi yang tidak terawat dan sebagai tempat jalannya troli Sumber : Dokumentasi Peneliti
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Foto 06
Keterangan Sumber
: Pertautan antar lantai di Terminal Tirtonadi yang tidak terawat : Dokumentasi Peneliti
Dari hasil observasi juga ditemukan bahwa kurang perawatan akses rem di Masjid Agung Surakarta. Dapat dilihat dari akses rem yang hanya sampai di pelataran tersebut sudah ada kerusakan dan diabaikan begitu saja. Padahal akses tersebut akan sangat membantu difabel berkursi roda untuk lebih mudah mencapai Masjid tersebut. Foto 07
Keterangan: Akses rem bagi difabel di Masjid Agung yang telah rusak Sumber : Dokumentasi Peneliti Permasalahan mengenai aksesbilitas ini juga dibenarkan oleh Ibu Purwaningtyas yang memiliki keponakan seorang difabel. Beliau menuturkan bahwa banyak akses bagi difabel kurang memenuhi standar dan terkadang malah rusak–rusak. Aksesbilitas bagi difabel sebenarnya sudah ada, namun terkadang
commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
fasilitasnya tidak sesuai bahkan tidak memadai, jika tidak memadai itu biasanya membuat difabel menjadi repot. “Sepertinya belum ya cuma sedikit tempat ya yang memberikan fasilitas buat difabel kalau ada pun kadang juga tidak diperhitungkan, maksudnya ya jalannya buat yang naik kursi roda sudah rusak-rusak lah, ada juga yang terlalu tinggi kan kasian bisa - bisa njempalik mereka.” (wawancara, 31 Juli 2011)
Fasilitas yang telah disediakan bagi difabel terlihat kurang perawatan. Ruang publik secara responsif haruslah dapat digunakan untuk kepentingan luas tanpa hambatan apapun, salaha satunya ada tidak terawat. Difabel akan sangat mengalami kesulitan, akses yang terawat saja masih ada yang membuat kesusahan apalagi akses yang tidak terawat. Hal ini akan membawa dampak yaitu difabel tidak dapat berpartisipasi penuh terhadap adanya ruang publik. Kondisi seperti ini sama seperti yang diungkapkan Parsons bahwa ada kondisi yang tidak dapat dikendalikan oleh individu salah satunya bagi difabel adalah fasilitas yang tidak memadai dalam ruang publik. Surakarta merupakan kota yang sedang mengalami pertumbuhan yang cukup pesat.
Dimulai dari segala bidang pembangunan yang ada, berbagai
macam renovasi untuk mempercantik wajah kota Surakarta. Meskipun bukan Ibukota Propinsi, namun Surakarta bersetatus sebagai kota besar dan menjadi salah satu kota terpenting di Indonesia. Dari permasalahan–permasalahan diatas dapat dikatakan bahwa kota Surakarta yang mengalami perkembangan dalam pembangunan belum sepenuhnya bisa memberikan keleluasaan bagi difabel dalam melakukan kreativitasnya seperti masyarakat pada umumnya.
Masih banyak
diantara difabel mengalami kesulitan ketika harus menghadapi suatu tempat yang
commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diinginkan karena terbatasanya akses bagi mereka.
Perda Kesetaraan Difabel
yang telah ada sejak tahun 2008 pun hanya sedikit saja membawa perubahan bagi difabel. Namun walaupun demikian dengan adanya Perda tersebut, kota Surakarta setidaknya bisa memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi masyarakat difabel.
B. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 Mengenai Kesetaraan Difabel B.1 Proses Terbentuknya Perda. Sebagai warga negara Indonesia, kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat adalah sama dengan warga negara lainnya. Oleh karena itu, peningkatan peran para difabel dalam pembangunan nasional sangat penting untuk mendapat perhatian dan didayagunakan sebagaimana mestinya. Hingga saat ini sarana dan upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para difabel berbagai
peraturan
perundang-undangan,
yaitu
telah dilakukan melalui
yang
mengatur
masalah
ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan. Dengan pertimbangan bahwa jumlah difabel akan meningkat pada masa yang akan datang, masih diperlukan lagi sarana dan upaya lain terutama dengan penyediaan sarana untuk memperoleh kesamaan kesempatan bagi difabel dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, khususnya dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosialnya. Yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan
commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
penghidupan sosial yang
digilib.uns.ac.id
diliputi oleh rasa keselamatan, kemudahan, dan
ketentraman lahir batin yang perlu dilakukan dengan upaya-upaya yang lebih memadai, terpadu, dan berkesinambungan guna mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan difabel. Akan tetapi para penyandang cacat yang juga dikenal dengan istilah Difabel (different ability) di Kota Surakarta saat ini pantas berbangga dan berlega hati. Karena tepat pada tanggal 11 Juli 2008 DPRD Kota Surakarta akhirnya menetapkan Rancangan Peraturan Daerah Kota tentang Kesetaraan Hak--Hak Difabel menjadi Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 tahun 2008 Tentang Kesetaraan Difabel. Acara tersebut dihadiri oleh Walikota Surakarta, Ir.Joko Widodo. Perda ini merupakan yang pertama di Indonesia. Setelah para penyandang cacat lelah berharap Perda tersebut , akhirnya harapan menjadi kenyataan. Sungguh, perjalanan Perda tersebut sangat panjang, mengalami proses pembahasan dan perbaikan draft, karena harus memadukan konsep yang diajukan Lembaga Swadaya Masyarakat dan konsep DPRD serta Pemerintah Kota Surakarta. Bahkan saat pembahasan juga sempat terkatungkatung selama 2,5 tahun. Munculnya Perda Nomor 2 tahun 2008 merupakan sebuah perjuangan difabel dalam mencari haknya. Diawali dari perjuangan LSM Interaksi dan Direktur Yayasan Talenta yang menginginkan adanya kesetaraan bagi difabel. Perjuangan tersebut berlangsung cukup lama dan sempat terabaikan selama 2.5 tahun. Perjuangan mendobrak paradigma kecacatan dilakukan melalui Konsorsium Lembaga Kecacatan Surakarta mengajukan Naratif Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kesetaraan Hak-hak Dasar
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Difabel di Kota Surakarta. Perda ini ada bukan karena sebuah belas kasihan dari pemerintah kota Surakarta, melainkan buah perjuangan para difabel yang harus menelan pil pahit terlebih dahulu. Perjuangan menuntut kesetarann pengakuan dan kesetaraa kesempatan. Hingga perjuangan mendobrak paham normalisme yang melekat dikebanyakan manusia. Inti dari Perda tersebut adalah memberikan perhatian yang proporsional dan adil kepada
difabel kepada sesama negara.
Secara regulatif kebijakan
terhadap difabel tersebut diaplikasikan dalam bentuk kebijakan pemkot yang adil. Kebijakan baik fisik maupun non fisik harus dapat memiliki manfaat pula kepada difabel. Di bidang fisik misalnya pembangunan ruang publik seperti terminal, taman, pasar, tempat ibadah, sarana transportasi, mall, maupun ruang publik lainnya diharapkan dapat memberikan akses yang tepat bagi difabel untuk menggunakannya. Begitu pula dengan akses non fisik seperti bidang pendidikan, sosial dan lain sebagainya seharusnya pemkot memberikan perhatian yang seimbang kepada difabel. “Pemkot sebenarnya mempunyai kepedulian mengenai tata ruang kota Surakarta bagi difabel, maka dengan hal itu Perda No.2 Tahun 2008 dibentuk. Jadi setiap pembangunan yang ada di Surakarta ini harus bisa juga diakses oleh difabel, seperti contohnya pemasangan tramprail di setiap gedung.” ( wawancara, 16 Juni 2011)
Peraturan daerah Kota Surkarta No. 2 tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel tersebut berisi 12 bab dan terdiri dari 30 pasal. Dalam Perda tersebut mengatur hak dan kewajiban difabel yang setara dengan warga masyarakat pada umumnya dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan. Dalam pasal 6
disebutkan setiap difabel berhak memperoleh kesempatan yang setara dalam :
commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Pelayanan publik terkait dengan hidup dan penghidupannya. b. Tindakan rehabilitasi. c. Penyelenggaraan pemerintah daerah. d. Pembangunan fasilitas pelayanan umum. Sedangkan dalam pasal 11 disebutkan pelayanan hak-hak difabel oleh Pemerintah Daerah meliputi : a. Aksesibilitas fisik. b. Rehabilitasi. c. Pendidikan. d. Kesempatan kerja. e. Peran serta dalam Pembangunan. f. Bantuan sosial. Merujuk pada aturan itu, bahwa penyediaan aksesibilitas sudah merupakan kebutuhan untuk semua. Sudah saatnya, Pemkot Surakarta dan semua pihak terkait serius dan berkomitmen lebih memartabatkan dan melindungi difabel serta menyediakan aksesibilitas, infrastruktur, dan ruang publik untuk mereka. Pemkot Surakarta wajib menyediakan fasilitas pendukung di setiap fasilitas umum, gedung, pertokoan/swalayan, transportasi, sarana peribadatan, dan sarana rekreasi supaya
mempermudah
difabel
beraktivitas
dan
berinteraksi
dengan
lingkungannya serta berkomunikasi dengan orang lain. Dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2008 ini difabel di Kota Surakarta bisa menjadi sedikit berlega hati. Karena melalui peraturan ini maka difabel dapat setara dengan masyarakat yang lain.
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B.2 . Hambatan Pembentukan Perda Di dalam pembuatan Perda kesetaran difabel pastilah terjadi hambatanhambatan yang membuat Perda ini terkatung–katung hingga lebih dari 2 tahun lamanya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan yaitu Ibu Ajati, beliau mengatakan ada beberapa hal yang membuat Perda kesetaraan Difabel ini terkatung – katung. “ Banyak pertimbangan dan kendala yang dihadapi mbak, makanya Perda ini sempat terabaikan beberapa saat, rapat itu dengan banyak orang jadi waktu dan ketidaksamaan isi perda yang membuat lama” (wawancara, 03 Oktober 2011) Dari wawancara yang dilakukan maka dapat diketahui mengenai beberapa hambatan yang dialami oleh Pemerintah kota maupun tim advokasi, DPRD maupun LSM yaitu adalah: 1. Kendala Waktu Pertemuan Dalam pembahasan Perda perlu banyak waktu untuk merumuskan maupun merapatkan setiap pasal dan butir ayat Kendala waktu menjadi salah satu hal penting.
yang didalamnya. Perumusan Raperda
membutuhkan banyak orang tidak hanya satu ataupu dua orang saja, namun melibatkan Pemerintah Kota Surakarta, kelompok LSM, dan pihak DPRD,. Untuk mengumpulkan keseluruhan orang agar setiap butir pasal dapat terjadi kesepakatan sangatlah sulit, karena tiap orang memiliki jadual masing – masing yang terkadang saling berbenturan.
commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Perbedaan Konsep Perbedaan konsep isi untuk Perda Kesetaraan difabel selalu terjadi karena setiap orang dari tiap perwakilan memiliki konsep masing–masing yang bisa saja bertentangan dengan harapan dari tiap perwakilan baik itu dari LSM, DRPD, maupun Pemerintah Kota Surakarta. Perbedaan konsep membutuhkan waktu lama dan perdebatan yang cukup panjang seta membutuhkan titik temu yang tepat bagi semua orang khususnya difabel dalam hal ini. Selain waktu pertemuan yang dirasa kurang, masalah titik temu dalam penyusunan draft juga menjadi factor utama yang mengakibatkan Perda ini menjadi terkatung – katung dan dibiarkan begitu saja dalam waktu yang lama.
Dengan adanya Peraturan Daerah ini, maka pemenuhan difabel oleh Pemerintah kota akan mendapatkan dasar yuridis, dasar sosiologis dan dasar filosofis yang kuat sehingga dalam pelaksanaannya akan mampu menjadi pedoman yang bersifat terpadu dan terarah. Setelah ditetapkannya Perda ini, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Kota Surakarta untuk dapat mekaskanakannya. Perlu komitmen dan keseriusan dalam mengimplementasikan Perda tersebut. Namun demikian, tentu Pemerintah Kota Surakarta tidak harus bekerja sendiri, karena dalam pelaksanaannya juga membuka peluang bagi peran serta keluarga dan seluruh masyarakat, termasuk Pemkot,
masyarakat
termasuk
difabel
ikut
melaksanakan Perda tersebut.
commit to user 74
difabel. Secara bersama-sama bertanggungjawab
dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Pemerintah Kota Surakarta akan berusaha memenuhi kewajibannya untuk mewujudkan kesetaraan
difabel melalui program dan kegiatan sesuai
dalam Perda tersebut, seperti memberikan kemudahan dalam berbagai hal seperti pendidikan, keterbukaan informasi, perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, kesempatan kerja dan maupun fasilitas ruang publik. 2. Bagi masyarakat diharapkan dapat lebih membuka diri menerima kehadiran difabel, ikut mendukung terwujudkanya kesetaraan difabel, memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengaktuialisasikan diri, tidak memberikan stigma buruk bagi difabel seperti malas, kurang mandiri, menggantungkan belas kasihan orang lain. Bahkan setiap orang dilarang melakukan tindakan yang merendahkan harkat dan martabat difabel,
mengucilkan
dan
menyembunyikan
difabel,
melakukan
diskriminasi difabel serta mengeksploitasi difabel. 3. Bagi difabel, berbagai kesempatan dan peluang untuk berkembang sudah terbuka luas. Oleh karena itu perlu memanfaatkan kesempatan dan peluang tersebutr untuk lebih meningkatkan diri membekali diri dengan berbagai hal seperti pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan. Difabel harus dapat menunjukkan dan meningkatkan kepercayaan kepada masyarakat bahjwa mereka memiliki kemampuan yang dapat diadalkan dan tidak kalah dengan yang tiidak cacat. Dengan demikian pemahaman masyarakat terhadap difabel meningkat. Disamping itu difabel perlu menjaga harkat dan martabatnya sehingga tidak melakukan tindakan dan pekerjaan yang merendahkan harga dirinya, seperti menggantungkan hidup dari belas
commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kasihan orang lain. Difabel harus siap menerima tantangan, mengubah pola pikir, mau bekerja, berusaha dan berkarya nyata agar sukses dalam hidupnya. “ Bagi kami tantangannya adalah merealisasikan bagaimana perda tersebut benar–benar dapat berguna bagi masyarakat difabel dalam berbagai bidang, yaw tentunya dengan kerjasama dari masyarakat dan dari difabel itu sendiri.” (wawancara dengan Ibu Ajati, 03 Oktober 2011)
Kota Surakarta sudah merintis dan menetapkan Perda Kesetaraan Difabel. Diharapakan dengan adanya Perda ini dapat menjadi inspirasi bagi daerah-daerah lainnya untuk mengikuti jejak Pemerintah Kota Surakarta dalam mewujudkan kesetaraan difabel dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dalam Perda tersebut digunakan istilah difabel untuk menunjuk kepada para penyandang cacat, yang karena kondisi fisik dan atau mentalnya mempunyai perbedaan kemampuan dengan warga lainnya. Penggunaan istilah ini, menurut penjelasan Perda tersebut, untuk menyelaraskan dalam lingkup hukum internasional dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Dengan adanya Perda ini maka Pemerintah Kota Surakarta memiliki tekad untuk menciptakan kondisi yang menjamin terwujudnya keadilan bagi difabel/penyandang cacat, karena keseteraan difabel ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial difabel dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Sedangkan kesetaraan tersebut dilakukan berdasarkan banyak asas Kesetaraan difabel bagi Pemerintah kota Surakarta adalah salah satu agenda wajib yang telah dilaksanakan dalam upaya penanggulangan permasalahan sosial. Dalam perspektif ini difabel bukan sumber permasalahan sosial tetapi
commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diakui sebagai subyek hukum mandiri karena merupakan bagian dari individu sebagai anggora komunitas masyarakat. Kalaupun mereka memiliki kekurangan fisik dan ataupun kekurangan mental tidaklah menuntut penangananan yang didorong oleh rasa belas rasa belas kasihan, tetapi mengupayakan mereka agar mampu tampil sebagai warga yang mandiri, mampu berintegrasi dengan lingkungan dan dapat menjalankan kegiatan produktif
untuk mendorong
pembangunan daerah berdasarkan minat, derajat kecacatan, tingkat pendidikan dan potensi difabel. Sedangkan ditinjau dari segi hak asasai manusia, maka pemenuhan perlindungan dan pemajuan kesetaraan difabel merupakan bagian dari penegakan dan perlindungan hak asasi manusia tersebut. Sekarang perkembangan begitu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Surakarta, salah satunya dari pembangunan tata kotanya sendiri.
Selain
berbudaya dan memiliki historis yang tinggi kota Surakarta merupakan surga bagi difabel.
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 mengenai
Kesetaraan Difabel yaitu difabel memliki hak yang sama termasuk dalam ruang publik. Maka tidak heran bila ruang publik di kota Surakarta hampir semuanya menyediakan akses jalan bagi difabel. Difabel di Kota Surakarta sangat dihargai keberadaannya, dan tidak dipandang dengan sebelah mata. Setidaknya terdapat empat azas yang dapat menjamin kemudahan atau aksesibilitas difabel tersebut yang mutlak mestinya harus dipenuhi oleh pemerintah yakninya: 1. Azas kemudahan, artinya setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Azas kegunaan, artinya semua orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. 3. Azas keselamatan, artinya setiap bangunan dalam suatu lingkungan terbangun harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang termasuk difabel. 4. Azas kemandirian, artinya setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Selain itu menurut Pasal 28 Perda Kesetaraan Difabel mengatakan bahwa sarana dan prasarana umum serta lingkungan dan sarana angkutan umum yang sudah beroperasi, tetapi belum menyediakan aksesibilitas bagi difabel sebelum berlakunya Perda Kesetaraan Difabel, maka dalam waktu tiga tahun sejak diundangkannya Perda wajib menyediakan aksesibilitas bagi difabel. Hal ini berarti bahwa semua tempat yang belum terdapat akses bagi difabel harus menyediakan akses tersebut agar difabel mempunyai hak yang sama dalam menikmati ruang publik.
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Kondisi Ruang Publik di Kota Surakarta Dalam penelitian ini peneliti meneliti sebanyak 7 tempat yang termasuk ruang publik di Kota Surakarta yaitu Taman Sekartaji, Pasar Gede, Halte Batik Solo Trans, Terminal Tirtonadi, Masjid Agung Surakarta, Gereja Kristen Jawa Margoyudan, dan Solo Grand Mall. Dipilihnya tempat–tempat tersebut karena ruang publik yang peneliti teliti merupakan ada yang bangunan baru lahir setelah Perda Kesetaran Difabel maupun bangunan lama yang telah ada sebelum Perda Kesetaraan Difabel dibuat. Di samping itu terdapat bangunan yang direnovasi setelah adanya Perda difabel. Peneliti ingin mengetahui apakah Perda tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan mestinya atau masih sama saja dengan sebelum adanya Perda, karena difabel juga memiliki hak yang sama dalam mengakses fungsi ruang publik. Ruang publik merupakan tempat berkumpulnya orang tanpa terkotak– kotak oleh usia, kelonpok, status sosial maupun yang lainnya. Setiap orang harus bisa mengakses ruang publik tanpa terkecuali.
Karena bagaimanapun ruang
publik adalah roh sebuah kota. Ruang publik adalah penanda sekaligus sebagai karakter sebuah kota, sebagai ciri khas yang tidak dimiliki oleh kota-kota yang lain. Perancangan dan penciptaan ruang publik didasarkan dan ditujukan bagi suatu bentuk kualitas kehidupan masyarakat yang positif. Ruang publik juga menjadi tolok ukur kedinamisan dan kualitas hubungan sosialnya, serta kualitas kepedulian pemerintah terhadap warganya tanpa terkecuali. haruslah bersifat responsif, demokratis, dan
Ruang publik
bermakna. Ruang publik yang
responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan
commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
luas. Secara demokratis yang dimaksud adalah ruang publik itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus terkotak-kotakkan akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya. Serta bermakana yaitu mempunyai arti yang lebih bagi masyarakat umum.
C.1. Sebelum adanya Perda Kesetaraan Difabel. Ruang publik merupakan tempat berkumpulnya masyarakat tanpa terkecuali. Di Surakarta sendiri banyak terdapat ruang publik yang dibangun untuk kepentingan masyarakat. Banyak bangunan yang telah berdiri sebelum ada Perda Kesetaraan Difabel. Dalam penelitian ini ruang publik tersebut adalah Pasar Gede, Terminal Tirtonadi, Gereja Kristen Jawa Margoyudan, Masjid Agung Surakarta, dan Solo Grand Mall. Bangunan–bangunan ini telah berdiri lama sejak sebelum Perda Kesetaraan Difabel tersebut diresmikan. Namun dari beberapa bangunan tersebut, ada satu bangunan yang masih dalam proses renovasi yaitu Terminal Tirtonadi.
Untuk itu akan dijelaskan satu persatu mengenai kondisi
bangunan yang ada sebelum Perda Kesetaraan Difabel diresmikan.
C.1.1 Konsep Pembangunan Ruang Publik Konsep pembangunan ruang publik meruapakan salah satu hal yang penting untuk mengeetahui untuk siapakah ruang publik tersebut dibangun. Untuk itulah Sebelum adanya Perda Kesetaraan Difabel perlu diketahui konsep pembangunannya untuk mengetahui akses apa saja yang terdapat di suatu ruang
commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
publik tersebut bisa digunakan oleh difabel walaupun tanpa perda. Berikut adalah konsep pembangunan ruang publik yang ada sebelum Perda Kesetaran Difabel.
a. Pasar Gede Pasar merupakan tempat berkumpulnya penjual dan pembeli. Namun dalam artian luas pasar adalah tempat pertukaran barang dan jasa yang ada kegiatan tawar menawar yang salah satunya melibatkan pekerjaan mengenai barang dan jasa untuk dapat saling bermotivasi di tempat tersebut. Sebagai salah satu ruang publik yang pasti dibutuhkan masyarakat, Pasar haruslah mudah untuk diakses siapa saja. Untuk itu perlu dilihat bagaimanakah pembangunan Pasar sekarang ini dan bagaimana keadaan dan kondisinya. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Suhardi. “ Renovasi dilakuakan demi kenyamanan semua orang tidak lupa pula juga untuk penyandang cacat, namun yang menjadi halangan bagi kami untuk membuat akses bagi difabel adalah luas tanah dari Pasar itu sendiri” (wawancara, 13 Juli 2011)
Untuk memberikan rasa nyaman bagi orang bertransaksi, seringkali dilakukan renovasi. Hal ini berguna untuk pasar tradisional tidak kalah dengan pasar moderen. Jadi setiap renovasi ataupun pembangunan haruslah memerlukan konsep yang tepat. “ Sebenarnya konsep pembangunan ataupun renovasi pasar adalah tergantung dari usia pasar itu sendiri dan keadaan bangunannya, apakah masih layak atau tidak. Untuk renovasi Pasar yang baru haruslah sesuai dengan pertauran yang ada dari pemerintah, jadi tidak semerta–merta direnovasi” (wawancara, 13 Juli 2011)
commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di kota Surakarta ini dijumpai berbagai macam pasar baik itu pasar moderen ataupun pasar tradisional. Dari setiap pasar memiliki konsep masing– masing. Namun yang jelas pasar haruslah dapat diakses siapa saja termasuk didalamnya adalah difabel. Ada beberapa pasar yang bisa diakses oleh difabel diantaranya adalah Pasar Gede, Pasar Sidodadi, dan Pasar Singosaren. Namun pasar yang dirancang memang untuk difabel dari struktur pintu masuk maupun akses untuk naik ketingkatnya hanya Pasar Gede. Seperti yang dituturkan oleh Bapak Suhardi
Foto 08
Keterangan: Pintu masuk Pasar Gede yang akses bagi difabel Sumber : Dokumentasi Peneliti
“ Untuk Pasar yang yang sudah akses itu adalah Pasar Gede serta Pasar Sidodadi, dan Pasar Singosaren mbak. Di pasar–pasar tersebut sudah terdapat rem dan jembatan yang dapat dengan mudah penyandang cacat masuk kedalamnya. Namun pasar yang dari dulu bisa diakses oleh penyandang cacat yaw pasar Gede itu mbak, mulai dari pintu masuk hingga ke lantai atas semuanya ada jembatan dan tidak memakai tangga.” (wawancara, 13 Juli 2011).
commit to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Foto 09
Keterangan :Akses menuju ke lantai atas yang juga menggunakan rem dan guilding block Sumber : Dokumentasi Peneliti
Pasar Gede merupakan salah satu pasar tardisional tertua yang ada di Kota Surakarta, dari awal berdirinya Pasar ini memiliki nilai historis yang tinggi. Sebagaimana fungsi yang diberikan oleh pasar maka harus dapat berguna dan dapat digunakan oleh siapa saja termasuk untuk difabel.
Walaupun sudah
memiliki beberapa jenis akses bagi difabel, namun menurut Bapak Suwarji beliau sangat jarang melihat ada difabel yang berbelanja ke Pasar Gede ini. Dilihat ke dalam ruangan pasar terlihat sangat jelas bahwa terlalu banyak pedagang dikedua sisinya, sehingga jalan untuk pembeli yang datang sangat sempit. Selain itu Pasar merupakan tempat yang ramai karena untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap orang akan lebih memilih untuk berbelanja di pasar tradisonal. “ Pengunjung disini yang penyandang cacat sangat jarang saya liat mbak, kalo ada itu biasanya malah pengemis yang pake krek itu. Mungkin dikarenakan terlalu ramai jadi yang penyandang cacat nya gak bisa bergerak bebas. Maklum namanya juga pasar kelas 1 pasti ramai, tp ada juga sebenarnya mbak yang penyandang cacat beli tapi itu sangat jarang“ (wawancara, 15 Juli 2011).
commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh saudara Arif Ernawati, difabel berkursi roda ini mengatakan bahwa walaupun Pasar Gede dapat diakses oleh difabel tapi yang dia rasakan adalah perasaan tidak nyaman karena terlalu banyak orang. “ Saya pernah masuk ke Pasar Gede satu kali mbak, memang itu setau saya pasar yang bisa buat difabel, tapi bareng saya kesana ternyata apa rame banget sampe saya kedesak–desak orang. (wawancara, 23 Juni 2011).
Walaupun
telah
mengalami
renovasi
berkali–kali
untuk
lebih
memudahkan semua orang mengakses Pasar, namun kenyataanya adalah ada beberapa orang yang tidak bisa mengaksesnya. Jadi dapat dilihat meski sudah memeiliki akses bagi difabel namun bagi difabel itu sendiri ternyata Pasar Gede masih belum mampu diakses oleh mereka. Memang konsep bentuk bangunan mulai dari pintu masuk yang berupa tanjakan landai serta akses untuk menuju lantai atas bukanlah tangga melainkan jalan yang memiliki rem landai namun kesulitan yang dialami oleh difabel bukanlah pada hal tersebut melainkan lebih karena penataan tempat dan jalan yang terlalu sempit sehingga menyulitkan difabel untuk bergerak dengan bebas dan leluasa.
b. Terminal Tirtonadi Terminal merupakan sebuah ruang tempat berkumpulnya berbagai macam angkutan umum. Dalam hal ini Terminal Tirtonadi merupakan Terminal untuk Bus Antarkota Antar Provinsi, Antar Kota Dalam Provinsi dan Angkutan Perkotaan.
Terminal dibangun untuk masyarakat pengguna jalan yang
commit to user 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membutuhkan transportasi. Jadi setiap harinya sangat banyak bus yang keluar dan masuk serta masyarakat pengguna jasa angkutan.
Pembangunan terminal
Tirtonadi memiliki konsep yaitu memudahkan orang untuk bertransportasi temasuk bagi difabel. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Henry mengenai konsep pembangunan terminal “ Konsep pembangunan terminal adalah bukan sebagai terminal transportasi saja namun sebagai terminal terpadu yaitu dapat memberikan kenyamanan bagi pengguna teminal dengan adanya kios. Namun saya jarang melihat difabel di terminal ini, hanya sekitar 1% saja setiap bulannya ada nya difabel, jadi sangat jarang sekali.” (wawancara, 20 Juli 2011)
Konsep awal dari pembangunan terminal adalah memberikan pelayanan yang terpadu bagi pengguna terminal, dalam hal ini dengan memberikan adanya kios–kios agar penumpang ataupun pengguna jasa transportasi semakin nyaman. Untuk terminal lama yaitu sebelum ada renovasi saat ini, sudah menggunakan rem, namun konsep renovasi perluasan yang dilakukan saat ini dibuat konsep lebih baik lagi untuk difabel yaitu dengan menggunakan travellator bagi difabel. “ Perluasan terminal ini nantinya akan dibangun sebanyak 3 lantai. Lantai pertama digunakan untuk penyediaan transportasi, lantai kedua dan ketiga untuk jasa perdagangan. Perluasan dilakukan untuk meningkatkan optimalisasi bagi masyarakat dan mengakomodir luas lahan yang kurang memadai sehingga semua bis dapat masuk terminal. Untuk difabel agar dapat mengaksesnya kami sudah merencanakan untuk membuat travelalator yang dapat diakses difabel untuk naik atapun turun dari lantai ke lantai namun jika masih mengalami kesulitan kami juga menyediakan lift bagi difabel.” (wawancara, 20 Juli 2011)
Menurut Amzori Zakim salah seorang difabel yang pernah mengunjungi terminal, dia mengatakan bahwa walaupun sudah ada rem landai namun dia tidak akan bisa melaluinya jika tidak dibantu oleh orang lain.
commit to user 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“ Terminalnya Surakarta sangat susah buat saya yang berkursi roda ini. Walaupun banyak yang membantu saya tapi untuk menuju pintu keluar kalau seorang diri saya yakin tidak bisa.” (wawancara, 08 Juli 2011)
Dari hal ini bisa dilihat bahwa konsep pembangunan terminal yang sekarang masih belum bisa ataupun ramah bagi difabel walaupun telah diberi rem bagi kemudahan difabel.
Disamping itu untuk kamar mandi yang berada di
terminal pun hanya bisa digunakan untuk manusia normal, tidak untuk difabel. Kamar mandi bagi difabel seharusnya adalah toilet duduk dengann railing (tempat berpegang). Namun kamar mandi di terminal hanya berupa toilet jongkok dan ada toilet duduk namun tidak ada tempat berpegang. Bisa dibilang untuk konsep pembangunan terminal yang saat ini masih belum mendukung sepenuhnya pada difabel. Karena memang dibangun sebelum adanya Perda Kesetaran difabel. Hal ini seolah menyatakan bahwa kemudahan transportasi hanya milik normal.
c. Gereja Kristen Jawa Margoyudan Gereja merupakan tempat ibadah bagi umat nasrani. Salah satu gereja kristen tertua di Kota Surakarta ada Gereja Kristen Jawa Margoyudan. Gereja yang berdiri pada tahun 1916 ini sudah merupakan cikal bakal lahirnya gereja– gereja Kristen Jawa di Surakarta. Gereja ini memiliki jemaat difabel walaupun hanya sedikit. Gereja dibangun untuk memenuhi kebutuhan rohani para jemaatnya.
Menurut Bapak Emilius Gereja Kristen Jawa Margoyudan ini
memang dibangun untuk pertumbuhan iman jemaatnya. “ Tujuan dibangunnya gereja yaw untuk warga gereja sendiri pada khusunya agar lebih baik dan untuk orang awam pada umumnya, maksudnya adalah untuk orang – orang dari gereja lain yang ingin
commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
beribadah. Jemaat disini sekitar 3000 orang, sedangkan yang penderita difabel jumlahnya hanya puluhan saja mbak”. (wawancara 31 Juli 2011)
Salah seorang warga difabel Gereja Kristen Jawa Margoyudan yaitu Ibu Hadi mengatakan bahwa konsep perkembangan maupun renovasi Gereja ini sudah sangat baik. Pada jaman dahulu Gereja Kristen Jawa Margoyudan mempunyai anak tangga di pintu masuknya. jadi bukan berupa jalan landai. Namun seiring perkembangan jaman maka dibuatlah kanopi rem pada pintu masuk agar semua jemaat lebih mudah masuk kedalamnya. “ Dulu saya ingat ketika Gereja ini belum ada kanopinya, tidak ada jalan landai buat masuk ke gerejanya, untuk masuk kedalam harus melewati tangga lebih dahulu. Waktu itu saya pasti butuh bantuan dua orang untuk membantu menganngkat kursi roda agar saya bisa masuk kedalam”. (wawancara, 31 Juli 2011) Foto 10
Keterangan : Akses rem landai bagi difabel berkursi roda Sumber : Dokumentasi Peneliti Pembangunan yang dilakukan oleh Gereja pastilah digunakan untuk kenyamanan jemaatnya. Para majelis Gereja Kristen Margoyudan menyadari hal tersebut, maka konsep pembangunan dan renovasi pun dilakukan setahap demi setahap agar tidak menganggu jalannya ibadah serta dapat membuat jemaat lebih nyaman untuk beribadah dan tidak menomorduakan jemaat difabel.
commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Masjid Agung Surakarta Masjid merupakan bangunan yang digunakan untuk umat muslim beribadah.
Masjid Agung Surakarta merupkan masjid terbesar yang ada di
Surakarta, yang memiliki kelebihan dibanding dengan masjid yang lain. Salah satu kelebihannya dalah adanya jam matahari yang masih berfungsi hingga sekarang. Masjid Agung ada ini memiliki ribuan jemaah yang beribadah setiap harinya. “ Masjid ini sudah ada pada jaman dulu mbak, disini masjid yang paling besar di kota ini, jumlah jamaah yang beribadah pada waktu jumatan sekitar 7000 jamaah. Akan tetapi kalo pada hari bisa mungkin hanya separonya kurang”. (wawancara 20 Juli 2011)
Masjid Agung Surakarta ini memiliki ciri khusus yaitu dengan dibangunnya tempat wudlu yang aksesibel terhadap difabel. Bentuk tempat untuk wudlu ini berupa kran yang berputar dan tidak terlalu tinggi sehingga difabel berkursi roda dapat dengan mudah untuk mengambil air dan berwudlu. Selain itu bagi difabel yang bertongkat pun juga mudah untuk wudlu karena bisa berpegangan pada sisi putaran tempat untuk ber wudlu.
Tempat wudlu ini
dibangun salah satunya karena kerjasama dengan UNS dan beberapa lembaga lainnya. “ Di masjid ini tempat wudhu bagi difabel sangat mudah mbak, soalnya masjid ini tempat wudhunya dibangun sama beberapa pihak yang peduli dengan difabel salah satunya ya UNS itu mbak”. (wawancara, 20 Juli 2011).
commit to user 88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Foto 11
Keterangan: Tempat wudlu khusus bagi difabel di Majid Agung Surakarta Sumber : Dokumentasi Penelitian Menurut beberapa difabel yang menggunakan tongkat menuturkan bahwa untuk tempat wudlunya di Masjid Agung Surakarta itu sudah sangat memudahkan bagi difabel. Hal ini jarang ada di masjid yang lainnya. Kebanyakan tempat wudlu selain di Masjid Agung hanya bisa dijangkau oleh masyarakat normal. Bagi difabel itu tentu membuat mereka sedikit kesulitan. “ Sing pun jelas niku panggenan wudlune gampil kulo rasake, mboten susah mbak kagem wong cacat, bedho kaliyan panggenan wudhu teng masjid cedhak griyo kulo niku. (Yang jelas disini tempat wudlunya mudah bagi saya untuk melakukannya, tidak susah bagi orang cacat, beda dengan masjid yang didekat rumah saya.). (wawancara dengan Bapak Sapto 20 Juli 2011) “saya pernah beberapa kali ke Masjid Agung Surakarta, disana ada tempat wudhu yang khusus bagi difabel bentuknya lebih rendah dan berputar, agak licin menurut saya sih mbak, tapi membuat saya lebih mudah, tapi kalau menurut saya lebih mudah lagi bagi yang kursi roda itu”. (wawancara dengan M. Rosul, 23 Juni 2011).
Konsep pembangunan ataupun renovasi yang telah dilakukan pihak Masjid Agung mengenai tempat untuk wudlu ternyata sangat membawa kemudahan bagi difabel maupun masyarakat yang lainnya yang ingin sholat disana. Selain itu masyarakat pun juga tidak terganggu mengenai tempat wudlu, dan dapat
commit to user 89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
beribadah dengan baik. Namun tidak dengan ruang utamanya yang hingga Perda Kesetaraan Difabel disahkan tenyata belum ada akses bagi difabel untuk menuju ke ruang utama.
e. Solo Grand Mall Solo Grand Mall merupakan mall pertama yang berada di Kota Surakarta. Solo Grand Mall yang dibangun diatas lahan seluas 12.080 m2, merupakan bangunan pusat perdagangan yang bernuansa Mal, dimana bangunan komersial ini terdiri atas 7 lantai dengan total luasannya 63.000 m2. Solo Grand Mall memiliki konsep One Stop Family Entertainment and Recreation dimana Solo Grand Mall menyediakan pelayanan bagi para pengunjung yang ingin berbelanja berbagai macam kebutuhan dengan aneka variasinya tanpa memakan banyak waktu dan lebih efisiensi biaya karena para pengunjung tidak perlu berpindah lokasi. Dengan kata lain segala kebutuhan tersedia di Solo Grand Mall.
Sedangkan bentuk
bangunan Solo Grand Mall ini menggunakan bentuk bangunan Joglo yaitu rumah khas adata Jawa Tengah supaya lebih terlihat tradisional.
Ini seperti yang
dituturkan oleh Bapak Yoyok staff Tenant Relation Officer SGM. “ Konsep bangunan kami adalah bentuk Joglo, namun untuk konsep mall nya sendiri adalah One Stop Family Entertainment and Recreation, dimana Solo Grand Mall menyediakan pelayanan bagi para pengunjung yang ingin berbelanja berbagai macam kebutuhan dengan aneka variasinya tanpa memakan banyak waktu dan lebih efisiensi biaya karena para pengunjung tidak perlu berpindah lokasi. (wawancara, 11 Agustus 2011)
Mall ini mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh Dinas Tata Ruang Kota yaitu setiap bangunan yang baru haruslah memiliki akses untuk difabel. SGM
commit to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyadari pentingnya pembangunan fasilitas yang ramah difabel. Walaupun harus mengeluarkan banyak uang demi kepentingan segelintir orang namun hal tersebut tidak menjadi maslah. Dengan adanya akses memadai maka difabel dapat mandiri dan menyesuaikan diri dengan fasilitas yang ada. “ Namun kami juga tidak melupakan difabel untuk pembangunannya seperti contoh depan pintu masuk SGM ada rem yang berguna bagi difabel namun hal itu dapat fungsional dengan troli. Sebenarnya awalnya itu memang dibangun untuk difabel, tapi lama – lama malah berfungsi untuk jalan troli.” (wawancara, 11 Agustus 2011)”
Dengan adanya fasilitas maka semua orang dapat merasakan kenyaman yang telah disediakan. Termasuk difabel didalamnya. Banyaknya akses yang diberikan oleh Solo Grand Mall membuat tingkat kunjungan difabel menjadi tinggi. Salah satu ruang publik yang banyak dikunjungi adalah pusat perbelanjaan contohnya adalah Solo Grand Mall. Menurut Arif Ernawati seorang difabel yang memakai kursi roda mengatakan bahwa Solo Grand Mall bentuk bangunannya mudah diakses oleh difabel kursi roda. Bangunan yang memiliki rem atau jalan landai memudahkan seseorang untuk masuk kedalamnya. Foto 12
Keterangan : Akses rem SGM di lobi utama Sumber : Dokumentasi Penelitian
commit to user 91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bila ditilik lebih jauh konsep pembangunan Solo Grand Mall memang menetapkan standar bagi difabel. Karena memang Mall dibangun untuk siapa saja yang membutuhkan. Walaupun berdiri sebelum adanya Perda Kesetaran Difabel, namun karena memang konsep awal ditentukan bagi semua masyarakarat, maka konsep akses bagi difabel juga menjadi salah satu kebutuhan dan akses tersebut juga dipakai untuk kebutuhan yang lainnya. Bisa dilihat kosep ruang publik yang ada di Kota Surakarta bahkan yang ada sebelum Perda Kesetaran Difabel disahkan telah menyediakan akses bagi difabel. Adapun dalam ruang-ruang publik tersebut terdapat akses antara lain adanya rem, lift, guilding blok, akses wudlu khusus difabel. Semua akses yang ada dibuat agar difabel aksesibel dengan tempat tersebut. Dari sini dapat dilihat bahwa tindakan sosial diarahkan kepada seseorang dengan harapan masyarakat yang lain dapat mencapai harapan yang diinginkan. Hal ini berarti dibuatnya akses bagi difabel adalah dengan harapan agar difabel dapat sama dengan masyarakat lain dalam menikmati ruang publik.
C.1.2. Fungsi dan Fasilitas Ruang Publik Setiap bangunan diciptakan mempunyai fungsi dan fasilitas masing– masing.
Inti dari fungsi dan fasilitas dalam ruang publik harusah dapat
mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat secara umum sesuai dengan bentuk ruang publik tersebut.
commit to user 92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Pasar Gede Pasar Gede merupakan salah satu pasar tradisional yang berada di Kota Surakarta. Pasar Gede merupakan pasar pertama dan tertua di kota ini. Selain sebagai pasar tradisional pasar ini merupakan pasar yang dibangun demi kepentingan masyarakat umum sebagai penggerak roda perekonomian. Fungsi dari pasar tradisional ini adalah sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi kerakyatan, dan sebagai pusat pertukaran informasi, pusat pertemuan dan sebagai kreativitas bagi masyarakat. Pasar Gede ini merupakan sebuah bangunan yang ada sebelum Perda Kesetaraan Difabel disahkan, namun seperti yang dapat dilihat bahwa Pasar Gede dibangun bagi semua masyarakat tanpa terkecuali. “Pasar Gede itu mbak merupakan satu – satunya Pasar yang bisa diakses oleh difabel dan juga masyarakat semua” (wawancara dengan Bapak Suhardi, 15 Juli 2011). Walaupun pasar ini sudah ada sejak sebelum Perda Kesetaraan difabel namun nyatanya Pasar ini bisa dikases oleh difabel sejak pada pertama kali pasar ini dibangun. Pasar ini memiliki fasilitas yang layak bagi masyarakat khususnya bagi difabel. “liat saja dari bentuk lantai maupun untuk tangga keatas yang berupa jalan. Ini dapat digunakan oleh penyandang cacat untuk lebih mudah masuk.” (wawancara dengan Bapak Suhardi, 15 Juli 2011).
Jenis – jenis fasilitas yang ditawarkan dalam Pasar ini
bagi difabel
walupun sebelum terbitnya Perda Kesetaraan Difabel adalah: 1. Rem atau ramp atau jalan landai. Rem ini berada di semua penjuru pintu masuk Pasar Gede. Selain pengunaan rem ini juga digunakan untuk menghubungkan lantai pertama dan lantai kedua.
commit to user 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Adanya guilding block atau penanda bagi difabel tuna netra, bentuk lantai yang menonjol memberikan suatu arahan mengenai keadaan fisik suatu bangunan tersebut. Penanda ini terdapat diseluruh ruas pasar, dibuat untuk mempermudah difabel tuna netra. Foto 13
Keterangan:Adanya guilding block bagi difabel Sumber: Dokumentasi Peneliti 3. Terdapat berbagai macam jenis barang yang didagangkan dan sangat lengkap Dapat dilihat bahwa Pasar Gede memiliki akses yang cukup bagi difabel, difabel bisa mendapatkan haknya untuk mengkase pasar Gede walaupun pada saat itu belum ada Perda Kesetaraan difabel khususnya dalam penyediaan aksesibilitas. Jadi kondisi bangunan ini sebelum adanya Perda bagi difabel adalah memang dirancang bagi difabel
b. Terminal Tirtonadi Terminal tirtonadi ini ada sejak tahun 1975.
Terminal merupakan
pemebrhentian bus untuk mengangkut dan menurunkan penumpang pengguna jasa transportasi. Fungsi dari terminal sendiri menurut pihak UPTD terminal adalah untuk masyarakat pengguna jalan yang membutuhkan transportasi. Selain
commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
itu terminal sebagai pemberhentian bus-bus Antarkota Antar Provinsi, Antar Kota Dalam Provinsi dan Angkutan Perkotaan. Terminal Tirtonadi merupakan satun – satunya teminal kelas A di kota Surakarta. “Terminal Tirtonadi merupakan teminal tipe A yaitu yang merupakan terminal bagi Bus Antarkota Antar Provinsi, Antar Kota Dalam Provinsi dan Angkutan Perkotaan. Jadi terminal ini berfungsi untuk masyarakat umum yang butuh dengan transportasi” (wawancara dengan Bapak Henry, 20 Juli 2011)
Sebagai bangunan yang ada sebelum Perda difabel diresmikan fasilitas yang ada di terminal ini adalah sebagai berikut: 1. Ada rem Rem ini merupakan jalan landai yang dapat digunakan oleh difabel untuk lebih mudah dalam memasuki suatu ruangan. Namun sebenarnya rem di terminal ini lebih sering dipakai oleh kuli yang menggunakan troli untuk membawa barang. 2. Terdapat ruang tunggu bagi ibu dan anak. Ruangan ini ada untuk ibu dan balita menyusui. Tempat ini dirancang agar ibu dan anak lebih merasa nyaman dan tidak terganggu oleh kebisingan terminal. 3. Terdapat banyak kios makanan dan warung bagi pengguna terminal. Warung dan terminal ini terdapat sangat banyak dan menghiasi semua sudut terminal. Fasilitas yang ada di terminal cenderung tidak banyak ada karena masyarakat penguna datang dan pergi begitu saja. Kondisi seperti ini walaupun sangat ramai namun sangat jarang difabel yang terlihat di Terminal Tirtonadi. Namun sekarang ini Terminal Tirtonadi sedang mengalami proses renovasi yaitu lebih tepatnya pelebaran luas terminal.
Perluasan ini nantinya diperkirakan
commit to user 95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
selseai pada awal tahun 2012 dan memiliki ragam fasilitas yang ditawarkan. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Bapak Sultan “nantinya akan dibangun sebanyak 3 lantai. Lantai pertama digunakan untuk penyediaan transportasi, lantai kedua dan ketiga untuk jasa perdagangan. Perluasan dilakukan untuk meningkatkan optimalisasi bagi masyarakat.” (wawancara, 20 Juli 2011)
Dari penjelasan diatas maka rancangan fasilitas yang diberikan oleh pihak terminal terhadap pengguna jasa transportasi si terminal adalah sebagai berikut: 1. Terdapat jasa perdagangan. Walaupun terminal yang sekarang telah memiliki perdagangan namun dirasa jika terdapat lebih banyak perdagangan maka akan lebih baik 2. Adanya travelator.
Travelator merupakan sejenis escalator namun
tidak berbentuk anak tangga melainkan berbentuk lurus. 3. Terdapat lift. Lift berguna untuk mempermudah masyarakat mencapai lantai yang diinginkan.
Dari jenis rancangan fasilitas yang ditawarkan terdapat fasilitas bagi difabel yaitu travelator dan lift. Rancangan ini bagi difabel ada karena menurut beliau sudah terdapat Perda kesetaran difabel yang mengharuskan difabel memiliki hak yang sama dalam memperoleh pelayanana pembangunan fasilitas bagi difabel. Namun karena masih berupa rancangan dan hasilnya belum dapat terlihat dengan jelas maka peneliti masih belum bisa melihat kondisi yang sesungguhnya, apakah nantinya bisa didapati baik itu bagi masyarakat umum ataupun bagi difabel.
commit to user 96
perpustakaan.uns.ac.id
c.
digilib.uns.ac.id
Gereja Kristen Jawa Margoyudan Gereja meruapakan tempat beribadah bagi umat kristiani untuk
menjalankan ibadahnya.
Gereja memiliki fungsi sebagai tempat beribadah,
tempat berkumpulnya jemaat untuk saling berinteraksi, sebagai tempat untuk mendapatkan siraman rohani dari pemuka agama. Sebagai tempat berinteraksi maka Gereja haruslah dapat berguna bagi siapa saja tanpa terkotak kotakkan oleh usia, keadaan, maupun status sosial yang ada. “tujuan dibangunnya gereja ya untuk warga gereja sendiri pada khusunya agar lebih baik dan untuk orang awam pada umumnya.” (wawancara dengan Bapak Emilius, 31 Juli 2011)
Gereja ini berdiri sejak tahun 1916, itu berarti Perda Kesetaraan difabel belum ada bahkan belum ada rancangannya sekalipun. Di gereja ini memiliki banyak jemaat maupun jemaat yang merupakan difabel. Bahkan Gereja ini telah mengalami banyak renovasi, renovasi yang terakir yaitu pada tahun 2005 untuk menambah rem dan kanopi pintu masuk. Terdapat fasilitas bagi jemaat gereja ini. Selain itu
karena terdapaat
jemaat difabel yang cukup banyak maka tahun 2005 sebelum adanya Perda Kesetaraan difabel Gereja ini telah memiliki fasilitas akses bagi difabel. 1. Rem dipintu masuk. Rem dibuat sangat landai terdapat disisi kanan maupun kiri Gereja ini. 2. Lantai dibuat dengan sedikit kasar dan tidak licin sehingga jemaat baik yang normal maupun yang difabel tidak terpeleset 3. Terdapat LCD sehingga jemaat lebh mudah untuk beribadah
commit to user 97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Foto 14
Keterangan: Rem dan lantai sedikit kasar dan tidak licin bagi jemaat Sumber : Dokumentasi Peneliti
Dari berbagai macam fasilitas yang disediakan semuanya dibuat untuk kepentingan jemaat dan memepermudah jemaat Gereja Kristen Jawa margoyudan dalam beribadah.
d.
Masjid Agung Surakarta Masjid Agung Surakarta sebagai salah bangunan yang memiliki sejarah
penting merupakan bangunan yang termasuk dalam benda cagar budaya. Fungsi dari Masjid Agung Surakarta ini antara lain sebagi tempat pariwisata ziarah, sebagai tempat beristirahat para pedagang di Pasar Klewer, dan yang utama sebagai tempat beribadah umat muslin yang menjalankan ibadah sholat. Fasilitas yang ditawarkan Masjid Agung Surakarta ini antara lain: 1. Adanya Tempat wudlu yang dirancang khusus bagi difabel
commit to user 98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Foto 15
Keterangan: Bentuk tempat wudlu bagi difabel Sumber : Dokumentasi Penelitian 2. Adanya perpustakaan berada di lingkungan Masjid Agung Surakarta
Dari fasilitas–fasilitas yang ditawarkan oleh Masjid Agung tersebut maka ada satu fasilitas yang memang dirancang bagi difabel yaitu tempat wudlu khusus. Meskipun tempat wudlu tersebut merupakan bangunan relatif baru namun pembangunannya sebelum Perda Kesetaran Difabel disahkan.
e.
Solo Grand Mall Solo Grand Mall sebagai Mall pertama di Kota Surakarta merupakan
sebagai salah satu ruang publik yang juga paling sering dikunjungi masyrakat umum. Fungsi dari Mall ini adalah untuk berbelanja sekaligus berekreasi dengan tidak menghabiskan waktu karena berada di satu lokasi. Selain itu Mall juga sebagai tempat masyarakat untuk sekedar menghabisakan waktu maupun untuk nongkrong. Di Solo Grand Mall yang notabene berdiri dan beroperasi sebelum adanya Perda Kesetaraan Difabel ada telah memiliki fasilitas bagi difabel maupun non
commit to user 99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
difabel yang sangat banyak dan lengkap. Untuk difabel menurut Bapak Yoyok menagtakan demikian “ Tentu saja kami ada akses bagi difabel seperti pintu masuk di lobby utama yang sekalian untuk jalan troli, lalu pintu masuk barat juga ada jalan bagi difabel. Jika didalam bangunan suda ada travelator yang memudahkan difabel naik, lalu kami juga menyediakan lift yang dapat diakses dari lantai basement sampai lantai. Bahkan lift kami sudah mengunakan pencetan braile yang berguna bagi difabel tuna netra, namun masih beberapa yang belum ada karena harus impor, pencetan lift juga rendah dapat dijangkau difabel berkursi roda”. (wawancara, 11 Agustus 2011)
Banyak fasilitas yang ditawarkan oleh pihak Solo Grand Mall ini menunjang kenyamanan ketika pengunjung menginjakkan kaki di tempat ini. Fasilitas– asilitas tersebut antara lain adalah lift, escalator, travelator, tangga darurat, alarm, kamera CCTV, pemadam api, AC sentral, telepon, sekuriti, parkir yang luas, toilet, air bersih, listrik, musholla dan FoodCourt dengan layanan WIFI-Free Hotspot. Dari beberapa fasilitas yang ditawarkan tersebut, yang bisa berguna bagi difabel adalah lift, travelator, maupun rem yang berada di pintu masuk.
Selain itu terdapat fasilitas kursi roda yang terdapat di lobi utama,
fasilitas ini dapat digunakan oleh siapa saja bagi yang pengunjung yang memerlukan.
Foto 16
commit to user 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan: Salah satu fasilitas di SGM Sumber : Dokumentasi Penelitian Foto 17
Keterangan: Difabel di SGM Sumber : Dokumentasi Peneliti Dapat terlihat disini bahwa walaupun telah berdiri sebelum Perda Kesetaraan Difabel namun fasilitas lengkap bagi difabel ada dan hampir semuanya aksesibel terhadap kebutuhan difabel.
Fasilitas sebagai penunjang
salah satu eksisnya ruang publik, karena itu Solo Grand mall ini juga melengkapinya demi menjaga eksistensi Mall. Setiap ruang publik memiliki fungsi dan fasilitas masing-masing, fasilitas digunakan untuk memudahkan seseorang untuk menggunakan apa yang ada di dalamnya. Setiap aktor mempunyai cara, alternatif untuk memudahkan apa yang ingin dicapai. Dengan fungsi dan fasilitas penunjang maka diharapkan setiap orang mampu untuk mencapai tempat tersebut tanpa terkecuali juga oleh difabel.
commit to user 101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C.2. Setelah Adanya Perda Kesetaraan Difabel Dalam penelitian ini bangunan yang ada setelah adanya Perda Kesetaraan Difabel adalah Taman Sekartaji dan Halte Batik Solo Trans. Bangunan yang ada setelah Perda Kesetaraan difabel seharusnya sudah memenuhi standar seperti yang ditetapkan oleh Perda tersebut yaitu menyediakan akses bagi difabel agar lebih mudah dalam mengakses bangunan tersebut.
C.2.1 Konsep Pembangunan Ruang Publik Seperti yang terdapat dalam Pasal 12 Perda kesetaran Difabel yaitu difabel berhak mendapatkan aksesibilitas secara fisik.
Aksesibilitas fisik meliputi
pelayanan yang terkait dengan perencanaan dan peruntukan pembangunan kawasan kota serta fasilitas publik. Dalam hal ini Taman Sekartaji dan Halte Batik Solo Trans harus mempunyai akses fisik bagi difabel karena ada setelah Perda ini disahkan
Aksesibilitas fisik ini bertujuan agar kawasan kota dan
fasilitasnya dapat dijangkau dan memenuhi kebutuhan khusus bagi difabel a. Taman Sekartaji Taman merupakan suatu tempat yang biasa digunakan individu untuk bersantai melepas kepenatan. Taman adalah tempat untuk semua kalangan masyarakat, tidak terkecuali juga untuk
difabel, taman juga harus aksesibel
dengan kondisi mereka. Taman juga berkaitan dengan adanya ruang publik yang dapat digunakan masyarakat untuk bersantai. Selain itu dengan adanya taman maka penyerapan air dapat menjadi lebih terjaga. Pembuatan taman juga
commit to user 102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memerlukan lahan yang cukup agar dapat menjadi lebih indah dan terwat dengan baik. Salah satu taman yang ada di Kota Surakarta adalah Taman Sekartaji. Taman Sekartaji ini diresmikan pada tahun 2009 atau lebih tepatnya pada 20 Februari 2009. Taman ini dibangun untuk kebijakan revitalisasi bantaran sungai. Seperti yang dituturkan oleh Bapak Sultan dari Badan Lingkungan hidup bahwa konsep pembangunan taman Sekartaji merupakan agar Kota Surakarta memiliki Lahan terbuka hijau sebesar 20%. “ Sebenarnya pembuatan Taman Sekartaji dan Taman Tirtonadi dibuat untuk memenuhi perintah dari walikota untuk revitalisasi bantaran sungai mbak. Jadi adanya kebijakan untuk penataan ruang publik menjadi lahan terbuka hijau hingga 20%. (wawancara, 13 Juli 2011).
Taman Sekartaji berada ini berada di sepanjang bantaran sungai Kalianyar yang bila ditelusur taman ini berhadapan dengan BBRSBD (Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa) Prof. Dr. Soeharso, sekolah yang dikenal untuk mengasah kemampuan dan keterampilan para difabel untuk lebih baik. Namun ternyata konsep pembangunan Taman Sekartaji ini bukanlah untuk difabel, walaupun taman dan sekolah tersebut berseberangan. Walaupun digunakan untuk umum tapi difabel tidak termasuk didalamnya. “ Taman–taman tersebut memang digunakan untuk umum mbak, tapi memang untuk akses terhadap difabel kami memang tidak membuatnya. Itu karena pembuatan taman tidak sampai terpikir kearah sana, karena tujuan utama dibangunnya ini adalah untuk kawasan konservasi, jadi kami tidak sampau berpikir kearah sana.” (wawancara, 13 Juli 2011).
Dari wawancara diatas dapat diketahui bahwa akses bagi difabel berkursi roda untuk dapat menikmati Taman Sekartaji sangatlah terbatas dan bahkan
commit to user 103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hampir tidak bisa. Sebenanya untuk konsep pembangunan taman adalah sudah bagus yaitu agar Surakarta mendapat lahan terbuka hijau, namun alangkah lebih baik jika Taman Sekartaji selain sebagai daerah resapan dan konservasi juga dapat memperhatikan kebutuhan masyarakat akan ruang publik khususnya para difabel. Menurut Bapak Sultan salah satu kendala yang dihadapi dalam pembuatan taman adalah keterbatasan lahan dan kemungkinan penyalahgunaan fungsi taman bila diberi akses rem di pintu masuk. “Taman Sekartaji dari pintu masuk menuju ke dalam menggunakan tangga walaupun tidak curam, dan tidak ada rem untuk difabel. Namun untuk kebawahnya ada akses landai. Hal ini dikarenakan bila ada rem bagi difabel dikhawatirkan malah membuat masyarakat umum yang menikmati taman membawa masuk kendaraanya ke dalam taman dan disalahgunakan tidak sebagaimana semestinya. Keadaan seperti ini bisa merusak taman dan membuat taman menjadi kumuh. Karena itu tidak dipasang rem atau jalur landai dengan pertimbangan seperti ini. Imbasnya ya difabel itu sulit memasukinya apalagi yang berkursi roda.” (wawancara, 13 Juli 2011) Foto 18
Keterangan: Akses dalam taman berupa rem sangat curam Sumber : Dokumentasi Peneliti Jadi untuk konsep pembangunan taman yaitu sebagai lahan terbuka hijau dan daerah resapan. Selain itu adanya kekhawatiran akan rusaknya Taman Sekartaji bila diberi rem, maka taman ini belum sepenuhnya bisa menjangkau masyarakat khususnya bagi difabel. Taman yang ada setelah Perda Kesetaraan
commit to user 104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Difabel disahkan ini belumlah ramah bagi difabel khususnya difabel berkursi roda.
b. Halte Batik Solo Trans Sebagai sarana transportasi umum yang terbilang murah kehadiran Batik Solo Trans dengan segala kenyamanannya disambut hangat oleh masyarakat Surakarta secara umum, termasuk para difabel. Apalagi bus Batik Solo Trans dijanjikan dapat diakses oleh semua masyarakat dan juga menyediakan sarana sarana penunjang yaitu halte agar dapat diakses oleh masyarakat
khususnya
difabel. Halte adalah tempat pemberhentian bus untuk penumpang bisa masuk didalamnya.
Halte haruslah bisa diakses oleh semua orang tanpa terkecuali.
Menurut Bapak Suryo Kasi Angkutan Orang dari Dinas Perhubungan halte BST memang dibuat untuk digunakan oleh banyak orang. “ Halte BST dibangun untuk semua orang yang memanfaatkan transportasi. Ya didalamnya adalah termasuk penyandang cacat. tempat buat difabel masuk ada karena ada aksesnya. (wawancara, 20 Juli 2011).
Konsep untuk Halte BST sudah sesuai dengan apa yang direncanakan serta standar yang telah ditetapkan dan tetap dapat oleh digunakan oleh semua orang termasuk difabel. Difabel menjadi salah satu prioritas dalam pembuatan halte karena mereka juga memerlukan sarana transportasi layaknya masyarakat. Bentuk prioritas ini terlihat dari bentuk bangunan halte yang menggunakan rem atau jalan landai yang disertai pegangan.
Jalan landai memudahkan difabel
berkursi roda untuk dapat jalan diatasnya, sedangkan pegangan disisi kanan dan kiri memudahkan untuk difabel memakai tongkat untuk berjalan.
commit to user 105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“ Dalam proses pembuatan Halte BST ini karena direncanakan untuk publik maka semuanya itu harus bisa untuk semua orang.. Salah satu pintu dari halte BST merupakan untuk difabel yang jalan landai itu mbak jadi standarnya sudah bisa buat yang normal maupun yang difabel. Jalan yang landai itu dibuat sekitar 7 meter, dengan tingkat kemiringan 10cm setiap 1meternya, hal ini memang sudah sesuai dengan tingkat kemampuan kursi roda untuk dapat mencapainya dan sesuai dengan standar pelayanan akses difabel. Dulu waktu difabel mecoba apakah bisa melewati rem itu ternyata mereka bisa memasukinya. (wawancara, 20 Juli 2011)
Halte Batik Solo Trans memiliki panjang kemiringan yaitu sekitar 7meter, tingkat kemiringan tersebut sudah sesuai dengan yang apa yang direncanakan. Namun tidak semua Halte Batik Solo Trans memiliki rem yang panjangnya 7meter.
Ada banyak halte Batik Solo Trans yang kedua pintu masuknya
menggunakan anak tangga, ada pula yang memeang menggunakan rem namun sudut kemiringannya sangat curam. Sebagai contoh halte Batik Solo Trans di depan Balaikota, halte tersebut tidak dilengkapi rem pada kedua sisi pintu. Lalu halte Batik Solo Trans di depan daerah Gramedia yang walaupun ada remnya namun agak sedikit curam. Selain itu terdapat halte semi permanen atau yang disebut halte portable, halte ini hanya berbentuk anak tangga saja, difabel berkursi roda tidak akan bisa untuk mengaksesnya. Adanya beberapa halte yang tidak ramah difabel ini menurut penjelasan Bapak Suryo karena tergantung dari lahan yang ada. “ Tidak semua lahan memenuhi ruang yang diperlukan untuk membangun Halte BST, jadi bisa dibilang kita kurang lahan seperti itu. Tidak semua halte bentuknya sama juga karena menyesuaikan dengan aspek geografis, aspek jalan, dan luas lahan yang akan mempengaruhi jalan / ruang difabel. Kalau untuk hakte yang berupa anak tangga saja kami menyebutnya dengan halte portable mbak. Halte tersebut bersifat sementara jadi nanti akan dibuat permanent seperti halte BST pada umumnya. halte- halte tersebut ada yang bisa untuk difabel maupun tidak, yaw tergantung itu tadi luas lahan. (wawancara, 20 Juli 2011).
commit to user 106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Foto 19
Keterangan: Halte BST portable yang sama sekali tidak bisa digunakan oleh difabel (tampak depan) Sumber : Dokumentasi Peneliti Foto 20
Keterangan: Halte BST portable yang sama sekali tidak bisa digunakan oleh difabel (tampak belakang) Sumber : Dokumentasi Peneliti
Salah seorang difabel pemakai tongkat yaitu Saudara Eman mengatakan untuk mencoba naik Batik Solo Trans itu susah karena jalurnya hanya ada di titik– titik tertentu. Dia mengatakan bahwa kalau di titik-titik tertentu membuat dia kesulitan untuk mencoba. Selain itu dia mengetahui pula mengenai halte Batik Solo Trans yang katanya aksesibel, namun belum pernah sekalipun Saudara Eman mencoba. Dari sini dapat terlihat bahwa konsep pembangunan untuk Halte Batik Solo Trans sudah dirancang sedemikian rupa, supaya difabel dapat memasukinya.
commit to user 107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
akan tetapi karena keterbatasan lahan yang ada terkadang pintu masuknya dibuat rem yang curam serta ridak aksesibel bagi difabel. Pembangunan merupakan suatu proses yang berlangsung terus menerus dan merupakan suatu usaha yang sadar yang dilakukan oleh manusia. Di sini pembangunan ruang publik yang diteliti dilakukan setelah adanya Perda Kesetaraan Difabel seharusnya berpihak pada difabel.
Namun yang terlihat
adalah pembangunan tidak mementingkan difabel, dilihat dari akses yang disediakan oleh taman Sekartaji maupun Halte Batik Solo Trans masih belum memenuhi standar bagi difabel. Pembangunan yang dilakukan secara terencana seharusnya berorientasi pada perubahan ke arah yang lebih baik. Namun disini perubahan tersebut msih belum bisa dirasakan oleh difabel.
C.2.2. Fungsi dan Fasilitas Ruang Publik Fungsi dan Fasilitas Ruang Publik setelah adanya perda Difabel seharusnya sudah sesuai dengan isi yang terdapat dalam Pasal tersebut berikut akan dijelaskan mengenai fungsi dan fasilitas dari Taman Sekartaji dan Halte Batik Solo Trans. a. Taman Sekartaji Dilihat dari konsep pembangunan Taman Sekartaji sebagai daerah konservasi dan lahan terbuka hijau maka Taman Sekartaji berfungsi sebagai daerah resapan air yang berguna untuk menampung air dan menahan dari banjir. Sebagai ruang terbuka hijau maka taman Sekartaji merupakan taman yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah kota yang
commit to user 108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Selain itu sebagai Taman Kota dan Ruang Terbuka Hijau maka taman Sekartaji ini mepunyai fungsi 1. Sebagai daerah konservasi yaitu sebagai upaya pelestarian lingkungan, tetapi tetap memperhatikan pada pemanfaatan, masa depan. pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan pelestarian. 2. Sebagai sarana rekreasi kota yaitu tempat untuk bersantai dan berelaksasi agar tidak jenuh.
Banyak warga kota Surakarta
berdatangan dari pagi hingga malam. Bahkan ketika malam hari sering dsalahgunakan sebagai tempat untuk berpacaran 3. Sebagai sarana estetika warga.
Fungsi estetika berarti sebagai
bagian dari keindahan taman yang dapat ditampilkan dan dibanggakan. Fasilitas yang ditawarkan di Taman Sekartaji ini adalah: 1. Adanya tanaman hias seperti pohon palem dan tanaman hias lainnya, serta tokoh pewayangan sebagai lambang budaya kota Surakarta 2. Terdapat bagian–bagian taman yang bisa digunakan untuk bersantai yang dihiasi dengan lampu hias. Selain memiliki fungsi dan fasilitas yang banyak, pastinya banyak warga kota Surakarta yang datang dan mengunjungi tempat ini. Namun walaupun ada setelah Perda kesetaran difabel disahkan ternyata Taman Sekartaji ini tidak memiliki akses sebagaimana yang seharusnya ada dalam
commit to user 109
aksesibilitas fisik.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Paling tidak terdapat rem landai untuk memudahkan difabel untuk memasukinya, namun kenyataan yang peneliti temukan adalah rem yang sangat curam yang terdapat di taman ini, tidak ada railing ataupun akses lainnya bagi difabel. Foto 21
Keterangan: Rem curam untuk menuju bagian bawah taman Sumber : Dokumentasi Peneliti
b. Halte Batik Solo Trans Halte Batik Solo Trans memiliki fungsi sebagai tempat untuk mennggu bus atau pemberhentian bus sementara untuk mengangkut penumpang ataupun peralihan antar transportasi.
Halte Batik Solo Trans ini ada yang berupa
bangunan seperti bangunan joglo maupun hanya berbentuk portabel yang hanya berupa anak tangga. Disamping memiliki fungsi diatas, fasilitas yang ditawarkan oleh Halte Batik Solo Trans yang ditemukan oleh peneliti adalah: 1. Adanya rem atau jalan landai di salah satu sisi bangunan Halte batik Solo Trans, terdapat pula tramrail ( pegangan ). Rem yang terdapat di Halte Batik Solo Trans terdapat rem curam maupun landai. 2. Adanya petugas yang berjaga di halte/ titik tertentu untuk memeriksa katepatan waktu sehingga dapat berlangsug sesuai jadual.
commit to user 110
perpustakaan.uns.ac.id
Dari
data
digilib.uns.ac.id
diatas
dapat
dilihat
Halte
Batik
Solo
Trans
telah
mengaplikasikan Perda Kesetaraan Difabel dalam pembangunan fisiknya. Namun kenyataan yang ditemukan dilapangan adalah tidak adanya difabel yang mencoba untuk naik bis Batik Solo Trans karena letak halte yang hanya berada di titik–titik tertentu dan akses bagi difabel juga hanya terdapat di halte–halte tertentu dan terkadang akses yang berada di halte tersebut masih sulit diakses difabel karena rem terlalu curam. Dapat dilihat bahwa hampir semua ruang publik di Kota Surakarta yang diteliti telah memiliki akses bagi difabel, namun permasalahan yang selanjutnya setelah disediakannya akses adalah apakah benar akses tersebut memang benar– benar bisa digunakan oleh difabel. Perda Kesetaran Difabel telah mengatakan bahwa difabel berhak mendapatkan aksesibilitas fisik, namun ketika dibangun nyatanya adalah akses tersebut kebanyakan tidak ramah bagi difabel atau difabel sulit mengaksesnya. Ruang publik yang responsif, demokratis, dan bermakna belum begitu ditemukan karena tidak semua ruang publik memenuhi kriteria tersebut. Konsep akses yang disediakan ruang publik yang diteliti tidak sesuai dengan kebutuhan difabel . Bagi difabel akses tersebut ternyata tidak mampu atau kurang mampu menjangkau mereka.
Walaupun menurut orang normal hal
tersebut bisa dijangkau namun tidak bagi para difabel yang merasakan pembangunan tersebut. Akses yang disediakan banyak yang sudah rusak, terlalu tinggi, sehingga membuat difabel kesulitan didalamnya.
Azaz kemudahan,
kegunaan, keselamatan, dan kemandirian yang seharusnya dapat dipenuhi
commit to user 111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
semuanya ternyata hanya beberapa saja yang layak, dan setiap akses hanya memenuhi beberapa azaz saja. Walaupun demikian dengan adanya aksesibilitas bagi difabel di Kota Surakarta, sedikit banyak telah membantu difabel untuk merasakan kesempatan yang sama dengan orang normal. Akan tetapi para difabel merasakan kurang bisa mengakses tempat-tempat di ruang publik karena fasilitas yang mereka terima tidak sesuai dengan kondisi mereka. Bagi difabel Pasar Gede walaupun memiliki akses yang tepat namun ternyata terlalu ramai dan terlalu sempit jalannya bila mereka pergi ke Pasar, walaupun aksesibel namun kenyataannya mereka tidak bisa mengakses. Taman Sekartaji dibangun sebagai lahan terbuka hijau, disana tidak disediakan akses bagi difabel karena pembangunannya memang tidak memperhatikan akses bagi mereka. Terminal Tirtonadi terdapat jalan rem bagi difabel namun banyak difabel yang tidak bisa mengakses karena terlalu tinggi dan tidak rata. Halte BST bagi difabel ternyata telalu curam untuk jalan landainya serta tidak aksesibel karena berada pada lokasi tertentu saja. Masjid Agung memiliki akses wudlu khusus bagi difabel ini merupakan salah satu keunggulan masjid ini, difabel dapat dengan mudah mengaksesnya, namun agak sedikit berusaha untuk mencapai ruangan tempat beribadah. Gereja Kristen Jawa Margoyudan mudah bagi difabel untuk dapat memasuki ruang peribadahan namun tidak untuk kamar mandinya. Solo Grand Mall akses bagi difabel sangat banyak dan difabel sedikit dimanjakan dengan akses tersebut diantaranya adalah adanya lift, travelator, rem di pintu
commit to user 112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masuk, namun untuk kamar mandi dan mushola masih agak sulit dijangkau oleh difabel. Dari ketujuh ruang publik diatas yang benar–benar bisa dijangkau oleh para difabel pengguna kursi roda maupun tongkat adalah Solo Grand Mall, Gereja Kristen Jawa Margoyudan. Walaupun bisa diakses oleh mereka namun tetap saja ada banyak kekurangan fasilitas yang ditawarkan. Sedangkan ruang publik yang dapat dijangkau oleh difabel pengguna tongkat (semi ambulant) adalah semua ruang publik diatas, karena pengguna tongkat cenderung lebih bisa mengakses jalan tanpa membutuhkan space yang luas dan anak tangga dapat dilalui.
D. Aksesibilitas Difabel dalam Ruang Publik Aksesbiltas adalah kemudahan yang disediakan bagi difabel guna mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dari berbagai penjelasan yang telah peneliti jelaskan dapat dilihat bahwa kemudahan dan kesamaan akan kemudahan akses ruang publik bagi difabel akan berpengaruh pada intensitas kedatangan difabel dalam ruang publik dan sikap difabel terhadap akses yang telah disediakan. Intensitas dan sikap ini tergantung pada seberapa besar hambatan yang dialami difabel, kondisi, dan fasilitas dalam ruang publik.
D.1. Intensitas Kedatangan Difabel dalam Ruang Publik. Intensitas kedatangan difabel dalam sebuah ruang publik dapat dilihat dari jenis akes yang ditawarkan oleh ruang publik tersebut.
commit to user 113
Jika ruang publik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memiliki akses yang ramah bagi difabel maka intensitas kunjungan akan relatif tinggi, namun begitu pula sebaliknya, jika akses bagi difabel tidak ada maka intensitas kedatangan mereka akan semakin sedikit. Intensitas merupakan suatu keadan tingkatan, dalam hal ini intensitas kedatangan difabel merupakan tingkatan kedatangan difabel dalam ruang publik. Disini terlihat difabel berkursi roda terlihat lebih kesusahan untuk memasuki suatu ruangan daripada difabel bertongkat karena lebih banyak membutuhkan fasilitas. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa intensitas kedatangan difabel pada ruang publik yang diteliti berbeda–beda. Difabel lebih memilih tempat yang dirasa mudah diakses baginya. Berikut merupakan intensitas kedatangan difabel dalam ruang publik yang diteliti. 1. Ruang publik yang sering dikunjungi a. Solo Grand Mall Ruang publik adalah suatu ruang dimana seluruh masyarakat mempunyai akses untuk menggunakannya. Ciri-ciri utama dari ruang publik adalah terbuka mudah dicapai oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan kelompok maupun kegiatan individu. Salah satu jenis ruang terbuka dapat berupa Mall. Di kota Surakarta sendiri terdapat Solo Grand Mall sebagai salah satu ruang publik. Antusias warga Surakarta dan sekitarnya untuk datang ke Mall ini sangat tinggi, terlihat dari jumlah pengunjung yang datang setiap harinya berjumlah hingga ribuan orang. Tidak terkecuali difabel yang juga sring terlihat di Solo Grand Mall.
commit to user 114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Erna dan Handayani difabel yang menggunakan kursi roda ini mengatakan bahwa mereka sering ke Solo Grand Mall. berpendapat
karena
akses
untuk
masuk
mudah
Kedua orang ini
maka
mereka sering
mengunjungi Solo Grand Mall walaupun hanya sekedar bersantai. Dalam sebulan mereka bisa pergi ke tempat tersebut hingga 2-3 kali. Ruang publik diciptakan sebagai wadah untuk kehidupan manusia, baik secara individu maupun berkelompok, serta tidak memandang usia maupun kondisi apapun. Maka untuk itulah banyak berdiri ruang publik di kota Surakarta salah satunya Solo Grand Mall yang bias diakses oleh siapa saja.
b. Gereja Kristen Jawa Margoyudan Dalam ibadah umat kristiani, ibadah dilaksanakan pada hari minggu. Untuk intensitas jemaat difabel dalam mengakses gereja ini setiap minggu pasti datang beribadah. Selain karena wujud syukur atas berkat Tuhan tetapi juga sebagai bentuk kekuatan secara rohani.
Ibu Hadi mengatakan beliau setiap
minggu pasti datang kegereja ini. “jadi tiap minggu siang saya pasti beribadah ditempat gereja ini.” (wawancara, 31 Juli 2011)
Ruang publik yang mudah diakses bagi difabel membuat mereka sering ke tempat tersebut. Salah satunya Gereja sebagai tempat beribadah yang tidak luput dari sasaran difabel untuk melakukan ibadah.
commit to user 115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Ruang Publik yang jarang dikunjungi a. Taman Sekartaji Ruang publik merupakan suatu ruang yang harusnya bisa diakses oleh siapa saja. Difabel juga membutuhkan ruang publik maka intensitas kedatangan mereka ke ruang publik dapat dilihat dari apakah sudah ada layanan yang tepat bagi mereka. Untuk Taman Sekartaji sendiri difabel yang mengunakan tongkat seperti saudara Eman
mengatakan sering
mengunjungi taman ini, namun beda halnya dengan difabel berkursi roda Zakim dia hanya ke taman Sekartaji jika ingin nongkrong saja itupun tidak sering. “Aku sering ke Taman Sekartaji mbak, biasanya kalau sore aku yaw lumayan suka kesini. (wawancara dengan Eman Permana, 08 Juli 2011) “Cuma nongkrong saja, itupun saya ga bisa menikmati tamannya amapai ke bawah – bawah, itupun jarang kak “ (wawancara dengan Amsori, 08 Juli 2011)
Perbedaan ini terjadi karena perbedaan akses yang dapat mereka lalui.
Dengan akses anak tangga difabel yang memakai tongkat bisa
melaluinya tanpa bantuan, sdangkan bagi difabel berkursi roda harus mendapat bantuan orang lain untuk melaluinya.
b. Masjid Agung Surakarta Intensitas kedatangan difabel di ruang publik dipengaruhi oleh seberapa besar fasilitas yang bisa diakses oleh difabel. Terkadang akses yang tidak memadai menyebabkan intensitas difabel dalam mengakses
commit to user 116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ruang publik pun menjadi sangat jarang. Akses atau fasilitas bagi difabel dapat berupa rem, guilding bloc, handrail, dan sebagainya. Di Masjid Agung ni sudah terdapat rem bagi difabel dan tempat wudlu khusus bagi difabel. Adanya akses ini menyebabkan tidak sedikit difabel yang mengunjungi Masjid Agung Surakarta. Menurut Bapak Bambang beliau sudah sering ke Masjid Agung karena menurut beliau untuk wudlu mudah, walapaun untuk menuju ruang dalam harus sedikit bersusuah payah. Seperti juga yang dialami oleh Saudara Muhammad Rosul, dia juga mengatakan bahwa sering ke Masjid Agung karena masjid tersebut lebih aksesibel bagi dirinya. “Pernah mbak beberapa kali, masjidnya besar kalau dibandingkan masjid yang tiap jumat saya datangi. (wawncara, 23 Juni 2011)”
Jadi bisa dibilang kemudahan bagi difabel untuk mengakses Masjid Agung akan memengaruhi intensitas kedatang mereka ke tempat tersebut.
3. Ruang publik yang sangat jarang dikunjungi a. Pasar Gede Bagi difabel jika tempat tersebut memungkinkan dirinya untuk masuk kedalamnya maka dia akan sering untuk kembali ke tempat tersebut. Namun apabila dirasa akses tersebut susah dan menyulitkan bagi dirinya berarti mereka akan mencoba untuk pertama dan terakir kalinya. Pasar Gede salah satu tempat ruang publik yang sering dikunjungi oleh masyarakat luas. Setiap harinya ribuan orang mengunjungi pasar Gede untuk bertransaksi. Tapi tidak halnya difabel sepereti yang diungkapkan oleh saudara Arif Ernawati
commit to user 117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Udah cukup sekali itu saja saya ke Pasar tradisional, saya ga mau lagi ke sana. Sebenarnya akses di Pasar Gede sudah tepat mbak, tapi karena pedagangnya menuhin jalan bikin jalan jadi sempit dan saya jadi ga bisa leluasa buat jalan”. (wawancara, 23 Juni 2011)” Jadi dapat dilihat difabel mengalami kesulitan untuk mengakase Pasar khususnya difabel berkursi roda karena membutuhkan lebih banyak ruang luas untuk dapat memberikan rasa nyaman. Namun Pasar Gede belum bisa memberikan fasilitas tersebut walaupun sebenarnya sudah sangat akssesibel bagi difabel.
b. Halte Batik Solo Trans Seperti layaknya terminal sebagai tempat sarana transportasi, halte juga memiliki fungsi seperti terminal yaitu sebagai tempat untuk menaikkan penumpang atau orang yang membutuhkan jasa transprtasi. Bagi kebanyakan orang halte BST dapat menjadi pilihan tempat untuk mencegat bis sekaligus tempat berteduh. Masyarakat yang memiliki tubuh yang lengkap menganggap halte BST tidak ada kekurangan, jadi banyakl masyarakat yang menggunakannya setiap harinya. Namun tidak dengan mereka yang mempunyai kekurangan dalam dirinya seperti difabel, ruang publik yang dianggap manusia normal mudah diakses tidak berlaku bagi mereka. Halte BST yang sulit diakses dan tempatnya yang berada pada posisi tertentu mebuat difabel jarang untuk mengaksesnya.
Hasil dari observasi
ditemukan bahwa tidak ada difabel yang dilihat mengakses halte BST. Jadi bisa dibilang halte BST ini kurang menjangkau difabel seperti konsep yang semula direncanakan.
commit to user 118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Terminal Tirtonadi Terminal merupakan ruang publik yang sangat sibuk.
Banyak orang
berlalu lalang datang dan pergi. Setiap orang yang membtuhkan transportasi salah satunya pasti akan pergi ke terminal. Intensitas bagi mereka yang membutuhkan layanan transporttasi sangat tinggi, bahkan bisa setiap orang untuk setiap harinya mengakses terminal. Bagi orang normal tentu saja mudah jika harus bepergian kemana–mana. Namun beda halnya dengan orang yang berkebutuhan khusus seperti difabel. Jika mereka mengakses ruang publik yang susah dijangkau maka membuat mereka kesusahan sendiri. Difabel yang mengakses terminal seringkali mengalami kesulitan dalam hal aksesibilitasnya. Mereka harus dibantu orang untuk bisa memasukinya. Ini membuat mereka jarang terlihat di terminal, intensitas mereka untuk datang ke terminal sangat kecil. Bagi difabel berkursi roda yang peneliti wawancara bahkan hanya pernah satu kali saja mengunjungi terminal. Untuk itulah fasilitas dari ruang publik haruslah diperhatikan, agar difabel juga bisa merasakan kenyamanan.
D.2. Sikap Difabel dalam mengakses Ruang Publik Ada beberapa sikap difabel yang ditemukan oleh peneliti mengenai sikap mereka dalam mengakses ruang publik. Hal ini dapat dilihat dari intensitas para difabel juga dalam mengakses ruang publik yang diteliti serta hambatan yang dialami. Sikap yang ditemukan oleh peneliti yaitu:
commit to user 119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Apatis Sikap apatis merupakan sikap acuh tak acuh ataupun tidak peduli. Mengenai aksesibilitas difabel dalam ruang publik maka sikap apatis ini berarti difabel tidak peduli mengenai ada atau tidaknya akses bagi mereka. Seperti sikap yang ada pada diri Amsori difabel berkursi roda, dia mengatakan bahwa lebih memilih untuk tinggal di asrama daripada harus berjalan–jalan ataupun pergi ke ruang publik, karena dia merasa tidak bisa mengakses ruang tersebut maka dia tidak peduli mengenai ruang publik yang ada di Surakarta, begitu pula dengan pembangunan yang ada di Kota Surakarta. “selebihnya cuma tinggal di asrama saja, jadinya saya ga tau dan tidak peduli mengenai kota Surakarta.” (wawancara, 08 Juli 2011)
Difabel tidak bisa mengakses dengan mudah maka sikap apatis akan muncul, membuat difabel merasa enggan dan malas untuk berada di ruang publik. Sikap apatis merupakan bagian dari penjelasan Parsons mengenai skema unit dasar
tindakan sosial yaitu adanya aktor yang berhadapan dengan sejumlah
kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya yaitu berupa situasi dan kondisi. Kondisi ruang publik yang tidak dapat diakses menyebabkan difabel bersikap apatis dan malas untuk menuju tempat tersebut.
b. Bersikap terbuka dan dapat menerima Sikap terbuka ini ditunjukkan difabel jika mereka dapat mengkases ruang publik dengan mudah dan tidak mengalami kesulitan.
Jenis fasilitas yang
ditawarkan ramah bagi difabel. Salah satunya Masjid Agung Surakarta difabel
commit to user 120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendapat fasilitas dalam akses yang mudah untuk tempat wudlu, walaupun tidak dengan akses menuju ruangan tempat sholat, namun mereka tetap mau datang untuk beribadah. Ada beberapa jenis akses yang tidak bisa dilewati para difabel, namun dengan bantuan orang lain mereka pada akhirnya bisa melewati tempat tersebut. Ini menunjukkan sikap difabel bahwa mereka dapat menerima akses yang telah diberikan oleh suatu ruang publik. Dalam hal ini jelas sikap difabel yang dapat menerima ini sejalan dengan tindakan sosial dalam teori aksi Parsons yaitu dalam bertindak
manusia
menggunakan
cara,
teknik,
prosedur,
metode
yang
diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut. Bagi difabel yang bersifat terbuka mereka memilih cara yaitu dengan bantuan oleh orang lain untuk mencapai suatu ruang publik. Dari semua analisis diatas maka dapat dihubungkan dengan teori Max Weber mengenai tindakan sosial. Tindakan sosial ini diasumsikan oleh Weber bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasar pada pengalaman, persepsi, pemahaman, dan penafsirannya atas obyek dari situasi tertentu.
Tindakan
individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana paling tepat. (Ritzer, 1985:38).
Seperti yang dudah
diterangkan bahwa tindakan sosial memiliki empat tipe tindakan dasar yaitu Zwerk Rational / Rasionalitas Sarana Tujuan, . Werktrational Action / Rasionalitas Nilai, Affektual Action, dan Tradisional Action. Dapat dilihat dalam tindakan sosial bahwa dalam aksesibilitas difabel dalam ruang publik sejalan dengan tindakan rasional sarana tujuan yakni tindakan
commit to user 121
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sosial murni tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan–harapan ini digunakan sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan–tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional.
Bagi difabel harapan mereka dalam akses ruang
publik adalah mementingkan kehidupan mereka sehingga tidak ada perbedaan hak dalam memperoleh fasilitas. Para difabel dengan peraturan mengenai kesetaraan hak difabel mempunyai harapan mereka juga mampu mengakses ruang publik sama dengan masyarakat pada umumnya. Werktrational Action/ Rasionalitas Nilai Dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan cara yang paling tepat atau lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara yang kiranya sudah menentukan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini aksebilitas bagi difabel sudah diwujudkan dalam ruang publik yaitu dengan adanya akses bagi difabel agar lebih mudah dalam menjalankannya namun kenyatan masih banyak ruang publik yang belum ramah bagi difabel. Pemerintah kota dan pihak swasta yang telah berperan dalam pembangunan ruang publik yaitu menyediakan akses bagi difabel untuk kesejahteraannya, akan tetapi ternyata kurang tepat bagi difabel. Seperti tindakan affektual hal seperti ini dipengaruhi oleh individu, untuk mencapai tujuan agar bisa menikmati ruang publik maka difabel harus berpura– pura menjadi seperti orang normal agar bisa mengaksesnya yaitu dengan bantuan orang lain yang lebih normal, bantuan dari masyarakat bagi difabel merupakan
commit to user 122
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
suatu tindakan afektual yang didominasi oleh perasaan tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Selain itu teori aksi juga berpengaruh dalam penelitian ini. Adanya individu sebagai aktor yaitu difabel dalam memperoleh aksesibilitasnya selalu dihadapkan pada alternatif dan suatu cara untuk mencapainya. Merujuk pada asumsi fundamental Parsons yaitu subyek manusia bertindak untuk mencapai tujuan tertentu dalam hal ini difabel akan berusaha mendapatkan haknya dalam mengakses segala bidang khusunya ruang publik yaitu dengan berjuang memperoleh kesetaraan hak yang dituangkan dengan adanya Perda Kesetaraan Difabel di Kota Surakarta. Pada keterangan diatas pembahasan mengenai aksesibilitas difabel dapat dilihat bahwa tindakan sosial relevan dengan penelitian yang diangkat oleh peneliti.
Bagaimanakah saat difabel berpengaruh dalam akses ruang publik,
bagaimana tindakan pemerintah dan pihak swasta mengenai pembangunan ruang publik beserta konsepnya yang mementingkan masyarakat tanpa terkecuali, bagaimana difabel kesulitan bertindak karena akses ruang publik yang belum sesuai. Tindakan–tindakan yang dilakukan semuanya berpengaruh pada hasil yang nantinya bisa dicapai oleh masyarakat. Dalam hal ini tentunya mengenai difabel dan aksesibilitas yang diterimanya. Berikut ini akan peneliti sederhanakan dalam beberapa tabel mengenai aksesbilitas difabel dalam ruang publik
commit to user 123
Tabel 07 Hambatan Yang Dialami Difabel Hambatan Desain Teknis
Difabel Kursi Roda Difabel Tongkat Perubahan tingkat ketinggian Tangga yang terlalu tinggi, lantai permukaan yang mendadak yang terlalu licin, pintu lift yang seperti pada tangga atau parit, terlalu cepat Tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar, tidak cukup ruang untuk berbelok, tidak ratanya jalan
Kondisi yang tidak kondusif
Keterangan Hambatan karena bentuk bangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan difabel. Sebagai contoh yang ditemukan di lapangan adalah ketika difabel mengkases halte Batik Solo Trans, Masjid Agung, dan Taman Sekartaji
Perasaan tidak nyaman, terlalu Perasaan tidak nyaman, terlalu Kondusi tidak kondusif dijumpai terdesak –desak, keadaan yang terdesak –desak, keadaan yang di Pasar Gede, dan Terminal sangat ramai sangat ramai Tirtonadi karena bangunan tersebut terlalu ramai. Fasilitas Tidak Memadai dan Fasilitas akses bagi difabel Fasilitas akses bagi difabel Kurangnya perawatan fasilitas Kurang Perawatan mengalami kerusakan - kerusakan mengalami kerusakan - kerusakan dapat dilihat di terminal Tirtonadi, dan Majid Agung Surakarta yaitu pada akses rem bagi difabel yang tidak rata dan sedikit rusak Sumber data: data primer yang diolah
124
Tabel 08 Kondisi Ruang Publik Sebelum Adanya Perda Kesetaraan Difabel
No
1.
2.
Kondisi Ruang Publik
Lokasi Konsep
Fungsi Pusat kegiatan social Sejak dibangun diperuntukkan ekonomi kerakyatan, pusat Pasar Gede bagi difabel peertemuan dan pertukaran informasi Tempat permberhrntian bus, Memberikan pelayanan terpadu memberikan jasa bagi Terminal Tirtonadi bagi pengguna jasa transportasi masyarakat yang memebutuhkan transportasi Memberikan kenyaman bagi Gereja Kristen Jawa jemaat tanpa membedakan Sebagai tempat beribadah Margoyudan status dan bentuk bangunan dan tempat berinteraksi gereja
Fasilitas Rem, guilding bloc, penjualan barang dagangan yang lengkap Adanya rem, ruang tunggu ibu dan anak, banyak warung ataupun kios.
Rem, lantai yang dibuat kasar pada pintu masuk, dan layanan 3. LCD untuk mempermudah jemaat beribadah Adanya perpustakaan diwilayah Masjid Agung Sebagai tempat beribadah Tempat beribadah, tempat 4. Masjid, tempat wudlu yang Surakarta sekalaigus cagar budaya wisata, tempat beristirahat akses bagi difabel One Stop Family Entertainment & Recreation Untuk tempat berbelanja, Lift, escalator, travelator, parkir, 5. Solo Grand Mall yaitu memberikan pelayanan rekreasi, dan sebagai tempat toilet bagi pengunjung tanpa untuk bersantao mengahbiskan waktu dan biaya Sumber: data primer yang diolah
125
Tabel 09 Kondisi Ruang Publik Setelah Adanya Perda Kesetaraan Difabel
No
Kondisi Ruang Publik
Lokasi Konsep
Fungsi
Fasilitas Tanaman hias sebagai sarana Sebagai daerah konservasi, estetika, akses anak tangga, dan Sebagai lahan terbuka hijau di 1. Taman Sekartaji tempat berrekreasi, dan bagian – bagian taman yang Kota Solo sebesar 20% sarana estetika dapat digunakan sebagai tempat berkegiatan Sebagai tempat pemberhentian Sebagai peralihan antar Terdapat rem, tramprail, Halte Batik Solo bus sementara yang bisa 2. transport untuk mengangkut petugas yang mengawasi Trans diakses semua orang tanpa penumpang interval ketepatan waktu. terkecuali Sumber: data primer yang diolah
126
Tabel 10 Jenis Aksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik No
1.
Lokasi
Jenis Akses
Jenis Kecacatan Kursi Roda Tongkat
Rem
V
V
Guilding Block
V
V
Pasar Gede
2.
Taman Sekartaji
Anak Tangga dan Rem
-
V
3.
Terminal Tirtonadi
Rem
V
V
4.
Halte Batik Solo Trans
Rem
V
V
127
Keterangan Terdapat rem bagi difabel di Pasar dan keduanya dapat digunakan oleh difabel kursi roda maupun tongkat, namun difabel tidak bisa mengakses Pasar karena terlalu ramai dan berdesak - desakan Guilding block berguna agar lantai tidak licin jadi pemakai kursi roda maupun tongkat tidak terpeleset., namun tidak pernah ada difabel yang terlihat berada di pasar Hanya dibangun anak tangga pada taman membuat difabel kursi roda tidak dapat mengakses taman tersebut, ada akses rem dalam taman namun sangatlah curam difabel berkursi roda tidak akan bisa mengaksesnya Terdapat rem yang bisa digunakan oleh difabel, namun pada kenyatan nya rem tersebut digunakan sebagai jalan untuk troli pengangkut barang dan kondisinya telah rusak Kursi roda bisa memasukinya namun bila rem terlalu curam maka tetap saja tidak aksesibel bagi difabel, sedangkan untuk difabel pemakai tongkat rem yang curam pun juga akan susah untuk ditapaki.
5.
Masjid Agung Surakarta
6.
Gereja Kristen Jawa Margoyudan
7.
Solo Grand Mall
Tramprail
-
V
Tempat Wudlu
V
V
Rem
V
V
Lantai yang Kasar
-
V
Travelator
V
V
Rem
V
V
Lift
V
V
Sumber: data primer yang diolah
128
Pegangan di sisi rem berguna bagi difabel pemakai tongkat untuk membantu berpegangan agar tidak terjatuh dan lebih seimbang. Tempat wudlu di Masjid Agung Surakarta sangat askesibel bagi difabel, karena tempat wudlu tersebut dibuat khusus untuk difabel supaya lebih mudah dan nyaman. Pintu masuk gereja ini sudah ada rem yang dapat mempermudah jemaat baik yang difabel maupun non difabel lebih mudah masuk kedalamnya. Rem disini sangat landai. Bagi difabel bertongkat lantai menonjol digunakan agar tidak licin, hal ini sangat berguna bagi difabel agar tidak terpeleset Adanya travelator membuat difabel tidak perlu bersusah payah untuk mendorong kursi rodanya maupun berjalan Bagi difabel kursi roda rem yang ada sangat berguna bagi mereka, walaupun di pintu lobby masih sedikit curam tapi masih bisa diakses Lift berguna tidak hanya bagi difabel saja tapi juga semua pengunjung yang membutuhkan
Tabel 11 Intensitas Kedatangan Difabel Dalam Ruang Publik
Sering Solo Grand Mall
Jarang Taman Sekartaji
Gereja Kristen Jawa Margoyudan
Masjid Agung Surakarta
Sangat Jarang Pasar Gede Halte Batik Solo Trans Terminal Tirtonadi
Sumber: Data primer yang diolah
Tabel 12 Sikap Difabel Terhadap Akses Yang diterima dalam Ruang Publik
Sikap Apatis
Bersikap terbuka
Keterangan Tidak mau tahu dengan keadaan ruang publik di Kota Solo. Tidak peduli dan merasa tidak mampu mengkases ruang publik Difabel mau mengerti keadaan ruang publik dan akses yang mereka terima walaupun terkadang akses tersebut tidak ramah bagi mereka
Sumber: Data primer yang diolah
129
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasakan penelitian yang peneliti lakukan dengan judul Aksesibilitas Difabel dalam Ruang Publik (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Aksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik di Kota Surakarta), dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Difabel sebagai orang yang memiliki kemampuan yang berbeda selalu ingin disetarakan dengan masyarakat pada umumnya begitu pula mengenai masalah aksesibilitas. Selain itu banyak akses tidak memenuhi azaz–azaz bagi kesetaraan difabel. Sehingga banyak dari difabel kesulitan dan harus membutuhkan bantuan dari orang lain untuk dapat menikmati ruang publik karena permasalah aksesibilitas yang ada. Permasalahan aksesibilitas tersebut antara lain adalah mengenai masalah desain teknis, kondisi ruang yang tidak kondusif, dan fasilitas yang tidak memadai dan kurang perawatan. Hal seperti ini membuat difabel merasa kurang akses dalam melaluinya. Akses maupun fasilitas yang disediakan dalam pembangunan tersebut tidak bisa dirasakan difabel karena terkadang akses tersebut sudah atau rusak dan tidak terawat, tidak bisa dijangkau karena tidak ada rem atau terlalu curam, lantai yang licin, ataupun ruangan yang terlalu sempit. Dari kurangnya fasilitas dan permasalahan aksesibilitas dapat dilihat intensitas kedatangan difabel dalam ruang publik, ruang publik yang mudah diakses maka difabel sering berkunjung ke tempat tersebut, begitu pula sebaliknya jika dirasa kurang aksesibel
commit to user 124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bagi mereka maka difabel akan jarang mengunjungi tempat tersebut. Kondisi ruang publik di kota Surakarta bisa dibilang ada beberapa yang tidak terawat. Banyak tempat yang kurang dalam perawatannya sehingga membuat menjadi tidak nyaman. Selain itu ada ruang publik yang kondisinya tidak begitu baik hampir roboh karena tidak ada renovasi.
Namun kebanyakan kondisi ruang
publik di kota Surakarta sudah mengalami renovasi sehingga tinggal butuh perawatan saja supaya ruang publik menjadi lebih baik. Bisa dibilang Surakarta mengalami perkembangan yang pesat dal ruang publiknya. Dari kondisi demikian maka difabel pun terbagi menjadi dua kategori terhadap akses yang mereka terima, yang pertama adalah difabel bersikap apatis yaitu mereka tidak peduli dan tidak mau tahu dengan keadaan ruang publik di kota Surakarta, dan yang kedua adalah bersikap terbuka yaitu mereka mau menerima akses ruang publik yang telah disediakan bagi mereka.
Sikap ini datang
berdasarkan kemudahan mereka dalam mencapai atau memasuki ruang publik yang berada di Kota Surakarta setelah adanya Perda Kesetaraan Difabel. Perda Kesetaraan Difabel sebenarnya sudah diaplikasikan ke dalam setiap pembangunan di Kota Surakarta. Baik itu ruang publik yang ada setelah Perda tersebut ada ataupun sebelum Perda tersebut disahkan.
Setiap sarana publik
ataupun ruang publik setelah Perda disahkan diwajibkan untuk menambah akses bagi difabel. Di Kota Surakarta sendiri sebenarnya sudah memberikan akses bagi difabel agart difabel dapat menikmati ruang publik yang ada.
Namun
pembangunan yang dilakukan terkadang masih belum bisa menjangkau difabel
commit to user 125
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk dapat merasakan akses yang diberikan baik itu ruang publik yang ada sebelum maupun sesudah Perda kesetaraan difabel disahkan.
B. Implikasi B.1. Implikasi Empiris Aksesibilitas difabel dalam ruang publik sebenarnya sudah dirasakan oleh difabel. Banyak tempat publik yang telah diberi akses namun pada kenyataannya masih ada beberapa tempat yang masih sulit untuk diakses. Kesulitan ini jelas terlihat dari akses yang diberikan kurang sesuai dengan kebutuhan difabel. Padahal sudah ada Perda mengenai difabel yang mengaturnya. Perda Kesetaraan Difabel yang telah disahkan sejak tahun 2008 lalu dimana difabel juga memiliki hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya, dalam hal ini khususnya mengenai aksesibilitas dalam ruang publik. Namun ditemukan bahwa ada beberapa konsep pembangunan ruang publik masih ada yang tidak menyediakan layanan akses bagi difabel. Selain itu ada beberapa ruang publik yang masih belum ramah difabel karena banyak permasalahan mengenai aksesibilitasnya. Dari hal ini dapat dilihat maka difabel mengalami kesulitan menikmati ruang publik tersebut. Perda yang seyogyanya digunakan untuk menyetarakn difabel dalam berbagai hal ternyata masih saja belum sepenuhnya terlaksana, khususnya dalam hal kemudahan aksesibilitas fisik dalam suatu ruang publik. Untuk itu diharapkan bagi banyak pihak agar terus mendukung difabel untuk memperoleh kesamaan hak bagi mereka terutama dalam akses ruang publik.
commit to user 126
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B.2. Implikasi Teoritis Dalam penelitian ini penulis menggunakan paradigma definisi sosial. Dimana pokok persoalan dari definisi ini adalah tentang tindakan sosial yang dikemukakan oleh Max Weber. Tindakan sosial merupakan tindakan individu sepanjang tindakannya mempunyai arti yang diarahkan kepada tindakan orang lain. Selain itu tindakan sosial sebagai tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Dalam hal ini, yaitu pembangunan ruang publik di Kota Surakarta diupayakan agar difabel mendapatkan kesetaraan dan kemudahan dalam memperoleh akses yang sama, hal ini dibantu oleh pemerintah kota maupun dari pihak swasta. Teori aksi mengatakan bahwa manusia merupakan aktor yang kreatif, aktif, dan evaluatif.
Hasil penelitian ini secara teoritis mendukung pendekatan
yang dipakai dalam penelitian ini. Dimana pendekatan yang diambil menekankan kepada difabel dan ruang publik yang ada di kota Surakarta. Hal ini tercermin dari dengan peraturan mengenai kesetaraan hak difabel, difabel mempunyai harapan untuk mampu mengakses ruang publik sama dengan masyarakat pada umumnya serta mempertimbangkan sisi kehidupan manusia dengan maksud tanpa ada pembedaan. Tindakan sosial relevan dengan penelitian mengenai Aksesibilitas Difabel dalam Ruang Publik (Studi Deskriptif Kualitatif mengenai Aksesibilitas Difabel dalam Ruang Publik di Kota Surakarta).
Dimana kehidupan difabel
membutuhkan kesetaraan dalam ruang publik yang dalam pembangunannya harus mementingkan aspek aksesibilitas dan fasilitas bagi difabel, hal ini sudah sesuai dengan konsep tindakan sosial.
commit to user 127
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B.3. Implikasi Metodologis Penelitian deskriptif kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata tertulis atau lisan dari orang–orang. Adapun fokus dalam penelitian ini adalah melihat Aksesibilitas Difabel dalam Ruang Publik (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Aksesibilitas Difabel dalam Ruang Publik di Kota Surakarta). Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai instrument dalam pengumpulan data dengan cara berinteraksi dan melakukan wawancara dengan obyek yang diteliti. Key informan dipilih berdasarkan purposive sampling karena dipandang lebih mampu menangkap kelengkapan dan kedalaman data, selain itu mengunakan teknik snowball sampling karena data dan informasi yang diterima dapat lebih maksimal.
Peneliti mengunakan teknik tersebut dianggap cukup
efektif, sehingga peneliti menemukan informan dan key informan yang tepat dan dan sesuai dengan permasalahan penelitian. Key informan dalam penelitian ini adalah tujuh orang difabel yang mengetahui tentang ruang publik, sedangkan informan berasal dari pihak dinas, keluarga, maupun pihak swasta terkait yaitu antara lain Dinas Perhubungan, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pengelolaan Pasar, Kepala TU Masjid Agung Surakarta, Majelis Gereja Kristen Jawa Margoyudan, dan Tenan Relation Officer Solo Grand Mall. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara secara mendalam dan dibantu dengan interview guide yang berupa pertanyaan–pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya sebagai panduan wawancara. Selain itu juga dengan metode observasi, studi kepustakaan dan dokumentasi sebagai pelengkap.
commit to user 128
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber dimana digunakan untuk memberikan suatu keabsahan kepada data.
C. Saran Setelah melakukan penelitian mengenai Aksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik di Kota Surakarta, peneliti dapat memberikan sedikit saran bagi pemerintah,
difabel, masyarakat, maupun bagi peneliti selanjutnya.
Saran
tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk memperbaiki dan memperluas wawasan bagi pihak terkait. Bagi pemerintah kota maupun pihak swasta diharapkan memperbanyak dan memperbaiki kualitas sarana ruang publik yang aksesibel bagi difabel. Selain itu juga mempertahankan dan merawat ruang publik agar kondisinya tidak memprihatinkan serta dapat memberikan rasa nyaman bagi masyarakat khususnya difabel, agar difabel mendapatkan haknya mengenai ruang publik. Bagi difabel hendaknya mau meyakinkan dirinya sendiri meskipun mereka memiliki keterbatasan fisik mereka juga mampu untuk menikmati ruang publik seperti layaknya orang normal.
Selain itu masyarakat hendaknya tidak memandang
sebelah mata mengenai difabel, sehingga jangan sampai merusak fasilitas umum yang disediakan khusus bagi difabel. Selain itu hendaknya keluarga dan masyarakat memberikan kesempatan yang sama bagi difabel misalanya mengenai pekerjaan sama tanpa memandang kecacatan fisik yang dipunyai. Untuk meningkatkan kualitas penelitian lebih lanjut khususnya berkaitan dengan aksesibilitas difabel dalam ruang publik, peneliti lain diharapkan dapat
commit to user 129
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lebih mengontrol ruang yang lebih luas misalnya dengan menambah ruang publik selain dalam penelitian ini. Sehingga hasil yang didapatkan lebih beragam dan memperoleh kesimpulan yang menyeluruh mengenai ruang publik.
commit to user 130
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Setting Pendidikan Inklusi. Bandung: Refika Aditama. Demartoto, Argyo. 2005. Menyibak Sensitivitas Gender Dalam keluarga Difabel. Surakarta: UNS Press. Hariyono. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitektur. Jakarta: Bumi Aksara Jurnal Perempuan Nomor 65. Mencari Ruang Untuk Difabel. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Milles, B. Matthew & A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Nasution, G.R. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Nugroho, Adi. 1995. Bisnis Sukses Orang Cacat: Banyak Usaha Yang Sesuai Kemampuan Fisik Meraih Sukses. Surakarta: CV. Aneka Surakarta. Purwanta, Setia Adi dkk. 2002. Memecah Ketakutan Menjadi Kekuatan: Kisah – Kisah Advokasi Di Indonesia. Yogyakarta: Insists Press. ______. 2004.
Pokok – Pokok Pikiran Dr. Mansour Fakih Refleksi Kawan
Seperjuangan. Yogyakarta: SIGAB & OXFAM Great Britain. Ritzer, George. 2003. Sosiologi Ilmu pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. _____. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutkahir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Rustam Hakim. 2003. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap. Prinsip – prinsip dan Aplikasi. Jakarta: Sinar Grafika Salim, Emil. 1986. Pembangunan Berwawasan. Jakarta: LP3ES. Siagian, Sondang P. 1972. Administrasi Pembangunan. Jakarta: Gunung Agung
commit to user 131
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Syafiie. 1999. Ilmu Administrasi publik. Jakarta: Rineka Cipta.
Skripsi Bondan Dwi S. 2006. Tindakan dan Aksesbilitas Perempuan Difabel Dalam Kaitannya Dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi di Kota Surakarta. Jurusan Sosiologi Fisip UNS. Surakarta. Gita H. Putri. 2007. Hubungan Konsep Diri Remaja Difabel Dengan Penyesuaian Diri Terhadap Lingkungan. Jurusan Psikologi UKSW. Salatiga. Muhammad Imdad. 2008. Peran LSM Dalam Pemberdayaan Difabel Korban Gempa Bumi di Kabupaten Klaten. Jurusan Sosiologi Fisip UNS. Surakarta.
http://docs.google.com/ SULUH_REHABILITASI_2008. http://repository.usu.ac.id/bitstream/diakses 240211. pukul 22.35WIB. http://www.surakarta.go.id/id/news/bst.batik.surakarta.trans.html. diakses 090811. Jam 18.00 WIB http://eka.web.id/taman-sekar-taji-surakarta.html) diakses 090811. Pukul 13.20 WIB. http://www.surakartagrandmall.co.id/sekilassejarah-mall http://www.surakartapos.com/2011/surakarta/tujuh-bangunan-masjid-agungrusak-111092 http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta
commit to user 132