EMPOWERMENT KAUM DIFABEL DALAM ARENA PUBLIK (Studi Kasus Program Rintisan Desa Inklusi SIGAB Yogyakarta)
Oleh : FAJAR, S.H.I. NIM: 1420310051
TESIS Diajukan kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Studi Islam Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam
YOGYAKARTA 2016
i
ii
iii
iv
A
v
vi
ABSTRAK Kaum difabel merupakan kelompok masyarakat yang selama ini berada dalam kondisi marginalisasi baik secara struktural maupun secara kultural.Sehingga mereka senantiasa menjadi objek stigma negatif, terpinggirkan, dan teralienasi dari dunia sosial akibat dari biasnya masyarakat dalam memandang atau memahami fakta disabilitas/difabilitas. Oleh karena itu SIGAB selaku NGO/LSM yang bergerak pada bidang advokasi dan pemberdayaan masyarakat mengupayakan dan mengkonstruksi sebuah ide tentang Desa Inklusi dengan bersandar pada pandangan dunia (world view) atau nilai-nilai HAM, difabilitas, dan inklusi untuk membuka ruang bagi difabel agar mampu tampil dalam arena publik untuk menyuarakan, memperjuangkan, dan mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya secara mandiri serta ambil bagian dalam proses pembangunan pada level desa. Oleh karena itu, penulis hendak mendalami pemberdayaan (empowerment) kaum difabel dalam arena publik, dalam hal ini pemberdayaan oleh SIGAB Yogyakarta terhadap kaum difabel melalui program Rintisan Desa Inklusi (RINDI). Adapun masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) nilai-nilai pijakan yang menjadi basis tindakan SIGAB dalam memberdayakan kaum difabel; (2) konstruksi wacana untuk mewujudkan program RINDI; (3) perubahan yang dicapai dalam program RINDI dari aspek struktur signifikasi, dominasi, dan legitimasi; (4) strategi SIGAB dalam melembagakan desa inklusi. Dalam hal ini penulis menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens sebagai pijakan analisis untuk memahami hubungan agen dan struktur. Penelitiaan ini merupakan jenis riset kualitatif, yakni merupakan suatu pendekatan dalam melakukan riset yang berorientasi pada penomena atau gejala yang bersifat alami. Risetsemacam ini sering disebut dengan Field Studi, atau Studi Observasional. Data-data diperoleh melalui wawacara, observasi, dan penelusuran kepustakaan. Temuan atau hasil penelitian ini adalah: Pertama, objektifikasi tindakan SIGAB dalam upaya memberdayakan kaum difabel mengacu kepada tiga pandangan dunia, yaitu pandangan dunia Hak Asasi Manusia (HAM), difabilitas, dan inklusifitas.Kedua, peran SIGAB mewujudkan RINDI sebagai berikut: pewacanaan melulai temu iklusi, membangun perpestif difabilitas pada level desa, kecamatan dan kabupaten, advokasi/audiensi kepada pemerintah dari level sampai kabauten, dan organisir aktor difabel desa.Ketiga,perubahan itu mencakup, aspek struktur signifikasi, dominasi, dan legitimasi. Dari aspek struktur signifikasi, label atau penyebutan “penyandang cacat” berubah menjadi istilah “difabel” yang berarti keragaman manusia dan keberbedan kemampuan. Dari aspek struktur dominasi, keberadaan difabel sudah mulai diakui dengan pelibatan dan pasrtisipasi difabel dalam proses pengambilan kebijakan dan penganggaran di lingkup pemerintah desa.Aspek legitimasi memberikan peluang bagi kaum difabel andil dalam pembangunan desa.Keempat, pelembagaan desa inklusi dilakukan agar tercipta suatu arus tindakan (praktik sosial) yang berorientasi pada nilai inklusi dan difabilitas.
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/1987 dan 0543b/U/1987, tanggal 22 Januari 1988. A. Konsonan Tunggal Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ھـ ء ي
Nama
Huruf Latin
Keterangan
alif ba’ ta’ sa jim h kha’ dal zal ra’ zai sin syin sad dad ta’ za’ ’ain gain fa’ qaf kaf lam mim nun waw ha’ hamzah ya’
tidak dilambangkan B T Ś J ḥ Kh D Ż R Z S Sy Ş ḑ Ţ ẓ ‘ G F Q K L M N W H ’ Y
tidak dilambangkan Be Te es (dengan titik atas) Je ha (dengan titik bawah) ka dan ha De ze (dengan titik di atas) Er Zet Es es dan ye es (dengan titik di bawah) de (dengan titik di bawah) te (dengan titik di bawah) zet (dengan titik di bawah) koma terbalik di atas Ge Ef Qi Ka ’el ’em ’en W Ha Apostrof Ye
viii
B. Konsonan Rangkap karena Syaddah Ditulis Rangkap Muta‘addidah ‘iddah
ditulis ditulis
ﻣـﺘﻌﺪّدة ﻋﺪّة C. Ta’ marbutah 1.
Bila dimatikan ditulis h Semua ta’ marbutah ditulis dengan h, baik berada pada akhir kata tunggal ataupun berada di tengah penggabungan kata (kata yang diikuti oleh kata sandang “al”). Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap dalam bahasa indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya kecuali dikehendaki kata aslinya. ḥikmah ‘illah karâmah al-auliyâ’
ditulis ditulis ditulis
ﺣﻜﻤﺔ ﻋﻠّـﺔ ﻛﺮاﻣﺔاﻷوﻟﯿﺎء
2. Bila ta’marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah, dan dammah ditulis t زﻛﺒﺔ اﻧﻔﻄﺮ
Ditulis
zakâtul fiṭri
D. Vokal Pendek dan Penerapannya ---- َ◌------ ِ◌------ ُ◌---
Fathah Kasrah Dammah
ditulis ditulis ditulis
a i u
ﻓ َﻌﻞ ُذﻛﺮ ﯾَﺬھﺐ
Fathah Kasrah Dammah
ditulis ditulis ditulis
fa‘ala żukira yażhabu
ix
E. Vokal Panjang 1. fathah + alif ﺟﺎھﻠـﯿّﺔ 2. fathah + ya’ mati ﺗَـﻨﺴﻰ 3. Kasrah + ya’ mati ﻛﺮﯾـﻢ 4. Dhammah + wawu mati ﻓﺮوض
ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis
â jâhiliyyah â tansâ î karîm û furûḑ
ditulis ditulis ditulis ditulis
ai bainakum au qaul
F. Vokal Rangkap 1. fathah + ya’ mati ﺑـﯿﻨﻜﻢ 2. fathah + wawu mati ﻗﻮل
G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof أأﻧـﺘﻢ ditulis a’antum ُ ّ اﻋﺪت ditulis u‘iddat ditulis ﻟﺌﻨﺸﻜﺮﺗـﻢ la’in syakartum H. Kata Sandang Alif + Lam 1. Bila diikuti huruf Qamariyyah maka ditulis dengan menggunakan huruf awal “al” ditulis al-Qur’ân اﻟﻘﺮأن ditulis al-Qiyâs اﻟﻘﯿﺎس
2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis sesuai dengan huruf pertama Syamsiyyah tersebut ditulis as-Samâ’ ﺴﻤﺎء ّ اﻟ ditulis asy-Syams اﻟﺸّﻤﺲ I. Penyusunan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat Ditulis menurut penyusunannya ditulis ditulis
ذو ﺎﻟﻔﺮوض أھﻞ اﻟﺴﻨّﺔ
x
żawî al-furûḑ ahl as-sunnah
KATA PENGANTAR
Puji Syukur alhamdulillah penulis senantiasa panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah karya kecil berupa tesis yang berjudul
“Empowerment
Kaum Difabel dalam Arena Publik: Studi Kasus Program RINDI SIGAB Yogyakarta”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sholawat dan salam penulis sanjungkan kepada nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun umat manusia dari kebodohan menuju ilmu pengetahuan untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Selama
penyusunan,
penulis
mengalami
banyak
hambatan
yang
menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan tesis ini, namun berkat bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak akhirnya kesulitankesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu, segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada: 1. Kedua Orang Tuaku tercinta, Ayahanda Wajadu (almarhum) dan Ibunda Hajerang yang telah melahirkan, mendidik, membesarkan, mengarahkan serta mendoakan ananda dengan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dan tidak pernah berhenti memberikan dukungan kepada penulis, baik bersifat materil maupun non materil selama berjalannya tesis ini demi kesuksesan penulis.
xi
MOTTO
“Sebuah Cinta Sejati Jika Kita Mampu Melampauai Kedirian Menuju Kepada Dia dan Mereka”
“Aku Ada Karena Aku Bebas Memilih”
“Orang Adil Tidak Mensyaratkan Ketuhanan, Sedang Orang Yang Bertuhan Mensyaratkan Keadilan Secara Mutlak, Jika Tidak, Maka Ia Telah Kehilangan Tuhan Pada Dirinya”
xiv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN .....................................................................
ii
BEBAS PLAGIASI .....................................................................................
iii
PENGESAHAN DIREKTUR ....................................................................
iv
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ...............................................................
v
NOTA DINAS PEMBIMBING .................................................................
vi
ABSTRAK ..................................................................................................
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................
viii
KATA PENGANTAR .................................................................................
xi
MOTTO ......................................................................................................
xiv
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xv
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xviii
BAB I: PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G.
Latar Belakang …………………………………………………… Rumusan Masalah ……………………………………………….. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………. Kajian Pustaka …………………………………………………… Kerangka Teori …………………………………………………… Metode Penelitian ………………………………………………... Sistematika Pembahasan ………………………………………….
1 6 6 7 11 19 22
BAB II GAMBARAN UMUM SIGAB, KONTESTASI MAKNA DIFABILITAS, NILAI PIJAKAN PEMBERDAYAAN DIFABEL A. Gambaran Umum Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel ……. 1. Sejarah Singkat ………………………………………………. 2. Visi, Misi dan Nilai-nilai ……………………………………. 3. Aktivitas organisasi ………………………………………….. xv
24 24 28 28
4. Struktur Organisasi ………………………………………….. B. Kontestasi Makna Difabilitas …………………………………… 1. Pendekatan Medical Model …………………………………. 2. Pendekatan Sosial Model ……………………………………. 3. Pendekatan HAM atau Sosial Politik ……………………….. C. Nilai Pijakan Pemberdayaan Difabel ……………………………. 1. Hak Asasi Manusia …………………………………………... 2. Konsepsi Difabilitas ………………………………………….. 3. Konsepsi Inklusifitas ………………………………………….
31 32 32 40 44 49 49 56 65
BABIII: TINJAUAN ASPEK REGULASI DAN KONSTRUKSI WACANA DALAM ARENA PUBLIK A. Tinjauan aspek regulasi …………………………………………... B. Konstruksi Wacanadalam Arena Publik ………………………… 1. Mematangkan Konsep Desa Inklusi …………………………. 2. Aksi Diskursif dalam Arena Publik ………………………….. 3. Membangun Perspektif Difabilitas …………………………… 4. Advokasi di Level Desa, Kecamatan dan Kabupaten ………. 5. Organisir Aktor Difabel Desa …………………………………
69 86 89 98 104 107 112
BAB IV: CAPAIAN PERUBAHAN, PELEMBAGAAN DESA INKLUSI, DINAMIKA DAN PROBLEMATIKA DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM RINTISAN DESA INKLUSI A. Capaian Perubahan dalam Program Rintisan Desa Inklusi dari Aspek Struktur Signifikasi, Dominasi dan Legitimasi …………. B. Pelembagaan Desa Inklusi ………………………………………. 1. Aktor Lokal ………………………………………………….. 2. Organisasi Difabel Sendangtirto (ODS) …………………….. 3. Fasilitator Desa Inklusi ………………………………………. 4. Kader Desa Inklusi …………………………………………… 5. Sistem Informasi Desa ……………………………………….. 6. Peraturan Desa (Perdes) ……………………………………… C. Dinamika dan Problematika dalam Implementasi Rintisan Desa Inklusi …………………………………………………………….
117 140 142 144 147 147 149 151 166
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ………………………………………………………. B. Saran ………………………………………………………………
174 178
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……………………………………………
179 183 188
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Unsur Pimpinan & Anggota SIGAB …………………………
199
Tabel 2. Daftar Pengurus ODS, fasilitator & Kader Desa …………….
130
Tabel 3 Aksesibilitas Bangunan Fisik ………………………………….
134
Tabel 4. Perubahan & Capaian Program Rintisan Desa Inklusi …….
136
Tebel 5. Indikator Desa Inklusi………………………………………….. 164
xvii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Skema teori strukturasi ………………………………………
17
Gambar 3. Aksesibilitas Fasilitas Publik ………………………………..
131
Gambar 3. Akesibilitas Fasilitas Publik …………………………………
133
xviii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berubahnya paradigma pembangunan nasional ke arah demokratisasi dan desentralisasi, menumbuhkan kesadaran yang luas tentang perlunya peran serta masyarakat dalam keseluruhan proses dan program pembangunan. Pemberdayaan dan partisipasi muncul sebagai dua kata yang banyak diungkapkan ketika berbicara tentang pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan dalam paradigma demokrasi, menicayakan pemberdayaan masyarakat secara keseluruhan, dimana kebebasan dan persamaan hak dalam ruang publik menjadi basis untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak politiknya serta andil dalam proses pembangunan. Melalui tatatan demokrasi ini – dengan semangat iklusifitas dan partisipatif yang ada padanya, sangat memungkinkan mewujudkan pemberdayaan dan partisipasi penuh masayarakat dalam ruang publik, untuk mendorong terciptanya masyarakat yang berdaya saing serta mandiri secara sosial, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, tatanan politik demokrasi yang berorientasi pada inklusifitas tersebut – sangat dibutuhkan sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat sipil (civil society). Karena berdayanya civil society memiliki koherensi terhadap tegaknya fungsi HAM. Sedangkan pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), membawa konsekuensi nyata akan adanya pengakuan terhadap kebebasan, persamaan, dan keadilan bagi seluruh warga negara tanpa ada pengecualian sedikit pun. Maka iklim politik demokrasi menjadi sangat relevan
2
berdampingan dengan pemberdayaan masayarakat (termasuk dalam hal ini pemberdayaan kaum difabel dalam ruang publik). Ruang publik yang dimaksud disini adalah ruang yang memiliki fungsi politis, dimana para warga negara berpartisipasi dalam mengawasi jalannya pemerintahan – serta melakukan aksi sosial, diskusi-diskusi, berkumpul dan musyawarah untuk mengartikulasikan dan mempertemukan kepentingan-kepentingan mereka sehingga tercapai suatu kesepekatan bersama yang menjadi representasi dari kepentingan masyarakat secara umum. Maka disini, dibutuhkan suatu konsep empowerment (pemberdayaan) yang pada dasarnya adalah bagian dari upaya untuk membentuk suasana kemanusiaan yang adil dan beradab secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan lain-lain. Maka upaya perberdayaan masyarakat secara umum sangat dibutuhkan untuk meningkatkan harkat dan martabat seluruh lapisan masyarakat yang dalam konteks hari ini, masih ada sebagian besar masyarakat yang belum mampu melepaskan diri dari perangkap keterbelakangan akibat dari sistem sosial dan praktek politik yang masih bernuansa diskriminatif. Konsep
pemberdayaan
(empowerment)
merupakan
upaya
untuk
memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin. Pemberdayaan dapat juga dipahami sebagai upaya distribusi kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis dan
3
kekuasaan pada kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. Menurut Sumodiningrat dan Gunawan (2002) sebagaimana dikutip Agus Purbathin Hadi, Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain: pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan (pada titik ekstrem) seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.1 Namun tidak sedikit – untuk tidak mengatakan masih banyak kebijakan dan implementasi pemberdayaan masyarakat yang dicanangkan oleh pemerintah belum menyentu seluruh lapisan masyarakat secara keseluruhan dan tentunya tidak salah jika dikatakan belum tepat sasaran. Salah satu kelompok masyarakat yang seringkali terabaikan hak-haknya oleh pemerintah adalah kaum difabel2,
1
Agus Purbathin Hadi, “Konsep Pemberdayaan, Partisipasi dan Kelembagaan dalam Pembangunan”, Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA), hlm. 2. 2 Istilah “difabel” merupakan istilah resmi untuk menggantikan kata “cacat” sejak 1998. Rujukan akronim difabel merupakan kepanjangan dari frasa different ability people (masyarakat
4
yang mana sampai saat ini kaum difabel masih menjadi masyarakat kelas dua, yang selalu menjadi korban diskriminasi secara sosial mapaun secara struktural. Alienasi serta subordinasi kaum difabel secara sosial seringkali kita temui dalam kehidupan sehari-hari, ditambah kebijakan pemerintah yang juga seringkali tidak tepat sasaran serta bias normalitas-difabilitas. Dalam artian bahwa kabijakan pemerintah belum menyentu secara universal aspek-aspek difabilitas yang notabene menjadi harapan dan cita-cita kaum difabel. Aspek difabilitas yang dimaksud di atas adalah terwujudnya aksesibilitas atas seluruh aspek dan sendi kehidupan, termasuk dalam hal ini, akses ekonomi, akses sosial-politik, akses pendidikan, maupun akses ruang umum (sarana dan prasarana publik) untuk mempermudah ruang gerak atau mobilitas kaum difabel dalam menjalani aktivitas dan kehidupan sosialnya. Maka kehidupan yang aksesibel bukan hanya milik kelompok normalitas (non-difabel), namun aksesibilitas
segala
sendi
atau
aspek
kehidupan
itu
juga
seharusnya
mengakomodir kelompok difabel yang notabene juga sebagai warga negara yang sah, yang sudah selayaknya diperlakukan setara dengan non-difabel. Disini pemerintah dituntut untuk menempatkan seluruh rakyatnya secara equality (setara), tanpa terkecuali kaum difabel. Di beberapa tempat, pemberdayaan kaum difabel dala ruang publik sudah mulai digalakkan, hal tersebut merupakan buah dari hasil perjuangan yang terus-
berdaya beda). Difabel ialah orang yang menjalankan kegiatan hidup dengan kondisi fisik dan atau mental yang berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Kondisi seperti ini bisa datang dari bawaan sejak lahir atau muncul saat dewasa sebagai akibat dari suatu penyakit, malnutrisi, kecelakaan atau sebab lain yang mengakibatkan salah satu fungsi fisik dan mentalnya tidak berfungsi semestinya. Lihat Benni Indo, “Urgensi Kesadaran Kolektif Tentang Hak Difabel” (Artikel) http://solider.or.id, diakses: 12 Oktober 2015.
5
menerus dilakukan oleh kaum difabel melalui organisasi-organisasi yang secara sektoral bergerak pada pemberdayaan kaum difabel (difabel society). Dimana dalam hal ini, kaum difabel mengorganisir diri mereka kedalam berbagai varian organisasi semisal Ormas, LSM-NGO, dan beberapa Yayasan Kedifabelan yang secara sektoral bergerak pada pemberdayaan kaum difabel. Bukti konkret pemberdayaan tersebut dapat kita lihat dengan berdiriya Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, rintisan Desa Inklusi yang dipelopori oleh organisasi Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) di Kabupaten Sleman dan Kulon Progo, serta pelibatan kaum difabel dalam Musrembang baik pada tingkat Desa maupun pada tingkat Kecamatan. Hal tersebut dapat kita pahami sebagai bagian dari upaya untuk menekankan eksistensi politis kaum difabel dalam ruang publik – termasuk dalam hal ini akses ke otoritas pemegang kebijakan guna untuk mempengaruhi kebijakan publik. Oleh karena itu, penelitian tentang pemberdayaan kaum difabel dalam arena publik menjadi sengat relevan dan menarik, mengingat eksistensi kaum difabel yang semakin hari semankin kuat, baik secara organisasional maupun secara sosial-politik. Dimana dulunya kaum difabel termarjinalkan secara sosial, ekonomi dan politik – kini mereka memiliki modal sosial dan modal politik dengan sokongan organisasi yang rapi dan terorginisir, yang mana organisasiorganisasi tersebut menjadi wadah penyaluran aspirasi, agregasi, dan artikulasi kepentingan-kepentingan politik kaum difabel. Jadi, penelitian ini akan difokuskan pada proses pemberdayaan kaum difabel dalam arena publik melalui Desa Inklusi yang dirintis oleh organisasi
6
SIGAB di Kabupaten Sleman tepatnya di dua Desa, yaitu Desa Sendangadi dan Desa Sendangtirto, dalam hal ini akan ditinjau bentuk-bentuk pemberdayaan, serta strategi pemberdayaannya. Wacana dan praksis Desa Inklusi, dalam pada ini dipahami sebagai wacana yang berorientasi politis, maka Desa Inklusi ini diasumsikan akan melahirkan pakta kuasa menuju kesetaraan politik, sehingga pemberdayaan tersebut membuka ruang bagi kaum difabel untuk andil dalam kontestasi politik pada arena publik. Demikian fokus permasalahan yang akan menjadi objek kajian penulis. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas dapat ditarik beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi fokus kajian penulis yaitu sebagai berikut: 1. Apa nilai pijakan yang menjadi basis tindakan SIGAB dalam memberdayakan kaum difabel dalam arena publik? 2. Bagaimana SIGAB mengkonstruksi wacana di dalam arena publik untuk mewujudkan program RINDI? 3. Apa perubahan yang dicapai dalam program RINDI dari aspek struktur signifikasi, dominasi dan legitimasi? 4. Bagaimana strategi SIGAB melembagakan desa inklusi untuk menjaga sustainabilitas program RINDI? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui proses pemberdayaan kaum difabel dalam arena publik.
7
b. Untuk memberikan penjelasan secara mendalam tentang tentang bentukbentuk dan strategi pemberdayaan kaum difabel baik secara sosial maupun secara politik. c. Untuk menjelaskan motiv dan cita-cita politik dibalik pemberdayaan politik kaum difabel. 2. Manfaat Penelitian a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi akademik dalam pengembangan kajian tentang pemberdayaan kaum difabel di Indonesia secara umum dan Yogyakarta secara khusus. b. Sebagai tambahan khasana keilmuan mengenai kajian tentang kaum difabel yang sudah ada sebelumnya. c. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi peneliti berikutnya yang mengangkat tema yang sama. D. Kajian Pustaka Berdasarkan penelusuran penulis, kajian tentang tema atau wacana difabilitas sudah banyak dilakukan, namun disini penulis akan mengambil beberapa tulisan atau penelitian yang secara teoretis relevan dengan kajian penulis. Berikut beberapa penelitian-penelitian tersebut: Salah satunya adalah penelitian Abdullah Fikri, dalam tesisnya, “Eksperimentasi Membangun Demokrasi Inklusif: Studi Kasus terhadap Akseptabilitas Gusdur dalam Ruang Politik Indonesia”. Kajian ini fokus pada dua permasalahan: Pertama, Akseptabilitas Gusdur sebagai difabel dalam ruang
8
politik Indonesia; Kedua, Konstruksi demokrasi inklusif bagi kaum difabel berbasis nilai islam dalam konteks Indonesia.3 Abdullah Fikri berkesimpulan bahwa akseptabilitas Gusdur dalam politik Indonesia merupakan hasil dari konsolidasi ashobiyah elit politik. Meskipun Gusdur mengalami difabilitas, namun, hal itu tidak menghambat akseptabilitasnya dalam ruang politik Indonesia. Dengan mengabaikan difabilitas yang dialami Gusdur, dan lebih mendasarkan pada kemampuan personalnya untuk memimpin bangsa
Indonesia,
maka
bangsa
Indonesia
telah
memulai
(melakukan
eksperimentasi) untuk mewujudkan demokrasi inklusif, khususnya dalam ranah politik. Sedangkan konstruksi demokrasi inklusif berbasis nilai islam konteks keIndonesia-an didasarkan atas lima pilar, yaitu: (1) humanisasi, (2) liberasi, (3) transendensi (misi sosial profetik), (4) inclusive society (hasil dari penerapan misi sosial profetik), (5) asintant system (bentuk aplikatif dari penerapan demokrasi inklusif, yang dapat diformulasikan ke dalam tata aturan perundang-undangan). Menurut fikri, kelima pilar tersebut relevan dengan kondis bangsa Indonesia, yang memiliki dasar Pancasila dalam bernegara dan memiliki penduduk mayoritas muslim.4 Selanjutnya
penelitian
Sakinah
Nadir,
“Otonomi
Daerah
Dan
Desentralisasi Desa: Menuju Pemberdayaan Masyarakat Desa”, dalam Jurnal Politik Profetik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013. Penelitian ini fokus pada dua hal: pertama, Pelaksanaan Otonomi Desa secara umum serta beberapa hal terkait
3
Abdullah Fikri, “Eksperimentasi Membangun Demokrasi Inklusif: Studi Kasus terhadap Akseptabilitas Gusdur dalam Ruang Politik Indonesia”, (Tesis Magister, Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015), hlm. vii. 4 Ibid.
9
kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang dapat mendorong sekaligus memfasilitasi upaya pemberdayaan masyarakat desa menuju masyarakat Desa yang lebih demokratis; kedua, respon masyarakat Desa terhadap berbagai upaya berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat Desa melalui berbagai Peraturan Daerah. Hasil penelitian ini menunjukkan, Kewenangan besar yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah, dapat memberikan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai local. Pemerintah Daerah menganggap bahwa Otonomi Desa merupakan bagian Integral dari pelaksanaan Otonomi Daerah. Akibatnya masyarakat Desa kemudian tetap tersubordinasi dengan kekuatan besar yang berada di luarnya yakni pada Pemerintah Daerah, tanpa posisi tawar yang memadai. Dalam kondisi yang demikian, amat sulit bagi kita untuk membayangkan akan hadirnya pemberdayaan bagi masyarakat Desa melalui Otonomi Desa.5 Menurut Sakinah Nadir, Seharusnya Otonomi Desa memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah Desa bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk mengambil inisiatif dalam merencanakan dan melaksanakan Pembangunan diwilayahnya sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakatnya. Dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas pelayanan kepada masyarakatnya, melalui berbagai peraturan desa.6 Kehadiran lembaga BPD menunjukan sebuah skema menyangkut pemisahan antara lembaga 5 Sakinah Nadir, “Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Desa: Menuju Pemberdayaan Masyarakat Desa”, Jurnal Politik Profetik Volume 1 No. 1, Tahun 2013, hlm. 97. 6 Ibid., hlm. 94.
10
legislatif desa yang diwakili oleh BPD dengan pihak eksekutif yakni kepala Desa serta para perangkatnya. Artinya dengan skema ini, posisi Pemerintahan di Desa akan mengarah kepada kondisi Check and balance diantara kedua lembaga penting desa tersebut.7 Terakhir, penelitian Otho H. Hadi, “Peran Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi”, dalam Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 14, No. 2, Desember 2010. Penelitian ditujukan untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh organisasi masyarakat sipil dalam mengimplementasikan perannya terkait dengan aspek enabling environment (faktor eksternal) dan kapasitas organisasi serta pengembangan karakter (faktor internal), memperoleh gambaran mengenai profil perkembangan masyarakat sipil dalam konteks kontribusi peran sebagai aktor penting pemajuan demokrasi, dan menyusun rekomendasi kebijakan terkait dengan kontribusi dan peningkatan peran masyarakat sipil dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.8 Hasil studi ini menunjukkan bahwa: (1) hubungan Negara – masyarakat sipil di Indonesia sangat dipengaruhi oleh konteks lokal (budaya masyarakat dan budaya politik), karakter organisasi masyarakat sipil (SDM dan manajemen, finansial, model gerakan, jaringan), dan dinamika ekonomi politik lokal dan nasional; (2) organisasi masyarakat sipil memiliki potensi penting bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia; (3) peran masyarakat dalam mendorong
7
Ibid., hlm. 97. Otho H. Hadi, “Peran Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi”, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia, Vol. 14, No. 2, Desember 2010, hlm. 177. 8
11
perkembangan LSM/organisasi masyarakat sipil di Indonesia cukup signifikan.9 Pada seluruh daerah penelitian ditemukan adanya respon yang positif dari masyarakat, dimana tidak ditemukan adanya kasus-kasus benturan antara aktivitas yang dilakukan oleh LSM dan organisasi masyarakat sipil dengan komunitas tertentu di daerah.10 Berdasarakan kajian kepustakaaan di atas, penulis melihat bahwa kajian tentang pemberdayaan kaum difabel dalam arena publik – dalam hal ini pemberdayaan melalui wacana dan praksis Desa Inklusi yang dirintis oleh SIGAB belum pernah dilakukan. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis akan memfokuskan kajian pada aspek pemberdayaan dalam arena publik, yang akan berbicara masalah proses dan bentuk-bentuk pemberdayaan dalam praksis Desa Inklusi, yang mana pemberdayaan tersebut diasumsikan berorientasi politis menuju pelibatan kaum difabel dalam arena publik. E. Kerangka Teori Berbicara tentang desa inklusi, tentunya kita akan tertuju pada dua dimensi, yaitu dimensi teoritis (pandangan dunia) dan dimensi praktis (objektifikasi konsepsi/ide inklusi ke dalam praktik sosial). Jadi, desa inklusi tersebut bisa dilihat sebagai sebuah wacana, juga bisa disebut sebagai praksis. Sebagai sebuah wacana ia adalah konsep yang dibaliknya terdapat pandangan dunia (ideologi) dan kerangka epitemologi tertentu yang menjadi suatu tujuan ideal kelompok difabel. Sedangkan sebagai praksis, desa inklusi dapat dilihat sebagai praktik sosial politik yang berorientasi pada budaya sosial politik yang 9
Ibid. Ibid., hlm. 128.
10
12
menghargai keragaman kemapuan yang disebut dengan nilai difabilitas, ia juga berorientasi pada kesetaraan setiap warga negara dalam hal akses ruang publik, itulah yang disebut dengan nilai inklusi. Ruang publik dikontruksi untuk memberikan andil kepada kelompok difabel
agar
mampu
berpartisipasi
dan
mengartikulasikan
kepentingan-
kepentingannya. Oleh karena ia berorientasi pada suatu nilai dan ideologi tertentu, maka penelitian ini akan diarahkan pada sejauh mana aktor atau agen sosial memproduksi dan mereproduksi suatu tindakan tertentu sehingga menghasilkan sebuah praktik sosial yang berbeda dari kebiasaan umum masyarakat. Singkatnya penelitian ini akan melakukan telaah mendasar relasi agen dan struktur dalam menciptakan suatu tatanan baru diluar dari bangunan struktur yang lama. Jadi, akan difokuskan pada perubahan perspektif yang kemudian berdampak pada perubahan perilaku masyarakat dan pemerintah, sehingga berdampak pada perwujudan atau implementasi Program RINDI. Tentunya berbicara tentang agen dan struktur atau hubungan agen dan struktur dalam gugus perilaku sosial – kiranya kita akan tertuju pada konsep atau teori strukturasi Anthony Giddens. Strukturasi merupakan konsep sosiologi utama Giddens sebagai kritik terhadap teori fungsionalisme dan evolusionalisme dalam teori strukturalisme. Inti teori strukturasi terletak pada tiga konsep utama yaitu tentang “struktur”, “sistem”, dan “dualitas struktur”. Menurut teori strukturasi, domain dasar kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah pengalaman aktor individu, maupun keberadaan bentuk apapun totalitas
13
kemasyarakatan, namun merupakan praktek-praktek sosial yang ditata menurut ruang dan waktu. Aktivitas-aktivitas sosial manusia, seperti halnya hakikat butirbutir reproduksi diri, bersifat rekursif. Tujuan aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dilaksanakan oleh aktor-aktor sosial melainkan secara terus menerus mereka ciptakan melalui alat-alat yang mereka gunakan mengekspresikan dirinya sendiri sebagai
aktor-aktor.
Pada
dan
melalui
aktivitas-aktivitasnya,
agen-agen
mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan dilakukannya aktivitasaktivitas.11 Dalam hal ini SIGAB, selaku aktor mereproduksi suatu tindakan untuk menciptakan sebuah tatanan sosial yang disebutnya sebagai masyarakat inklusi. Untuk menciptakan tatanan masyarakat inklusi, SIGAB meng-konstruksi suatu ide atau gagasan lalu diobjektifikasi ke dalam praksis sosial, yaitu melalui program Rintisan Desa Inklusi (disingkat RINDI). Program tersebut dikonstruksi untuk mereproduksi bangunan struktur lama sehingga memunculkan praktik sosial inklusif, suatu praktik sosial yang menekankan partisipasi serta pembauran antara difabel dan non-difabel dalam ruang publik yang berlandaskan pada konsepsi difabilitas dan inklusifitas. Yaitu sebuah tatanan dimana setiap masyarakat diperlakukan sama dan setara dengan masyarakat lainnya tanpa ada diskriminasi dan alienasi masyarakat tertentu di dalamnya, utamanya kelompok menoritas seperti masyarakat difabel. Menurut Giddens, menjadi manusia berarti menjadi agen pelaku bertujuan, yang keduanya memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu, jika
11
Anthony Giddens, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, terj. Adi Loka Sujono, Cet. 4 (Yogyakarta: Pedati, 2011), hlm. 3.
14
diminta, menguraikannya secara berulang alasan-alasan itu.12 Lanjut Giddens, agensi berurusan dengan peristiwa-peristiwa yang pelakunya seseorang, maksudnya individu itu dalam sembarang fase dalam suatu rangkaian perilaku tertentu, seseungguhnya bisa bertindak secara berbeda. Apapun yang terjadi tidak akan pasti jika individu itu tidak campur tangan. Tindakan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, suatu aliran, di mana monitoring refleksif yang dipertahankan individu itu merupakan dasar bagi pengendalian tubuh yang biasanya diteruskan oleh aktor-aktor itu dalam kehidupan kesehariannya.13 Menurut Giddens seperti dikutip George Ritzer, inti teori struktursi terletak pada ide mengenai struktur, sistem, dan dualitas struktur itu. Struktur didefinisikan sebagai “sifat-sifat penyusun aturan-aturan dan sumber daya – sifatsifat yang memungkinkan adanya praktik-praktik sosial serupa yang dapat dilihat membentang dalam lintas ruang dan waktu dan memberi bentuk sistemik pada mereka. Struktur-struktur itu sendiri tidak ada di dalam ruang dan waktu. Lebih tepatnya, fenomena sosial mempunyai kapasitas untuk menjadi terstruktur. Giddens berpendapat bahwa struktur hanya ada di dalam dan melalui kegiatankegiatan agen manusia. Dalam hal ini, Giddens tidak menolak fakta bahwa struktur dapat membatasi tindakan, tetapi dia merasa bahwa para sosiolog telah melebih-lebihkan pentingnya pembatas itu. Selanjutnya, mereka telah gagal menenkankan
fakta
bahwa
struktur
“selalu
bersifat
membatasi
dan
memungkinkan”.14
12
Ibid. Ibid., hlm. 11. 14 George Ritzer, Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan terakhir Postmodern, terj. Saut Pasaribu dkk, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 892. 13
15
Salah satu proposisi utama teori strukturasi adalah bahwa aturan dan sember daya yang digunakan dalam produksi dan reproduksi tindakan sosial sekaligus merupakan alat reproduksi sistem (dualitas sruktur).15 Struktur, sebagai perangkat aturan dan sumber daya yang diorganisasikan secara rekursif, berada diluar ruang dan waktu, disimpan dalam koordinasi dan kesegeraannya sebagai jejak-jejak memori dan ditandai oleh ketiadaan subyek. Sebaliknya, sistem sosial tempat disiratkannya secara rekursif struktur terdiri dari aktivitas-aktivitas agen manusia dalam situasi tertentu, yang direproduksi dalam ruang dan wakktu.16 Stuktur
Sistem
Strukturasi
Aturan dan sumber daya atau seperangkat hubungan transformasi yang diorganisasikan sebagai sifat-sifat sistem sosial
Hubungan yang direproduksi antara aktor atau kolektivitas yang diorganisasikan sebagai praktek sosial reguler
Kondisi yang menentukan kesinambungan atau transmutasi struktur dan dengan demikian reproduksi sistem sosial itu sendiri
Sumber: Anthony Giddens dalam buku The Constitution of Society17
Menganalisis strukturasi sistem sosial berarti mengkaji mode-mode tempat diproduksi dan direproduksinya sistem-sistem seperti itu dalam interaksi, yang didasarkan pada aktivitas-aktivitas utama aktor-aktor di tempat tertentu yang menggunakan aturan-aturan dan sember daya-sumber daya dalam konteks tindakan yang beraneka ragam.18 Tentu yang paling penting dalam gagasan strukturasi Giddens adalah teorema dualitas struktur. Menurut Giddens, pembentukan agen dan strukturstruktur bukanlah dua gugus fenomena yang saling terpisah, yakni dualisme, 15
Anthony Giddens, The Constitution…, hlm. 23-24. Ibid., hlm. 31. 17 Ibid. 18 Ibid. 16
16
melainkan menggambarkan suatu hubungan dualitas. Dengan kata lain, konsep dualitas struktur menekankan pada sifat-sifat struktural sistem sosial keduanya merupakan media dan hasil tindakan-tindakan aktor yang diorganisasikan secara rekursif. Struktur tidaklah disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan sekaligus membebaskan (enabling).19 Agen,menurut Giddens “memiliki kemampuan menciptakan perbedaan sosial di dunia sosial. Lebih kuat lagi, agen tidak mungkin ada tanpa kekuasaan; jadi, aktor tidak lagi menjadi agen jika ia kehilangan kapasitas untuk menciptakan perbedaan. Giddens jelas mengakui adanya sejumlah hambatan terhadap aktor, namun tidak berarti bahwa aktor tidak memiliki pilihan dan tidak menciptakan perbedaan. Bagi Giddens, secara logis kekuasaan mendahului subjektivitas karena tindakan melibatkan kekuasaan, atau kemampuan mengubah situasi.20 Kekuasaan menurut Giddens adalah: “Mampu ‘bertindak lain’ berarti mengintervensi dunia, atau menjaga diri dari intervensi semacam itu, dengan dampak mempengaruhi suatu proses atau keadaan khusus dari urusan-urusan. Hubungan ini mengandaikan bahwa menjadi seorang agen harus mampu menggunakan (secara terus menerus di dalam kehidupan seharihari) sederet kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain. Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk ‘mepengaruhi’ keadaan urusan atau rangkaian peristiwa yang telah ada sebelumnya. Seorang agen tidak lagi mampu berperan demikian jika dia kehilangan kemampuan untuk ‘memengaruhi’, yaitu menggunakan suatu jenis kekuasaan. Banyak kasus menarik bagi analisis sosial bepusat di sekitar batasan-batasan dari apa yang dipandang sebagai tindakan, saat ketika kekuasaan seseorang dibatasi oleh sederet keadaan tertentu. Akan tetapi, yang pertama penting untuk diketahui adalah bahwa keadaankeadaan dari pembatas sosial yang membuat para individu ‘tidak memiliki pilihan’ tidak boleh disamakan dengan terputusnya tindakan seperti itu. 19
Ibid., hlm. 32. Haedar Nashir, “Memahami Strukturasi Dalam Perspektif”, Jurnal SOSIOLOGI REFLEKTIF, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dan Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012, hlm. 6. 20
17
‘Tidak memiliki pilihan’ bukan berarti bahwa tindakan telah tergantikan oleh reaksi (seperti kedipan seseorang ketika ada gerakan cepat di dekat matanya). Mungkin kondisi ini tampak begitu jelas sehingga tidak diperlukan lagi. Tetapi, sejumlah mazhab sosial terkemuka, terutama yang bersinggungan dengan objektivisme dan ‘sosiologi struktural’ belum mengakui pembedaan itu. Mazhab-mazhab sosial itu menganggap bahwa pembatas-pembatas sosial bekerja mirip seperti kekuatan-kekuatan alam, seolah-olah ‘tidak memiliki pilihan’ sama ketika tidak kuasa menahan dorongan dari tekanan-tekanan mekanis”.21 Giddens membagi tiga gugus kesadaran: 1. Kesadaran diskursif mengandung arti bentuk-bentuk ingatan yang mampu diekspresikan secara verbal oleh aktor bersangkuta; 2. Kesadaran praktis melibatkan ingatan yang aksesnya dimiliki agen dalam arus (duree) tanpa mampu mengekspresikan apa yang dia ketahui; 3. Ketaksadaran (the unconscious) mengacu pada mode-mode ingatan yang akses langsungnya tidak dimiliki agen karena ada semacam halangan negatif yang menghambat penyatuan tanpa mediasi dalam memonitor secara refleksif tindakan dan terutama dalam kesadaran diskursif. Gambar. 1 Signifikasi
Dominasi
Legitimasi
Modalitas
Skema
Fasilitas
Norma
Interaksi
Komunikasi
Kekuasaan
Sanksi
Struktur
Sumber: Anthony Giddens22
21 22
Ibid., hlm. 7. Lihat Anthony Giddens, The Constitution…, hlm. 18. Ibid., hlm. 36.
18
Dimensi-dimensi dualitas struktur digambarkan pada pada gambar 1. Aktor manusia tidak hanya mampu memonitor aktivitas-aktivitasnya sendiri dan orang lain dalam regularitas perilaku sehari-hari, namun juga mampu memonitor kerja monitoringnya sendiri dalam kesadaran diskursif. Skema interpretatif adalah cara penetapan jenis yang dimasukkan dalam gudang pengetahuan aktor, yang secara refleksif diterapkan dalam melakukan komunikasi. Gudang pengetahuan yang digunakan aktor-aktor dalam memproduksi dan mereproduksi interaksi sama dengan pengetahuan yang mereka gunakan dalam membuat cerita, memberikan alasan, dan sebagainya.23 Giddens dalam Herry Priyono sebagaimana dikutip Haidar Nashir, melihat tiga gugus struktur: Pertama, struktur penandaan atau signifikasi (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Contoh menyebut guru kepada pengajar atau menyalakan lampu kendaraan tanda belok kiri merupakan praktik sosial pada gugus struktur signifiasi. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (economy). Contoh menyimpan uang di bank merupakan bentuk struktur dominasi ekonomi dalam bentuk kontrol atas uang atau barang. Contoh lain pemungutan suara dalam pemilihan umum merupakan bentuk struktur dominasi politik yakni penguasaan atas orang.24 Ketiga, struktur pembenaran (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum. Contoh dari praktik sosial dalam bentuk struktur legitimasi ialah razia polisi lalu-lintas terhadap pengendara 23 24
Ibid., hlm. 36-37. Haedar Nashir, “Memahami Strukturasi…”, hlm. 4.
19
sepeda motor atau mobil yang tidak membawa SIM (Surat Izin Mengemudi). Ketiga gugus struktur tersebut saling berkaitan satu sama lain. Contohnya skemata signifikasi orang yang mengajar disebut guru pada gilirannya menyangkut skemata dominasi otoritas guru atas murid dan juga skemata legitimasi hak guru atas pengadaan ujian untuk menilai proses belajar murid. Hal serupa terjadi dalam struktur dominasi dan legitimasi.25 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitiaan ini merupakan jenis riset kualitatif, yakni merupakan suatu pendekatan dalam melakukan riset yang berorientasi pada penomena atau gejala yang bersifat alami. Pelaksanaan riset ini bersifat mendasar atau membumi dan bersifat naturalistik atau alami. Dengan istilah lain, riset semacam ini sering disebut dengan Naturalistic Inquiry, Field Studi, atau Studi Observasional. Oleh karena tidak dapat dilakukan di laboratorium, melainkan di lapangan, maka dilihat dari sifatnya dapat dikategorikan ke dalam riset deskriptif.26 Metode kualitatif merupakan proses penelitian yang ingin menghasilkan data bersifat deskriptif, yaitu berupa hasil ucapan, tulisan, dan perilaku individu atau kelompok yang dapat diamati berdasarkan subyek itu sendiri. Dalam upaya memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau kelompok maka wawancara terbuka dan obeservasi menjadi penting untuk dilakukan.
25
Ibid. Muhammad Ali, Memahami Riset Perilaku dan Sosial (Bandung: CV Pustaka Cendekia Utama, 2011), hlm. 239. 26
20
Dengan begitu, pendekatan deskriptif ini lebih menekankan kepada latar belakang perilaku individu atau kelompok yang diteliti secara keseluruhan.27 2. Objek Studi Penelitian ini menjadikan pemberdayaan kaum difabel dalam program desa inklusi yang dirintis oleh SIGAB sebagai objek kajian, sebab organisasi ini merupakan salah satu lembaga organisasi gerakan sosial kaum difabel di Indonesia, dan dianggap cukup solid, progresif, dan mempunyai jaringan yang luas. Selain itu, organisasi ini mempunyai ragam arena perjuangan dari struktur lembaga atas hingga struktur masyarakat bawah (grassroot). Seruan gerakannya adalah emansipasi dan keadilan agar tercipta masyarakat inklusi, egaliter, dan humanis yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, yang tentunya berkeadilan terhadap kaum difabel. Adapun pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Sleman karena pusat kepengurusan SIGAB berada di kabupaten tersebut, termasuk pemberdayaan kaum difabel melalui desa inklusi pertama kali digagas dan dirintis oleh SIGAB di dua Desa yang berada dalam wilayah Kabupaten Sleman. Selain itu SIGAB berkedudukan di Kabupaten Sleman, oleh karena itu cukup relevan dan objektif jika penelitian dilakukan di pusat gerakan organisasi itu sendiri. 3. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas sumber primer dan sekunder, atau disebut juga dengan data lunak dalam istilah
27
Saifuddin Azhar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm.6
21
Muhammad Ali28. Sumber primer berasal dari wawancara mendalam yang penulis lakukan dengan unsur pimpinan dan aktivis-aktivis SIGAB di Yogyakarta sebagai informan kunci dalam penelitian. Selain itu penulis juga melakukan wawancara dengan
perangkat
Desa
Sendangtirto
dan
Camat
Berbah, tokoh-tokoh
masyararakat dan pemuda setempat, termasuk dengan anggota Organisasi Difabel Sendangtirto, fasilitator desa dan kader desa inklusi. Sementara sumber data sekundernya berasal dari: (a) literatur-literatur, dokumen-dokumen, liputan pers baik yang diterbitkan SIGAB maupun oleh penerbit-penerbit yang lain, baik yang sudah tercetak maupun yang masih dalam bentuk elektronik yang tersimpan dalam situs-situs website. (b) buku-buku, laporan-laporan penelitian, artikel baik yang sudah diterbitkan maupun yang belum diterbitkan yang mengkaji tentang perberdayaan kaum difabel melalui desa inklusi. Termasuk dalam data sekunder ini adalah majalah, koran, buletin yang merekam informasi seputar gerakan SIGAB di Indonesia. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data terdiri dari dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari wawancara mendalam (depth interview) dan obsevasi langsung (partisipant observastion). Wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh informasi lebin rinci dari tangan pertama mengenai ide-ide, konsep-konsep, arena-arena perjuangan dan proses memperjuangkan arena-arena tersebut secara empiris, implikasinya terhadap komunitas-komunitas difabel lainnya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kepentingan penelitian.
28
Lihat, Muhammad Ali, Memahami Riset Perilaku…, hlm. 248.
22
5. Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode yang menurut Miles dan Huberman seperti dikutip Muhammad Ali, yakni proses analisis data dengan menempuh tiga langkah utama, yaitu reduksi data, display atau sajian data, dan verifikasi dan/atau penyimpulan data. Reduksi data adalah proses memilih, menyederhanakan, memfokuskan, mengabstraksi dan menguba data kasar ke dalam catatan lapangan. Sajian data merupakan suatu cara merangkai data suatu organisasi yang memudahkan untuk pembuatan kesimpulan dan/atau tindakan yang diusulkan. Adapun verifikasi data adalah penjelasan tentang makna data dalam suatu konfigurasi yang secara jelas menunjukkan alul kausalnya, sehingga dapat diajukan proposisi-proposisi yang terkait dengannya.29 G. Sistematika Pembahasan Penulisan hasil penelitian ini nantinya akan dibagi menjadi lima bab. Bab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan, kerangka teori, dan metode penelitian serta sistematika pembahasan. Pada bab pertama ini, akan dijelaskan mengenai teori yang dijadikan sebagai landasan dalam penelitian ini. Dalam hal ini penulis menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens. Pada bab kedua akan dijelaskan gambaran umum dan profil SIGAB, kontestasi makna difabilitas dari medical model ke social model serta pendekatan HAM, juga dijelaskan nilai-nilai pijakan yang menjadi dasar perjuangan SIGAB dalam mendorong pemberdayaan dan partisipasi kaum difabel dalam arena publik.
29
Ibid., hlm. 248-249.
23
Pada bab ketiga akan dijelaskan Struktur Legitimasi: tinjauan aspek regulasi, konstruksi wacana dalam arena publik untuk mewujudkan pemberdayaan difabel dalam melalui program rintisan desa inklusi di Kabupaten Sleman Kecamatan Berbah Desa Sendangtirto. Sedangkan pada bab empat akan dipaparkan secara mendalam dan sistematis, capaian perubahan dalam implementasi program rintisan desa inklusi dari aspek struktur signifikasi, dominasi, dan legitimasi, juga dijelaskan proses pelembagaan desa inklusi, serta dinamika dan problematika implementasi program rintisan desa inklusi. Bab lima akan dijelaskan kesimpulan dan saran. Kesimpulan ini merupakan jawaban peneliti dari rumusan masalah yang telah diajukan.
174
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan yang telah penulis uraikan di atas, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Arus tindakan SIGAB dalam upaya memberdayakan kaum difabel dalam arena publik mengacu kepada tiga pandangan dunia, yaitu pandangan dunia Hak Asasi Manusia (HAM), difabilitas, dan inklusifitas. Ketiga pandangan dunia tersebut secara signifikasi mempengaruhi kesadaran diskursif
dan terinternalisasi
secara
kelembagaan
dalam
internal
Organisasi SIGAB, sehingga objektifikasi tindakan SIGAB senantiasa mengacu kepada tiga pandangan dunia tersebut. HAM menghendaki penghormatan atas martabat dan harkat kemanusiaan, difabilitas menghendaki apresiasi atas keragaman (keberbedaan) kamampuan – yakni tidak melihat kecacatan/kekurangan individu semata melainkan lebih melihat kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang baik ia difabel maupun
non-difabel. Sedangkan inklusi menghendaki adanya ruang
(arena publik) dimana keragaman kemampuan itu bisa diaktualkan dan diapresiasi keberadaannya tanpa ada diskriminasi dan peminggiran kelompok tertentu, khususnya kaum difabel. Maka objektifikasi desa inklusi ke dalam praktik sosial dapat dikatakan sebagai sintesis dari pandangan dunia HAM, difabilitas, dan inklusi.
175
2. Peran SIGAB dalam mewujudkan program RINDI mengacu kepada beberapa peluang dimana secara struktural memungkinkan aktor bebas memilih tindakannya. Dari aspek dualitas struktur, struktur dipahami sebagai aturan dan sumberdaya dimana ia eksis sebagai medium tindakan dalam gugus kesadaran praktis para agen atau aktor, sehingga memungkinkan bagi aktor memproduksi dan mereproduksi tindakan yang berbeda. Dalam hal ini SIGAB melakukan beberapa aksi pewacanaan sehingga berdampak pada perubahan pola pikir masyarakat dalam memandang kaum difabel. SIGAB selaku agen melakukan aksi pewacanaan dengan memafaatkan aturan dan sumberdaya dalam struktur sebagai medium tindakan untuk mereproduksi struktur sosial yang mengekang dan mendiskriminasi kaum difabel, dengan mengarahkan kesadaran diskursif masyarakat ke dalam perspektif/wacana tentang difabilitas dan iklusifitas sehingga tercipta sistem sosial yang inklusif, yakni sistem sosial yang mengakomodir fakta difabilitas sebagai bagian dari keragaman yang harus diapresiasi. Dengan aksi pewacanaan tersebut, masyarakat dan pemerintah selaku struktur memahami dan mengenal fakta difabilitas, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan pada kesadaran praktis (pola tindakan) masyarakat ke arah praktik sosial yang berlandaskan pada nilai-nilai inklusi, yang berujung pada objektifikasi nilai ke dalam praktik sosial, yakni desa inklusi. Aksi pewacanaan itu diarahkan untuk pengarusutamaan difabilitas dengan beberapa aksi pewacanaan seperti berikut: pewacanaan melulai temu inklusi, aksi
176
diskursif dalam arena publik, membangun perpestif difabilitas pada level desa, kecamatan dan kabupaten, advokasi/audiensi kepada pemerintah dari level sampai kabauten, dan organisir aktor difabel desa. 3. Akomodasi kebutahan difabel dalam akses ruang publik tidak terlepas dari pengaruh agen dalam hal ini SIGAB, yang secara cerdas membangun kesadaran kelompok difabel, masyarakat, dan pemerintah. Sehingga tercipta praktik sosial secara rekursif yang mencerminkan budaya inklusi dalam rutinitas keseharian masyarakat, dimana kelompok difabel bersamasama masyarakat lainnya secara aktif menyuarakan kepentingannya. Desa inklusi yang dicanangkan oleh SIGAB secara signifikan mampu mengantarkan kelompok difabel dari pinggiran sistem menuju ke tengah sistem. Dalam artian kelompok difabel yang selama ini berada di pinggiran sistem, tidak diakui bahkan keberadaannya hanya dipsosisikan sebagai masyarakat kelas dua yang cukup dikasi belas kasih dalam bentuk karitas – melalui serangkain gerakan penyadaran yang dicanangkan oleh SIGAB melalui program RINDI ini,
akhirnya, difabel bukan hanya sekedar
identitas melainkan ia melambung jauh menjadi sebuah kekuatan baru di desa yang memiliki daya tawar melalui serangkain pengorganisasian. Jadi, perubahan itu mencakup, aspek struktur signifikasi, dominasi, dan legitimasi. Dari aspek struktur signifikasi, label atau penyebutan “penyandang cacat” berubah menjadi istilah “difabel” yang berarti keragaman manusia dan keberbedan kemampuan. Dari aspek struktur dominasi, keberadaan difabel sudah mulai diakui dengan pelibatan dan
177
pasrtisipasi
difabel
dalam
proses
pengambilan
kebijakan
dan
penganggaran di lingkup pemerintah desa. Sedangkan aspek struktur legitimasi, memberikan dasar legitimasi atas perubahan pemaknaan ke arah yang lebih positif terhadap kelompok difabel, dari label “penyandang cacat menjadi difabel – orang berbeda kemampuan”, serta memberikan landasan normatif untuk mendorong pemerintah desa dan masyarakat untuk melakukan aksi pemberdayaan dan mendorong partisipasi difabel dalam ruang publik, khususnya di desa. 4. Proses pelembagaan desa inklusi dilakukan oleh SIGAB dengan menyiapkan landasan yang memungkinkan praktik-praktik sosial dalam struktur desa inklusi senantiasa langgeng dalam arus tindakan di dalam lintas ruang dan waktu. Suatu nilai atau sebuah ide/gagasan (kesadaran diskursif) akan melembaga jika ia diobjektifikasi ke dalam praktik sosial (kesadaran praktis). Dengan kata lain, ketika suatu ide/nilai ditransformasi ke dalam praktik sosial ia akan bertransformasi menjadi kesadaran praktis yang terpola di dalam sebuah rutinitas kehidupan sehari-sehari dan dalam lintas ruang dan waktu. Ketika ia menjadi praktik sosial yang rutin dalam lintas ruang dan waktu, pada saat itulah ia akan melembaga menjadi sebuah struktur atau tatanan yang dipedomani baik pada level pemikiran/perspektif maupun pada level perilaku. Demikian halnya praktik-praktik sosial yang inklusif dalam sebuah wilayah yang dikonstruksi ke dalam sebuah praksis yang disebut desa inklusi – pada sisi ini, desa inklusi dapat dikatakan sebagai praktik sosial yang berorientasi
178
pada nilai-nilai inklusif sebagaimana yang dipahami dalam kesadaran diskursif aktifis-aktifis dan kelompok-kelompok difabel semisal SIGAB. Oleh karena itu dibutuhkan landasan agar praktik sosial tersebut senantiasa berada dalam keterulangan-keterulangan secara rekursif dalam lintas ruang dan waktu. Adapun landasan-landasan tersebut adalah aktor lokal, Organisasi Difabel Sendangtirto (ODS), Fasilitator Desa, Kader Desa Inklusi, Sistem Informasi Desa (SID), Peraturan Desa (Perdes). B. Saran Penelitian ini baru berbicara pada aspek proses dan pembentukan desa inklusi sebagai sarana pemberdayaan dan partipisasi difabel dalam ruang publik pada tingkat desa, jadi, dalam hal ini penulis baru menyentu pada aspek politis. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai dampak program RINDI dari aspek sosial dan ekonomi untuk melihat sejauhmana program RINDI mampu menyentu ruang-ruang permasalahan yang dihadapi difabel pada tingkat desa.
179
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad, Memahami Riset Perilaku dan Sosial, Bandung: CV Pustaka Cendekia Utama, 2011. Azhar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Blau, Judith, dan Alberto Moncada, “Teori Sosiologi dan Hak Asasi Manusia”, dalam Bryan S. Truner (ed.), Teori Sosial: Dari Klasik sampai Postmodern, terj. E. Setiyawati A. dan Roh Shufiyati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002. El Muhtaj, Majda, Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Foucault, Michel, Arkeologi Pengetahuan, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012. Fikri, Abdullah, “Eksperimentasi Membangun Demokrasi Inklusif: Studi Kasus terhadap Akseptabilitas Gusdur dalam Ruang Politik Indonesia”, Tesis Magister, Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015. Faqih, Mansour, “Akses Ruang yang Adil: Meletakkan Dasar Keadilan Sosial bagi Kaum Difabel”, dalam Suharto dan Haris Munandar (ed.), Pokokpokok Pikiran Dr. Mansour Fakih: Refleksi Kawan Seperjuangan, Yogyakarta: SIGAB, 2004. Giddens, Anthony, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, terj. Adi Loka Sujono, Cet. 4, Yogyakarta: Pedati, 2011. , Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Kemasyarakatan, terj. Maufur & Daryatno, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003. Jaya Hatma Indra, Pajar, Analisis Masalah Sosial: Breakdown Teori-teori Sosial Menuju Praksis Sosial, Yogyakarta: SENTER, 2008. Mudzakir, Ro’fah, dan Slamet Thohari, “Kaum Difabel dalam Pergulatan Makna: Sekilas Pergeseran Persepsi Disability dan Relevansinya di Indonesia”,
180
dalam Sahiron dan Asep Jahidin (ed.), Ontologi Pekerjaan Sosial, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010. Lubis Yusuf, Akhyar, Postmodernisme: Teori dan Metode, Cet. 2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2014). Mufti, Muslim, Teori-teori Politik, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012. Nursyamsi, Fajri, dkk, Kerangka Hukum Disabilitas Di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2015. Ritzer, George, Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan terakhir Postmodern, terj. Saut Pasaribu dkk, Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Salim, Ishak, Dkk, Indonesia dalam Desa Inklusi, Yogyakarta: sigab, 2015. Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Ed. 24, Cet. 27, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999. Sukamto, Sunarman, Best Practice Advokasi Kebijakan Daerah Perperspektif Difabel: Pengalaman PPRBM Solo, Solo: PPRBM Solo, 2013. Saidah, Cucu, dkk, Panduan Advokasi Hak Asasi Manusia Bagi Organisasi Penyandang Disabilitas, Jakarta: Australian Aid, 2014. Setiadi M., Elly, dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana, 2013. Tim Kontras, Panduan untuk Pekerja HAM: Pemantaun dan Inevetigasi Hak Asasi Manusia (Kontras, 2009). Piliang A., Yasraf, Transpolitika: Dinamikan Politik di dalam Era Virtualitas, Yogyakarta: Jalasutra, 2005. Yulianto, Joni, “Terminologi: Difabel atau Penyandang Disabilitas”, dalam M.Syafi’ie, dkk, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara, Yogyakarta: sigab, 2014. , “Terminologi: Difabel atau Penyandang Disabilitas”, dalam M.Syafi’ie, dkk, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara, Yogyakarta: sigab, 2014.
181
, “Nothing About us Without us’, dalam Ishak Salim (ed.), Memahami Pemilihan Umum dan Gerakan Politik Kaum Difabel, Yogyakarta: SIGAB, 2014.
Hoed H., Benny, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Depok: Komunitas Bambu, 2011. JURNAL Asyhabuddin, “Difabilitas dan Pendidikan Inklusif: Kemungkinannya di STAIN Purwokerto,” Jurnal INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, Vol. 13, No. 3, Sep-Des 2008. Hadi Purbathin, Agus, “Konsep Pemberdayaan, Partisipasi dan Kelembagaan dalam Pembangunan”, Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA). Nadir,
Sakinah, “Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Desa: Menuju Pemberdayaan Masyarakat Desa”, Jurnal Politik Profetik Volume 1 No. 1, Tahun 2013.
Hadi H., Otho, “Peran Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi”, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia, Vol. 14, No. 2, Desember 2010. Harahap Repindowaty, Rahayu, dan Bustanuddin, “Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention on the Rights of Persons With Disabilities (CRPD),” Jurnal Inovatif, Volume VIII, Nomor I, Januari 2015. Kuntoro, “Analisis Wacana Kritis: Teori Van Dijk Dalam Kajian Teks Media Massa”, Jurnal Leksika, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Vol.2 No.2, Agustus, 2008. Lubis, Asri, “Upaya Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan”, JURNAL TABULARASA PPS UNIMED, Vol.6, No. 2, Tahun 2009. Nashir, Haedar, “Memahami Strukturasi Dalam Perspektif”, Jurnal SOSIOLOGI REFLEKTIF, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dan Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012.
182
Ro’fah, “Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur”, dalam Kamil Alfi Arifin (ed.), Analekta Difabilitas: Sumbangsih untuk Pengayaan Rancangan Undang-undang Difabilitas, Jurnal DIFABEL, Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB), Vol. 2, No. 2, Tahun 2015. Salim, Ishak, “Perspektif DIfabilitas dalam Politik Indonesia”, dalam Kamil Alfi Arifin (ed.), Analekta Difabilitas: Sumbangsih untuk Pengayaan Rancangan Undang-undang Difabilitas, Jurnal DIFABEL, Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel, Vol. 2, No. 2, 2015. , “Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 dan Kontribusi Gerakan Difabel Indonesia bagi Terbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia,” Jurnal The Politics, Vol. 1, No. 2, Juli 2015. Prasetyo Galih, Antonius, “Menuju Demokrasi Rasional: Melacak Pemikiran Jürgen Habermas tentang Ruang Publik,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 16, Nomor 2, November 2012. Paper dipresentasikan dalam acara Lokakarya Pemetaan Kegiatan Disabilitas: ILO (PROPEL-Indonesia) & World Bank (DPO Window), Jakarta tanggal 26-27 September 2012. Yulianto, Joni, “Konsepsi Inklusi dan Pendidikan Inklusif”, Jurnal INKLUSI, Vol.1, No.1, Januari - Juni 2014.
WEB Indo, Benni, “Urgensi Kesadaran Kolektif Tentang Hak Difabel”, dalam http://solider.or.id, diakses: 12 Oktober 2015. Maryani, “Assesment Desa dan Pembentukan www.combine.or.id, diakses: 24 Februari 2016.
Tim
SID”,
dalam
Yulianto, Joni, “Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No.4 Tahun 2012 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas”, dalam www.solider.or.id, diakses: tanggal 29 Januari 2016. Purwanta Adi, Setya, “Bagaimana Aku menyebut Mereka? Penyandang Cacat, Disabilitas, atau Difabel”, dalam http://komitedisabilitasdiy.blogspot.co.id, diakses: 3 Februari 2015.
183
LAMPIRAN-LAMPIRAN
184
Diskusi proposal tesis penelitian di Aula sekretariat SIGAB
Rapat evaluasi Program RINDI bersama Fasdes dan aggota SIGAB
Pertemuan bulanan Organisasi Difabel Sendangtirto (ODS)
185
Pertemuan Rutin Organisasi Difabel Sendangtirto (ODS)
Pelatihan bercocok tanam Organisasi Difabel Sendangtirto (ODS)
186
187
188
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri Nama
: Fajar, S.H.I.
Tempat / tgl. Lahir
: Baliase, 10 Mei 1989
Alamat Rumah
: Kel. Baliase, Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Sulawesi Selatan
Nama Ayah
: Wajadu
Nama Ibu
: Hajerang
Email
:
[email protected]/
[email protected]
B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal a. SDN 155 Lindu, Kecamatan Masamba, Kabupaten Luwu Utara, tahun 2001. b. SMP 2 Masamba, tahun 2004. c. MA DDI Masamba, tahun 2007. d. S-1 Jurusan Syariah Program Studi Peradilan Agama (Ahwal Al Syakhsyiyyah), STAI DDI Maros, tahun 2012. e. S-2 Prodi Hukum Islam Konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2016.
189
C. Prestasi/Penghargaan 1. Piagam Penghargaan Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia sebagai Peserta PSP3 Selama dua Tahun. 2. Sertifikat penghargaan Komandan Resimen Induk (Kamando Daerah Militer Jaya/Jayakarta) dalam kegiatan pembekalan dan Pelatihan mental, fisik dan disiplin di Rindam Jaya. 3. Piagam penghargaan sebagai peserta dalam kegiatan Pengembangan Kepemimpinan Pemuda Balai Pemuda dan Olahraga DIY.
D. Pengalaman Kerja 1. Tenaga Kontrak Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan (PSP3) Kementerian Pemuda dan Olahraga RI 2013-2015. 2. Staf Koperasi Al Barakah Makassar 2013.
E. Pengalaman Organisasi a. Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STIS Al Azhar Makassar. b. Kordinator Celebes Philosophy Club. c. Wakil Ketua Osis MA DDI Masamba.
F. Minat Keilmuan: islamic philosophy dan Politik Islam
G. Karya Ilmiah 1. Penelitian Skripsi: Problematika Tingginya Kasus Perceraian (Studi Kasus Cerai Gugat di Pengadilan Agama Masamba Kec. Masamba Kab. Luwu Utara). 2. Penelitian Tesis: Empowerment Kaum Difabel dalam Arena Publik (Studi Kasus Program Rintisan Desa Inklusi SIGAB Yogyakarta) Yogyakarta, 7 Juni 2016 Fajar, S.H.I.