Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
Misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah untuk menebarkan rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Elaborasi dari semangat tersebut adalah upaya pembebasan manusia dari kedzaliman dan penindasan. Sayangnya, justru saat ini kita menemukan sisi yang bertolak belakang dari upaya penyebaran nilai rahmah ini. Nah, seiring dengan diperingatinya Maulid Nabi Muhammad SAW (10 April 2006) dan Hari Kartini (21 April 2006), maka peneguhan semangat awal dari kedua momen penting ini sudah waktunya dilakukan. Guna memperkaya pemaknaan kita terhadap kedua momen tersebut, pada rubrik Opini kali ini, pembaca akan diajak lebih jauh berkenalan dengan pemikiran dua orang nara sumber, yang masing-masing memiliki keahlian di bidangnya. Nara sumber pertama adalah Bapak Prof. KH. Ali Yafie dan yang kedua adalah Ibu Dra. Hj. Eri Rossatria, MA. Wawancara dengan Prof. KH. Ali Yafie:
“Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan”
Nama Prof. Kyai Haji Ali Yafie bukanlah nama asing bagi masyarakat Islam Indonesia. Beliau seorang ulama besar yang lahir 1 September 1926 di Wani Donggala, Sulawesi Tengah. Di NU, jabatan yang pernah diamanahkan adalah sebagai Ketua Syuriah NU Pare-pare, Sulawesi Selatan hingga yang terakhir pernah menjadi Pejabat Rais Am Syuriah NU. Kyai yang sangat santun dalam bertutur kata ini pernah duduk di DPR RI (1971-1987), pernah juga sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia, dan Ketua Dewan Penasehat ICMI. Kyai yang juga pernah menjadi Dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mendapat gelar Profesor Hukum Islam dari Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta ini dikenal berpikiran kritis dan moderat dalam menyikapi suatu masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Salah satu buku karya beliau yang fenomenal adalah Menggagas Fiqh Sosial dan Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan (LKPSM: 1997). Di tengah kesibukan beliau, Swara Rahima diterima untuk
1 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
berbincang-bincang seputar misi kenabian dan realitas perempuan saat ini. Dalam obrolan singkat tersebut muncul banyak pemikiran penting yang patut dikembangkan lebih lanjut sebagai bagian dari upaya pembelaan terhadap perempuan. Berikut petikan wawancaranya:
Menurut Pak Kyai, apa sebenarnya misi kenabian Muhammad SAW? Misi dakwah Nabi Muhammad adalah rahmatan li al-’alamin (penyebaran kasih sayang kepada alam semesta,-Red.). Hal ini ditegaskan dalam sebuah kalimat Al-qur’an: “wa maa arsalnaa ka illa rahmatan li al-’alamin.” (artinya, dan kami tidak mengutusmu, Muhammad, kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta). Di dalam kalimat rahmatan li al-’alamin itu, sudah tercakup juga rahmatan li al-nisa’ (rahmat bagi perempuan) sebab al-nisa’ (perempuan) itu bagian dari al-’alamin. Dari titik tolak itu kita bisa menelusuri bahwa segala ajaran yang disampaikan dan segala perbuatan yang dicontohkan selama Beliau hidup, kemudian diteruskan oleh penerus-penerusnya, berawal dari misi rahmah (kasih sayang). Lebih
jelasnya bagaimana Pak Kyai? Bila kita berbicara mengenai misi Nabi Muhammad, ada hal-hal yang menarik. Kita tidak bisa memahami misi Nabi tanpa merujuk al-Qur’an. Sebagai mana kita ketahui, tugas utama beliau adalah menyampaikan al-Qur’an kepada masyarakat. Rasul itu ditugaskan untuk menyampaikan pesan-pesan Allah kepada umat manusia supaya kehidupan manusia berjalan dengan baik. Itu merupakan rahmatan lil alamin. Menariknya lagi dalam al-Qur’an ada sejumlah surat yang judulnya tentang perempuan. Surat itu diperuntukkan langsung kepada perempuan. Ada juga yang tidak langsung tetapi memuat hal ihwal perempuan. Saya pikir, Al-Qur’an 2 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
satu-satunya kitab suci yang di dalamnya terdapat surat yang langsung diperuntukkan untuk perempuan dan merupakan satu-satunya surat yang tidak ada taranya. Surat itu adalah al-Nisa’. Ia diberi judul perempuan, walaupun tidak seluruhnya berbicara mengenai perempuan, tetapi jelas banyak sekali ayat-ayat tentang perempuan. Jadi, itu menunjukkan apresiasi al-Qur’an yang sangat besar terhadap perempuan? Mungkin ada contoh lainnya? Ya betul. Itu menunjukkan apresiasi al-Qur’an yang sangat terinci dan sangat mendalam terhadap perempuan. Nah, kemudian ada surat yang lebih khusus lagi yaitu surat Maryam, menyebut satu nama perempuan, Ibunda Nabi Isa AS. Tokoh perempuan yang dipilih sepanjang sejarah kemanusiaan. Kalau al-Nisa’ itu kan umum menyebut untuk perempuan, sementara Maryam ini khusus. Kemudian ada yang lebih menarik lagi, surat yang judulnya al-Mujadilah, perempuan pemrotes. Unik sekali. Kemudian ada lagi surat berjudul al-Mumtahanah, perempuan yang teruji. Lebih khusus lagi tentang kiprah perempuan kan? Ada perempuan pemrotes dan ada perempuan yang teruji. Jadi empat surat ini yang jelas dan langsung mengapresiasi perempuan. Sementara yang lain tidak pakai judul dan tidak perlu menyebutkan secara khusus, tema perempuan, tetapi kandungannya banyak yang berbicara mengenai perempuan.
Kalau dapat ditelusuri kembali, menurut Pak Kyai, apa latar belakang yang paling mendasar turunnya surat-surat itu tadi? Yang paling mendasar adalah tuntunan Islam untuk umatnya supaya tidak mendzalimi kaum perempuan. Berbuat dzalim itu bertentangan dengan keadilan, karena pada prinsipnya agama Islam itu pertama sekali turun perintahnya adalah 3 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
keadilan. Setiap hari Jum’at dalam awal khutbah kita diingatkan tentang pentingnya takwa dan diakhiri dengan pesan pentingnya adil dan berbuat baik. Pembukaan khutbahnya ittaqu Allaha (bertakwalah kepada Allah), kemudian akhir khutbah inna Allaha ya’muru bi al-‘adli wa al-ihsan... (sungguh Allah memerintahkan berbuat adil dan bertindak bijaksana). Jadi kita bisa bayangkan, bagaimana misi Islam itu yang utama adalah menegakkan keadilan. Nah, ternyata dalam sepanjang sejarahnya, kaum perempuan banyak mengalami ketidakadilan. Salah satu misi Al-Qur’an adalah agar kita bisa berperan aktif menghilangkan ketidakadilan itu, termasuk ketidakadilan terhadap perempuan karena kaum perempuan seringkali mengalami kedzaliman sepanjang sejarah.
Pada zaman Nabi, perempuan memiliki peran yang sangat luas seperti berdagang di pasar, memerah susu, dan seterusnya. Namun pada masa-masa berikutnya, beredar pandangan dari kelompok tertentu yang mengatakan bahwa perempuan haruslah kembali ke rumah. Urusan luar biarlah ditangani oleh laki-laki saja. Meskipun pada masa Nabi, banyak perempuan yang berperan dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana menurut Pak Kyai? Ya, memang dalam agama ada yang disebut dengan pemahaman al-ghuluw (berlebih-lebihan). Al-Qur’an menyatakan, la taghlu fii diinikum, jangan berlebih-lebihan, jangan mengada-ada dalam agama. Al-Qur’an mengatakan, ada pemahaman yang berlebihan. Pandangan demikian, yakni perempuan hanya boleh di rumah saja itu berlebihan. Di dalam bahasa modern itu kan ada pemahaman yang ekstrim. Jadi itu tidak mempengaruhi kebenaran Islam, karena orang harus merujuk kepada al-Qur’an, kepada praktik Nabi. Kalau mau belajar Islam, pegangannya cuma dua, al-Qur’an dan perilaku Nabi. Itu saja. 4 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
Ada cerita seorang guru mengenai murid perempuannya. Muridnya termasuk pintar dan bagus bacaan qira’ahnya. Anak itu memang punya keinginan untuk menjadi qari’ah atau menjadi MC (Master of Ceremony). Anehnya, ketika ditugaskan oleh gurunya dalam sebuah acara keagamaan di sekolah, anak tersebut sudah tidak mau lagi, dengan alasan guru ngajinya melarang tampil karena, menurut ustadznya, suara perempuan itu aurat dan tidak boleh ditampakkan. Bagaimana pandangan Pak Kyai terhadap fenomena ini ? Memang ada sebagian kecil yang berpendapat seperti itu. Sebagian kecil fuqaha’ mengatakan bahwa aurat perempuan itu semua anggota tubuh termasuk suaranya. Itu pendapat sebagian kecil fuqaha’ saja. Sebagian besar mengatakan suara perempuan itu bukan aurat. Buktinya banyak perempuan di masa Nabi beraktivitas dengan lawan jenis. Jadi ini masalah khilafiyah yang tidak perlu dibesar-besarkan.
Inikah yang seringkali dijadikan alasan untuk melarang perempuan bekerja atau berkiprah di ruang publik? Mengingat dari sudut suara saja sudah di anggap nggak boleh. Ya. Jadi itu gambarannya. Itulah karena berlebihan atau ghuluw dalam agama tadi. Sekali lagi, agama Islam itu agama yang ingin menegakkan keadilan. Dengan acuan bahwa keadilan menurut manusia itu tidak mutlak. Dan keadilan yang mutlak itu ya dikembalikan kepada Tuhan. Ada hal yang sangat penting yaitu bahwa taklif, yaitu pembebanan kewajiban beragama diterapkan kepada laki-laki dan perempuan. Sementara beberapa sekte dalam agama-agama terdahulu mengatakan bahwa perempuan tidak berhak untuk beribadah dan tidak berhak masuk surga. Itu ada. Itulah yang di bantah 5 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
oleh Islam. Islam mewajibkan bahwa perempuan dan laki-laki harus belajar, thalabu al-ilmi faridlatun ala kulli muslim (Mencari ilmu merupakan ketetapan bagi setiap muslim). Kulli muslim termasuk perempuan juga. Kewajiban shalat juga harus sama bagi perempuan juga, bukan hanya laki-laki saja. Itulah yang dinyatakan dalam surat al-Ahzab ayat 35. Kegiatan keagamaan dan sosial pembebanannya sama kepada laki-laki dan perempuan. Namun kita tetap menyadari bahwa secara fisik perempuan dan laki-laki ada bedanya. Dan memang ini ada hikmahnya, supaya masing-masing punya daya tarik kepada yang lain. Kalau tidak ada perbedaan itu tidak ada daya tarik dan tidak akan terjadi keturunan kan? Dengan begitu muncul interaksi dan kerjasama antar keduanya. Jadi ini memang ada hikmahnya.
Pak Kyai, kalau begitu, secara hakiki lelaki-perempuan tidak berbeda ya? Ada fungsi alamiah yang tidak bisa disamakan, terutama mengandung dan melahirkan. Ini tidak bisa ditukar kepada laki-laki, jadi harus kepada perempuan. Kemudian ada hukum-hukum khususnya, lingkungan sosial, dan lingkungan kulturalnya. Ada kalanya sosio-kultural ini bersatu dengan lingkungan waktu itu yang masih menyimpan warisan dari sisa-sisa Jahiliyyah suatu bangsa. Secara hakiki, perempuan dan laki-laki tidak berbeda. Keduanya sederajat di mata Allah. Pesan-pesan apa yang Pak Kiai ingin sampaikan kepada organisasi perempuan Islam seperti Muslimat NU, Fatayat NU, Aisyiyah, dan sebagainya. Sejak dulu pesan saya cuma satu, agar perempuan-perempuan ini mau banyak belajar lagi dari sekarang. Karena ada begitu banyak hal yang mereka belum ketahui. Contoh konkretnya, undang-undang perkawinan 6 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
tahun 1974, yang banyak memberikan perlindungan bagi kaum perempuan karena materinya diangkat dari fiqh, namun masih sedikit sekali perempuan yang menguasainya. Pada urutannya, terbuka peluang bagi laki-laki untuk berlaku seenaknya terhadap UU tersebut. Bahkan ulama perempuan juga tidak mengangkat isu itu, ditambah jumlah ulama perempuan yang masih sedikit. Nah, jadi pesan saya belajarlah yang banyak, terutama agamanya sendiri, surat al-Nisa’, surat Maryam dan surat-surat lainnya “dibaca” kembali. Dengan membaca diharapkan kaum perempuan mempunyai pandangan yang terbuka terhadap agamanya sendiri. Orang yang sangat minim pengetahuan agamanya akan mudah sekali diintervensi oleh pikiran luar.
Harapan
Pak Kyai terhadap Rahima? Saya doakan mudah-mudahan Rahima bisa mengemban misi dengan sebaik-baiknya untuk mensosialisasikan ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil alamin serta berkeadilan dalam hal mendudukkan relasi perempuan dan laki-laki menurut proporsi yang sebenarnya. Wawancara dengan Ibu Dra. Hj. Eri Rossatria, M.A.:
“Kalau Tidak..., Kaum Perempuan akan Mengalami Kemunduran Lagi” Di bagian kedua dari rubrik ini, kami menampilkan wawancara dengan Ibu Dra. Hj. Eri Rossatria, M.A. Beliau menyelesaikan sarjana dan masternya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan kini menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah di almamaternya. Kini beliau dipercayai menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberdayaan Perempuan MUI Pusat. Bersama para rekan Pusat 7 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
Studi Wanita - UIN Jakarta di mana beliau pernah menjadi ketuanya (1998-2004), Bu Eri yang lahir di Bukittinggi 17 Juli 1947 menulis buku berjudul “Pengantar Kajian Gender” yang menjadi referensi di lingkungan UIN, IAIN, dan STAIN di seluruh Indonesia. Berikut petikan wawancara Swara Rahima dengan Ibu Eri di sela-sela kesibukannya.
Menurut Ibu, apa sebenarnya misi Nabi Muhammad SAW yang paling mendasar? Sebagaimana kita ketahui kehadiran Nabi dilatarbelakangi oleh tatanan masyarakat Arab pra-Islam yang sangat merendahkan harkat kemanusiaan kaum perempuan. Perilaku-perilaku misoginis yang ditunjukkan oleh masyarakat Arab, di antaranya dengan kebiasaan membunuh bayi perempuan, memperlakukan perempuan sebagai barang warisan - bukan sebagai human being, bahkan perempuan dianggap sumber dosa. Nah, dengan hadirnya Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah masyarakat Arab yang jahiliyah tersebut, peran dan status perempuan mulai mengalami perubahan secara radikal. Bahkan Sirah Nabi pun menunjukkan bahwa bagian dari revolusi sosial yang dilangsungkannya adalah pemberian harkat kemanusiaan dan penghormatan kepada perempuan.
Mungkin
Ibu bisa memberikan beberapa
8 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
penggalan perjalanan Nabi terkait dengan sikap beliau terhadap relasi perempuan dan laki-laki. Sebelum menjadi seorang Nabi saja, beliau sudah memperlakukan Siti Khadijah dengan sangat santun dan hormat. Sikap Nabi Muhammad yang seperti itu oleh Allah diteruskan dengan berbagai ajaran-ajaran tentang bagaimana bersikap kepada perempuan, yang pada akhirnya tertera dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga jelas sekali, ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad betul-betul mengangkat derajat perempuan secara luar biasa. Misalnya, masalah aqiqah, meskipun masalah aqiqah masih dianggap mendiskriminasikan perempuan (laki-laki 2 kambing dan perempuan 1 kambing) tetapi kenyataannya setelah ditelusuri, Nabi mengaqiqahkan Hasan dan Husein justru dengan satu kambing. Jadi siapa yang membeda-bedakan hal itu? Dari ritual Aqiqah tersebut ada sebuah makna yang terkandung di dalamnya yaitu sesungguhnya kelahiran anak perempuan itu juga harus dihargai. Sebelum Islam datang, para orang tua merasa malu, apabila mendapatkan seorang bayi perempuan. Kemudian dengan datangnya Islam, para orang tua merasa bangga bahkan anaknya diaqiqahkan. Dengan turunnya Islam pula perempuan boleh tampil menjadi saksi dan berhak atas sejumlah warisan dibandingkan pada masa jahiliyah alih-alih perempuan dapat waris, mereka justru “diwarisi”. Bahkan setelah suaminya meninggal, perempuan dianggap sebagai barang (benda) oleh mertuanya dan anak tirinya. Meskipun keduanya hanya bernilai setengah dari kesaksian atau
9 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
jumlah warisan yang berhak diterima laki-laki dan boleh jadi dianggap tak adil dalam konteks sekarang, namun pada prinsipnya dan dalam konteks perintah itu turun mencerminkan semangat keadilan yang dibawa Islam. Perlakuan egaliter yang ditunjukkan Rasulullah terhadap perempuan juga luar biasa, misalnya beliau memperlakukan Fatimah dengan penuh kasih sayang. Sampai-sampai beliau marah sekali ketika Fatimah mau dipoligami oleh suaminya.
Anehnya, sepeninggal beliau, kaum perempuan mulai mengalami ketidakadilan lagi terutama dari dinasti-dinasti Islam yang masih terpengaruh oleh budaya Arab pra Islam yang misoginis. Bagaimana komentar Ibu? Memang kalau kita melihat ringkasan sejarah, pada zaman Nabi Muhammad perempuan itu diberi tempat, diberi kesempatan mendapatkan pendidikan atau kesempatan-kesempatan lainnya yang sama dengan laki-laki. Nabi juga berdakwah kepada sekelompok perempuan secara khusus, sehingga melahirkan tokoh perempuan yang luar biasa. Para perempuan umumnya ikut berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, misalnya ikut dalam perang dan perjanjian-perjanjian politik. Keterlibatan perempuan dalam ruang publik ini berlangsung sampai masa al-khulafa’ al-rasyidun. Namun, setelah beliau wafat dan wilayah Islam semakin meluas kondisi egaliter yang diterapkan Nabi kembali mengalami kemunduran. Pada zaman Muawiyah dan 10 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
Abasiyah inilah perempuan mengalami peminggiran kembali dari ruang publik. Kedua dinasti ini mengadopsi kultur-kultur misoginis yang dipengaruhi oleh kebudayaan Persia Kuno yang menganut sistem kerajaan. Sebagaimana kita ketahui sistem kerajaan memperlakukan kaum perempuan sebagai kelas kedua. Para petinggi-petinggi Islam saat itu (Muawiyah) sangat berambisi untuk menguasai wilayah-wilayah yang dianggap makmur secara ekonomis maupun politis. Keinginan untuk berkuasa itulah yang berimbas terhadap sangat dominannya ideologi patriarki. Yang pada akhirnya menempatkan kembali perempuan pada kelas kedua dan perempuan “ditarik” kembali menjadi orang rumahan. Masih banyak lagi contoh yang menunjukkan secara jelas bagaimana perjalanan sejarah selalu diikuti atau dipengaruhi oleh ambisi politik serta keinginan terus menerus melanggengkan budaya patriarki. Dilestarikannya budaya patriarki ini mempunyai maksud mempertahankan supremasi laki-laki atas perempuan.
Ternyata kondisi yang misoginis seperti itu masih tetap dilestarikan oleh sebagian orang atau kelompok tertentu dalam Islam. Sampai-sampai ada keyakinan aneh bahwa tanda-tanda keshalehan seseorang adalah ketika dapat mengurung perempuan di rumah. Bagaimana menurut ibu? Sepertinya kita harus kembali memahami semangat misi Nabi Muhammad yang sesungguhnya. Sejak 11 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
awal, Nabi sudah mengajarkan tentang prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Memang ada sebagian masyarakat yang “alergi” terhadap konsep kesetaraan. Adanya kesalahpahaman tentang prinsip kesetaraan ini, karena kesetaraan yang dimaksud adalah kesetaraan mutlak ditambah lagi karena zaman yang telah berubah cepat. Meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak dan kesempatan, tetapi dari sisi kodrat ada perbedaan. Ada perbedaan, tetapi itu bukan alasan untuk bertindak diskriminatif atau membeda-bedakan. Ada sebagian kelompok yang menggeneralisir setiap gerakan perempuan sama dan menganggap akan terjadi penghancuran dalam rumah tangga atau dalam masyarakat. Saya heran, terkadang perempuan dari kelompok Islam tertentu mengatakan seharusnya perempuan kerja di rumah, tapi dia sendiri malah aktif di mana-mana dengan dalih berdakwah.
Bisa ibu ceritakan hak-hak apa saja yang Allah berikan kepada perempuan dan itu sekaligus merupakan hak asasi manusia? Saya pikir, dalam Islam hak perempuan maupun hak laki-laki tidak ada perbedaannya. Sebagaimana ditunjukkan dalam sebuah ayat surat Al-Nisa: “Li al-rijaali nashiibun mimmaa kasabuu wa li al-nisaa’i nashibun mimma kasabna” (bagi laki-laki ada hak atas kegiatan/pekerjaan mereka dan bagi perempuan ada hak atas kegiatan/pekerjaannya). Sesungguhnya dalil 12 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
ini menerangkan bahwa masing-masing mempunyai hak yang sama, malah yang membedakannya hanya pada porsinya dan tergantung sejauhmana kita melakukan aktivitas (kasabu dan kasabna) dalam memperoleh hak tersebut. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama dalam seluruh aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial, budaya, memperoleh kesejahteraan, dan mengeluarkan pendapat). Namun, sungguh disayangkan hak-hak itu sekarang menjadi terpilah-pilah (baca: dibeda-bedakan), ini haknya perempuan dan ini haknya laki-laki. Terampasnya hak-hak perempuan, tidak hanya karena faktor budaya dan ambisi politik, tapi lebih dari itu, perempuan dianggap sebagai makhluk yang punya banyak kelemahan, baik dari segi fisik, intelektual, dan spiritualnya. Seringkali muncul pernyataan yang sangat bias, misalnya nafsu perempuan itu berjumlah sembilan dan akalnya hanya satu. Apakah kenyataannya demikian? Saya pikir tidak. Bukankah hal itu bisa saja terjadi pada diri laki-laki. Banyak siswi atau mahasiswi mendapat nilai terbaik di sekolah atau perguruan tinggi, tetapi tidak disebut akalnya sembilan. Di sisi lain, banyak juga laki-laki yang “berinisiatif” dalam kasus-kasus perkosaan, tetapi tidak disebut bernafsu sembilan. Seringkali ungkapan yang bias itu dijadikan alasan mengapa perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Padahal Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sederajat dalam segala hal dan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah.
13 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
Sebagai seorang pendidik, bagaimana Ibu melihat kurikulum pendidikan sekarang? Apakah sudah memasukkan nilai-nilai keadilan antara laki-laki dan perempuan dalam kurikulum, misalnya materi Dirasah Islamiyah (kajian Islam) atau bahkan menjadi kurikulum tersendiri? Upaya itu memang pernah dilakukan, ketika saya menjadi Ketua PSW UIN Jakarta tahun 1998-2004. Pergerakan yang dilakukan PSW lebih banyak di lingkungan UIN, mulai dari tingkat pejabat kampus sampai seluruh akademika. Mereka kami libatkan dalam workshop (lokakarya) tentang kesadaran gender dan akhirnya sampai pada kurikulum. Pada tahun 2002 kami sudah menghasilkan buku pengantar kajian gender yang nantinya diharapkan buku tersebut menjadi bekal bagi para dosen untuk mengajar. Dosen-dosen yang sudah mengikuti lokakarya tentang gender diminta berkomitmen untuk memberikan perspektif gender dalam pembelajaran. Alhamdulillah, sudah mulai terlihat hasilnya dalam bentuk sikap, materi, dan metode pembelajarannya. Ada beberapa MKDU (matakuliah dasar) yang sudah diberikan perspektif gender, contohnya mata kuliah sejarah peradaban Islam. Dalam mata kuliah tersebut dibahas bagaimana sejarah peradaban Islam yang berperspektif laki-laki dan perempuan, sejauhmana permasalahan perempuan bisa terangkat dalam sejarah peradaban Islam, karena sejarah seringkali hanya menyebutkan tokoh-tokoh laki-laki saja. Dan Alhamdullilah itu semua sudah diterapkan di setiap fakultas di UIN Jakarta. Tentu hasilnya berproses terus.
14 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
Secara umum kurikulum di Indonesia, baik di tingkat SD maupun SMP dinilai sangat bias. Perempuan ditempatkan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik. Bagaimana menurut Ibu? Diperlukan penyadaran gender dari tingkat bawah. Kalau dalam bidang pendidikan mulai dari bahan ajar. Contoh-contoh yang ada dalam buku-buku pelajaran seperti “ibu memasak di dapur” atau “ayah bekerja di kantor” sudah tidak sesuai lagi, karena hal itu dapat membentuk pemahaman anak didik dari kecil bahwa tugas ibu itu hanya memasak. Begitu juga dengan perlakuan kita, ketika anak lahir juga sudah dibedakan-dibedakan, misalnya baju anak perempuan berwarna pink (merah muda) dan untuk anak laki-laki biru, mainan anak perempuan boneka, sementara anak laki-laki diberi mobil-mobilan. Pola-pola budaya yang seperti itulah yang seharusnya digeser. Bila di rumah sudah diterapkan pendidikan berperspektif keadilan gender, seharusnya di sekolah juga demikian. Apabila tidak, maka akan terus melanggengkan budaya patriarki. Salah satu dampaknya adalah tidak sedikit laki-laki yang malu apabila ikut mengerjakan pekerjaan domestik.
Belakangan ini disinyalir ada fenomena keberagamaan baru yang terjadi di lingkungan kampus, yakni mulai berkembangnya berbagai gerakan keagamaan yang menghendaki perempuan harus 15 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
begini dan begitu. Bagaimana menurut Ibu? Itu merupakan gejala umum yang terjadi. Sebagai pengajar, ketika menyampaikan materi kuliah, saya sering mengajak mereka untuk tidak menjadi aktivis-aktivis yang ekstrem, sebab Islam itu moderat, tidak ekstrem. Namun untuk menanamkan moderatisme ini agak sulit karena kelompok-kelompok tersebut sangat militan dan mereka memiliki argumen sendiri tentang pemahaman keagamaan. Pemikiran-pemikiran mereka dampaknya sangat terasa bagi perempuan, sebab perempuanlah yang diatur-atur.
Jamaah atau anggota mereka mayoritas perempuan, tapi mengapa mereka itu bersedia saja didoktrin, diatur, dan dibatasi? Karena mereka yakin benar dengan ajaran maupun dalil-dalil yang mereka ikuti itu. Karenanya, mereka harus mengikutinya. Apa-apa yang mereka perjuangkan dan yakini ini, menurutnya, merupakan ajaran Islam. Bahkan mereka benar-benar tenteram dengan ajaran itu dan apabila tidak menerapkan sepenuhnya ajaran tersebut maka dianggap Islamnya tidak kaffah (total). Keyakinan itulah yang mereka pegang dan di situlah kehebatan indoktrinasi kelompok mereka. Namun, yang saya sayangkan, padahal ajaran Islam itu kan diawali dengan kata iqra’ yang berarti membaca. Maksudnya, selalu terbukanya cakrawala secara dialogis terhadap diskursus-diskursus pemikiranan untuk lebih memahami ajaran Islam dengan lebih matang. Kalau dipahami 16 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
dengan baik, tidak mungkin ajaran Islam mendiskriminasi perempuan.
Apa dampaknya bagi perempuan, bila pemahaman keagamaan yang kaku ini terus dikembangkan sampai ke anak-anak sekolah? Saya khawatir kaum perempuan akan mengalami kemunduran lagi. Pada masa Nabi Muhammad perempuan mendapatkan penghargaan tinggi, kemudian setelah beliau wafat posisi perempuan kembali menjadi subordinat (bagian kecil) dan sekarang pada abad 20 sudah mulai muncul kesadaran yang tinggi untuk memperjuangkan sebuah pranata sosial yang secara gender lebih adil. Nah, saya khawatir situasi ini nanti turun lagi dan perempuan akan kembali pada budaya zaman Arab jahiliyah yang menginginkan perempuan tetap berada pada posisi tradisionalnya (menjadi manusia kelas dua).
Menurut Ibu bagaimana mengembalikan peran perempuan agar sesuai dengan misi kenabian yang sesungguhnya ? Pertama, yang harus dilakukan yaitu kita kembali belajar untuk menyikapi fenomena kehidupan yang saya ceritakan tadi. Saya kira, kita tidak cukup hanya memikirkan bagaimana nasib kaum perempuan tetapi yang terpenting kita harus segera berbuat sesuatu. Kedua, kita
17 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
dituntut untuk berusaha terus-menerus mereinterpretasi pemahaman keagamaan kita, serta menemukan relevansinya dengan situasi masyarakat yang senantiasa berubah. Kita semua berusaha mendekati kebenaran hakiki tersebut, sebab hanya Tuhan Yang Maha Tahu. Boleh saja kita menginterpretasikan menurut kacamata kita, padahal untuk menginterpretasi ada banyak alat yang harus dilibatkan dalam rangka memahami atau menafsirkan suatu teks, di samping juga memahami faktor budaya, bahasa, dan politik. Misalnya tentang poligami, menurut saya, poligami adalah satu-satunya pintu yang sangat darurat. Kalau bisa jangan dibuka. Saya tidak percaya, laki-laki bisa berlaku adil. Dalam konteks kekinian, saya menganggap poligami cenderung mengeksploitasi perempuan. Kalau kita membaca sirah Nabi, beliau melakukan praktik poligami atas kepentingan kemanusiaan dan strategi penyebaran ajaran Islam. Yang dinikahi oleh Nabi semuanya janda-janda tua dan “miskin” (kecuali Aisyah) yang suami-suami mereka meninggal di medan perang dan meninggalkan anak-anak yatim. Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita semua untuk terus bersama-sama mengkaji pemahaman keagamaan kita, kemudian hasil kajian tersebut disosialisasikan dengan cara yang benar. Mengingat Ibu juga aktif di MUI, bagaimana peran MUI terhadap pemberdayaan perempuan? Di MUI ada ulama-ulama yang berpendapat bahwa Islam itu tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Bahkan kita bersama-sama berdiskusi mengenai
18 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
nasib para perempuan Indonesia. Meskipun demikian, saya tidak memungkiri ada sebagian masyarakat yang memandang MUI itu lebih dominan laki-lakinya. Hal ini disebabkan yang namanya ulama, sampai saat ini, banyak didominasi laki-laki, sehingga perempuan tidak terlihat sebagai ulama. Di MUI, komisi pemberdayaan perempuannya diberikan keleluasaan untuk mengambil langkah-langkah bagi pemberdayaan perempuan. Pada awal tahun 1995 ketika saya baru pertama kali masuk MUI, Ibu Mien Soegandi sudah mencanangkan kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan. Ketika itu sudah dibuat lokakarya tentang kesetaraan, bahkan mendapat dukungan dari tokoh MUI lainnya. Bentuk dukungan yang diberikan, misalnya ada beberapa tokoh MUI yang menjadi pembicara. Ada pemahaman yang cukup kuat di kalangan tokoh-tokoh MUI yang mengakui perempuan dan laki-laki adalah mitra yang sejajar.
Pesan apa yang ingin Ibu sampaikan kepada pembaca Swara Rahima dalam memperingati Hari Kartini dan semangat seperti apa yang patut diteruskan dalam kehidupan sehari-hari? Kartini adalah seorang perempuan yang terbelenggu tradisi pada jamannya. Ketika itu, Kartini hidup di jaman yang sama sekali tidak menghargai kaum perempuan. Namun, ia memiliki semangat untuk membebaskan kaum perempuan dari keterkungkungan, bahkan ia sendiri korban poligami. Semangatnya untuk membebaskan perempuan dari belenggu budaya yang 19 / 20
Opini Edisi 18: Agar Umat Tidak Mendzalimi Perempuan Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 08:45 -
membuat perempuan itu terbelakang, sudah sepantasnya kita hidupkan kembali. Berbeda dengan jaman Kartini, sekarang kita hidup di jaman kemajuan, perempuan sudah dapat meraih ilmu pengetahuan setinggi-tingginya, dan kesempatan juga terbuka sebesar-besarnya. Yang perlu kita perhatikan, bagaimana agar kita punya semangat yang bisa membuat perempuan itu maju, tetapi ia tetap tidak terlepas dari dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki tanggung jawab dan harga diri. Nah, bagaimana perempuan jaman sekarang punya harga diri yang tinggi, sehingga menjadi perempuan yang mempunyai sikap dan diteladani orang dan, yang tak kalah penting, tidak lepas dari bingkai agama.
20 / 20