ISSN 2406-7601
Jurnal
AGAMA BUDDHA DAN
ILMU PENGETAHUAN Hesti Sadtyad Sujiono
Pengembangan Instrumen Motivasional, Kepuasan Kerja dan Kinerja Guru Pendidikan Agama Buddha. Penerapan Metode SQ3R Pada Pembelajaran Komptensi Membaca Kritis
Suhartoyo, dkk
Korelasi Antara Upacara Pelimpahan Jasa (Pattidana) dengan Bhakti Anak Kepada Leluhur Di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah
Mujiyanto, dkk
Pengaruh Kompetensi Sosial Guru Pendidikan Agama Buddha Tersertifikasi Terhadap Pembinaan Umat Di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung
Mujiyanto
Pengaruh Disiplin Belajar Dan Keaktifan Kegiatan ekstrakurikuler Pendalaman Kitab Suci (PKS) Agama Buddha Terhadap Prestasi Belajar Mata Pelajaran Pendidikan Agama Buddha Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Kaloran Kabupaten Temanggung Tahun Ajaran 2011/2012
Hariyanto
Pengaruh Media Gambar dan Lagu Buddhis Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama Buddha
Sukodoyo
Motivasi Bekerja di Vihâra Pada Wanita Dewasa Awal (Studi Kasus Di Vihâra Tanah Putih Semarang)
Tri Yatno, dkk Untung Suhardi
Volume 1
Pengembangan Model Asesmen Otentik Pada Pendidikan Agama Buddha di Sekolah Dasar dalam Rangka Peningkatan Kinerja Guru Eksistensi Perempuan Hindu Kajian Nilai Pendidikan Etika Hindu Tentang Kedudukan Perempuan dalam Kitab Sarasamuccaya
Nomor 1
September 2014
31
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
KORELASI ANTARA UPACARA PELIMPAHAN JASA (PATTIDANA) DENGAN BHAKTI ANAK KEPADA LELUHUR DI KABUPATEN KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH THE CORRELATION STUDY ON THE MERITS TRANSFER CEREMONY (PATTIDANA) WITH CHILDREN’S DEVOTION TO THE ANCESTORS IN THE KEBUMEN DISTRICT OF CENTRAL JAVA Suhartoyo, Sujiono, Supartini, Jais Widodo, Situ Asih, Kustiani, Pujono
[email protected],
[email protected] Abstrak Bentuk bakti anak kepada orangtua setelah meninggal dunia salah satunya melakukan pattidana atau pelimpahan jasa. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara upacara pattidana dengan bhakti anak kepada leluhur di kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah. Dengan sampel 100 orang dari populasi yang berjumlah 1969 orang yang tersebar di beberapa Kecamatan. Data dikumpulkan melalui angket diolah dengan teknik analisis korelasi sederhana ganda dengan bantuan program SPSS. Hasil koefisien korelasi menunjukkan bahwa upacara patidana yang dilakukan oleh umat Buddha di kabupaten Kebumen memiliki hubungan yang sangat erat atau memiliki korelasi yang tinggi dengan bhakti anak terhadap leluhur, hal ini dapat dilihat dari tingkat signifikansi yang mencapai 0,00 dan Pearson Correlation yang mencapai 0,851.Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan: (1) meningkatkan bhakti anak terhadap leluhur, (2) mempertahankan upacara pelimpahan jasa, (3) adanya penelitian yang sejenis. Harapan dari penelitian ini dapat dijadikan pedoman anak jaman sekarang untuk berperilaku baik terhadap orangtuanya. Kata Kunci: pelimpahan jasa (pattidana), bhakti anak, leluhur. ABSTRACT The forms of children devotion to the parents after died one of them are doing pattidana or merits transfer ceremony. Based on this, the study aims to determine the relationship between the pattidana ceremony and children’s devotion to the ancestors in Kebumen district of Central Java province. With a sample of 100 peoples from a population of 1969 peoples spread over several districts. Data were collected through a questionnaire prepared by the simple technique of multiple correlation analysis with SPSS. The results showed that the correlation coefficient of patidana ceremony performed by Buddhist in Kebumen district has a very close relationship or have a high correlation with the children’s devotion to the ancestors, this can be seen from the significance level that reached of 0.00 and Pearson Correlation reached of 0.851. Based on these results can be suggested that: (1) increase the children’s devotion to the ancestors; (2) maintain the merits transfer ceremony; and (3) the existence of similar research. Expectations of this study can be used to guide children today for good behavior towards parents. Keywords: merit transfer (pattidana), children’s devotion, ancestor PENDAHULUAN Kehidupan manusia di dunia ini tidak terlepas dari jasa dan pengorbanan orangtua. Begitu besar jasa dan pengorbanan yang diberikan, sejak ibu mengandung, melahirkan, sampai anak beranjak dewasa dan menikah, bahkan sampai orangtua meninggal dunia. Orangtua selalu mencintai dan berusaha
membahagiakan anak-anaknya. mereka rela menderita, bahkan selalu bekerja keras mencari uang demi mencukupi kebutuhan hidup, seperti makan, pakaian dan pendidikan anak. Orangtua tidak pernah merasa bosan untuk mendidik dan membimbing anak. Mereka mengajarkan kemoralan dan kebaikan dengan harapan agar anak-anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang bermoral. Mereka
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
32
berusaha menumbuhkan hiri (malu berbuat jahat) dan ottappa (takut akan akibat perbuatan jahat), menanamkan ajaran cinta kasih, kerelaan memberi, menghormati yang lebih tua, toleransi, sopan santun, mempunyai tanggung jawab, dan lain-lain. Anak tidak menyadari bahwa anak yang luhur dan mulia seyogyanya berbakti kepada orangtua. Namun pada kenyataanya dijumpai anak yang tidak menghormati dan tidak patuh kepada orangtuanya. Mereka sering menentang, dan membangkang orangtuanya. Mereka tidak mengacuhkan teguran-teguran dan peringatanperingatan yang diberikan orangtuanya. Banyak pula anak-anak yang sukar dididik dan diatur. Mereka keras kepala, malas, dan dungu. Mereka tidak mempunyai keinginan untuk belajar. Mereka berteman dengan orang-orang jahat dan segera meniru kebiasaan-kebiasaan jahat tersebut. Anak-anak menjadi nakal, suka berkelahi, dan melakukan tindakan yang melanggar hukum. Sebagaimana diberitakan di Kompas pada hari Selasa (22/10/2013) telah terjadi kasus perkelahian antara siswa SMK YKTB Bogor dengan SMK Yatek Bogor. “Kepolisian Resot Bogor Kota menangkap dan menahan dua siswa SMK YKTB dan satu siswa SMK Yatek Bogor. Mereka terlibat dalam penganiayan yang hampir menewaskan Hendro Pratama Putra (15), siswa SMK PGRI 2. Tiga tersangka yang ditangkap yaitu AS (18) dan ASR (17) siswa SMK YKTB Bogor, dan RSM (16), siswa SMK Yatek Bogor. "Mereka menganiaya Hendro dalam tawuran sehingga korban kritis dan masih harus dirawat di rumah sakit," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bogor Kota Ajun Komisaris Candra Sasongko. Candra mengatakan, kasus ini berawal dari tawuran antara SMK YKTB dan SMK Yatek melawan SMK PGRI 2 di Jalan Empang. Tawuran pecah pukul 15.00 beberapa waktu lalu. Karena kalah jumlah, siswa PGRI 2 mundur. Saat itu, Hendro terpisah dari rombongan dan mencoba melarikan diri. Namun, anak ini dikejar oleh ketiga tersangka. Merasa terpojok dan tidak menemukan jalan keluar, Hendro nekat melawan tiga tersangka tetapi malah jadi bulan-bulanan. AS yang saat itu membawa pisau menusuk perut Hendro dan menyabet kepala Hendro. Akibatnya, Hendro roboh. Namun, penganiayaan belum selesai. RMS datang membawa batu dan menghantam kepala Hendro. ASR membantu memegang
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
kaki korban. Akibatnya fatal, korban luka parah. Hendro ditinggalkan begitu saja oleh ketiga tersangka. Hendro ditolong oleh warga dengan dibawa ke rumah sakit. "Korban gegar otak, tulang rusuk patah, dan luka tusuk," kata Candra. Akibat perbuatan itu, ketiga tersangka terancam dijerat pelanggaran Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan Pasal 80 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman minimal 7 tahun penjara. Candra mengatakan, meski tersangka berstatus pelajar, tetapi tindakan mereka tergolong kejahatan sebab telah direncanakan dan memakai senjata (Wiwiho, 2013).” Peristiwa di atas merupakan suatu perbuatan yang tidak menunjukkan bakti terhadap orangtua. Akibat perbuatan tersebut orangtau dari tersangka akan malu. karena gagal mendidik anaknya. Tawuran antar pelajar merupakan perbuatan yang menyakiti orangtua. Perilaku kurang berbakti masih banyak terjadi di masyarakat. Orangtua yang sudah meninggal kurang mendapat perhatian dari anak-anaknya. Di masyarakat dijumpai ada anak yang kurang menunjukkan rasa bakti kepada orangtua yang telah meninggal. Hal ini diketahui tidak semua anak melaksanakan pattidana terhadap orangtua. Setelah orangtua meninggal dunia, anak-anak patut melakukan pattidana. Di kalangan umat Buddha banyak mengenal pattidana, namun umat terkadang kurang memahami makna pelaksanaan tersebut. Umat cenderung melaksanakan pattidana kepada orangtua yang meninggal hanya pada hari-hari tertentu bahkan satu tahun dua kali. Tentu bila dibandingkan dengan pengorbanan dan jasa orangtua sangatlah tidak sebanding. Peneliti mendapatkan fakta terkait jarangnya pelaksanaan pattidana di Kecamatan Kuwarasan, Kecamatan Ayah, dan Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen. Berdasarkan hasil wawancara telah dilakukan peneliti pada tanggal 26 September 2013, dengan Bapak Parjo Dharmo Suwito selaku pengurus Vihara Bodhi Kirti di Desa Purwodadi, Kecamatan Kuwarsan, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah peneliti memperoleh informasi dari informan bahwa pelaksanaan pattidana yaitu saat peringatan hari Asadha dan Waisak (setahun dua kali). Pelaksanaan pattidana tidak mengundang bhikkhu. Peserta pattidana dari umat Buddha
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
33
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dan beberapa simpatisan. Saat pelaksanaan pattidana tidak semua umat mengikuti pattidana. Berdasarkan hasil wawancara dapat ditarik kesimpulan bahwa umat Buddha di Vihara Bodhi Kirti melaksanakan pattidana setahuan dua kali. Tidak semua umat di Vihara Bodhi Kirti melaksanakan pattidana kepada leluhur. Peneliti juga melakukan wawancara dengan umat Buddha di Desa Karangduwur, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 27 September 2013. Selama melakukan wawancara peneliti memperoleh informasi bahwa umat melaksanakan pattidana tiap malam minggu kliwon. Saat pelaksanakan pattidana umat yang mengikuti sebanyak 30 orang. Umumnya yang mengikuti pelimpahan jasa adalah di atas usia 25 tahun. Mengacu pada hasil wawancara di Desa Karangduwur dapat di ambil simpulan bahwa umat melaksanakan pattidana setiap hari malam minggu kliwon. Pada pelaksanakaan pattidana pesertanya adalah 30 dengan usia sebagian besar di atas 25 tahun. Masih banyak umat di Desa Karangduwur yang tidak melaksanakan pattidana. Pada tanggal 28 September 2013 saat peneliti melakukan wawancara dengan pengurus vihara Tirta Dharma Loka, Desa Sidarum, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen di peroleh informasi dari informan pelaksanaan pattidana di Candi Sewu saat menjelang peringatan hari Waisak. Umat memasang lentera-lentara yang dipersembahkan kepada leluhur. Umat mengadakan bakti sosial, melepas makhluk (fangsen) yang ditujuan untuk sanak keluarga yang telah meninggal. Tiap malam 17 Agustus mengadakan selamatan untuk para leluhur. Berpijak pada hasil wawancara di atas dapat di ambil simpulan bahwa pelaksanakan pattidana di Candi Sewu menjelang peringatan hari Waisak. Umat Buddha di Kecamatan Sempor juga melaksanakan pelimpahan jasa kepada leluhur dengan cara melaksanakan bakti sosial dan fangsen, dan selamatan tiap malam 17 Agustus. Pelaksanaan pattidana hanya satu tahun dua kali. Pelaksanaan pattidana merupakan wujudnyata bakti kepada leluhur. Anak bisa berbakti kepada leluhur akan membuahkan kebahagiaan karena telah membalas jasa para leluhur. Sebagaimana Sang Buddha jelaskan dalam Dhammapada bab XXIII ayat 332,
sebagai berikut, “Menghormati ibu membawa kebahagiaan, menghormati ayah juga membawa kebahagiaan. Melayani para bhikkhu membawa kebahagiaan. Memuja para Ariya membawa kebahagiaan (Widya, 2001: 135)” berdasarkan kutipas di atas dapat disimpulkan bahwa menghormati ayah dan ibu akan membuahkan kebahagiaan. Pelaksanaan pattidana merupakan bentuk penghormatan kepada ayah dan ibu yang telah meninggal. Anak yang melaksanakan pattidana telah melakukan perbuatan baik yang mendatangkan kebahagiaan. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Korelasi Antara Tradisi Upacara Pelimpahan Jasa (Pattidana) dengan Bhakti Anak Kepada Leluhur Di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah, dengan harapan dapat dijadikan pedoman anakanak zaman sekarang untuk berperilaku baik dan berbakti terhadap leluhur. KAJIAN TEORI Hakikat Pattidana Dikalangan umat Buddha tidak sedikit belum memahami pattidana sebagai yang terdapat dalam kamus bahasa Pali. Pattidana menurut kamus bahasa Pali mempunyai arti berdana dengan cara pelimpahan jasa. Pattidana juga diartikan sebagai memberikan inspirasi kebajikan/kebahagiaan bagi makhluk lain. Pattidana sering diterjemahkan sebagai “Pelimpahan Jasa”, walaupun pada kenyataan sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dilimpahkan (Widiyanto, 2011: p. 28-29). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pattidana sesungguhnya memberikan kondisi makhluk lain untuk melakukan kebaikan yang akan membuahkan kebahagiaan. Perbuatan baik yang dilakukan dapat dilakukan antara lain setelah melakukan jasajasa/perbuatan baik, maka seseorang (sanak keluarga) menyatakan bahwa perbuatan baik yang dilakukan atas nama leluhur yang telah meninggal agar mereka turut berbahagia. Dengan harapan supaya para leluhur mengetahui perbuatan baik yang telah dilakukan dan tumbuh pikirannya ikut berbahagia dalam batin sehingga dapat terlahir kembali di alam bahagia. Berdasar penjalasan di atas dapat disimpulkan bahwa Pattidana adalah pelimpahan jasa yang diperuntuhkan untuk para leluhur. Melalui Pattidana, lehuhur
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
34
diharapkan ikut berbahagia atas perbuatan yang baik yang dilakukan keluarga sehingga terkondisi terlahir di alam bahagia. Tradisi pattidana telah dilakukan dari generasi ke generasi. Sejarah pelaksanaan pelimpahan jasa (pattidana) terdapat dalam kitab suci “Petavatthu”, yang merupakan salah satu kitab bagian Kitab Suci Agama Buddha, Khuddakka-Nikāya, Sutta Pitaka, Tipitaka Pali. Disebutkan bahwa dalam sembilan puluh dua kalpa yang lalu ada sebuah kota bernama Kāsipurī. Bertahta seorang raja bernama Jayasena. Ratunya bernama Sīrimā. Dari kandungannya lahirlah Bodhisatta Phussa yang akhirnya menjadi Buddha. Raja Jayasena sangat melekat terhadap putranya. Dia berpikir Sang Buddha adalah milikku sendiri, Dhamma adalah milikku sendiri, Sangha adalah milikku sendiri. Sepanjang waktu dia melayani Beliau, tanpa memberikan kesempatan kepada siapapun. Ketiga saudara laki-laki Sang Buddha, adik-adiknya dari ibu yang lain, berpikir ‘Para Buddha memang muncul demi manfaat bagi seluruh dunia, bukan demi satu orang saja. Namun ayah tidak memberikan kesempatan kepada siapapun. Ketiga saudara lelaki, adik dari ibu yang lain kemudian berfikir tentang cara supaya dapat melayani Sangha. Mereka membuat rencana seolah-olah ada keributan di batas negeri. Ketika raja mendengar keributan tersebut, Ia mengirimkan tiga putranya ke perbatasan. Ketiga putranya itu pun pergi untuk menenangkan situasi di batas negeri. Ketika mereka kembali, raja amat senang dan ingin memberikan hadiah. Apapun yang diminta akan diberikan kecuali Sang Buddha. Namun ketiga putranya meminta supaya diizinkan untuk melayani Sang Buddha. Setelah berdiskusi panjang akhirnya raja mengizinkan. Sang Buddha memberikan persetujuan dengan berdiam diri. Akhirnya dengan mengenakan pakaian kuning, bersama dengan dua ribu lima ratus pelayan pria, ketiga putra raja mengiringi Sang Buddha serta komunitas para bhikkhu ke daerah. mereka melayani dengan penuh hormat, dan menyerahkan vihāra untuk mereka gunakan selama musin hujan. Bendahara kerajaan, putra seorang umat awam yang sudah menikah, memiliki keyakinan dan bakti yang amat besar. Dengan cermat dia memberikan apapun yang didanakan kepada komunitas para bhikkhu dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Penguasa daerah itu menerima segala dana yang dikirimkan, dan bersama dengan sebelas ribu penduduk pria di daerah itu mengatur pemberian dana dengan amat berhati-hati. Namun diantara ada beberapa yang memiliki pikiran yang korup. Mereka menyelewengkan pemberian dana itu, makan persembahan-jasa itu sendiri dan membakar ruang makan. Pada saatnya, para putra raja, wakil mereka di daerah itu, dan bendahara mereka meninggal dunia dan lahir kembali di surga bersama dengan kelompok para pembantu, sedangkan orang-orang yang berpikir korup itu lahir kembali di neraka. Sembilan puluh dua kalpa berlalu sementara dua kelompok orangorang lahir di satu surga ke surga lain dan di satu neraka ke neraka lain. Kemudian selama kalpa yang menjanjikan keberuntungan ini, yaitu pada zaman Buddha Kassapa, orangorang yang memiliki pikiran korup itu lahir di antara para peta. Pada saat itu, bila orang-orang memberikan dana atas nama sanak saudara yang menjadi peta, mereka memberikannya dengan mengatakan, ‘Biarlah dana ini untuk sanak saudara kami (Dan dengan itu) mereka mencapai kemuliaan. Ketika para peta melihat hal ini, mereka menghampiri Buddha Kassapa dan bertanya, ‘Bhante, bagaimana kami bisa (juga) mencapai kemuliaan seperti itu? Sang Buddha mengatakan, ‘kalian tidak akan mencapainya sekarang. Tetapi di masa depan akan ada Orang Yang Mencapai Pencerahan Sempurna bernama Gotama. Pada zaman Buddha Gotama ini akan ada seorang raja bernama Bimbisāra yang merupakan sanak saudaramu sembilan puluh dua kalpa yang lalu. Dia akan memberikan dana kepada Sang Buddha dan mempersembahkannya padamu. Pada saat itu kalian akan mencapai (kemuliaan seperti itu)’. Dikatakan bahwa ketika Buddha Kassapa berkata demikian, para peta tersebut merasa seolah-olah mereka sudah akan mencapainnya. Setelah Sang Buddha Gotama muncul di dunia dan melewatkan tujuh minggu (setelah pencerahan spiritual), pada waktunya Beliau tiba di Benares. Di situ Sang Buddha mulai memutar Roda Dhamma dan mengajar pertamatama pada Kelompok Lima Petapa, lalu tiga petapa berambut kumal dengan seribu pengikutnya, dan kemudiaan pergi ke Rājagaha. Di sana Sang Buddha membuat raja Bimbisāra memperoleh buah sotāpatti ketika mengunjungi Beliau pada hari itu juga, bersama dengan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
35
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
sebelas kelompok perumah tangga brahmana yang merupakan penduduk Aṅ ga-Magadha. Sang Buddha menerima undangan raja untuk makan di hari berikutnya, dan keesokan harinya Beliau memasuki Rājagaha, beserta Sakka, Raja para Dewa, yang menjelma menjadi seorang pemuda brahmana. Di kediaman raja, Sang Buddha menerima dana makanan yang melimpah. Pada saat itu, para peta berdiri di sekeliling rumah sambil berpikir, ‘Sekarang raja akan mempersembahkan dana ini untuk kami’. Tetapi ketika memberikan dana makanan itu, raja hanya memikirkan tentang tempat untuk vihāra Sang Buddha. Raja sibuk bertanya-tanya dalam hati, ‘Di mana seharusnya Sang Buddha berdiam?’, sehingga dia tidak mempersembahkan dana itu bagi siapapun. Karena tidak memperoleh persembahan dana dengan cara ini, harapan para peta menjadi sirna. Malam itu mereka menjerit-jerit dalam kesedihan yang amat yang mencekam dan mengerikan di sekitar tempat tinggal raja. Raja Bimbisāra menjadi gelisah, amat takut dan gemetaran. Ketika fajar menyingsing dia memberitahu Sang Buddha, ‘Saya mendengar suara mengerikan (tadi malam)! Apa yang akan terjadi pada saya, Bhante?’ Sang Buddha menjawab, ‘Janganlah takut, raja agung. Tidak ada hal buruk yang akan menimpamu, engkau akan baik-baik saja. Yang terjadi adalah bahwa sanak saudaramu di masa lampau telah lahir kembali di antara para peta’. Mereka telah berkelana selama satu masa jeda-Buddha dengan harapan bahwa engkau akan memberikan dana kepada seorang Buddha dan kemudian mempersembahkan dana itu kepada mereka. Tetapi ketika memberikan dana kemarin, engkau tidak mempersembahkannya bagi mereka. Rasa putus asa dan meratap dengan kesedihan yang amat mengerikan. ‘Yang Mulia, apakah mereka akan dapat menerimanya jika (dana) diberikan sekarang?’ (tanya raja itu)’. Ya, raja agung.’ ‘Kalau demikian, sudilah kiranya Yang Mulia menerima undangan saya untuk hari ini, dan saya akan mempersembahkan dana itu bagi mereka.’ Sang Buddha menyetujui dengan berdiam diri. Setelah siap, kemudian dia memberitahu Sang Buddha. Sang Buddha pergi ke ruangan makan istana bersama dengan komunitas para bhikkhu dan duduk di tempat yang telah disediakan. Para peta itu berpikir, ‘Hari ini kita akan memperoleh sesuatu’. Mereka pergi dan berdiri
di laur dinding dan lain-lain. Sang Buddha dengan kesaktiannya membuat para peta dapat dilihat oleh raja. Ketika memberikan dana air, raja mempersembahkan sambil berkata, ‘Biarlah ini untuk sanak saudaraku!’ Pada saat itu juga kolam-kolam teratai bermunculan bagi para peta itu, kolam tersebut penuh dengan teratai dan lilin air warna biru. Para peta mandi dan minum di dalam kolam-kolam itu. Dan karena kesedihan, keletihan dan kehausan mereka hilang warna mereka pun berubah menjadi keemasan. Raja memberikan bubur beras, makanan keras lunak, dan mempersembahkan semua itu. Pada saat itu juga bubur beras surgawi dan makanan-makanan keras serta lunak pun bermunculan. Ketika para peta memakannya kemampuan bantin para peta menjadi segar. Raja kemudian memberikan pakaian, tempat tinggal dan mempersembahkan semua itu. Maka pakaian dan istana-istana surgawi yang penuh dengan berbagai macam perabot, tempat duduk dan kain penutupnya, dan lain-lain muncul bagi para peta itu. Segala kemulian mereka ini ditampakkan bagi raja karena Sang Buddha telah menetapkan bahwa memang seharusnya demikian. Ketika raja melihat hal ini, dia merasa amat bersukacita. (Anggawati, 2001: p. 53-60) Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa sejarah kemunculan pelaksanaan pattidana bermula Raja Bimbisāra setelah mengetahui bahwa makhluk-makhluk peta yang mengganggunya merupakan saudaranya sendiri, akhirnya raja berdana minuman, makanan, tempat tinggal untuk Sangha. Melalui pelaksanaan pattidana sangat membantu para leluhur tertutama yang terlahir di alam peta. Makhluk peta merasakan manfaat langsung dari apa yang raja danakan, akhirnya mencapai kemuliaan dan terbebas dari alam peta karena terlahir kembali dialam surga. Pelimpahan jasa bagi orang meninggal didasarkan pada kepercayaan bahwa pada kematian seseorang perbuatan baik atau perbuatan buruk yang dilakukannya menentukan di alam mana ia akan terlahir kembali. Makhluk yang terlahir di alam yang lebih rendah tidak dapat menimbulkan jasa kebajikan baru dan mereka hidup dengan jasa yang diperoleh dari dunia ini. Ketika orang yang meninggal mengetahui bahwa sanak keluarganya melakukan perbuatan baik maka diharapkan ia menjadi gembira, dan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
36
kebahagiaan ini membebaskannya dari penderitaan. Dengan berbagai cara, sanak keluarga yang ditinggalkan berusaha untuk melakukan sesuatu yang dianggap dapat bermanfaat bagi leluhur yang telah meninggal. Terkait pelaksanaan pattidana Sang Buddha menjelaskan dalam Khuddaka Nikāya: Khuddaka Pāṭ ha, Tirokudda Sutta, sebagai berikut: “So they who are compassionate. At heart do give for relatives. Such drink and food as may be pure and good and fitting at these times. As water showered on the hill. Flows down to reach the hollow vale. So giving given here can serve. The ghosta of the departed kin. As riverbeds when full can bear. The water down to fill the sea. So giving geven here can serve. The ghosts of the departed kin. He gave to me, he worked for me. He was my kin, friend, intimate. Give gifts, then, for departed ones. Recalling what they used to do. But when this offering is given. Well placed in the Community. For them, then it can serve them long. In future and at once as well (Ñāṇ amoli, 2005: p. 231-239).” Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa para penyokong memberikan minuman dan makanan yang bersih, lembut dan sesuai dengan waktunya dengan bertekad demikian; ‘semoga pemberian ini melimpah kepada sanak keluarga yang telah meninggal. Semoga mereka berbahagia. Sebagaimana air hujan yang turun di dataran tinggi mengalir ke tempat rendah; demikian persembahan yang disampaikan oleh sanak keluarga dari alam manusia akan menuju ke para mendiang. Sebagaimana sungai yang meluap airnya akan mengalir memenuhi lautan;’ demikianlah persembahan yang disampaikan oleh sanak keluarga dari alam manusia akan menuju ke para mendiang. Orang yang mengenang budi yang mereka lakukan di waktu lampau bahwa, Ia memberi ini kepadaku. Ia melakukan hal ini untukku. Ia adalah kerabatku, sahabatku, dan temanku, patut memberikan persembahan dāna kepada mereka yang telah meninggal. Persembahan yang telah dihaturkan ini, yang disajikan dengan baik kepada Sangha, akan segera bermanfaat bagi mendiang itu sepanjang waktu yang lama. Sang Buddha menganjurkan cara yang lebih bijaksana bagi sanak keluarga yang telah meninggal, yaitu dengan berdana
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
makanan, minuman serta lain-lain kepada para Bhikkhu Sangha dan selanjutnya menyalurkan jasa kebajikan yang timbul dari pemberian dana ini kepada leluhur. Nagasena Thera menjelaskan dalam Kitab Milinda Panha bahwa penyaluran jasa tidaklah dapat diterima oleh orang mati yang telah terlahir kembali di alam surga, neraka atau binatang. Demikian pula yang terlahirkan kembali sebagai hantu (peta) yang makan ludah, dahak dan muntahan (vantasika), yang senantiasa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppipasika), dan yang senanti asa terberangus (nijjhamatadhika). Yang dapat menerima penyaluran jasa ialah setan yang memang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa, atau yang tergolong dalam hantu yang hidup berdasarkan dana dari orang lain (paradattupajivika peta). Dalam Tirokudda Sutta disebutkan bahwahantu Paradattupajivika adalah hantu yang apabila ia ikut berbahagia terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh keluarganya (manusia), maka ia dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan. Karena dengan ia ikut berbahagia (mudita), maka ia telah melakukan perbuatan baik (kusala kamma), walaupun kamma ini kecil bobotnya namun sangat membantu hantu tersebut untuk terbebas dari kehidupannya sebagai hantu kelaparan agar terlahir kembali di alam yang lebih baik. Jadi peta ini tertolong oleh karmanya sendiri yang dibuatnya melalui pikiran dengan memunculkan mudita. Penyaluran jasa kepada orang yang telah meninggal dunia hanya dapat dilakukan apabila orang yang telah meninggal dunia terlahir di alam hantu kelaparan (Peta) yaitu Paradattupajivika, yang bersangkutan juga sebaiknya mengetahui adanya penyaluran jasa yang ditujukan khusus kepada dirinya sehingga dapat berterima kasih atas kebajikan ini. Manfaat pelaksanaan pattidana dalam Tirokudda Sutta disebutkan bahwa hantu Paradattupajivika adalah hantu yang dapat merasakan turut berbahagia atas perbuatan baik yang dilakukan oleh sanak keluarganya (manusia), sehingga mereka dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan. Pelaksanaan pelimpahan jasa bermanfaat bagi makhluk lain, seperti yang diuraikan oleh Bhikkhu Nagasena kepada Raja Milinda:
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
37
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
”Siapapun, O baginda, yang memberikan persembahan, menjalankan moralitas dan memperaktikkan Uposatha, dia akan merasa gembira dan damai. Karena damai, kebajikannya bahkan menjadi makin melimpah. Bagaikan kolam yang segera terisi penuh lagi dari segala arah setelah air mengalir keluar dari satu sisi. Demikian juga, O baginda, jika seseorang mengirimkan kebajikan yang telah dilakukannya kepada orang lain, bahkan selama seratus tahunpun kebajikannya akan semakin tumbuh. Itulah sebabnya kebajikan begitu hebat ” (Pelasa, 1969: p. 161-162). Pelimpahan jasa adalah perbuatan luhur (karma luhur) yang dilakukan oleh orang yang masih hidup. Pikiran yang melakukan pelimpahan jasa di arahkan kepada sanak keluarga yang telah meninggal, dengan harapan bahwa mendiang mengetahui adanya perbuatan luhur ini dan menikmati jasa atau karma luhur ini. Bagi yang melakukan pelimpahan jasa; dengan tindakan’melimpahkan jasa’ merupakan tindakan yang identik dengan menimbun dan menambah karma luhur di dalam dirinya. Bersama dengan itu, tindakan ini juga sama berdampak pada terkikisnya karma rendah yang berpotensi pada penderitaan. Dengan proses pertukaran karma dari pelimpahan jasa ini yaitu menambah karma luhur dan mengurangi karma rendah, melahirkan kebahagiaan bagi yang melakukan pelimpahan jasa. Inilah proses terbentuknya kebahagiaan bagi yang melakukan pelimpahan jasa. Demikian pula bagi yang menerima pelimpahan jasa, yaitu mahluk-mahluk dan mendiang, jasa yang diterima merupakan bentuk karma luhur yang pada kondisi tertentu dapat mengikis karma rendah yang ada di dalam mahluk-mahluk itu. Disini juga terjadi proses pertukaran karma. Dengan proses pertukaran karma ini yaitu menambah karma luhur dan mengikis atau mengurangi karma rendah melahirkan kebahagiaan bagi yang menerima pelimpahan jasa. Inilah proses terbentuknya kebahagian bagi yang menerima pelimpahan jasa. Dengan pemahaman ini menunjukkan bahwa pelimpahan jasa terdapat dampak dan manfaat baik bagi yang melakukan pelimpahan jasa maupun yang menerima pelimpahan jasa. Pengamatan yang lebih seksama maka pelimpahan jasa merupakan proses bentuk pertukaran karma.
Bakti anak kepada leluhur Penghormatan kepada leluhur ini merupakan fenomena budaya yang universal yang terdapat dalam sebahagian besar masyarakat di dunia. Banyak berbagai bentuk budaya dalam penghormatan kepada leluhur, misalnya masyarakat Tionghoa (Cina) memberikan sesaji dan doa di klenteng atau tempat ibadah, masyarakat Batak Toba penghormatan kepada leluhur dilakukan dengan cara membuat tugu-tugu bagi para leluhurnya. Dalam masyarakat Jawa penghormatan kepada nenek moyangnya melakukan doa dan disertai dengan sesajian berbagai makanan seperti apem dan lain-lainnya. Begitu juga dengan pembangunan makam dengan bahan-bahan semen, keramik, batu-batuan, nisan, dan lainnya. Dalam kebudayaan Karo, penghormatan kepada leluhur ini, setelah dikubur dalam periode tertentu, maka tulang belulang leluhur dipindahkan ke kuburan baru. Ritual ini disebut dengan ngampaken tulan-tula. Hampir sama dengan suku karo, orang Toraja di Sulawesi melakukan penghormatan kepada leluhurnya dengan cara mengangkat jenazah leluhurnya ke kawasan pegunungan yang tinggi, dengan melibatkan upacara dan pemotongan kerbau. Wujud penghormatan kepada leluhur, selain dengancara upacara, juga menyertakan namanama leluhur ke dalam nama seseorang. Misalnya orang Tionghoa dan Korea memakai nama marga di depan namanya. Misalnya di Korea nama Park Jo Bong, berarti ia keturunan marga Park yang diturunkan secara patrialineal (pihak ayah). Begitu juga namaTionghoa Lim Swie King, berarti ia adalah keturunan marga Lim yang diturunkan secara patrilineal. Demikian juga orang Arab yang selalu menggunakan nama leluhurnya dengan cara memakai bin atau binti. Misalnya Abdullah bin Hasyim bin Amru. Berarti Abdullah adalah anak laki-laki dariHasyim, dan cucu dari Amru. Dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal pun, penghormatan leluhur ini salah satu caranya adalah menyertakan nama klen atau marga yang ditarik secara matrilineal. Misalnya Hajizar Koto, berarti ia adalah anak dari seorang ibu yang bermarga Koto. Demikian pentingnya penghormatan kepada leluhur ini, sampai-sampai agama pun menganjurkan untuk menghormati kedua orang tua.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
38
Kehidupan manusia didunia ini tidak terlepas dari jasa dan pengorbanan orang tuanya. Orangtua senantiasan melaksakan kewajiban dengan baik untuk membahagikan anak-anaknya. Sang Buddha pernah menerangkan di dalam Sigalovāda Sutta, Dīgha Nikāya tentang kewajiban orangtua terhadap anaknya. Ada lima cara, yaitu: 1) menjauhinya dari kejahatan; 2) mendukungnya dalam melakukan kebaikan; 3) mengajarinya beberapa keterampilan; 4) mencari istri yang pantas; dan 5) pada waktunya mewariskan warisan kepadanya (Walshe, 2009: p. 491). Lebih lanjut kewajiban orang tua terhadap anak Wowor (2004: p. 62) menjelaskan orang tua mempunyai tanggung jawab kepada anak adalah menghindarkan anak dari perbuatan yang tidak baik, menganjurkan anak untuk selalu berbuat baik dan berguna, memberikan pendidikan yang baik untuk anak. memiliki peran sebagai pola asuh bagi anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, menunjukkan otoritasnya, dan memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya (Tarmudji, 2011: p. 4). Berdasarkan pendapat Tarmudji orang tua berperan aktif dalam membangun interaksi dengan anakanaknya. Orang juga memberikan aturan-aturan demi kebapkan anak-anaknya. Orangtua senantiasa memberikan perhatian kepada anakanaknya dalam segala kondisi suka maupun duka. Salah satu peran orang tua adalah menjadi guru yang mendidik dan mengajar anaknya. Keluarga dengan penuh cinta kasih orang tua mendidik anaknya agar menghindari kejahatan dan menimbun kebaikkan. Anak yang mendapat pendidikan yang baik akan berbakti dengan menunjang orang tuanya (Mukti, 2006: p. 321). Berdasarkan penjelasan dari Mukti dapat disimpulkan bahwa orang tua berjasa dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua mendidik anaknya dengan penuh cinta kasih. Menurut Sang Buddha terdapat empat lapangan yang utama untuk menanam jasa kebajikan, yang pertama adalah para Buddha, yang kedua adalah para Arahat, yang ketiga adalah ibu dan terakir adalah ayah (Anggutara Nikaya 11. 4) dalam Enawaty, dkk., 2008: p.. 34). Ayah dan ibu merupakan ladangan yang subur untuk menanam kebajikan bagi anak yang berbakti dan tahu balas budi. Sunggguh beruntung, bagi anak laki-laki atau anak
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
perempuan yang memiliki ibu dan ayahnya yang terkasih, sehingga mereka dapat setiap saat mempersembahkan kasih sayang dan ungkapan terima kasih kepada orangtuanya. Sebagai anak yang berbakti hendaknya melaksanakan kewajiban anak terhadap orang tua. Ada lima cara bagi seorang putra untuk melayani ibu dan ayahnya sebagai arah timur. [Ia harus berpikir;] “Setelah disokong mereka, aku harus menyokong mereka. Aku harus melakukan tugas-tugas mereka untuk mereka. Aku harus menjaga tradisi keluarga. Aku akan berharga bagi silsilahku. Setelah orangtuaku meninggal dunia, aku akan membagikan persembahan mewakili mereka.” (Walshe, 1995: p. 490). Dalam Itivuttaka IV dijelaskan ibu dan ayah disebut Brahma ‘guru awal’ dan pantas dipuja,’ karena penuh kasih sayang terhadap anak-anak mereka. Maka orang bijaksana harus menghormati ibu dan ayahnya. Memberi mereka penghormatan yang sesuai. Menyediakan makanan dan minuman bagi mereka. Memberi mareka pakaian dan tempat tidur, meminyaki dan memandikan mereka serta membasuh kaki mereka. (Ireland, 1998. p. 122). Berdasarkan kutipan di atas dapat tarik simpulan bahwa sebagai anak yang berbakti sudah sepantasnya memberikan penghormatan kepada orang tua. Anak yang berbakti akan memperoleh manfaat yang berupa kebahagiaan. Hal ini sangat relevan dengan ajaran Buddha yang terdapat di Dhammapada bab XXIII ayat 332, Sang Buddha bersabda: Sukhā matteyyatā loke, Atho petteyyatā sukhā, Sukhā sāmaññatā loke, Atho brahmaññatā sukhā. Artinya: Menghormati ibu membawa kebahagiaan, menghormati ayah juga membawa kebahagiaan. Melayani para bhikkhu membawa kebahagiaan. Memuja para Ariya membawa kebahagiaan. (Sarada, 1994: p. 134) Lebih lanjut dalam Itivutaka di jelaskan “Bahwa dia melakukan pelayanan terhadap ibu dan ayahnya, mereka memuji orang bijaksana itu di sini juga dan setelah kematian dia bersuka citta di alam surga (Ireland, 1998. p. 122). Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan berbakti kepada orang tua merupakan sebuah
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
39
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
kebahagiaan. Seorang anak yang berbakti kepada orang tua akan di puji oleh para bijaksana dan setelah meninggal dunia akan terlahir di alam bahagia.
Provinsi Jawa Tengah yang berjumlah 1863 orang yang tersebar di beberapa Kecamatan. dan dapat digambarkan dalam tabel berikut ini:
METODE PENELITIAN
Tabel 1. Data Statistik Umat Buddha di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah Per Januari Tahun 2013
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian tentang data yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk angka-angka, meskipun juga terdapat data kualitatif sebagai pendukungnya. Seperti katakata atau kalimat yang tersusun dalam angket, kalimat hasil konsultasi atau wawancara antara peneliti dan informan. Sesuai permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah ada atau tidak adanya hubungan antara variabel satu dengan yang lainnya, yaitu suatu pertanyaan penelitian yang ingin meneliti apakah ada hubungan antara Upacara Pelimpahan Jasa dengan Bhakti anak terhadap leluhur pada masyarakat Budhis di Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah. Untuk mengetahui hubungan ini, maka penelitian ini berjenis expost facto, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengambil data-data atau kejadian yang sudah berlalu untuk ditarik hasil/kesimpulan. Penelitian ini sering disebut restropective study karena penelitian ini menelusuri kembali terhadap suatu peristiwa atau suatu kejadian dan kemudian merunut ke belakang untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejadian tersebut. Penelitian bersifat ex post facto artinya data dikumpulkan setelah semua kejadian yang dipersoalkan berlangsung (lewat). Peneliti mengambil satu atau lebih akibat (sebagai “dependent variable”) dan menguji data itu dengan menelusur kembali masa lampau untuk mencari sebab-sebab, saling hubungan, dan maknanya (Slamet, 2007: p. 35-36). Jadi hal yang dilakukan penelitian mengambil data-data atau kejadian mengenai pelaksanaan upacara pelimpahan jasa (pattidana) yang telah dilaksanakan umat Buddha di Desa Sidoarum, Desa Purwodadi, dan Desa Karangduwur dan ditarik hasil/kesimpulan. Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini mengambil lokasi 3 desa yakni: Desa Sidoharum, Desa Purwodadi, dan Desa Karangduwur. Waktu penelitian selama enam bulan, sejak bulan Juli 2013 sampai dengan bulan Desember 2013. Populasi penelitian ini adalah umat Buddha di Kabupaten Kebumen,
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
17
Alamat (Desa Jumlah - Kecamatan) KK Sidoharum – 66 Sempor Wanareja – 20 Karanganyar Jl kol 20 Sugiyono 21 Kebumen Purwodadi – 111 Kuwarasan Sitiadi – 26 Puring Wanadadi – 16 Buayan Jagamulya22 Buayan Sikayu – 15 Buayan Gumawang 9 Kuwarasan Karangduwur 117 – Ayah Wonoharjo – 17 Rowokele Wonoharjo – 60 Rowokele Wonoharjo – 25 Rowokele Giyanti – 75 Rowokele Giyanti 22 Rowokele Jl. Mangga No.14 25 Gombong Jl pramuka No.41 22 Kebumen Jumlah 668
Jumlah Umat
Pembina
205
SAGIN
45
STI
48
SAGIN
357
STI
63
STI
45
STI
62
NSI
24
STI
12
STI
375
STI
57
STI
201
STI
25
STI
199
SAGIN
60
STI
40
TRI DHARMA
45
TRI DHARMA
1863
Cara pengambilan sampel adalah secara acak atau random. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
40
Data hasil penelitian sampel selengkapnya disajikan pada tabel 3 berikut: Tabel 2. Sampel Penelitian No Desa
Jumlah Populasi
1
Sidoharum
205
2
Karangduwur
357
3
Purwodadi
375
JUMLAH
937
Penghitungan Jumlah Jumlah Sampel Sampel (100/937 . 205) 22 = 22 (100/937 . 357) 38 = 38 (100/937 . 375) 40 = 40 100 100
Metode pengumpulan data melalui dokumentasi, angket (kuesioner) dan wawancara. Analisis dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen baik yang berada di BPS Kabupaten Kebumen, Kantor Wilayah Kementrian Agama Provinsi Jawa Tengah ataupun yang berada di masing-masing Vihara yang berada di wilayah Kabupaten Kebumen, yang ada hubungannya dengan penelitian tersebut. Guba dan Lincloln (dalam Sukmadinata, 2006: p. 216) mengemukakan dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film. Dokumentasi dalam penelitian digunakan untuk mengumpulkan data tentang hubungan antara Upacara Ulambana dengan Bhakti anak terhadap leluhur. Angket merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menggunakan pertanyaan yang harus dikerjakan atau dijawab oleh orang yang meliputi sasaran angket tersebut. Dalam penelitian ini, angket digunakan untuk mengumpulkan data tentang upacara pelimpahan jasa (pattidana) dan bhakti anak terhadap leluhur. Penelitian ini menggunakan angket tertutup dalam bentuk skala sikap dari Linkert, berupa pertanyaan atau pernyataan yang jawabannya berbentuk skala deskriptif. Variabel merupakan sesuatu hal yang menjadi titik perhatian penelitian, dalam hal ini yang menjadi variabel adalah Upacara pelimpahan jasa (pattidana) dan Bhakti anak terhadap leluhur. Definisi Operasional variabel penelitian ini adalah: 1. Pelimpahan jasa yang diartikan sebagai perbuatan diperuntukkan untuk para leluhur. Melalui Pattidana lehuhur diharapkan ikut berbahagia atas perbuatan yang baik yang dilakukan keluarga sehingga terkondisi terlahir di alam bahagia.
2. Bhakti anak terhadap leluhur adalah anak menunjukkan rasa bakti kepada orangtuanya yang walaupun orangtuanya telah meninggal dunia. Seorang anak akan memberikan penghormatan kepada orangtuanya walaupun telah meninggal dunia. Sebagai bentuk rasa bakti anak kepada orangtua akan melakukan pelimpahan jasa kepada orangtuanya yang telah meninggal. Anak yang baik akan banyak melakukan perbuatan jasa, misalnya; 1) mempersembahkan makanan, jubah, obat-obatan kepada anggota Sangha; 2) banyak berdana kepada korban bencana alam, anak yatim piatu, para tuna netra atau orang jompo; 3) melepaskan binatangbinatang yang akan mati disembelih; 4) mencetak buku-buku Dhamma yang kemudian kebagikan kepada mereka yang membutuhkan; 5) berdana untuk pembangunan atau pemeliharaan vihara; dan bermeditasi. Penelitian ini menggunakan angket tertutup dalam bentuk skala sikap dari Linkert, berupa pertanyaan atau pernyataan yang jawabannya berbentuk skala deskriptif. Angket tertutup untuk mengungkap data tentang Upacara Ulambana. Pada bagian ini yang diungkap meliputi Pemahaman umat Buddha mengenai Upacara Ulambana, Frekuensi pelaksanaan Ulambana dan lain-lain. Alternatif jawaban menggunakan skala linkert dengan lima alternatif jawaban, misalnya sangat setuju (SS), Setuju (S), Tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skor untuk jawaban dari pertanyaan atau pernyataan positif adalah SS=4, S=3, TS=2, dan STS=1, sedangkan untuk pertanyaan atau peryataan negatif, skor sebaliknya. Dalam penelitian, data mempunyai kedudukan yang paling tinggi, karena data merupakan penggambaran variabel yang diteliti dan berfungsi sebagai alat pembuktian hipotesis. Benar tidaknya data, sangat menentukan bermutu tidaknya hasil penelitian. Sedang benar tidaknya data, tergantung dari baik tidaknya instrumen pengumpulan data. Teknik analisis data dalam penelitian ini meliputi; 1) deskripsi data; 2) uji persyaratan analisis. Uji persyaratan analisis itu meliputi uji normalitas dan uji Hipotesis.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
41
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
Pengumpulan data dalam penelitian ini di lakukan di wilayah Purwodadi, Karangduwur, dan Sidoharum dengan jumlah responden yang tercantum dalam tabel berikut ini: Tabel 3. Jumlah Sampel Penelitian No Wilayah 1 Sidoharum 2 Karangduwur 3 Purwodadi JUMLAH
Correlations
DAN
Jumlah Sampel 22 38 40 100
Penelitian diawali dengan melakukan observasi atau pengamatan, yakni observasi mengenai keadaan umat di wilayah kabupaten Kebumen, dalam hal ini meliputi data jumlah umat dan vihara yang berada di wilayah Kebumen. Dilanjutkan dengan observasi mengenai Upacara Patidana yang dilakukan oleh umat Buddha, selain itu peneliti membuat kuisioner dengan tujuan memperoleh data sebanyak mungkin untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan antara upacara Patidana dengan bhakti anak terhadap leluhurnya. Kuesioner yang telah dibuat oleh peneliti dibagikan kepada responden, langkah pertama peneliti membagikannya kepada 30 orang umat yang dipilih secara acak untuk menguji apakah kuisioner yang telah dibuat memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan dapat diketahui bahwa dari 10 daftar pertanyaan yang dberikan kepada umat, semua memiliki validitas dan reliabilitas yang cukup baik, hal ini diketahui dari uji Corelations yang menunjukkan tingkat signifikan dibawah 5 % atau 0.05. Tabel di bawah ini merupakan hasil uji korelasi dari 5 pertanyaan mengenai upacara Patidana yang diujikan kepada responden memiliki validitas yang baik:
tanya1 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N tanya2 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N tanya3 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N tanya4 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N tanya5 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
tanya1 tanya2 tanya3 tanya4 tanya5 .858(* 1 .902(**) .898(**) .869(**) *) .000 .000 .000 .000 30 30 30 30 30 .858(**)
1 .738(**) .800(**) .809(**)
.000 30
.000 .000 .000 30 30 30 30 .738(* 1 .799(**) .767(**) *) .000 .000 .000 30 30 30 30 .800(* .799(**) 1 .682(**) *) .000 .000 .000 30 30 30 30 .809(* .767(**) .682(**) 1 *) .000 .000 .000 30 30 30 30
.902(**) .000 30 .898(**) .000 30 .869(**) .000 30
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Melihat tingkat signifikansi yang mencapai 0.00, maka dapat dikatakan bahwa 5 pertanyaan mengenai upacara Pattidana yang diujikan kepada 30 responden memiliki tingkat validitas yang baik, sehingga layak untuk diujikan kepada keseluruhan sampel untuk penelitian ini. Selain itu dapat diketahui juga dari hasil uji reliabilitas, bahwa 5 pertanyaan mengenai Upacara Pattidana memiliki reliabilitas yang tinggi, hal ini dapat dibuktikan dengan hasil SPSS yang menunjukkan hasil seperti berikut ini: Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items 5 .954 Melihat angka 0.954, maka dapat dikatakan bahwa 5 instrumen untuk mengetahui upacara Pattidana memiliki reliabilitas yang cukup tinggi dan layak untuk diujikan kepada keseluruhan sampel penelitian. Selanjutnya mengenai 5 pertanyaan untuk mengetahui Bhakti anak kepada leluhur, berikut ditampilkan hasil uji korelasi untuk mengetahui validitas soal yang diujikan kepada 30 orang responden.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
42
Correlations tanya 2 tanya3 tanya4 tanya5 .879( .823(** .715(** .835(** 1 **) ) ) )
tanya1 tanya Pearson 1 Correlation Sig. (2tailed) N tanya Pearson 2 Correlation Sig. (2tailed) N tanya Pearson 3 Correlation Sig. (2tailed) N tanya Pearson 4 Correlation Sig. (2tailed) N tanya Pearson 5 Correlation Sig. (2tailed) N
.000 30 .879(** )
.000
.000
30
30 30 30 .776(** .775(** .887(** 1 ) ) )
.000
.000
30 30 .823(** .776( ) **)
.000
30
.000
30
30 .679(** 1 )
.000
.000
30 30 30 30 .835(** .887( .886(** .679(** ) **) ) ) .000 .000
.000
30 30 .728(** .886(** 1 ) )
30 30 30 .715(** .775( .728(** ) **) ) .000 .000
.000
30
.000 .000
30
.000
.000
.000
30
30
30 1
30
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, 5 pertanyaan untuk mengetahui bhakti anak kepada orang tua memiliki tingkat signifikansi yang sangat baik yakni: 0.00, dengan begitu dapat dikatakan bahwa 5 soal tersebut layak untuk diujikan kepada keseluruhan sampel karena memiliki validitas yang baik. Selain uji validitas, peneliti juga melakukan uji reliabilitas untuk mengetahui tingkat reliabilitas ke 5 soal untuk mengetahui bhakti anak kepada leluhur, berdasarkan uji reliabilitas, maka dapat diketahui bahwa 5 soal berikut memiliki reliabilitas yang cukup tinnggi, yaitu 0.952 dan seperti yang tergambar dalam tabel berikut ini: Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items 5 .952 Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa 10 soal yang terdiri dari 5 pertanyaan untuk mengetahui upacara pattidana dan 5 pertanyaan untuk mengetahui bhakti anak kepada leluhur, maka semua memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang sangat baik,
sehingga layak untuk keseluruhan sampel.
diujikan
kepada
Analisis Data Setelah kuisioner diuji cobakan kepada 30 orang responden maka selanjutnya peneliti melakukan penelitian lanjutan, yaitu dengan menyebarkan kuisioner kepada keseluruhan sampel yang berjumlah 100 orang yang menyebar di 3 wilayah yakni, Purwodadi sebanyak 40 orang responden, Karangduwur sebayak 38 orang responden, dan Sidoharum sebanyak 2 orang responden, sehingga total responden dalam penelitian ini adalah 100 orang. Setelah kuisioner terkumpul, maka selanjutnya dilakukan pengolahan data. Karena untuk mengetahui seberapa kuat upacara pelimpahan jasa (Pattidana) memiliki hubungan dengan bhakti anak kepada leluhur, maka metode yang digunakan untuk mengolah data adalah dengan corelations dimana menurut Suharsimi Arikunto (1997: 251) bahwa koefisien korelasi adalah suatu alat statistik yang dapat digunakan untuk membandingkan hasil pengukuran dua variabel yang berbeda agar dapat menentukan tingkat hubungan antar variabel-variabel tersebut. Berdasarkan pengolahan data mentah dengan menggunakan SPSS for Windows 15.00, maka dapat ditampilkan hasil seperti berikut ini; Correlations Pati dana Pati dana
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed) N Bhakti an Pearson Correlation ak Sig. (2-tailed) N
Bhakti Anak 1
.851(**)
100
.000 100
.851(**)
1
.000 100
100
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Dengan melihat hasil pengolahan data tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa upacara Patidana yang dilakukan oleh umat Buddha di kabupaten Kebumen memiliki hubungan yang sangat erat atau memiliki korelasi yang tinggi dengan bhakti anak terhadap leluhur, hal ini dapat dilihat dari tingkat signifikansi yang mencapai 0.00 dan Pearson Correlation yang mencapai 0.851. Dimana menurut Suharsimi Arikunto korelasi
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
43
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
yang mencapai nilai 0.800 sampai dengan 1.00 memiliki interpretasi yang sangat tinggi. Hasil penelitian ini relevan dengan apa yang telah disabdakan oleh Buddha yang tertuang dalam dalam Khuddaka Nikāya bagian Khuddaka Pāṭ ha, di Tirokudda Sutta (dalam Ñāṇ amoli, 2005: 231-239) sebagai berikut: “Para penyokong memberikan minuman dan makanan yang bersih, lembut dan sesuai dengan waktunya dengan bertekad demikian; semoga pemberian ini melimpah kepada sanak keluarga yang telah meninggal. Semoga mereka berbahagia. Sebagaimana air hujan yang turun di dataran tinggi mengalir ke tempat rendah; demikian persembahan yang disampaikan oleh sanak keluarga dari alam manusia akan menuju ke para mendiang. Sebagaimana sungai yang meluap airnya akan mengalir memenuhi lautan; demikianlah persembahan yang disampaikan oleh sanak keluarga dari alam manusia akan menuju ke para mendiang”. Orang yang mengenang budi yang mereka lakukan di waktu lampau bahwa, Ia memberi ini kepadaku. Ia melakukan hal ini untukku. Ia adalah kerabatku, sahabatku, dan temanku, patut memberikan persembahan dāna kepada mereka yang telah meninggal. Persembahan yang telah dihaturkan ini, yang disajikan dengan baik kepada Sangha, akan segera bermanfaat bagi mendiang itu sepanjang waktu yang lama. Jadi pelaksanaan upacara pelimpahan jasa (pattidana) memiliki hubungan terhadap bhakti anak kepada leluhur di Kabupaten Kebumen. Pelaksanaan upacara pelimpahan jasa (pattidana) sangat bermanfaat untuk para leluhur yang telah meninggal dunia. Sebagai mana sabda Sang Buddha yang telah diuraikan di atas sangatlah jelas bahwa upacara pelimpahan jasa (pattidana) sangat bermanfaat untuk para leluhur. Makna upacara pelimpahan jasa antara lain Pertama, kita mempunyai kesempatan untuk mengingat jasa kebajikan dan nasehat yang telah diucapkan almarhum semasa hidupnya. Dengan demikian, keluarga akan dapat melaksanakan berbagai nasehat tersebut sebagai perwujudan cinta kasih keluarga kepada almarhum. Kedua, kita mempunyai kesempatan untuk mengingat berbagai pesan, niat, maupun cita-cita yang telah pernah almarhum sampaikan. Apabila ada ucapan atau niat almarhum yang belum tercapai, maka dengan upacara pelimpahan jasa ini, setelah diingat, maka pihak keluarga hendaknya mempunyai
kesepakatan dan tekad untuk mewujudkan citacita, keinginan yang telah almarhum sampaikan itu. Dan yang ketiga, yang paling penting adalah bahwa upacara pelimpahan jasa adalah merupakan kesempatan untuk keluarga almarhum melakukan kebajikan atas nama almarhum. Setelah melakukan kebajikan, maka keluarga dapat mengucapkan tekad: “Semoga dengan perbuatan baik ini, almarhum akan memperoleh kebahagiaan di kelahiran yang sekarang, demikian pula dengan keluarga yang ditinggalkan semoga akan selalu memperoleh kekuatan, kebaikan dan manfaat dari wafatnya beliau.” Tiga manfaat besar tersebut yang merupakan wujud bakti anak kepada orangtuanya yang telah meninggal dunia SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan penelitian yang telah dilakukan, maka hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa upacara patidana yang dilakukan oleh umat Buddha di kabupaten Kebumen memiliki hubungan yang sangat erat atau memiliki korelasi yang tinggi dengan bhakti anak terhadap leluhur, hal ini dapat dilihat dari tingkat signifikansi yang mencapai 0.00 dan Pearson Correlation yang mencapai 0.851. Dimana menurut Suharsimi Arikunto korelasi yang mencapai nilai 0.800 sampai dengan 1.00 memiliki interpretasi yang sangat tinggi. Mengacu pada hasil simpulan dalam penelitian ini umat Buddha selayaknya meningkatkan kegiatan upacara pelimpahan jasa (pattidana), sebab akan bermanfaat bagi leluhur/sanak saudara yang telah meninggal. Bagi pemuka agama ataupun tokoh masyarakat, perlu sosialisasi yang lebih giat terkait pentingnya upacara pelimpahan jasa (pattidana). Semoga penelitian ini dapat meningkatkan keyakinan akan Buddha Dhamma. Semoga manfaat upacara pelimpahan jasa ini dapat benar-benar dihayati oleh seluruh anggota keluarga almarhum, sehingga pada akhirnya dapat memberikan kebahagiaan kepada almarhum dan juga memberi kebahagiaan kepada keluarga yang ditinggalkan. DAFTAR PUSTAKA Anggawati, Lanny dan Wena Cintiawati. 2001. Petavatthu Cerita-cerita Makhluk Peta
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
44
Kitab Suci Agama Buddha. Klaten: Vihāra Bodhivaṁsa. Enawaty, Eny, dkk. 2009. Membangun Keluarga Bahagia Sejahtera dari Prespektif Agama Buddha. Ed. Emy Enawaty. Jakarta: BKKBN Bekerjasama dengan Departemen Agama RI dan WALUBI. Ireland, John D. 1998. The Buddha’s Saying. Penerjemah Anggawati Lanny dan Cintiawati Wena. 2007. Itivuttaka. Ed. Jotidhammo. Bandung: Lembaga Anagarini Indonesia. Mukti,
Krishnanda Wijaya. 2006. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan.
Ñāṇ amoli, 2005. The Minor Readings (Khuddakatāṭ tha). Oxford: The Pali Text Society. Pelasa, 1969. The Debate of King Milinda an Abridgement of The Milinda Pañha. Penerjemah Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati. edisi pertama. 2002.
Petikan Milinda Pañha Kitab Suci Agama Buddha. Klaten: Wisma Meditasi Dhammaguna. Sarada, Weragoda. 1994. Treasury of Truth. Penerjemah Widya Surya. Cetakan keenam. 2009. Dhammapada. Jakarta: Yayasan Abdi Dhamma Indonesia. Tarmudji, Tarsis. 2001. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Agresivitas Remaja. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Walshe, Maurice. 2009. The Long Discourses of the Buddha A Translation of the Dīgha Nikāya. Penerjemah DhammaCitta: Jakarta Widiyanto, Tri. 2011. Pattidana: Jalan Membebaskan Leluhur dari Alam Penderitaan. Yogyakarta: Vihara Karangdjati. Wowor, Cornelis. 2004. Pandangan Sosial Agama Buddha. Jakarta: CV Nitra Kencana Buana.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENGETAHUAN
1. Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan memuat hasil hasil penelitian, maupun
kajian yang terkait dengan hasil penelitian pengembangan, maupun penelitian penerapan dalam bidang Agama Buddha maupun Ilmu Pengetahuan. Artikel yang dikirim ke redaksi belum pernah dipublikasikan dan dikemas kembali sesuai dengan format artikel jurnal. 2. Panjang naskah + 20 halaman A4, satu setengah spasi, Times New Roman, font 11, dan ditulis menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. 3. Artikel ditulis dengan ketentuan sebagai berikut: a. Judul maksimal 15 kata, dengan font 14. Peringkat judul disusun sebagai berikut: PERINGKAT SATU (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, font 14, di tengah-tengah halaman) PERINGKAT DUA (HURUF BESAR, TEBAL, di tengah-tengah) PERINGKAT TIGA (HURUF BESAR, TEBAL, di tengah-tengah) b. Nama penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul: untuk Tim semua nama penulis dicantumkan c. Nama instansi ditulis di bawah nama: email ditulis di bawah nama instansi d. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris, satu spasi, 100-200 kata, satu paragraf dan font 11. e. Kata kunci merupakan inti permasalahan, bisa satu kata atau lebih, ditulis miring di bawah abstrak dengan jarak satu spasi. f.
Batang tubuh artikel: artikel kajian terdiri dari Pendahuluan (permasalahan, kerangka pikir, dan atau kerangka analisis), sub-sub judul pembahasan, dan kesimpulan; sedangkan artikel hasil penelitian terdiri dari pendahuluan ( latar belakang permasalahan, dan landasan teori), metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, kesimpulan, dan saran.
4. Kutipan harus disebutkan nama pengarang, tahun ,dan p. nomor halaman. Contoh: (Triyatno, 2014, p.89). kutipan langsung (persis aslinya) lebih dari tiga baris ditulis satu spasi, rata kiri dan menjorok ke kanan 7 ketukan. 5. Artikel rangkap dua disertai soft copynya dikirim ke sekretariat redaksi Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan, penulis dari lar kota bisa mengirimkan artikel secara elektronik melalui email:
[email protected] 6. Daftar pustaka disusun dengan tata cara s merujuk pada APA style dan diurutkan secara alfabetis nama pengarang.
Penerbit Yayasan Cipta Sarana Budhi Bekerjasama dengan Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah