ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
TESIS PERLINDUNGAN HUKUM MASYARAKAT HUKUM ADAT PEMEGANG HAK ULAYAT
Oleh WAHYU ARSYANTUTI, S.H. NIM 030610128 – N
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2009
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
LEMBAR PERSETUJUAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL: JUMAT, 30 JANUARI 2009
Oleh: Pembimbing
SUMARDJI, S.H., M.Hum NIP . 131 470 994
Mengetahui Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya
Prof. Dr. H. Basuki Rekso Wibowo, S.H., MS. NIP. 131 286 714 ii Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini diuji oleh Panitia Penguji Tesis Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Pada hari : Jumat, 30 Januari 2009
Panitia Penguji Tesis :
Ketua
: Prof. Dr. Eman Ramelan, S.H., MS.
Anggota
:
1. Sumardji, S.H., M.Hum.
2. Urip Santoso, S.H., MH.
iii Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga penulisan tesis berjudul “PERLINDUNGAN
HUKUM
MASYARAKAT
HUKUM
ADAT
PEMEGANG HAK ULAYAT”, dapat saya selesaikan. Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Program Pasca Sarjana. Saya menyadari bahwa selesainya penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan, pengarahan, bimbingan serta dorongan yang begitu besar dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini, perkenankanlah saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., M.Si., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga; 2. Bapak Sumardji, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu dalam menyelesaikan tesis saya dan telah membantu dalam ujian tesis;
iv Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3. Bapak Prof. Dr. Eman Ramelan, S.H., M.S., selaku Ketua Penguji Tesis serta dosen yang telah membagi ilmu dan memberi bantuan kepada saya sehingga saya dapat mengikuti ujian tesis; 4. Bapak Urip Santoso, S.H., M.H, selaku Penguji Tesis serta dosen yang telah membagi ilmu kapada saya; 5. Bapak Prof. Dr. H. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S., selaku Ketua Program
Magister
Kenotariatan
Fakultas
Hukum
Universitas
Airlangga Surabaya; 6. Seluruh Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang telah memberikan wawasan, ilmu serta teori-teorinya; 7. Mbak Emi, Bapak Amir dan seluruh karyawan-karyawati Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang setiap saat bekerja untuk membantu mengatur program perkuliahan; 8.
Papaku, terima kasih atas bimbingannya mendidik saya menjadi orang yang mandiri (tidak cengeng lagi) serta dorongannya baik materi maupun doanya sehingga menghantarkan aku sampai memperoleh gelar magister;
v Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
9.
Ibuku, terima kasih atas dukungan materi dan doanya sehingga aku dapat memperoleh gelar magister, Tawon (yang ipk-nya lagi turun) dan dodot (yang selalu tanya kapan aku ujian tesis);
10. Adhie, I hope we loving together forever , terima kasih menemani dan memberi dukungan sampai hari ini sehingga aku dapat memperoleh gelar magister dan mbak Rara yang senang kalo diajak nganter kuliah (We are my sweet family); 11. Temen-temenku kuliah Ayu, Mbk Joice, Mbk diah, Mbk oxy (thanx telah menemani dan memberiku semangat selama aku sidang tesis); 12. Bapak Amir Fatah, Drs, M. Hum, selaku Director of Pinlabs yang telah memberiku bantuan dengan meluangkan waktu untuk memberi lagi aku materi grammar sampai aku dapat lulus test elpt sehingga aku dapat mengikuti sidang tesis serta terima kasih atas nasehatnya; 13. Pak Edi, yang telah membantu dalam penyelesaian tesis saya ini dan Mas Wahib yang telah membantuku mengetik tesis ini; Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tesis ini, Semoga amal dan kebaikan yang telah diberikan kepada saya memperoleh balasan yang setimpal dari Allah SWT.
vi Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Harapan saya semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membacanya terutama almamater tercinta Universitas Airlangga.
Surabaya, 6 Pebruari 2009 Penulis,
Wahyu Arsyantuti, S.H.
vii Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL…………………………………………………….
i
LEMBAR PERSETUJUAN………………………………………….......
ii
LEMBAR PENGESAHAN………………………………….…………..
iii
KATA PENGANTAR……………………………………….…………..
iv
DAFTAR ISI…………………………………………………………......
viii
BAB I
: PENDAHULUAN…………………………………………..
1
1. Latar Belakang Masalah ………………...………….....
1
2. Tujuan Penelitian……………………………………….
5
3. Manfaat Penelitian …………………………………......
5
4. Kajian Pustaka ………………………….…….………...
6
5. Metode Penelitian ……………………………………...
13
a. Pendekatan Masalah ………………………………..
13
b. Sumber Bahan Hukum ……………………………..
14
c. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum ………….
14
d. Analisis Bahan Hukum …………………………….
15
6. Pertanggungjawaban Sistematika ………………….....
16
viii Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II : PENGAKUAN HAK ULAYAT .........................................
17
1. Dasar Pengaturan Hak Ulayat …..................................
17
2. Kriteria Adanya Hak Ulayat...........................................
29
3. Penentuan Adanya Hak Ulayat……………………….
42
BAB III : PENGAMBILAN
HAK
ULAYAT
UNTUK
KEPENTINGAN PEMBANGUNAN ……………………
45
1. Proses Pembebasan/Pelepasan Hak Ulayat ….…….
45
2. Perlindungan Hukum Pemegang Tanah Ulayat …..
56
3. Upaya Hukum Masyarakat Hukum Adat Bila Ganti Rugi Yang Ditentukan Dianggap Tidak Memadai …
69
BAB IV : PENUTUP …………………………………………………..
81
1. Kesimpulan ……………………………………………..
81
2. Saran …………………………………………………….
82
DAFTAR BACAAN
ix Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat sekali dengan manusia. “Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia sangat terbatas sekali, sedangkan jumlah manusia yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin bertambah”. 1 Kondisi yang tidak seimbang antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu telah menimbulkan berbagai persoalan dan kasus-kasus persengketaan tanah yang memerlukan penyelesaian yang baik, benar dan memberikan perlindungan serta kepastian hukum juga keadilan. Mengenai pertanahan, sebelum lahirnya hukum agraria kolonial, di Indonesia telah berlaku sistim hukum adat, hukum barat dan hukum tanah swapraja. Kebutuhan akan hukum agraria yang menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak-hak masyarakat dirasakan sangat mendesak, dan sejak 24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini lahir setelah melalui proses yang cukup lama, menganut unifikasi hukum dan berdasarkan
1
Soehadi, Penyelesaian Sengketa Tentang Tanah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, Karya Anda Surabaya, 1999, h. 14.
1 Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
2
hukum adat. Menurut Boedi Harsono, hukum adat dijadikan sumber utama dan merupakan hukum aspiratif, dalam arti jika sesuatu hal belum diatur dalam peraturan maka yang berlaku hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. 2 Hukum tanah adat merupakan hukum asli, mempunyai sifat yang khas, dimana hak-hak perorangan atas tanah merupakan hak pribadi akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan, yang dalam istilah modern disebut “fungsi sosial”, seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Pokok Agrarian Pasal 6. Hukum adat merupakan sumber utama undang-undang pokok agraria atau hukum pertanahan Indonesia, walaupun hukum adat merupakan dasar dari UUPA tetapi permasalahan terhadap hak kepemilikan atas tanah dalam masyarakat adat di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Tanah-tanah dikuasai oleh masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat, karena hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat adat. Mengenai hak ulayat masyarakat adat diatur dalam Pasal 3 UUPA, yaitu: “dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksananan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
2
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaan, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, h.145.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3
boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Hal ini berarti bahwa isi Pasal tersebut merupakan pengakuan keberadaan hak (hak ulayat) masyarakat hukum adat. Berbagai kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah sampai saat ini masih dalam taraf “pengakuan” terhadap hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat, tetapi belum memberikan “perlindungan” yang selayaknya terhadap hak atas tanah ulayat dalam masyarakat adat. Namun demikian, diakui bahwa beberapa kebijakan pemerintah mulai ada upaya memberi pengakuan dan perlindungan (terbatas) terhadap hak tanah ulayat pada masyarakat adat, antara lain : TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 41),TAP MPR No. IX Tahun 2001, tentang Pembaruan Agraria, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UUD 1945 yang diamandemen. Kebijakan ini sampai sekarang belum dibuatkan UU atau kebijakan lain sebagai pelaksanaan ketetapan MPR. Selanjutnya muncul Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 tahun 1999 yang mengakui dan memberikan perlindungan atas tanah rakyat dan adat (ulayat). Mengenai pengakuan terhadap hukum adatnya tersebut dipertegas oleh ketentuan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menentukan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
4
Di antara hak-hak atas tanah menurut UUPA, hak milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh. 3 Dimana menurut Pasal 23 UUPA setiap peralihan hak milik juga harus didaftarkan karena pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan dan pembebasan hak tersebut, selain itu dalam Pasal 19 UUPA mengatakan bahwa pendaftaran tanah diperuntukkan untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah yang lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997 (selanjutnya disingkat PP No. 24 Tahun 1997) tentang pendaftaran tanah. Untuk memberikan perlindungan terhadap Warga Negara yang benar-benar mempunyai hak atas tanah tersebut, maka Negara mengaturnya di dalam UUPA, dimana dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA mengatakan bahwa “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Namun kenyataan yang terjadi, banyak tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat (hak ulayat) diambil oleh pemerintah dengan cara-cara kekerasan. Dari latar belakang yang ditentukan maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut
3
Ibid., h.145.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
5
a. Bagaimana Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memberikan pengakuan terhadap tanah hak ulayat ? b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang tanah hak ulayatnya diambil untuk kepentingan pembangunan ?
2. Tujuan Penelitian 2.1. Mengetahui pengakuan terhadap tanah hak ulayat oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. 2.2. Memahami dan menganalisis bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang tanah hak ulayatnya diambil untuk kepentingan pembangunan
3. Manfaat Penelitian 3.1.
Bagi penulis, dapat menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan dari yang selama ini diperoleh secara teoritis dikembangkan pada pengetahuan praktis yang berhubungan dengan kewenangan menguasai tanah hak ulayat.
3.1.1. Bagi institusi, dengan penulisan ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran guna menyempurnaan peraturan perundang-undangan dan digunakan sebagai pedoman untuk menyelesaikan permasalahan yang berhubungan penguasaan tanah hak ulayat.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
6
4. Kajian Pustaka Sistem hukum tanah pada saat kolonial berkuasa mengandung dualisme hukum. Pertama bagi penduduk pribumi berlaku hukum adat, sedangkan yang kedua bagi golongan lainnya berlaku hukum Barat, karena pada masa penjajahan, sistem hukum pertanahan yang dijalankan pemerintah menganut dan berorientasi pada sistem hukum Belanda dan Eropa. Akan tetapi, pada kenyataan kepentingan golongan Bumi Putera selalu dalam posisi yang lemah bahkan tidak menjamin adanya kepastian hukum bagi hak-hak rakyat atas tanah dan mengabaikan keberadaan hukum (masyarakat) adat termasuk hak kepemilikan tanah adat (ulayat). Dalam Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, yang mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk dipergunakan sebagai pedoman dalam Daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat hukum adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan, dengan penjelasan sebagai berikut : 4
4
Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang Ditujukan Kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
7
Mengenai muatan pokok dan maksud dikeluarkannya peraturan. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria). Kebijaksanaan tersebut meliputi : a. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1); b. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5); c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan Pasal 4); Maksud dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat, dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal di atas kewenangannya dilimpahkan kepada Daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 6 ), sesuai dengan maksud Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan demikian akan lebih mampu menyerap aspirasi masyarakat setempat. Mengenai pengertian hak ulayat Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria menetapkan bahwa “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
8
adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu “menurut kenyataannya masih ada”. Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.” Hak Ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak Ulayat mengandung 2 unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan Gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
9
warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”. Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat. Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat Tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu: 5 a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuanketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
5
Ibid.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
10
b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Penelitian mengenai ketiga unsur tersebut dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan pihak-pihak yang berkepentingan dan pihak-pihak yang dapat menyumbangkan peranannya secara obyektif, yaitu antara lain para tetua adat, para pakar adat, wakil Lembaga Swadaya Masyarakat dan wakil instansi yang bertanggung jawab mengenai pengelolaan sumber daya alam (misalnya instansi Kehutanan, Pertambangan dan sebagainya apabila tanah ulayat itu diperkirakan meliputi tanah yang ada hutan atau bahan tambangnya). Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Sebagaimana telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Sebagaimana telah kita ketahui wewenang dan kewajiban tersebut ada yang termasuk bidang hukum perdata. Yaitu yang
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
11
berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya. Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah di haki oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tidak tanah sebagai “res nullius”. Umumnya batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum adat teritorial tidak dapat ditentukan secara pasti. Masyarakat Hukum Adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya, yang mempunyai Hak Ulayat, bukan orang seorang. Hak Ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar. Ke dalam berhubungan dengan para warganya. Sedang kekuatan berlaku ke luar dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut “orang asing” atau “orang luar”. 6 Kewajiban yang utama Penguasaan adat yang bersumber pada Hak Ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan. Berhubung dengan tanggung-jawabnya mengenai kesejahteraan masyarakat hukumnya maka
6
Tesis
Boedi Harsono, Op. cit., h. 186.
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
12
pada asasnya Penguasa adat tidak diperbolehkan mengasingkan seluruh atau sebagian tanah wilayahnya kepada siapa pun. 7 Obyek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, adalah : 8 1. Hak bangsa Indonesia atas tanah. 2. Hak menguasai dari negara atas tanah. 3. Hak ulayat masyarakat hukum adat. 4. Hak-hak perseorangan, meliputi : a. Hak-hak atas tanah. b. Wakaf tanah hak milik c. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan) d. Hak milik atas satuan rumah susun.
7
Ibid.
8
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Predana Media, Jakarta, 2006, h.
11.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
13
Dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu : perlindungan hukum yang prevenif dan perlindungan hukum yang represif. Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukm yang preventif sangat besar artinya bagi bagi tindak pemerintahan yang didasrkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didsarkan pada diskresi. 9
5. Metode Penelitian a. Pendekatan Masalah Pembahasan dalam penulisan ini dilakukan dengan pendekatan yaitu Statute Approach, Canseptual. Statute Approach yaitu pembahasan didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang mengikat, dalam hal ini UUPA dan Peraturan Pelaksanaannya serta hukum adatnya yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.
9
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 2.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
14
Canseptual Approach yaitu suatu pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung pembahasan tesis . b. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang dipakai dalam penulisan tesis ini terdiri dari: - Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat dalam hal ini peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UUPA beserta peraturan pelaksanaannya serta peraturan lainnya sebagai pelengkap yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas. - Bahan hukum sekunder, berupa pendapat para sarjana hukum yang tertuang dalam literatur maupun bahan perkuliahan. Seluruh bahan hukum dikumpulkan melalui sistem telaah dengan cara membaca, mempelajari, diidentifikasi kemudian mengklasifikasikannya sehingga diperoleh informasi yang ada relevansinya dengan masalah yang dibahas. c. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Bahan hukum dari tesis ini pertama-tama diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan yang meliputi pengumpulan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, peraturan perundang-undangan yamg berhubungan dengan apa yang menjadi permasalahan yang dibahas dalam tesis ini dan pengumpulan bahan dari berbagai media cetak yang membahas dan mengulas mengenai permasalahan ini. Setelah bahan hukum yang diinginkan telah tekumpul maka dilakukan pengelolaan bahan hukum tersebut dipisah-pisahkan dan dimasukkan dalam bab-perbab, disesuaikan dari tiap materi bab dan diperkuat dengan bahan hukum yang ada.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
15
Dimaksudkan dilakukan cara tersebut guna diperoleh kejelasan dari seluruh permasalahan. d. Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: Langkah pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini adalah melalui studi kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan sistematisasi untuk lebih mudah membaca dan mempelajarinya. Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur, yang kemudian diimplementasikan pada permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya digunakan penafsiran sistematis dengan menghubungkan Pasal yang satu dengan Pasal lainnya atau peraturan perundang-undangan satu dengan lainnya yang ada dalam undangundang itu sendiri maupun dengan Pasal dari undang-undang lain untuk memperoleh pengertian lebih mantap. Serta penafsiran otentik adalah penafsiran yang pasti terhadap arti kata yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
16
6. Pertanggungjawaban Sistematika Pertama-tama sistematika penulisan ini diawali Bab I, dengan judul bab Pendahuluan, berisi gambaran umum permasalahan, sebagai pengantar pembahasan bab berikutnya. Sub babnya terdiri atas latar belakang dan rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Lalu Bab II, dengan judul bab pengakuan hak ulayat. Bab ini dipaparkan untuk menjawab permasalahan pertama yaitu bagaimana Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memberikan pengakuan terhadap tanah hak ulayat. Sub babnya terdiri atas Dasar Pengaturan Hak Ulayat, Kreteria Adanya Hak Ulayat dan Penentuan Adanya Hak Ulayat. Kemudian Bab III dengan judul bab pengambilan hak ulayat untuk kepentingan pembangunan. Bab ini dipaparkan untuk menjawab permasalahan kedua yaitu bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang tanah hak ulayatnya diambil untuk kepentingan pembangunan. Sub babnya terdiri atas Proses Pembebasan/pelepasan Hak Ulayat, Bentuk dan Besarnya Ganti Rugi yang Dapat Diberikan Kepada Masyarakat Hukum Adat serta Upaya Hukum Masyarakat Hukum Adat Bila Ganti Rugi Yang Ditentukan Dianggap Tidak Memadai. Akhirnya Bab IV, Penutup, yang mengakhiri seluruh rangkaian uraian dan pembahasan. Sub babnya terdiri atas kesimpulan berisi jawaban atas masalah dan saran sebagai alternatif pemecahan masalah.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
17 BAB II PENGAKUAN HAK ULAYAT
1. Dasar Pengaturan Hak Ulayat Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD 1945 tidak menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi”. Mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari Negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
18
Menyinggung mengenai tanah, Indonesia wilayahnya terdiri dari beribu-ribu pulau yang sebagian masyarakat masih menguasai hak atas tanah yang pemilikannya didasarkan atas hukum adatnya. Menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan sebagai berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Hal ini berarti bahwa negara masih mengakui hak atas tanah yang dikuasai berdasarkan hukum adatnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Adatnya yang berarti kebiasaan masyarakat setempat, jika kebiasaan tersebut disertakan suatu sanksi maka disebut dengan hukum adat. Hukum Adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat). 10 Sebagai bandingan dapat dikemukakan pendapat dari Ter Haar Bzn, yang menyatakan bahwa, hukum adat adalah “Keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya
10
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cet. II, Mandar Maju, Bandung, 2003, h. 15.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
19 serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati.” 11 Demikian pendapat Ter Haar tentang pengertian Hukum Adat ialah adat yang diputuskan oleh para petugas-petugas hukum adat, yang berbeda dengan van Vollenhoven dimana hukum adat itu adalah adat yang seharusnya berlaku dalam masyarakat. 12 Soepomo memberikan definisi tentang hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturanperaturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasannya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. 13 Sedangkan Soekanto dalam bukunya “Meninjau Hukum Adat Indonesia” mengartikan hukum adat sebagai kompleks adat yang kebanyakan tidak dikitabkan tidak dikodifisir dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum. 14 Apabila ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Tesis
11
Ibid., h. 14.
12
Ibid.
13
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, bandung, 1996, h. 13.
14
Ibid., h. 14.
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
20
Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti yang penting, karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan penghidupan kepada persekutuan, merupakan tempat di mana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindungan persekutuan dan roh para leluhur persekutuan. 15 Hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat pada masa penjajahan tidak diberikan pengakuan, karena penjajah hanya memberikan pengakuan kepada hak atas tanah yang telah terdaftar, sehingga ketika itu berlaku dualisme hukum pertanahan, yaitu hak atas tanah yang dikuasai oleh hukum barat yang dikenal dengan domaen verklaring dan tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Setelah Indonesia merdeka dan berlangsung hingga diundangkannya Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dengan mengingat pentingnya tanah dalam kehidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA telah dikenal sistem penguasaan sumber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikenal sebagai hak ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang 15
Soerojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983, h. 197.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
21
perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut. 16 Dalam suatu lingkungan hak ulayat, persekutuan dan anggota-anggotanya mempunyai wewenang dan kewajiban-kewajiban dalam mengatur penggunaan tanahnya dan hubungan hukum anggota-anggota masyarakat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya, obyek hak ulayat dapat mencakup hak menggunakan dan mengolah tanah, hak menangkap ikan, hak memungut hasil hutan dan sebagainya. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Pasal 3 UUPA yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan terhadap hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Mengenai pengakuan terhadap hak ulayat dijelaskan lebih lanjut oleh Penjelasan Pasal 3 UUPA, bahwa “yang dimaksud dengan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah apa yang di dalam perpustaan adat disebut “beschikkingsrecht”.
Beschiking dalam sistem hukum administrasi
tercermin pada inpres, instruksi menteri, instruksi gubernur, instruksi lembaga pemerintah lain merupakan implementasi kebijakan yang secara normatif tidak boleh membebani kehidupan rakyat. Kalau memang ada beban terhadap rakyat, instrumennya adalah regeling (peraturan). Dengan demikian, seharusnya tidak ada beschiking yang mengandung muatan regeling. Ukurannya, apakah beschiking itu membebani kehidupan rakyat atau tidak.
16
Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007, h. 4.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
22
Permasalahannya menjadi kompleks ketika rakyat yang menerima beban harus merefleksikan ketidaksetujuan dalam bentuk tuntutan hukum. Secara normatif, hak rakyat untuk memprotes substansi suatu peraturan. Oleh karena hanya merupakan suatu kebijakan atau beschiking, maka kebijakan tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk dilaksanakannya. Pengakuan atas hak ulayat ini hanya sebatas hak ulayat yang masih diakui sesuai dengan Penjelasan Umum II angka 3 UUPA, bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa hak ulayat masih diakui asalkan penguasaan hak ulayat tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lainnya yang lebih tinggi dan selama menurut kenyataan hak ulayat tersebut masih diakui. Perihal pengakuan terhadap hak ulayat yang merupakan perwujudan dari hak atas, Pasal 5 UUPA mengemukakan bahwa “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme indonesia serta dengan peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam undang-undang ini …”.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
23
Memperhatikan hal tersebut di atas nampak bahwa hukum adat merupakan dasar dari hukum agraria. Mengenai eksistensi dari hukum adat dalam hukum agraria, dijelaskan oleh Urip Santoso sebagai berikut: 17 1) hukum adat sebagai dasar utama, dan 2) hukum adat sebagai hukum pelengkap hukum adat sebagai dasar utama dalam pembentukan hukum agraria nasional dapat disimpulkan dalam Konsideran UUPA huruf a “bahwa berhubungan dengan apa yang disebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Hukum adat sebagai hukum pelengkap, maksudnya pembentukan hukum agraria nasional menuju kepada tersedianya perangkat hukum yang tertulis, yang mewujudkan kesatuan hukum, memberikan jaminan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah merupakan suatu proses yang memakan waktu. Selama proses tersebut belum selesai, hukum tertulis yang sudah ada tetapi belum lengkap maka memerlukan pelengkap agar tidak terjadi kekosongan hukum. Hak ulayat atas tanah tersebut, misalnya di dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya Hak Guna Usaha), masyarakat adat yang bersangkutan
17
Tesis
Urip Santoso, Op. cit., h. 68.
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
24
sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan dimusyawarahkan untuk diberi ganti rugi kepada yang berhak menerimanya selaku pihak yang menguasai tanah. Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan jika berdasarkan hak penguasaan itu masyarakat adat tersebut menghalang-halangi pemberian Hak Guna Usaha itu, sedangkan pemberian Hak Guna Usaha di daerah itu dianggap lebih diperlukan untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika suatu masyarakat berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya tanah secara besar-besaran secara teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula bahwa pembangunan-pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat.Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan Pasal 3 UUPA, bahwa kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan jika di dalam alam bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya di dalam lingkungan negara sebagai kesatuan. Penegasan yang dikemukakan dalam Penjelasan Umum UUPA sebagaimana tersebut adalah merupakan landasan pemikiran tentang pengakuan dan sekaligus
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
25
pembatasan hak-hak ulayat dari masyarakat-masyarakat hukum adat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini. Negara akan tetap memperhatikan keberadaan hak ulayat sepanjang hak tersebut dalam realitanya masih ada dan negara menempatkan hal ulayat untuk tunduk kepada kepentingan umum dan negara. Atas dasar kewenangan tersebut negara akan memberikan pengakuan, pengaturan dan pembatasan terhadap hak ulayat. Istilah hak ulayat memiliki penyebutan yang berbeda-beda, Djojodigoeno menyebutnya dengan istilah hak purba, Soepomo memberikan istilah sebagai hak pertuanan, dan di dalam UUPA sendiri disebut dengan hak ulayat. Walaupun penyebutan istilah hak yang dimiliki masyarakat hukum adat ini berbeda-beda namun pengertiannya tidaklah jauh berbeda. Seperti mengutip pendapat Iman Sudiyat yang memberikan definisi hak purba sebagai hak yang dipunyai oleh suatu suku (clam/gens/stam), sebuah serikat desadesa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya. 18 Sedangkan Van Vollenhoven memberikan istilah beshikkingrecht terhadap hak ulayat, yang mana hak ulayat adalah berupa hak dan berkewajiban daripada persekutuan hukum sebagai suatu keseluruhan atas suatu wilayah tertentu yakni wilayah di mana mereka hidup. 19
Tesis
18
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. V, Liberty, Yogyakarta, 2007, h. 2.
19
Ibid., h. 75.
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
26
Perhatian khusus terhadap hak ulayat dilakukan oleh Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan menetapkan Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Hak ulayat adalah hak dari masyarakat hukum adat. Dalam peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 di atas diberikan definisi operasional mengenai kedua hal tersebut. Masyarakat hukum adat dirumuskan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (Pasal 1 angka 3). Sedangkan mengenai hak ulayat dinyatakan bahwa hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat) adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan (Pasal 1 angka 1). Unsur-unsur hak ulayat sebagaimana termuat di dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara/kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tersebut yaitu : 1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adanya sebagai warga besama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. 2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari. 3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
27
Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, dalam hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada dan memenuhi unsur-unsur dan kriteria hak ulayat dalam hukum adat suatu masyarakat dalam suatu wilayah. Hubungan timbal balik antara hak ulayat dengan hak perorangan sebagaimana dirumuskan Iman Sudiyat, bahwa hak purba dan hak perorangan itu bersangkut paut dalam hubungan kempis mengembang, desak mendesak, batas membatasi, mulur mungkret tiada henti. Di mana hak purba kuat, di situ hak perorangan lemah, demikian pula sebaliknya. 20 Antara hak ulayat dan hak-hak perorangan yang diakui secara adat selalu ada pengaruh timbal balik, makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah maka makin eratlah hubungannya dengan tanah itu dan makin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Di dalam hak demikian maka kekuatan hak ulayat terhadap tanah itu menjadi berkurang, tetapi menurut hukumnya yang asli bagaimanapun kuatnya hak perseorangan atas tanah itu tetap terikat oleh hak ulayat. 21 Sehingga dengan demikian hak ulayat bersifat fleksibel yaitu semakin berkembang dan maju kondisi masyarakatnya, maka hak ulayat menjadi semakin lemah dalam masyarakat apalagi dalam masyarakat modern.
20
Ibid., h. 3.
21
Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar langkah-Langkah Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007, h. 16
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
28
Bila kita mengkaji lebih dalam, bahwa hak ulayat dan hak adat atas tanah ada perbedaan yang cukup signifikan. Hak ulayat bersifat hak komunal (hak bersama) dari sekelompok masyarakat hukum adat dengan kata lain tidak dimiliki perorangan oleh karenanya objek tidak dapat dijual belikan tanpa persetujuan Pimpinan Adat yang bersangkutan, warganya hanya boleh menikmati hasil, atau tempat berusaha sehari-hari dan pihak lain yang diluar kelompok masyarakat hukum adat tersebut tidak diperkenankan menguasai/melakukan aktivitas pada wilayah tersebut kecuali dengan persetujuan pimpinan adat yang bersangkutan, adapun hak atas tanah sifatnya dikuasai perorangan yaitu dengan diperolehan dengan membuka tanah Negara misalnya berladang, berkebun dan lain-lain, dan apabila tanah tersebut dipergunakan dan dirawat/dipelihara dengan baik oleh penggarap maka pada gilirannya tanah ini dapat diberikan hak menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, sedangkan tanah yang sifatnya termasuk dalam lingkup hak ulayat tidak dapat diberikan hak untuk perorangan, kecuali atas dasar persetujuan pimpinan adat yang bersangkutan. 22 Dikemukakan pula oleh Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng dalam seminar tanah adat di atas mengenai asal tanah hak adat, bahwa tanah hak adat adalah hak privat berasal dari bagian : -
Bagian hak ulayat setelah melalui proses individualisasi terhadap hak privat yang sudah kuat, pengaruh hak ulayat tidak ada lagi.
-
Tanah hak adat (Hak Privat) untuk yang sudah ada pada saat mulai berlakunya UUPA dikonversikan menjadi salah satu macam hak yang disebut di dalam UUPA.
-
Hak atas tanah bekas tanah adat dilakukan melalui pembuktian : a. Bukti tertulis b. Bukti penguasaan fisik 22
Tesis
Ibid., h. 20.
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
29
c. Bukti saksi. d. Pengumuman dan tidak ada keberatan dari pihak lain. 23 Dalam simposium yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan dan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, dikemukakan bahwa tanah Negara (yang tidak dihaki oleh seseorang) ditegaskan menjadi tanah adat, maka yang dimaksud dengan tanah adat dewasa ini ialah salah satu tanah dengan nama tersebut di atas yang termaktub dalam Pasal II dan VI Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA. Tanah-tanah yang disebut namanya dalam pasal-Pasal II dan VI Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA ataupun yang akan disebut namanya oleh Menteri Agraria menjadi hak milik/pakai. 24
2. Kriteria Adanya Hak Ulayat Menyinggung masalah hak ulayat tidak lepas dari asas-asas yang terkandung dalam UUPA salah satu di antaranya, asas pada tingkatan tertinggi, bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi maksudnya bukan memiliki hak atas tanah, melainkan hanya sekedar menguasainya saja. Menurut Boedi Harsono, 25
23
Ibid., h. 15
24
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa Ini, Bina Cipta, Bandung, 1978, h. 59. 25
Tesis
Boedi Harsono, Op. Cit., h. 23.
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
30
pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penggunaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dari umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan menyewa yang menguasainya secara fisik. Atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. Dalam Hukum Tanah kita dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang empunya tanah. Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” di atas dipakai dalam aspek perdata. Pengertian “dikuasai” dan “menguasai” dipakai dalam aspek publik, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA. Pengertian “penguasaan” dipakai dalam arti yuridis, baik penguasaan yang beraspek perdata maupun publik. Pengertian “Hak Penguasaan Atas Tanah” Dalam tiap Hukum Tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai “hak penguasaan atas tanah”. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang Nasional kita, yaitu :
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
31
1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik; 2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek publik; 3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3 beraspek perdata dan publik. 4. Hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas : a. Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 dan 53; b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan Pasal 49. c. Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal 25, 33, 39, dan 51. Hal ini secara jelas dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA, bahwa perkataan “dikuasai” di sini bukan berarti “dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk pada tingkatan tertinggi: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
32
c. menentukan dan mengatur hubungan–hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Hak menguasai dari negara tersebut di atas ditujukan untuk mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kekuasaan negara tersebut mengenai semua bumi, air, dan ruang angkasa, baik yang sudah dihaki maupun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara tersebut. Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Atas dasar hak menguasai dari negara tersebut, negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai, atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (departemen, jawatan, atau daerah swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing. Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuanketentuan Peraturan Pemerintah.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
33
Dalam kaitannya dengan hak ulayat, diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk dipergunakan sebagai pedoman dalam Daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat hukum adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Mengenai muatan pokok dan maksud dikeluarkannya peraturan. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria). Kebijaksanaan tersebut meliputi : a. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1); b. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5); c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan Pasal 4); Maksud dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat, dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
34
Pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal di atas diwenangkan kepada Daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan maksud Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan demikian akan lebih mampu menyerap aspirasi masyarakat setempat. 2. Mengenai pengertian hak ulayat Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria menetapkan bahwa “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu “menurut kenyataannya masih ada”. Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.” Hak Ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak Ulayat mengandung 2 unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
35
perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan Gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”. Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat. 3. Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat Tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, sebagaimana Pasal 2 Ayat (2) Permenag 5/1999) yaitu :
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
36
a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Penelitian mengenai ketiga unsur tersebut dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan pihak-pihak yang berkepentingan dan pihak-pihak yang dapat menyumbangkan peranannya secara obyektif, yaitu antara lain para tetua adat, para pakar adat, wakil Lembaga Swadaya Masyarakat dan wakil instansi yang bertanggung jawab mengenai pengelolaan sumber daya alam (misalnya instansi Kehutanan, Pertambangan dan sebagainya apabila tanah ulayat itu diperkirakan meliputi tanah yang ada hutan atau bahan tambangnya). Penelitian tersebut dapat dilakukan a. pada waktu dihadapi permasalahan yang untuk menyelesaikannya diperlukan penentuan mengenai masih ada atau sudah tidak adanya hak ulayat, misalnya
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
37
apabila bidang tanah yang bersangkutan diperlukan untuk pembangunan baik dalam rangka pelaksanaan program Pemerintah maupun dalam rangka investasi oleh perusahaan, atau b. sebelum ada permasalahan di atas, dalam rangka upaya untuk memperoleh informasi mengenai status lengkap tanah-tanah di suatu daerah tertentu. Selanjutnya dalam rangka memastikan masih adanya tanah ulayat tersebut, keberadaannya perlu dinyatakan dalam peta pendaftaran tanah dengan mencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai. Sekiranya pada kenyataannya batas-batas tanah yang bersangkutan dapat ditentukan menurut tata cara penentuan batas dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, batas tersebut dapat digambarkan pada peta dasar pendaftaran tanahnya dan dicatat pula dalam daftar tanah yang ada. Semua itu perlu diatur sesuai dengan keadaan masing-masing daerah dalam Peraturan Daerah. yang dimaksudkan dalam Pasal 6. Ketentuan yang demikian sebenarnya tidak cukup, sebab berdasarkan Pasal 19 UUPA jo PP No. 24 Tahun 1997 bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah dicabut oleh PP No. 24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah hak ulayat mengalami suatu kendala, karena sebagaimana Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 bahwa Obyek pendaftaran tanah meliputi: bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
38
guna bangunan dan hak pakai; tanah hak pengelolaan; tanah wakaf; hak milik atas satuan rumah susun; hak tanggungan; tanah Negara. 4. Mengenai pelaksanaan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat Hak ulayat memberikan kewenangan tertentu kepada masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya yang sumber, dasar pelaksanaan, dan ketentuan tata cara pelaksanaannya adalah hukum adat yang bersangkutan. Kewenangan tersebut meliputi hak penguasaan tanah oleh para warganya (Pasal 4 ayat 1 huruf a) dan pelepasan tanah untuk keperluan “orang luar” (Pasal 4 ayat 1 huruf b). Mengingat hukum adat itu bersifat dinamis, maka hak penguasaan tanah yang diperoleh menurut hukum adat oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan apabila dikehendaki boleh didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut Undangundang Pokok Agraria. Dengan demikian tujuan “meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan hukum dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Pokok Agraria akan dapat terwujud secara alamiah dan bertahap. Dalam pada itu dapat dipastikan bahwa pada waktu dikeluarkannya Peraturan Daerah yang mengatur hak ulayat nanti akan terdapat bidang- bidang tanah yang sudah dipunyai perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria atau sudah diperoleh menurut ketentuan dan tata cara yang berlaku walaupun haknya secara administratif belum diperoleh. Berdasarkan pemikiran bahwa bidang-bidang tanah ini sudah diperoleh secara sah, yaitu dengan membeli atau membebaskannya dari hak-hak dan kepentingan yang ada
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
39
di atasnya, maka pelaksanaan hak ulayat atas bidang-bidang tanah ini dikecualikan (Pasal 3 UUPA). Menurut prinsip Hukum Adat yang diakui eksistensinya oleh Undang-Undang Agraria intensitas hubungan seseorang dengan tanah akan menentukan tebal tipis haknya atas tanah tersebut. Makin lama dan intensif hubungan seseorang dengan tanah, makin tebal haknya atas tanah tersebut. Djojodiguno “teori mulurmungkret” Supomo “inividualis-sering proces”). Secara kultural, rakyat Indonesia acapkali disebut sebagai masyarakat “oral cultural”. 26 Dokumen atau catatan tertulis sebagai bukti suatu hak bukanlah sesuatu yang penting. Bukti yang kuat adalah hubungan konkret seperti tanaman dan pengetahuan dari anggota masyarakat hukum sekitarnya. Sistem girik bukanlah asli budaya Indonesia. Girik adalah sistem administrasi Hindia Belanda untuk kepentingan perpajakan. Kemudian, diterima (resepsi) sebagai bukti pemilihan atas tanah. Begitu pula pengertian “tanah dikuasai negara” Dalam praktek, negara atau pemerintah diberi wewenang untuk memberikan hak tanah kepada siapapun tanpa menghiraukan hubungan yang telah ada antara rakyat dengan tanah. Praktek semacam ini sangat kolonialistik dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Asas “domein” pada masa kolonial masih ada batas, yaitu dibedakan antara “vrijlandsdomein” dan “onvrinlandsdomein”. Terhadap “onvrijlandsdo-mein” pemerintah koloniali tidak akan memberikan kepada pihak lain karena di atas tanah tersebut diakui hak masyarakat atas tanah seperti hak ulayat dan
26
Ibid., h. 262.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
40
lain-lain. Sebaliknya, di masa merdeka, lebih-lebih setelah ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dalam kenyataan pengertian hak negara menguasai tanah bergeser seperti “domein” pada masa kolonial. Bahkan, lebih. Pemerintah atas nama negara berkuasa penuh menyerahkan atau memberikan hak atas sebidang “tanah negara”, tanpa harus menghiraukan hak-hak yang secara sosio-kultural ada pada rakyat. Hukum menjadi bentuk formal di tangan para penguasa. Satu hal pokok yang dilupakan. Begitu pula dari sudut Undang-Undang Dasar. Hak negara menguasai tanah adalah untuk kepentingan rakyat. Sangat tepat ungkapan Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945 karena itu tidak boleh dipilah atau dipisahkan dikuasai negara itu “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kalau tanah, sebidang tanah telah dipergunakan rakyat, maka tercapailah salah satu tujuan penguasaan negara atas tanah, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, negara atau pemerintah harus mengutamakan (mendahulukan) hak rakyat atas tanah daripada kepentingan lain yang datang kemudian. Inilah inti paham “tanah dikuasai negara”. Apabila para hakim memperhatikan dan menerapkan dengan sungguh-sungguh asasasas yang terkandung dalam ketentuan Pasal II Aturan Peralihan, maka dekolonialisasi kaidah-kaidah warisan masa kolonial dapat diselesaikan lebih cepat tanpa menunggu pembaharuan peraturan perundang-undangan. Pada tataran tertentu, putusan-putusan hakim yang mengamputasi kaidah-kaidah warisan masa kolonial dapat lebih penting dari peraturan perundang-undangan. Putusan hakim yang bersifat konkret langsung menyentuh kenyataan yang ada akan segera menghidupkan rasa keadilan, dibandingkan peraturan perundang-undangan yang abstrak dan masih perlu
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
41
diuji keterandalannya. Hal ini sejalan dengan fungsi hakim sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyebutkan: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dalam kaitan dengan penerapan peraturan perundang-undangan hakim dapat menjalankan fungsi-fungsi berikut: (1) Menjamin peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil. Apabila
penerapan
peraturan
perundang-undangan
akan
menimbulkan
ketidakadilan, hakim wajib berpihak pada keadilan dan mengenyampingkan peraturan perundang-undangan. (2) Sebagai
“dinamisator”
peraturan
perundang-undangan.
Hakim
dengan
menggunakan metode penafsiran, konstruksi, dan berbagai pertimbangan sosiokultural berkewajiban menghidupkan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi kebutuhan nyata masyarakat. (3) Melakukan “koreksi” terhadap kemungkinan kekeliruan atau kekosongan peraturan perundang-undangan. Hakim wajib menemukan bahkan menciptakan hukum untuk mengoreksi atau mengisi peraturan perundang-undangan. (4) Melakukan “penghalusan” terhadap peraturan perundang-undangan. Tanpa penghalusan, peraturan perundang-undangan akan begitu keras sehingga tidak mewujudkan keadilan atau tujuan tertentu secara wajar.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
42
3. Penentuan Adanya Hak Ulayat Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Sebagaimana telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Sebagaimana telah kita ketahui wewenang dan kewajiban tersebut ada yang termasuk bidang hukum perdata. Yaitu yang berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya. Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah di haki oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tanah sebagai “res nullius”. Umumnya batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum adat teritorial tidak dapat ditentukan secara pasti. Masyarakat Hukum Adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya, yang mempunyai Hak Ulayat, bukan orang seorang. Hak Ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar. Ke dalam berhubungan dengan para warganya. Sedang kekuatan berlaku ke luar dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakt hukum adatnya, yang disebut “orang asing” atau “orang luar”.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
43
Kewajiban yang utama Penguasaan adat yang bersumber pada Hak Ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan. Berhubung dengan tanggung-jawabnya mengenai kesejahteraan masyarakat hukumnya maka pada asasnya Penguasa adat tidak diperbolehkan mengasingkan seluruh atau sebagian tanah wilayahnya kepada siapa pun. Obyek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan baik pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihakiki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, adalah : 1) Hak bangsa Indonesia atas tanah. 2) Hak menguasai dari negara atas tanah. 3) Hak ulayat masyarakat hukum adat. 4) Hak-hak perseorangan, meliputi : a. Hak-hak atas tanah. b. Wakaf tanah hak milik c. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan)
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
44
d. Hak milik atas satuan rumah susun. Mengenai hak ulayat yang merupakan hak persekutuan hukum adat, apakah diperlukan suatu pendaftaran sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal UUPA, apabila dikaitkan dengan
19
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah yang di dalam Penjelasan Pasal 24 mengenai Pembuktian Hak Lama, menyebutkan alat-alat bukti tertulis menurut ketentuan tersebut diantaranya berupa lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuanketentuan Konversi UUPA. Selanjutnya pembuktian hak menurut ketentuan tersebut harus memenuhi syarat sah salah satu diantaranya bahwa kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan. Lebih lanjut ia menjelaskan pula, jikalau bukti haknya tidak ada dan dengan surat keterangan dari kepala desa (surat keterangan yang bersifat deklaratif yang menerangkan tanah tersebut adalah benar hak milik seseorang) bukan konstitutif, artinya tanah itu dinyatakan sebagai tanah adat (baru) demikian juga hakhak adat yang mempunyai surat bukti hak yang tidak tersebut dalam daftar ketentuan Konversi sebagai Hak Adat yang dapat dikonversi. 27 Hal ini berarti bahwa hak ulayat atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat perlu didaftarkan sebagai bukti pemilikan yang sah atas tanah tersebut.
27
Tesis
Ibid.
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
45
BAB III PENGAMBILAN HAK ULAYAT UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN
1. Proses Pembebasan/pelepasan Hak Ulayat Perihal proses pembebasan hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat atau tanah ulayat tidak bedanya dengan pembebasan atau pelepasan hak atas tanah pada umumnya. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 UUPA, bahwa “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang”. Di dalam ketentuan Pasal 18 UUPA terkandung makna bahwa hak atas tanah dicabut untuk kepentingan umum dan kepentingan bersama rakyat, disertai dengan ganti kerugian yang layak menurut peraturan perundang-undangan. Di dalam Pasal 18 UUPA hanya menyebut hak atas tanah dapat dicabut, yang berarti dicabut dari pihak yang menguasai hak atas tanah, sehingga terjadi pelepasan hak atas tanah tersebut dari yang menguasainya. Oleh karena hanya disebut pemegang hak atas tanah, berarti termasuk hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat yang lebih dikenal dengan hak ulayat. Pada awalnya dikenal dengan pencabutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang Ada Di Atasnya (selanjutnya disingkat UU No. 20 Tahun 1961).
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
46
Mengenai pencabutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 tersebut dipandang bertentangan dengan hak asasi. Penggunaan tanah untuk keperluan pembangunan untuk kepentingan umum serta dengan cara perolehan hak atas tanah dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, dan selanjutnya dicabut oleh Perpres No. 36 Tahun 2005 dan kemudian dirubah oleh Perpres No. 65 Tahun 2006. Dalam Pasal 17 Perpres No. 36 Tahun 2005 disebutkan bahwa pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan disertai dengan penjelasan mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan tersebut. Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengupayakan penyelesaian mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi tersebut dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan dari pemegang hak atas tanah atau kuasanya. Setelah mendengar dan mempelajari pendapat dan keinginan pemegang hak atas tanah serta pertimbangan panitia pengadaan tanah, Bupati/ Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengeluarkan keputusan yang dapat mengukuhkan atau mengubah keputusan panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi yang akan diberikan. Pencabutan hak atas tanah dikatakan telah melanggar hak asasi pemegang hak atas tanah, karena nampak adanya suatu paksaan termasuk pemberian ganti kerugian, untuk itu diatur dengan undang-undang. Dilakukannya musyawarah untuk mencapai suatu persetujuan adalah sangat vital terhadap seluruh kegiatan penggusuran tanah.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
47
Mulai dari penentuan tanah yang akan tergusur, izin lokasi, pencadangan tanah, pembebasan, penetapan ganti rugi serta pemberian ganti ruginya dan seterusnya. Misalnya dalam hal penentuan ganti rugi, jumlah dan besarnya harus sungguhsungguh dimusyawarahkan dengan para pihak Acuan musyawarah awalnya seperti yang dirumuskan dalam Tap MPR No. II/MPR/1978, kemudian terbitlah Keppres No. 55 Tahun 1993 Pasal 1 angka 5, musyawarah itu diberikan definisi sebagi proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Perihal ganti rugi menurut Pasal 1 angka 11 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang telah dirubah oleh Perpres No. 65 Tahun 2006 menentukan: Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial sekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Hal yang menarik dari istilah dalam peraturan itu, adalah hampir semuanya diatur dan diterangkan secara samar-samar. Sehingga mudah direkayasa, misalnya dengan cara tidak ditindaklanjuti dengan peraturan lain yang lebih operasional. Kecuali untuk beberapa aturan dan pengertian yang melicinkan kebijakan yang ditargetkan, seperti penetapan ganti rugi dan pelaksanaan musyawarah. Namun ada yang aneh dan kontradiksi antara pengertian musyawarah yang diberikan oleh Keppres No. 55 Tahun 1993, misalnya mengenai ketentuan yang mengatur penetapan
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
48
dan pemberian ganti rugi dan harga tanah, penetapan tanah yang akan tergusur, penetapan arti kepentingan umum dan penetapan pengertian musyawarah itu sendiri. Singkatnya, musyawarah itu hanya dapat terlaksana bila antara pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan itu diberikan hak dan kewajibannya secara proporsional. Juga diberikan kesempatan, saluran, dorongan dan arahan yang berguna untuk mengekspresikan hak dan kewajibannya itu secara proporsional. Hal yang menjadi latar belakang dilakukannya penggusuran hak atas tanah rakyat, adalah karena tanah tersebut secara kebetulan sangat diinginkan oleh pembangunan. Kepentingan pembangunan yang biasanya diidentikkan dengan kepentingan umum itu, biasanya sangat mendesak sifatnya, sehingga bila ditunda-tunda pelaksanaannya
akan
sangat
membahayakan
dan
menghambat
tercapainya
kepentingan orang banyak dan kepentingan bersama. Namun siapa pun yang membacakan kata kepentingan umum pasti akan sulit memahami dan mengerti maksud sebenarnya, kecuali bagi mereka yang mempunyai bekal ilmu politik yang cukup. Sebab pengertian itu sangat umum dan begitu mudahnya ia diberi sayap untuk terbang mengikuti arah angin kebijakan yang diharapkan. Bahkan sampai saat ini belum ada rumusan yang baku, dan atau gugatan terhadap perumusan dan pelaksanaan kepentingan umum itu. Misalnya "gugatan" tentang siapa yang berhak untuk merumuskan kepentingan umum itu, apa kriterianya, dan apa konsekuensinya. Kemudian gugatan bila ternyata pembebasan tanah itu tidak berdampak pada kesejahteraan dan kepentingan bersama sebagaimana yang dirumuskan atau yang dijanjikan. Definisi kepentingan umum ini menurut Keppres No. 55 Tahun 1993,
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
49
Pasal 1 angka 3, adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Karena masih kaburnya pengertian kepentingan umum itu, maka bisa jadi tiap daerah tingkat II mempunyai kriteria dan alasan yang berbeda dalam melakukan penggusuran. Semuanya itu tergantung dari kasus dan lingkungan permasalahan yang dihadapi serta target yang diinginkan oleh penguasa setempat. Sehingga pembangunan rumah sakit swasta dan real estate dapat disebut sebagai kepentingan umum di daerah yang satu tapi tidak untuk daerah yang lainnya. Keseluruhannya itu yang perlu digarisbawahi antara lain, pertama, bahwa pengertian kepentingan umum itu masih sangat luas dan kabur. Sebagai contoh, tibatiba muncul istilah dan pengertian “demi kepentingan pembangunan, dan atau kepentingan yang secara langsung dan tak langsung menjunjung kepentingan umum. Kedua, mungkin saja dari batasan yang umum dan luas itu, keinginan seseorang atau lembaga tertentu untuk membangun kerajaan usaha yang direncanakan akan menaikkan ekspor dan meningkatkan jumlah industri kita, dengan begitu mudah disebut sebagai kepentingan umum. Kemungkinan itu bisa saja terjadi, bila yang menentukan pengambilan keputusan itu adalah lobi yang dilakukan pemohon tanah dengan penguasa, sambil meyakinkannya, bahwa proyek itu akan mendatangkan keuntungan. Tujuannya agar jenis usaha yang dimohonkan itu mendapatkan label untuk kesejahteraan bersama dan tetap survive dari hantaman kerasnya persaingan. Dengan label itu juga, maka kemudian aparat pemerintah membantu, memfasilitasi dan mensubsidi dengan menyediakan tanah-tanah yang kini dikuasai rakyat.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
50
Meskipun ketiga Permendagri tentang “Pembebasan Tanah” telah dicabut oleh Pasal 24 Keppres No. 55 Tahun 1993, namun bukan berarti rumusan dan kriteria kepentingan umum telah tegas dan transparan. Karena Keppres tersebut juga tidak memberikan kriteria kepentingan umum secara tegas dan terinci. Walaupun rumusan dan bahaya yang digunakan agak lebih baik daripada yang sebelumnya, namun peraturan itu tetap saja membuka peluang untuk “disalahtafsirkan” dengan memasukkan hal-hal tertentu sebagai “kepentingan umum”. Sebaliknya menurut Maria SW. Sumardjono 28 , Keppres No. 55 Tahun 1993 itu menganut pendekatan yang sempit dalam memberikan rumusan kepentingan umum, karena Kepres itu memberikan definisi yang ketat tentang apa yang disebut sebagai kepentingan umum itu, karena ia membandingkan dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1961, yang kemudian disebutnya menganut pendekatan yang luas. Sementara Inpres No. 9 Tahun 1973 menurutnya menggunakan kombinasi pendekatan keduanya, karena didalamnya disebutkan daftar kegiatan yang masuk kriteria kepentingan umum dengan masih membuka menafsirkannya secara luas. Secara harfiah Pasal 5 ayat (1) Kepres No. 55 Tahun 1993, memang menyebutkan daftar 14 kegiatan pembangunan yang berlabel kepentingan umum, yaitu kegiatan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Tetapi dalam ayat 2-nya disebutkan bahwa kegiatan kepentingan umum selain ke 14 kegiatan itu akan ditetapkan oleh Keputusan
28
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan (Antara regulasi dan Implementasi), Kompas, Jakarta, 2002.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
51
Presiden. Demikian juga kepada Menteri/ ketua Lembaga/Direksi BUMN/BUMD, dan Gubernur Otorita dapat mengajukan permohonan kepada Presiden melalui Menteri Negara Sekretaris Negara agar proyeknya dapat diberlakukan dengan Kepres No. 55 Tahun 1993. Buktinya setelah Keppres No. 55 Tahun 1993 itu berlaku, ternyata dalam pelaksanaannya tidak ada perubahan yang prinsipal daripada sebelumnya, misalnya terhadap proyek PLTU di Jepara. Maka wajarlah jika muncul kepercayaan yang tumbuh subur di kalangan pejabat, antara lain, bahwa semua proyek yang akan menghasilkan tambahan devisa, dan akan memperkuat, menstabilkan pertumbuhan ekonomi makro adalah untuk kepentingan umum, sehingga tidak boleh dan tidak ada yang tertunda karena kesulitan memberikan ganti rugi atas tanah rakyat yang diinginkannya. Apakah kebanggaan terhadap pertumbuhan ekonomi itu akan dinikmati oleh seluruh rakyat ataukah bahkan memperlebar jurang perbedaan yang telah ada? Dan bagi pemilik tanah, bila yang terjadi adalah kemunduran kesejahteraan, maka tanah yang dikorbankan itu pada hakikatnya bukan untuk kepentingan umum, melainkan untuk sekelompok orang tertentu saja. Hal yang pasti, sebelum ada ketentuan tentang kriteria kepentingan umum secara tegas, terinci dan tidak mudah diberikan sayap, maka penggusuran tanah yang mengatasnamakan rakyat akan terus berlanjut dengan segala implikasinya. Demikian mendesaknya keterincian ini bukan berarti tidak percaya kepada sang penguasa
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
52
(eksekutif) dan wakil-wakil rakyat, tetapi lebih merupakan tuntutan zaman yang menginginkan definisi pengertian “kekeluargaan”. Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa ketentuan yang mengatur masalah pembebasan hak atas tanah untuk kepentingan umum baik untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan swasta telah tegas dibuatnya, baik yang berkenaan dengan tata cara pembebasan, pembentukan panitia maupun penentuan harga tanah sebagai ganti kerugian. Dengan telah jelasnya ketentuan tersebut sebenarnya dapat digunakan sebagai dasar bagi pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Sehubungan dengan pelepasan hak, Pasal 3 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Pencabutan hak atas tanah dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan benda-benda yang Ada Di Atasnya. Pasal 4 Perpres No. 36 Tahun 2005 bahwa pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah, yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan lebih dahulu. Bagi daerah yang belum menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah, pengadaan tanah dilakukan berdasarkan perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada. Apabila tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan surat keputusan penetapan lokasi yang ditetapkan oleh Bupati/ Walikota atau Gubernur, maka bagi
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
53
siapa yang ingin melakukan pembelian tanah di atas tanah tersebut, terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubermur sesuai dengan kewenangannya. Pasal 5 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau pemerintah daerah meliputi, jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi, waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya, rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat, pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal, peribadatan, pendidikan atau sekolah, pasar umum, fasilitas pemakaman umum, fasilitas keselamatan umum, pos dan telekomunikasi, sarana olah raga, stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya, kantor Pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan BangsaBangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, rumah susun sederhana, tempat pembuangan sampah, cagar alam dan cagar budaya, pertamanan, panti sosial, pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik. Pasal 6 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. Panitia
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
54
pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur pemerintah daerah terkait. Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah terdiri atas unsur perangkat daerah terkait. Pasal 7 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa panitia pengadaan tanah bertugas: mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya; menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah, mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi, menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan,
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
55
tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah, pelepasan
atau
penyerahan
hak
atas
tanah,
membuat berita acara
mengadministrasikan
dan
mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten. Pasal 8 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai: pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut, bentuk dan besarnya ganti rugi. Musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat undangan. Pasal 9 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan bendabenda lain yang berkaitan dengan tanah bersama panitia pengadaan tanah, dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah. Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakilwakil yang ditunjuk di antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka. Penunjukan wakil atau kuasa dari para pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau surat penunjukan/kuasa yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Musyawarah dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
56
2. Perlindungan Hukum Pemegang Tanah Ulayat Perlindungan hukum, yang berarti perbuatan untuk memberikan perlindungan dari segi peraturan perundang-undangan. Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat menurut Philipus M. Hadjon berkaitan dengan rumusan yang dalam kepustakaan berbahasa Belanda berbunyi “rechtsbescherming van de burgers tegen de overheid dan dalam kepustakaan berbahasa Inggris legal protection of the individual in relation to acts of administrative authorities”. 29 Dalam rumusan perlindungan hukum bagi rakyat tersebut Philipus M. Hadjon sengaja tidak dicantumkan terhadap pemerintah atau terhadap tindak pemerintahan dengan pertimbangan dan alasan berikut : 30 -
-
Istilah rakyat sudah mengandung pengertian sebagai lawan dari istilah pemerintah. Istilah rakyat pada hakekatnya berarti yang dipemerintah (the governed, geregeerde). Dengan demikian, istilah rakyat mengandung arti yang lebih spesifik dibandingkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing, seperti : volks, people, peuple. Dicantumkannya terhadap pemerintah atau terhadap tindak pemerintahan dapat menimbulkan kesan bahwa ada konfrontasi antara rakyat sebagai yang diperintah dengan pemerintah sebagai yang memerintah. Pandangan yang demikian tentunya bertentangan dengan falsafah hidup negara kita, yang memandang rakyat dan pemerintah sebagai partner dalam usaha mewujudkan cita-cita hidup bernegara.
Hal ini berarti bahwa perlindungan hukum terhadap rakyat ini ada kaitannya dengan suatu tindakan pemerintah yang bisa melakukan perbuatan secara sewenang-wenang atau melampaui wewenang yang ada padanya.
29
Philipus M. Hadjon, Op. cit, h. 1.
30
Ibid., h. 1-2.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
57
Prinsip didahulukan karena atas dasar prinsip, baru dibentuk sarananya, karena tanpa dilandaskan pada prinsip, pembentukan sarana menjadi tanpa arah. Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia), menurut Philipus M. Hadjon landasan pijaknya adalah Pancasila sebagai dasar Ideologi dan dasar falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan konsep-konsep rechtsstaat dan the rule of law. Konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia memberikan isinya dan konsep rechtsstaat dan the rule of law menciptakan sarananya, dengan demikian pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia akan subur dalam wadah rechtsstaat atau the rule of law, sebaliknya akan gersang di dalam negara-negara diktator atau totaliter. Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka pikir dengan landasan pihak pada Pancasila, prinsip perlindungan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat hukum yang berdasarkan Pancasila. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara instrinsik melekat pada Pancasila dan seyogianya memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila saya namakan Negara Hukum Pancasila. Dengan penamaan yang demikian mungkin ada yang mempermasalahkan, kalau demikian apakah terhadap hak-hak asasi juga diberi nama
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
58
hak-hak asasi Pancasila. Jawabannya, tidak perlu karena pengakuan akan harkat dan martabat manusia bukan hanya berdasar tetapi bersumber pada Pancasila. Perlindungan hukum bagi pemegang hak adat atas tanah ulayat tidak lepas dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tegas negara mengakui dan memberikan pengakuan dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat termasuk hak-hak tradisionalnya. Hal ini merupakan bukti komitmen dan upaya dari negara untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat (termasuk hak ulayat) yang selama ini terpinggirkan. Sangat disayangkan pengakuan terhadap hak ulayat lebih pada law in book, karena pelaksanaannya tidak jarang terbentur pada persyaratan diakuinya keberadaan hak ulayat itu sendiri yang mengharuskan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Pada tataran praktek pemanfaatan tanah hak ulayat untuk kepentingan pembangunan maupun investor melalui pola penguasaan tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU) berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat pemegang hak ulayat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, HGU bisa ditetapkan pada tanah-tanah selain tanah yang dikuasai langsung oleh Negara melalui mekanisme pelepasan hak dan pengeluaran status kawasan. Hal ini merupakan perluasan pemberian alas HGU berdasar UUPA. Dalam praktek, penetapan HGU melalui mekanisme pelepasan hak justru didahului dengan paksaan dan klaim sepihak dari Negara, dengan mengabaikan transparansi, akuntibilitas, dan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan soal alokasi sumber-sumber agraria. Masalah ini juga terjadi dalam pola pengeluaran status
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
59
kawasan hutan untuk alokasi tanah HGU. Penetapan tanah HGU di wilayah ini dapat dipastikan menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal, baik soal penguasaan maupun masalah pengerjaan tanahnya. Terakhir, penetapan HGU di kawasan hutan ini menimbulkan masalah lingkungan yang parah. Ketentuan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 merupakan komitmen negara dalam mengakui dan menghormati hak milik perorangan, termasuk hak warganegara atas tanah. Namun hak atas tanah yang berlaku di Indonesia tidak bersifat mutlak, artinya tidak sepenuhnya dapat dipertahankan terhadap siapapun oleh pemegang hak. Dalam kondisi tertentu dimana kepentingan negara menghendaki, maka pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan haknya untuk kepentingan yang lebih besar. Jika ditilik dari konstitusi, UUD 1945 telah menggariskan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUPA, sebagai peraturan dasar yang menjadi acuan dari keberadaan berbagai peraturan perundangan bidang pertanahan juga mengakui prinsip-prinsip yang menggariskan bahwa negara menjamin hak-hak masyarakat atas tanahnya dan memberikan pengakuan atas hak-hak atas tanah yang ada di masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa tugas negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi warganya termasuk dalam melindungi hak-hak warga negara atas tanah. Hal ini Pemerintah, kemudian diperkuat dan dilegitimasi oleh Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang di dalamnya mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan berbagai hal baik menyangkut upaya penataan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, peruntukkan, dan penyediaan tanah yang
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
60
semuanya diletakan dalam kerangka membangun kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan. Terkait dengan kewenangan pemerintah untuk mengatur penggunaan, peruntukkan dan penyediaan tanah maka hak-hak privat yang terkristalisasi dalam berbagai hak sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 UUPA harus tunduk pada peraturan-peraturan yang didasarkan pada hak menguasai dari negara atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Termasuk dalam hal ini hak milik atas tanah warga dapat diambil alih atau dicabut haknya guna pemenuhan kebutuhan atas tanah yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Mengingat pengambilalihan tanah menyangkut hak-hak individu atau masyarakat, maka pengambilalihan tanah harus memperhatikan prinsip keadilan sehingga tidak merugikan pemilik asal. Salah satu prinsip dasar dari pengambilalihan tanah yang universal adalah ‘no private property shall be taken for public use without just and fair compensation”, artinya proses pengambilalihan tanah dilakukan dengan kompensasi yang jujur dan adil. Namun demikian dalam prakteknya prinsip-prinsip tersebut sering terabaikan dan pemerintah selaku penyelenggara negara lebih mengedepankan kekuasaannya dengan menggunakan tameng Hak Menguasai Negara dan kepentingan umum. Upaya menjembatani kepentingan rakyat atas tanahnya dan pemenuhan kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan telah dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
61
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai pengganti Keppres No.55 Tahun 1993. Pada awalnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 menuai kontroversi yang bersumber pada definisi kepentingan umum yang terlalu luas dan jaminan kompensasi bagi masyarakat yang tanahnya diambil alih untuk kegiatan pembangunan demi kepentingan umum. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Perpres No. 36 Tahun 2005, definisi kepentingan umum relatif lebih tegas dan berkepastian hukum, yaitu dengan berkurangnya jenis kepentingan umum dari 21 (duapuluh satu) menjadi 7 (tujuh) jenis serta penegasan pembatasan pengadaan tanah untuk kepentingan umum terbatas pada kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemda yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemda. Hal penting lainnya yang patut digarisbawahi, dalam Perpres tersebut tidak lagi dimungkinkan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah. Artinya pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak mengambilalih hak tanahnya secara paksa melainkan melaui mekanisme pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dilakukan melalui musyawarah dan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. Pada dasarnya masyarakat tidak keberatan jika tanah miliknya harus diambilalih untuk kepentingan pembangunan yang tujuannya adalah untuk kesejahteraan bersama, Namun praktek-praktek pengambilalihan tanah selama ini seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk keuntungan sendiri
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
62
dengan berkedok ‘kepentingan umum”, telah menciptakan keraguan pada masyarakat setiap kali ada kegiatan pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum. Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat yang dimuat oleh media harian Kompas, yang menyoroti sikap masyarakat terkait dengan masalah pembebasan tanah demi kepentingan umum. Sebagai sebuah langkah kebijakan publik, terlihat bahwa pada dasarnya upaya penggunaan lahan privat untuk tujuan kepentingan umum yang dilakukan pemerintah diakui publik berada di atas kepentingan individu. Oleh karena itu, meski diiringi ekspresi keengganan yang menonjol, publik tak menafikan upaya pembebasan tanah demi kepentingan umum. Sebagian besar responden (66 persen) menyatakan setuju dan hanya 30 persen responden yang tidak setuju. Namun sebagian besar respondern menyatakan keberatan jika harus mengalihkan tanahnya untuk swasta kecuali dengan ganti rugi yang memadai sebagaimana yang dikehendaki responden. 31 Permasalahan pertanahan merupakan hal yang harus segera ditangani karena pemanfaatan tanah merupakan masalah lintas sektoral yang perpengaruh terhadap perkembangan pembangunan. Untuk itu perlu segera dilakukan penataan kembali sektor pertanahan melalui program Gerakan Pembaharuan Agraria Nasional yang merupakan gerakan terpadu antar berbagai program yang akan merestrukturisasi penggunaan, pemanfaatan penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan peningkatan kesejahteraan
31
Kompas, 16-17 Juni 2005
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
63
rakyat.
Pembaruan agraria menjadi prasyarat untuk mencapai keadilan sosial dan
pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, sangat diperlukan pemikiran ulang transformasi agraria melalui pendekatan pembaruan agraria sebagai sarana strategis pembangunan berkelanjutan yang berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal yang turut berperan penting dalam pembaruan agraria adalah sinkronisasi peraturan perundangan dan kebijakan yang terkait dengan maslaah agraria khususnya tanah, yaitu dengan mencabut peraturan yang bertentangan atau melakukan revisi atau dengan membuat aturan yang mengacu pada konstitusi. Konstitusi menjadi dasar dalam melakukan penataan kembali hukum agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip menghormati hak asasi manusia dan supremasi hukum yang mengakomodasi hukum adat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Hal yang dirasa belum sinkron adalah dalam hal mengartikan tanah untuk kepentingan umum. Sebagaimana disebutkan oleh Pasal 18 UUPA, bahwa “untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”. Pengertian hak-hak atas tanah dapat dicabut, mengandung maksud bahwa hak-hak atas tanah sebagaimana Pasal 16 UUPA, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa dan lainnya dapat dicabut dari pemegang haknya.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
64
Mengenai pemegang hak atas tanah tersebut dapat dimiliki oleh orang perseorangan, badan hukum maupun tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat atau tanah ulayat, disertai dengan penggantian kerugian yang layak dan menurut peraturan perundangundangan. Hal yang selama ini masih menimbulkan suatu permasalahan yaitu mengartikan kepentingan umum. Sebagaimana yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, pemerintah
setempat
akan
membangun
lapangan
terbang
yang
tentunya
membutuhkan lahan pertanahan yang luas sebagai landasan pacu pesawat. Hak atas tanah yang akan digunakan sebagai pembangunan lapangan terbang adalah tanahtanah yang dikuasai oleh masyarakat adat atau tanah ulayat. Pemerintah setempat mengartikan
bahwa
pembangunan
landasan
pacu
pesawat
atau
lapangan
terbang.termasuk kepentingan umum, sehingga masyarakat adat wajib melepaskan hak atas tanah tersebut, namun masyarakat keberatan terutama mengenai prosedur dan besarnya ganti kerugian. Perihal pengertian untuk kepentingan umum hak atas tanah dapat dicabut sebagaimana disebutkan oleh Pasal 18 UUPA, masih menimbulkan suatu perbedaan persepsi dalam mengartikan untuk kepentingan umum tersebut. Menurut Perpres No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pengertian kepentingan umum sebagai suatu hal yang abstrak, mudah dipahami secara teoritis tetapi menjadi sangat kompleks ketika diimplementasikan. Pemberian makna kepentingan umum tampaknya seiring sejalan dengan orientasi kebijakan pemerintah. Ketika orientasinya
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
65
lebih difokuskan pada pertumbuhan ekonomi, maka kepentingan umum cenderung didefinisikan secara luas. Sebaliknya, bila pertumbuhan ekonomi tidak menjadi fokus, kepentingan umum cenderung didefinisikan secara sempit. 32 Huybers mendefinisikan kepentingan umum sebagai “kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan yang memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain menyangkut perlindungan hak-hak individu sebagai warga negara dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan sarana publik dan pelayanan publik”. 33 Kepentingan umum dapat dijabarkan melalui dua cara. Pertama, berupa pedoman umum yang menyebutkan bahwa pengadaan tanah dilakukan berdasarkan alasan kepentingan umum melalui berbagai istilah. Karena berupa pedaman, hal ini dapat mendorong eksekutif secara bebas menyatakan suatu proyek memenuhi syarat kepentingan umum. Kedua, penjabaran kepentingan umum dalam daftar kegiatan. Dalam praktik kedua cara itu sering ditempuh secara bersamaan. 34 Melalui perpres, makna kepentingan umum telah bergeser Kepentingan Umum sebagai kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat tidak dibatasi dengan tiga kriteria seperti keppres sehingga membuka penafsiran yang longgar. Contoh pergeseran makna itu adalah dimasukkannya “jalan tol” dalam salah satu kegiatan yang bersifat kepentingan umum. Keppres tidak memuat hal itu. Mudah dipahami
32
Maria S.W., Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, h. 106-107.
Tesis
33
Ibid., h. 107.
34
Ibid., h. 108.
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
66
bahwa bacaan tiga kriteria kepentingan umum dihapuskan dalam perpres karena hal itu tidak dapat diaplikasikan untuk proyek jalan tol. Dalam UU No. 38/2004 tentang Jalan (18 Oktober 2004) dan PP No. 15/2005 tentang Jalan Tol (21 Maret 2005) jelas bahwa jalan tol berbeda dengan jalan umum (jalan provinsi, kabupaten/kota, desa) karena spesifikasi teknisnya, pengguna dan kewajiban membayar pemakaian, dan pendanaan serta pengusahaannya dapat dilakukan oleh badan usaha milik swasta yang sudah tentu harus memperoleh pengembalian investasi dan keuntungan yang wajar. Dihapusnya tiga kriteria ini menjadi rancu ketika perpres membedakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh pemerintah/pemerintah daerah melalui perpres, sedangkan untuk pihak swasta pengadaan tanah dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar, dan sebagainya. Tidak dimungkiri bahwa pembangunan jalan tol memerlukan dana besar yang tidak sepenuhnya dapat ditanggung pemerintah dan pelaksanaannya harus sesuai jadwal. Tetapi janganlah pertimbangan ini dicoba diatasi melalui perpres dengan risiko mengaburkan makna kepentingan umum dan nilai-nilai keadilan. Jika perpres tetap dipertahankan, sulit ditepis anggapan bahwa perpres ini dijadikan instrumen untuk legitimasi kepentingan tertentu. Ke depan perlu dipikirkan bahwa pengadaan tanah jangan hanya dilihat dari hasilnya, tetapi juga prosesnya. Seyogyanya untuk setiap kegiatan pembangunan, baik yang dilakukan pemerintah/pemerintah daerah atau pihak swasta, sepanjang hal itu berdampak terhadap penurunan kesejahteraan sosial ekonomi pemegang hak atas tanah, tata caranya haus diatur dalam UU. Mengingat perpres ini bermasalah, baik
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
67
dari segi substansi maupun wadahnya serta berpeluang tidak berlaku secara sosiologis, maka perlu ditunda pemberlakuannya. Untuk mencegah kekosongan hukum, Keppres Mo. 55/1993 diberlakukan kembali untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang pengadaan tanah. Benar bahwa setelah berlakunya UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penerbitan keppres tidak lagi dimungkinkan (Pasal 7). Namun, Keppress No. 55/1993 yang semestinya tetap berlakau bila tidak diganti dengan perpres yang bermasalah ini, dapat diberlakukan kembali dengan mambaca keputusan presiden sebagai peraturan presiden sesuai Pasal 56 UU No. 10/2004. Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian yaitu mengenai “ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”, pemerintah sebagai pihak yang mengambil kebijakan dengan berlandaskan kepentingan umum, kadangkala mengabaikan hak-hak rakyat pemegang hak atas tanah tersebut. Merujuk pada Pasal 7 Perpres No. 36/2005, bahwa pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Penghormatan terhadap hak-hak atas tanah tentunya juga kepada pemegang haknya. Oleh karena itu mengenai pelepasan dan pembebasan tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat atau tanah ulayat juga harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar dan penentuan ganti kerugian yang layak. Sesuai dengan Pasal 7 Perpres No. 36 Tahun 2005 bahwa Panitia pengadaan tanah bertugas: mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; mengadakan penelitian mengenai
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
68
status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya; menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah, mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi, menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda- benda lain yang ada di atas tanah, pelepasan
atau
penyerahan
hak
atas
tanah,
membuat berita acara
mengadministrasikan
dan
mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten. Selanjutnya Pasal 8 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai: pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut; bentuk dan besarnya ganti rugi. Musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat undangan. Kemudian Pasal 9 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan bendabenda lain yang berkaitan dengan tanah bersama panitia pengadaan tanah, dan
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
69
instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah. Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakilwakil yang ditunjuk di antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka. Penunjukan wakil atau kuasa dari para pemegang hak harus dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau surat penunjukan/kuasa yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Musyawarah dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah. Oleh karena itu jika maksud pemerintah Nusa Tenggara Barat untuk membangun landasan pacu lapangan terbang dengan mengambil hak-hak atas tanah milik masyarakat adat dengan alasan untuk kepentingan umum, namun karena adanya penolakan akhirnya timbullah korban masyarakat pemegang hak, yang berarti bahwa pelepasan dan pembebasan tanah tersebut dilakukan tidak sesuai dengan prosedur yang benar, yang berakibat masyarakat dirugikan.
3. Upaya Hukum Masyarakat Hukum Adat Bila Ganti Rugi Yang Ditentukan Dianggap Tidak Memadai Masyarakat pemegang hak atas tanah adat tanah ulayat dirugikan oleh pemerintah setempat, yang berarti terjadi perselisihan antara masyarakat/rakyat dengan pemerintah. Pada kondisi yang demikian ini masyarakat atau rakyat perlu
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
70
mendapatkan suatu perlindungan hukum. Perlindungan hukum, yang berarti perbuatan untuk memberikan perlindungan dari segi peraturan perundang-undangan. Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat menurut Philipus M. Hadjon berkaitan dengan
rumusan
yang
dalam
kepustakaan
berbahasa
Belanda
berbunyi
“rechtsbescherming van de burgers tegen de overheid dan dalam kepustakaan berbahasa Inggris legal protection of the individual in relation to acts of administrative authorities”. 35 Dalam rumusan perlindungan hukum bagi rakyat tersebut Philipus M. Hadjon sengaja tidak dicantumkan terhadap pemerintah atau terhadap tindak pemerintahan dengan pertimbangan dan alasan berikut : 36 -
Istilah rakyat sudah mengandung pengertian sebagai lawan dari istilah pemerintah. Istilah rakyat pada hakekatnya berarti yang dipemerintah (the governed, geregeerde). Dengan demikian, istilah rakyat mengandung arti yang lebih spesifik dibandingkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing, seperti : volks, people, peuple.
-
Dicantumkannya terhadap pemerintah atau terhadap tindak pemerintahan dapat menimbulkan kesan bahwa ada konfrontasi antara rakyat sebagai yang diperintah dengan pemerintah sebagai yang memerintah. Pandangan yang demikian tentunya
35
Philipus M. Hadjon, Op. cit, h. 1.
36
Ibid., h. 1-2.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
71
bertentangan dengan falsafah hidup negara kita, yang memandang rakyat dan pemerintah sebagai partner dalam usaha mewujudkan cita-cita hidup bernegara. Hal ini berarti bahwa perlindungan hukum terhadap rakyat ini ada kaitannya dengan suatu tindakan pemerintah yang bisa melakukan perbuatan secara sewenang-wenang atau melampaui wewenang yang ada padanya. Prinsip didahulukan karena atas dasar prinsip, baru dibentuk sarananya, karena tanpa dilandaskan pada prinsip, pembentukan sarana menjadi tanpa arah. Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia), menurut Philipus M. Hadjon landasan pijaknya adalah Pancasila sebagai dasar Ideologi dan dasar falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan konsep-konsep rechtsstaat dan the rule of law. Konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia memberikan isinya dan konsep rechtsstaat dan the rule of law menciptakan sarananya, dengan demikian pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia akan subur dalam wadah rechtsstaat atau the rule of law, sebaliknya akan gersang di dalam negara-negara diktator atau totaliter. 37 Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka pikir dengan landasan pihak pada Pancasila, prinsip perlindungan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat hukum yang berdasarkan Pancasila. Pengakuan dan perlindungan terhadap
37
Ibid., h. 2.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
72
harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara instrinsik melekat pada Pancasila dan seyogianya memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila saya namakan Negara Hukum Pancasila. Dengan penamaan yang demikian mungkin ada yang mempermasalahkan, kalau demikian apakah terhadap hak-hak asasi juga diberi nama hak-hak asasi Pancasila. Jawabannya, tidak perlu karena pengakuan akan harkat dan martabat manusia bukan hanya berdasar tetapi bersumber pada Pancasila. Apabila dikaitkan dengan kasus yang menimpa masyarakat masyarakat NTB selaku pemegang hak ulayat yang diambil secara paksa untuk lapangan udara sehingga mendapat perlawanan dari masyarakat setempat. Merupakan suatu bukti telah terjadi pelanggaran terhadap rakyat selaku pemegang hak atas tanah ulayat. Kerugian akibat pengambialihan tanah ulayat secara paksa oleh pemerintah setempat merupakan suatu bukti telah terjadinya pelanggaran terhadap hak rakyat atas tanah, sehingga perlu penanganan. Mekanisme penanganan sengketa tersebut lazimnya diselenggarakan dengan pola sebagai berikut : 1. Pengaduan Dalam pengaduan ini biasanya berisi hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan bahwa pemohon/pengadu adalah yang berhak atas tanah sengketa dengan lampirannya bukti-bukti dan mohon penyelesaian disertai
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
73
harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya, sehingga tidak merugikan dirinya. 2. Penelitian Terhadap penanganan tersebut kemudian dilakukan penelitian baik berupa pengumpulan data/administratif maupun hasil penelitian fisik di lapangan (mengenai penguasaannya). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut beralasan atau tidak untuk diproses lebih lanjut. Jika ternyata terdapat dugaan kuat, bahwa pengaduan tersebut dapat diproses, maka lebih lanjut diselesaikan melalui tahap tentang kemungkinan dilakukan pencegahan mutatis mutandis menyatakan tanah tersebut dalam sengketa. Namun apabila pengaduan tersebut tidak mengadung alasan-alasan yang kuat atau masalahnya terlalu prinsipil dan harus menempuh proses lembaga atau instansi lain, maka kepada yang bersangkutan diberitahukan hal-hal tersebut dan ternyata dinyatakan bahwa pengaduan tidak atau belum dapat dipertimbangkan. 3. Pencegahan Mutasi (Status Quo) Sebagai tindak lanjut dari penyelesaian sengketa tersebut di atas, kemudian baik atas dasar petunjuk atau perintah atasan maupun berdasarkan prakarsa Kepala Kantor Agraria yang bersangkutan terhadap tanah sengketa, dapat dilakukan langkah-langkah pengamanan berupa pencegahan/penghentian untuk sementara terhadap segala bentuk perubahan (mutasi). Maksud dari pada pencegahan adalah menghentikan untuk sementara segala bentuk perubahan. Kegunaannya yang pertama adalah untuk kepentingan
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
74
penelitian di dalam penyelesaian sengketa (status quo) oleh karena kalau tidak demikian, penyelesaian sengketa akan mengalami kesulitan di dalam meletakkan keputusannya
nanti.
Misalnya,
tanah
yang
dalam
keadaan
sengketa
diperjualbelikan sehingga keputusannya akan merugikan pihak pembeli yang beritikad baik. Kegunaannya yang kedua adalah untuk kepentingan pemohon sendiri, sebab apabila tidak dilakukan penghentian sudah barang tentu pengaduan tersebut tidak akan ada gunanya. Istilah-istilah
sehubungan
dengan
pencegahan
kita
mengenal
istilah
“pembeslahan”., biasanya dalam kaitannya dengan proses di pengadilan. “Penyegelan” yang lazimnya dipergunakan oleh instansi Kepolisian atau Kejaksaan untuk keperluan penyidikan dan istilah “pemblokiran” yaitu istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat umum yang maksud dan artinya adalah sama dengan pencegahan mutasi. Yang berwenang untuk menyatakan atau memerintahkan pencegahan mutasi menurut ketentuan peraturan yang berlaku adalah : a. Menteri Dalam Negeri ic. Direktur jenderal Agraria b. Instansi pengadilan sehubungan dengan penetapan suatu sita terhadap tanah (PP No. 24 Tahun 1997) c. Secara tidak langsung instansi lain yang berkepentingan dengan perizinan bangunan atau instansi penyidikan (Kepolisian, Kejaksaan). Yang terakhir di dalam
Tesis
menempatkan
pemblokiran
atau
pembeslahan
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
seyogyanya
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
75
memberitahukan hal tersebut kepada instansi Agraria, akan tetapi seiring hal itu jarang dilaksanakan sehingga sering menimbulkan kesulitan penyelesaian. Syarat-syarat untuk dapat dilakukan pencegahan untuk menjamin kelancaran pemeriksaan atau penelitian : a. Terdapat alasan yang sah, misalnya si pemohon atau pengadu akan terancam haknya, apabila tidak dilakukan pencegahan. b. Demi kepentingan hukum perlu dilakukan pencegahan untuk menjamin kelancaran pemeriksaan atau penelitian. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, misalnya si pengadu ternyata tidak mempunyai kepentingan terhadap tanah yang bersangktuan, maka pengaduan tersebut harus dijawab dengan memberikan pertimbangan penolakan. 4. Musyawarah Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering berhasil di dalam usaha penyelesaian sengketa (dengan jalan musyawarah). Tindakan ini tidak jarang menempatkan pihak instansi pemerintah yaitu Direktur Jenderal Agraria untuk menempatkan dirinya sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan. Untuk itu diperlukan sikap tidak memihak serta tidak melakukan tekanantekanan, akan tetapi tidak berarti bahwa mediator tersebut harus bersikap pasif. Pihak Agraria harus mengemukakan beberapa cara penyelesaian, menunjukkan kelemahan-kelemahan serta kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul, yang dikemukakan kepada para pihak.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
76
Musyawarah ini apabila dilakukan, harus pula memperhatikan tata cara formal seperti surat pemanggilan, berita acara atau notulen rapat, akta atau pernyataan perdamaian yang berguna sebagai bukti bagi para pihak maupun pihak ketiga. Hal-hal semacam ini biasanya kita temukan dalam akta perdamaian, baik yang dilakukan di muka hakim maupun di luar pengadilan atau notaris. 5. Penyelesaian Melalui Pengadilan Apabila usaha-usaha musyawarah tersebut mengalami jalan buntu, atau ternyata ada masalah-masalah prinsipiil yang harus diselesaikan oleh instansi lain yang berwenang, misalnya pengadilan, maka kepada yang bersangkutan disarankan untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan. Hal tersebut di atas tidak menutup kemungkinan bagi instansi agraria untuk dapat memutuskan sengketa dengan mengeluarkan sesuatu keputusan administrasi sesuai dengan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Jadi pada umumnya sifat dari sengketa ini adalah karena adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan/prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya. Pada akhirnya penyelesaian tersebut, senantiasa harus memperhatikan/selalu mendasarkan kepada peraturan yang berlaku, memperhatikan keseimbangan kepentingan-kepentingan para pihak, menegakkan keadilan hukumnya serta penyelesaian ini diusahakan harus tuntas.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
77
6. Pembatalan Hak Atas Tanah Sebagaimana diketahui di dalam Ilmu Hukum, yang dimaksud dengan hak pada hakikatnya adalah suatu kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang terhadap sesuatu benda maupun orang, sehingga di antaranya menimbulkan hubungan hukum. Jadi apabila seseorang memperoleh hak atas tanah, maka terhadap orang tersebut telah melekat kekuasaan atas tanah tersebut dengan dibatasi kewajiban yang diperintahkan oleh hukum. Pembatalan pada dasarnya adalah suatu perbuatan yang bermaksud memutuskan, menghentikan atau menghapuskan sesuatu hubungan hukum. Di dalam hukum (peraturan) kita mengenal ajaran kebatalan (nietigheid, nulliteit) yaitu yang membedakan antara pengertian: 38 1) Kebatalan mutlak dari suatu perbuatan atau juga disebut kebatalan demi hukum, yaitu suatu perbuatan harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh sesuatu pihak atau tidak perlu dituntut secara tegas (disebut absolute nietigheid). 2) Kebatalan nisbi, adalah suatu kebatalan perbuatan yang terjadi apabila diminta oleh
orang
tertentu.
Jadi
ada
syarat
bagi
orang
tersebut
untuk
memohon/menuntut secara tegas disebut relatief nietigheid). Biasanya tuntutan yang diajukan oleh salah satu pihak karena cacat hukum (paksaan, kekeliruan, penipuan dan lain-lain). Pembatalan nisbi ini terdiri atas batas atas
38
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1991, h. 28.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
78
kekuatan sendiri (nietig van rechtswege), dimana kepada hakim dimintakan agar menyatakan batal (nietig verklaard). Misalnya, perbuatan tersebut dikemudian hari ternyata mengandung cacat. 3) Dapat dibatalkan (vernietigbaar) dimana hakim akan membatalkan, apabila terbukti perbuatan tersebut mengandung hal-hal yang menyebabkan batal. Misalnya, paksaan, kekeliruan, penipuan dan lain-lain. Di dalam buku BW pada Pasal 1320 jo Pasal 1337 dinyatakan suatu persetujuan mengakibatkan batal apabila mengandung paksaan, penipuan, kekhilafan, ketidak cakapan si pembuat dan tanpa sebab (causa tak halal). Sedangkan mengenai kebatalan dalam arti “nietif heid” (nulliteit) diberikan dalam hal: 39 a. kebatalan sebagaimana ditegaskan oleh undang-undang atau kebatalan resmi (textuela of formela nulliteit), yaitu kebatalan yang didalilkan oleh pembuat undang-undang secara tegas sebagai akibat tidak ditaatinya ketentuan peraturan. b. Kebatalan pokok hakiki atau yang sebenarnya (essentiele, substantief, vertrek nulliteit) yang karena sifat masalah dan kepentingan suatu peraturan walaupun tidak dinyatakan secara tegas oleh hakim adalah batal.
39
Tesis
Ibid., h. 39.
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
79
Di atas telah diuraikan bahwa dengan diberikannya hak/diperolehnya hak (atas tanah) tersebut apabila seseorang, maka terjalinlah hubungan hukum antara pemegang hak tersebut dengan tanahnya. Perolehan hak tersebut dapat dibedakan dalam hal : 40 a. Orang tersebut memperoleh haknya secara originair. Misalnya, okupasi, membuka hutan, pemberian hak dari pemerintah. b. Pemberian dengan cara derivatief, yaitu memperoleh haknya karena peralihan hak. Misalnya dengan jual beli, tukar menukar, hibah dan lain-lain. Menurut sistem Pendaftaran Tanah yang dicabut oleh UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, maka stelsel yang digunakan dalam administrasi pendaftaran tanah kita adalah stelsel negatif. Di dalam stelsel ini terkandung pengertian bahwa tanda bukti hak (sertifikat) yang dipegang seseorang belum menunjukkan orang tersebut sebagai pemegang hak yang sebenarnya. Dengan perkataan lain tanda bukti terkuat atas tanah, oleh sertifikat tersebut setiap waktu dapat dibatalkan apabila ‘ternyata ada pihak lain yang dapat membuktikan secara hukum bahwa ia adalah pemilik yang sebenarnya. Lain halnya di dalam sistem yang positif, yaitu tanda bukti hak seseorang atas tanah adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Apabila ternyata terdapat
40
Tesis
Ibid.
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
80
bukti yang cacat, menunjukkan cacat hukum dari perolehan hak tersebut, maka ia tidak dapat menuntut pembatalan, kecuali tuntutan pembayaran ganti kerugian. Berdasarkan ketentuan UUPA Pasal 2 yang memberikan wewenang hak menguasai negara terhadap bumi, air dan ruang angkasa khususnya tanah, tersirat di dalamnya mengatur hubungan hukum seeorang terhadap tanah yang dalam hal ini adalah termasuk pemutusan hubungan atau pembatalan hak seseorang atas tanah. Terlepas dari masalah penyelesaian sengketa pertanahan sebagaimana tersebut di atas, warga masyarakat Nusa Tenggara Barat selaku pemegang hak atas tanah adat atau ulayat yang akan digunakan sebagai landasan pacu pesawat atau lapangan terbang
tetap
mempertahankan
hak-haknya
tersebut.
Kecuali
pemerintah
menunjukkan etiket yang baik dalam hal prosedur pelepasan atau pembebasan hak atas tanah, yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya memberikan suatu penjelasan kepada masyarakat pemegang hak atas tanah adat mengenai kepentingan umum dan penentuan mengenai harga ganti kerugian atas tanah yang terkena pembebasan tersebut.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
81 BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan a. Menurut UUPA mengakui adanya hak ulayat sebagaimana Pasal 3 UUPA. Pengakuan terhadap tanah ulayat merupakan suatu hal yang memang dilindungi sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hakhak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun pengakuan hak ulayat tersebut dibatasi yaitu hak ulayat yang masih selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban sebagaimana Pasal 28 I UUD 1945 dan tidak didaftar b. Bentuk perlindungan hukumnya bila diperlukan untuk kepentingan umum sebagaimana Pasal 18 UUPA, maka masyarakat pemegang hak ulayat diberi penggantian berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi rakyat setempat sesuai dengan pasal 14 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang telah dirubah oleh Perpres No. 65 Tahun 2006, yang penggunaannya untuk kepentingan seluruh pemegang hak ulayat atas tanah tersebut.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
82
2. Saran a. Diundangkannya UUD 1945 setelah Referandum merupakan suatu bukti pengakuan hak ulayat oleh masyarakat adat yang merupakan perwujudan dari Pasal 3 UUPA. Untuk itu hendaknya masyarakat pemegang hak ulayat benarbenar memperoleh perlindungan hukum dalam menggunakan haknya dengan mendapat sertipikat hak ulayat, meskipun juga harus memperhatikan kepentingan umum dengan pemberian ganti kerugian yang layak. b. Hendaknya jika tanah hak ulayat diperuntukan bagi kepentingan umum perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat beserta hak-haknya atas ganti kerugian agar tidak timbul permasalahan sebagaimana kasus yang terjadi di NTB.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
83
DAFTAR BACAAN
A. Buku Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaan, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999. Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa Ini, Bina Cipta, Bandung, 1978, h. 59. Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, bandung, 1996. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cet. II, Mandar Maju, Bandung, 2003. Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. V, Liberty, Yogyakarta, 2007. Maria
S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Implementasi), Kompas, Jakarta, 2002.
(Antara
regulasi
dan
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987. Soehadi, Penyelesaian Sengketa Tentang Tanah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, Karya Anda Surabaya, 1999.
Soerojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983. Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Predana Media, Jakarta, 2006.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
84
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Peraturan Menteri Negara/kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang Ditujukan Kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.
Tesis
Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat
Wahyu Arsyantuti