Tinjauan Yuridis Penggunaan Sumpah Li’an dalam Pengingkaran Anak Hasil Hubungan Pranikah: Studi Putusan No. 1595/Pdt.G/2010/PA.Sda Cahaya Cita Putri, Yeni Salma Barlinti, & Zainal Arifin1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini membahas mengenai studi kasus putusan No. 1595/Pdt.G/2010/PA.Sda terkait tata cara pelaksanaan sumpah li’an yang diatur dalam hukum Islam dan hukum Indonesia. Selain itu dibahas pula mengenai implikasinya dalam pengingkaran anak hasil hubungan pranikah dalam kasus tersebut. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Dari hasil penelitian teridentifikasi masalah dalam peraturan mengenai sumpah li’an dalam hukum Indonesia yang meski sudah sesuai aturan dalam hukum Islam secara formil namun belum secara komprehensif mengatur mengenai syarat materil terkait penggunaan sumpah li’an dan akibatnya, juga kurang tepatnya penggunaan sumpah li’an dalam pengingkaran anak hasil hubungan badan pranikah sebab sumpah li’an tersebut dilakukan terhadap perbuatan istri sebelum menikah dengan suami yang melakukan li’an, di mana hak suami terhadap istri merupakan hak yang tidak berlaku surut. Kata kunci: Li’an; Pengingkaran Anak; Perceraian; Hubungan Pranikah; Zina ABSTRACT This research discuss about the li’an procedure as stated in Islamic Law and Indonesian Law, regarding the implication if done as premarital child disownment concerning verdict No. 1595/Pdt.G/2010/PA.Sda. This is a normative juridical research using secondary data. The research identifies the problem in li’an procedure as stated in Indonesian Law whereas it has formally complied with the Islamic Law procedure, but has not yet comprehensively covered the material conditions and its consequences. Furthermore, in the case of fornication (zina) accusation and premarital child disownment, li’an usage is improper due to the nonretroactive condition of husband’s rights (haq) towards his wife. Key words: Li’an; Child Disownment; Divorce; Premarital Courtship; Fornication
1
Cahaya Cita Putri adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan sidang penguji. Yeni Salma Barlinti & Zainal Arifin adalah Dosen Fakultas Hukum UI yang memberikan bimbingan kepada Cahaya dalam menulis skripsinya yang berjudul “Tinjauan Yuridis Penggunaan Sumpah Li’an dalam Pengingkaran Anak Hasil Hubungan Pranikah: Studi Putusan No. 1595/Pdt.G/2010/PA.Sda.” Tulisan ini merupakan ringkasan dari Skripsi yang dimaksud.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
A. PENDAHULUAN Seorang suami yang yakin bahwa istrinya berzina dan anak yang dikandung oleh istrinya bukanlah anaknya meski tidak memiliki bukti yang kuat dapat mengajukan perceraian dan pengingkaran anak dengan menggunakan sumpah li’an, yaitu suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya dengan melakukan sumpah sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan melakukan sumpah nukul.2 Sejarah mengenai sumpah li’an dapat kita lihat pada H.R. Bukhari: 4747, H.R. Abu Daud: 2237, H.R. Tirmidzi: 3229, dan H.R Ibnu Majah: 2067 yang mengisahkan kasus Hilal bin Umayyah.3 Dalam riwayat tersebut diceritakan mengenai asal mula sumpah li’an, di mana sang suami (Hilal bin Umayyah) yakin bahwa istrinya berzina dan bahwa anak yang dikandung oleh istrinya bukanlah anak dari benihnya namun ia tidak memiliki 4 (empat) orang saksi. Hilal bin Umayyah kemudian menggunakan sumpah sebagai pembuktian dan kemudian menceraikan istrinya setelah bersumpah bahwa istrinya telah berzina, yang kemudian dijawab dengan sumpah nukul oleh istrinya. Tuduhan zina dan sumpah li’an dapat berdampak besar bagi anak yang dikandung oleh sang istri sebab meskipun sumpah li’an yang dilakukan ternyata tidak benar dan bahwa anak yang diingkari tersebut sesungguhnya adalah anak kandung dari sang suami, sumpah li’an yang telah diucapkan tetap “menghapus” nasab sang anak dari ayahnya sendiri sehingga secara hukum ia kehilangan berbagai hak sebagai anak. Dengan kata lain, suami yang menjatuhkan sumpah li’an kepada istrinya bisa hanya berpegang kepada keyakinannya bahwa anak yang dikandung istrinya adalah anak hasil zina sehingga anak tersebut adalah anak luar kawin yang tidak memiliki hubungan nasab dengan dirinya. Masalah yang dapat timbul terkait dengan pengasuhan anak dan tanggung jawab sang suami terhadap anak serta hak-hak lain anak tersebut secara otomatis hilang bersama dengan “terhapusnya” nasab anak oleh sumpah li’an juga menjadi perhatian dari Penulis. Salah satu 2
Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, Pasal 126.
3
Ummu Sufyan Rahmawaty Woly, “Talak Bagian 6 (Sebab Talak: Li’aan),” http://muslimah.or.id/fikih/talakbagian-6-sebab-talak-liaan.html, diakses pada 29 Oktober 2012.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
masalah krusial yang dapat terjadi yaitu apabila sang anak yang lahir adalah anak perempuan, di mana untuk kawin di kemudian hari seorang perempuan harus diwalikan oleh ayahnya sebagai wali nasab yang sah untuk akad nikah. Namun karena nasabnya terhapus oleh sumpah li’an maka ia tidak diwalikan oleh ayahnya sendiri. Sumpah li’an juga mengharamkan rujuk untuk selamalamanya di antara pihak yang melakukannya. Lebih lanjut mengenai sumpah li’an sebagai salah satu bentuk pembuktian dapat dilihat dalam kasus perceraian dengan sumpah li’an pada putusan No. 1595/Pdt.G/2010/PA.Sda. Sumpah li’an dalam kasus tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan suami yang telah melakukan hubungan badan pranikah dengan istrinya, namun ia yakin bahwa istrinya yang telah hamil di luar nikah bukan hamil akibat hubungan badan dengan dirinya sehingga suami tersebut mengajukan permohonan cerai dan pengingkaran anak dengan sumpah li’an. a. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, ada beberapa rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana pengaturan mengenai tata cara perceraian dengan sumpah li’an yang diatur dalam Islam dan berdasarkan sistem hukum yang berlaku di Indonesia? 2. Apakah sumpah li’an sebagai pengingkaran anak hasil zina yang dilakukan sebelum kawin memiliki kekuatan hukum yang sama dengan pengingkaran anak hasil zina dalam perkawinan? b. Tujuan Penelitian Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah dan pokok permasalahan, penelitian ini mempunyai tujuan, yaitu: 1.
Menelaah lebih lanjut mengenai tata cara perceraian dengan sumpah li’an yang diatur dalam Islam dibandingkan dengan perceraian dengan sumpah li’an dalam sistem hukum Indonesia.
2.
Memberi penjelasan mengenai kekuatan hukum sumpah li’an yang dilakukan sebagai pengingkaran anak yang terlahir akibat hubungan zina pranikah dan akibat hubungan zina dalam perkawinan terkait kasus perceraian pada putusan No. 1595/pdt.G/2010/PA.Sda.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
B. TINJAUAN TEORITIS a. Pengertian Zina Neng Djubaedah menjelaskan bahwa zina merupakan hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah secara syariah Islam, atas dasar suka sama suka dari kedua belah pihak, tanpa keraguan (syubhat) dari para pelaku zina yang bersangkutan.4 Masalah zina adalah masalah yang sensitif dan merupakan dosa yang amat besar dalam agama Islam, oleh karena itu untuk memperjelas mengenai zina maka Rasulullah SAW menyebutkan mengenai batasan perbuatan yang dapat dikatakan sebagai zina dalam hadis riwayat Abu Daud dan Darutquni mengenai kasus Ma’iz bin Malik yang menjelaskan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan zina apabila memang terjadi hubungan kelamin antara wanita dan pria yang bukan merupakan hasil hubungan perkawinan. Selain itu dalam Q.S. An-Nisaa: 15-16 dijelaskan mengenai keharusan adanya 4 (empat) orang saksi dalam tuduhan zina, dan hukuman berupa kurungan seumur hidup terhadap wanita pelaku zina. Dalam masa hukuman tersebut, diharapkan bahwa pelaku zina bertaubat kepada Allah SWT. Terdapat pendapat lain mengenai hukuman bagi pelaku zina, yaitu bahwa rajam hanyalah bagi pelaku zina muhsan dan muhsanah atau pelaku zina yang sebelumnya telah berhubungan kelamin secara sah akibat perkawinan. Bagi pelaku zina yang belum pernah kawin sebelumnya atau disebut dengan gaira muhsan dan gaira muhsanah, dikenakan hukuman jilid atau cambuk sesuai dengan Q.S. An Nur: 2. Pasal 116 KHI membenarkan zina sebagai salah satu alasan untuk mengajukan gugatan cerai, namun perlu diingat bahwa pembuktian perbuatan zina bukanlah perkara yang mudah. Perbuatan zina dalam Islam harus dibuktikan secara in flagrante delicto, atau benar-benar disaksikan dengan mata kepala sendiri. b. Pengertian Sumpah Li’an Li’an berasal dari kata la’ana yang artinya mengutuk. Disebut demikian karena orang yang melakukan sumpah li’an pada sumpahnya yang kelima bersedia menerima laknat Allah SWT
4
Neng Djubaedah, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 119.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
apabila ternyata sumpahnya dusta.5 Dalam Islam, pembuktian mengenai perbuatan zina dilakukan dengan menghadirkan paling sedikit 4 (empat) saksi pria. Namun apabila sang suami yang menuduh istrinya berbuat zina tidak dapat menghadirkan empat orang saksi atau tidak dapat memberikan suatu bukti yang kuat maka ia dapat menggunakan sumpah li’an sebagai pembuktian yang kemudian harus dijawab dengan sumpah yang menolak tuduhan zina yang diucapkan oleh pihak istri. c. Kasus Posisi Pada tanggal 9 Juni 2010, Pemohon, seorang pria berusia 21 (duapuluhsatu) tahun yang tinggal di Sidoarjo mengajukan permohonan untuk menceraikan Termohon, seorang wanita berusia 18 (delapan belas) tahun yang juga tinggal di Sidoarjo. Mereka menikah pada tanggal 4 Mei 2010 di Kabupaten Sidoarjo dengan bukti Kutipan Akta Nikah No. 216/09/V/2010, dan kemudian Termohon melahirkan seorang anak bernama Anak tiga hari setelah pernikahan tersebut, yaitu pada tanggal 7 Mei 2010. Pemohon dan Termohon sebelumnya telah melakukan hubungan seksual pranikah sebanyak dua kali, namun Pemohon dalam permohonan cerainya menuduh bahwa Termohon pernah melakukan hubungan seksual dengan pria lain sebelumnya. Oleh karena itu, Pemohon mengajukan permohonan izin untuk mengucapkan sumpah li’an terhadap Termohon sebagai pembuktian tuduhan zina serta pengingkaran anak. Dalam putusan pada tanggal 2 Desember 2010, Majelis Hakim yang terdiri atas Dra. Hj. Masnukha, M.H., Drs. Zainal Aripin, S.H., M.Hum., dan Drs. Mutakin mengadili: 1. Menjatuhkan talak bain kubra Pemohon terhadap Termohon; 2. Menyatakan anak yang bernama Anak yang dilahirkan oleh Termohon pada tanggal 7 Mei 2010 bukan anak sah dari hasil perkawinan Pemohon dan Termohon; 3. Menghukum Pemohon (Tergugat Rekonvensi) untuk membayar sejumlah uang kepada Termohon (Penggugat Rekonvensi) berupa: a. Nafkah madliyah sebesar Rp. 450.000,00. b. Mut’ah sebesar Rp. 1.000.000.00. 5
H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah, diterjemahkan oleh Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hal.
287.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
4. Membebankan Pemohon untuk membayar seluruh biaya perkara yang hingga saat ini dihitung sebesar Rp. 301.000,00. Dengan demikian Majelis Hakim mengabulkan permohonan cerai dan pengingkaran anak dengan sumpah li’an dalam kasus ini. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan memanfaatkan data sekunder atau data berdasarkan sumber-sumber kepustakaan yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang meliputi penelitian terhadap asas-asas, sistematika, sinkronisasi, dan perbandingan hukum.6 Dalam penelitian ini, studi kepustakaan dilakukan dengan mengolah data berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan bahan literatur yang terkait dengan hukum keluarga dan hukum Islam untuk dapat menganalisis permasalahan yang dibahas. Penulis menggunakan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara terhadap berbagai narasumber terkait objek yang diteliti. Selain data primer, Penulis juga menggunakan data sekunder sebagai landasan untuk meneliti masalah yang diutarakan sebelumnya, yang terdiri atas: 1. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat di masyarakat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan
antara lain
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Pradiga), Undangundang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer, Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (HIR). 2. Bahan hukum sekunder, bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini digunakan buku-buku, artikel, skripsi, tesis, al Qur’an, dan hadis, serta sumber-sumber tertulis lainnya terkait hukum Islam dan permasalahan yang dibahas dan diteliti. 6
Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 52.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memperjelas dan petunjuk atas bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian ini, ensiklopedia, kamus hukum, serta kamus bahasa asing digunakan untuk membantu Penulis menerjemahkan bahan-bahan literatur atau istilah-istilah yang ditulis menggunakan bahasa asing. Dalam penelitian ini Penulis akan mewujudkan penulisan berupa penelitian yuridis normatif dan bertujuan menemukan problem identification atau identifikasi terhadap permasalahan yang dibahas.
D. PEMBAHASAN Pemohon dalam kasus perceraian di atas menyampaikan alasan-alasan berikut sebagai sebab hubungan perkawinannya dengan Termohon sudah tidak dapat dipertahankan, antara lain: a. Pemohon menikahi Termohon tidak dilandasi rasa cinta dan kasih sayang, namun karena terpaksa sehingga keinginan untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah tidak akan pernah terlaksana; b. Pemohon meyakini anak yang dilahirkan oleh Termohon bukan darah daging Pemohon dengan dasar Pemohon yakin Termohon pernah melakukan hubungan badan dengan orang lain; c. Termohon telah meninggalkan rumah kediaman bersama dan kembali ke rumah orangtuanya tanpa seizin Pemohon; d. Antara Pemohon dan Termohon terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi. Alasan-alasan tersebut juga diperkuat oleh saksi-saksi baik yang diajukan oleh Pemohon maupun Termohon, walau Termohon menyangkal bahwa ia pulang tanpa izin kepada Pemohon. Dengan alasan Termohon telah meninggalkan rumah kediaman bersama, Pemohon juga menuduh bahwa Termohon telah nusyuz. Majelis Hakim yang mengadili perkara perceraian ini kemudian mengajukan pertimbangan bahwa:
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
a. Sejak sebelum terjadi perkawinan telah terjadi pertengkaran antara keluarga Pemohon dan Termohon, sebab Termohon telah hamil dan keluarganya yakin bahwa Termohon dihamili oleh Pemohon;7 b. Pemohon dan Termohon tidak saling tegur sapa dan tidak tidur bersama selama tinggal di rumah bibi Pemohon (Saksi IV Pemohon);8 c. Para saksi, yaitu para pihak yang berhubungan erat dengan Pemohon dan Termohon, tidak pernah dan tidak bersedia merukunkan mereka;9 d. Dalil mengenai kondisi rumah tangga Pemohon dan Termohon yang tidak harmonis dan tidak mungkin dipersatukan kembali telah diperkuat
dengan keterangan para saksi
sehingga berdasarkan pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 telah terbukti retak;10 e. Pemohon mengajukan permohonan izin untuk mengucapkan sumpah li’an dan telah mengucapkannya meski telah dinasehati oleh Majelis Hakim dan dijawab dengan sumpah nukul oleh Termohon.11 Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim mengabulkan perceraian antara Pemohon dan Termohon serta pengingkaran anak oleh Pemohon dengan dibacakannya sumpah li’an di hadapan pengadilan. Tetapi, Majelis Hakim menyangkal alasan tidak adanya rasa cinta dan kasih sayang pada awal pernikahan tidak terbukti, karena dalam salah satu pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan: Menimbang, bahwa sekalipun Pemohon (suami) telah diberi izin untuk mengucapkan sumpah li’an, namun hal itu tidak membuktikan alasan perceraian huruf (a) dimaksud, karena pengingkaran Pemohon terhadap anak yang lahir dalam pernikahan mereka, bukan hasil perbuatan Termohon yang dilakukan setelah menikah tapi perbuatan yang dilakukan sebelum menikah.
7
Putusan No. 1595/Pdt.G/2010/PA.Sda, hal. 30.
8
Ibid., hal. 31.
9
Ibid., hal. 31-32.
10
Ibid., hal. 32.
11
Ibid., hal. 34.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
Dengan kata lain, meskipun anak tersebut pada akhirnya diingkari namun sebelum perkawinan terjadi Pemohon dan Termohon telah melakukan hubungan, sehingga dari pertimbangan Majelis Hakim di atas dapat disimpulkan keraguan Majelis Hakim mengenai pernyataan Pemohon bahwa ia menikahi Termohon tanpa rasa cinta dan kasih sayang. Dalam kasus ini, Majelis Hakim menitikberatkan alasan perceraian dalam kasus ini pada kondisi rumah tangga Pemohon dan Termohon setelah terjadi perkawinan dan sebagai akibat dari sumpah li’an yang telah diucapkan oleh Pemohon. Sedangkan, dalam kaitan antara pertimbangan Majelis Hakim dengan permohonan pengingkaran anak, Pemohon dalam kasus perceraian ini mengajukan pengingkaran anak terhadap Anak yang lahir 3 (tiga) hari setelah pernikahannya yaitu pada tanggal 7 Mei 2010. Anak tersebut dikatakan oleh Termohon sebagai anak hasil hubungan pranikahnya dengan Pemohon. Pemohon berkeras bahwa anak tersebut bukan hasil hubungannya dengan Termohon sebab ia yakin Termohon pernah berhubungan dengan laki-laki lain, meski informasi tersebut ia dapat hanya melalui pengakuan Termohon dan bukan melihat secara langsung perbuatan Termohon tersebut. Majelis Hakim mengizinkan pembacaan sumpah li’an setelah menasehati kedua pihak tentang laknat Allah SWT dan sumpah tersebut dibacakan pada tanggal 28 Oktober 2010, 16 (enam belas) hari setelah akta lahir anak dibuat yaitu tertanggal 12 Oktober 2010.12 Dalam putusan tersebut tidak dijelaskan mengenai adanya pertimbangan atau usaha pembuktian lain, seperti penggunaan teknologi atau perhitungan waktu dari dilakukannya hubungan badan sebelum menikah antara Pemohon dan Termohon hingga kelahiran anak, sebagai alasan diberikannya izin untuk melaksanakan sumpah li’an maupun terkait kebenaran garis keturunan anak tersebut selain bahwa Majelis Hakim telah menasehati kedua belah pihak dan bahwa kedua belah pihak tetap bersedia melaksanakan sumpah li’an. Dengan diberikannya izin dan dilaksanakannya sumpah li’an di hadapan pengadilan, pengingkaran terhadap anak terjadi dan perceraian menjadi harus dilakukan. Tetapi dalam pertimbangan Majelis Hakim seperti tertuang dalam Putusan No. 1595/Pdt.G/2010/PA.Sda, terdapat beberapa hal yang menjadi masalah dalam penggunaan sumpah li’an sebagai pengingkaran anak dan sebagai alasan yang mewajibkan perceraian, terkait 12
Ibid., hal. 33.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
dengan perbuatan Pemohon dan Termohon sebelum menikah dan setelah resmi menikah sesuai dengan pokok permasalahan penelitian ini yang telah dijabarkan pada bab pertama. Seperti yang telah diketahui, Pemohon mengajukan sumpah li’an sebagai bentuk pengingkaran anak dalam kasus perceraian ini. Namun inti dari sumpah li’an adalah sebagai alat bukti pengganti empat kesaksian dalam pembuktian zina, yang menunjukkan fungsi utama sumpah li’an sebagai alat bukti dalam pembuktian zina. Dalam hadis Imam Bukhari yang menceritakan tentang kasus Hilal bin Umayyah yang menuduh istrinya berzina dengan Syuraik bin Sahma, sumpah li’an sekaligus digunakan untuk mengingkari anak dalam kandungan istrinya tersebut. Tetapi dalam kasus tersebut perzinaan dilakukan dalam perkawinan, demikian juga pengingkaran anak tersebut oleh Rasulullah SAW diperkuat dengan mencocokkan ciri-ciri anak yang
lahir
dengan
Syuraik
bin
Sahma.13
Sedangkan
dalam
kasus
Putusan
No.
1595/Pdt.G/2010/PA.Sda, anak yang diingkari adalah anak yang lahir 3 hari setelah perkawinan berlangsung dan merupakan hasil hubungan badan pranikah. Dengan memperhatikan alasan tersebut, maka dapat dikatakan terdapat ketidaktepatan dalam pertimbangan Majelis Hakim mengenai putusan cerai dalam kasus ini. Pertimbangan Majelis Hakim mengenai alasan bercerai dalam Putusan No. 1595/Pdt.G/2010/PA.Sda dapat dilihat dari kutipan berikut: Menimbang, bahwa dengan telah terbukti rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak harmonis, telah terjadi perselisihan, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, bahkan Pemohon telah mengucapkan sumpah li’an terhadap Termohon begitu juga Termohon telah mengangkat sumpah nukul, maka berdasarkan Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam perkawinan mereka harus diceraikan selama-lamanya dan tidak dapat kawin kembali antara mereka kapan saja. Dalam Pasal 125 KHI dinyatakan bahwa “Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya,” sehingga ketika Majelis Hakim mengizinkan sumpah li’an dan sumpah li’an dibacakan di hadapan pengadilan, maka dengan demikian perkawinan Pemohon dan Termohon harus putus dan tidak dapat dilakukan rujuk. Dalam putusannya, Majelis Hakim menjatuhkan talak bain kubra dan pengingkaran terhadap Anak sehingga ia hanya dinasabkan kepada Termohon. 13
Hamdani, Op.Cit., hal. 287-288.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
Dapat disimpulkan bahwa kekuatan hukum sumpah li’an meliputi sumpah li’an sebagai sumpah decisoir di mana dalam sidang perceraian, apabila pihak suami telah membacakan sumpah li’an, meskipun dalil alasan perceraian lainnya tidak terbukti namun perceraian tersebut tetap harus terjadi sebab telah dilakukan sumpah li’an di mana suami menuduh istrinya berzina hingga memiliki anak yang mengindikasikan telah hilangnya kepercayaan di dalam perkawinan tersebut dan tujuan awal perkawinan untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dalam kasus ini terdapat ketidaktepatan mengenai penggunaan sumpah li’an tersebut yang kemudian memiliki akibat-akibat hukum yang tidak seharusnya. Perlu ditekankan bahwa dalam hadis-hadis terkait li’an, sumpah li’an dilakukan kepada istri yang melakukan perzinaan setelah perkawinan, baik dalam kasus Hilal bin Umayyah14 maupun Uwaimir Al Ajlani.15 Dalam hadis riwayat Ahmad dan Asshabus Sunan disampaikan bahwa:16 Segala sesuatu yang akan menyebabkan manusia lupa (dari mengingat Allah) adalah bathil, kecuali tiga macam: memanah, berlatih naik kuda, dan bercanda dengan istri, ketiganya adalah haq. Hadis tersebut menunjukkan keutamaan istri sebagai hak dari suami, sehingga yang memiliki hak untuk melakukan hubungan badan dengan wanita tersebut hanyalah suaminya. Namun perlu diingat juga bahwa hak tersebut tidak berlaku surut; seorang suami yang menikahi seorang janda tidak bisa memarahi janda tersebut karena pernah berhubungan dengan orang lain sebelumnya, begitu juga apabila janda tersebut memiliki anak dari suami sebelumnya maka suami tersebut tidak bisa mengatakan istrinya telah nusyuz sebab pada saat itu istrinya adalah hak bagi mantan suaminya. Sedangkan dalam kasus ini, terdapat beberapa kondisi yang jelas-jelas menunjukkan bahwa perbuatan zina yang dituduhkan oleh Pemohon adalah perzinaan sebelum Pemohon dan Termohon menikah, yaitu: 1. Bahwa Pemohon dan Termohon mengakui pernah melakukan perzinaan sebelum mereka menikah; 14
Ibid., hal. 287-288.
15
Woly, Op.Cit., diakses pada 24 Juni 2013.
16
Hamdani, Op.Cit., hal. 162.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
2. Bahwa Pemohon mengatakan bahwa pengakuan Termohon mengenai hubungan Termohon dengan pria lain dilakukan saat mereka melakukan perzinaan sebelum menikah, meskipun tuduhan tersebut tidak memiliki bukti lain selain pernyataan Pemohon, sehingga apabila benar Termohon pernah melakukan zina dengan pria lain maka dilakukan sebelum menikah dengan Pemohon; 3. Bahwa Termohon telah hamil dan melahirkan anak 3 hari setelah akad nikah; Pemohon mengajukan permohonan sumpah li’an sebagai tuduhan perbuatan zina Termohon sesuai poin 2 di atas, di mana perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan Termohon sebelum Pemohon dan Termohon menikah. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, hak seorang suami terhadap istrinya adalah setelah akad nikah dilakukan dan tidak berlaku surut sehingga suami seharusnya tidak dapat melakukan tuduhan zina dan menceraikan istrinya dengan alasan perzinaan bila perzinaan yang dilakukan oleh istrinya adalah sebelum mereka menikah. Dalam Q.S. An-Nur: 3 terdapat firman Allah yang melarang pernikahan dengan pezina:17 Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orangorang mukmin. Dalam ayat di atas, Allah mengharamkan kepada kaum mukminin untuk kawin dengan perempuan-perempuan pezina kecuali apabila mereka sudah bertaubat. Demikian pula seorang laki-laki apabila jelas berzina ia haram kawin dengan laki-laki yang baik haram kawin dengan perempuan yang jelas suka berzina.18 Pernikahan antara Pemohon dan Termohon secara Islam dapat dikatakan tidak menyalahi ketentuan dalam ayat di atas sebab keduanya pernah berbuat zina, namun dalam Q.S. Ath
17
Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit. hal. 350.
18
Hamdani, Op.Cit., hal. 102.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
Thalaq: 4 Allah berfirman bahwa ”...sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah19 mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya.” 20 Berdasarkan ayat tersebut maka seharusnya perkawinan antara Pemohon dan Termohon tidak dapat dilakukan karena Termohon tidak terelakkan dalam kondisi hamil saat dinikahi oleh Pemohon, tetapi hal ini disangkal dengan Pasal 53 KHI yang isinya: 1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. 2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. 3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Selain itu, berdasarkan pengakuan-pengakuan Pemohon dalam permohonan cerainya, atas perkawinan tersebut dapat diajukan pembatalan dengan kondisi sebagai berikut: 1. Apabila benar Termohon bisa dibuktikan pernah berzina dengan orang lain, maka berdasarkan Pasal 71 huruf c KHI ia sedang berada dalam masa iddah dengan orang lain sehingga perkawinan dapat dibatalkan; 2. Apabila benar pengakuan Pemohon bahwa ia menikah di bawah ancaman, maka perkawinannya dapat dibatalkan sesuai dengan Pasal 71 huruf f KHI. Dengan alasan-alasan di atas yang menjelaskan perbuatan zina tersebut dilakukan sebelum perkawinan sehingga Pemohon belum memiliki hak atas Termohon pada saat Termohon melakukan perbuatan zina, juga bahwa masih terdapat kemungkinan bahwa perkawinan itu sendiri tidak sah sehingga dapat dibatalkan, penggunaan sumpah li’an sebagai alasan perceraian merupakan sebuah keputusan yang tidak tepat. Selain itu, dalam kasus di mana sudah pasti anak tersebut lahir karena hubungan pranikah, terlebih lagi Pemohon atau suami telah mengakui melakukan perbuatan zina dengan Termohon atau istri sebelum menikah, maka penggunaan sumpah li’an merupakan keputusan yang tidak tepat sebab bantahan Termohon dalam sumpah nukul bahwa ia berbuat zina adalah bantahan yang jelas tidak benar, dan apabila Termohon tidak melakukan sumpah nukul maka sumpah li’an tersebut tidak sah. Penggunaan sumpah li’an dalam konteks ini seperti menggunakan tuduhan 19
Hamdani menjelaskan bahwa iddah berasal dari kata al ‘adad yang artinya bilangan dan menghitung, yaitu hari yang dihitung perempuan selama ia suci dari haid. Dalam syara’ pengertian iddah yaitu waktu menunggu dan dilarang kawin setelah seorang perempuan ditinggal mati atau diceraikan suaminya. 20
Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit. hal. 558.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
sebagai pembuktian, sebab sumpah tersebut dilakukan tanpa memiliki dasar yang kuat dan tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Oleh karena ketidaktepatan penggunaan sumpah li’an, maka Anak yang diingkari dalam kasus ini seharusnya tidak dapat diingkari dengan menggunakan sumpah li’an tersebut sebagai bukti, sebab yang dimaksud dengan anak sah dalam Pasal 42 UU Perkawinan adalah “Anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Selain itu, berdasarkan Pasal 99 KHI anak sah adalah anak yang: a. dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Terkait dengan kasus Putusan No. 1595/Pdt.G/2010/PA.Sda, Pemohon mengajukan permohonan agar Majelis Hakim menetapkan anak yang dilahirkan oleh Termohon bukan anak sah dari hasil perkawinan antara Pemohon dengan Termohon, atau pengingkaran anak, sebab Pemohon menyatakan hubungan badan dengan Termohon dilakukan dengan cara “coitus interuptus” sehingga Pemohon mengeluarkan air maninya di luar kelamin Termohon. Pemohon juga mengatakan bahwa Termohon menyatakan pernah melakukan hubungan badan dengan lakilaki lain sebelum dengan Pemohon ketika ditanya oleh Pemohon.21 Anak tersebut lahir pada 7 Mei 2010, 3 hari setelah perkawinan yang tercatat di KUA Sidoarjo dilaksanakan pada tanggal 4 Mei 2010. Berdasarkan baik Pasal 42 UU Perkawinan maupun Pasal 99 KHI, anak tersebut adalah anak yang sah sebab ia dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan berhak atas nasab dari ayah dan ibunya. Dalam Pasal 253 KUHPerdata dinyatakan bahwa suami dapat mengingkari keabsahan seorang anak hasil zina kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa ia bukan bapak anak itu, di mana dalam kasus ini pembuktian yang dilakukan oleh Termohon adalah dengan melakukan sumpah li’an sekaligus sebagai peneguhan pengingkarannya sesuai Pasal 101 KHI sehingga anak tersebut terputus nasabnya dan dikatakan sebagai anak luar kawin. Tetapi terdapat masalah mengenai hak atas nasab anak tersebut bila ditinjau lebih lanjut berdasarkan hukum Islam. Terdapat pendapat bahwa anak dapat secara otomatis dinasabkan kepada ayahnya apabila lahir setelah 6 (enam) bulan. Apabila pendapat tersebut digunakan, maka penggunaan li’an dianggap kurang tepat karena secara hukum Islam, nasab Anak tidak secara langsung digariskan kepada Pemohon sebab ia lahir kurang dari 6 bulan sejak Pemohon dan 21
Putusan No. 1595/Pdt.G/2010/PA.Sda, hal.2-3.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
Termohon menikah, sehingga tidak diperlukan adanya pengingkaran anak untuk menghapuskan nasab Anak dengan Pemohon. Apabila ditinjau lebih lanjut, terkait dengan anak luar kawin tersebut, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Pasal tersebut dijelaskan secara lebih luas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010,22 sehingga dibaca: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Meskipun tes DNA tidak bisa menentukan status anak untuk mempunyai nasab dengan laki-laki yang menghamili perempuan yang menyebabkan kelahiran anak,23 namun tes DNA seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat menjadi masukan bagi Majelis Hakim dalam memutuskan mengenai status nasab anak, di mana apabila telah terdapat bukti hasil tes DNA dan penolakan Pemohon mengenai hubungan nasab antara dirinya dengan Anak, barulah dapat dilakukan pengingkaran anak yang dapat diperteguh dengan sumpah li’an bila diperlukan.
E. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian Penulis terhadap analisis penggunaan sumpah li’an dalam tuduhan hubungan pranikah dan pengingkaran anak dalam kasus Putusan No. 1595/Pdt.G/2010/PA.Sda yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya kesimpulan yang dapat ditarik antara lain: 1. Pengaturan mengenai tata cara melakukan sumpah li’an dalam Hukum Indonesia telah dijelaskan dalam Pasal 88 UU Pradiga jo. Pasal 127 KHI yaitu apabila tidak terdapat 22
Syafran Sofyan, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Status Anak Luar Kawin, http://www.jimlyschool.com/read/analisis/256/putusan-mahkamah-konstitusi-tentang-status-anak-luar-kawin/, diakses pada 25 Juni 2013. 23
Heri Purwata, “Nasab Anak Ditentukan oleh Akad Nikah, Bukan Tes DNA,” Republika Online, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/03/23/m1bd10-nasab-anak-ditentukan-oleh-akad-nikah-bukantes-dna, diakses pada 25 Juni 2013.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
bukti lain untuk membuktikan tuduhan zina terhadap istri, maka Majelis Hakim dapat meminta para pihak untuk bersumpah yaitu dengan sumpah li’an yang diawali pihak suami dengan empat kali kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak, lalu ditutup sumpah kelima berupa laknat Allah apabila dirinya berdusta. Sumpah tersebut dapat menjadi sumpah li’an apabila istri menjawab dengan sumpah nukul yang keempat sumpah pertamanya berupa sangkalan dan diakhiri dengan laknat Allah apabila sangkalannya tersebut adalah dusta. Tata cara tersebut telah sesuai dengan tata cara sumpah li’an sesuai dengan Q.S. An-Nur:6-7 di mana dinyatakan bahwa persaksian bagi orang yang menuduh zina tapi tidak memiliki empat saksi untuk memenuhi pembuktian zina, maka ia dapat melakukan sumpah sebanyak 4 (empat) kali dengan ditutup laknat Allah bila ia berdusta. Namun Penulis melihat hadis terkait mengenai Hilal bin Umayyah yang mana di dalamnya Rasulullah SAW menganjurkan untuk menggunakan ciri-ciri fisik sebagai penunjuk mengenai keturunan anak yang di-li’an tidak dimasukkan ke dalam pengaturan sumpah li’an dalam Hukum Indonesia sehingga pengingkaran anak dengan sumpah li’an dapat dilakukan apabila Majelis Hakim telah menasehati kedua pihak dan kedua pihak melakukan sumpah li’an dan nukul di persidangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sumpah li’an dalam Hukum Indonesia hanya mencakup syarat formil sumpah li’an itu sendiri, tanpa mengatur secara komprehensif syarat materil terkait sumpah li’an serta akibatnya terhadap pihak-pihak terkait. 2. Mengenai perbedaan kekuatan hukum sumpah li’an terhadap anak hasil perzinaan sebelum perkawinan dan perzinaan dalam perkawinan, Penulis menemukan perbedaan kekuatan hukum yang disebabkan oleh hak suami terhadap istri yang hanya terdapat dalam perkawinan. Perbuatan zina yang dilakukan sebelum perkawinan terjadi pada saat suami belum memiliki hak atas istrinya dan tuduhan perzinaan tersebut tidak berlaku surut. 3. Ketidakbenaran yang terkandung dalam sumpah nukul yang dibacakan oleh pihak istri seperti yang terjadi dalam kasus yang dibahas pun menjadi alasan tambahan mengenai kurang tepatnya penggunaan sumpah li’an dalam mengingkari anak hasil perzinaan sebelum perkawinan.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
F. SARAN Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut adalah beberapa saran yang dapat Penulis berikan: 1. Sepatutnya dilakukan penjelasan secara lebih terperinci dalam peraturan perundangundangan mengenai penggunaan sumpah li’an dalam proses perceraian, disebabkan belum adanya ketentuan yang jelas mengenai sumpah li’an bila dilakukan sebagai pengingkaran anak dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi yang mungkin terjadi, seperti: a.
Anak yang akan diingkari telah memiliki beberapa saudara sebelumnya;
b.
Anak yang akan diingkari memiliki kemiripan dengan ayahnya;
c.
Konsekuensi apabila kemudian ternyata anak tersebut adalah benar anak dari ayah yang telah melakukan pengingkaran dengan sumpah li’an kepadanya.
2.
Majelis Hakim sebaiknya memperhatikan fakta-fakta seperti perhitungan tanggal kelahiran anak dari waktu perbuatan zina, penggunaan teknologi, dan kondisi-kondisi yang terkait dengan keabsahan perkawinan dan keabsahan status nasab anak sebelum mengizinkan pengingkaran anak dengan sumpah li’an. Meskipun dalam hukum Islam sumpah li’an dapat dilakukan tanpa adanya bukti-bukti lain, namun
3.
Dilakukan penyesuaian dalam peraturan perundang-undangan mengenai keabsahan anak dengan memperhatikan perhitungan waktu terkait kelahiran anak, yaitu dengan memberikan batas waktu minimal terhadap anak yang lahir dalam perkawinan agar dapat dikatakan sebagai anak yang lahir secara sah akibat perkawinan untuk menghindari manipulasi perkawinan sebagai sekedar usaha untuk menutupi perbuatan zina atau usaha mengelabui hukum. Dalam kasus di atas, misalnya, secara hukum Islam anak tersebut dapat secara otomatis dinasabkan dengan ayahnya apabila lahir minimal 6 (enam) bulan setelah perkawinan dilaksanakan, sehingga anak yang lahir 3 (tiga) hari setelah perkawinan perlu dibuktikan apakah benar ia anak sah, bukan sebaliknya anak tersebut dianggap sah karena lahir dalam perkawinan tanpa memperhatikan jangka waktu sejak perkawinan hingga kelahiran anak tersebut dan justru perlu dibuktikan apabila anak tersebut bukan anak sah. Penulis menganggap mengenai pengaturan ini perlu dituang
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan agar terdapat kejelasan hukum dan menghindari pengelabuan hukum. G. KEPUSTAKAAN BUKU Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam, ed. 6, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Arief, Saifuddin. Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta Peninggalan. Jakarta: Darunnajah, 2007. Bisri, Cik Hasan. Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Departemen Agama. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Penerbit Diponegoro, 2005. Djalil, H.A. Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Djubaedah, Neng. Perzinaan dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ditinjau dari Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2010. Djubaedah, Neng dan Yati N. Soelistijono. Hukum Kewarisan di Indonesia. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008. Al Hamdani, H.S.A. Risalah Nikah. Diterjemahkan oleh Agus Salim. Jakarta: Pustaka Amani, 2002. Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang No. 7 Tahun 1989). Jakarta: Pustaka Kartini, 1990. Mamudji, Sri, et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Ramulyo, Mohd. Idris. Studi Kasus Pelaksanaan Hukum Kewarisan islam dan Praktek di Pengadilan Agama Pengadilan Negeri, ed. revisi. Jakarta: Penerbit Ind-Hill-Co, 2000. Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1991. Sadikin. Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional tentang Hukum Keluarga dan Waris. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1995/1996.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
As-Shabuni, Muhammad Ali. Hukum Waris dalam Syariat Islam. Bandung: Diponegoro, 1988. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, 1984. Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya, 2005. Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007. Thalib, Sajuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia UI-Press, 1986. SKRIPSI Chandra, Rosalita. “Pembuktian Perkara Perceraian dengan Alasan Zina di Pengadilan Agama Yogyakarta”. Skripsi Sarjana Universitas Indonesia. Depok, 2001. PUTUSAN Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung No. 1595/Pdt.G/2010/PA.Sda. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Kompilasi Hukum Islam. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Indonesia. Undang-Undang tentang Peradilan Agama. UU No. 7 Tahun 1989, LN No. 49 Tahun 1989, TLN No. 3400. Indonesia. Undang-Undang tentang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3019. Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU No. 3 Tahun 2006, LN No. 22 Tahun 2006, TLN No. 4611. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. cet. 40. Jakarta: Pradnya Paramita. 2009.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013
Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.
SUMBER LAIN Bukhari. “The Book of Divorce” http://www.sunnipath.com/library/ Hadith/H0002P0071.aspx. Diakses 26 September 2012 pukul 20.00 WIB. Hidayat, Rahmat. “Nasab Dalam Hukum Perkawinan Indonesia” http://www.negarahukum.com/hukum/nasab-dalam-hukum-perkawinan-indonesia.html. Diakses 27 Oktober 2012. Manda, Ananya. “What is DNA?”. http://www.news-medical.net/health/What-is-DNA.aspx. Diakses 2 Mei 2013. Perbadanan Baitulmal Negeri Sabah. “Qada’, Fidyah, dan Kafarah” http://www.pbns.gov.my/portal/index.php?option=com_content&view=article&id=59&Ite mid=34. Diakses 26 Mei 2013. Purwata, Heri. “Nasab Anak Ditentukan oleh Akad Nikah, Bukan Tes DNA,” Republika Online, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/ 12/03/23/m1bd10-nasab-anakditentukan-oleh-akad-nikah-bukan-tes-dna. Diakses 24 Juni 2013. As-Sarbini, Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad. “Definisi dan Hukum Talak.” Majalah AsySyariah Edisi 072. http://asysyariah.com/difinisi-dan-hukum-talak.html. Diakses 27 Oktober 2012. Woly,
Ummu Sufyan Rahmawaty. “Talak Bagian 6 (Sebab Talak: Li’aan)” http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-6-sebab-talak-liaan.html. Diakses 29 Oktober 2012.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta. “Masalah http://www.lbh-apik.or.id/fac-40.htm. Diakses 2 Mei 2013.
Pengingkaran
Anak”
Sofyan, Syafran. “Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Status Anak Luar Kawin” http://www.jimlyschool.com/read/analisis/256/putusan-mahkamah-konstitusi-tentangstatus-anak-luar-kawin/. Diakses 25 Juni 2013.
Tinjauan yuridis..., Cahaya Cita Putri, FH UI, 2013