PENGARUH PELATIHAN DAN PENDAMPINGAN TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN DAN PERKEMBANGAN USAHA MIKRO PADA MASYARAKAT KONFLIK DESA SIEM DAN KRUENG KALEE KABUPATEN ACEH BESAR*
Abstract The aim of this research was to assess the effects of the training and community assistance to changes knowledge and growth micro business for community of conflict countryside Siem and Krueng Kalee sub province Big Aceh. To test the hypothesis, the researcher used the descriptive analysis. The results of this research showed that training and community assistance increased knowledge for society specially community in KSM (self supporting group of society) at Siem and Krueng Kalee. The training and community assistance Increased micro business in them too. The implication of this finding is the community needs more training and community assistance to growth knowledge and micro business in community. Keywords: training, community assistance, knowledge of society, micro business
Konflik bukan hal yang asing bagi rakyat Aceh. Sensus tahun 2005 mencatat wilayah yang memiliki kepadatan penduduk 4 juta ini merupakan daerah yang mengalami konflik berkepanjangan sepanjang sejarah, mulai dari perjuangan melawan Belanda hingga kelompok DI/TII terhadap pemerintahan RI. Pertikaian antara pemerintah yang diwakili aparat militer dengan rakyat yang dianggap pemberontak yang populer dengan istilah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai mendapat gelar yang berbeda yaitu menjadi Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Sejak itu provinsi yang berada di wilayah paling Barat Indonesia ini dianggap menyimpan banyak pemberontak sehingga pemerintah pusat mengambil tindakan untuk memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1991. meskipun status “DOM” sempat ditarik, namun konflik terus berlangsung. Pemerintah kembali menaikkan status Aceh menjadi “Darurat Militer” bahkan pemberlakuannya diperpanjang dua periode, baru sesudah itu menjadi “Darurat Sipil”
dan baru berakhir setelah bencana tsunami terjadi di
penghujung 2004. Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
Tidak ada yang dapat memungkiri bahwa penderitaan rakyat tidak terhindarkan saat operasi militer ini dijalankan. Sepanjang pemberlakuan Aceh sebagai “Daerah Operasi Militer”, sangat banyak tingkat kekerasan terjadi di Aceh, bahkan dialami oleh rakyat yang sama sekali tidak mengetahui dan tidak terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka ini. Aksi kekerasan pun tidak terbatas pada pemukulan, pemerkosaan, perampasan harta bahkan nyawa tapi kemarahan tidak langsung terhadap fasilitas dan prasarana fisik seperti pembakaran gedung sekolah juga dilakukan oleh pihak yang bertikai, baik itu GPK ataupun aparat keamanan. Hubungan sosial kemasyarakatan rusak karena adanya prasangka dan saling curiga. Jelas hal tersebut telah menyebabkan terjadinya pembodohan masyarakat, kemunduran sosial dan keterbelakangan ekonomi. Sementara itu, proses rekontruksi dan rehabilitasi pasca tsunami di NAD terus berlangsung. Pemanfaat yang menerima bantuan finansial dan modal dari berbagai pihak, pemerintah/swasta maupun NGO nasional dan internasional dengan alasan kemanusiaan dan perbaikan ekonomi sangat banyak. Namun tak sedikit pula yang binggung memanfaatkannya. Hal tersebut disebabkan kurangnya pendataan awal dalam memberikan bantuan, tidak berbasis pada kebutuhan yang ada dalam masyarakat penerima manfaat, tidak diberikan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat penerima manfaat dan kurang seriusnya pengelolaan bantuan serta tidak adanya pendampingan pasca pemberian bantuan. Kondisi diatas tentu saja sangat menyedihkan, dan yang lebih menyedihkan adalah sebahagian bantuan tidak terdistribusi secara merata, terkonsentrasi pada wilayah yang langsung terkena tsunami dan menafikan wilayah yang tidak terkena tsunami. Memang tsunami meninggalkan bekas kemiskinan yang besar namun ada banyak alasan masyarakat menjadi miskin, salah satunya adalah konflik yang berkepanjangan seperti yang telah digambarkan di atas. Menurut catatan BPS, kontribusi usaha kecil mikro (UKM) mampu menyediakan 99,04% lapangan kerja. Selain itu 14,20% sebagai kontribusi ekspor non migas dan memberi sumbangan terhadap Product Domestic Bruto 63,11%. Pentingnya perencanaan usaha mikro bagi pertumbuhan ekonomi menyebabkan sektor ini perlu dikembangkan secara berkelanjutan, seperti yang disampaikan Bapak Presiden pada Pencanangan Tahun Keuangan Mikro Indonesia, 26 februri 2006, bahwa salah satu strategi menaikkan pertumbuhan ekonomi adalah dengan menggerakkan sektor riil. Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
Membangun kembali kehancuran fisik akibat tsunami dan konflik perang jauh lebih mudah daripada memperbaiki kerusakan mental dan sosial ekonomi. Hal ini dialami oleh masyarakat Gampong Siem dan Krueng Kalee, dua contoh desa dari sekian banyak wilayah konflik di Aceh. Sebagai wilayah yang menjadi basis peperangan, masyarakat dengan karakter keras, tidak terpelajar, apatis, tertutup dan miskin sangat tergambar. Dalam situasi seperti itu tentu perlu ada sentuhan “kasih” yang menjadi kekuatan untuk membawa mereka kembali ke alam perdamaian. Pada situasi normal, pelatihan dapat memberikan indikasi positif terhadap perubahan pengetahuan. Dampak positif tersebut diharapkan akan melahirkan tindakan positif dengan adanya pendampingan yang intensif. Namun dalam kondisi dimana masyarakat hidup serasa tidak hidup, bisa saja perubahan yang diharapkan tidak terjadi. Itulah yang menjadi alasan penelitian untuk melihat pengaruh pelatihan dan pendampingan terhadap perubahan pengetahuan masyarakat dan perkembangan usaha mikro di wilayah konflik penting untuk dilakukan. Salah satu dampak konflik di Aceh, masyarakat kehilangan inisiatif. Akibat konflik berkepanjangan semakin banyak gejala orang yang putus asa, kehilangan inisiatif, dan semangat hidup, mereka hampir tak percaya bahwa untuk hidup perlu makan, dan untuk bisa makan harus bekerja. Menurut staf ahli Depdagri, Tarmizi karim, gelagat ini makin membesar di Aceh. Mantan Bupati Aceh Utara ini mengatakan banyak orang yang hidup dengan cara menadahkan tangan pada orang lain (pengemis), padahal dulunya mereka merupakan petani yang rajin, penuh inisiatif, dan cerdas melihat pasar. Pada masa konflik, mereka menghentikan penggarapanya karena keadaan tidak aman. Tersirat bahwa sebetulnya mereka sangat kecewa karena usaha bertaninya gagal. Kemiskinan dalam masyarakat sering digambarkan seperti lingkaran setan (vicious circle) yang sangat sulit untuk diatasi. Mereka miskin bisa disebabkan karena tidak memiliki modal ataupun asset untuk usaha ataupun kegiatan ekonomi yang ingin mereka lakukan, atau mereka tidak memiliki pendidikan dan keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, terjadi juga karena produktifitas yang rendah. Selain itu negarapun tidak mampu membuka dan menyediakan lapangan kerja yang cukup untuk rakyatnya melalui kebijakan ekonominya sehingga angka pengangguran sangatlah besar. Hal di atas telah menyebabkan terjadinya kemiskinan struktural. Sedangkan kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
adat- istiadat, budaya, ataupun sifat dari anggota masyarakat yang membuat mereka menjadi miskin (Zulkifli Husin, 2006) Lebih lanjut Zulkifli menjelaskan, peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan formal dan non formal melalui sejumlah pelatihan di NAD merupakan solusi jangka panjang menangani pengangguran. Namun dalam jangka pendek adalah bagaimana agar kredit-kredit usaha kecil untuk memulai usaha harus dapat digulirkan untuk menggerakkan aktifitas ekonomi rakyat. Tanpa usaha yang memobilisasi ekonomi rakyat, maka bantuan phisik yang telah mengalir ke Aceh akan menjadi timpang. Penting diingat bahwa pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada besar kecilnya investasi yang dilakukan di sektor ekonomi (Griffin) 1 Ratio Growth = ------------- d I ICOR
ICOR = Incremental Capital Output d I = pertambahan Investasi
Investasi yang akan masuk sangat di tentukan oleh tersedianya infrastruktur yang baik. Namun faktor non ekonomi seperti sosial, budaya, politik, hukum, dan keamanan juga merupakan faktor yang sangat menentukan bagi setiap investasi. Seperti saat konflik Aceh, hampir tak ada investor yang mau mananan modalnya, yang terjadi justru divestasi ataupun terbengkalainya investasi-investasi yang ada, karena iklim usaha (keamanan) yang sangat tidak kondusif. Akibatnya membuat ekonomi rakyat menjadi tambah terpuruk, kualitas hidup masyarakat terdegradasi, pendidikan dan kesehatan mengalami penurunan, industri-industri bekerja di bawah kapasitas dan penduduk miskinpun makin bertambah. Wirausaha adalah unsur yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi jangka panjang karena akan memberikan kontribusi positif dalam pertumbuhan ekonomi (Prof.Yake Brozen). Usaha mikro merupakan usaha (bisnis) yang dimiliki dan diatur secara independen yang tidak mendominasi pasarnya. Usaha mikro identik dengan perempuan karena berbasis dari rumah tangga dengan tujuan sebagai pelengkap (menambah) penghasilan utama keluarga. Menurut Griffin (1997), kecenderungan seseorang dalam memulai usaha (bisnis) mikro adalah: (1) peralihan dari bisnis besar, artinya konsep usaha (bisnis) dipelajari dari bisnis yang besar kemudian membuka usaha (bisnis) kecil yang baru. (2) kesempatan bagi kaum minoritas Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
dan wanita, (3) kesempatan global, artinya memulai usaha pada tempat-tempat tertentu yang menjanjikan peluang-peluang baru di pasar luar daerah/negeri: (1) tingkat keberhasilan yang lebih baik, (2) pelatihan merupakan suatu upaya penciptaan lingkungan dimana para peserta dapat memperoleh atau mempelajari atau meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman ataupun perubahan sikap dan perilaku yang spesifik dari suatu usaha (bisnis). Pelatihan dapat menjadi awal dalam pengembangan karena pengembangan diartikan sebagai penyiapan seorang pengusaha untuk memikul tanggung jawab yang berbeda atau yang lebih tinggi yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan intelektual atau emosional yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih baik. Garry Dessler dalam bukunya Manajemen Personalia, menetapkan 4 langkah bagaiman pelatihan perlu dilakukan, yaitu: (1) analisis, apakah masalahnya terletak pada ketidakmampuan atau ketidakmauan, (2) penyusunan tujuan pelatihan, dapat diamati dan dapat diukur, (3) pelatihan, teknik-teknik yang tercakup dalam training, (4) evaluasi, mengukur reaksi proses pelatihan, perilaku, atau hasil. Untuk mengefektifkan pelatihan, maka perlu dilakukan penilaian kebutuhan terhadap pelatihan. Henry Simamora dalam Manajemen Sumber Daya Manusia menentukan kebutuhankebutuhan pelatihan dengan tiga tipe analisis: analisis organisasional, yaitu pemeriksaan jenisjenis permasalahan yang dialami oleh usaha; analisis operasional, yaitu proses penentuan perilaku yang disyaratkan bagi pelaku usaha dalam mengoperasikan usahanya; analisis personalia, yaitu pemeriksaan seberapa baik individu dari pengusaha dalam menjalankan usahanya. Pelatihan mempunyai pengaruh positif terhadap pengembangan usaha karena akan meningkatkan kemampuan pengembangan usaha bagi pemilik usaha mikro. Hal tersebut merupakan hasil penelitian dilakukan di Lueng Bata Banda Aceh (Syathi, 2006), terhadap pengaruh pelatihan bagi pengembangan usaha kecil (mikro) memperlihatkan hubungan determinasi variabel independent terhadap variable dependent masih relatif kecil yaitu hanya 35 persen. Ini berarti
varibel selain pelatihan masih sangat dominan mempengaruhi variabel
pengembangan usaha kecil (mikro). Salah satu faktor diluar pelatihan yang mempengaruhi adalah adanya pendampingan sosial. Seperti halnya dalam ecosystem approach (pendekatan ekosistem) yang sering digunakan
Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
dalam model penyembuhan, paradigma generalis dapat memberikan landasan dalam memilih berbagai metodologi dan pendekatan bagi praktek pekerjaan sosial. Pendampingan sosial berpijak pada paradigma generalis (Johnson, 1989; DuBois dan Miley, 1992) yang memfokuskan pada konsultasi pemecahan masalah, manajemen sumber dan pendidikan. Sementara itu, peranan pekerja sosial sebagai pendamping akan dikontekstualkan sebagai fasilitator. Pendampingan sosial dilakukan untuk mengembangkan masyarakat. Pengembangan Masyarakat merupakan proses membantu orang-orang biasa untuk dapat memperbaiki masyarakatnya melalui tindakan kolektif (Twelvetrees, 1991). Secara akademis, dikenal sebagai salah satu metode pekerjaan sosial yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial (Suharto, 1997). Menurut Johnson (1984), Pengembangan masyarakat merupakan praktek pekerjaan sosial yang bersifat makro (macro practice). Pengembangan masyarakat secara umum meliputi perencanaan, pengkoordinasian dan pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program atau proyek kemasyarakatan. Sebagai suatu kegiatan kolektif. Dalam hal ini melibatkan beberapa aktor, seperti pekerja sosial, masyarakat setempat, lembaga donor serta instansi terkait, yang saling berkerjasama mulai dari perancangan, pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap program tersebut (Suharto, 1997). Menurut Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), ada lima peran pekerjaan sosial dalam pembimbingan sosial yaitu: fasilitator, broker, mediator, pembela dan pelindung. Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan “fasilitator” sering disebut sebagai “pemungkin” (enabler). Barker (1987) memberi definisi pemungkin atau fasilitator sebagai tanggungjawab untuk membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional. Menurut Barker, strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan pemberian harapan, pengurangan penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan personal dan asset-asset sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya. Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan sosial bahwa setiap perubahan yang terjadi pada dasarnya dikarenakan adanya usaha masyarakat sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah memfasilitasi atau memungkinkan masyarakat untuk mampu melakukan perubahan yang telah Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
ditetapkan dan disepakati bersama. Seperti halnya pesan spiritual yang popular dikalangan umat Islam “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu sendiri tidak berusaha untuk merubahnya”. Berdasarkan uraian tersebut di atas, diperkirakan bahwa, pelatihan dan pendampingan akan memberikan pengaruh positif bagi perubahan pengetahuan dan pengembangan usaha mikro.
Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan cara melakukan survey lapangan di desa Siem dan Krueng Kale kecamatan Darussalan Aceh Besar. Pengambilan sample secara “Porposive Random Sampling” dengan target responden adalah masyarakat yang telah menjadi anggota KSM (kelompok swadaya masyarakat) sebanyak 30 orang. Data yang dikumpulkan adalah data primer (primary data) yaitu dengan menggunakan kuesioner dan wawancara langsung. Untuk kebutuhan kelengkapan data juga dilakukan secara observasi partisipatif. Penelitian dilakukan pada tahun 2010. Analisis data dilakukan secara deskriptif.
Hasil dan Pembahasan Karakterristik Responden Responden yang diteliti adalah masyarakat kampung damai yang ikut menjadi anggota kelompok swadaya masyarakat (KSM) sejumlah tiga puluh orang. Semua Responden berjenis kelamin perempuan. Berasal dari Gampong Siem 14 orang dan Gampong Krueng Kalee 16 orang. Dari 30 anggota kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang menjadi responden, 97% telah mengikuti pelatihan yang dilakukan salah satu NGO Lokal dan 3% tidak mengikuti pelatihan. Gambaran
pendidikan,
53%
responden
berpendididkan SMA sederajat,
23%
berpendidikan SMP sederajat, dan 10% berpendidikan Sekolah dasar (SD) dan Sekolah rakyat (SR). Ada 7% yang sedang duduk diperguruan tinggi dan hanya 7% yang telah menyelesaikan sarjananya. Rata-rata usia responden 30-40 Tahun dan rata-rata tanggungan keluarga 3-5 orang. Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
Rata -rata perkerjaan responden adalah pedangang (usaha mikro), selain bertani sawah dan menanam tanaman muda, yaitu tanaman yang cepat dipanen (1 – 3 bulan). 27% responden merupakan pencari nafkah utama dalam keluarga, 20% memberikan kontribusi berimbang dengan para suami dan 30% hanya membantu para suami, jadi suamilah yang merupakan pencari nafkah utama keluarga, sedangkan 23% lainnya masih tinggal bersama orang tua, ayah/ibu, jadi merekalah yang membiayai kehidupan sedangkan responden hanya membantu sedikit.
Dampak pelatihan Mengimplementasikan usaha mikro berarti meningkatkan kapasitas produksi perusahaan lokal, pengusaha dan pekerja. Sejumlah program pemberian modal serta pelatihan dan pendampingan dilakukan untuk mengatasi sejumlah kelemahan usaha mikro yang teridentifikasi seperti: (a) Tidak berorientasi ke depan, (b) Hampir tidak adanya perencanaan yang tertulis, (c) Tidak memiliki pendidikan yang sesuai, (d) Tidak mampu mempelajari prilaku pasar, (e) Terbatasnya spesialisasi produk, (f) Terbatasnya inovasi produk, (g) Terbatasnya penyebaran produk, (h) Cepat puas dan terbatasnya pengkaderan, (i) Kurangnya keseimbangan dan tidak memiliki aspek akuntansi yang jelas, (j) Kurangnya kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan (k) Terbatasnya pengetahuan Hukum serta peraturan. Menurut M.L. Jhingan (1992), beberapa hal yang menjadi hambatan dalam memulai usaha adalah: keadaan sistem sosial; ketimpangan besar dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta keterbelakangan teknologi. Untuk itu diperlukan upaya guna mendorong munculnya usaha (bisnis), seperti: adanya motivasi; penciptaan inovasi dan pengembangan teknologi; pendirian lembaga-lembaga keuangan yang mengumpulkan tabungan dan menyalurkannya pada kegiatankegiatan bisnis; menciptakan tenaga trampil; menyediakan modal overhead ekonomi serta menciptakan iklim wirausaha yang kondusif. Pengembangan usaha bisa diharapkan akan berkelanjutan dengan pembekalan pelatihan (training) bagi para pelaku usaha (bisnis) karena bisa meningkatkan produktifitas usaha mereka. Semua responden mengaku mendapatkan tambahan pengetahuan setelah mereka menjadi anggota KSM khususnya pasca mereka mengikuti pelatihan yang diadakan salah satu NGO lokal. Hal ini dilatarbelakangi karena semua responden belum pernah mengikuti pelatihan sebelumnya. Realitas ini dapat di maklumi mengingat sebelum terjadinya tsunami, wilayah dimana responden berdomisili merupakan kawasan konflik. Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
Gambar 2. Aspek Penambahan Pengetahuan Responden Pasca Pelatihan
40% 3 3 .3 0 %
SF
3 0 .0 0 %
E 2 6 .70 %
ESF
20%
SFECO 6 .70 %
3%
TA
0% Jumlah
Keterangan: SF = Spiritual Family E = Entreprenership ESF = Entrepreneurship dan Spiritual Family SFECO = Spiritual Family, Entrepreneurship dan Community Organizer TA = Tidak Ada
Gambar di atas memperlihatkan aspek materi yang dirasakan bertambah dengan adanya pelatihan yang diikuti, yaitu: (1). Pelatihan Community Organizer 26,7%, tentang pemberdayaan sejati, pengorganisasian masyarakat, jati diri relawan, analisis sosial, dasar-dasar komunikasi dan pembelajaran orang dewasa; (2). Pelatihan Spiritual Family 40%, tentang: motivasi spiritual untuk rumah tangga, manajemen rumah tangga, manajemen konflik, komunikasi keluarga, menghidupkan nurani jiwa dan pola pendidikan anak; (3). Pelatihan Entreprenership dan keuangan 90,%, tentang: motivasi usaha, gambaran tentang dunia usaha, peluang usaha, pengelolaan usaha dan jaringan kerja serta pembukuan usaha; (4). Tidak mengikuti pelatihan 3%. 100% responden yang mengikuti pelatihan juga mengatakan, pelatihan yang mereka ikuti memberikan manfaat yang besar. Yang paling dirasakan setelah pelatihan adalah bertambahnya pengetahuan karena sebelumnya belum pernah didapatkan. Namun mereka juga mengaku tidak mudah untuk bisa menerapkannya.
Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
Dampak Pendampingan Program pendampingan sosial pada umumnya diberikan kepada anggota masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber, baik karena sumber tersebut tidak ada di sekitar lingkungannya maupun karena sumber tersebut sulit dijangkau karena alasan ekonomi maupun birokrasi (Suharto, 2002). 100% responden mengatakan kegiatan KSM dirasakan membantu respoden. Responden juga mengatakan keterlibatan mereka dalam KSM memberikan kesempatan mereka dapat mengakses modal usaha sehingga dapat memulai usaha dan menambah modal usaha yang telah ada yaitu 43,3%. 46,7% responden mengatakan dapat membantu mengembangakan usaha, menambah pemasukan sehingga memperbaiki keadaan ekonomi. Ada 9,9% responden mengatakan selain bermanfaat dalam hal keuangan, keterlibatan dalam KSM juga membuat mereka lebih terlibat dalam aktifitas di desa, diikutkan dalam pelatihan
dan juga dapat
memperbaiki mental mereka (lihat gambar 3). Gambar 3. Pendapat Terhadap Bantuan KSM (%) 50 40 30
46,7
43,3
20 10
3,3
3,3
3,3
0 keuangan dan kegiatan desa keuangan dan mental keuangan dan pengetahuan mengembangkan usaha, meningkatkan perekonomian keluarga modal usaha
Ada seorang responden yang mengatakan adanya KSM di gampong mereka dirasakan tidak cocok. Alasannya adalah karena KSM memberikan bantuan modal bergulir yang berarti pinjaman modal usaha yang harus dikembalikan kepada KSM, sementara itu ada rasa takut tidak sanggup membayar. Sedangkan 96,7% responden lainnya mengatakan cocok dengan alasan: karena banyak masyarakat kurang mampu dan membutuhkan modal untuk usaha 50%. Selain itu juga mengatakan bahwa di daerah tersebut sudah lama tidak ada bantuan dan tidak ada yang Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
membantu sehingga keberadaan KSM sangat membantu apalagi ada usaha masyarakat yang macet sehingga dapat berusaha lagi yaitu 36,7%. Dan 10% mengatakan bahwa responden sangat terbantu dan termotivasi dalam berusaha sehingga mengalami banyak perubahan pada perekonomian. 80% responden mengatakan ada perbedaan sesudah megikuti KSM dibandingkan dengan sebelum. Perbedaan tersebut dirasakan dalam hal ekonomi serta menambah pengetahuan dan pengalaman lainnya yaitu 23,3%. 26,7% dalam hal mengembangkan usaha dan kemajuan usaha, serta 30% responden mengatakan dapat membantu keuangan keluarga dengan adanya tambahan modal usaha. Sedangkan 6 orang mengatakan tidak ada perbedaan namun tidak mengatakan dalam hal apa. Terhadap usaha, 76,7% responden merasakan adanya dampak terhadap usaha mereka setelah mengikuti kegiatan KSM. Hal tersebut dikatakan karena ada responden yang sebelumnya menganggur tidak melakukan kegiatan produktif kini telah memiliki usaha sendiri. Alasan lainnya karena barang yang dijual semakin banyak juga lahan yang dulunya tidak terpakai menjadi terpakai dengan adanya pinjaman modal usaha. Selain itu juga keterampilan berusaha menjadi meningkat dan lebih berani mengambil resiko dalam berusaha sehingga membuat usaha lebih baik, lebih berkembang dan lebih maju (lihat tabel 3). Namun ada juga responden yang merasa usahanya biasa biasa saja bahkan tidak memberikan dampak yaitu 23,3%, karena usaha tidak berjalan lancar, pemasaran sulit menyebabkan usaha terhenti. Apalagi sekarang harga barang semakin mahal tidak sanggup lagi membeli sementara pinjaman tetap harus dilunasi (lihat tabel 2). Tabel 2. Alasan Responden KSM Tidak Berdampak Terhadap Usaha Alasan
Frequency
Percent
biasa2 saja dulu iya sekarang tidak bahan-bahan sudah mahal
1 1
3.3 3.3
1
3.3
berhenti berusaha
1 1 1
3.3 3.3 3.3
30
100.0
sulit untuk pemasaran usaha tidak lancer Total
Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
Tabel 3. Alasan Responden KSM Berdampak Terhadap Usaha
Alasan
Frequency
Percent
dapat bangkit lagi setelah jadi anggota KSM
1
3.3
dari tidak ada usaha menjadi ada usaha
2
6.7
krn skrang bnyak barang untuk dijual sudah banyak
1
3.3
krn usaha tetap berjalan
1
3.3
lahan yang dulu tdk terpakai sekarang bisa dipakai
1
3.3
lebih maju
2
6.6
lebih maju dan sangat lancer
1
3.3
menambah ekonomi keluarga
2
6.7
meningkatnya keterampilan dalam usaha
1
3.3
sudah berani mengambil resiko dalam usaha
1
3.3
usaha berkembang krn ada tambahan modal
1
3.3
usaha sudah berjalan lagi Total
1
3.3
30
100.0
Kegiatan dalam KSM membuat 83,3% responden lebih percaya diri, tidak hanya dalam hal mengatur keuangan, 6,7% tapi juga dalam pergaulan di masyarakat, tidak lagi minder dan malu-malu, termasuk ketika bergaul dengan masyarakat yang lebih maju, 23,3%. 26,7% responden lebih berani mengemukakan pendapat dan 26,7% responden lainnya mengatakan lebih percaya diri dalam berbagai hal (lihat gambar 4). Setelah mengikuti kegiatan KSM, 73,3% reponden juga jadi lebih berani mengambil keputusan tidak hanya dalam hal usaha dan keuangan keluarga tapi juga untuk tindakan lain termasuk keberanian mengambil resiko untuk pengembangan usaha sebesar 33,3%, bahkan ada 40% responden yang menjawab dalan semua hal. 26,7% responden tidak berani mengambil keputusan karena kurang percaya pada kemampuan diri dan masih takut mengambil resiko (lihat gambar 5). Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
Gambar 4. Lebih Percaya Diri (%) 100
30
80
25
60
20
40
15
16.7
83.3
20
10
0
5
23.3
26.7
26.7
6.7
0 ya
tidak bergaul dalam masy arakat dalam hal mengatur keuangan dalam segala hal lebih berani mengemukakan pendapat
Gambar 5. Keberanian Mengambil Keputusan (%) 14
40
80
12
70
30
60 50
40
10
73,3
20
40
33,3
30 20 10
26,7
2
tidak
3,3
0
0
ya
6 4
10
0
13,3
8
dalam segala hal usaha dan keuangan keluarga
kurang percay a akan kemampuan masih belum berani mengambil resiko
Dengan berbagai alasan di atas, 100% responden mengatakan bahwa pertemuan KSM baik yang dilakukan di rumah anggota, di rumah pengurus maupun di Balai Desa, dirasakan memberikan manfaat, baik itu meningkatkan tali silaturrahim, hubungan sosial kemasyarakatan, maupun kemudahan mengakses modal. Lebih dari itu, semakin banyak mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai usaha serta mencari solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi.
Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
Penutup Dari hasil penelitian ini, maka hipotesa bahwa adanya pelatihan dan pendampingan memberikan pengaruh positif terhadap perubahan prilaku dan perkembangan usaha mikro masyarakat di daerah konflik, diterima (menerima Ho dan menolak Ha). 100% responden yang pernah mengikuti pelatihan merasakan adanya penambahan wawasan khususnya di manajemen rumah tangga 66,7%, manajemen usaha 90% dan termasuk juga wawasan untuk menjadi kader masyarakat 26,7%. Dengan adanya pendampingan yang intensif terhadap KSM, masyarakat yang terlibat didalamnya merasakan manfaat yang besar. 96,7% responden berpendapat bahwa adanya KSM sebagai salah satu bentuk upaya pendampingan, dapat menjadi wadah berbagai pendidikan, 83,3% responden menjadi lebih percaya diri dan 73,3% responden lebih berani dalam mengambil keputusan. KSM juga tidak hanya memberi kesempatan kepada responden dalam hal kemudahan mengakses dana modal usaha, tapi juga memberikan berdampak positif terhadap usaha mereka (76,7%). Dengan kondisi tersebut, diharapkan lebih banyak pelatihan dan pendampingan yang diberikan kepada masyarakat di daerah konflik, karena dapat mempercepat proses pembangunan wilayah pada akhirnya.
Referensi Darwanis, dkk, 2006, Realita Kondisi Perempuan dan Anak di Aceh Pasca Konflik dan Tsunami (kumpulan laporan penelitian), Satker Pemulihan dan Peningkatan Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PPKAP) BRR NAD dan Nias, Banda Aceh. DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley, 1992, Social Work: An Empowering Profession, Boston: Allyn and Bacon. Griffin, Ricky W; Ebert Ronald J; dan Ismangil Wagiono, 1997. Bisnis, Prenhallindo, Jakarta. Husin, Zulkifli , 2006, Kemiskinan di Aceh: Dampak dari Konflik dan Tsunami serta Strategi Pengentasannya, Makalah Seminar “Problematika Kemiskinan Akibat Konflik dan Tsunami di Aceh dan Pola Penanggulangannya“, diadakan oleh TARI dan World Bank, Banda Aceh.
[email protected], 2001, Dampak Konflik Aceh, Warga Kehilangan Inisiatif, Indonesia-News, Harian Kompas, Jakarta. Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah
Jhingan, M.L, 1992, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Rajawali Pers, Jakarta. Miksalmina dan Putri Bintusy Syathi, 2006, Pengaruh Pelatihan Terhadap Pengembangan Usaha Kecil (Mikro) Di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh, DASK- Lemlit Unsyiah, Banda Aceh. Murata, Sashiko, Prof, 1999, The Tao of Islam, Mizan, Jakarta. Sonhadji Ahmad, KH dkk, 1994, ‘Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Ilmu-Ilmu Sosial Dan Keagaman’ , Kalimasahada Press, Malang. Suharto, Edi, 1997, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS), Bandung. Suharto, Edi, 2002, Pendampingan Sosial Dalam Pengembangan Masyarakat, Makalah Pelatihan Pengembangan Masyarakat Bagi Pengurus Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat Tingkat Propinsi se Indonesia, Pusdiklat Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat Depsos RI, di Jakarta. Usman Husaini, Dr, dan Akbar Purnomu Setiady, M.Pd, 2004, ‘Metodologi Penelitian Sosial’, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Yusuf, Qismullah, 2002. Peluang Usaha dan Wawasan Kewirausahaan. Pelatihan Kewirausahaan bangi Civitas Akademika di Lingkungan Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, October 21 – 26, 2002.
Ernawati, SP, M.Si Dosen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (IESP) Unsyiah