FILANTROPI UNTUK KEADILAN SOSIAL SEBUAH STUDI PENDAHULUAN TENTANG POTENSI DAN POLA DERMA PADA MASYARAKAT MINANGKABAU DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA UNTUK KEADILAN SOSIAL 1
2
3
Yulkardi , Wahyu Pramono , Agus Budiono Yunarti
4
Abstract In one of paragraph of an academic document of the National Social Welfare System revealed that the economic development of Indonesia in the past suffered serious distortion, so that growth is not necessarily improve welfare. Distorted development had led to serious social problems such as poverty, family disharmony, violence, economic vulnerability, injustice against women, and rising unemployment. Social problems can give birth de-humanization and weakening values and human relationships. Furthermore, all these social problems has become a major obstacle for economic and social development. Welfare and social justice issues are evolving today shows that there are citizens who have not been able to meet their basic needs on their own because the condition who experience barriers to social functions, and as a result they have difficulty in accessing basic social services and the systems are not able to enjoy a decent life for humanity. Keywords: Fhilantropy, Social Justice, Minangkabau Society, Generosity A. Potensi Kedermawanan Sosial dan Kemungkinannya Bagi Keadilan Sosial
D
alam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 34) mengamanatkan, Negara menjamin dan memelihara fakir miskin dan anak-anak yang terlantar, mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, serta bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesejahteraan sosial yang layak yang diatur dengan undang-undang. Sementara itu, komitmen dunia tentang pembangunan sosial dan atau kesejahteraan sosial, telah disepakati oleh berbagai negara termasuk Indonesia,
Potential Social
membawa konsekuensi bahwa permasalahan sosial dan penanganannya di setiap negara dipantau sekaligus didukung oleh masyarakat internasional. Sebagai perwujudan dari komitmen dimaksud, setiap negara diharapkan melaporkan hasil yang telah dicapai (Biro Hukum Naskah Akademik RRU Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional, 2005). Dalam RUU tersebut digariskan 6 (enam) indikator yang melibatkan semua lini kehidupan bermasyarakat untuk mencapai tujuan dari masyarakat yang memiliki kesejahteraan sosial. Dua indikator yang relevan dengan penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan, serta meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam
123 4
Penulis adalah dosen tetap jurusan Sosiologi FISIP Universitas Andalas, Padang. Penulis adalah dosen tetap jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas, Padang
33 | P a g e
mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial. Selanjutnya dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa sasaran pembangunan kesejahteraan sosial yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat, adalah individu, keluarga dan komunitas memungkinkan untuk melakukan tindakan atau aksi dalam meningkatkan kualitas hidup dan kemaslahatannya (quality of life and wellbeing). Oleh karena itu, penggunaan strategi pemberdayaan masyarakat dalam program pembangunan kesejahteraan sosial mempunyai implikasi agar setiap kegiatan yang diciptakan bertumpu pada proses yang sifatnya partisipatif: terakomodasinya aspirasi, terbuka pilihanpilihan dan terlibatnya semua komponen masyarakat dan stakeholders. Keterlibatan masyarakat secara partisipatif diantaranya dapat dimediasi melalui semangat kedermawanan sosial atau yang dewasa ini lebih dikenal sebagai tindakan-tindakan filantropi. Filantropi secara leksikal berasal dari bahasa Yunani yaitu phylanthropy; Philos (cinta) dan anthropos (manusia), oleh karenanya, mengandung arti cinta manusia atau mencintai dan peduli pada sesama manusia. Filantropi secara luas diartikan sebagai tindakan atau usaha untuk meningkatkan kesejahteraan manusia lewat berbagai bentuk bantuan dan sumbangan, atau secara esensial sama dan lebih dikenal sebagai kedermawanan sosial atau kesetiakawanan sosial. Pada masyarakat Minangkabau prinsip-prinsip kedermawanan sosial, dimana gagasan tentang masyarakat sipil yang berkeadilan sosial memiliki landasan filosofis dan normatif dalam adat dan tradisi Minangkabau dan berakar kuat pada agama Islam sebagai agama anutan orang Minangkabau. Landasan filosofis dan normatif ini membentuk norma-norma kesetiaan dan kepercayaan sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. Secara instrumental kelembagaan prinsip dan gagasan itu akrab dikenal dalam bentuk organisasi dan perkumpulanperkumpulan sosial orang Minangkabau baik yang bersifat local genuine seperti perkumpulan Urang Sumando, 34 | P a g e
perkumpulan-perkumpulan kesukuan, perkumpulan-perkumpulan berdasarkan daerah asal, komunitas berbasis mesjid hingga lembaga-lembaga yang dibentuk secara formal profesional sebagai saluran dan ruang untuk partisipasi. B. Konteks Sosial Budaya Keder mawanan Sosial di Minangkabau
O
rang Minangkabau menamakan tanah airnya sebagai Alam Minangkabau. Alam tidak hanya difahami dalam pengertian ruang geografis melainkan juga merupakan sebuah ruang filosofis. Dalam world view orang Minangkabau, manusia dipandang sebagai sebuah ciptaan dengan potensi budi daya yang sempurna yang memungkinkan manusia hidup selaras dengan berbagai unsur lain dalam kosmos kehidupan dimana manusia dipandang memiliki status yang sama. Setiap individu dipercaya dapat berfungsi dan bernilai guna bagi orang lain sesuai dengan kodrat dan kemampuannya. Kerja keras dan prestasi sangat dihargai dalam upaya hendak menjadi mulia, ternama, cerdas, terdidik atau menjadi kaya. Secara eksplisit terdapat sebuah kebajikan, bahwa seseorang mencapai prestasi adalah karena ia dibantu dan ditopang oleh orang lain ”...gadang dek di ambak, tinggi dek dianjuang...” dan ia didorong untuk membayar semua ”hutanghutang ekonomis-psikologis” dan hutanghutang sosial ini dengan ganti membantu anggota komunitasnya.. kedermawanan sosial pada orang Minangkabau, merupakan sebuah kelaziman religius dan kultural yang normatif untuk membantu orang lain, sebagai ekspresi langsung perasaan beragama dan ber-adat. Tindakan solidaritas merupakan sebuah mekanisme integratif dalam masyarakat yang akan bekerja karena setiap orang ”terikat” pada sebuah rangkaian partisipasi orang lain dalam kehidupannya, yang pada waktunya akan dibayar melalui perbuatan membantu yang sama. Solidaritas sosial ini sebagian besar merupakan ekspresi langsung dari ajaran agama Islam sebagai agama yang diyakini
oleh orang Minangkabau. Dalam konteks sebagai umat Muslim, orang Minangkabau tidak akan meluputkan momentum pembayaran Zakat Diri atau yang lebih dikenal sebagai zakat fitrah pada setiap hari raya Idhul Fitri setiap tahun hijriah. Selain sebagai ekspresi keber-agama-an, kedermawanan sosial di banyak tempat (termasuk di Minangkabau) juga merupakan ekspresi dari pelaksanaan tradisi atau budaya melalui siklus hidup oleh masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan adagium kebajikan yang diajarkan pada setiap orang Minangkabau;” ...barek samo dipikua, ringan samo di jinjiang...” (berat sama-sama dipikul dan ringan sama-sama dijinjing). Kehidupan yang saling terkait dan saling membantu masih dipraktekkan hingga saat ini, meskipun dengan derajat yang berbeda-beda. Di daerah pedesaan dan pinggiran kehidupan komunal masih terasa kental sehingga sangat mudah mengidentifikasi ke-salingterkait-an antara individu dalam komunitasnya. Sedangkan untuk daerah-daerah perkotaan dimana ciri heterogen masyarakat terlihat menonjol, kehidupan komunalitas hanya dapat diidentifikasi dalam derajat yang terbatas. Bentuk bantuan sebagai ungkapan solidaritas paling tidak dapat dibedakan 2 jenis: uang tunai, yang biasanya dapat ditemukan di berbagai kota Minangkabau sebagai implikasi dari sifat efisien masyarakat kota. Dan kedua, bantuan dalam bentuk tenaga dan in-natura yang lebih sering ditemukan pada masyarakat pedesaan. C. Perilaku Berderma: sofis dan Normatif
S
Realisasi Filo
ecara sosiologis mekanisme berderma dalam konteks adat ataupun agama memainkan peran yang penting dalam merekat integrasi dalam struktur masyarakat dan memungkinkan keberadaan masyarakat bertahan lama. Prinsip ini bekerja melalui mekanisme perangkat filosofis dan normatif yang membentuk kesetiaan sosial dan kepercayaan sehingga individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain.
Pola umum motif dan ciri hubungan antara pemberi bantuan derma dengan perantara dan penerima bantuan yang ditemukan dalam penelitian ini masih bercorak tradisional. Perilaku kedermawanan dengan corak ini belum menyentuh substansi dari pihak yang dibantu karena hanya bersifat jangka pendek dan tidak memperhatikan efek peningkatan jangka panjang. Beberapa faktor penyebab yang dapat disimpulkan berkenaan dengan hal itu adalah bahwa pertama, pemberi derma atau lembaga penyalur derma konvensional lebih berorientasi pada kebutuhannya dalam menunaikan kewajiban normatif agama ataupun tradisi dalam memberi dan kedua, hal ini berimplikasi tidak pedulinya pemberi dan lembaga penyalur derma pada aspek alokasi penggunaan bantuan oleh penerima derma dan ketiga, penerima derma sendiri tidak menggunakan dana atau bantuan untuk tujuan-tujuan produktif dan umum ditemukan corak penggunaan yang konsumtif. Pada poin ini dapat dijelaskan bahwa kondisi penerima derma sedemikian sulit sehingga tidak memungkinkan mereka memikirkan dan merencanakan suatu penggunaan dana jangka panjang karena desakan kebutuhan harian jangka pendek. Alasan lain yang juga dapat disimpulkan dari pertanyaan mengapa penderma ataupun lembaga penyalur konvensional tidak ingin mengetahui bagaimana penerima derma menggunakan bantuan yang diberikan mungkin sebagai refleksi dari sikap kedermawanan sosial atau sikap filantropis simbolik untuk sekedar menunjukkan kriteria kualitas normatif agama dan tradisi. Pandangan ini memberi pembenaran pada simpulan mengapa potensi bantuan tidak bermuara pada upaya penyelamatan yang berdaya guna, berjangka panjang yang seharusnya berakhir pada kemandirian secara sosial budaya dan ekonomi. Pilihan yang diajukan oleh lembaga penggalang dan penyalur dana sosial profesional seperti yang dilakukan oleh PKPU dan Bazda mencoba mengontrol dan memastikan penggunaan dana ZIS oleh kelompok masyarakat penerima digunakan untuk kegiatan-kegiatan produktif. Namun 35 | P a g e
dalam pengalaman lembaga tersebut, sulit untuk mengharapkan hasilnya dalam jangka waktu dekat. Secara sosiologis mekanisme berderma dalam konteks adat ataupun agama memainkan peran yang penting dalam merekat integrasi dalam struktur masyarakat dan memungkinkan keberadaan masyarakat bertahan lama. Prinsip ini bekerja melalui mekanisme perangkat filosofis dan normatif yang membentuk kesetiaan sosial dan kepercayaan sehingga individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain. Pola umum motif dan ciri hubungan antara pemberi bantuan derma dengan perantara dan penerima bantuan yang ditemukan dalam penelitian ini masih bercorak tradisional. Perilaku kedermawanan dengan corak ini belum menyentuh substansi dari pihak yang dibantu karena hanya bersifat jangka pendek dan tidak memperhatikan efek peningkatan jangka panjang. Beberapa faktor penyebab yang dapat disimpulkan berkenaan dengan hal itu adalah bahwa pertama, pemberi derma atau lembaga penyalur derma konvensional lebih berorientasi pada kebutuhannya dalam menunaikan kewajiban normatif agama ataupun tradisi dalam memberi dan kedua, hal ini berimplikasi tidak pedulinya pemberi dan lembaga penyalur derma pada aspek alokasi penggunaan bantuan oleh penerima derma dan ketiga, penerima derma sendiri tidak menggunakan dana atau bantuan untuk tujuan-tujuan produktif dan umum ditemukan corak penggunaan yang konsumtif. Pada poin ini dapat dijelaskan bahwa kondisi penerima derma sedemikian sulit sehingga tidak memungkinkan mereka memikirkan dan merencanakan suatu penggunaan dana jangka panjang karena desakan kebutuhan harian jangka pendek. Alasan lain yang juga dapat disimpulkan dari pertanyaan mengapa penderma ataupun lembaga penyalur konvensional tidak ingin mengetahui bagaimana penerima derma menggunakan bantuan yang diberikan mungkin sebagai refleksi dari sikap kedermawanan sosial atau sikap filantropis simbolik untuk sekedar 36 | P a g e
menunjukkan kriteria kualitas normatif agama dan tradisi. Pandangan ini memberi pembenaran pada simpulan mengapa potensi bantuan tidak bermuara pada upaya penyelamatan yang berdaya guna, berjangka panjang yang seharusnya berakhir pada kemandirian secara sosial budaya dan ekonomi. Pilihan yang diajukan oleh lembaga penggalang dan penyalur dana sosial profesional seperti yang dilakukan oleh PKPU dan Bazda mencoba mengontrol dan memastikan penggunaan dana ZIS oleh kelompok masyarakat penerima digunakan untuk kegiatan-kegiatan produktif. Namun dalam pengalaman lembaga tersebut, sulit untuk mengharapkan hasilnya dalam jangka waktu dekat.
D. Penerima Derma: Alokasi Prioritas Penggunaan
S
dan
udah disinggung pada bagian sebelumnya tentang pola penggunaan dana bantuan oleh masyarakat penerima derma, yang mengalokasikan bantuan tersebut untuk kebutuhan harian jangka pendek, atau dengan kata lain untuk konsumtif semata. Pada umumnya informan penerima derma yang telah diwawancarai menerima derma terutama pada saat-saat bulan suci Ramadhan dan saat hari raya Idul Fitri. Pada saat seperti itu pola kebutuhan masyarakat berubah dengan cukup tajam. Tingkat konsumsi atas berbagai komoditas harian yang tidak biasa tiba-tiba menjadi suatu keharusan karena eforia hari raya. Dilain sisi efek berkekurangan yang sebelumnya mereka tanggungkan mendesak untuk dipenuhi baik dalam bentuk kebutuhan harian maupun untuk pembayar hutang. Sulit mengharapkan efek bantuan dapat berjangka panjang jika mereka belum aman ditingkat konsumsi dasar. Dapat dikatakan penerima derma tidak memiliki peluang yang leluasa untuk dapat merancang sebuah rencana penggunaan dana bantuan jangka panjang karena kebutuhan jangka pendek yang belum terjamin. Sikap negatif lainnya adalah
tumbuhnya mental mengasihani diri sendiri yang menganggap bantuan merupakan sesuatu yang gratis dan akan berkelanjutan dan akan selalu tersedia dimasa depan. Sulit membayangkan akan tumbuhnya mentalitas produktif surplus dalam kompleksitas kerentanan sosial ekonomi yang berkepanjangan.
berkelanjutan, bukan mental surplus investasi sebagai efek dari kompleksitas kerentanan sosial ekonomi yang mereka tanggung sebelumnya. •
Perantara konvensional yang dipercaya masyarakat secara umum (badan amil zakat mesjid) lebih sering bersikap dan memiliki keyakinan akan ”efek baik” dari bantuan-bantuan yang disalurkan ketimbang memeriksa dan memastikan tentang kebenaran ”efek baik” tersebut. Efek baik yang dimaksud seharusnya terukur indikatornya kearah kemandirian dan melepas ketergantungan warga miskin untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial.
•
Perantara profesional (PKPU, Bazda Kota Padang) masih belum menemukan cara jitu merubah mindset masyarakat tentang pengelolaan bantuan yang bertanggungjawab dan terukur. Perubahan dan perkembangan berbagai metode kearah ini terus bergulir dan dikembangkan seiring dengan situasi dan kondisi teraktual. Namun, lembaga ini merupakan aset dan harapan untuk penggalangan dan penyaluran dana-dana sosial masyarakat secara profesional untuk percepatan mencapai masyarakat yang berkeadilan sosial.
•
Pembekalan kesiapan mentalitas kearah kemandirian seharusnya merupakan “paket pra-bantuan” yang mendahului bantuan dalam bentuk materi.
E. Beberapa Kesimpulan •
Secara umum prinsip-prinsip filantropi yang teridentifikasi baru merupakan satu bentuk dari sikap karitas (charity) yaitu pemberian bantuan yang sifatnya situasional (hari keagamaan, tradisi adat budaya) dan saat situasi mendesak seperti saat terjadinya musibah dan bencana alam.
•
Motif dan corak hubungan antara Pemberi (giving end), Perantara (intermediary end), dan Penerima (receiving end) masih merupakan hubungan yang konvensional, kurang mendorong kemandirian, dan menghindari sikap-profesional akuntabel-yang pada akhirnya mengukuhkan sifat ketergantungan.
•
Mentalitas filantropik oleh pemberi cenderung simbolis berorientasi pada pengunjukan kualitas keagamaan dan tradisi - bukan ”kepedulian” dalam arti kemanusiaan sesungguhnya. Namun, landasan filosofis dan normatif dari adat dan agama merupakan modal untuk menumbuhkan perasaan loyalitas dan perasaan keterkaitan dengan orang lain.
•
Penerima bermental ”pemuasan kebutuhan sesaat” (subsistensi), bersikap bahwa bantuan merupakan (dianggap) sesuatu yang gratis dan
37 | P a g e
Daftar Literatur
Afrizal
2001
“Hubungan Keluarga, Manajemen Kekayaan, Perubahan Sosial dan Kesejahteraan Lanjut Usia di Minangkabau Matrilinial Kontemporer” dalam Franz von Benda-Beckmann et.al (eds.). Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (h.398-410)
Benda – Beckmann, F. Von. 1979
Poverty in Social Continuity : Continuity and Change in The Maintenance of Poverty Relations Through Time in Minangkabau, West Sumatera., Erhandelingen. KITLV.
----------------------1985.
Transformation and change in Minangkabau. In; Change and Continuity; Local Regional and Historical Perspectives on West Sumatera., edited by Lynn. L Thomas and Franz von BendaBeckmann. Ohio; Monographs in International Studies SEA, series No.17
----------------------2000. Huri, Irdam. 2006
Property dan Kesinambungan Sosial. Jakarta : Grasindo.
Indrizal, Edi.
“Kerentanan Struktural Laki-Laki Lansia dalam Masyarakat Matrilinial Minangkabau”, Disampaikan dalam International Workshop Old Age Vulnerabilities : Asia and European Perspectives. The Annual Asia Europe Workshop Series 2004/2005. European Alliance for Asian Studies bekerja sama dengan Universitas Brawijaya, di Malang 8-10 Juli 2004.
2004
Filantropi Kaum Perantau., Studi Kasus Kedermawanan Sosial Organisasi Perantau Sulit Air Sepakat (SAS), Kab. SolokSumatera Barat.
Kato, Tsuyoshi. 1972
Matrilini and Migration, Evolving Traditions in Indonesia., Cornell University Press. Ltd. London.
Kerlinger, Fred N. Naim, Mochtar 1984
1998. Azas-azas Penelitian Behavioral., UGM Press., Yogyakarta. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau., Gadjah Mada Press., Yogyakarta.
Navis, AA. 1984 Pelly, Usman. 1994
Alam Terkembang Jadi Guru. PT. Temprint. Jakarta Urbanisasi dan Adaptasi : Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing., LP3ES., Jakarta.
Qodir, Zuly
Yogyakarta Islam dan Jeratan Kemiskinan http://www.kompas.com/kompasCetak/0703/16/opini/3387315.htm - 19 Mai 2007
Sulekale, Dalle Daniel
Pemberdayaan Masyarakat Miskin Di Era Otonomi Daerah http://www.ekonomirakyat.org/edisi_14/artikel_2.htm - 11 Mai 2007 “
Van Reenen, Joke1996
Central Pillar of The House: Sister, Wife and Mother in a Rural Community in Minangkabau, West Sumatera. Leiden, The Netherland : CNWS.
38 | P a g e