ABSTRACT MUJAHIDIN FAHMID. Elite Formation in Buginese and Makassarese Ethnics Towards Political Hybrid Culture Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN, LALA M. KOLOPAKING and DARMAWAN SALMAN. The purposed of this studi; (i) explore the transformation and interaction process of Buginese and Makassarese elites with their clients in achieving, maintaining and expanding their political and economic power, started from the traditional phase to secularism phase; (ii) discover the dynamics of Buginese and Makassarese elites formation specifically in political communication and economy in articulating their groups‘ interest and maintaining the political dynamic at every level; (iii) discover and understand the process of Buginese and Makassarese elites in using the symbols of culture, power, money and other political sosiology culture to achieve and maintain (reproduction) their power at the micro, mezzo and macro level. Constructive paradigm used in exploring the process of elite‘s formation in Buginese and Makassarese. A paradigm that position itself as the antitheses from the paradigm of positivism or post-positivism, which is relied heavily on observation and objectivity in finding a reality or knowledge. Constructivism stated that reality exists in several forms of mental constructions based on social experiences, it is locally and specific depends on the individual who did it (ontology). Therefore, reality that is observed by an individual cannot be generalized to other people. This confirmed that epistemological relation between observation and object is one entity, subjective, and as a result of integration of interaction among them. The result of this studi showed four phases of transformation process in the formation of Buginese and Makassarese elites; (i) traditional phase, where elite formation dominated by symbolic knowledge influence; (ii) feudalism phase; new capitalized era and land became a tool for power reproduction; (iii) Modern Islamic phase marked with the elites‘ awareness toward intellectuality and morality; (iv) Secularism phase, where pragmatism dominated in the existence of Buginese and Makassarese elites. Colonialization or ―bed politics‖ (political marriage) used during traditional, feudalism and modern Islamic phase, while transactional approach and politics hybrid culture, used during secularism phase in maintaining the elites‘ power. The process of elite formation in Bone used ―closed model‖. Stage of political power at Bone restricted only to aristocrats. On the contrary, influence and power of aristocrats at Gowa had been declined, thus political stage in Gowa more open and the elites‘ background are varied. Buginese of Bone predominantly used cultural symbols and power in achieving elite position, while the Makassarese of Gowa tends to use power, money and politic hybrid to engaged in the political power. Buginese elites tend to concentrate their power among them (same ethnicity, religion and territory), while the Makassarese elites (Gowanese) balance their power by sharing it according to the representation of territory, ethnicity and religion. Keywords: elite, ethnicity, money, cultural symbol, power, politics, hybrid. v
vi
RINGKASAN Mujahidin Fahmid, Pembentukan Elite Politik di Dalam Etnis Bugis dan Makassar Menuju Hibriditas Budaya Politik di bawah bimbingan: Arya Hadi Dharmawan, Lala M. Kolopaking, dan Darmawan Salman. Penelitian ini bertujuan: Mengetahui proses transformasi dan pola interaksi elite Bugis dan Makassar dengan pengikutnya dalam usahanya meraih, menjaga dan memperluas kekuasaan politik dan ekonominya, mulai dari fase tradisional hingga fase sekularisme. Kedua, mengetahui dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar terutama dalam komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok, dan menjaga dinamika politik pada masing-masing aras; desa, kabupaten, propinsi/nasional. Ketiga, mengetahui dan memahami proses elite Bugis dan elite Makassar memanfaatkan simbol-simbol budaya, kuasa, uang dan budaya sosiologi politik lainnya untuk meraih dan memelihara (mereproduksi) kekuasaannya mulai dari level mikro, mezzo dan makro. Untuk mengeksplorasi proses pembentukan elite pada etnis Bugis dan etnis Makassar, penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Sebuah paradigma yang meletakkan dirinya sebagai palang pintu atau antitesis dari paradigma positivisme maupun postpositivisme, yang menempatkan pengamatan dan obyektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk bermacammacam konstruksi mental berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya (ontologis). Oleh karena itu, realitas yang diamati seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang. Inilah kemudian yang menegaskan bahwa hubungan epistemologis antara pengamatan dan obyek merupakan satu kesatuan, subyektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi di antara keduanya. Hasil penelitian ini menunjukkan, ada empat fase transformasi proses pembentukan elite etnis Bugis dan Makassar. Pertama, fase tradisional, fase dimana pembentukan elite didominasi oleh pengaruh pengetahuan simbolik dan tanda-tanda alam. Pada fase ini symbol budaya sangat berpengaruh dalam proses pembentukan elite. Simbol budaya yang paling menonjol pada fase ini adalah konsep tomanurung. Kedua, fase feudalism, era dimulainya para elite Bugis Bone dan Makassar Gowa membentuk dirinya dengan kapitalisasi ekonomi, dan tanah menjadi alat reproduksi kekuasaan. Ketiga, fase Islam modern, fase ini ditandai dengan lahirnya kesadaran elite Bugis Bone dan Gowa dalam intelektualitas dan moralitas. Pada masa ini terjadi resistensi terhadap kapitalisme internasional, dan perlawanan terhadap kolonialisme. Keempat, fase sekularisme, pada fase ini kehidupan para elite Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam keadaan pragmatism, segala sesuatunya diukur berdasarkan rasionalitas, efisiensi, nilai guna dan dilakukan dengan pendekatan transaksional. Tahapan transformasi ini mirip dengan teori tiga tahap yang dilahirkan oleh Comte (1838) dan transformasi kekuasaan di Sulsel yang ditulis oleh Gibson (2005;2007). Etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa sama-sama menggunakan konsep patron client dalam berinteraksi dengan para pengikutnya. Akan tetapi proses pembentukan elite di Bone berlangsung secara tertutup. Panggung kekuasaan vii
politik di Bone hanya diisi oleh kalangan aristokrat. Sebaliknya, elite-elite yang mengisi panggung kekuasaan di Gowa lebih variatif dan terbuka. Kalangan aristokrat di Gowa mengalami kemerosotan pengaruh. Dinamika proses pembentukan elite Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam pola yang berbeda pada setiap fase. Pada fase tradisional dinamika elite cenderung menggunakan instrument symbol budaya untuk mencapai panggung kekuasaan. Kedua, fase feudalism, fase ini dapat digolongkan sebagai fase materialism dalam dinamika pembentukan elite Bugis dan Makassar, meskipun pada fase feudalism masih tetap memanfaatkan symbol budaya untuk memperkuat posisi kekuasaan para elite. Ketiga, fase Islam modern, para elite pada masa ini menjadikan gerakan intelektualitas dan moralitas sebagai instrument utama dalam dinamika pembentukan elite. Sedangkan fase keempat adalah fase sekularisme, pada fase ini terdapat empat rejim yang ikut menjadi penentu pembentukan elite pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa; Kolonial (Belanda & Jepang), Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Semua rejim member kontribusi tumbuhnya pola pragmatism dan transaksional dalam proses pembentukan elite. Para elite etnis Bugis dan Makassar dalam upayanya menjaga keseimbangan kekuasaan menggunakan cara yang sama pada fase; tradisional, feudalism dan Islam modern, yaitu kolonialisasi dan atau ―politik ranjang‖ (perkawinan politik). Sedangkan pada fase sekularisme, untuk menjaga keseimbangan dilakukan dengan pendekatan transaksional dan hibridisasi budaya politik, misalnya dengan secara bersama-sama antara etnis Bugis dan Makassar mengisi ruang-ruang kekuasaan strategis, baik pada panggung kekuasaan eksekutif, legislative maupun partai politik. Sebagai contoh, kalau Gubernurnya berasal dari etnis Bugis, maka yang akan mengisi jabatan sekretaris daerah provinsi berasal dari etnis Makassar Elite etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa memiliki cara yang berbeda dalam memaknai instrumen; symbol budaya, kuasa dan uang untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi, demikian juga etika dalam membangun jaringan. Elite Bone memiliki kemampuan melakukan eksplorasi identitas etnis menjadi instrument membangun kekuasaan, sementara elite Gowa belum berhasil mengeksplorasi identitas etnis sebagai instrument membangun kekuasaan. Makna kuasa juga ditafsirkan secara berbeda antara elite dua kelompok elite ini. Elite Bone melihat kuasa sebagai alat untuk kapitalisasi kesejahteraan ekonomi (kesejahteraan ekonomi lebih bermakna dibandingkan dengan kekuasaan). Sedangkan elite Gowa memaknai kuasa sebagai alat untuk melipatgandakan kekuasaan (nilai kekuasaan lebih tinggi dari kesejahteraan ekonomi). Elite Bone menafsirkan uang unsure yang sangat penting, hal sama juga terjadi pada elite Gowa. Akan tetapi elite Bone telah memiliki tradisi entrepreneur ethics yang lebih tinggi dibandingkan dengan elite Gowa. Etika elite Bone membangun jaringan politik dan ekonomi juga berbeda dengan etika yang dianut oleh elite Gowa. Elite Bone sudah mengalami metamorphosis ke dalam Negara, sedangkan elite Gowa terlokalisir di Gowa. Elite Bone sangat fleksibel, adaptif dengan budaya luar dan koorporatif dengan system luar. Sebaliknya, elite Gowa sangat menjaga purifitas budaya local dan non-koorporatif terhadap system luar. Itu sebabnya, arena untuk mendapatkan kekuasaan antara elite Bugis Bone dengan elite Makassar Gowa sangat berbeda. Elite Bone sudah menembus system social di luar Bone (provinsi dan nasional), viii
sedangkan elite Gowa masih bermain pada aras Kabupaten Gowa dan provinsi Sulsel. Untuk meraih posisi sebagai elite, etnis Bugis Bone dominan menggunakan simbol budaya dan kuasa. Sedangkan etnis Makassar Gowa cenderung menggunakan kuasa, dan uang untuk menguasai panggung kekuasaan politik. Elite-elite etnis Bugis cenderung mengkosentrasikan kekuasaan pada kalangan ‖sejenis‖ (etnis, agama dan wilayah). Sementara elite Makassar Gowa berusaha menjaga keseimbangan kekuasaannya dengan membagi kekuasaan berdasar representasi wilayah, etnis dan agama. Untuk mencapai puncak kekuasaan (aras makro) elite Bone menggunakan budaya sosiologi politik hibridisasi dan melakukan permurnian darah kebangsawanan untuk mengisi ruang kekuasaan pada aras mezzo. Sementara etnis Gowa memilih budaya sosiologi koeksistensi untuk mempertahankan keberadaan politik mereka, dan melakukan pembentukan elite dengan cara terbuka. Kata kunci: elite, etnis, uang, simbol, budaya, kuasa, politik, hibriditas
ix