A CULTURE FOR GROWING KNOWLEDGE Dewi Kurnia Salwa – 1106146316 Peter Drucker mengatakan “ knowledge is a resource rather than a resource”, demikian pentingnya knowledge sebagai asset saat ini mulai lebih disadari oleh perusahaan, sehingga knowledge berkembang menjadi salah satu yang disasar oleh perusahaan untuk menjadi salah satu strategi.
Sebelumnya knowledge lebih dikenal sebagai kekuatan, kekuatan seseorang atau individu yang menguasai knowledge. Pandangan tersebut perlahan mulai berubah, bahwa untuk lebih berkembang,
knowledge merupakan resource yang harus di sharing, terutama didalam
lingkungan organisasi perusahaan.
Pada dasarnya terdapat dua
jenis knowledge yang dikenal yaitu Tacit Knowledge dan
Explicit Knowledge : Tacit Knowledge berarti ilmu pengetahuan atau pengalaman yang didapatkan seseorang melalui kegiatan yang dilakukan sehari-hari didalam melakukan suatu bidang pekerjaan. Tacit knowledge berpotensi akan hilang begitu saja apabila orang yang bersangkutan tidak membagikan ilmunya kepada orang lain (sharing knowledge) atau tidak didokumentasikan dengan baik dalam bentuk hard/soft copy. Explicit Knowledge adalah knowledge yang didokumentasikan dengan baik, tersimpan dengan sempurna dalam bentuk atau media penyimpanan berupa hard/soft copy sehingga tidak hilang begitu saja. (Takeuchi, 1995)
Bagaimana sharing knowledge tersebut dilakukan? Nonaka dan Takeuchi memperkenalkan Empat model konversi informasi dan pengetahuan yang berbasis pada tacit dan explicit knowledge tersebut,
yaitu SECI (Socialization, Externalization, Combination dan
Internalization) 1. Socialization : tacit to tacit , metode ini
adalah dimana seseorang yang memiliki
knowledge membagikan knowledge yang dimilikinya kepada orang lain (sharing knowledge). Bentuk sharing knowledge bisa berbagai cara, misalnya: melalui seminar, diskusi kelompok, menjadi motivator dan masih banyak lagi, menurut Nonaka
socialization disini termasuk menggalang pertemuan face to face secara intense, karena dari pertemuan face to face diharapkan akan muncul rasa empati 2. Externalization : tacit to explicit,
yaitu bagaimana ilmu yang sudah di-sharing-kan
tersebut didokumentasikan dengan baik sehingga rapi tersimpan dengan sempurna. Bisa berupa: SOP, ebook, perpustakaan, jurnal dan lain lain. Penekanan pada proses ini adalah pentingnya menerjemahkan “tacit knowledge” dalam kata-kata atau gambar-gambar yang nantinya akan di-share ke dalam lingkup yang lebih luas. 3. Combination :
kombinasi tacit and explicit, yaitu kandungan materi atau isi dari
dokumen yang sudah
tersimpan sebelumnya bisa berubah (ditambah/dikurangi)
menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Pada level ini pengembangan tacit knowledge dapat mulai disebarkan ke seluruh lingkup organisasi perusahaan, menjadi informasi yang lebih luas sehingga akan lebih banyak orang dalam organisasi
yang memahami.
Kombinasi ini apabila diulang berkali-kali dalam skala lebih luas akan menjadi sebuah “kekuatan” ke depan. 4. Internalization : explicit to tacit yaitu bagaimana seseorang belajar atau mempelajari explicit knowledge yang belum dipelajari sebelumnya, sehingga orang tersebut akan memperoleh ilmu pengetahuan baru untuk menunjang pekerjaannya, pada level ini penyerapan kembali explicit knowledge dalam daily practice merupakan hal yang utama, untuk menjadi tacit knowledge bagi orang tersebut. (Takeuchi, 1995)
Perputaran proses dalam SECI ini (Socialization, Externalization, Combination dan Internalization) kalau dilakukan secara berkesinambungan akan menjadikan organisasi atau perusahaan untuk memiliki Organizational Knowledge Creation yaitu kemampuan perusahaan secara keseluruhan untuk menciptakan knowledge baru, menyebarkannya ke seluruh organisasi, dan mewujudkannya dalam bentuk produk, jasa dan system. Pengelolaan knowledge tersebut selanjutnya dikenal dengan knowledge management.
Apa itu
Knowledge Management? Knowledge Management adalah capturing, creating,
distilling, and using know-how, know-how disini juga berarti know why, know who, know what and know when. (Parcell, 2001)
Knowledge Management menjadi metode yang dilakukan oleh perusahaan untuk mendukung dan meningkatkan kinerja perusahaan. Adanya knowledge yang dikelola dengan baik dan mencakup semua level dalam organisasi menguntungkan bagi perusahaan, karena perusahaan
akan menjadi lebih kompetitif. Sebagaimana disebutkan diatas knowledge management saat ini telah menjadi salah satu strategi bagi perusahaan untuk meningkatkan daya saing yaitu ketika knowledge dikelola dan berkembang menjadi dukungan bagi bisnis, sehingga strategi bisnisnya dapat bernilai lebih, langka dan sulit serta mahal untuk ditiru, dari sinilah perusahaan memperoleh akan kompetitive advantage
Peter Senge, mengatakan dalam
bukunya The Fifth Discipline “The only sustainable competitive advantage is to learn faster than your competitor” (Senge, 1990)
Faktor penting dalam implementasi knowledge management dalam perusahaan adalah : 1. Manusia, baik sebagai tacit knowledge ataupun explicit knowledge yang mampu disharing/transfer dalam institusi atau organisasi. 2. Leadership, keberhasilan knowledge management didukung peran pemimpin dalam membangun visi yang kuat dengan menggalang dan mengarahkan partisipasi semua anggota organisasi dalam mewujudkan visinya. 3. Teknologi, dukungan infrastruktur yang kuat dalam penyebaran informasi pada orang yang tepat dan waktu yang tepat pula. 4. Organisasi, aspek pengaturan yang jelas dalam hal ini termasuk reward yang berpartisipasi dalam penyebaran informasi 5. Culture, untuk sharing knowledge antar individu dalam organisasi atau culture organisasi untuk membangun system knowledge (Skyrme, 2003)
Sejalan dengan tulisan mengenai implementasi knowledge management di Beyond Petroleum Chris Collison dan Geoff Parcell dalam buku Learning to Fly yaitu “Knowledge Management and Sharing Cannot Happen unless you Get the Environment Right”, yang artinya knowledge management dan sharing membutuhkan :
1. Memiliki tujuan dan sasaran yang sama diseluruh organisasi 2. Dukungan Leader 3. Infrastruktur IT yang memungkinkan adanya kolaborasi dan sharing data 4. Knowledge Management model, alat, proses dan ukuran 5. Sistem penghargaan terhadap sharing, kolaborasi, sehingga budaya saling membantu berhasil dan dapat diterapkan 6. Membuat permintaan bantuan mendaji hal yang biasa. (Parcell, 2001)
“Knowledge Management and Sharing Cannot Happen unless You Get the Environment Right”, (Parcell, 2001)
maka tulisan ini akan mengangkat permasalahan mengenai
pentingnya “culture yang mendukung” dalam implementasi knowledge manajemen dalam sebuah perusahaan.
Mengapa ? karena hal yang paling utama dalam efektifitas penerapan knowledge management adalah terbentuknya budaya yang mendukung, budaya inilah yang menjadi kunci dari penerapan knowledge management karena tanpa adanya pondasi budaya tersebut, aplikasi Budaya
knowledge tersebut
management
menumbuhkan
iklim
tidak dimana
akan pekerja
berjalan
dengan
termotivasi
untuk
baik. terus
mengembangkan knowledge, memanfaatkan informasi atau pengetahuan yang disediakan perusahaan, membangun suatu kesepahaman dalam mencapai kinerja dan produktivitas yang lebih baik, baik secara internal maupun eksternal, meningkatkan individual knowledgenya serta mempunyai kesediaan untuk berbagi individual knowledgenya menjadi organizational knowledge.
Hal yang pada umumnya dipercaya pada penerapan knowledge management generasi ketiga adalah bahwa hal pertama yang hasrus dilakukan adalah merubah budaya organisasi menjadi budaya organisasi pembelajaran. Meskipun sejumlah keberhasilan dari inisiatif knowledge management tumbuh di organisasi yang
sudah memiliki budaya belajar yang solid, disisi
lain sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk mem bangun dan merubah budaya (dan juga untuk secara terus menerus memeliharanya), karenanya apabila menerapkan knowledge management dimulai dengan tantangan merubah budaya ini, maka perusahaan akan menunggu untuk waktu yang cukup lama untuk keberhasilan knowledge management Sebagian besar organisasi memulai knowledge management nya secara bertahap, beberapa hal yang dibutuhkan sudah ada diperusahaan sebagian hal yang lainnya sedang dibangun untuk mengakomodir dan memungkinkan keberhasilan penerapan knowledge management. (Dalkir, 2005)
Hal yang pasti adalah lingkungan budaya organisasi akan memainkan peran yang sangat penting untuk menentukan apa yang akan terjadi pada penerapan knowledge dalam perusahaan
Dalam tulisannya mengenai Visvalingam Suppiah and Manjit Singh Sandhu menyampaikan bahwa sebagian besar knowledge dalam sebuah perusahaan adalah tacit, padahal knowledge dipertimbangkan sebagai satu satunya sumber daya yang berbeda dan penting bagi organisasi untuk mempertahankan keunggulan kompetitifnya. Beberapa penelitian menemukan bahwa tipe budya organisasi berpengaruh pada kebiasaaan sharing tacit knowledge, pengaruh tersebut bisa positif atau negative bergantung pada tipe organisasi. Bagaimana tipe budaya organisasi yang membawa pengaruh yang baik atau mendukung kebiasaan sharing tacit knowledge menjadi penting untuk diketahui oleh perusahaan. (Sandhu, 2010)
Sejalan dengan hal tersebut Rajnish Kumar Rai dalam tulisannya Knowledge Management and organizational culture : a theoretical integrative frame work, mengemukakan bahwa budaya organisasi adalah faktor penting dalam membangun dan memperkuat knowledge management dalam organisasi. Menentukan tipe budaya organisasi akan memungkinkan manajer untuk mengimplementasikannya dalam banyak aktifitas sharing knowledge, yaitu yang lebih tepat dan sesuai dengan organisasi. Bagaimanapun tidak ada kerangka teori yang secara komprehensif menjelaskan efek dari budaya organisasi dalam implementasi knowledge management di perusahaan (Rai, 2011)
Bagaimanakah untuk mengetahui dan memilih tipe budaya atau bahkan mengkombinasikan beberapa tipe budaya yang ada untuk mendukung pengembangan knowledge management dalam organisasi? untuk mengetahuinya terlebih dahulu akan dipaparkan disini mengenai budaya organisasi (budaya perusahaan).
Budaya perusahaan adalah : Menurut Schein (1999), yang secara umum dikenal sebagai Bapak Budaya Organisasi menyampaikan “organizational culture is a pattern of basic assumptions, invented, discovered, or developed by a given group as it learns to cope with its problems of external adaptation and internal integration that has worked well enough to be considered valid and, therefore to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to those problems (Dalkir, 2005)
Menurut Kotter & Heskett budaya perusahaan adalah a set values and ways of behaving that are common in a community and that tend to perpetuate themselves, sometimes over long periods of time. (Budiharjo, 2011)
Scholtz mendefinisikan budaya perusahaan sebagai the implicit, invisible, intrinsic and informal consciousness of the organization with guides the behavior of the individuals and which shapes itself out of their behavior (Budiharjo, 2011)
Dari definisi definisi diatas secara sederhana budaya perusahaan atau budaya organisasi dapat diartikan sebagai kesamaan presepsi, cara pandang dan perilaku para anggota organisasi; suatu system yang dianut bersama, sehingga secara sederhana dapat disimpulkan bahwa budaya perusahaan merupakan identitais organisasi yang diinginkan oleh pemillik atau BOD (Board of Directors) untuk dipresepsikan sebagai suatu entitas yang memiliki karakter atau nilai yang khas oleh para pelanggan utama, yang ditanamkan pada anggotanya agar mereka menghayati nilai nilai yang dikehendaki untuk mengarahkan perilaku mereka. (Budiharjo, 2011)
Dalam penelitian Visvalingam Suppiah dan Manjit Singh Sandhu mengenai Organizational Culture‟s Influence on Tacit Knowledge-Sharing Behavior berusaha meneliti apakah ada pengaruh dari tipe budaya organisasi pada kebiasaan sharing knowledge pada perusahaan, melalui research terhadap 362 partisipant dari 7 organisasi tersebut mereka menemukan bahwa tipe budaya organisasi berpengaruh pada kebiasaan sharing tacit knowledge dimana pengaruh itu positive atau negative tergantung pada tipe budaya organisasi. Menentukan satu tipe budaya organisasi yang paling memungkinkan dan relevan akan memudahkan manager untuk menerapkan keseluruhan aktifitas sharing knowledge. (Sandhu, 2010)
Untuk menghubungkannya tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu apasaja kah tipe tipe budaya organisasi itu ; 1. Menurut Handy & Harrison :
Power Culture, yaitu budaya yang memiliki sebuah sumber kekuasaan yang memancarkan pengaruhnya ke seluruh organisasi, kelemahannya budaya ini sangat bergantung pada kepercayaan, emphatic dan komunikasi antar pribadi untuk mencapai sasaran, kekuatan budayya ini terletak pada kemampuan bereaksi secara cepat.
Role Culture, yaitu budaya yang menekankan pada aturan aturan birokratis, prosedur dan diskripsi pekerjaan. Kekuatan pada budaya ini terletak pada kekuatan pada setiap fungsinya dengan kendali dari sekelompok kecil eksekutif
Task Culture, yaitu budaya yang lebih menekankan pada keahlian daripada karisma atau posisi dengan fleksibilitas, adaptabilitas, dan kebebasan individu dalam mengambil keputusan sangat ditekankan dengan sering mengaplikasikan struktur matrik
Person Culture, yaitu budaya yang menekankan pada kebersamaan namun setiap individu diberi kebebasan memutuskan dan menentukan pengalokasian pekerjaan sesuai mekanisme yang ada.
2. Menurut Deal dan Kennedy :
Macho Culture, budaya ini dicerminkan dengan keberanian anggotanya mengambil keputusan yang beresiko tinggi dan memberikan umpan balik seketika
Work hard play hard, budaya ini dicerminkan dengan resiko rendah dan umpan balik cepat, dengan menekankan pada keceriaan dalam bekerja
Bet your company, budaya ini dicerminkan resiko tinggi namun umpan balik terhadap pekerjaan relative lama
Process Culture, buday dan umpan balik ini dicerminkan pada resiko rendah dan umpan balik yang lambat.
3. Menurut Cameron dan Quinn, tipologi budaya ini berdasarkan dua dimensi : focus internal vs external dan fleksibilitas dan stabilitas :
Hierarchy, budaya yang digunakan untuk organisasi yang menekankan efisiensi, kemapanan dan reliabilitas
Market, berorientasi pada lingkungan eksternal, menfokuskan pada transaksi dengan konstituen eksternal
Clan, menekankan pada kekeluargaan, loyalitas dan komitmen pekerja, maenekankan pada pengembangan individu, kohesifitas dan semangat kerja
Adhocracy, menekankan pada fleksibilitas, kreatifitas, serta lingkungan bisnis yang sangat kompetitif, inovatif dan kreatifitas merupakan kunci keberhasilan perusahaan.
4. Menurut Want :
Predatory culture, terbuka dalam mendengar keinginan para stakeholders serta tidak mampu mengantisipasi konsekuensi dari tindakannya.
Frozen culture, cenderung otoriter tidak tanggap pada lingkungan bisnis serta menolak inovasi dan risk taking
Chaotic culture, kurang memiliki visi atau strategi yang focus sehingga mampu bertahan di pasar
Political culture, memiliki misi dan strategi yang cukup baik namun tidak dijalankan secara konsisten
Bereucratic culture, menekankan pada prosedur dan aturan yang kaku
Service culture, dikenal sebagai budaya perubahan atau berkinerja tinggi
New age culture, sangat unik karena kemampuannya menerjemahkan inovasi ke dalam kinerja bisnis dan mampu menciptakan perubahan pasar. (Budiharjo, 2011)
Rajnish Kumar Rai dalam tulisannya Knowledge Management and organizational culture : a theoretical integrative frame work mengajukan sebuah konsepsi yaitu kerangka teori yang integrated untuk organizational knowledge management dan budaya organisasi
dengan
memodifikasi „„competing value framework‟‟ yaitu dengan menambahkan dimesi baru yang mewakili ethic dan budaya yang dipercayai, dan mengintegrasikannya dengan the SECI model of knowledge creation and conversion dengan mengidentifikasi konsepsi parallel antara kedua kerengka dan menganalisa efek intearksi diantara dimensi dimensi tersebut . (Rai, 2011)
Rajnish Kumar Rai dengan melihat congruity antara kerangka modified competing values dan kerangka knowledge creation and conversion dengan formula 6 proposisi tentang perbedaan tipe budaya yang dominan untuk ter engage kedalam 4 proses dari knowledge creation and conversion menyampaikan bahwa integrative framework tersebut dapat menfasilitasi organization learning dan mengarahkan pada peningkatan praktek knowledge management dalam organisasi. Rajnish Kumar Rai menyampaikan kerangka baru yang menghubungkan budaya organisasi dengan knowledge
management, kerangka yang
disampaikan ini bukan hanya sekedar menilai positif atau negatifkah pengaruh budaya perusahaan pada penerapan knowledge management, lebih dari itu hal ini merupakan saran sebuah tipologi dari proses knowledge management yang sepertinya difokuskan oleh organisasi tergantung pada budaya yang menjadi pilihan dari organisasi tersebut. (Rai, 2011)
Knowledge Management
mengedepankan pentingnya knowledge sharing, knowledge
sharing tidak seperti pelatihan formal pada umumnya atau training dimana knowledge secara umum ditransfer. Knowledge sharing memerlukan kemauan untuk berbagi ( willingness to share) dan kemauan untuk menerima sharing knowledge. Pekerja saat ini lebih sering loyal pada profesinya lebih dari loyalitas pada perusahaan tertentu.
Sehingga terkadang
perusahaan tidak lagi dapat mempertahankan pekerja, pekerja meninggalkan perusahaan sering terjadi, disini penulis bermaksud menghubungkan kerangka integrasi dari Rajnish Kumar Rai tersebut dengan pengembangan organization citizenship behavior.
Dalam pengembangan budaya organisasi berkaitan dengan pengaruh karakteristik individu terhadap organization citizenship behavior, dimana OCB memiliki karakteristik perilaku sukarela yang tidak termasuk dalam uraian jabatannya (extra-role behavior), perilaku spontan/tanpa sasaran atau perintah seseorang, serta perilaku yang bersifat menolong. (Budiharjo, 2011)
Organization citizenship behavior menurut hipotesa awal penulis berkorelasi positif untuk meningkatkan dukungan pada tipe organisasi yang sesuai dengan proses implementasi knowledge management dalam perusahaan. Namun tentunya hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Budiharjo, A. (2011). Organisasi. Jakarta: Prasetya Mulya Publishing. Dalkir, K. (2005). A Knowledge Management Theory and Practice. Heinemann: Elsevier Butterworth. Parcell, C. C. (2001). Learning To Fly. Milford: Capstone Publishing. Rai, R. K. (2011). Knowledge Management and Organizational Culture : a Theoritical integrative frame eork. Journal of Knowledge Management, 779. Sandhu, V. S. (2010). Organizational Culture’s Influence on Tacit Knowledge-Sharing Behavior. Journal Of Knowledge Management, 462. Senge, P. M. (1990). The Fifth Discipline. New york: Doubleday. Skyrme, D. J. (2003). Short Course on KM. -: -. Takeuchi, I. N. (1995). The Knowledge Creating Company. New York: Oxford University Press.