9 9.1
Profesionalisasi Kependidikan
Konsep Profesionalisasi Secara leksikal istilah profesi memiliki berbagai makna, Hornby (dalam
Makmun,
A.Syamsudin,
1996:47) menyatakan bahwa “profesi menunjukkan dan
mengungkapkan suatu kepercayaan (to profess means to trust), bahkan suatu keyakinan ( to belief in) atas sesuatu kebenaran (ajaran agama) atau kredibilitas seseorang. Lebih lanjut Hornby pun menjelaskan bahwa profesi dapat menunjukkan dan mengungkapkan suatu pekerjaan atau urusan tertentu. Biasanya suatu profesi menuntut suatu pendidikan tinggi yang melipui pekerjaan mental bukan pekerjaan manual, seperti contoh mengajar, kedokteran, hukum dan lain sebagainya. Suatu profesi diatur oleh kode etika tertentu, hal ini bertujuan untuk menjamin agar tugas keprofesian tersebut terwujud sebagaimana mestinya dank e[entingan semua pihak yang terkait dalam suatu profesi tersebut terlindungi. Makmun, A. Syamsudin (1996:47) pun menegaskan bahwa suatu profesi adalah “suatu pekerjaan tertentu yang menuntut persyaratan khusus dan istimewa sehingga meyakinkan dan memperoleh kepercayaan pihak yang memerlukannya.” 9.1.2 Karakteristik Keprofesian Sebelum membahas
lebih
lanjut
mengenai konsep
profesionalisasi,
penting untuk diketahui karakteristik dari sebuah profesi. Menurut Liberman (1956) berikut adalah beberapa karakteristik dari sebuah profesi, yaitu : a. A unique, definite, and essential service Profesi itu merupakan suatu jenis pelayanan atau pekerjaan yang unik (khas), dalam artian berbeda dari jenis pekerjaan atau pelayanan apapun yang lainnya. Disamping itu, profesi juga bersifat definitive dalam arti jelas batas-batas kawasan cakupan bidang garapannya (meskipun
mungkin
sampai
batas
kontigensinya dengan bidang lainnya).
dan
derajat
tertentu
ada
Selanjutnya, profesi juga
merupakan suatu pekerjaan atau pelayanan yang amat penting, dalam arti hal itu amat dibutuhkan oleh pihak penerima jasanya sementara
pihaknya
sendiri tidak
memiliki pengetahuan,
keterampilan dan
kemampuan untuk melakukannya sendiri. b. An emphasis upon intellectual techniques in performing its service Pelayanan intelektual,
itu
amat
penting
menuntut
kemampuan
kinerja
yang berlainan dengan keterampilan atau pekerjaan
manual semata-mata. mempergunakan
Benar,
peralatan
pelayanan profesi juga terkadang
manual dalam praktek
pelayanannya,
seperti seorang dokter bedah misalnya menggunakan pisau operasi, namun
proses
penggunaanya
dibimbing
oleh
suatu
teori dan
wawasan intelektual. c. A long period of specialized training Untuk
memperoleh
penguasaan
dan
kemampuan
intelektual
(wawasan atau visi dan kemampuan atau kompetensi serta kemahiran atau skills) serta sikap professional tersebut diatas itu, seseorang akan memerlukan waktu yang cukup lama. Untuk mencapai kualifikasi keprofesian
sempurna
lazimnya
tidak
kurang
dari lima tahun
lamanya.; ditambah dengan pengalaman praktek terbimbing hingga tercapainya
suatu
tingkat
kemandirian
secara
penuh
dalam
menjalankan profesinya. Pendidikan keprofesian termaksud lazimnya diselenggarakan pada jenjang pendidikan tinggi, dengan proses pemagangannya samapi batas waktu tertentu dalam bimbingan para seniornya. d. A broad range of autonomy for both the individual practitioners and the occupational group as a whole Kinerja pelayanan itu demikian cermatnya secara teknisnya sehingga kelompok
(asosiasi) profesi yang bersangkutan sudah
memberikan jamin bahwa anggotanya dipandang mampu untuk melakukan
sendiri
tugas
pelayanan
tersebut,
apa
seyogiyanya
dilakukan dan bagaimana menjalankannya, siapa yang seyogiyanya memberikan
izin
Individu-individu
dan dalam
lisensi untuk kerangka
melaksanakan
kelompok
kinerja
asosiasinya
itu. pada
dasarnya relatif bebas dari pengawasan, dan secara langsung mereka menangani prakteknya. Dalam hal menjumpai sesuatu kasus yang berada di luar kemampuannya, mereka membuat rujukan (referral) kepada orang lain dipandang lebih berwenang, atau membawanya ke dalam suatu panel atau konferensi kasus (case conference). e. An acceptance by the practitioners of broad personal responsibility for judgments made and acts performed within the scope of professional autonomy Konsekuebsi dari otonomi yang dilimpahkan kepada seorang tenaga praktisiprofesional itu, maka berarti pula ia memikul tanggung jwab pribadinya harus secara penuh. Apapun yang terjadi , seperti dokter keliru melakukan diagnosis atau memberikan perlakuan terhadap
pasiennya atau seorang guru yang keliru menangani
permasalahan
siswanya,
dipertanggungjawabkannya,
maka serta
kesemuanya
tidak
selayaknya
itu
harus
menudingkan
atau melemparkan kekeliruannya kepada pihak lain. f.
An emphasis upon the service to be rendered, rayher than the economic gain to the practitioners, as the basis for the organization and the performance of the socal service delegnated to the occupational group. Mengingat pelayanan professional itu merupakan hal yang amat esensial (dipandang dari pihak masyarakat yang memerlukannya) maka hendaknya kinerja pelayanan tersebut lebih mengutamakan kepentingan pelayanan pemenuhan kebutuhan tersebut, ketimbang untuk
kepentingan
perolehan
imbalan
ekonomis
yang
akan
diterimanya. Hal itu bukan berarti pelayanan professional tidak boleh memperoleh imbalan yang selayaknya. Bahkan seandainya kondisi dan situasi menuntut atauu memanggilnya, seorang professional itu hendaknya bersedia memberikan pelayanan tanpa imbalan sekalipun. g. A comprehensive self-gouverning organization of practitioners Mengingat pelayanan itu sangat teknis sifatnya, maka masyarakat menyadari bahwa pelayanan semacam itu hanya mungkin dilakukan
penanganan oleh mereka yang kompeten saja. Karena masyarakat awam diluar yang kompeten yang bersangkutan, maka kelompok (asosiasi)
para
praktisi itu
sendiri satu-satunya
institusi yang
seyogiyanya menjalankan peranan yang ekstra, dalam arti menjadi polisis atau dirinya sendiri, ialah mengadakan pengendalian atas anggotanya mulai saat penerimaanya dan memberikan sanksinya bilamana diperlukan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran terhadap kode etiknya. h. A code of ethics which has been clarified and interpreted at ambiguous and doubtful points by concrete cases. Otonomi yang dinikmati dan dimiliki oleh organisasi profesi dengan para anggotanya seyogiyanya disertai kesadaran dan I;tikad yang tulus baik pada organisasi maupun pada individual anggotanya untuk
memonitor perilakunya sendiri.
Mengingat organisasi dan
sekaligus juga anggotanya harus menjadi polisi atas dirinya sendiri maka hendaknya mereka bertindak sesuai dengan kewajiban dan tuntunan moralnya baik terhadap klien maupun masyrakatnya. Atas dasar itu, adanya suatu perangkat kode etika yang telah disepakati bersama oleh yang bersangkutan seyogiyanya membimbing hatinuraninya dan memberikan pedoman atas segala tingkah lakunya. Kemudian Makmun A. Syamsudin (1996:51) menambahkan bahwa secara pokok suatu pekerjaan dapat dipandang sebagai sebuah profesi apabila telah memadai hal-hal sebagai berikut : a. Memiliki cakupan ranah kawasan pekerjaan atau pelayanan khas, definitif dan sangat penting dan dibutuhkan masyarakat b. Para pengemban tugas pekerjaan atau pelayanan tersebut telah memiliki wawasan, pemahaman dan penguasaan pengetahuan serta perangkat teoritis yang relevan secara luas dan emndalam; menguasai perangkat kemahiran teknis kinerja pelayanan memadai persyaratan standarnya; memiliki sikap profesi dan semangat pengabdian yang positif dan tinggi; serta kepribadian yang mantap dan mandiri dalam menunaikan tugas yang diembannya dengan selalu mepedomani dan
mengindahkan
kode
etika
yang
digariskan institusi (organisasi)
profesinya c. Memiliki sistem pendidikan yang mantap dan mapan berdasarkan ketentuan prasyarat standarnya bagi penyiapan (pre service) maupun pengembangan
(inservice,
continuing,
development)
tenaga
pengemban tuga pekerjaan professional yang bersangkutan; yang lazimnya diselenggarakan pada jenjang pendidikan tinggi berikut lembaga lain dan organisasi profesi yang bersangkutan d. Memiliki perangkat kode etika professional yang telah disepakati dan selalu dipatuhi serta dipedomani para anggota pengemban tugas pekerjaan atau pelayanan professional yang bersangkutan. Kode etika professional
dikembangkan,
ditetapkan
dan
diberdayakan
keefektivannya oleh organisasi professi yang bersangkutan e. Memiliki
organisasi
mengembangkan
profesi
kemampuan
yang
menghimpun,
professional
serta
membina
dan
memajukan
kesejahteraan anggotanya dengan senantiasa mengindahkan kode etikanya dan ketentuan organisasinya. f.
Memiliki jurnal dan sarana publikasi professional lainnya yang menyajikan berbagai karya penelitian dan kegiatan ilmiah sebagai media pembinaan dan pengembangan para anggota nya serta pengabdian kepada masyarakat dan khazanah ilmu pengetahuan yang menopang profesinya.
g. Memperoleh pengakuan dan penghargaan yang selayaknya baik secara rasional (dari masyarakat) dan secara legal (dari pemerintah yang
bersangkutan
atas
keberadaan
dan
kemanfaatan
profesi
termaksud. 9.1.3 Profesionalisasi Setelah dibahas sebelumnya, profesional adalah kata benda dari profesi, merupakan lawan kata dari amateur yang berkaitan dengan seseorang yang menerima bayaran atas jasa pekerjaannya. Pengertian lain adalah seseorang yang mempraktekkan suatu profesi dan seseorang yang dipandang sebagai ahli dalam
suatu cabang ilmu (one who is regarded an expert since he has mastery of a specific branch of learning). Jadi seseorang yang mempraktekkan suatu pekerjaan yang diterima sebagai status profesional, maka ia adalah seorang yang ahli dari cabang ilmu yang digelutinya, dengan demikian lembaga profesional yang bersangkutanmempunyai kewajiban untuk mengawasinya. Seorang yang profesional akan senantiasa terus-menerus mencari kesempurnaan (mastery) dari cabang ilmu yang ia kuasai dan melakukan pekerjaan dengan itu, sehingga ia akan lebih sempurna dalam memberikan pelayanan kepada publiknya. Oleh karena itu, seseorang yang menjadi profesional atau ahli seharusnya ia terus
menerus meningkatkan mutu pengetahuannya sesuai dengan bidang
pekerjaan yang ia geluti, ini sesuai dengan pendapat Peter Jarvis (1983 : 27) “In order to be master of branch of learning it is essential for a practitioner to continue his learning after initial education and some professions have institutionalized
education”.Selanjutnya Jarvis menegaskan bahwa seorang
profesional adalah yang berikhtiar untuk menjadi ahli serta melaksanakan ilmu pengetahuannya dalam pekerjaannya secara efektif (one who endeavor to have mastery of and to apply effectively that knowledge upon which his occupations is based).
Sedangkan
profesionalisasi
mengacu
pada
proses
peningkatan
kualifikasi maupun kemampuan para anggota profesi dalam mencapai kriteria yangg standar dalam penampilannya sebagai suatu profesi. Untuk menjadi profesional harus melalui pendidikan dan atau latihan yang khusus. Pendidikan profesional adalah suatu pendidikan yang mempersiapkan peserta didik dengan panggilan atau pekerjaan profesional. Profesionalisasi berasal dari kata professionalization yang berarti kemampuan profesional. Dedi Supriadi (1998) mengartikan profesionalisasi sebagai pendidikan prajabatan dan atau dalam jabatan. Proses pendidikan dan latihan ini biasanya lama dan intensif. Menurut Eric Hoyle (1980) konsep profesionalisasi mencakup dua dimensi yaitu : “…..the improvement of status and the improvement of practice”. Pendapat ini mengemukakan bahwa dimensi yang pertama meliputi upaya yang terorganisir untuk memenuhi kriteria profesi yang ideal dan bila telah mencapai tingkatan
profesi
yang
sudah
mapan,
maka
upaya
tersebut
adalah
mempertahankan serta membina posisi yang telah mapan itu. Profesionalisasi dalam dimensi ini mengandung implikasi untuk meningkatkan periode latihan bagi anggota profesi yang memiliki kualitas sehingga terlihat jelas batas yang berprofesi dan berhak melaksanakan profesinya secara resmi dengan tidak, selanjutnya
mempunyai
implikasi
dalam
meningkatkan
kontrol
terhadap
aktivitas-aktivitas profesi dan kontrol atas latihan yang dilakukan anggota profesi. Dimensi
kedua
menurut
Hoyle
adalah
penyempurnaan
pelaksanaan
(improvement of practice), meliputi penyempurnaan keterampilan secara terus menerus,
serta
pengetahuan
profesionalisasi dapat
dari
pelaksanaannya.
Karena
itu
konsep
disamakan dengan pembinaan profesi (professional
development). 9.2
Akuntabilitas Pendidikan Kualitas dari pendidikan suatu bangsa menentukan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa tujuan utama pendidikan adalah memberi kemampuan pada manusia untuk hidup di masyarakat. Kemampuan ini berupa pengetahuan dan/atau keterampilan,
serta perilaku yang diterima
masyarakat. Kemampuaan seseorang akan dapat berkembang secara optimal apabila memperoleh pengalaman belajar yang tepat. Untuk itu sebagai tenaga pendidik harus memberi pengalaman belajar yang sesuai dengan potensi dan minat peserta didik dengan beragam keunikannya. Dalam menciptakan kebermaknaan suatu pendidikan, lembaga pendidikan dapat dipandang sebagai lembaga sosial dan sekaligus sebagai lembaga ekonomi. Hal ini dilihat dari hasil pendidikan yang memiliki dampak sosial dan ekonomi kepada masyarakat. Dampak ekonomi dapat dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dampak sosial dapat dilihat pada kehidupan bermasyarakat yang tenteram, aman, dan sentosa. Etika moral dan akhlak mulia masyarakat dapat dibangun melalui pendidikan, untuk memberi ketenteraman kepada masyarakat. Kesejahteraan masyarakat tidak hanya bersifat material tetapi juga sosial. Oleh karena itu semua bangsa berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menciptakan pembelajaran yang efektif,
efesien, menyenangkan, mencerdaskan, dan profesional yang berujung pada tingkat akuntabilitas pembelajaran yang tinggi. Suatu
lembaga
pendidikan
dituntut
memiliki akuntabilitas
baik
kepada
masyrakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitmen terhadap
standar
keberhasilan
dan
harapan
masyarakat.
Pertanggungjawaban
lembaga atas penyelenggaraan pendidkannya bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana dari masyrakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukkan dalam
rangka
menyajikan
meningkatnkan
sekolah
harus
kualitas
pendidikan
memberikan
laporan
dan
jika
mungkin
pertanggungjawaban
untuk dan
mengkomunikasikannya kepada masyarakat dan pemerintah, serta melaksanakan kajian ulang secara komphrenif terhadap [pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
Sejalan dengan tuntutan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan yang bertumpu pada pola pembelajaran yang penuh makna. Mutu pendidikan itu bersifat dinamis. Saat ini bermutu namun saat mendatang mungkin sudah kurang atau tidak bermutu sama sekali/ketinggalan jaman. Oleh karena itu peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Dengan upaya itu diharapkan tata kelola pembelajaran, wujud penilaian pembelajaran yang dikembangkan oleh guru dan pemahaman guru akan beberapa hambatan dalam proses pembelajaran menjadi bagian dari akuntabilitas yang dituntut oleh masyarakat. 9.3
Etika dan Profesi Pendidikan Istilah etika berasal dari kata Ethos (Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakan tindakan-tindakan yang telah dikerjakan itu salah atau benar, baik atau buruk. Jika dikaitkan dengan sebuah profesi, sebuah profesi dapat dipercaya masyarakat jika di dalam profesi tersebut memiliki kesadaran untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyrakat yang memerlukannya. Tanpa suatu etika profesi nilai jasa yang diberikan menjadi boomerang terhadap kualitas pekerjaanya.
Secara umum, etika dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu : 1. Etika Umum : kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, mengambil keputusan dasar
yang
secara
etis,
menjadi
teori-teori
pegangan
etika
bagi
dan
manusia
prinsip-prinsip dalam
moral
bertindak
serta
tolak ukur dalam menilai baik dan buruknya suatu tindakan. 2. Etika Khusus : Prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus, etika khusus ini dibagi ke dalam dua bagian yaitu etika individual dan etika sosial seperti etika keluarga, etika profesi, etika politik dan sebagainya Sedangkan jika dilihat dari sudut baik dan buruknya etika juga dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : 1. Etika Deskriptif : Memandang dari sudur kritis dan rasional tentang sikap dan prilaku
manusia,
dan
apa
yang
dikejar
manusia
dalam
hidup
ini
sebagai sesuatu yang bernilai. 2. Etika Normatif : Menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya
dimiliki
oleh
manusia
dalam
hidup
ini
sebagai
sesuatu yang bernilai. Adapun yang dimaksud dengan kode etik adalah suatu sistem peraturan atau perangkat
prinsip-prinsip
keprilakuan
yang
telah
diterima
oleh
kelompok
kelompok yang tergabung dalam himpunan organisasi keprofesian tertentu. 9.3.1
Maksud, Tujuan dan Fungsi Kode Etik Makmun.A.Syamsudin (1996:89) memaparkan maksud, tujuan dan fungsi dari kode etik keprofesian adalah 1. Untuk menjamin agar tugas pekerjaan keprofesian itu terwujud sebagaimana sebagaimana
mestinya layaknya.
dan kepentingan semua pihak Pihak
penerima
layanan
terlindungi keprofesian
diharapkan dapat terjamin haknya untuk memperoleh jasa pelayanan yang berkualitas sesuai dengan kewajiban untuk memberikan imbalan, baik yang bersifat financial, maupun secara sosial, moral, cultural dan
lainnya.
Pihak
pengemban
tugas
pelayanan
keprofesian
juga
diharapkan terjamin martabat, wibawa dan kredibilitas pribadi dan keprofesiannya serta hak atas imbalan yang layak sesuai dengan kewajiban jasa pelayanannya. 2. Bagi para pengemban tugas profesi akan menjadi pegangan dalam bertindak serta acuan dasar dalam seluk beluk keprilakuannya dalam rangka memelihara dan menjungjung tinggi martabat dan wibawa serta
kredibilitas
demikian pula,
visi,
misi,
fungsi bidang
profesinya.
Dengan
maka kode etik juga dapat merupakan acuan
normative, dan juga operasional. Bagi para pemakai jasa layanan professional, kode etik juga merupakan landasan jika dipandang perlu mengajukan tuntutan kepada pihak
yang berwenang dalam hal
terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan dari pengemban profesi yang bersangkutan. Sedangkan bagi para Pembina dan penegak kode etik khususnya dan penegak hukum umumnya, perangkat kode etik termaksud
dapat
merupakan
landasan
bertindak
sesuai dengan
keperluannya, termasuk pemberlakuan sanksi keprofesian bagi pihakpihak yang terkait 9.3.2
Kandungan dan Rumusan Kode Etik Keprofesian Lebih lanjut Makmun memaparkan mengenai hal-hal yang terkandung dalam kode etik keprofesian adalah sebagai berikut : 1. Tanggung jwab, kewenangan ( kompetensi), standar moral hukun, standar unjuk kerja termasuk tehnik dan instrument yang digunakan atau dilibatkannya, konfidensialitas, hubungan kerja dan sejawat (professional). kewajiban termasuk
Perlindungan
pengembangan penelitian,
serta
keamanan diri
dan
publisitas
dan
kesejahteraan
kemampuan
klien,
professional
keprofesiannya
kepada
masyarakat 2. Format rumusan kode etik bervariasi, ada yang dalam bentuk model legal statement dengan bab dan pasal-pasalnya, serta adapula yang dalam bentuk rumusan naratif
Berikut ini merupakan contoh dari kode etik dan ikrar Guru Indonesia : Kode Etik Guru Indonesia : Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa, dan Negara serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, guru Indonesia, terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar ebagai berikut : 1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila 2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional. 3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan 4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar 5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan 6. Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya. 7. Guru mrmrlihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetia kawanan sosial 8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian 9. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan Ikrar Guru Indonesia 1. Kami Guru Indonesia, adalah insane pendidik Bangsa yang beriman dan takwa kepada Tuhan YangMaha Esa 2. Kami Guru Indonesia, adalah Pengemban dan pelaksana cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pembela dan pengamal Pancasila yang setia pada UUD 1945 3. Kami Guru Indonesia, bertekad bulad mewujudkan tujuan Nasional dalam mencerdaskan kehidupan Bangsa 4. Kami Guru Indonesia, bersatu dalam wadah organisasi perjuangan Persatuan Guru Republik Indonesia, membina persatuan Bangsa yang berwatak kekeluargaan 5. Kami Guru Indonesia, menjungjung tinggi Kode Etik Guru Indonesua sebagai pedoman tingkah laku profesi dalam pengabdian terhadap Bangsa, Negara, serta Kemanusiaan Sumber : AD/ART PGRI (1994)
9.3.3
Penetapan Kode Etik Menurut Makmun, A. Syamsuddin (1996:94) menyatakan bahwa ada ketentuan-ketentuan dalam penetapan dan penegakkan Kode Etik. Antara Lain adalah sebagai berikut : 1. Kode etik pada lazimnya disusun dan disahkan serta ditetapkan oleh organisasi asosiasi profesi yang bersangkutan, melalui suatu forum formalnya
(kongres
atau
konferensi)
yang
telah diatur dalam
AD/ART-nya 2. Pada organisasi asosiasi profesional yang telah mapan biasanya terdapat suatu Dewan atau Majlis Kode Etik yang mempunyai tugas untuk bertindak sebagai penegaknya (law enforcement) sehingga kode etik tersebut berlaku secara efektif dengan kekuatan hukumnya. Sayang sekali, hingga dewasa ini di lingkungan organisasi asosiasi bidang kependidikan kelengkapan seperti ini masih belum kita temukan
Sumber Referensi : Makmun. A. Syamsuddin. (1996). Pengembangan Profesi dan Kinerja Tenaga Kependidikan. Tidak Diterbitkan Sutisna, O. (1983).
Administarsi Pendidikan Dasar Teoritis Untuk Praktek
Profesioanal.Angkasa : Bandung