114
5 PEMBAHASAN
5.1
Formalin Pada Produk Perikanan Berdasarkan hasil identifikasi formalin pada sampel di lokasi penelitian
menunjukkan bahwa sebagian produk perikanan di lokasi penelitian mengandung bahan berbahaya formalin yakni sebanyak 14 % sampel. Hasil ini juga menunjukkan bahwa tidak semua produk perikanan yang menjadi sampel penelitian mengandung formalin. Pembinaan yang telah dilakukan oleh dinas perikanan maupun Departemen Kelautan dan Perikanan berupa larangan penggunaan formalin kepada para nelayan, pedagang, maupun pengolah diduga telah memberikan pengaruh terhadap penggunaan formalin pada produk perikanan sehingga hanya sebagian sampel atau 14 % yang mengandung formalin. Namun demikian, angka tersebut juga mengindikasikan upaya pengawasan dan pembinaan yang dilakukan belum efektif menghilangkan seluruhnya praktek penggunaan formalin pada produk perikanan. Berdasarkan lokasi pengambilan sampel di TPI, pedagang, dan pengolah menunjukkan bahwa sampel positif mengandung formalin lebih banyak pada sampel yang berasal dari unit pengolahan ikan (36,47 %) sedangkan sampel yang berasal dari TPI (1,67 %) dan pedagang ikan (9,84 %) lebih sedikit. Hasil ini memperlihatkan penyalahgunaan formalin banyak dilakukan oleh pengolah ikan dibandingkan oleh nelayan maupun pedagang. Saat dilakukan survey memang telah dilakukan penyuluhan maupun pembinaan pelarangan penggunaan formalin dan juga monitoring penggunaan formalin secara intensif oleh dinas perikanan kabupaten atau provinsi di lokasi penelitian. Dinas Perikanan Kabupaten Cirebon menempatkan 2 (dua) orang tenaga teknis di wilayah Gebang yang bertugas setiap hari. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas, penyuluhan dan pembinaan telah menurunkan penggunaan formalin oleh pengolah namun masih ada yang menggunakan formalin.
115
Berdasarkan kadar formalin pada sampel yang positif mengandung formalin menunjukkan sampel ikan asin di pantai utara Jawa Barat dan DKI Jakarta mengandung formalin 6,16 - 389,18 ppm, ikan panggang di Cirebon 15,67 - 41,61 ppm , kerang rebus di Cirebon 29,51 - 46,80 ppm, dan ikan segar di Muara Angke 4,44 - 12,22 ppm. Dilihat kadar formalin pada sampel secara keseluruhan bervariasi mulai dari 4,44 sampai dengan 389,18 ppm. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, formalin merupakan salah satu dari 9 (sembilan) bahan kimia yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan (BTP). Hal ini berarti bahwa produk perikanan sebagai salah satu dari produk pangan tidak boleh sedikit sekalipun mengandung formalin atau dengan kata lain bahan kimia formalin pada produk perikanan harus negatif. Dengan demikian, berapapun kandungan formalin yang terdapat pada sampel produk perikanan semuanya telah melanggar peraturan perundang-undangan. Menurut Winarno (2004)
formalin tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan makanan pada
Codex Alimentarius sehingga penggunaan formalin termasuk yang dilarang dalam makanan. Selain itu Winarno (2004) juga menyatakan bahwa karena formalin dilarang, pengujian kualitatif formalin cukup untuk melakukan tindakan pelarangan dan pengusutan bila uji laboratorium ternyata positif.
5.2
Kondisi Kebijakan Pencegahan Penyalahgunaan Formalin Pembahasan kondisi kebijakan pencegahan penyalahgunaan formalin
dimaksudkan untuk mengetahui kebijakan jaminan mutu dan keamanan pangan produk perikanan bagi produk hasil perikanan.
Kajian dilakukan terhadap
subtansi dokumentasi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan penerapan dari peraturan dan perundang-undangan tersebut. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode analisis isi (Suryabrata 2003). 5.2.1 Sistem keamanan pangan nasional Adanya produk perikanan yang tercemar seperti yang telah diuraikan diatas menunjukkan adanya permasalahan keamanan pangan di Indonesia. Untuk melihat sejauh mana posisi sistem keamanan pangan di Indonesia pada Tabel 28
116
disajikan sistem keamanan pangan Indonesia (lebih dilihat pada sektor perikanan) dibandingkan dengan Panduan untuk Memperkuat Sistem Keamanan Pangan Nasional (Guideliness for Consumer Organizations to Promote National Food Safety Systems) yang dikeluarkan oleh Safe Food International bersama WHO/FAO tahun 2005. Perbandingan dilakukan berdasarkan aspek peraturan dan perundang-undangan; sistem surveilan; manajemen pengawasan pangan; inspeksi; sistem penarikan dan penelusuran; laboratorium; dan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan. Berdasarkan Tabel 28 terlihat bahwa secara umum sistem keamanan pangan nasional telah sesuai dengan Panduan untuk Memperkuat Sistem Pangan Nasional
Keamanan
yang dikeluarkan oleh Safe Food International bersama
WHO/FAO tahun 2005 terutama pada aspek surveilan, aspek manajemen pengawasan pangan dan aspek laboratorium. Namun ada sedikit kekurangan didalam beberapa aspek seperti : aspek inspeksi, aspek sistem penarikan dan penelusuran, dan aspek pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan belum sepenuhnya sesuai dengan panduan tersebut. Aspek peraturan dan perundangan, peraturan yang ada mengenai keamanan pangan belum mencantumkan mengenai mekanisme penelusuran bagi produk pangan yang tercemar namun didalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.01/Men/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil perikanan telah memasukan bahwa prinsip-prinsip pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan menerapkan prinsip ketertelusuran bagi pelaku usaha. Aspek inspeksi belum memenuhi disebabkan karena (1) inspeksi yang dilakukan masih lebih diutamakan pada unit pengolahan ikan skala besar yang produknya untuk eksport dibandingkan dengan unit pengolahan ikan tradisional (rumah tangga) sehingga hal ini menjadi penyebab banyak unit pengolahan tradisional lebih banyak melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan perundang-undang (2) jumlah petugas pengawas mutu masih terbatas sehingga inspeksi belum dapat dilakukan secara maksimal pada semua unit pengolahan. Pada aspek pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan masih banyak konsumen belum mendapatkan informasi maupun penyuluhan tentang keamanan pangan khususnya produk perikanan.
117
Tabel 28 Sistem keamanan pangan Indonesia dibandingkan dengan Panduan untuk Memperkuat Sistem Keamanan Pangan Nasional (dikeluarkan Safe Food International bersama WHO/FAO tahun 2005) Petunjuk Sistem Keamanan Pangan yang dikeluarkan Safe Food Sistem Pengawasan Pangan Indonesia No International-WHO/FAO Komponen Deskripsi 1 Peraturan dan perundang-undangan 1.1 Peraturan dan perundang-undangan harus menjadi framework sistem PP No.28/2004,tentang keamanan, mutu dan gizi pangan, berisi agar keamanan pangan yang terintegrasi dan terkoordinasi instansi yang berwenang melakukan penegakan standar mutu keamanan dan gizi dan membuat standar dan penegakan keamanan. Cakupan sistem keamanan pangan sesuai dengan prinsip from farm to table mulai dari keamanan lingkungan, fasilitas pengolahan, penegakan dalam keamanan pelanggaran pelabelan, melakukan recall, uji laboratorium. 1.2 Dibuat berdasarkan partisipasi semua stakeholder
1.3 Isi sangat melindungi kesehatan
Peraturan perundang-undangan dibuat dengan melibatkan badan legislasi, pemerintah, masyarakat (asosiasi profesional, lembaga swadaya masyarakat) UU No.7/1996 Pangan:memuat tentang kewajiban penerapan sanitasi pengolahan pangan dan pelarangan mengedarkan pangan mengandung bahan beracun,berbahaya, atau yang membahayakan kesehatan/jiwa manusia. UU No.8/1999 Perlindungan Konsumen, memuat hak konsumen atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi produk.UU No.31/2004 Perikanan memuat tentang larangan penggunaan bahan baku, penolong, tambahan makanan, alat yang membahayakan kesehatan dalam penanganan/pengolahan ikan dan setiap produk keluar/kedalam Indonesia harus dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia
118
1.4 Mengatur pembinaan dan pengawasan untuk menjamin semua kepentingan PP No.28/2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan memuat stakeholder terpenuhi pembinaan dan pengawasan keamanan pangan from farm to table , melibatkan semua instansi 1.5 Menempatkan tanggung jawab utama hasilkan pangan aman pada produsen UU No.7/1996 Pangan:memuat tentang tanggung jawab industri pangan atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsinya mencakup aturan ganti rugi apabila konsumen dirugikan atau meninggal 1.5 Memberikan informasi yang akurat tentang produk PP No.69/1999 Label dan Iklan Pangan memuat tentang kewajiban mencantumkan label pada kemasan pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. 1.6 Adanya mekanisme penelusuran dan penarikan pangan terkontaminasi UU No.7/1996 Pangan: memuat tindakan administratif sebagai bagian dari pengawasan berupa larangan mengedarkan pangan tercemar, pemusnahan, penghentian produksi sementara, denda, dan pencabutan izin. PP No. 28/2004 mengatur tentang recall dan penyitaan. Menkes 382/Menkes/Per/VI/1989 memuat aturan wajib menarik dari peredaran makanan yang berbahaya bagi kesehatan. Di dalam peraturan perundangan tersebut tidak mengatur mengenai penelusuran. 1.7 Adanya prosedur perijinan/persetujuan sebelum diedarkan bagi pangan dan UU No.7/1996 Pangan:memuat tentang larangan mengedarkan pangan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai standar mutu dan tidak memenuhi sertifikasi mutu pangan, serta pangan tercemar. 2 Sistem surveilan dan investigasi penyakit disebabkan pangan Sistem mampu menelusur informasi tentang sakit/penyakit, menggabungkan sistem surveilan penyakit disebabkan pangan sudah mendapat informasi untuk mengidentifikasi wabah, penelusuran sumber penyakit. perhatian pemerintah dengan adanya Direktorat Surveilan dan Sistem juga mampu menemukan bukti pertama kontaminasi makanan. Penyuluhan Keamanan Pangan - Badan POM. Direktorat ini Masyarakat mendapatkan hak untuk mendapatkan informasi kondisi darurat mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan dari sistem surveilan termasuk data pendukung seperti: kejadian penyakit pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan karena makanan per tahun, identifikasi pangan berbahaya pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan
119
3 Manajemen Pengawasan Pangan 3.1 Adanya sistem keamanan pangan terpadu dan lembaga yang berwenang Indonesia mengembangkan Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT) melaksanakan keamanan pangan meliputi: mengembangkan dan dengan semboyan "Bersama-sama kita meningkatkan keamanan mengimplementasikan strategi pengawasan pangan terpadu, pembuatan pangan di Indonesia”. SKPT adalah program nasional yang terdiri dari standar dan regulasi, melaksanakan analisis resiko, mengembangkan prosedur semua stakeholder kunci yang terlibat dalam keamanan pangan dari lahan/perairan sampai siap dikonsumsi. SKPT merupakan sistem yang respon cepat mengkombinasikan keahlian dan pengalaman dari pemerintah, industri, akademisi dan konsumen secara sinergis dalam menghadapi tantangantantangan baru yang mempengaruhi keamanan pangan. Kewenangan keamanan pangan bukan pada satu lembaga namun tersebar pada beberapa lembaga/departemen seperti: BPOM dan Departemen Kelautan dan Perikanan Standardisasi nasional dibuat oleh BSN. Regulasi pangan secara umum telah dikeluarkan oleh BPOM sedangkan yang berkaitan dengan produk perikanan telah dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan Secara nasional pelaksanaan analisis risiko dilakukan melalui : Jejaring Intelijen Pangan, Jejaring Pengawasan Pangan dan Jejaring Promosi Keamanan Pangan. Pelaksanaan analisis risiko tersebar pada setiap institusi/lembaga seperti: Departemen Kelautan dan Perikanan, BPOM dan departemen lainnya Pembentukan Tim Respon Cepat telah disiapkan oleh Badan POM beserta stakeholder lainnya.Tim Respon Cepat adalah tim dalam sistem keamanan pangan terpadu (SKPT) yang dibutuhkan untuk membantu pemerintah dalam merespon situasi darurat, seperti kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan, penarikan produk pangan dari peredaran.
120
4 Inpeksi 4.1 Inspeksi terhadap standar/peraturan
higienis
dan
persyaratan
lainnya
sesuai
4.2 Memiliki pengawas mutu yang berkualifikasi dan terampil
4.3 Evaluasi perencanaan HACCP dan implementasinya
.4.4 Sampling pangan pada pemanenan, pengolahan, penyimpanan, distribusi
dgn Laboratorium Balai PPMHP (Dinas Propinsi) dan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melakukan inspeksi terhadap sanitasi/higienis di UPI skala besar (elsportir) Departemen Kelautan dan Perikanan , Dinas Perikanan Propinsi dan Kabupaten/Kota memiliki Pengawas mutu namun jumlahnya belum memadai dengan jumlah UPI skala besar maupun rumah tangga Perencanaan dan implementasi HACCP (PMMT) diwajibkan pada UPI yang melakukan eksport namun tidak untuk UPI skala rumah tangga/tradisional (UMKM) Laboratorium Balai PPMHP (Dinas Propinsi) dan Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP-DKP) telah melakukan sampling pada tambak, TPI, pedagang, UPI seperti: uji antibiotik, formalin. BPOM melakukan sampling pada produk perikanan yang beredar
4.5 Melaksanakan inspeksi, sampling dan sertifikasi untuk produk eksport/import Inspeksi, sampling dan sertifikasi kesehatan dilakukan oleh Balai Pengujian dan Pembinaan Mutu Hasil Perikanan (Balai PPMHP)untuk produk eksport. Pendukung lainnya adalah sertifikat kelayakan pengolahan dan penerapan PMMT yang dikeluarkan DKP 4.6 Melaksanakan inspeksi berdasarkan program jaminan keamanan (HACCP, Departemen Kelautan dan Perikanan dan Dinas Perikanan Propinsi audit berbasis risiko) telah melaksanakan inspeksi pada UPI skala besar (eksport) namun inspeksi HACCP/PMMT belum pada UPI skala rumah tangga/tradisional (UMKM)
121
5 Sistem penarikan dan penelusuran 5.1 Sistem keamanan pangan nasional sebaiknya mempunyai prosedur penarikan UU No.7/1996 Pangan: memuat tindakan administratif sebagai bagian produk pangan terkontaminasi dan pelabelan yang salah dari pasar domestik. dari pengawasan berupa larangan mengedarkan pangan tercemar, Penelusuran dimulai oleh produsen dan penarikan produk dikoordinasikan pemusnahan, penghentian produksi sementara, denda, dan pencabutan antara pemerintahdan produsen. izin. PP No. 28/2004 mengatur tentang recall dan penyitaan. Menkes 382/Menkes/Per/VI/1989 memuat aturan wajib menarik dari peredaran makanan yang berbahaya bagi kesehatan. Di dalam peraturan perundangan tersebut tidak mengatur mengenai penelusuran. 6 Laboratorium 6.1 Laboratorium memiliki fasilitas analisa fisik, kimia, mikrobiologi
Laboratorium Balai PPMHP (Dinas Propinsi) dan Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP-DKP) memiliki fasilitas analisa mikrobiologi, kimia, dan fisik 6.2 Dilengkapi instrument yang sophisticated, dan peralatan untuk menguji Laboratorium Balai PPMHP (Dinas Propinsi) dan BBP2HP-DKP berbagai senyawa kontamin memiliki peralatan sophisticated seperti: HPLC dan AAS. Laboratorium Balai PPMHP (Dinas Propinsi) belum dilengkapi perpustakaan sedangkan BBP2HP sudah dilengkapi dengan perpustakaan 6.3 Memiliki metode pengujian 6.4 Laboratorium terakreditasi
Laboratorium Balai PPMHP memiliki metode pengujian seperti: SNI, SPI-KAN, dan JUKNIS-KAN Laboratorium BBP2HP DKP, Balai PPMHP (Cirebon, DKI, Banten dan lainnya), Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional-BPOM, dan Balai Besar POM telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN)
122
7 Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan 7.1 Program pemberian informasi kepada konsumen dan produsen tentang Pemberian informasi konsumen dilakukan BPOM dan Departemen perkembanganpangan, penyakit disebabkanpangan, pencegahanpenyakitdan perdagangan melalui berbagai media komunikasi demikian pula situasi darurat instansi lainnya. Namun masih banyak konsumen yang belum mendapatan informasi dengan baik tentang keamanan pangan 7.2 Pelatihan bagi pengawas mutu, penguji, organisasi konsumen,produsen
Pelatihan diberikanoleh departemen,BPOM, perguruan tinggi maupun swasta. BPOM sejak tahun 1999 telah melatih ribuan teknisi laboratorium pangan
123
5.2.2 Peraturan dan perundang-undangan larangan penggunaan formalin pada produk perikanan Peraturan perundang-undangan yang menjadi payung dalam pelaksanaan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan yaitu Undang-Undang 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Selain itu ada peraturan pemerintah dan keputusan menteri yang merupakan penjabaran dari perundang-undangan tersesebut yaitu Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan Pangan, Gizi, dan Mutu Pangan merupakan penjabaran dan pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. Per.01/Men/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. Kep.01/Men/2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 04/M-Dag/Per/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Isi dari masing-masing peraturan dan perundang-undangan ini terkait dengan bahan tambahan makanan maupun keamanan pangan secara umum dapat dilihat pada Tabel 5. Peraturan dan perundangan tersebut diatas secara jelas melarang penggunaan formalin pada produk perikanan atau pangan lainnya terutama pada UU No. 7/1996 tentang Pangan, UU No. 31/2004 tentang Perikanan, PP No 28/2004 tentang Keamanan Pangan, Gizi dan Mutu Pangan, KepMenKes No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep.01//Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan, dan Permendag No. 04/M-Dag/Per/2/2006. Sanksi pidana dan denda bahkan dicantumkan didalam UU No.7/1996 tentang Pangan dan UU No. 31/2004 tentang Perikanan yaitu masing-masing pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,- (pasal 55) dan pidana penjara
124
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,- (pasal 91). Undang-undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen mencantumkan hak konsumen untuk mendapatkan produk yang aman dan kewajiban pelaku usaha untuk memproduksi/memperdagangkan produk yang aman sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang sudah ada tersebut diatas yang pada intinya dibuat untuk melindungi masyarakat dari produk yang tidak aman dan tidak bermutu terlihat sudah memadai. Menurut Susilo (1996) tanggung jawab terhadap perlindungan konsumen adalah pada pemerintah, pelaku usaha, organisasi konsumen, dan konsumen itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan peraturan yang dikeluarkan pemerintah dengan maksud melindungi konsumen sudah banyak namun belum dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen karena masih sangat kurang didalam pengawasan penerapannya. Pengolah ikan secara umum sudah mengetahui adanya larangan penggunaan formalin pada produk perikanan namun mereka tetap melakukannya. Hal ini disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum. Menurut Prawironegoro (2006), tidak adanya kepastian dan jaminan hukum semakin menyuburkan praktekpraktek usaha ekonomi secara ilegal. Sementara itu, menurut Widyaningsih dan Murtini (2006) ada beberapa faktor yang menyebabkan pemakaian formalin oleh para produsen pangan termasuk pengolahan ikan untuk bahan tambahan makanan (pengawet) meningkat, antara lain harganya yang jauh lebih murah dibanding pengawet lainnya, seperti natrium benzoat atau natrium sorbat. Selain itu, jumlah yang digunakan tidak perlu sebesar pengawet lainnya, mudah digunakan untuk proses pengawetan karena bentuknya larutan, waktu pemrosesan pengawetan lebih singkat, mudah didapatkan di toko bahan kimia dalam jumlah besar, dan rendahnya pengetahuan masyarakat produsen tentang bahaya formalin. Peraturan yang sudah ada belum dapat melindungi konsumen tidak terlepas dari masih kurangnya peran konsumen itu sendiri. Menurut Susilo (1996) konsumen Indonesia umumnya masih kurang memiliki analisis kritis dan masih kurangnya kemampuan untuk menggunakan hak dan kewajiban untuk menjadi konsumen yang baik. Berdasarkan Pieris dan Widiarty (2007) sebagian besar konsumen Indonesia enggan berperkara ke pengadilan padahal telah sangat
125
dirugikan pelaku usaha yang disebabkan karena ketidakkritisan mereka, relatif belum memahami peraturan perundang-undangan yang ada, praktek peradilan yang tidak sederhana, kurang cepat dan biaya yang tidak ringan, dan sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar pelaku usaha. Lemahnya penegakan hukum tersebut dan juga faktor lainnya seperti yang telah diuraikan diatas mendorong pengolah tetap menggunakan formalin walaupun mereka mengetahui perbuatan mereka telah melanggar peraturan yang ada. Berdasarkan hal ini, masih terdapatnya penyalahgunaan formalin pada produk perikanan dapat diduga karena masih kurangnya penerapan dari peraturan dan perundang-undangan yang ada.
5.2.3 Pemetaan keterkaitan instansi pemerintah dalam keamanan produk perikanan Peraturan perundangan yang telah dikeluarkan pemerintah untuk mengatur keamanan produk perikanan maupun pangan telah cukup banyak. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian pemerintah untuk memberikan jaminan produk perikanan atau pangan yang aman. Namun demikian, banyaknya peraturan perundangan tersebut dapat pula memberikan suatu gambaran akan kompleknya sistem keamanan produk perikanan atau pangan nasional. Peta keterkaitan instansi pemerintah dalam keamanan produk perikanan disajikan pada Gambar 32. Ada beberapa lembaga/instansi yang berwenang dalam pembinaan dan pengawasan keamanan produk hasil perikanan yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi dan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. BPOM bertanggung jawab terhadap pengaturan, regulasi, dan standardisasi (termasuk penetapan bahan tambahan pangan dibolehkan dan dilarang); penilaian dan evaluasi keamanan pangan sebelum beredar dan selama peredaran; sertifikasi produk pangan; pembinaan sistem jaminan mutu pangan (GMP, HACCP dll) pada produsen dan distributor; pengujian dan riset pangan; dan komunikasi, informasi, dan edukasi publik keamanan pangan secara umum. BPOM dengan Departemen
126
Kelautan dan Perikanan bekerja sama untuk mengembangkan program keamanan pangan nasional yang mengintegrasikan berbagai aktivitas dari Jejaring Intelijen Pangan, Jejaring Pengawasan Pangan, dan Jejaring Promosi Keamanan Pangan. Departemen
Kelautan
dan
Perikanan
sebagai
departemen
teknis
bertanggung jawab dalam pengaturan, regulasi, dan standardisasi keamanan dan mutu hasil perikanan (seperti regulasi tentang penerapan sistim jaminan mutu hasil perikanan); pembinaan dan pengawasan keamanan dan mutu hasil perikanan kepada pelaku usaha perikanan meliputi nelayan, pembudidaya, pengolah ikan, dan pedagang ikan baik yang berskala besar maupun kecil (UMKM/rumah tangga). Dalam upaya pengawasan penerapan sistem jaminan mutu hasil perikanan berupa Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) yang berbasis Hazard Analytical Critical Control Point (HACCP), setiap unit pengolahan ikan harus memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SPI) dan Sertifikat Penerapan PMMT. Berkaitan dengan pengawasan tersebut, DKP dapat melakukan inspeksi ke unit pengolahan untuk monitoring, audit, maupun verifikasi. Penerapan sertifikasi tersebut baru diwajibkan kepada unit pengolahan yang melakukan eksport yang merupakan unit usaha skala besar. Dengan demikian unit usaha pengolahan ikan tradisional yang masuk dalam skala usaha UMKM atau rumah tangga belum dikenakan sertifikasi tersebut. Dinas perikanan dan kelautan propinsi melakukan pembinaan pengolahan hasil perikanan, sertifikasi hasil perikanan, pengujian mutu, monitoring keamanan produk hasil perikanan dan pembinaan/pengawasan penerapan Program Manajemen
Mutu
Terpadu
(PMMT).
Dinas
perikanan
dan
kelautan
kabupaten/kota juga melakukan pembinaan pengolahan hasil perikanan dan pengawasan penerapan PMMT. Dinas kesehatan kabupaten/kota mengeluarkan Sertifikasi Produk Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) termasuk didalamnya melakukan penyuluhan keamanan pangan dan juga audit kepada pengolah ikan atau pangan.
127
Departemen Kelautan dan Perikanan - Pengaturan, regulasi , standardisasi keamanan/mutu hasil Perikanan - Pembinaan, pengawasan keamanan/mutu hasil perikanan - Pengujian dan riset - Pendidikan, pelatihan, penyuluhan Pembinaan
Badan Pengawasan Obat dan Makanan - Pengaturan,regulasi,standardisasi - Penilaian/evaluasi pangan sebelum/selama beredar - Pembinaan sistem jaminan mutu - Pengujian dan riset - Komunikasi, informasi,edukasi publik
Laporan
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi - Pembinaan pengolahan hasil perikanan (skala kecil/besar) - Sertifikasi hasil perikanan - Pengujian mutu - Monitoring keamanan produk hasil perikanan - Pembinaan penerapan PMMT Pembinaan
Jejaring sistem keamanan pangan terpadu
Data
Dinas Kelautan dan Perikanan/Kesehatan Kabupaten/Kota
Pembinaan/pengawasan PMMT Sertifikasi kelayakan pengolahan, penerapan PMMT Perijinan sebelum produk perikanan beredar (non-IRT) Monitoring produk perikanan yang beredar
Biaya sertifikasi Data
Pembinaan PMMT Sertifikasi kesehatan (SNI) Monitoring keamanan d k Data
Data
- Pembinaan,pengawasan usaha perikanan Pembinaan/penga wasan Data
Nelayan/ Pembudidaya - Kecil/tradisional - Besar
Pengolah ikan - UKM/RT - Besar (eksport)
Pedagang - Agen - Pengumpul - pengecer
Pelaku usaha perikanan - Penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan (HACCP)
Gambar 32 Diagram pembinaan dan pengawasan keamanan produk perikanan
128
5.2.4 Aksi nasional pengendalian penyalahgunaan bahan berbahaya dalam pangan Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional pengendalian penyalahgunaan bahan berbahaya dalam pangan. Aksi nasional tersebut terdiri dari 4 (empat) kebijakan pokok yaitu pengaturan, pengawasan, pembinaan, dan penyelamatan usaha kecil menengah (UKM) yang tidak bermasalah dengan formalin. Kebijakan pengaturan berupa penyusunan dan penerbitan Surat Keputusan (SK) Menteri Perdagangan. Kebijakan pengawasan berupa pengawasan yang lebih ketat baik di pusat maupun daerah dengan tindakan hukum yang memadai untuk memberikan efek jera kepada mereka yang melanggar melalui: - Peningkatan kerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan dalam rangka peningkatan penyidikan kasus pelanggaran - Peningkatan kerjasama dengan pemerintah daerah dalam rangka peningkatan pengawasan penyalahgunaan bahan berbahaya dalam pangan - Pemberdayaan District Food Inspector dan Penyuluh Keamanan Pangan di pemerintah daerah - Pengawasan bahan berbahaya yang beredar yang disalahgunakan untuk pangan - Social enforcement melalui pemberdayaan lembaga konsumen Kebijakan pembinaan bertujuan meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat akan bahaya formalin, meningkatkan pemahaman akan pentingnya cara berproduksi pangan yang baik dan benar, meningkatkan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bahan berbahaya dan keamanan pangan, dan menerapkan teknologi tepat guna dan manajemen tepat sasaran untuk UKM dalam rangka peningkatan mutu dan keamanan produk pangan. Kebijaksanaan pembinaan tersebut dilakukan melalui: - Pelatihan dan penyuluhan, - Penyebarluasan informasi dalam berbagai bentuk media informasi seperti poster, leaflet, dan sejenisnya, - Kampanye dalam rangka edukasi kepada publik baik melalui media massa maupun kegiatan-kegiatan khusus di tempat-tempat tertentu, dan
129
- Pemberian penghargaan (award) kepada kelompok sasaran yang terbukti dapat meningkatkan mutu dan keamanan produk pangannya atau dapat meningkatkan pemasaran produknya. Kebijakan penyelamatan terhadap UKM yang tidak bermasalah terkait dengan isu formalin melalui program yang dapat menjaga citra produsen atau pengelola pangan, khususnya UKM yang tidak bermasalah terkait dengan isu formalin. Program tersebut adalah mengumumkan kepada publik UKM yang menjamin tidak menggunakan formalin (atau BB lainnya dalam pangan) yang dilakukan dengan cara sebagai berikut : - UKM yang menjamin tidak menggunakan formalin dalam pangannya, menandatangani Surat Pernyataan Jaminan Tidak Menggunakan Formalin dalam Pangan secara sukarela (voluntary). Surat Pernyataan tersebut kemudian dicatat oleh Dinas terkait di pemerintah Kabupaten/Kota. - Pemerintah Kabupaten/Kota membuat daftar UKM yang menjamin tidak menggunakan formalin dalam pangannya. - Daftar UKM yang menjamin tidak menggunakan formalin dalam pangannya segera diumumkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota ke publik melalui media massa setempat. Pengumuman kepada publik dimaksudkan untuk menjaga citra UKM yang bersangkutan dan mengembalikan kepercayaan konsumen. - Balai Besar/Balai POM bersama Pemerintah daerah setempat akan melakukan pemantauan secara terus menerus terhadap UKM yang telah menandatangani Surat Pernyataan ini dan terhadap setiap pelanggaran atas jaminan tersebut akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. - Temuan pelanggaran akan diumumkan ke publik Program aksi nasional pengendalian penyalahgunaan bahan berbahaya dalam pangan tersebut diatas berdasarkan hasil wawancara dengan petugas dinas kelautan dan perikanan di pantai utara Jawa Barat, DKI Jakarta dan Tangerang maupun berdasarkan data sekunder ada beberapa yang sudah dilaksanakan dan ada juga yang belum dilaksanakan. Uraian program aksi nasional beserta pelaksanaannya disajikan pada Tabel 29. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa program aksi nasional yang secara jelas telah dilaksanakan adalah penyusunan dan penerbitan Permendag No. 04/M-Dag/Per/2/2006 tentang
130
Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya; penyebarluasan informasi dalam berbagai bentuk media informasi seperti poster dan leaflet; kampanye dalam rangka edukasi kepada publik baik melalui media massa maupun kegiatan lainnya; dan pemberian penghargaan (award) oleh BPOM berupa Piagam Bintang Keamanan Pangan (Anonim, 2007d). Gambar 33 dan 34 masing-masing menyajikan spanduk sosialisasi sanksi penyalahgunaan formalin dinas perikanan dan kelautan dan leaflet “Mari kita pilih pangan bebas formalin” oleh BPOM.
Tabel 29 Program dan pelaksanaan aksi nasional pengendalian penyalahgunaan bahan berbahaya dalam pangan No
Program Aksi Nasional
1.
Pengaturan
2.
Penyusunan dan penerbitan Surat Sudah dilaksanakan dengan Keputusan (SK) Menteri dikeluarkannya Permendag No. Perdagangan 04/M-Dag/Per/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya Pengawasan Peningkatan kerjasama polisi dan kejaksaan
Pelaksanaan
dengan - Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta telah melakukan kerjasama dengan kepolisian dalam melakukan pengawasan penyalahgunaan formalin pada Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke - Dinas Kelautan dan Perikanan di pantai utara Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Tangerang belum ada pelaksanaan ke arah penyidikan dengan polisi dan kejaksaan. Pemberdayaan District Food Belum ada pelaksanaan penyuluhan Inspector dan Penyuluh Keamanan oleh District Food Inspector dan Pangan di pemerintah daerah Penyuluh Keamanan Pangan terhadap pengolah ikan di wilayah pantai utara Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Tangerang Pengawasan bahan berbahaya yang Pelaksanaan pengawasan belum beredar yang disalahgunakan untuk efektif karena pengolah ikan di pangan Cirebon masih dapat membeli formalin pada toko kimia Social enforcement melalui Sebelum ada aksi nasional
131
pemberdayaan lembaga konsumen
pengendalian penyalahgunaan formalin, lembaga konsumen (YLKI,LKJ) telah melakukan monitoring dan memuat artikel hasil monitoring/tentang formalin dalam majalah internal maupun lainnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) belum menangani permasalahan formalin pada produk perikanan
3.
Pembinaan
4.
Penyebarluasan informasi dalam BPOM membuat leaflet ”Larangan berbagai bentuk media informasi penggunaan formalin sebagai BTM”, seperti poster, leaflet, ”Mari kita pilih pangan bebas formalin”, Kampanye dalam rangka edukasi Formalin pada produk ikan dan kepada publik baik melalui media penggunaannya telah banyak dimuat massa maupun kegiatan lainnya berbagai media massa (koran, majalah, televisi, radio) Pemberian penghargaan (award) BPOM telah melaksanakan kepada kelompok sasaran yang pemberian penghargaan berupa terbukti dapat meningkatkan mutu Piagam Bintang Keamanan Pangan dan keamanan produk pangannya kepada industri pangan yang menerapkan keamanan pangan Penyelamatan UKM tidak bermasalah Surat Pernyataan Jaminan Tidak Dinas Kelautan dan Perikanan Menggunakan Formalin dalam Indramayu meminta pengolah ikan Pangan secara sukarela (voluntary) membuat surat pernyataan jaminan tidak menggunakan formalin sementara dinas lainnya belum/tidak melakukannya Pengumuman Daftar UKM yang Pemerintah daerah pantai utara Jawa menjamin tidak menggunakan Barat, DKI Jakarta dan Tangerang formalin dalam pangannya oleh belum/tidak melakukan program ini Pemerintah Kabupaten/Kota ke publik melalui media massa setempat Temuan pelanggaran akan Tidak/belum ada temuan pelanggaran diumumkan ke publik dan pengumuman ke publik yang dilakukan pemerintah daerah pantai utara Jawa Barat, DKI Jakarta dan Tangerang
132
(a)
(b)
Gambar 33. Spanduk sosialisasi sanksi pidana bagi pengguna formalin (a) di TPI Muara Angke, DKI Jakarta dan (b) TPI KUD Fajar Sidik, Blanakan, Jawa Barat.
Gambar 34. Leaflet petunjuk memilih pangan bebas formalin (BPOM 2006)
Sebagai contoh akan kebijakan pencegahan penyalahgunaan formalin yang perlu diperhatikan adalah kebijakan yang telah diambil dan dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali. Kasus penyalahgunaan formalin di wilayah Provinsi Bali adalah tidak ada. Apabila didapat produk perikanan mengandung formalin, produk perikanan tersebut berasal dari luar Bali seperti: Lamongan dan Madura. Faktor pendukung tidak adanya kasus formalin adalah (1) umumnya penangkapan ikan oleh nelayan adalah one day fishing, (2) ikan tongkol
133
dan lemuru hasil tangkapan nelayan langsung diolah menjadi pindang dan ikan kaleng, (3) dibentuk tim pengawas terpadu terdiri dari: dinas perikanan, dinas kesehatan, dinas perindustrian dan perdagangan, (4) jumlah agen formalin dibatasi dan pembelian formalin harus disertai surat keterangan tujuan penggunaan (seperti: untuk kematian) yang dikeluarkan kepala desa atau adat, (5) diterapkan kebijakan penyitaan dan pemulangan kembali terhadap produk perikanan yang mengandung formalin (Wisnawa G 16 Maret 2008, komunikasi pribadi). 5.2.5 Kebijakan pencegahan penyalahgunaan formalin di negara lain Sebagai perbandingan antara kebijakan pencegahan penyalahgunaan formalin di Indonesia dengan negara lain akan dibahas kebijakan pencegahan penyalahgunaan formalin di Bangladesh berdasarkan data sekunder yang penulis peroleh. Berdasarkan Shikha (2004) di Bangladesh formalin digunakan sebagai pengawet pada ikan, buah-buahan, sayuran dan produk lainnya. Penyalahgunaan formalin diduga dilakukan di luar Bangladesh yakni para pedagang dari negara Myanmar dan India karena Bangladesh banyak mengimpor ikan dari kedua negara tersebut. Menurut Ayon (2007) sampai dengan tahun 2007, setiap harinya sekitar 80.000 kg ikan yang mengandung formalin masih masuk ke Bangladesh dari Myanmar. Selain dilakukan oleh pedagang di luar Bangladesh, penggunaan formalin juga diduga dilakukan oleh para pedagang besar yang berada di sentra perikanan. Bangladesh juga mengimport ikan dari Burma. Berdasarkan hasil survey Pharmaceutical Technology Laboratory of Mymensingh dan Ocean Fish and Technology Institute of Cox's Bazaar terhadap ikan import dari Burma menunjukkan tidak adanya formalin pada ikan (Thet 2007). Formalin digunakan dalam perdagangan ikan segar dengan menyuntikan formalin kedalam perut ikan dan kepala ikan besar dan juga mencelupkan ikan kedalam larutan formalin beberapa kali. (Thet 2007). Penyebab penyalahgunaan formalin pada produk perikanan di Bangladesh adalah terbatasnya fasilitas pembekuan, pabrik es dan lamanya transportasi (Khan 2004). Kendala dalam mengatasi permasalahan formalin adalah sebagai berikut:
134
1) Pemerintah tidak dapat melakukan pengujian terhadap produk ikan karena Bangladesh Standards and Testing Institution (BSTI) Ordinance 1985 tidak mengatur standar pengujian bagi produk ikan namun mengatur standar pengujian untuk 145 produk pangan lainnya seperti: pineapple juice, biskuit, dan palm oil. 2) Departemen Perikanan Bangladesh tidak mau mengakui adanya impor ikan karena khawatir akan kehilangan fasilitas tax holiday dalam ekspor ikan Bangladesh ke Eropa dan Amerika. Upaya yang dilakukan pemerintah Bangladesh mengatasi permasalahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan adalah 1) Pemerintah melarang import ikan dari dari negara lain yang mengandung formalin. Produk ikan import harus dilengkapi dengan clearance sertificate yang dikeluarkan pihak berwenang dari negara eksportir. 2) Menginspeksi pengiriman ikan
pada setiap pelabuhan perikanan untuk
menjamin ikan yang masuk ke Bangladesh bebas formalin (Anonim 2007a) 3) Pembangunan laboratorium pengujian formalin dan bahan kimia berbahaya lainnya terhadap produk ikan import (The Daily Star 2007) 4) Melakukan inspeksi ke pusat pendaratan ikan dan perdagangan ikan serta menarik ikan yang terbukti mengandung formalin dari pasaran (The New Nation 2007) Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa permasalahan formalin di Bangladesh terjadi pada produk ikan segar. Timbulnya permasalahan formalin diantaranya disebabkan karena alasan teknis (terbatasnya fasilitas pendinginan ikan), peraturan perundang-undangan, dan lemahnya pengawasan. Untuk itu, kebijakan yang diambil pada dasarnya berupa adanya peraturan baru dan peningkatan pengawasan, sedangkan kebijakan teknis tidak termasuk yang dipilih. Peraturan baru yang dikeluarkan berupa larangan impor ikan berformalin maupun bahan kimia berbahaya lainnya. Sementara pengawasan yang dilakukan adalah kewajiban adanya clearance sertificate, pendirian laboratoriun pengujian, dan inspeksi pada pusat pendaratan dan perdagangan ikan. Berkaitan dengan keamanan pangan produk perikanan khususnya produk perikanan tujuan eksport pemerintah telah mengeluarkan program Hazard
135
Analytical Critical Control Point (HACCP). Pelaksanaan pelatihan program ini dibawah Bangladesh Standards and Testing Institution (BSTI).
5.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Menggunakan Formalin
Pengolah
Ikan
Tradisional
Berdasarkan hasil analisis faktor, variabel-variabel yang mempengaruhi keputusan pengolah menggunakan formalin adalah (1) lemahnya penegakan hukum, (2) konsumen, (3) ekonomi, (4) kemudahan mendapatkan formalin, (5) harga formalin, (6) pengaruh teman, (7) pengawasan, (8) pembinaan, (9) agama, (10) daya awet, (11) rendemen, (12) mutu, dan (13) teknologi alternatif. Adapun penjelasan masing-masing variabel tersebut adalah sebagai berikut: 5.3.1 Lemahnya penegakan hukum Lemahnya penegakkan hukum memberikan pengaruh terhadap keputusan pengolah menggunakan formalin. Hal ini mengindikasikan bahwa pengolah menggunakan formalin dalam proses pengolahan produknya karena merasa yakin tidak akan dilakukan proses hukum atau pemberian sanksi pidana oleh aparat penegak hukum. Kondisi tersebut memberikan peluang kepada pengolah untuk melanggar peraturan yang ada. Menurut Prawironegoro (2006), tidak adanya kepastian dan jaminan hukum semakin menyuburkan praktek-praktek usaha ekonomi secara ilegal. Menurut Sunarso (2004) tujuan hukum pidana adalah sebagai berikut: (1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik dengan menakut-nakuti orang banyak maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat (3) Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara masyarakat dan penduduk, yakni:
136
1) Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi dan berguna 2) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana Berdasarkan hasil survei, tidak ada data tentang proses hukum terhadap pengolah yang menggunakan formalin kecuali salah satu upaya kearah penegakan hukum telah dilakukan oleh Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan DKI Jakarta yang bekerja sama dengan Polri. Mereka melakukan razia penggunaan formalin terhadap pengolah ikan asin di PHPT Muara Angke namun tidak sampai kepada proses hukum selanjutnya karena pengolah mengaku bersalah dan membuat pernyataan untuk tidak menggunakan formalin (Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan DKI Jakarta, 2005). Hal ini mengindikasikan pengolah tidak ingin adanya sanksi hukum pidana terhadap diri mereka. Hal ini sesuai dengan hasil survei terhadap pengolah tentang pemberian sanksi hukum kepada pengguna formalin, sebanyak 58 responden atau 70 % menjawab tidak setuju pemberian sanksi hukum kepada pengguna formalin. Di sisi lain, fakta tersebut memperlihatkan pula bahwa belum adanya kesungguhan dari aparat untuk menegakan hukum terhadap pengolah yang memang sudah terbukti meggunakan formalin. Lemahnya penegakkan hukum nampaknya juga terjadi pada kasus pangan lainnya seperti yang digambarkan oleh hasil penelitian Shofie (2002). Ia melakukan analisis terhadap 3 (tiga) kasus besar konsumen di Indonesia yakni kasus biskuit beracun (1989), mie instant tercemar atau kedaluarsa (1994), dan halal-haram Ajinomoto (2001) yang melibatkan korporasi sebagai tersangka atau terdakwa yang diduga menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum pidana yang berakibat pada kerugian materi, fisik, bahkan nyawa para konsumen, tidak ada penyelesaian yang tuntas. Lebih lanjut Shofie (2002) melihat mayoritas aparat penegak hukum bersifat pasif/diam atas peristiwa-peristiwa yang merugikan konsumen. Hal ini berdasarkan persepsi konsumen terhadap aparat penegak hukum atas peristiwa-peristiwa penggunaan produk yang diduga menimbulkan kerugian material, fisik, bahkan kematian bagi konsumen menunjukkan mayoritas responden (67 %) mengemukakan aparat bersikap pasif/diam dan selebihnya responden (33 %) mengemukakan aparat bersikap ragu-ragu dan bersikap reaktif
137
atas peristiwa-peristiwa tersebut. Pasifnya aparat penegak hukum seperti yang diuraikan diatas dan tidak adanya keseriusan dari aparat untuk menegakan hukum seperti pada kasus dinas DKI Jakarta merupakan penyebab lemahnya penegakan hukum. Di lain pihak aturan hukum kita tidak cukup memadai untuk memberikan sanksi kepada aparat penegak hukum yang tidak memproses laporan warga masyarakat yang mendapat perlakuan tidak adil (Alkotsar 1997). Menurut Ali (2006) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat yaitu (1) kaidah hukum peraturan itu sendiri; (2) petugas/penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat. Hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran masyarakat meliputi: (1) penyuluhan hukum yang teratur; (2) pemberian teladan yang baik dari petugas didalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum; (3) pelembagaan yang terencana dan terarah. Selain itu, masalah kesadaran hukum warga masyarakat sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dipahami, ditaati, dan dihargai? Apabila warga masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah dari yang memahaminya, dan seterusnya. Menurut Pardede (1995), proses peradilan membutuhkan waktu yang panjang dan biaya sangat mahal (high cost). Lamanya proses peradilan diantaranya disebabkan karena banyaknya perkara, hakim yang terbatas, terlalu banyak/panjang birokrasi, minimnya sarana/prasarana. Biaya tinggi disebabkan oleh karena budaya hukum masyarakat, berperkara di pengadilan tidak lagi mengenai benar atau salah akan tetapi telah menyangkut masalah menang atau kalah sehingga dengan cara cara apapun berusaha dengan apapun untuk mencapai maksud tersebut yang akhirnya kondisi ini disalahgunakan oleh oknum penegak hukum maupun pengacara. Permasalahan yang ada dalam proses peradilan tersebut diatas dapat mengakibatkan masyarakat sebagai konsumen yang memahami hak-hak nya tidak tertarik untuk menyelesaikan permasalahannya melalui proses pengadilan sebagai akibatnya mereka pasif. Hal ini pula yang dapat menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan formalin. Disamping itu, konsumen
138
yang bersifat pasif dapat juga disebabkan oleh karena belum mengetahui mengenai hukum tentang mutu dan keamanan makanan seperti yang dinyatakan Ali (2006) diatas. Lemahnya penegakan hukum mengakibatkan penyalahgunaan formalin semakin meningkat yang penyebarannya dipercepat oleh pengaruh antar teman sesama pengolah, dan kemudahan mendapatkan formalin. Disamping itu juga mengakibatkan pengawasan dan pembinaan yang dilakukan pemerintah tidak akan memberikan hasil yang maksimal terhadap upaya pencegahan penggunaan formalin. 5.3.2 Konsumen Variabel konsumen memberikan pengaruh terhadap keputusan pengolah untuk menggunakan formalin. Hal ini menunjukkan bahwa menurut pengolah alasan mereka menggunakan formalin karena adanya permintaan konsumen. Pengertian konsumen itu sendiri adalah pemakan atau pemakai produk olahan ikan yang diproduksi oleh pengolah ikan. Ada 2 (dua) jenis konsumen yaitu konsumen individu dan konsumen organisasi (Sumarwan 2002). Konsumen produk olahan ikan lebih kepada konsumen individu. Konsumen individu ini membeli produk olahan ikan dapat digunakan untuk sendiri ataupun akan digunakan oleh anggota keluarga yang lain. Dalam konteks produk ikan yang dibeli kemudian dimakan langsung oleh individu, dapat disebut sebagai konsumen akhir. Pemakai atau konsumen ikan bagi pengolah ikan adalah sangat penting karena mereka merupakan target penjualan produknya dengan tujuan memperoleh laba. Menurut Sumarwan (2002), konsumen mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan dan kemunduran perusahaan. Suatu produk tidak akan ada artinya bagi perusahaan jika ia tidak dibeli oleh konsumen. Sebelum produk yang dihasilkan pengolah sampai kepada konsumen akhir, harus melalui perantara-perantara (middleman) yaitu pengumpul, grosir, dan pengecer. Mereka berfungsi sebagai penghubung antara konsumen dengan pengolah.
139
Menurut pengolah teri asin kering yang memiliki kapasitas produksi besar di Gebang, Cirebon menyatakan mereka menggunakan formalin dikarenakan adanya permintaan dari grosir (perantara). Demikian pula halnya dengan pengolah ikan asin di PHPT Muara Angke. Berdasarkan permintaan tersebut maka pengolah menggunakan formalin dalam proses pengolahan produknya. Pengolah harus mengikuti permintaan grosir tersebut karena mereka sebagai pembeli produknya. Apabila tidak mengikuti permintaan mereka maka sebagai konsekuensinya produknya tidak akan dibeli atau dibeli dengan harga yang lebih murah. Hal ini tentunya akan berpengaruh negatif terhadap keuntungan usahanya. Permintaan oleh perantara disebabkan karena berbagai alasan seperti: produk berformalin daya awetnya tinggi sehingga mereka dapat menyimpan produk di gudang dalam waktu lama dan produk masih dapat dijual sehingga terhindar dari resiko kerugian akibat pembusukan dari produk, dan produk berformalin disukai oleh pembeli akhir oleh karena penampilan dan warnanya yang lebih menarik. Konsumen lebih suka produk berformalin dapat disebabkan karena belum mengetahui produk yang dibelinya berformalin. Permintaan konsumen mengakibatkan pengolah menggunakan formalin sehingga pengecer/toko kimia menyalahgunakan penjualan formalin dengan menjual pula ke pengolah ikan. Penggunaan formalin oleh satu pengolah cepat menyebar ke pengolah lainnya sehingga penyalahgunaan formalin semakin meningkat. Hal ini diakibatkan pula oleh kurangnya pengawasan dan pembinaan. 5.3.3 Ekonomi Variabel ekonomi memiliki pengaruh terhadap penggunaan formalin oleh pengolah. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi menjadi alasan bagi pengolah untuk menggunakan formalin walaupun melanggar peraturan. Pengertian ekonomi disini lebih kepada keuntungan usaha yang diperoleh pengolah apabila menggunakan formalin melalui harga dan adanya pasar atau pembeli. Berdasarkan hasil pengamatan pada usaha pengolahan teri asin kering di Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon, pedagang besar (grosir) akan membeli teri nasi asin dengan harga lebih rendah kepada produk teri nasi tanpa formalin dengan alasan kenampakannya tidak menarik. Hal ini mengakibatkan banyak
140
pengolah memutuskan untuk tidak mengolah teri nasi kembali. Harga produk teri nasi berformalin bisa mencapai Rp 20.000 - Rp 25.000 per kg sebaliknya produk tanpa formalin karena kenampakan tidak menarik maka pedagang besar hanya menawar dengan harga yang murah yaitu hanya berkisar antara Rp 15.000 Rp.17.000 per kg. Pada Tabel 30 disajikan aspek finansial usaha pengolahan ikan panggang, kerang rebus, dan teri asin. Berdasarkan tabel tersebut terlihat ketiga usaha masuk dalam kategori usaha yang layak untuk dijalankan. Apabila pada ketiga usaha pengolah ikan diatas dilakukan penghentian penggunaan formalin akan mengakibatkan terjadinya perubahan aspek finansial usahanya tersebut diatas. Perubahan aspek finansial tersebut terjadi karena harga jual produk teri asin akan turun dari Rp 20.000/kg menjadi Rp 17.000/kg dan usaha menjadi tidak layak untuk dijalankan (IRR <18%, NPV < 1, BC Ratio 0,88, dan laba per tahun -Rp 154.143.900). Sementara itu pada produk olahan ikan panggang, penghentian pemakaian formalin menyebabkan 15% produk tidak dapat dijual karena membusuk, usaha juga menjadi tidak layak untuk dijalankan, (IRR <18%, NPV < 1, BC Ratio 0,92, dan laba per tahun Rp 2.579.250). Lebih lanjut pada pengolah kerang rebus 15% produk tidak dapat dijual karena membusuk dan mengakibatkan perubahan pada aspek finansial yang signifikan; usaha menjadi tidak layak untuk dijalankan (IRR <18%, NPV < 1, BC Ratio 0,91, dan laba per tahun Rp 1.015.000). Tabel 30. Aspek finansial usaha pengolahan ikan panggang, kerang rebus, dan teri asin di Cirebon No Usaha
IRR
NPV
BC Ratio
Laba/tahun
1
Ikan Panggang
49%
32.793.572
1,08
18.023.000
2
Kerang Rebus
49%
30.868.088
1,07
17.173.333
3
Teri asin
39%
227.220.557
1,03
162.656.100
Analisis finansial diatas memperlihatkan bahwa dorongan mendapatkan keuntungan maupun ketakutan usahanya jatuh karena tidak mendapatkan laba sangat kuat sehingga pengolah berani melanggar peraturan dengan menggunakan formalin. Pada dasarnya setiap pengusaha memang berusaha mendapatkan
141
keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadinya (Adam Smith yang diacu dalam Prawironegoro 2006). Apalagi dikatakan bahwa manusia dipandang sebagai Homo Economicus yaitu mahluk yang mencintai kekayaan dan menganggap bahwa kekayaan adalah ukuran segala-galanya. Secara tegas Prawironegoro (2006) berpendapat bahwa pada umumnya orang-orang yang mengelola perusahaan tidak mempertimbangkan moral dalam mencari laba. Ditambahkan oleh Rousseau yang diacu dalam Prawironegoro (2006), bahwa kodrat manusia pada dasarnya itu baik, sekarang dirusak oleh uang, ilmu pengetahuan, teknologi, peradaban, dan pergaulan yang palsu. Berdasarkan uraian diatas, alasan ekonomi atau finansial guna mencari keuntungan semata dengan mengindahkan moral mengakibatkan pengolah menggunakan formalin. Lemahnya penegakan hukum, pengawasan, pembinaan, dan belum tersedianya teknologi alternatif serta kondisi ekonomi nasional yang belum membaik dan tingginya tingkat pengangguran sebagai alasan pengolah menggunakan formalin. Hal ini mengakibatkan penggunaan formalin semakin meluas termasuk pengecer/toko kimia yang menyalahgunakan penjualan formalin dengan menjual pula ke pengolah ikan. 5.3.4 Kemudahan mendapatkan formalin Variabel
kemudahan
mendapatkan
formalin
berpengaruh
terhadap
penggunaan formalin oleh pengolah. Hal ini menunjukkan bahwa pengolah berpendapat mudah untuk mendapatkan atau membeli formalin. Berdasarkan hasil survei, pengolah membeli formalin pada toko-toko kimia yang ada di kota Cirebon. Selain itu juga pengolah ikan panggang di Purwawinangun dan Mertasinga Cirebon, dapat membeli formalin dari salah seorang penjual yang ada di daerah pemukiman mereka. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebutkan, sekitar 1.000 metrik ton formalin dijual secara bebas di pasaran Indonesia, dan dibeli oleh pihak perorangan, toko bahan kimia, dan industri (Gatra 2006). Menurut Ditjen Industri Agro dan Kimia (2006) terdapat 20 perusahaan dengan kapasitas produksi formalin/formaldehyde sebesar 806.400 ton/tahun. Realisasi produksi formalin saat ini sebesar 322.560 ton/tahun (40% dari kapasitas
142
produksi) yang sebagian besar digunakan sendiri untuk industri hilirnya (plywood/particle board) dan sisanya ±3% dijual melalui distributor untuk keperluan umum (antara lain melamin ware, rumah sakit). Pada Tabel 31 disajikan kapasitas produksi formalin dari 20 perusahaan. Menurut Anonim (2006) secara industri, formaldehid diproduksi dengan mengoksidasi metanol menggunakan katalis.
Sekitar 40% metanol diubah
menjadi formaldehyde, dan dari sana menjadi berbagai macam produk seperti plastik, plywood, cat, peledak, dan tekstil. Metanol yang juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau spiritus, adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Ia merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Menurut Batan (2007) metanol, umumnya, digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai macam produk petrokimia, sintesis kimia (misal: formaldehid, asam asetat, metil amina) dan bahan bakar mesin bakar internal pada kendaraan bermotor. Indonesia merupakan salah satu produsen metanol dengan kapasitas produksi 330 juta galon per tahun.
Tabel 31. Kapasitas produksi formalin dari 20 perusahaan di Indonesia. No
Perusahaan
Lokasi
Kapasitas Produksi (ton) Formalin Tahun 2006 23 000
1. PT. Arjuna Utama Kimia
Surabaya
2. PT. Pamolite Adhesive Industry 3. PT. Superin
Probolinggo
36 000
Medan
36 000
4. PT. Lakosta Indah
Samarinda
28 000
5. PT. Dyno Mugi Indonesia
Aceh Timur
29 400
6. PT. Batu Penggal Chemistry Industry 7. PT. Kurnia Kapuas Utama Glue Industry 8. PT. Intan Wijaya Chemical Industry 9. PT. Dover Chemical
Samarinda
28 000
Pontianak
38 000
Banjarmasin
61 500
Serang
60 000
10. PT. Sabak Indah
Tj. Jabuk Timur
72 000
11. PT. Duta Pertiwi Nusantara
Pontianak
50 000
143
Lanjutan Tabel 31. 12. PT. Kayu Lapis Indonesia
Semarang
20 000
13. PT. Gelora Citra Kimia Abadi
Banjarmasin
48 000
14. PT. Kayu Lapis Indonesia
Sorong
40 000
15. PT. Duta Rendra Mulia
Pontianak
33 500
16. PT. Binajaya Rodakarya
Barito Kuala
45 000
17. PT. Perawang Perkasa Industri 18. PT. Belawandeli Chemical
Perawang-Riau
48 000
Medan
30 000
19. PT. Putra Sumber Kimindo
Muaro Jambi
45 000
20. PT. Orica Resindo Mahakam
Samarinda
35 000
Jumlah
806 400
Sumber: Ditjen. Industri Agro dan Kimia (2006). Berdasarkan uraian diatas, peruntukkan dan pemanfaatan produksi formalin sudah jelas untuk industri hilir formalin dan bukan untuk pangan maupun kosmetik. Namun demikian, toko kimia sebagai pengecer bahan berbahaya masih melanggar peraturan yang ada dengan menjual formalin kepada pengolah ikan. Adanya pelanggaran tersebut diatas menunjukkan masih lemahnya pelaksanaan pengawasan oleh pemerintah dalam tataniaga formalin sekaligus sebagai penyebab mudahnya formalin diperoleh oleh pengolah ikan. Toko kimia yang dapat menjual formalin ke pengolah telah memberikan peluang atau kesempatan kepada pengolah untuk menggunakan formalin yang memang mereka inginkan dengan alasan ekonomi dan permintaan konsumen. Hal ini mengakibatkan penggunaan formalin semakin meluas. 5.3.5 Harga formalin Variabel harga formalin memiliki pengaruh terhadap penggunaan formalin oleh pengolah. Hal ini berarti, kontribusi biaya formalin kecil dalam usaha pengolahan sehingga mereka menggunakan formalin. Berdasarkan data pada tahun 2005, harga formalin dalam 1 botol akua (600 ml) sebesar Rp 6.000 pada salah salah satu penjual di pemukiman penduduk pesisir Desa Mertasinga, Kabupaten Cirebon yang merupakan sentra pengolahan ikan panggang. Demikian pula jumlah formalin yang digunakan sedikit, seperti
144
yang di sampaikan pengolah di Cirebon, jumlah formalin yang digunakan pada pengolahan kerang rebus dan ikan panggang adalah sebanyak 2 (dua) sendok teh formalin dicampur dengan 30 liter air kemudian digunakan untuk merendam daging kerang atau ikan dan jumlah formalin yang digunakan pada pengolahan teri asin sebanyak 1,5 liter formalin ditambahkan pada air perendaman ikan teri sebanyak 300 liter yang telah ditambahkan garam sebanyak 200 kg serta jumlah formalin yang digunakan pada pengolahan ikan asin (Tanjan, Bilis, Tigawaja) sebanyak 10 ml yang ditambahkan pada 50 liter air untuk merendam ikan. Berdasarkan survei, nelayan menggunakan formalin sebanyak 1 liter untuk mengawetkan ikan sebanyak 500 kg ikan sedangkan apabila menggunakan es diperlukan es sebanyak 1000 kg es sehingga apabila menggunakan harga formalin Rp 15.000/liter dan harga es Rp 200/kg maka biaya penggunaan formalin akan lebih menghemat biaya sebesar Rp 185.000 dibandingkan menggunakan es. Pada Tabel 32 disajikan prosentase biaya penggunaan formalin terhadap biaya keseluruhan yang dikeluarkan pengolah ikan panggang, kerang rebus, dan teri asin. Berdasarkan tabel tersebut terlihat prosentase biaya penggunaan formalin terhadap biaya keseluruhan yang dikeluarkan berkisar antara 0,03 % - 0,36 %. Harga formalin yang murah diduga karena produksi formalin yang tersedia di pasaran lebih tinggi dari pada permintaan pasar. Jumlah formalin melimpah diantaranya dapat disebabkan pengaruh berkurang permintaan formalin oleh perusahaan plywood karena banyak perusahaan tersebut yang berhenti usahanya. Menurut Suarga (2006) akibat dilakukannya operasi pemberantasan pembalakan liar diantaranya melalui Operasi Hutan Lestari II banyak perusahaan plywood yang menutup usahanya.
Tabel 32. Prosentase biaya penggunaan formalin terhadap biaya keseluruhan yang dikeluarkan pengolah ikan panggang, kerang rebus, dan teri asin Cirebon No Usaha
% biaya formalin
1
Ikan Panggang
0,03%
2
Kerang Rebus
0,05%
3
Teri asin
0,36%
145
5.3.6 Pengaruh teman Variabel pengaruh teman memiliki pengaruh terhadap penggunaan formalin oleh pengolah. Hal ini mengindikasikan sumber informasi formalin digunakan dalam proses pengolahan adalah teman mereka sesama pengolah ikan. Pengaruh teman tersebut dapat disebabkan karena kuatnya hubungan pertemanan antar mereka, sifat mereka yang terbuka dan jujur, dan juga karena lokasi usaha mereka saling berdekatan (dalam satu lingkungan) sehingga satu dengan lainnya sudah saling mengenal bahkan bersaudara. Adanya pengaruh teman terhadap maraknya penyalahgunaan formalin pada produk perikanan berkaitan pula dengan kurangnya pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh aparat sehingga informasi penggunaan formalin cepat menyebar dari satu pengolah ke pengolah lainnya. Disamping itu juga, karena lemahnya lemahnya akhlak atau moral mereka sehingga mereka mudah terpengaruh untuk menggunakan formalin.
5.3.7 Pengawasan Variabel pengawasan memberikan pengaruh terhadap penggunaan formalin oleh pengolah. Pengawasan merupakan salah satu dari fungsi manajemen yang sangat penting. Fungsi pengawasan merupakan tugas manajemen yang bertujuan untuk menjamin agar setiap yang direncanakan dapat tercapai dengan mulus tanpa melalui penyelewengan. Hal ini menunjukkan, pengawasan yang kurang akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan dari tujuan atau perencanaan. Kegiatan monitoring terhadap penggunaan formalin pada produk perikanan sudah dilakukan oleh pemerintah. Namun demikian, keterbatasan anggaran maupun sumberdaya manusia membuat kegiatan monitoring atau pengawasan masih terbatas dalam jumlah lokasi maupun frekuensi monitoring, terutama di pantai utara Jawa Barat yang memiliki sentra perikanan yang lebih banyak dan wilayah yang lebih luas. Hasil kegiatan monitoring merupakan suatu informasi ada tidaknya penyalahgunaan formalin oleh masyarakat pelaku usaha perikanan. Hasil monitoring seharusnya dijadikan sebagai bahan untuk evaluasi atau masukan dalam tindak lanjut pencegahan penggunaan formalin. Hasil evaluasi tersebut
146
menentukan kebijakan pengawasan, regulasi, dan pembinaan selanjutnya. Kurangnya
tindak
lanjut
dari
hasil
monitoring
mengakibatkan
masih
berlangsungnya malpraktek penggunaan formalin. 5.3.8 Pembinaan Variabel pembinaan memiliki pengaruh terhadap penggunaan formalin oleh pengolah. Pembinaan dalam konteks pengendalian penyalahgunaan formalin adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau lainnya melalui kegiatan pelatihan, penyuluhan maupun peningkatan sarana/prasarana kepada pengolah dalam upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengenai mutu dan keamanan pangan. Menurut Suprapto dan Fahrianoor (2004) ada 2 (dua) kendala pokok dalam penyuluhan yaitu kendala internal penyuluhan dan kendala pada masyarakat. Kendala-kendala ini seringkali menjadikan kegagalan atau ketidakberhasilan kegiatan penyuluhan. Kendala internal penyuluhan merupakan kendala yang berasal dari tenaga penyuluh atau pelaku penyuluhan yakni kurang memiliki kemampuan atau kecakapan dalam menghadapi masyarakat. Kendala lainnya adalah tidak berimbangnya atau tidak idealnya antara jumlah penyuluh dengan masyarakat sasaran yang harus dilayani pelaku penyuluhan. Menurut Mosher (1961) yang diacu dalam Suprapto dan Fahrianoor (2004) agar petugas penyuluhan dapat efektif bekerjanya, tiap-tiap petugas hanya melayani 400 masyarakat sasaran saja. Kendala pada masyarakat antara lain adalah kendala pengetahuan, motivasi, dan wawasan. Kendala pengetahuan dan wawasan pada masyarakat karena kurangnya pengalaman, pendidikan atau faktor budaya lainnya. Kendala motivasi pada masyarakat karena sebagian masyarakat kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilaku karena perubahan yang diharapkan berbenturan dengan motivasi yang lain. 5.3.9 Agama Variabel agama memiliki pengaruh terhadap penggunaan formalin oleh pengolah. Hal ini menunjukkan faktor agama mempengaruhi keputusan pengolah menggunakan formalin.
147
Agama mengajarkan tentang akhlak atau moralitas (nilai yang berkenaan baik dan buruk). sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci Alqur’an: ”Katakanlah:”Hai
hamba-hamba-Ku
yang
beriman,
bertaqwalah
kepada
Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”(Az Zumar: 10). Perbuatan menggunakan formalin merupakan perbuatan yang tidak baik karena dapat membahayakan orang lain dan melanggar peraturan yang ada, seperti yang dinyatakan dalam kitab suci Al Qur’an: ”Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”(Asy Syu’araa:183). Dengan demikian, perbuatan menggunakan formalin melanggar ajaran agama karena agama mengajarkan umatnya untuk berbuat baik atau berakhlak mulia. Untuk itu, pengolah yang memiliki akhlak mulia atau selalu mematuhi perintah ajaran agamanya akan menghindari untuk melakukan perbuatan menggunakan formalin karena perbuatan ini termasuk dalam merugikan manusia. Menurut Armawi (2006), di Indonesia telah terjadi fenomena krisis akhlak. Krisis akhlak terjadi ketika perangai, budi, tabiat, adab seseorang atau kelompok orang tidak lagi didasarkan oleh tuntunan ideal yang seharusnya (das sollen) dijadikan pegangan, yaitu nilai-nilai agama dan budaya. Berdasarkan pendapat tersebut maka perbuatan penyalahgunaan formalin yang dilakukan pengolah masuk dalam fenomena krisis akhlak tersebut. Armawi (2006) juga berpendapat bahwa krisis moral atau akhlak sebagai penyakit kemanusiaan terjadi berkenaan dengan dinamika kehidupan sosial ekonomi di tengah masyarakat yang semakin rasional dan sekuler dewasa ini. Krisis ini juga diakibatkan dari kesalahan-kesalahan sistem kehidupan nasional yang tidak terkontrol pada masa lalu. Lebih lanjut, dikatakan bahwa gejala krisis tersebut dapat dilihat dari salah satu gejala umum yaitu secara inkonvensional dan struktural berkembang krisis etika profesi yang muncul dalam bentuk pelaksanaan korupsi, kolusi dan nepotisme, penindasan dan pelanggaran HAM, dan krisis perilaku dalam sistem kehidupan yang merugikan hajat hidup orang banyak.
148
5.3.10
Daya awet
Variabel daya awet memiliki pengaruh terhadap penggunaan formalin oleh pengolah. Hal ini menunjukkan faktor daya awet mempengaruhi keputusan pengolah menggunakan formalin. Berdasarkan survei terhadap pengolah, penggunaan formalin meningkatkan daya awet produk ikan panggang dan kerang rebus sampai dengan 3 (tiga) hari. Penggunaan formalin pada pengolahan ikan asin kering meningkatkan daya awet produk menjadi lebih dari 1 (satu) bulan. Penggunaan formalin pada produk ikan dapat meningkatkan daya awet karena memang formalin dapat membunuh sebagian besar bakteri. Diluar produk perikanan, penggunaan formalin memang umumnya sebagai larutan desinfektan dan untuk mengawetkan spesimen biologi. Formalin bersifat mudah membentuk polimer dan berikatan dengan senyawa lain. Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah
formalin bereaksi dengan protein sehingga membentuk
rangkaian-rangkaian antara protein yang berdekatan dan mengakibatkan protein mengeras serta tidak dapat larut (Widawati et al. 1998). 5.3.11
Rendemen
Variabel rendemen memiliki pengaruh terhadap penggunaan formalin oleh pengolah. Hal ini menunjukkan faktor daya awet mempengaruhi keputusan pengolah menggunakan formalin. Berdasarkan survei terhadap pengolah, penggunaan formalin meningkatkan rendemen ikan asin mencapai 60 %, apabila tanpa formalin rendemen sebesar 40 %. Waktu penjemuran selama 1 – 2 jam. Waktu penjemuran tersebut jauh lebih singkat dibandingkan apabila tidak menggunakan formalin yang mencapai 10 jam. Penggunaan formalin pada produk ikan dapat meningkatkan rendemen karena formalin bersifat mudah membentuk polimer dan berikatan dengan senyawa lain. Hal yang menyebabkan senyawa biopolimer dan air daging ikan.
terbentuknya polimer dan terikatnya
149
5.3.12
Mutu
Variabel mutu memiliki pengaruh terhadap penggunaan formalin oleh pengolah. Hal ini menunjukkan faktor mutu mempengaruhi keputusan pengolah menggunakan formalin. Mutu yang dimaksud meliputi atribut penampakan, tektur, dan bau. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada pengolahan ikan panggang, perendaman potongan daging ikan dalam larutan formalin selama 30 menit akan menjadikan tekstur daging ikan menjadi lebih kompak sehingga daging ikan tidak hancur atau terbelah selama proses pemanggangan. Menurut responden penggunaan formalin pada pengolahan ikan asin kering, memberikan manfaat tekstur
daging
ikan
menjadi
kompak
sehingga
memudahkan
dalam
membulakbalikan ikan selama proses penjemuran ikan karena antar ikan tidak saling melekat. Selain itu produk memiliki penampakan yang lebih menarik yakni lebih bersih, putih, dan utuh. Sifat mudah membentuk polimer dan berikatan dengan senyawa lain, juga yang menyebabkan produk ikan yang menggunakan formalin mempunyai tekstur yang lebih kompak atau kenyal. 5.3.13
Teknologi alternatif
Variabel teknologi alternatif memiliki pengaruh terhadap penggunaan formalin oleh pengolah. Hal ini menunjukkan faktor teknologi alternatif mempengaruhi keputusan pengolah menggunakan formalin. Teknologi alternatif yang dimaksud adalah teknologi pengganti formalin. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, biji picung, kitosan, dan minatrit tidak digunakan oleh pedagang maupun pengolah ikan di wilayah Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, Muara Angke, dan Surya Bahari-Tangerang. Hal ini menunjukkan bahwa picung, kitosan, dan minatrit belum dapat diaplikasikan oleh pedagang dan pengolah ikan sehingga menyebabkan pengolah masih menggunakan formalin. Berdasarkan uraian faktor-faktor penyebab pengolah menggunakan formalin dapat dibuat matriks sintesa dari faktor-faktor dengan melihat pada penyebab, efek, keterkaitan dengan faktor lain, dan efek ganda (multiplier effect) yang
150
disajikan pada Tabel 33. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa setiap faktor mempunyai keterkaitan dengan faktor lainnya dan memberikan efek ganda. Berdasarkan uraian faktor-faktor tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa faktor kunci yang mempengaruhi perkembangan
malpraktek
penggunaan formalin yaitu mudahnya mendapatkan formalin, teknologi alternatif, pengawasan, lemahnya penegakan hukum, pembinaan, konsumen, dan agama. Tabel 34 menyajikan matrik plus minus penanganan setiap faktor tersebut. Keterkaitan setiap faktor secara lebih jelas disajikan dalam bentuk diagram seperti yang dapat dilihat pada Gambar 35. Berdasarkan Gambar 35 terlihat bahwa penggunaan formalin memberikan keuntungan usaha bagi pengolah maupun pedagang. Hal ini yang mendorong terjadinya malpraktek penggunaan formalin. Kondisi ini didorong pula oleh faktor eksternal (penegakan hukum, kemudahan mendapatkan formalin, harga formalin, pengaruh teman, permintaan konsumen). Untuk itu perlu dilakukan pengawasan dan pembinaan untuk meredam pengaruh faktor eksternal. Adanya kebijakan ini diharapkan akan menghilangkan malpraktek penggunaan formalin. Namun disisi lain kebijakan ini juga mengakibatkan keuntungan usaha dari pelaku usaha mengalami penurunan. Berdasarkan diagram keterkaitan pada Gambar 35 terlihat bahwa keterbatasan teknologi memberikan pengaruh kepada mutu, daya awet, dan rendemen produk rendah. Hal ini mengakibatkan keuntungan usaha juga menjadi rendah. Untuk itu diperlukan pengembangan riset teknologi pengolahan hasil perikanan dan juga pembinaan. Adanya kebijakan ini akan dapat meningkatkan mutu, daya awet, rendemen dan keuntungan usaha produk perikanan. Hasil analisis keterkaitan antar faktor tersebut diatas menghasilkan 3 (tiga) strategi atau kebijakan yang diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan formalin pada produk perikanan. Kebijakan tersebut adalah pengawasan, pembinaan, dan riset.
151
Tabel 33 Matrik sintesa faktor-faktor dengan melihat pada penyebab, efek, keterkaitan dengan faktor lain dan efek ganda No Faktor 1.
Penyebab
Lemahnya - Aparat hukum dan penegakan hukum konsumen bersifat pasif - Proses peradilan memerlukan waktu lama dan biaya tinggi
Efek - Kasus pelanggaran formalin tidak di proses hukum - Tidak ada pengaduan atau pengajuan pelanggaran formalin ke proses hukum - Semakin banyak pelaku usaha yang melanggar penggunaan/distribusi formalin - Produk ikan banyak yang mengandung formalin - Konsumen tidak membeli produk ikan
Keterkaitan dengan faktor lain Lemahnya penegakan hukum terkait dengan faktor pengawasan, ekonomi, mudahnya mendapatkan formalin dan agama.
Efek ganda (multiplier effect) Lemahnya penegakan hukum mengakibatkan pelaku usaha terus tetap berani melanggar aturan penggunaan/distribusi formalin diikuti lainnya yang sebelumnya tidak menggunakan formalin, sehingga mengakibatkan pelanggaran dilakukan semua pelaku usaha. Upaya pengawasan, pembinaan, riset akan lebih sulit dilakukan dan kurang memberikan manfaat. Disisi lain konsumen tidak akan membeli produk ikan sehingga akan merugikan pelaku usaha itu sendiri. Pada akhirnya kesemuanya akan berpengaruh terhadap kewibawaan pemerintah dalam penegakan hukum maupun perekonomian nasional.
152
Lanjutan Tabel 33 No Faktor
Penyebab
Efek
2.
Ekonomi
- Formalin - Penggunaan formalin meningkatkan mutu, menguntungkan rendemen, daya awet - Pelaku usaha dengan biaya murah menggunakan formalin - Peningkatan permintaan formalin - Produk ikan banyak yang mengandung formalin
3.
Permintaan konsumen
- Daya awet tinggisehingga meningkatkan lama pemasaran dan penyimpanan - Penampilan produk berformalin menarik - Pengetahuan konsumen tentang mutu dan keamanan pangan rendah
- Konsumen membeli produk ikan berformalin karena penampilannya - Grosir mendesak pengolah menggunakan formalin - Produk ikan berformalin meningkat
Keterkaitan dengan faktor lain Faktor ekonomi terkait dengan faktor daya awet, rendemen, mutu, agama, harga formalin, lemahnya penegakan hukum, pengaruh teman, pembinaan dan konsumen
Faktor permintaan konsumen terkait dengan faktor pembinaan, mutu, dan ekonomi
Efek ganda (multiplier effect) Keuntungan usaha dari penggunaan formalin mengakibatkan banyak pelaku usaha yang tertarik menggunakan formalin sehingga menambah jumlah pelaku usaha, permintaan formalin, dan produksi ikan berformalin. Peningkatan tersebut secara ekonomi mengurangi tingkat pengangguran, meningkatkan kesejahteraaan pelaku usaha, dan masyarakat sekitarnya. Permintaan konsumen memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi ikan berformalin dan juga pembelian formalin. Peningkatan tersebut juga secara ekonomi meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat
153
Lanjutan Tabel 33 No Faktor
Penyebab
Efek
4.
Kemudahan mendapatkan formalin
- Kurangnya pengawasan dalam perdagangan/ distribusi formalin
- Toko kimia menjual formalin ke pelaku usaha perikanan - Pengolah dengan mudah mendapatkan formalin - Penggunaan formalin oleh pelaku usaha perikanan meningkat
5.
Harga formalin
- Ketersediaan formalin besar
- Biaya formalin rendah dalam produksi ikan - Pembelian formalin oleh pelaku usaha perikanan meningkat
Keterkaitan dengan faktor lain Faktor kemudahan mendapatkan formalin terkait dengan faktor lemahnya penegakan hukum, pengawasan, pembinaan, dan agama
Efek ganda (multiplier effect)
Faktor harga formalin terkait dengan faktor ekonomi
Harga formalin yang murah akan mendorong pelaku usaha menggunakannya sehingga akan meningkatkan permintaan formalin dan penjual formalin (toko kimia) akan semakin berani untuk melakukan pelanggaran dengan menjual formalin. Disisi lain akibatkan banyaknya pelaku usaha menggunakan formalin akan meningkatkan produk berformalin
Kemudahan mendapatkan formalin berpengaruh terhadap peningkatan penggunaan formalin oleh pelaku usaha perikanan sehingga akan meningkatkan produk ikan berformalin
154
Lanjutan Tabel 33 No Faktor
Penyebab
6.
Pengaruh teman
- Kuatnya ikatan persahabatan - Sifat keterbukaan diantara pelaku usaha - Lokasi usaha berdekatan
7.
Pengawasan
- Keterbatasan dana - Keterbatasan personal - Keterbatasan sarana/prasarana monitoring/pengujia n
Efek
Keterkaitan dengan faktor lain - Informasi penggunaan Faktor pengaruh formalin dari salah satu teman terkait dengan faktor pelaku usaha akan ekonomi, cepat menyebar ke pembinaan, dan lainnya agama - Penggunaan formalin oleh salah satu pelaku usaha menjadi contoh yang akan diikuti oleh pelaku usaha lainnya - Kurangnya pengawasan terhadap penggunaan dan distribusi formalin oleh pelaku usaha
Faktor pengawasan terkait dengan faktor lemahnya penegakkan hukum, kemudahan mendapatkan formalin,ekonomi, pembinaan dan agama
Efek ganda (multiplier effect) Faktor pengaruh teman menyebabkan penggunaan formalin dari salah satu pelaku usaha akan cepat menyebar ke lainnya sehingga pelaku usaha yang menggunakan formalin semakin banyak dengan demikian mengakibatkan semakin banyaknya produk perikanan berformalin Pengawasan yang lemah mengakibatkan pelaku usaha melakukan pelanggaran penggunaan/distribusi formalin. Hal ini mengakibatkan pelaku usaha yang menggunakan formalin semakin banyak karena mudahnya mendapatkan formalin, dengan demikian semakin banyaknya produk perikanan berformalin.
155
Lanjutan Tabel 33 No Faktor
Penyebab
Efek - Kurangnya pembinaan terhadap penyalahgunaan formalin - Pembinaan belum maksimal karena belum didukung teknologi - Melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat dengan menggunakan formalin
8.
Pembinaan
- Keterbatasan dana - Keterbatasan personal - Keterbatasan hasil riset
9.
Agama
- Lemahnya penerapan nilai-nilai agama - Ajaran moral/akhlak dari agama diabaikan
10. Daya awet
- Formalin berfungsi sebagai desinfektan
Keterkaitan dengan faktor lain Faktor pembinaan terkait dengan faktor konsumen, agama, ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan pengawasan
Efek ganda (multiplier effect)
Kurangnya pembinaan mengakibatkan pelaku usaha melakukan pelanggaran penggunaan/distribusi formalin. Hal ini mengakibatkan pelaku usaha perikanan yang menggunakan formalin semakin banyak Faktor agama terkait Lemahnya pengaruh agama menyebabkan pelaku usaha dengan faktor berani melakukan pelanggaran pembinaan, yang mengakibatkan lemahnya penggunaan formalin semakin penegakan hukum, banyak dengan demikian ekonomi, semakin banyaknya produk pengawasan, dan perikanan berformalin mudahnya mendapatkan formalin - Daya awet produk men Faktor daya awet Daya awet yang tinggi, ingkat sehingga disukai terkait dengan produk tidak cepat busuk oleh pelaku usaha faktor ekonomi, menguntungkan dalam perikanan teknologi alternatif pemasaran dan ekonomi. dan mudahnya Permintaan formalin mendapatkan meningkat, penjual melanggar formalin aturan pendisribusian formalin
156
Lanjutan Tabel 33 No Faktor
Penyebab
Efek
Keterkaitan dengan faktor lain - Rendemen produk men Faktor rendemen ingkat sehingga disukai terkait dengan oleh pelaku usaha faktor ekonomi, perikanan karena teknologi alternatif, menguntungkan dan kemudahan mendapatkan formalin
11. Rendemen
- Formalin mampu mengikat air
12. Mutu
- Formalin dapat - Mutu produk men meningkatkan tektur, ingkat sehingga disukai penampakan, bau oleh pelaku usaha perikanan dan konsumen
Faktor mutu terkait dengan faktor ekonomi, teknologi alternatif, kemudahan mendapatkan formalin, dan konsumen
Efek ganda (multiplier effect) Rendemen yang tinggi disukai oleh pengolah ikan karena berat produk masih tinggi sehingga menguntungkan secara ekonomi. Hal ini menyebabkan mereka banyak menggunakan formalin, akibatnya permintaan formalin meningkat, penjual melanggar aturan pendistribusian formalin Penampilan, tektur yang lebih baik menyebabkan disukai oleh konsumen sehingga menguntungkan dalam pemasaran dan ekonomi. Hal ini menyebabkan pengolah ikan banyak menggunakan formalin, akibatnya permintaan formalin meningkat, penjual melanggar aturan pendisribusian formalin
157
Lanjutan Tabel 33 No Faktor 13. Teknologi alternatif
Penyebab - Belum didapat teknologi pengganti formalin
Efek
Keterkaitan dengan faktor lain - Tidak adanya teknologi Faktor teknologi alternatif terkait alternatif pengganti formalin dengan faktor mutu, mengakibatkan pelaku daya awet, usaha perikanan rendemen menggunakan formalin
Efek ganda (multiplier effect) Tidak adanya teknologi alternatif pengganti formalin mengakibatkan pelaku usaha perikanan menggunakan formalin sehingga permintaan formalin meningkat, penjual melanggar aturan pendistribusian formalin dan produk ikan berformalin banyak didapat dipasar
158
Tabel 34 Matrik plus minus penanganan dari faktor-faktor penyebab pengolah menggunakan formalin No Faktor 1
Lemahnya penegakan hukum
Teknis - Tidak ada lagi produk ikan mengandung formalin - Konsumsi ikan nasional meningkat - Diperlukan waktu, biaya dalam proses hukum - Pelaku usaha umumnya berpendidikan rendah dan UMKM sehingga mengahadapi kendala hukum dan biaya dalam proses hukum - Diperlukan aparat penegak hukum (polisi,PPNS,jaksa,haki m,pengacara) yang mengerti keamanan pangan
Plus minus apabila ditangani Sosial - Pelaku usaha takut untuk menyalahgunakan formalin - Masyarakat merasa aman dan tidak takut mengkonsumsi produk ikan - Terpenuhinya kebutuhan masyarakat dalam hal pelayanan hukum - Meningkatnya kesadaran hukum masyarakat - Ada kesan ketidak berhasilan pemerintah dalam melakukan pembinaan - Pelaku usaha tidak dapat melakukan usahanya selama proses pengadilan
Kesimpulan Kelembagaan - Pengakuan masyarakat Indonesia sebagai negara hukum - Perlu peran aktif lembaga penegakan hukum - Memerlukan pengembangan SDM penegak hukum - Diperlukan koordinasi antara lembaga
Penanganan faktor ini efektif untuk mencegah penyalahgunaan formalin didukung pengembangan SDM, dan anggaran
159
Lanjutan Tabel 34 No Faktor 2
Konsumen
3
Kemudahan mendapatkan formalin
-
-
4
Pengawasan
Plus minus apabila ditangani Sosial Kelembagaan - Banyak pelaku usaha - Lebih berperannya pengguna formalin lembaga-lembaga yang menghentikan swadaya masyarakat usahanya - Konsumen lebih sadar akan hak dan kewajibannya - Konsumen menjadi lebih kritis terhadap produk yang dibelinya - Formalin tidak beredar - Perlu koordinasi antar Distributor/pengecer bebas di pasar lembaga tidak menyalahgunakan penjualan formalin Diperlukan pengawasan yang ketat yang rutin Diperlukan SDM Penyalahgunaan - Masyarakat - Memerlukan formalin dapat menjalankan usaha pengembangan SDM dideteksi lebih awal dengan jujur dan - Peningkatan koordinasi dan dapat dicegah berkompetisi dengan antar lembaga sehat
Teknis - Konsumen dapat menentukan produk berformalin (aman) dan tidak berformalin
-
-
Kesimpulan Penanganan faktor ini memerlukan waktu karena melalui pendidikan kepada konsumen
Penanganan faktor ini dilakukan pada distribusi formalin melalui pengawasan yang ketat Penanganan faktor ini efektif untuk mencegah penyalahgunaan formalin nanum perlu didukung dengan penegakan hukum
160
Lanjutan Tabel 34 No Faktor 5
Pembinaan
6
Agama
Teknis - Penyalahgunaan formalin dapat dicegah
- Timbul kesadaran pelaku usaha untuk tidak menggunakan/menyala hgunakan formalin - Memerlukan waktu lama untuk mendapatkan hasilnya
Plus minus apabila ditangani Sosial Kelembagaan - Masyarakat - Memerlukan menjalankan usaha pengembangan SDM, dengan jujur dan kelembagaan dan berkompetisi sehat metode - Peningkatan koordinasi antar lembaga
- Akhlak pelaku usaha meningkat - Pelaku usaha menjalankan usahanya dengan jujur
- Memerlukan peningkatan peran lembaga pemerintah dan non-pemerintah
Kesimpulan Penanganan faktor merupakan upaya pencegahan pelaku usaha menyalahgunakan formalin namun memerlukan pengembangan SDM, kelembagaan, dan metode Penanganan faktor ini efektif dalam mencegah penyalahgunaan formalin
161
Lanjutan Tabel 34 No Faktor 7
Teknologi alternatif
Teknis - Pelaku usaha tidak lagi menggunakan formalin - Diperlukan peningkatan anggaran, SDM, sarana prasarana
Plus minus apabila ditangani Sosial Kelembagaan - Masyarakat - Memerlukan menjalankan usaha peningkatan peran dengan jujur dan lembaga riset berkompetisi sehat - Perlu adanya networking antar lembaga riset
Kesimpulan Penanganan faktor ini efektif mencegah penyalahgunaan formalin namun memerlukan waktu dan dukungan biaya, SDM, sarana prasarana
162
+ Penyalahgunaan formalin
+
Keuntungan Usaha
Keterbatasan Teknologi
-
+
Faktor2 Eksternal: (Penegakan hukum, Konsumen, Aksesibilitas, Harga )
Kebijakan yang diperlukan Akibat dari kebijakan
+
Pengawasan & Pembinaan R&D & Pembinaan
Situasi yang ada
Rendahnya Mutu & Rendeman
: Rendahnya profit mendorong penggunaan formalin karena formalin meningkatkan profit : Pengawasan dan pembinaan untuk meredam pengaruh faktor eksternal yang mendorong penggunaan formalin : Penggunaan formalin turun, profit turun
Situasi yang ada Kebijakan yang diperlukan Akibat dari kebijakan
: Keterbatasan teknologi menyebabkan rendahnya mutu, rendemen & profit : R&D dan pembinaan untuk meningkatkan mutu, rendemen & profit : Mutu, rendemen dan profit naik
Gambar 35 Keterkaitan setiap faktor penyebab penggunaan formalin
163
5.4
Kebijakan Pencegahan Penyalahgunaan Formalin Pada Produk Hasil Perikanan Pengembangan kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk
perikanan merupakan suatu kebijakan untuk memecahkan permasalahan penggunaan formalin yang bertujuan agar produk perikanan bermutu dan aman bagi kesehatan konsumen. Suatu kebijakan dapat menjadi efektif apabila diketahui akar dari suatu masalah. Pada penelitian ini, dilakukan kajian penggalian permasalahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan. Penelitian dilakukan terhadap produk, pengolah, dan konsumen. Penelitian kebijakan pencegahan penggunaan formalin dilakukan dengan meminta pendapat ”pakar” melalui analisis AHP. Berdasarkanan hasil analisis AHP strategi pencegahan penyalahgunaan fomalin berdasarkan prioritasnya adalah: (1)Pengawasan (2)Pembinaan (3)Regulasi (4)Pengembangan riset substitusi formalin Hasil analisis AHP diatas sesuai dengan hipotesa bahwa kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan merupakan kebijakan yang bersifat terpadu, terdiri dari beberapa strategi yang memiliki prioritas dan saling mendukung serta perlu kerjasama berbagai pihak. Hasil analisis pengolahan AHP menunjukkan bahwa strategi pengawasan menjadi prioritas utama dalam pengendalian penyalahgunaan formalin pada produk perikanan. Pengawasan merupakan strategi yang terkait dengan kegiatan mengontrol penggunaan formalin. Pengawasan itu sendiri berdasarkan ilmu manajemen merupakan salah satu dari fungsi manajemen yang sangat penting (Al-Amin 2006). Menurut Harahap (2004) fungsi pengawasan merupakan tugas manajemen yang bertujuan untuk menjamin agar setiap yang direncanakan (visi, misi dan tujuan) yang diinginkan dapat tercapai dengan mulus tanpa melalui penyelewengan yang akan menjauhkan diri dari proses pencapaian visi, misi, dan tujuan yang diinginkan. Berdasarkan pengertian tersebut strategi pengawasan dalam pengendalian penyalahgunaan
164
formalin mempunyai peran yang sangat penting. Hal ini nampaknya yang menjadi alasan pengawasan sebagai prioritas utama oleh responden AHP.
5.4.1 Pengawasan Ada 2 (dua) sasaran atau yang menjadi sasaran pengawasan yaitu pelaku usaha perikanan dan pelaku usaha formalin. Pelaku usaha perikanan meliputi pelaku usaha pengolah ikan, pedagang ikan, penangkapan ikan (nelayan). Pelaku usaha formalin meliputi usaha industri formalin (produsen formalin) dan usaha distribusi formalin. Usaha distribusi formalin meliputi: distributor, pengecer, dan pengguna akhir (industri melamin ware, rumah sakit, laboratorium). Berdasarkan hasil identifikasi pengolah ikan, menunjukan bahwa pengawasan seharusnya diutamakan pada pengecer formalin (toko kimia), juga pengolah ikan tradisional dan agen/distributor ikan. Penentuan program pengawasan dilakukan dengan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu terhadap faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) maupun eksternal (peluang dan ancaman) dari kegiatan pengawasan malpraktek formalin (bahan kimia berbahaya) pada produk perikanan. Analisis SWOT dilakukan terhadap kelembagaan pemerintah sebagai berikut: - Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota), - Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), - Departemen (Kelautan dan Perikanan, Perdagangan, dan Perindustrian) - Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan PPNS) Adapun hasil identifikasi terhadap kelembagaan tersebut sebagai berikut: (1) Strength (kekuatan) 1) Adanya UU RI No 31/2004, UU No.7/1996, UU No.8/1999, PP No.28/2004, Permenkes No.722/Menkes/Per/IX/88, dan Permen DKP No.Per. 01/Men/2007. 2) Adanya laboratorium pengujian mutu pangan/perikanan 3) Adanya lembaga yang melakukan pengawasan pangan 4) Adanya lembaga peradilan (2) Weaknesses (kelemahan)
165
1) Lemahnya penegakan hukum 2) Terbatasnya SDM pengawasan pangan/perikanan 3) Terbatasnya dana pengawasan pangan/perikanan (3) Opportunities (peluang) 1) Kebijakan negara pengimpor terhadap produk perikanan yang bermutu dan aman 2) Kebebasan pers 3) Media massa sebagai sumber informasi 4) Adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) 5) Adanya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
(4) Threats (ancaman) 1) Penolakan produk perikanan di dalam dan luar negeri/importir 2) Penyalahgunaan formalin oleh pengolah/nelayan tidak berhenti 3) Pengolah akan tetap mendapatkan formalin secara bebas 4) Akan menurunnnya kesehatan masyarakat akibat konsumsi formalin Pada Tabel 35 disajikan matrik SWOT pengawasan malpraktek formalin. Matrik ini menggambarkan alternatif program yang dapat dijalankan dalam strategi pengawasan yaitu program SO, program WO, program ST dan program WT. Selanjutnya disusun matrik skor strategi SWOT, seperti dapat dilihat pada Tabel 36. Skor yang diperoleh dari masing-masing faktor, dipergunakan untuk menghitung skor yang diperoleh setiap strategi pada matriks SWOT. Berdasarkan Tabel 36, terlihat bahwa prioritas kebijakan adalah sebagai berikut: (1) Strategi – SO dengan kebijakan 1) Proses pengadilan penyalahguna formalin 2) Monitoring produk berformalin 3) Peningkatan peran dan fungsi BPSK (2) Strategi – WO dengan kebijakan 1) Pengawasan oleh media massa 2) Peningkatan peran lembaga konsumen (3) Strategi – ST dengan kebijakan
166
1) Penerapan recall terhadap produk berformalin 2) Proses pengadilan penyalahguna formalin 3) Monitoring produk dan distribusi formalin (4) Strategi – WT dengan kebijakan 1) Labelisasi 2) Sertifikasi produk perikanan Tabel 35 Matriks SWOT pengawasan formalin Internal Strength-S
Eksternal Opportunities-O - Kebijakan negara pengimpor terhadap produk perikanan yang bermutu dan aman - Kebebasan pers - Media massa sebagai sumber informasi - Adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) - Adanya lembaga swadaya masyarakat perlindungan konsumen Threats-T - Penolakan produk perikanan dalam dan luar negeri/importir - Penyalahgunaan formalin oleh pengolah/nelayan tidak berhenti - Pengolah akan tetap mendapatkan formalin secara bebas - Akan menurunnya kesehatan masyarakat akibat konsumsi formalin
- Adanya UU RI No 31/2004, UU No.7/1996, UU No.8/1999, PP No.28/2004, Per Menkes No.722/Menkes/Per/IX/88 - Adanya laboratorium pengujian mutu pangan/perikanan - Adanya lembaga yang melakukan pengawasan pangan - Adanya lembaga peradilan
Weakness-W - Lemahnya penegakan hukum - Terbatasnya SDM pengawasan pangan/perikanan - Terbatasnya dana pengawasan pangan/perikanan
Strategi S-O 2. Proses pengadilan penyalahguna formalin 3. Monitoring produk berformalin 4. Peningkatan peran dan fungsi BPSK
Strategi W-O 1. Pengawasan oleh media massa 2. Peningkatan peran lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
Strategi S-T 1. Penerapan recall terhadap produk berformalin 2. Proses pengadilan penyalahguna formalin 3. Monitoring produk dan distribusi formalin
Strategi W-T 1. Labelisasi 2. Sertifikasi produk perikanan
167
Tabel 36 Matriks skor SWOT pengawasan formalin
Internal Strength-S 2,00
Weakness-W
1,00
Eksternal Opportunities-O 2,16
Threats-T
Strategi S-O 4,16
Strategi S-T 1,08
3,08
Strategi W-O 3,16
Strategi W-T 2,08
5.4.1.1 Proses pengadilan penyalahguna formalin Berdasarkan hasil analisis diatas, proses pengadilan penyalahguna formalin atau penegakan hukum merupakan salah satu kebijakan pengawasan yang dapat dilaksanakan untuk menghentikan penggunaan formalin pada produk perikanan. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa lemahnya penegakan hukum merupakan faktor penting yang mempengaruhi pengolah ikan menggunakan formalin. Pentingnya peran penegakan hukum dalam memecahkan persoalan masyarakat dapat dilihat pada pendapat Rajagukguk (1997) yang mengatakan bahwa memasuki era industrialisasi kita perlu memperkuat penegakan hukum dalam bidang public law yaitu negara atas nama masyarakat perlu campur tangan untuk melindungi golongan masyarakat yang lemah. Pendapat ahli lainnya tentang pentingnya penegakan hukum disampaikan Himawan (2006) yang berpendapat bahwa hukum selalu menjadi lokomotif. Jika hukum selalu tegak, berbagai hal selalu beres. Perekonomian dan kehidupan bernegara pasti sehat. Menurut Sunarso (2004) fungsi penegakkan hukum adalah
168
untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicitacitakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai yang telah ditetapkan oleh suatu undang-undang atau hukum. Pada hakekatnya, hukum mempunyai kepentingan untuk menjamin kehidupan sosial masyarakat, karena hukum dan masyarakat terdapat suatu interelasi. Menurut Suhendra (2006) hukum pada hakekatnya adalah refleksi rasa keadilan rakyat, oleh karenanya hukum harus mencerminkan sistem nilai yang berkembang di masyarakat. Kemudian hukum harus dijalankan tanpa pilih kasih dan ada jaminan untuk dapat dilaksanakan (law enforcement). Pelaksanaan rule of law sesungguhnya dapat mencerminkan budaya suatu masyarakat maju atau belum maju. Pelaksanaan penegakan hukum akan melibatkan beberapa institusi penegak hukum sebagaimana yang disampaikan Himawan (2006), pada dasarnya penegakan hukum dilakukan oleh alat penegak hukum yang umumnya meliputi kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dan yang juga dikenal sebagai jalur hukum. Selain itu, Waluyo (2000) menyatakan penjatuhan pidana sebagai proses akan melibatkan pihak-pihak yakni: tersangka, terdakwa, penyidik, jaksa penuntut umum, hakim, dan penasihat hukum. Sunarso (2004) menyampaikan bahwa tata cara peradilan pidana di Indonesia meliputi tiga subsistem, yakni subsistem penyidikan, yang dilaksanakan oleh penyidik (pejabat Polri dan pejabat PPNS); subsistem penuntutan, oleh jaksa penuntut umum; subsistem peradilan yang dilaksanakan oleh para hakim. Berkaitan dengan penyidik, selain Polri ada juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang merupakan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus
oleh
undang-undang
untuk
melakukan
penyidikan.
Berdasarkan Undang Undang RI No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, PPNS Perikanan bersama-sama dengan pejabat Polri dan Perwira TNI AL mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM No.00.05.72.4473 Tahun 2004 tentang Prosedur Tetap Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Obat dan Makanan, PPNS Badan POM melakukan penyidikan tindak pidana di bidang obat dan makanan. Menurut Agustina yang diacu dalam Tera (2006) faktor lemahnya
169
penegakkan hukum adalah masih terbatasnya sumberdaya manusia (jumlah PPNS). Selain dari institusi tersebut, juga ada institusi atau kelembagaan lain yang turut mendukung proses hukum tersebut yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi, dan kabupaten/kota, Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Perdagangan, Dinas Perindustrian Propinsi dan Kabupaten/Kota, Departemen Perindustrian, dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat/LPKSM). Institusiinstitusi tersebut membantu kepolisian dalam proses penyidikan yang merupakan bagian dari proses hukum yang dilakukan melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Institusi ini mempunyai peran penting dalam upaya penegakkan hukum karena pihak yang lebih mengetahui tentang permasalahan formalin dan dapat menjadi pihak yang mewakili kepentingan konsumen dengan mengajukan gugatan proses hukum dalam upaya melindungi konsumen. Uraian diatas memperlihatkan bahwa kebijakan penegakan hukum apabila dilaksanakan melalui proses hukum pidana akan dapat menghentikan malpraktek penggunaan formalin maupun bahan kimia berbahaya lainnya pada produk perikanan. Namun demikian, pelaksanaan kebijakan ini juga akan melibatkan banyak institusi sehingga terlaksananya kebijakan tersebut memerlukan beberapa kondisi seperti: adanya kejelasan kelembagaan yang melaksanakan tindak lanjut proses hukum terhadap pelaku usaha perikanan yang terbukti awal menggunakan formalin, kemauan yang kuat dari aparat penegak hukum, koordinasi yang baik, tersedianya dana, dan aparat penegak hukum (jaksa, polisi, PPNS, hakim) yang menguasai keamanan pangan. Selain itu, pelaksanaan kebijakan ini juga akan menghadapi kendala seperti: memerlukan waktu panjang untuk sampai pada keputusan pidana dan kemungkinan adanya dampak sosial khususnya pengolah ikan. Kemungkinan dampak sosial dapat terjadi karena pengolah ikan yang melakukan malpraktek memiliki karakteristik seperti: berpendidikan rendah, memiliki budaya masyarakat pesisir yang keras sehingga penerapan kebijakan penegakan hukum kemungkinan akan menghadapi penolakan atau resistensi dari mereka.
170
Belajar
dari
Bangladesh,
alternatif
penegakan
hukum
terhadap
penyalahguna formalin maupun pelanggaran keamanan pangan lainnya dapat dilakukan melalui proses sidang di tempat (mobile court). Sidang ini dipimpin oleh seorang magistrate. Di dalam sidang tersebut langsung diambil putusan sidang seperti: denda, setelah dilakukan pemeriksaan dan terbukti adanya pelanggaran
terhadap
peraturan
perundang-undangan
di
lokasi
(pusat
perdagangan, unit pengolahan). Pelaksanaan penegakan hukum ini di Indonesia belum dapat dilaksanakan karena belum ada ketentuan yang mengaturnya. 5.4.1.2 Monitoring Monitoring merupakan pemantauan penyalahgunaan formalin. Guna mencegah penyalahgunaan formalin maka program monitoring perlu dilakukan secara rutin dan kontinyu. Monitoring tidak hanya dilakukan pada pengolah ikan, nelayan, pengecer formalin tetapi juga pada agen atau grosir ikan olahan. Hal ini disebabkan karena menurut pengolah ikan asin di lokasi studi penggunaan formalin atas permintaan dari para agen/grosir. Berdasarkan hasil analisis pemetaan keterkaitan antar instansi (sub bab 5.2.3) menunjukkan kelembagaan yang terlibat diantaranya Departemen Kelautan dan Perikanan, dinas kelautan dan perikanan, dan Badan POM. Untuk itu didalam pelaksanaan monitoring perlu dilakukan koordinasi antar lembaga agar efisien dan efektif sesuai dengan ketentuan yang ada seperti PP No. 28/2004 tentang Keamanan Pangan, Gizi, dan Mutu Pangan dan peraturan lainnya. Monitoring terhadap penyalahgunaan formalin pada tingkat pemasaran produk ikan (grosir, pengumpul, pengecer) dilakukan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Perdagangan, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat/LPKSM). Monitoring terhadap penyalahgunaan peruntukan formalin pada distribusi dan tataniaga formalin dilakukan oleh Dinas Perdagangan Propinsi dan Kabupaten/Kota, dan Departemen Perdagangan. Monitoring terhadap penyalahgunaan formalin pada ikan segar di kapal ikan dan tempat pelelangan ikan, dan pada ikan olahan tradisional di unit pengolahan ikan
171
dilakukan oleh dinas kelautan dan perikanan dengan koordinasi Departemen Kelautan dan Perikanan. Hasil dari monitoring berupa informasi penyalahgunaan formalin tersebut. Guna menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya maka monitoring perlu dilakukan dengan peralatan yang baik dan penguji yang terampil. Untuk itu perlu dilakukan pengembangan peralatan pengujian formalin pada setiap laboratorium. Pengembangan alat uji formalin perlu diarahkan kepada alat uji yang akurat, murah, dan cepat. Adanya alat uji tersebut yang akurat, murah, dan cepat dapat menekan biaya monitoring menjadi lebih murah. Sekarang ini, biaya yang dibutuhkan untuk pembelian test kit pengujian formalin sebesar Rp 2.100.000 untuk 100 sampel. Disamping itu alat uji yang praktis dan murah dapat digunakan oleh konsumen ikan. Hal ini dapat menjadi salah satu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh konsumen. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan telah mengembangkan alat uji formalin dengan biaya lebih murah yakni Rp 200.000 untuk pengujian 200 sampel. Sementara itu, Bangladesh yang juga menghadapi permasalahan malpraktek formalin telah pula mengembangkan alat uji formalin (Formalin Detection Kit ). Alat ini menguji formalin dalam waktu yang cepat yakni 30 detik. 5.4.1.3 Peningkatan peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Berdasarkan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Badan ini berada di Daerah Tingkat II dengan jumlah telah mencapai 34 BPSK (diantaranya di Indramayu, DKI Jakarta, dan Kabupaten Tangerang) dan belum semua daerah mempunyai BPSK seperti Cirebon, Subang, dan Karawang. Tugas dan wewenang dari badan ini diantaranya melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi dan menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang perlindungan konsumen.
172
BPSK merupakan instrument alternatif pelaksanaan kebijakan penegakan hukum di luar pengadilan. Malpraktek formalin atau bahan kimia berbahaya lainnya dapat diajukan melalui badan ini, namun harus ada pengaduan dari konsumen yang merasa dirugikan dengan membawa barang bukti. Disamping itu, badan ini melayani berbagai kasus yang menyangkut berbagai hal seperti: jasa, barang elektronik, pangan dan lainnya. Untuk itu penegakan hukum kasus malpraktek formalin produk perikanan melalui badan ini akan menghadapi kendala terutama mendapatkan pelapor yang merasa dirugikan adanya formalin pada produk perikanan yang dibelinya. 5.4.1.4 Pengawasan oleh media massa Sejak era reformasi, media massa telah berkembang menjadi lembaga yang mempunyai peran penting dalam ikut mendukung dan mengawal praktek pemerintahan agar tercipta suatu sistem yang adil, transparan, dan demokratis. Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pers nasional mempunyai 5 (lima) peran utama, yaitu: (1) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (2) Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asas manusia, serta menghormati kebhinekaan (3) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar (4) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (5) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Berdasarkan uraian diatas, maka pengawasan penyalahgunaan formalin oleh media massa sangat diperlukan. Diharapkan melalui peran aktif media massa akan
terwujud
sistem
kontrol
yang
mampu
mengawal
pencegahan
penyalahgunaan formalin. Berdasarkan hasil survey konsumen menunjukkan bahwa sumber pengetahuan konsumen tentang penggunaan formalin pada produk perikanan adalah televisi dan surat kabar. Untuk itu, sangat tepat apabila pengawasan penyalahgunaan formalin diantaranya menggunakan media massa
173
karena informasi tentang formalin yang berasal dari hasil monitoring BPOM, DKP, dinas perikanan, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan juga media massa itu sendiri, akan cepat sampai kepada konsumen sehingga pengetahuan konsumen meningkat dan bersikap kritis dengan tidak membeli produk perikanan berformalin. 5.4.1.5 Peningkatan peran lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen. Berdasarkan Undang-Undang no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen melalui pengawasan terhadap produk perikanan yang beredar. Hasil pengawasan oleh LPKSM dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada pemerintah. Secara lebih detail, tugas LPKSM, adalah : (1) Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa (2) Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya (3) Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen (4) Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen (5) Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. LPKSM posisinya amat strategis dalam ikut mewujudkan perlindungan konsumen. Selain menyuarakan kepentingan konsumen, lembaga ini juga memiliki hak gugat. Berdasarkan pasal 46 Undang-Undang no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, gugatan oleh lembaga konsumen hanya dapat diajukan ke Badan Peradilan Umum.
174
5.4.1.6 Penyitaan dan penarikan kembali produk Penegakan hukum dapat pula dilakukan dengan menerapkan sanksi menarik kembali (recall) atau menyita produk ikan tercemar yang beredar maupun yang ada di unit pengolahan ikan tradisional. Bentuk sanksi ini sebenarnya sudah ada dalam PP Menkes RI No.382/Menkes/Per/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan. Namun
dalam
peraturan
ini
lebih
ditujukan
bagi
perusahaan
(skala
besar/menengah) yang telah terdaftar, sedangkan pengolah ikan tradisional tidak masuk dalam kategori perusahaan yang dimaksud dalam peraturan tersebut. Untuk itu diperlukan payung hukum berupa regulasi kewenangan pemerintah (pusat/daerah/penegak hukum) menarik atau menyita produk perikanan tradisional yang terbukti mengandung formalin atau bahan kimia lainnya. Penerapan sanksi penarikan produk maupun penyitaan banyak diterapkan oleh Food Drug and Administration (FDA) di Amerika menghindari proses
hukum melalui
persidangan yang memerlukan waktu panjang untuk mendapatkan putusan akhir sidang. Pada Tabel 37
disajikan matrik kegiatan, sasaran dan kelembagaan
pelaksana dalam pengawasan. Berdasarkan Tabel 37, dalam pengawasan terdapat beberapa institusi atau kelembagaan yang terlibat. Masing-masing kelembagaan ini melakukan pengawasan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing dan saling berkoordinasi. Pada intinya pengawasan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga dilakukan oleh masyarakat. Adapun pelaku pengawasan tersebut masing-masing sebagai berikut: Pelaku pengawasan dari pemerintah terdiri dari: - Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota), - Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), - Departemen (Kelautan dan Perikanan, Perdagangan) - PenegakHukum (Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman,PPNS) - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) - Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pelaku pengawasan dari non-pemerintah terdiri dari: - Konsumen - Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
175
Tabel 37 Kegiatan, sasaran dan kelembagaan pelaksana pengawasan No
Kegiatan
1
Penegakan hukum
2
3
4 5
6
7 8
Sasaran
Pedagang ikan
Kelembagaan pelaksana Jaksa, Polri, Hakim, PPNS, BPOM, DKP, Depdag - Dinas perikanan kelautan Kabupaten/Kota dengan Propinsi - Departemen Kelautan dan Perikanan BPOM, LPKSM
Masyarakat
BPOM, LPKSM
Pengolah, pedagang,nelayan pengecer/disribut or formalin Pengambilan sampel dan Pengolah ikan pengujian produk ikan di unit tradisional olahan ikan (monitoring)
Pengambilan sampel dan pengujian produk ikan yang beredar (monitoring) Penyampaian hasil monitoring kepada masyarakat luas Monitoring distribusi dan perdagangan formalin
Distributor ikan - Departemen dan pengecer Perdagangan formalin - Dinas Perdagangan Propinsi/Kab/K ota Pengembangan peralatan - Laboratorium - Departemen pengujian formalin BPMPHPK Kelautan dan (monitoring) Propinsi Perikanan - Laboratorium - BPOM BBPMPHPK - Laboratorium BBPOM Peningkatan peran LPKSM - LPKSM - Departemen Perdagangan Peningkatan fungsi dan Pengurus dan Departemen wewenang BPSK anggota BPSK Perindustrian/Perd agangan
5.4.2 Pembinaan Strategi Pembinaan merupakan prioritas kedua hasil dari AHP. Menurut Daryanto (1998) pengertian pembinaan itu sendiri merupakan usaha, tindakan dan
176
kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan pada Pasal 51 menyebutkan bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan melaksanakan pembinaan terhadap produsen ikan segar dan produsen ikan olahan. Hal ini sejalan dengan UU RI No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada Pasal 25 yang menyebutkan bahwa usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Dengan demikian dalam konteks pembinaan juga harus memandang atau sesuai dengan sistim bisnis perikanan (akuabisnis). Berdasarkan UU RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, kegiatan atau program pembinaan tentang pangan adalah sebagai berikut: 1) Pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan, terutama usaha kecil; 2) Untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan usaha kecil, penyuluhan di bidang pangan, serta penganekaragaman pangan; 3) Untuk mendorong dan mengarahkan peran serta asosiasi dan organisasi profesi di bidang pangan; 4) Untuk mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan atau pengembangan teknologi di bidang pangan; 5) Penyebarluasan pengetahuan dan penyuluhan di bidang pangan; 6) Pembinaan kerja sama internasional di bidang pangan, sesuai dengan kepentingan nasional; 7) Untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat serta pemantapan mutu pangan tradisional. Program pembinaan tersebut diatas sangat komprehensif, namun demikian terdapat 2 (dua) kegiatan pokok dalam pembinaan yaitu penyuluhan dan pelatihan. Sehubungan dengan upaya pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan, disampaikan 3 (tiga) jenis program pembinaan yakni penyuluhan yang berkaitan dengan bahan tambahan pangan dan bahaya penggunaan formalin, pelatihan yang berkaitan dengan mutu dan keamanan pangan serta teknologi, dan
177
peningkatan sarana dan prasarana sentra industri perikanan maupun unit pengolahan. Pembinaan merupakan kebijakan yang lebih bersifat preventif. Kebijakan ini lebih kepada memberikan edukasi kepada usaha formalin, usaha perikanan, dan masyarakat konsumen ikan. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan petugas yang melakukan pembinaan maka pembinaan juga dilakukan pada petugas atau aparat secara internal maupun eksternal. Penentuan program dalam strategi pembinaan dilakukan dengan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu terhadap faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) maupun eksternal (peluang dan ancaman) dari kegiatan pembinaan malpraktek formalin (bahan kimia berbahaya) pada produk perikanan. Analisis SWOT dilakukan terhadap kelembagaan pemerintah yang terkait dengan pembinaan perikanan dan pangan yaitu sebagai berikut: - Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota), - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), - Departemen (Kelautan dan Perikanan, Perindustrian, Perdagangan) Adapun hasil identifikasi sebagai berikut: (1)Strength (kekuatan) 1) Adanya lembaga riset penyedia teknologi 2) Payung hukum (UU No.31/2004, UU No. 7/1996, UU No.8/1999, PP No.28/2004, Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88), dan Permen DKP No.Per. 01/Men/2007 dan Permen DKP No.Per. 01/Men/2007 3) Adanya kelembagaan pembinaan (2)Weaknesses (kelemahan) 1) Terbatasnya sumberdaya manusia (SDM) pembina 2) Sarana/prasarana pembinaan terbatas 3) Dana pembinaan terbatas (3)Opportunities (peluang) 1) Kebijakan negara pengimpor terhadap produk perikanan yang bermutu dan aman 2) Adanya LSM perlindungan konsumen
178
3) Konsumen belum mengetahui tentang formalin pada produk perikanan 4) Media massa sebagai sumber informasi oleh konsumen (4)Threats (ancaman) 1) Penolakan produk perikanan di dalam dan luar negeri/importir 2) Penyalahgunaan formalin oleh pengolah/nelayan tidak berhenti 3) Pengolah akan tetap mendapatkan formalin secara bebas 4) Akan menurunnya kesehatan masyarakat akibat konsumsi formalin Pada Tabel 38
disajikan matrik SWOT pembinaan malpraktek formalin.
Matrik ini menggambarkan alternatif program yang dapat dijalankan dalam strategi pembinaan yaitu program SO, program WO, program ST dan program WT. Selanjutnya disusun matrik skor strategi SWOT, seperti dapat dilihat pada Tabel 39. Skor yang diperoleh dari masing-masing faktor, dipergunakan untuk menghitung skor yang diperoleh setiap strategi pada matrik SWOT. Berdasarkan Tabel 39, terlihat bahwa prioritas kebijakan adalah sebagai berikut: (1) Strategi – SO dengan kebijakan 1) Meningkatkan
penyuluhan
keamanan
pangan
kepada
konsumen,
produsen,distributor/agen (2)Strategi – WO dengan kebijakan 1) Peningkatan peran LSM perlindungan konsumen 2) Pemanfaatan media massa dalam penyuluhan keamanan pangan (3) Strategi – ST dengan kebijakan 1) Meningkatkan penyuluhan keamanan pangan pada produsen, konsumen, distributor/agen 2) Meningkatkan pelatihan 3) Pemberian insentif dan disinsentif 4) Peningkatan sarana dan prasarana penanganan/pengolahan ikan (4) Strategi – WT dengan kebijakan 1) Peningkatan SDM penyuluhan keamanan pangan
179
Tabel 38 Matriks SWOT pembinaan formalin Internal
Eksternal
Opportunities-O - Kebijakan negara pengimpor terhadap produk perikanan yang bermutu dan aman - Adanya LSM perlindungan konsumen - Konsumen belum mengetahui tentang formalin pada produk perikanan - Media massa sebagai sumber informasi oleh konsumen Threats-T - Penolakan produk perikanan di dalam dan luar negeri/importir - Penyalahgunaan formalin oleh pengolah/nelayan tidak berhenti - Pengolah akan tetap mendapatkan formalin secara bebas - Akan menurunnnya kesehatan masyarakat akibat konsumsi formalin
Strength-S - Adanya kelembagaan riset penyedia teknologi - Adanya kelembagaan pembinaan - Adanya UU RI No 31/2004, UU No.7/1996, UU No.8/1999, PP No.28/2004, Per Menkes No.722/Menkes/Per/IX/88, Permen DKP No.Per. 01/Men/2007
Weakness-W - Terbatasnya sumberdaya manusia (SDM) pembina - Sarana/prasarana pembinaan - Terbatasnya dana pembinaan
Strategi S-O 1. Meningkatkan penyuluhan keamanan pangan
Strategi W-O 1. Peningkatan peran LSM perlindungan konsumen 2. Pemanfaatan media massa dalam penyuluhan keamanan pangan
Strategi S-T 1. Meningkatkan penyuluhan keamanan pangan 2. Meningkatkan pelatihan 3. Pemberian insentif dan disinsentif 4. Peningkatan sarana dan prasarana penanganan/pengolahan ikan
Strategi W-T 1. Peningkatan SDM penyuluhan keamanan pangan
180
Tabel 39 Matriks skor SWOT pembinaan formalin
Internal Strength-S
Weakness-W
1,95
1,24
Eksternal Opportunities-O 2,05
Threats-T
Strategi W-O
4,00
Strategi S-T 0.95
5.4.2.1
Strategi S-O
3,29
Strategi W-T
2,90
2,19
Peningkatan penyuluhan keamanan pangan
Menurut Sayogo (1998) yang diacu dalam Poernomo (2004) penyuluhan adalah suatu proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang belum diketahuinya dengan jelas untuk dilaksanakan dalam rangka meningkatkan produksi dan pendapatan yang ingin dicapai melalui suatu kegiatan. Penyuluhan ini merupakan pendidikan non-formal dan tanpa adanya pemaksaan. Dengan demikian penyuluhan merupakan suatu proses pemberian penerangan kepada masyarakat (pengolah/nelayan/pedagang/konsumen) tentang larangan penggunaan dan bahaya formalin pada produk pangan. Adanya penyuluhan ini diharapkan masyarakat menjadi tahu dan sadar adanya larangan dan bahaya formalin sehingga pengolah/pedagang/nelayan diharapkan akan merubah perilakunya untuk tidak menggunakan formalin
dan masyarakat
konsumen menjadi kritis untuk tidak membeli produk yang menggunakan formalin. Penyuluhan dapat dilakukan dengan berbagai metode penyuluhan seperti: media massa, metode kelompok, dan penyuluhan individu (Van den Ban dan Hawkins 1999). Orang yang memberikan penyuluhan (pelaku penyuluh) harus
181
memiliki pengetahuan tentang peraturan dan teknologi yang berkaitan dengan mutu dan keamanan pangan. Berdasarkan Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, penyuluhan pada pelaku utama dan pelaku usaha perikanan dilakukan oleh penyuluh perikanan. Penyuluh tersebut terdiri dari penyuluh Pegawai Negeri Sipil (PNS), penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya. Penyuluh PNS merupakan pejabat penyuluh fungsional. Penyuluhan diharapkan dapat merubah perilaku pelaku usaha maupun konsumen sehingga di masa yang akan datang tidak didapatkan lagi penyalahgunaan formalin. Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa kegiatan penyuluhan yang perlu dilakukan yaitu sebagai berikut: (1) Peningkatan kemampuan penyuluh perikanan tentang mutu dan keamanan pangan serta inovasi teknologi penanganan dan pengolahan (2) Peningkatan pengetahuan pelaku usaha tentang peraturan dan perundangundangan yang terkait dengan formalin (3) Peningkatan pengetahuan pelaku usaha perikanan tentang mutu dan keamanan pangan, cold chain system dan inovasi teknologi penanganan dan pengolahan (4) Peningkatan pengetahuan konsumen tentang hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen, formalin dan produk berformalin dengan menggunakan berbagai metode penyuluhan (penyebaran leaflet, media massa, kelompok) (5) Pengembangan metodologi penyuluhan bagi masyarakat pesisir khususnya pengolah hasil perikanan. Kegiatan penyuluhan beserta sasaran dan kelembagaan pelaksananya dapat dilihat pada Tabel 40.
Tabel 40 Kegiatan penyuluhan No
Kegiatan
Sasaran
1
Penyuluh Pengembangan penyuluhan perikanan (pengolahan, mutu perikanan dan keamanan produk) - Jumlah dan kemampuan tenaga penyuluh - Metode penyuluhan - Sarana/prasarana
Lembaga pelaksana - Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan - Diskanlut Kab./Kota/Prop
182
Lanjutan Tabel 40. 2 Peningkatan pengetahuan pelaku usaha perikanan: - Peraturan dan perundangundangan - Mutu dan keamanan hasil perikanan - Teknologi - Sistem rantai dingin 3 Peningkatan pengetahuan konsumen: - Peraturan dan perundangundangan perlindungan konsumen - Mutu dan keamanan hasil perikanan
5.4.2.2
Pelaku usaha - Badan perikanan Pengembangan (pengolah, SDM Kelautan nelayan,pedagang) dan Perikanan - Dinas Perikanan dan Kelautan Kab./Kota/Propi nsi Konsumen (ibu - Departemen rumah tangga) Perdagangan - Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota - BPOM
Peningkatan peran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen. Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen, LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. Peran LPKSM dalam pembinaan konsumen dapat dilakukan melalui penyuluhan keamanan pangan kepada konsumen. Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen, tugas LPKSM, diantaranya adalah : (1) Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, (2) Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya, (3) Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen.
183
5.4.2.3
Pemanfaatan media massa dalam penyuluhan keamanan pangan
Seperti halnya dalam strategi pengawasan, media massa dapat pula digunakan didalam meningkatkan penyuluhan keamanan pangan kepada masyarakat luas karena salah satu peran media massa seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah sebagai media pendidikan. Disamping itu, salah satu dari 5 (lima) peran utama pers nasional adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Diharapkan melalui peran aktif media massa, pengetahuan masyarakat akan keamanan pangan meningkat. Berdasarkan hasil survey konsumen menunjukkan bahwa sumber pengetahuan konsumen tentang penggunaan formalin pada produk perikanan adalah televisi dan surat kabar. Untuk itu, sangat tepat apabila pembinaan keamanan pangan diantaranya menggunakan media massa karena informasi tentang formalin yang berasal dari hasil monitoring BPOM, DKP, dinas perikanan, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan juga media massa itu sendiri, akan cepat sampai kepada konsumen sehingga pengetahuan konsumen meningkat dan bersikap kritis dengan tidak membeli produk perikanan berformalin. 5.4.2.4
Meningkatkan pelatihan
Program pembinaan lainnya adalah pelatihan. Pelatihan merupakan kegiatan pemberian pengetahuan dan keterampilan dalam jangka waktu yang pendek. Seperti dengan penyuluhan, pelatihan juga termasuk dalam pendidikan nonformal. Sebagai kegiatan pendidikan, pelatihan bertujuan meningkatkan aspek kognisi (pengetahuan), afeksi (sikap mental), dan psikomotor (keterampilan) dari para pengolah. Peningkatan ketiga aspek tersebut tidak sekedar membentuk peningkatan kinerja usaha pengolahan namun juga dalam jangka panjang berorientasi pada menghasilkan produk yang bermutu dan aman. Materi pelatihan yang diberikan dapat berupa bidang keamanan pangan dan inovasi teknologi pengolahan dan pengawetan. Kegiatan pelatihan pengolahan sudah sering dilakukan oleh instansi maupun dinas. Kegiatan pelatihan yang terkait dengan keamanan pangan khususnya
184
formalin telah dilakukan oleh Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan DKI Jakarta pada tahun 2004 dan 2005. Materi pelatihan berupa cara penanganan dan pengolahan ikan yang baik dan benar serta cara penggunaan minatrit pada produk perikanan sebagai alternatif pengganti formalin (Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan DKI Jakarta. 2005). Dinas Perikanan Jawa Barat menyelenggarakan pelatihan pengolahan berupa pengolahan surimi, nuget, fish finger, dan otak-otak yang tidak spesifik mengenai keamanan pangan (Dinas Perikanan Jawa Barat, 2006). Program pelatihan dilakukan bagi petugas yang melakukan pembinaan, dan juga pelaku usaha. Program ini dapat dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi dan Kebupaten/Kota. Selain itu, instansi lainnya adalah BPOM, Departemen Perdagangan, dan Departemen Koperasi
dan UKM. Materi pelatihan yang diberikan pada pokoknya dapat
berupa peraturan dan perundang-undangan, mutu dan keamanan pangan, dan inovasi teknologi pengolahan dan pengawetan. Ada beberapa kegiatan pelatihan yang perlu dilakukan yaitu sebagai berikut: (1) Peningkatan kemampuan penyuluh tentang peraturan dan perundangundangan, mutu dan keamanan pangan, dan inovasi teknologi pengolahan dan pengawetan (2) Peningkatan kemampuan petugas mutu tentang analisis bahan berbahaya termasuk formalin Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pelaku usaha perikanan tentang peraturan dan perundang-undangan, mutu dan keamanan pangan, dan inovasi teknologi penanganan dan pengolahan Kegiatan pelatihan beserta sasaran dan kelembagaan pelaksananya dapat dilihat pada Tabel 42. 5.4.2.5
Pemberian insentif dan disinsentif
Dalam suatu organisasi perusahaan, insentif adalah berasal dari luar merupakan bagian dari lingkungan kerja untuk mendorong karyawan melakukan tugasnya. Makin besar insentif yang diberikan, makin rajin dan keras karyawan melakukan tugasnya (Prawironegoro 2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa
185
pemberian insentif merupakan salah satu bentuk pembinaan terhadap karyawan suatu organisasi perusahaan.
Tabel 41 Kegiatan pelatihan No
Kegiatan
Sasaran
Lembaga pelaksana
1
Pelatihan penyuluh perikanan - Mutu dan keamanan hasil perikanan - Teknologi - Sistem rantai dingin
Penyuluh perikanan
2
Pelatihan pelaku usaha perikanan: - Mutu dan keamanan hasil perikanan - Teknologi - Sistem rantai dingin
Pelaku usaha perikanan (pengolah, nelayan,pedagang)
3
Pelatihan pengawas mutu
Pengawas mutu
- Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan - Dinas Perikanan dan Kelautan Kab./Kota/Prop - Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan - Dinas Perikanan dan Kelautan Kab./Kota/Propin si Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan
Perilaku manusia rasional tergantung pada hasil yang ingin dicapai, oleh karena itu perilaku manusia harus dikendalikan dengan mengubah imbalannya. Pemikiran ini menjelaskan bahwa faktor eksternal atau imbalan menentukan perilaku.
Perilaku
harus
dikendalikan
melalui
imbalan.
Jika
imbalan
menyenangkan maka ada kecenderungan perilaku akan diulangi, dan sebaliknya jika imbalan tidak menyenangkan maka perilaku cenderung tidak diulangi. Imbalan merupakan pendorong utama atau motivasi untuk berperilaku (Prawironegoro 2006). Motivasi adalah hasil dari dua faktor yaitu: seberapa besar seseorang menginginkan dan mengharapkan imbalan, dan seberapa besar seseorang mampu berprestasi. Keinginan dan harapan imbalan dapat berupa material dan nonmaterial. Nilai material dan non-material dari imbalan yang ditawarkan merupakan pertimbangan rasional untuk melakukan sesuatu. Pada akhirnya
186
manusia mempertimbangkan untung-rugi dalam melakukan kegiatan. Jika untungnya besar, manusia akan lebih keras melakukan tindakan atau usaha keras dan sebaliknya. Hakikat memotivasi anggota organisasi ialah memberi imbalan yang layak dan memanusiakan manusia (Prawironegoro 2006). Kebijakan
pemberian
insentif
dalam
konteks
strategi
pencegahan
penyalahgunaan formalin juga merupakan pemberian imbalan bisa dalam bentuk kemudahan mendapatkan fasilitas maupun pemberian penghargaan (award) kepada
usaha
perikanan
dan
usaha
formalin
yang
tidak
melakukan
penyalahgunaan formalin. Kebijaksanaan ini diharapkan akan mendorong mereka untuk tidak menggunakan formalin atau menyalahgunakan peruntukan formalin sehingga diharapkan produk yang dihasilkan usaha perikanan bebas dari formalin. Kebijaksanaan pemberian disinsentif merupakan kebalikan dari pemberian imbalan dapat berupa pengumuman di media massa bagi pelaku usaha yang menggunakan formalin maupun tidak akan mendapatkan bantuan berupa sarana/prasarana dan permodalan. Secara skematis kebijakan pemberian insentif dan disinsentif disajikan pada Gambar 36. Kebijakan pemberian kemudahan mendapatkan fasilitas dimaksudkan memberikan prioritas utama kepada pelaku usaha perikanan maupun formalin apabila ada bantuan pihak lain (pemerintah maupun non-pemerintah) seperti: bantuan modal usaha, pengadaan sarana penanganan dan pengolahan, dan pelatihan. Kebijakan
pemberian
pemberian
award
dimaksudkan
memberikan
penghargaan kepada pelaku usaha perikanan dari pemerintah dalam bentuk piagam penghargaan. Pemberian award dilakukan setelah dilakukan seleksi kepada pelaku usaha berdasarkan kriteria tertentu seperti : penerapan sanitasi dan higiene, pengolah yang tidak pernah menggunakan formalin walaupun sekitar lingkungan usahanya umumnya menggunakan formalin namun usahanya mempunyai kinerja yang tetap bagus dan terbaik. Program pemberian insentif dan disinsentif dapat dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi dan Kebupaten/Kota, BPOM, Departemen Perdagangan, dan Departemen Koperasi dan UKM. Program ini diperuntukkan terutama bagi pelaku usaha.
187
Kegiatan
pemberian
insentif
dan
disinsentif
beserta
sasaran
dan
kelembagaan pelaksananya dapat dilihat pada Tabel 42.
Pemberian Insentif
Bukan penyalahguna formalin Usaha Perikanan/ Formalin
Produk bebas formalin
Penyalahguna formalin
Pemberian Disinsentif
Gambar 36. Skema kebijakan pemberian insentif dan disinsentif
Tabel 42 Kegiatan pemberian insentif dan disinsentif No
Kegiatan
Sasaran
1
Pemberian award
Nelayan, pengolah, pedagang
Lembaga pelaksana - Departemen Kelautan dan Perikanan - Dinas Perikanan dan Kelautan Kab./Kota/Propi nsi - BPOM - Departemen Koperasi UKM
188
Lanjutan Tabel 42. 2 Pemberian bantuan sarana prasarana penanganan dan pengolahan
Pelaku usaha perikanan yang tidak menggunakan formalin
3
Bantuan permodalan
Pelaku usaha perikanan yang tidak menggunakan formalin
4
Disinsentif: - Pengumuman media massa - Tidak mendapat bantuan
Pelaku usaha perikanan yang menggunakan formalin
5.4.2.6
- Departemen Kelautan dan Perikanan - Dinas Perikanan dan Kelautan Kab./Kota/Prop - Departemen Kelautan dan Perikanan - Dinas Perikanan dan Kelautan Kab./Kota/ Propinsi - Departemen Kelautan dan Perikanan - Dinas Perikanan dan Kelautan Kab./Kota/ Propinsi
Peningkatan sarana dan prasarana
Peningkatan sarana dan prasarana merupakan salah satu program dari strategi pembinaan terhadap pengolah. Perlunya program ini dikarenakan masih terbatasnya sarana dan prasarana penanganan dan pengolahan seperti; bangunan unit pengolahan, peralatan pengolahan, pabrik es, cold storage dan lainnya. Penyediaan sarana dan prasarana adalah tugas pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat (pengolah, pedagang, dan nelayan), pada saat kemampuan mereka secara ekonomi masih terbatas. Tujuan dari program ini adalah meningkatkan mutu dan keamanan bahan mentah dan produk akhir sehingga diharapkan dapat mencegah pengolah menggunakan formalin maupun bahan kimia berbahaya lainnya. Berdasarkan
hasil
survei
terhadap
pengolah,
menunjukkan
masih
terbatasnya sarana dan prasarana yang ada. Lokasi unit pengolahan umumnya tidak memenuhi persyaratan sanitasi yakni berada dipemukiman yang padat penduduknya, kotor, dan berdebu, dan mempunyai potensi sumber kontaminasi yang cukup tinggi. Lantai masih banyak berupa tanah walaupun ada beberapa dari
189
semen dan keramik, tidak berbentuk sudut dengan kemiringan 30. Dinding unit pengolahan masih banyak yang terbuat dari kayu/bambu, walaupun ada yang terbuat dari keramik tetapi permukaan dinding terlihat kotor dikarenakan dinding tersebut tidak pernah dibersihkan sebelum ataupun sesudah proses pengolahan. Bak perendaman umumnya terbuat dari beton semen namun ada pula yang terbuat dari drum bekas. Umumnya unit pengolahan tidak memiliki meja preparasi atau pengolahan sehingga preparasi (pemfiletan, penyiangan) dilakukan di lantai. Unit pengolahan umumnya tidak memiliki cool box maupun tray, walaupun ada sangat terbatas dan kondisinya sudah rusak. Pada Gambar 37 disajikan kondisi unit pengolahan ikan panggang di Cirebon.
Gambar 37. Sarana dan prasarana unit pengolahan ikan panggang di Mertasinga, Cirebon
Berdasarkan Laporan Tahunan 2004 dan 2005 Dinas Perikanan Jawa Barat memang tidak ada kegiatan atau program pengembangan sarana dan prasarana unuk unit pengolahan. Terkait dengan peningkatan mutu dan keamanan produk, peningkatan sarana dan prasarana sebaiknya diprioritaskan kepada aspek sanitasi dan higiene unit pengolahan. Untuk itu, sesuai dengan permasalahan yang dihadapi unit pengolahan maka pengembangan sarana dan prasarana sebaiknya dilakukan pada perbaikan aspek design dan lay out unit pengolahan (letak, lantai, dinding, saluran pembuangan, langit-langit), peralatan pengolahan (cool box, tray, bak perendaman dan lainnya), dan sarana air bersih (instalasi, pompa dan
190
lainnya). Namun demikian, pelaksanaan program ini membutuhkan dana yang besar. Dengan demikian, apabila ada keterbatasan dana, program dapat dilakukan selektif dan bertahap, misalnya melalui pengembangan percontohan sentra pengolahan dan bantuan peralatan penanganan ikan (cool box dan tray). Tujuan
dari
program
peningkatan
sarana
dan
prasarana
adalah
meningkatkan mutu dan keamanan bahan mentah dan produk akhir sehingga diharapkan dapat mencegah pelaku usaha perikanan menggunakan formalin maupun bahan kimia berbahaya lainnya. Program ini dapat dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi dan Kebupaten/Kota. Selain itu, instansi lainnya adalah Dinas Koperasi dan UKM Propinsi dan Kebupaten/Kota, dan Departemen Koperasi dan UKM, Departemen Perindustrian
dan
Dinas-dinasnya yang
ada
di
wilayah Propinsi
dan
Kabupaten/Kota. Kegiatan-kegiatan dari program ini adalah sebagai berikut: (1) Palkanisasi kapal ikan (2) Pengembangan sarana penanganan ikan di kapal (3) Pembangunan cold storage (4) Pembangunan pabrik es (5) Pembangunan sarana prasarana penanganan di tambak (6) Pengembangan sarana prasarana penanganan ikan di TPI, sentra pengolahan, pedagang (7) Pengembangan sarana prasarana pengolahan Kegiatan peningkatan sarana dan prasarana penanganan dan pengolahan ikan beserta sasaran dan kelembagaan pelaksananya dapat dilihat pada Tabel 41. 5.4.2.7
Pengembangan SDM penyuluh keamanan produk perikanan
Secara kualitas, tenaga penyuluh yang berkualitas memegang peran penting dalam berhasilan kegiatan penyuluhan. Mereka diharapkan memiliki kemampuan atau kecakapan dalam menghadapi masyarakat. Selain itu secara kuantitas, jumlah penyuluh yang memadai juga memiliki peran penting dalam keberhasilan kegiatan penyuluhan. Menurut Mosher (1961) yang diacu dalam Suprapto dan Fahrianoor (2004) agar petugas penyuluhan dapat efektif bekerjanya, tiap-tiap petugas hanya melayani 400 masyarakat sasaran saja.
191
Untuk itu, pengembangan SDM penyuluh keamanan produk perikanan diharapkan melalui peningkatan mutu tenaga penyuluh dan melalui peningkatan jumlah tenaga penyuluh. Tabel 43 Kegiatan peningkatan sarana dan prasarana penanganan dan pengolahan ikan No Kegiatan Sasaran Lembaga pelaksana 1
Palkanisasi kapal ikan
Nelayan
2
Pengembangan sarana Nelayan penanganan ikan di kapal
3
Pembangunan cold storage
Nelayan, pengolah, pedagang, pelabuhan perikanan
4
Pembangunan pabrik es
Nelayan, pengolah, pedagang, pelabuhan perikanan
5
Pengembangan sarana penanganan ikan
Nelayan, pedagang, pengolah,TPI
6
Pengembangan sarana prasarana pengolahan
Pengolah ikan
- Departemen Kelautan dan Perikanan - Dinas Perikanan dan Kelautan Kab./Kota/Propinsi - Departemen Kelautan dan Perikanan - Dinas Perikanan dan Kelautan - Departemen Kelautan dan Perikanan - Departemen Perindustrian - Dinas Perikanan dan Kelautan - Departemen Kelautan dan Perikanan - Departemen Perindustrian - Dinas Perikanan dan Kelautan - Departemen Kelautan dan Perikanan - Diskanlut Kab./Kota/Propinsi - Departemen Kelautan dan Perikanan - Dinas Perikanan dan Kelautan - Departemen/Dinas Perindustrian - Departemen/Dinas Kop. UKM
192
5.4.3 Regulasi Kebijakan regulasi merupakan suatu kebijakan pembuatan aturan hukum yang bersifat general prevention. Masalah usaha pangan termasuk perikanan mulai dari produksi, sampai dengan pemasaran harus diatur untuk menghasilkan pangan yang aman dan bermutu. Demikian pula
pengaturan dalam masalah
produksi, penyediaan, peredaran, penyaluran, dan penggunaan bahan berbahaya. Peraturan dan perundang-undangan mempunyai peran penting karena sebagai pedoman yang digunakan oleh pelaku usaha dalam menjalankan usahanya dan juga sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan oleh pejabat atau petugas. Dalam tataran peraturan dan perundang-undangan, sebenarnya sudah terdapat berbagai regulasi sehingga masyarakat konsumen atau stakeholder lainnya dalam industri pangan termasuk perikanan sudah terjamin atau terlindungi dalam mendapatkan produk yang bermutu dan aman bagi kesehatan seperti: UU No. 31 tentang Perikanan, UU No. 7 tentang Pangan,
UU No. 8 tentang
Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan Pangan, Gizi, dan Mutu Pangan dan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan, PerMen Kelautan dan Perikanan No. Per 01/Men/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, KepMen Kelautan dan Perikanan No. Kep.01/Men/2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan, dan Distribusi. Berkaitan dengan upaya pencegahan penyalahgunaan formalin, hal paling pokok adalah penerapan dari peraturan-peraturan tersebut diatas. Masih
adanya
penyalahgunaan
formalin
pada
produk
perikanan
memungkinkan perlu adanya peraturan-peraturan guna lebih meningkatkan upaya pencegahan penggunaan formalin walaupun peraturan perundang-undangan yang ada sudah memadai. Ada beberapa peraturan yang masih dapat dibuat untuk lebih mendukung upaya pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan. Dalam bahasan ini, dilakukan analisis regulasi yang diperlukan guna mengendalikan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan. Penentuan regulasi dilakukan dengan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Analisis SWOT dilakukan terhadap kelembagaan pemerintah yang
193
terkait dengan pengawasan dan pembinaan perikanan dan pangan. Analisis ini pertama kali melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) maupun eksternal (peluang dan ancaman) dari regulasi. Adapun hasil identifikasi sebagai berikut: (1) Strength (kekuatan) 1) Adanya UU RI No 31/2004, UU No.7/1996, UU No.8/1999, PP No.28/2004, Per Menkes No.722/Menkes/Per/IX/88 2) Adanya kelembagaan hukum 3) Supremasi hukum (2) Weaknesses (kelemahan) 1) Lemahnya penegakan hukum 2) Rendahnya kesadaran masyarakat tentang hukum (3) Opportunities (peluang) 1) Tekanan global akan pangan aman dan bermutu 2) Alasan rasa merupakan motivasi utama konsumen membeli produk ikan 3) Perlunya perlindungan konsumen (4) Threats (ancaman) 1) Penolakan produk perikanan di dalam dan luar negeri/importir 2) Penyalahgunaan formalin oleh pengolah/nelayan tidak berhenti 3) Pengolah akan tetap mendapatkan formalin secara bebas 4) Akan menurunnya kesehatan masyarakat akibat konsumsi formalin Pada Tabel 44
disajikan matrik SWOT regulasi malpraktek formalin.
Matrik ini menggambarkan alternatif program yang dapat dijalankan dalam strategi regulasi yaitu program SO, program WO, program ST dan program WT. Selanjutnya disusun matrik skor strategi SWOT, seperti dapat dilihat pada Tabel 46. Skor yang diperoleh dari masing-masing faktor, dipergunakan untuk menghitung skor yang diperoleh setiap strategi pada matrik SWOT. Berdasarkan Tabel 45, terlihat bahwa prioritas kebijakan adalah sebagai berikut: (1) Strategi – SO dengan kebijakan
194
1) Regulasi penambahan bahan kimia pemberi rasa pahit (bitrex) pada formalin (2)Strategi –ST dengan kebijakan 1) Regulasi penambahan bahan kimia pemberi rasa pahit pada formalin (3) Strategi – WO dengan kebijakan 1) Regulasi penambahan bahan kimia pemberi rasa pahit pada formalin (4) Strategi – WT dengan kebijakan 1) Regulasi penambahan bahan kimia pemberi rasa pahit pada formalin
Tabel 44 Matriks SWOT regulasi formalin Internal Strength-S - Adanya UU RI No 31/2004, UU No.7/1996, UU No.8/1999, PP No.28/2004, Per Menkes No.722/Menkes/Per/IX/88, UU No.16/2006 - Adanya kelembagaan hukum - Supremasi hukum
Weakness-W - Lemahnya penegakan hukum - Rendahnya kesadaran masyarakat tentang hukum
Eksternal Opportunities-O - Tekanan global akan pangan aman dan bermutu - Alasan rasa merupakan motivasi utama konsumen membeli produk ikan - Perlunya perlindungan konsumen
Strategi S-O 1. Regulasi penambahan bahan kimia pemberi rasa pahit pada formalin
Strategi W-O 1. Regulasi penambahan bahan kimia pemberi rasa pahit pada formalin
Threats-T - Penolakan produk perikanan di luar negeri/importir - Penyalahgunaan formalin oleh pengolah/nelayan tidak berhenti - Pengolah akan tetap mendapatkan formalin secara bebas - Akan menurunnya kesehatan masyarakat akibat konsumsi formalin
Strategi S-T 1. Regulasi penambahan bahan kimia pemberi rasa pahit pada formalin
Strategi W-T 1. Regulasi penambahan bahan kimia pemberi rasa pahit pada formalin
195
Tabel 45 Matriks skor SWOT regulasi formalin Strength-S
Weakness-W
Internal 2,40
0,95
Eksternal Opportunities-O 2,00
Threats-T
4,40
Strategi S-T 0,88
5.4.3.1
Strategi S-O
3,28
Strategi W-O 2,95
Strategi W-T 1,83
Penambahan senyawa pemberi cita rasa pahit (Bitrex)
Kebijakan penambahan Bitrex (denatonium benzoate) pada formalin diharapkan efektif mencegah penggunaan formalin pada pangan termasuk produk perikanan. Adanya denatonium benzoate pada formalin menyebabkan produk ikan yang menggunakannya akan terasa pahit sehingga diharapkan konsumen tidak akan mengkonsumsi produk ikan tersebut. Hal ini didukung oleh hasil survey yang menunjukkan bahwa motivasi konsumen membeli ikan karena alasan rasa. Dengan demikian, produk ikan berformalin tidak akan laku terjual dan pelaku usaha akan menghentikan penggunaan formalin. Regulasi ini di terapkan pada industri formalin. Untuk itu kebijakan ini sebaiknya dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian. Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan didalam penerapan kebijakan penambahan denatonium benzoate tersebut yakni: (1) Penambahan denatonium benzoate pada formalin oleh produsen formalin akan menambah biaya perusahaan. Biaya tersebut berupa biaya pembelian
196
bitrex. Pembelian bitrex dapat dilakukan melalui agen yang ada di Indonesia yaitu PT. Deggussa Chemical yang berlokasi di Jakarta. Hal ini dilakukan karena bitrex belum diproduksi di Indonesia melainkan diproduksi di luar negeri seperti: Macfarlan Smith Limited yang berlokasi di Edinburg, Skotlandia,
sehingga harus melalui impor. Harga bitrex per kg pada Juni
2007 adalah US$ 620 atau Rp 5.580.000 (menggunakan kurs Rp 9.000/US dollar). Apabila konsentrasi bitrex yang digunakan sebesar 1 ppm maka jumlah bitrex yang dibutuhkan adalah sebanyak 806 kg untuk produksi formalin nasional 806.400 ton/tahun. (2) Penambahan denatonium benzoate pada formalin akan merubah aspek teknis dari formalin sehingga Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-2569-1992 tentang Formalin perlu pula dilakukan perubahan. (3) Perlu dilakukan kajian mengenai pengaruh dari adanya denatonium benzoate dalam formalin terhadap kinerja formalin seperti: sebagai lem dalam industri plywood dan sebagai desinfektan. Berdasarkan pertimbangan faktor diatas, terutama faktor ekonomi maka dalam upaya implementasi regulasi pemberian senyawa rasa pahit pada formalin perlu dimuat didalamnya sebagai berikut: (1) Biaya penambahan senyawa pemberi rasa pahit pada tahap awalnya dapat dibebankan kepada pemerintah, namun secara bertahap biaya tersebut dapat dibebankan kepada produsen. Dengan demikian pada tahap awal, biaya tersebut perlu dimasukkan dalam anggaran pemerintah setiap tahunnya. Jumlah biaya yang perlu dikeluarkan setiap tahunnya dengan produksi formalin 806.400 ton/tahun adalah Rp 4.499.712.000,-. (2) Apabila SNI tentang Formalin yang baru sudah terbentuk, dapat diaplikasikan sanksi kepada produsen yang tidak menambahkan senyawa rasa pahit kepada produksi formalinnya. Pemberian sanksi dapat berupa sanksi pidana. (3) Adanya labelisasi atau regristasi khusus pada kemasan formalin yang menandakan bahwa formalin tersebut ditambahkan senyawa rasa pahit (4) Adanya pemberian insentif kepada produsen formalin seperti: pemberian bantuan fasilitas, keringanan pajak, dan bantuan jaringan pemasaran.
197
(5) Ditentukan pihak atau lembaga berwenang yang mengatur, dan melaksanakan
pengawasan regulasi ini yaitu Departemen Perindustrian. Secara lebih jelas simulasi implementasi regulasi pemberian senyawa perubah rasa pada formalin (bitrex) disajikan dalam bentuk diagram seperti yang dapat dilihat pada Gambar 38.
Lembaga berwenang Dep. Perindustrian
DKP, Dep.UKM, Depag, Diknas, BPOM,LPKSM (Pembinaan dan Pengawasan)
Nelayan tangkap, Pengolah, Pedagang, Konsumen
Produsen formalin menambahkan bahan kimia bitrex
Produk perikanan/pangan bebas dari formalin
Revisi SNI Formalin: -Dep. Perindustrian -BSN
Biaya penambahan bahan kimia: -Pemerintah/Produsen
Insentif: -Bantuan fasilitas, keringanan pajak,pemasaran Labelisasi -Informasi bitrex pada kemasan
Disinsentif: -Sanksi administrasi, pidana
Kebijakan: 1. Perbaikan infrastruktur Cold Chain System (CCS) terpadu, 2. Pemberian es gratis, 3. Percepatan teknologi alternatif
Nelayan tangkap, Pengolah, Pedagang ikan, TPI, Pasar tradisional
Gambar 38. Simulasi implementasi strategi regulasi penambahan bahan kimia perubah rasa pada formalin (bitrex)
5.4.4 Pengembangan riset Penentuan program dalam strategi riset dilakukan dengan analisis SWOT. Analisis SWOT melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor internal (kekuatan
198
dan kelemahan) maupun eksternal (peluang dan ancaman) dari kegiatan riset pada lembaga riset Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan POM, dan Perguruan Tinggi. Adapun hasil identifikasi sebagai berikut: (1)Strength (kekuatan) 1) Kelembagaan riset 2) SDM peneliti 3) Sarana/prasarana riset (2)Weaknesses (kelemahan) 1) Dana riset terbatas 2) Riset apllied science tidak menjadi prioritas 3) Informasi hasil riset (3)Opportunities (peluang) 1) Besarnya keinginan pelaku usaha mendapatkan teknologi alternatif 2) Kerjasama luar negeri mengenai metode dan tukar informasi 3) Kebijakan negara pengimpor terhadap produk perikanan yang bermutu dan aman 4) Belum adanya produk substitusi pengganti formalin yang efektif (4)Threats (ancaman) 1) Penolakan produk perikanan di dalam dan luar negeri/importir 2) Penyalahgunaan formalin oleh pengolah/nelayan tidak berhenti 3) Pengolah akan tetap mendapatkan formalin secara bebas 4) Akan menurunnya kesehatan masyarakat akibat konsumsi formalin Pada Tabel 46
disajikan matriks SWOT riset. Matrik ini menggambarkan
alternatif program yang dapat dijalankan dalam strategi riset yaitu program SO, program WO, program ST dan program WT. Selanjutnya disusun matrik skor strategi SWOT, seperti dapat dilihat pada Tabel 49. Skor yang diperoleh dari masing-masing faktor, dipergunakan untuk menghitung skor yang diperoleh setiap strategi pada matrik SWOT. Berdasarkan Tabel 47, terlihat bahwa prioritas kebijakan adalah sebagai berikut: (1) Strategi – SO dengan kebijakan 1) Pengembangan riset teknologi alternatif pengganti formalin
199
2) Mengembangkan networking laboratorium 3) Mengembangkan jejaring intelijen pangan (2)Strategi –ST dengan kebijakan 1) Pengembangan riset teknologi alternatif pengganti formalin 2) Pengembangan riset test kit formalin (3) Strategi – WO dengan kebijakan 1) Mengembangkan networking laboratorium (4) Strategi – WT dengan kebijakan 1) Peningkatan alokasi dana riset teknologi terapan
5.4.4.1
Pengembangan riset teknologi alternatif
Kebijakan riset merupakan kebijakan dalam upaya mendapatkan teknologi alternatif pengganti formalin ataupun teknologi tentang pengawetan makanan. Dengan demikian kebijakan riset diarahkan untuk melakukan penelitian-penelitian yang terkait permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dalam kasus formalin maupun bahan berbahaya lainnya, masyarakat pengolah mengharapkan adanya pengganti formalin. Kegiatan-kegiatan pengembangan penelitian substitusi formalin meliputi: pengembangan penelitian biji picung, dan bahan alami lainnya (cuka, bawang putih, kunyit, dan ketumbar). Riset perlu diarahkan sampai dengan ekstraksi senyawa potensial yang terkandung didalamnya. Peningkatan alokasi dana penelitian
dimaksudkan
agar
ada
dukungan
dana
yang
cukup
untuk
pengembangan riset substitusi formalin.
5.4.4.2
Pengembangan networking laboratorium
Pengembangan networking laboratorium dalam upaya membangun jejaring antar laboratorium riset yang dalam lingkup Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan POM, perguruan tinggi maupun dengan lembaga riset yang ada di luar negeri . Networking ini dilakukan guna saling menjalin kerja sama dan tukar
200
informasi dalam berbagai hal seperti: metode pengujian, informasi hasil riset dan pengembangan SDM.
5.4.4.3
Pengembangan riset test kit formalin
Regulasi labelisasi dan sertifikasi bebas formalin perlu didukung pengujian yang murah, cepat, tepat dan praktis. Hasil dari riset ini memungkinkan pengujian formalin pada produk perikanan dapat dilakukan di lapangan yaitu di pasar, tempat pelelangan ikan, kapal ikan dan unit pengolahan ikan. Selain itu juga dapat menggantikan test kit formalin import yang harganya cukup mahal.
Tabel 46 Matriks SWOT riset formalin Internal
Eksternal Opportunities-O - Besarnya keinginan pelaku usaha mendapatkan teknologi alternatif - Kerjasama luar negeri mengenai metode dan tukar informasi - Kebijakan negara pengimpor terhadap produk perikanan yang bermutu dan aman - Belum adanya produk substituasi pengganti formalin yang efektif Threats-T - Penolakan produk perikanan di dalam dan luar negeri/importir - Penyalahgunaan formalin oleh pengolah/nelayan tidak berhenti - Pengolah akan tetap mendapatkan formalin secara bebas - Akan menurunnya kesehatan masyarakat akibat konsumsi formalin
Strength-S - Kelembagaan riset - SDM peneliti - Sarana/prasarana riset
Weakness-W - Dana riset terbatas
Strategi S-O 1. Pengembangan riset teknologi alternatif pengganti formalin 2. Mengembangkan networking laboratorium 3. Aktif dalam jejaring intelijen pangan
Strategi W-O 1. Mengembangkan networking laboratorium
Strategi S-T 1. Pengembangan riset teknologi alternatif formalin 2. Pengembangan riset test kit formalin
Strategi W-T 1. Peningkatan alokasi dana riset teknologi mutu terapan
- Riset apllied science tidak menjadi prioritas - Informasi hasil riset
201
Tabel 47
Matriks skor SWOT riset formalin Strength-S
Weakness-W
Internal Eksternal
2,32
Opportunities-O
Strategi S-O
1,95 Threats-T
Strategi W-O
4,27 Strategi S-T
0,86
5.4.4.4
0,79
2,74 Strategi W-T
3,18
1,65
Aktif dalam jejaring intelijen pangan
Jejaring Intelijen Pangan merupakan jejaring dari suatu sistem keamanan pangan terpadu (SKPT). SKPT adalah forum kerja sama antarinstansi terkait untuk memantapkan program keamanan pangan di Indonesia. Lembaga-lembaga (stakeholders) yang terkait dalam sistem ini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pendidikan Nasional, Badan Standarisasi Nasional, Pemerintah Daerah,
universitas-universitas,
lembaga-lembaga
penelitian,
laboratorium
pemerintah dan swasta, asosiasi industri dan perdagangan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lain. Riset produk olahan ikan terkait dengan keamanan pangan bahan kimia berbahaya (formalin) diperlukan aktif dalam jejaring tersebut diatas. Ikut aktif dalam jejaring akan turut pula meningkatkan pula mutu dan keamanan pangan produk perikanan. Kegiatan pengembangan riset substitusi formalin beserta sasaran dan kelembagaan pelaksananya dapat dilihat pada Tabel 48.
202
Tabel 48 Kegiatan pengembangan riset No
Kegiatan
Sasaran
1
Pengembangan riset teknologi alternatif formalin
Peneliti
2
3
4
5
5.5
Lembaga pelaksana
- Badan Riset Kelautan dan Perikanan - Perguruan tinggi Peningkatan alokasi dana Peneliti - Badan Riset penelitian Kelautan dan Perikanan - Perguruan tinggi Aktif dalam Jejaring Peneliti - Badan Riset Intelijen Pangan Kelautan dan Perikanan - Badan riset BPOM - Perguruan tinggi Networking laboratorium Laboratorium/lemb - Badan Riset termasuk metode aga riset Kelautan dan pengujian dengan Perikanan lembaga-lembaga riset di - Perguruan tinggi luar negeri Pengembangan riset test Peneliti - Badan Riset kit formalin Kelautan dan Perikanan - Badan riset BPOM - Perguruan tinggi
Pembahasan Umum Kebijakan Pencegahan Penyalahgunaan Formalin Pada Produk Hasil Perikanan Berdasarkan uraian diatas maka secara diagram, strategi pencegahan
penyalahgunaan fomalin seperti disajikan pada Gambar 39. Pada dasarnya, strategi ini meliputi 4 (empat) kebijakan utama dengan urutan sesuai dengan prioritasnya yaitu pengawasan, pembinaan, regulasi, dan riset. Keempat strategi ini penting dan saling mendukung satu dengan lainnya dalam upaya pencegahan penyalahgunaan formalin oleh usaha formalin dan usaha perikanan. Strategi tersebut ditujukan terhadap pelaku usaha yang terdiri dari pengolah ikan, distributor/pengecer formalin, agen/pedagang ikan dan nelayan. Strategi pengawasan terdiri dari beberapa strategi pengawasan yaitu penegakan hukum, monitoring, peningkatan peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), penyitaan dan penarikan kembali produk, peningkatan
203
pengawas mutu, peran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), dan pengawasan oleh media massa. Strategi pembinaan terdiri dari beberapa strategi pembinaan yaitu penyuluhan, pelatihan, pengembangan sarana dan prasarana, pemberian insentif dan disinsentif, peran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), dan pengembangan SDM penyuluh keamanan mutu. Strategi regulasi terdiri dari beberapa strategi regulasi yaitu pemberian senyawa pemberi cita rasa pahit (bitrex), diikuti dengan regulasi pendukungnya seperti: pemberian insentif dan disinsentif, serta dan labelisasi bitrex pada formalin. Strategi riset terdiri dari beberapa strategi riset yaitu pengembangan riset teknologi alternatif, mengembangkan networking laboratorium, mengembangkan jejaring intelijen pangan, mengembangkan riset test kit formalin, dan peningkatan alokasi dana penelitian. Strategi-strategi pengawasan, pembinaan, regulasi, dan riset tersebut diatas berikut strategi-strategi dari masing-masing strategi tersebut merupakan hasil analisis pendapat pakar (AHP) dan juga analisis SWOT. Selanjutnya strategistrategi tersebut diatas perlu dilakukan evaluasi untuk menentukan prioritas strateginya. Hal ini perlu dilakukan mengingat hasil analisis AHP dan SWOT tersebut belum mendapatkan strategi utama yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan dari keseluruhan 19 strategi yang telah dihasilkan. Berdasarkan hasil dan pembahasan menunjukkan bahwa peraturan dan perundangan tentang keamanan pangan termasuk pengendalian penyalahgunaan formalin telah memadai. Demikian pula, pemerintah telah melakukan pengawasan dan pembinaan. Sementara itu, praktek penyalahgunaan formalin masih terus berlangsung. Hal ini disebabkan oleh kurang efektifnya penerapan peraturan perundangan yang ada seperti belum optimal dan kurang efektifnya pelaksanaan pengawasan dan pembinaan yang dilakukan pemerintah.
204
Peraturan - Pemberian senyawa pahit (bitrex) - Sertifikasi - Labelisasi
Pengawasan Penegakan hukum Monitoring BPSK Media massa Lembaga konsumen - Recall -
Pelaku usaha Pengolah ikan, Distributor/pengecer formalin, Agen/pedagang ikan,Nelayan
Konsumen
Pembinaan - Penyuluhan - Lembaga konsumen - Media massa - Pelatihan - Insentif/disinsentif - Sarana prasarana
Riset -
Alternatif formalin Networking Test kit formalin Jejaring intelijen pangan Alokasi dana riset
Gambar 39. Strategi pencegahan penyalahgunaan formalin Berdasarkan hal tersebut perlu strategi yang lebih efektif untuk menghentikan praktek penyalahgunaan formalin pada produk perikanan. Aplikasi terhadap penggunaan teknologi yang dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan rasa maupun warna pada produk ikan yang tidak disukai konsumen apabila menggunakan formalin merupakan alternatif kebijakan yang dapat diambil. Hal ini berdasarkan hasil kajian terhadap konsumen ikan yang menunjukkan bahwa motivasi konsumen membeli ikan karena alasan rasa. Berdasarkan Tabel 49 dan Gambar 40 terlihat bahwa strategi pemberian senyawa yang dapat merubah rasa seperti: penambahan bitrex pada formalin setelah dilakukan evaluasi berdasarkan kriteria biaya, sosial, politik, teknis, kelembagaan, dan efektivitas, memiliki rangking pertama dengan skor 7,625. Hal
205
ini menunjukkan strategi ini merupakan strategi yang menjadi prioritas utama untuk dilaksanakan.
Tabel 49 Hasil penetapan prioritas strategi pencegahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan Kriteria Biaya
Sosial
Politik
Teknis
Kelem bagaan
Efek tivitas
Skor
Rang king
Proses pengadilan penyalahguna formalin Monitoring produk berformalin Peningkatan peran BPSK Pengawasan media massa Peningkatan peran lembaga konsumen Penerapan recall
2
2
3
2
4
5
7,255
12
3
5
4
3
4
3
7,354
7
5
5
5
1
3
3
7,235
13
4
3
4
3
3
4
7,462
2
5
4
5
3
3
3
7,455
3
3
2
3
4
2
4
7,341
8
7
Sertifikasi
4
3
3
2
2
3
7,163
15
8
Labelisasi
4
2
3
2
2
3
7,118
17
9
Penyuluhan keamanan pangan Pelatihan
2
5
5
5
4
3
7,417
4
2
5
5
4
4
3
7,357
6
3
5
4
3
3
3
7,321
10
2
5
4
4
4
3
7,331
9
2
5
5
3
4
3
7,283
11
4
5
3
3
4
5
7,625
1
3
5
5
2
4
4
7,408
5
5
5
5
4
4
1
7,197
14
4
5
5
3
4
1
7,063
18
18
Pemberian insentif dan disinsentif Sarana/prasarana penanganan/pengolahan Peningkatan SDM penyuluhan Penambahan senyawa perubah rasa (bitrex) Riset teknologi alternatif Networking laboratorium Jejaring intelijen pangan Riset test kit formalin
2
5
5
2
4
2
7,026
19
19
Alokasi dana riset
2
5
3
2
4
3
7,127
16
0,2
0,1
0,1
0,2
0,1
0,3
1
No 1 2 3 4 5 6
10 11 12 13 14 15 16 17
Strategi
Bobot
206
Strategi-strategi pencegahan formalin (19 strategi)
Evaluasi prioritas strategi (6 kriteria)
Prioritas strategi utama
(Proses hukum, monitoring, BPSK, lembaga konsumen, media massa, recall, sertifikasi, labelisasi, penyuluhan, pelatihan, insenstif/disinsentif, sarana/prasarana, SDM, Bitrex, teknologi alternatif, networking, jejaring intelijen, test kit, dana riset)
(Biaya, sosial, politik, teknis, kelembagaan, efektivitas)
Pemberian senyawa pemberi rasa pahit (bitrex)
Gambar
40 Skema penetapan prioritas strategi pencegahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan
Strategi pemberian senyawa pemberi rasa pahit (bitrex) membutuhkan biaya yang tidak besar
dimana
komponen terbesar adalah biaya bitrex sebesar
Rp 4.499.712.000,- (asumsi produksi formalin 806.400 ton/tahun). Biaya penambahan senyawa pemberi rasa pahit (bitrex) pada tahap awalnya dapat dibebankan kepada pemerintah, namun secara bertahap biaya tersebut dapat dibebankan kepada produsen. Biaya lainnya adalah revisi Standar Nasional Indonesia (SNI) Formalin dan sosialisasi sebesar Rp 80.000.000,-. Implementasi strategi pemberian senyawa pemberi rasa pahit (bitrex) juga tidak akan menimbulkan masalah sosial dan politik yang besar yang menyangkut masyarakat luas namun hanya akan menimbulkan dampak pada produsen formalin. Secara teknis, implementasi strategi ini juga tidak akan mengalami kesulitan karena senyawa bitrex mudah didapat di pasaran dan
penggunaannya cukup
mencampurkan bitrex kedalam formalin sehingga mudah untuk dilaksanakan. Demikian pula, secara kelembagaan tidak akan menimbulkan permasalahan karena kelembagaannya sudah jelas yakni Departemen Perindustrian yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan regulasi pemberian senyawa pemberi rasa pahit. Berdasarkan kriteria efektivitasnya, strategi pemberian senyawa pemberi rasa pahit (bitrex) akan dapat mencegah penggunaan formalin pada produk perikanan. Rasa pahit pada formalin akan menimbulkan rasa pahit pula pada produk ikan berformalin sehingga konsumen tidak akan membeli produk ikan berformalin karena rasa merupakan motivasi utama konsumen membeli
207
produk ikan. Pemberian bitrex ini sudah dilakukan oleh pemerintah Srilingka sejak 15 tahun yang lalu pada saat adanya malpraktek penggunaan formalin pada produk ikan segar. Pemerintah kemudian mengambil alih perusahaan formalin dari swasta menjadi milik pemerintah dan selanjutkan menerapkan aturan perusahaan formalin diwajibkan menambahkan bitrex pada produk formalinnya (Rustam N 13 Maret 2008, komunikasi pribadi). Strategi-strategi pencegahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan seperti yang diuraikan diatas, selanjutnya dikelompokkan berdasarkan jangka waktu pelaksanaannya yakni jangka pendek, menengah, dan panjang. Hal ini perlu dilakukan karena strategi-strategi tersebut dalam pelaksanaannya masing-masing memiliki perbedaan sifat dalam waktu dan efektivitasnya. Program jangka pendek, menengah, dan panjang dari strategi pencegahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan disajikan pada Tabel 50.
Tabel 50
Program jangka pendek, menengah, dan panjang dari strategi pencegahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan
No Jangka waktu program 1
Jangka Pendek
2
Jangka Menengah
3
Jangka Panjang
Strategi 1). Penambahan pemberi rasa pahit (bitrex) 2). Monitoring produk berformalin 3). Peningkatan peran lembaga konsumen 4). Pengawasan media massa 5). Peningkatan SDM penyuluhan 6). Penyuluhan keamanan pangan 1). Proses pengadilan penyalahguna formalin 2). Penerapan recall 3). Sertifikasi 4). Labelisasi 5). Pelatihan 6). Pemberian insentif dan disinsentif 7). Sarana/prasarana penanganan/pengolahan 1). Riset teknologi alternatif 2). Networking laboratorium 3). Jejaring intelijen pangan 4). Riset test kit formalin 5). Alokasi dana riset 6). Peningkatan peran BPSK
208
5.6
Kebijakan Keamanan Produk Perikanan Kebijakan keamanan produk perikanan merupakan kebijakan untuk
menjamin atau menghasil produk perikanan yang aman bagi kesehatan konsumen perikanan. Pada uraian diatas telah penulis usulkan suatu strategi pencegahan penyalahgunaan formalin. Formalin merupakan salah satu dari berbagai jenis bahan berbahaya lainnya yang dapat mencemari produk perikanan. Bahan berbahaya lainnya yang banyak disalahgunakan pada produk perikanan termasuk produk pangan lainnya seperti: borak, kuning metanil, dan rodamin-B. Untuk itu, kebijakan pencegahan penyalahgunaan bahan berbahaya tersebut selain formalin juga diperlukan. Kebijakan pencegahan penyalahgunaan formalin seperti yang telah
diulas
diatas
dapat
digeneralisir
sebagai
kebijakan
pencegahan
penyalahgunaan bahan kimia berbahaya. Ada beberapa alasan kebijakan pencegahan formalin pada produk perikanan dapat digeneralisir sebagai suatu kebijakan keamanan pangan produk perikanan yaitu sebagai berikut: - Kepmen Kesehatan No.722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, melarang penggunaan formalin, dan boraks sebagai BTP serta kuning metanil dan rodhamin tidak termasuk dalam peraturan tersebut sebagai BTP. Dengan demikian, pengaturan, pembinaan, dan pengawasan, termasuk sanksi pidananya bahan berbahaya tersebut sama dengan formalin. - Kepmen Perindustrian No. 24/M-IND/PER/5/2006 tentang Pengawasan Produksi dan Penggunaan Bahan Berbahaya untuk Industri, menyebutkan yang temasuk jenis bahan berbahaya dalam peraturan tersebut adalah formalin, boraks, kuning metanil, dan rodamin-B. Dengan demikian kebijakan pengawasan produksi dan penggunaan formalin sama dengan bahan berbahaya lainnya tersebut (boraks, kuning metanil, dan rodamin-B). - Kepmen
Perdagangan No. 04/M-Dag/Per/2/2006 tentang Distribusi dan
Pengawasan Bahan Berbahaya, menyebutkan yang temasuk jenis bahan berbahaya dalam peraturan tersebut antara lain: formalin, boraks, kuning metanil, dan rodamin-B. Dengan demikian
kebijakan distribusi dan
pengawasan formalin sama dengan bahan berbahaya lainnya tersebut (boraks, kuning metanil, dan rodamin-B).
209
- Seperti juga formalin, bahan berbahaya seperti boraks, insektisida, peroksida, rhodamin, dan kuning metanil peruntukkannya juga untuk non-pangan namun banyak disalahgunakan juga oleh pengolah ikan. - Praktek penyalahgunaan bahan berbahaya boraks, insektisida, peroksida, rodamin, dan kuning metanil seperti juga dengan formalin, sampai dengan sekarang masih tetap berlangsung sehingga diperlukan kebijakan pencegahan penggunaannya pada produk perikanan. Berdasarkan pengamatan lapangan penulis, penggunaan pewarna tekstil masih dilakukan oleh pengolah kerang rebus di Cilincing-Jakarta, Dadap-Tangerang, dan seorang pengolah ikan panggang-Cirebon; tawas masih digunakan pengolah kerang rebus CilincingJakarta, dan ikan asin Pari di PHPT Muara Angke. Hasil identifikasi BBPMHP Jawa Barat tahun 2005 (tidak dipublikasikan), pestisida digunakan pengolah jambal roti di Indramayu, boraks digunakan pengolah teri asin di Cirebon, peroksida digunakan pengolah ikan asin di Sungai Buntu-Karawang, rhodamin dan kuning metanil digunakan pengolah terasi dan ikan asin di Pelabuhan Ratu-Sukabumi. - Penggunaan rhodamin-B dan kuning
metanil oleh pengolah
untuk
meningkatkan warna produk, hidrogen peroksida sebagai pemutih, dan boraks untuk meningkatkan tekstur, serta pestisida untuk mencegah lalat. Untuk itu, seperti juga kebijakan pada formalin, diperlukan riset mencari teknologi alternatif pengganti bahan berbahaya tersebut maupun riset tentang sosial ekonomi. Dengan demikian diharapkan adanya atau tersedianya teknologi alternatif akan menghilangkan praktek penyalahgunaan bahan berbahaya pada produk perikanan. Berdasarkan uraian diatas maka kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan dapat di generalisasi sebagai kebijakan keamanan pangan produk perikanan. Untuk itu kebijakan keamanan pangan produk perikanan terdiri dari regulasi, pengawasan, pembinaan, dan riset. Namun pada kebijakan ini, yang menjadi sasaran kebijakan tidak hanya usaha formalin tetapi juga usaha bahan berbahaya lainnya seperti: usaha boraks, kuning metanil, dan rhodamin-B.