Akreditasi: 646/AU3/P2MI-LIPI/2015
Pengantar Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan kali ini didominasi oleh karya tulis ilmiah hasil penelitian padi. Diawali oleh pembedaan varietas berdasarkan karakter morfologi, agronomi, dan marka molekuler, penelitian identifikasi varietas menggunakan pengolahan citra digital membantu pemulia dalam perakitan dan pemurnian varietas. Penelitian pada lahan pasang surut menunjukkan beberapa galur memberikan hasil tinggi dengan budi daya ratun. Dari penelitian pada fase perkecambahan diketahui padi mutan toleran cekaman salinitas. Berdasarkan sifat morfologinya, beberapa varietas diketahui tahan hawar daun bakteri (HDB). Di NTB telah diketahui pula komposisi dan sebaran penyebab penyakit HDB pada tanaman padi. Penerapan inovasi PTT padi sawah oleh petani alumni SL-PTT di Bali efisien dari segi ekonomi. Perlakuan pelapisan benih padi dengan pestisida nabati dapat mempertahankan mutu benih selama enam bulan penyimpanan. Salinitas termasuk kendala usahatani di pesisir pantai. Beberapa varietas unggul kacang tanah memberikan respon yang berbeda terhadap cekaman salinitas. Redaksi
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Volume 34
ISSN 0216-9959 Nomor 2
2015
DAFTAR ISI Distinguishing Rice Genotypes Using Morphological, Agronomical, and Molecular Markers ........................................................................... Untung Susanto, Nofi Anisatun Rohmah, and Made Jana Mejaya
79
Identifikasi Varietas Padi Menggunakan Pengolahan Citra Digital dan Analisis Diskriminan ................................................................................ Adnan, Mira Landep Widiastuti, dan Sri Wahyuni
89
Daya Hasil dan Stabilitas Ratun Genotipe Padi pada Lahan Pasang Surut .......................................................................................................... Parlin H. Sinaga, Trikoesoemaningtyas, Didy Sopandie, dan Hajrial Aswidinnoor
97
Skrining Salinitas Padi Mutan Insersi Pembawa Activation-Tagging pada Fase Perkecambahan .................................................................... Anky Zannati, Utut Widyastuti, dan Satya Nugroho
105
Komposisi dan Sebaran Patotipe Xanthomonas oryzae Pv. oryzae, Penyakit pada Padi di Nusa Tenggara Barat .......................................... Sudir, Dini Yuliani dan Lalu Wirajaswadi
113
Karakterisasi Sifat Morfologi dan Ketahanan Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Beberapa Varietas Padi .................................................... Dini Yuliani, Rina Hapsari Wening, dan Sudir
121
Analisis Produksi dan Efisiensi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Provinsi Bali ..................................................................... Suharyanto, Jangkung H. Mulyo, Dwidjono H. Darwanto, dan Sri Widodo
131
Keefektifan Pelapisan Benih terhadap Peningkatan Mutu Benih Padi Selama Penyimpanan .............................................................................. 145 Ikrarwati, Satriyas Ilyas, dan Amiyarsi Mustika Yukti Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan merupakan publikasi yang memuat makalah ilmiah primer hasil penelitian tanaman pangan (padi dan palawija).
Respon Varietas Unggul Kacang Tanah terhadap Cekaman Salinitas Abdullah Taufiq, Afandi Kristiono dan Didik Harnowo
153
Redaksi mengutamakan makalah dari peneliti lingkup Puslitbang Tanaman Pangan dan menerima makalah dari semua institusi penelitian tanaman pangan lainnya di Indonesia, termasuk perguruan tinggi, LIPI dan BATAN. Makalah yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan dari pimpinan instansi masing-masing. Ketentuan penulisan makalah untuk dapat dimuat di jurnal ini tertera dalam "Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir.
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BOGOR, INDONESIA
SUSANTO ET AL.: DISTINGUISHING RICE GENOTYPE
Distinguishing Rice Genotypes using Morphological, Agronomical, and Molecular Markers Pembedaan Varietas Padi Berdasarkan Karakter Morfologi, Agronomi, dan Marka Molekular Untung Susanto, Nofi Anisatun Rohmah, and Made Jana Mejaya Indonesian Center for Rice Research (ICRR) Street 9th, Subang, West Java, Indonesia Email:
[email protected] Naskah diterima 28 Maret 2014 dan disetujui diterbitkan 29 Juli 2015
ABSTRAK. Data lengkap karakteristik suatu varietas sangat bermanfaat untuk mengecek keautentikan suatu varietas yang benihnya diperdagangkan. Seringkali nama suatu varietas berubah dalam proses distribusi benih informal antar petani. Hal ini berpotensi merugikan pihak yang memiliki hak kekayaan intelektual varietas. Pencirian keautentikan suatu varietas berdasarkan karakter morfologi sering kali kurang memadai. Dewasa ini, telah tersedia teknologi marka molekuler, seperti SSR dan SNP yang lebih akurat dalam membedakan antarvarietas, relatif praktis, efektif, dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk membedakan sembilan varietas padi yang ditanam di lahan petani berdasarkan karakter morfologi (47 karakter), agronomi (9 karakter), marka SSR (12 marka terpilih terpaut karakter-karakter penting tanaman padi), dan marka SNP (384 marka) serta membandingkan akurasi masing-masing marka dalam membedakan varietas yang diuji. Kesembilan genotipe tersebut adalah empat varietas yang ditanam petani yang benihnya melalui distribusi informal, sehingga memiliki nama baru yang tidak terdapat dalam daftar varietas padi yang telah dilepas, serta lima varietas unggul yang telah resmi dilepas sebagai acuan. Penelitian untuk mendapatkan data morfologi dan agronomis tanaman dilakukan di Desa Ranca Jaya, Kecamatan Patok Beusi, Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada MH 2011/2012, menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Ekstraksi DNA dari masing-masing varietas dilakukan dari contoh daun yang berasal dari materi yang sama dengan yang ditanam di lapang menggunakan metode CTAB yang dimodifikasi. Selanjutnya masing-masing contoh DNA diuji dengan 12 marka SSR dan 384 marka SNP. Hasil pengujian menunjukkan marka SSR terpaut karakter spesifik tanaman padi lebih akurat untuk membedakan varietas padi yang diuji dibandingkan dengan marka SNP (acak dan umumnya tidak terpaut suatu karakter tertentu) serta ciri-ciri agronomi dan morfologi. Karakter agronomi mampu membedakan beberapa varietas yang tidak dapat dibedakan berdasarkan karakter morfologinya. Secara keseluruhan, karakter morfologi, agronomi, dan molekuler dapat digunakan untuk menjamin perlindungan hak kekayaan intelektual atas suatu varietas. Kata kunci: Marka molekuler, morfologi, agronomi, padi. ABSTRACT. Complete data on characteristics of a rice variety is very important to trace the authenticity of the variety at the field. Sometimes a name of a variety had changed, due to the informal seed distribution among farmers. This could become problem in the property right of the variety. Distinguishing among rice varieties using only morphological and agronomical traits are sometimes not
sufficient. Currently, molecular markers such as SSR (Simple Sequence Repeats) and SNP (Single Nucleotide Polymorphism) markers have become available and are powerfull to distinguish rice genotypes. This research was aimed to distinguish nine rice varieties grown by farmers, using morphological characters (47 traits), agronomical characters (9 traits), SSR markers (12 primer pairs, related with important traits of rice plant), and 384 SNP markers, and to compare the effectiveness of each technique in distinguishing among genotypes. A field experiment was conducted in Ranca Jaya village, Patok Beusi, Subang, West Java during Wet Season (WS) of 2011/2012, using a Randomized Complete Block Design in three replications. A modified CTAB method was used to extract DNA for detection using 12 SSR markers and 384 SNP markers. The results revealed that the use of SSR markers that were linked to certain genes was more accurate than that of the SNP markers, agronomic, and morphological characters, in distinguishing differences among the 9 rice genotypes. The complete data of morphologic, agronomic, and molecular are useful to distinguish the authenticity of a variety in order to protect the intelectual property right attached on the variety. Keywords: Morphological, agronomic, SSR, SNP, rice.
PENDAHULUAN Complete characteristic data of a rice variety is very important to trace the authenticity of a variety in the field. Sometimes the name of a variety changed following its informal seed distribution among farmers, which may cause problem in relation with the property right of the variety. On the other hand, distinguishing rice varieties using only morphological traits would not be sufficient. Currently, genomic studies that had advanced and various molecular markers are available, such as RAPD (Random Amplified Polymorphism Devices) (Choudhury et al. 2001), AFLP (Amplification Fragment Length Polymorphism) (Fuentes et al. 1999, Virk et al. 2000), RFLP (Restricted Fragment Length Polymorphism) (Sun et al. 2001), SSR (Simple Sequence Repeats) (Hashimoto et al. 2004), and SNP (Single Nucleotide Polymorphism) (Takatsu et al. 2004, Raghavan et al. 2006, McNally et al. 79
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
2009), and even genomic sequence (Sasaki et al. 2005). Those markers are densely located accross the genome (McCouch et al. 2002), therefore they are more powerful to distinguish rice genotypes (Chuang et al. 2011, Jain et al. 2004) than the previously used markers, such as isozymes (Li et al. 2000, Fuentes et al. 1999, Virk et al. 2000) and morphological characteristics (Li et al. 2000). Previous study revealed that RAPD could be used to fingerprint rice genotypes (Choudhury et al. 2001). For examples, 58 primers were enough to differentiate 1041 rice genotypes. AFLP is able to detect polymorphisms with higher efficiency than RAPD (+15%) and isozyme (+34%) (Fuentes et al. 1999). A total of 44 RFLP had been used to test 197 rice genotypes from various Asian countries, including wild relatives and identified that the genes diversities in rice varieties from South Asian countries was higher than those of South East Asian countries. Cultivated rice had the lowest gene diversity (Sun et al. 2001). Furthermore, SSR gives more advantage due to more densely markers identified (McCouch et al. 2002), reliable results, possible for high throughput running (Coburn et al. 2002), and cost effective. McCouch et al. (2002) reported very dense markers had been validated and annotated SSR markers for rice, i.e. one SSR marker in every 157 kb, which is very useful for genetic study in rice. SSR markers has been widely used for genetic study and for breeding activity. Application of different markers, such as AFLP, isozyme, ISSR, and RAPD gave partial agreement among the markers. Particularly, AFLP and isoenzyme could be used more effectively for grouping the genotypes. On the other hand, SSR had been proven more powerfull than RAPD (Ravi et al. 2003). SSR markers had been used to study genetic diversity, such as among local and improved rice varieties in Indonesia (Thomson et al. 2007); Oryza rufipogon (Song et al. 2003), and among popular varieties in Zhejiang Province of China (Zhu et al. 2012). SSR markers (164 primer pairs) had been used to measure the genetic diversity among 24 Philippines rice varieties carrying good quality traits (Lapitan et al. 2007). AFLP and SSR had been applied on 95 local and modern sake-brewing rice varieties together with the 76 popular rice varieties, and had been found that sake-brewing rice varieties had much smaller diversity than those of popular varieties (Hashimoto et al. 2004). For breeding related purposes, SSR could be used to investigate genetic structures of breeding materials to identify the parent for crossing. SSR (101 markers) had been applied on 193 accessions internationally for rice breeding and showed that the materials were consisting of three groups, i.e. Group I, which corresponded with classical (the) indica sub species, 80
whereas group II and III which belonged to the japonica subspecies. Genetic variability analysis revealed that selection for eco-geographical adaptation on multilocus associations was largely responsible for the maintenance of extensive variation in the primary gene pool of rice (Yu et al. 2003). In Cuba, application of 10 SSR markers on 39 traditional and 11 modern rice varieties revealed that a higher heterozygosity was found in traditional varieties (68% of the total microsatellite alleles). Majority of traditional varieties were distantly related to the improved varieties (Alvarez et al. 2007). SSR had also been used to fingerprint, i.e., to distinguish the difference among rice genotypes (high yielding varieties, local varieties, and wild relatives) that was useful for plant variety protection (Rahman et al. 2009). SSR had been used to distinguish traditional and improved varieties to ensure purity and quality of rice to be exported from Thailand (Chuang et al. 2011). SSR could also distinguish among indian aromatic, indica and japonica varieties (Jain, et al. 2004). SSR (36 markers) had been applied to fingerprint 33 medicinal rice and giving 166 polymorphic alleles that were very useful as reference for intelectual property right of the varieties (Behera et al. 2012). The most recent markers developed was SNP. There were 160,000 non redundant SNPs. Introgression patterns of shared SNPs were identified by resequencing 100Mb unique fraction of 20 reference varieties. Some of the SNPs were associated with agronomic traits and it has become milestones in rice improvement (McNally et al. 2009). Various techniques to apply SNP markers had been developed, such as enzime based, DNAhybridization based, and fluorescent based technique. Fluorescent based technique seem to be more efficient, effective, and possible for high throughput running (Takatsu et al. 2004). SNP markers could be run more simply on agarose and it was widely used for mapping and for germplasm characterization (Raghavan et al. 2006). More modern and high throughput equipments had also been developed, thus encouraging the increase of SNP marker utilization among laboratories. Various released rice varieties had been widely adopted by farmers. Sun et al. (2001) reported that genetic variability among cultivated varieties tended to be lower than the local landraces and wild relatives. It had happened in the field that the rice genotypes planted by farmers showed high degree of similarity and are difficult to be distinguished. The mentioned informal seed distribution had caused changing of the varietal names. It causes some difficulties in tracing the true name of a variety planted by farmer and the seed producers may had violated the property right of the variety. It was suspected that some varieties on farmers’
SUSANTO ET AL.: DISTINGUISHING RICE GENOTYPE
fields in the rice production center having local names but have similarities with those of released varieties. This research was aimed to distinguish the nine genotypes by using morphological (47 traits), agronomic (9 traits), SSR (12 primer pairs), and 384 SNP markers.
MATERIALS AND METHODS Differentiation of Rice Genotypes Based on Morphological and Agronomical Characteristics Nine rice genotypes consisting of four existed rice varieties in farmers’ fields in West Java Province and five released varieties as reference were used in this study. The four rice genotypes planted by farmers had no clear history of breeding nor their seed origin. The varietal names were given informally by the farmers, including Manohara, Sidenok Sukra, Sidenok Ciasem, and Ciherang Taiwan. Five varieties or lines had been identified phenotypically matching to the above mentioned varieties, were i.e. Diah Suci, OBS1703, Inpari 10, Ciherang, and Fatmawati (Table 1). The five varieties were used as reference varieties. Manohara is suspected to be similar with Diah Suci. Sidenok Ciasem and Sidenok
Table 1. The genotypes tested using morphological, SSR, and SNP Markers. No Genotype
Remark
1
Diah Suci
2
Manohara
3
OBS1703
4
Sidenok Ciasem
5
Sidenok Sukra
6
INPARI 10
7
Fatmawati
8
Ciherang
9
Ciherang Taiwan
A released variety by BATAN (the National Nuclear Energy Agency), derived from gamma radiated mutant of Cilosari Variety existed in farmer field without any pedigree information, plant samples collected from framers’ field in Bekasi Sinonym to Inpari Sidenuk, a released variety derived from a gamma radiated mutant of Diah Suci Variety existed in farmers’ field without any pedigree information; plant samples collected from farmers’ field in Ciasem, Subang; termed also as Sidenok Kopkarlitan Variety existed in farmer field without any pedigree information; plant samples collected from farmers’ field in Sukra, Indramayu Released variety; pedigree: S3382-2d-Pn4-1, cross: S487b-5/2*IR19661// 2*IR64 Released variety; cross: BP68C-MR-4-32/Maros Released variety; pedigree: S3383-1DPN-41-3-1, cross: IR18249-53/IR19661131-3-1//IR19661-131///IR64////IR64 Variety existed in farmer field without any pedigree information, plant samples collected from farmers’ field in Ciasem
Sukra with OBS1703 (Inpari Sidenuk), Fatmawati, or Inpari 10. Ciherang Taiwan was suspected to be similar with Ciherang. The seeds of the four farmer’s varieties were collected from farmers. The seed of the five reference varieties were obtained from the ICRR Seed Production Unit. A field expriment was conducted in Ranca Jaya Village, Patok Beusi, Subang, West Java during Wet Season (WS) 2011/2012, using of a randomized complete block design (RCBD) with three replications. Transplanting of 21 day old seedlings were spaced 25 cm x 25 cm on 4 m x 5 m plot size. Plant morphological characters (47 traits) were observed following DUS (Distinct, Unique, and Stable) testing protocol from the Office of Center for Plant Variety Protection and Agricultural Permit, Ministry of Agriculture (PPI, 2006). Agronomic and morphological characteristics were clustered using the program NTSysPc ver. 2.1 (Rohlf, 2000). Differentiation of Rice Genotypes Based on SSR Markers The nine rice genotypes were planted in 27 cm diameter pots in green house. DNA from each genotype was extracted from leaf samples of each true genotype by using modified CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) method (Murray and Thompson 1980). Each of the DNA samples was then splitted into two, one half for SSR reaction in the Plant Breeding Laboratory of the ICRR, Sukamandi and the other half one was sent to IRRI (International Rice Research Institute) for the SNP analysis. Twelve published SSR markers linked to certain important agronomic traits (Table 2) were chosen and the detail information of the markers were obtained from McCouch et al. (2002) and from website of http:// www.gramene.org/. PCR reaction for SSR analysis was conducted using a reaction volume of 10 µl solution containing 50 ng of template DNA, 0.25 µM of each forward and reverse primer, 100 µM of each dNTPs, 1 X reaction buffer (20 mM Tris pH 8.3, 50 mM KCl, 1.5 mM MgCl2, and 0.01% gelatin) and 0.5 unit of Taq DNA polymerase. The profile of PCR amplification was performed as follows: one cycle of 94oC for 5 min, followed by 35 cycles of 94oC for one min., 55oC for 1 min. (or according to the specific annealing temperature of the primers), and 72oC for 2 min., and finally 1 cycle of 72oC for 5 min. PCR products were kept at 4oC for short term storage prior to using. Electrophoresis of the PCR products were done in 8% polyacrilamide gels in 1X TBE buffer at 100 volts for two to four hours depending on the PCR product size. 81
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
The gels were then stained using ethidium bromide solution and visualized under UV light using Gel Documentation System. Data were scored as 1 (present) and 0 (not present) for each of the SSR locus. Clustering analysis was conducted using the Power Markers Ver 3.25 (Liu and Muse 2005) based on the distance matrix of Nei (1987). Differentiation of Rice Genotypes Based on SSR Markers The DNA used for the SNP analysis was split from the DNA for the SSR analysis. The DNA samples were sent to IRRI for analysis using 384 SNP markers (Thomson et al. 2012). The SNP markers were arranged by IRRI to spread evenly at random accross the rice genome. Clustering analysis was conducted using Power Markers Ver 3.25. (Liu and Muse, 2005) based on Nei (1987) distance matrix.
had a semi errect plant stature, while the others had errect ones. Sidenok Sukra and Fatmawati had long panicle main axis, while the others had medium ones. Sidenok Sukra had a low 1000 grain weight, Farmawati had a high one, while the others had medium ones. Sidenok Sukra had a short grain size, while the others had a medium size. The morphological traits could not distinguish among Manohara, OBS1703, Sidenok Ciasem, Inpari 10, Ciherang Taiwan, and Ciherang. Clustering analysis using the UPGMA method grouped the 9 genotypes into four groups. Manohara, OBS1703, Sidenok Ciasem, Inpari 10, Ciherang Taiwan, and Ciherang were in one group without any differences among them. Diah Suci, Sidenok Sukra, and Fatmawati each was standing alone as separate groups. Fatmawati is the most distinct variety from the others, indicating the highest difference with the other genotypes (Figure 1).
Fatmawati
RESULTS AND DISCUSSION
Sidenok Sukra Diah Suci
Differentiation of Rice Genotypes Based on Morphological and Agronomical Characteristics Based on the observation of 47 rice morphological traits, there were only 8 traits that were different among the 9 genotypes, i.e. ligule length, leaf length, leaf width, leaf errectness, length of main axis of panicle, days of senescence, 1000 grain weight, and grain length (Table 3). Varieties Diah Suci and Fatmawati had long ligules, while the others varieties had medium ligules size. Sidenok Sukra and Fatmawati had long leaves, while the other varieties had medium leaves. Fatmawati had a wide leaf blade, while the others had narrow ones. Fatmawati
OBS1703 Sidenok Kopkar Ciherang Ciherang Taiwan Inpari 10 Manohara
Figure 1. Clustering eight rice genotypes based on 47 morphological traits, using the UPGMA method.
Table 2. SSR Makers (12 primer pairs) used to distinguish eight rice genotypes. No Primer
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
RM315 RM10852 RM266 RM282 RM241 RM164 RM190 RM510 RM234 RM248 RM464a RM7102
Chromosome 1 1 2 3 4 5 6 6 7 7 9 12
Tm = melting temperature.
82
Gene related
Forward
Reverse
Tm (oC)
Size (bp)
Rf3 Salt Seed set Grain/panicle Plant height Heading-drought Waxi gene Gel consistency Maturity date Root development Sub1 Bph2
GAGGTACTTCCTCCGTTTCAC GAATTTCTAGGCCATGAGAGC TAGTTTAACCAAGACTCTC CTGTGTCGAAAGGCTGCAC GAGCCAAATAAGATCGCTGA TCTTGCCCGTCACTGCAGATATCC CTTTGTCTATCTCAAGACAC AACCGGATTAGTTTCTCGCC ACAGTATCCAAGGCCCTGG TCCTTGTGAAATCTGGTCCC AACGGGCACATTCTGTCTTC TAGGAGTGTTTAGAGTGCCA
AGTCAGCTCACTGTGCAGTG AACGGAGGGAGTATATGTTAGCC GGTTGAACCCAAATCTGCA CAGTCCTGTGTTGCAGCAAG TGCAAGCAGCAGATTTAGTG GCAGCCCTAATGCTACAATTCTTC TTGCAGATGTTCTTCCTGATG TGAGGACGACGAGCAGATTC CACGTGAGACAAAGACGGAG GTAGCCTAGCATGGTGCATG TGGAAGACCTGATCGTTTCC TCGGTTTGCTTATACATCAG
55
133 171 127 136 138 246 124 122 156 102 262 168
55 55 55 55 55 55 55 55 55
SUSANTO ET AL.: DISTINGUISHING RICE GENOTYPE
Table 3. Performance of 47 morphological traits, heading date, and maturity of eight rice genotypes. No Trait
Polymorpic traits 1 Leaf: Length of ligule (mm) 2
Leaf: Length of blade (mm)
3
Leaf: Width of blade (mm)
4
Flag leaf: Attitude of blade (late observation) Panicle: Length of main axis (mm) Leaf: Time of senescence
5 6
Manohara
Diah Suci
Sidenok Sidenok Ciasem Sukra
OBS 1703
INPARI 10
Fatmawati
Ciherang
Ciherang Taiwan
5 (1.3) 5 (48.2) 5 (1.6) 1
7 (1.8) 5 (49.8) 5 (1.5) 1
5 (1.4) 5 (44.5) 5 (1.5) 1
5 (1.6) 5 (52.5) 5 (1.7) 1
5 (1.3) 5 (42.4) 5 (1.4) 1
5 (1.3) 5 (43.2) 5 (1.5) 1
7 (2.0) 7 (56.9) 7 (2.0) 3
5 (1.3) 5 (43.2) 5 (1.3) 1
5 (1.5) 5 (45.8) 5 (1.5) 1
2 (26.9) 5
2 (29.3) 5
2 (27.4) 5
3 (32) 5
2 (24.1) 5
2 (26.7) 5
3 (32) 3
2 (25.3) 5
2 (27) 5
Remark
5 = Medium; 7 = Long 5 = Medium; 7 = Long 5 = Medium; 7 = Long 1 = Errect; 3 = Semi Errect 2 = Medium; 3 = Long 3 = Early; 5 = Intermediate 3 = Low; 5 = Medium; 7 = High 3 = Short; 5 = Medium Days after sowing
7
Grain: Weight of 1000 (g) (fully developed grains)
5 (27.9)
5 (29.2)
5 (28.1)
3 (25)
5 (27.3)
5 (28)
7 (29.9)
5 (28.1)
5 (28.6)
8
Grain: Length (mm)
5 (9.70) 102
5 (9.62) 107
5 (9.49) 102
3 (8.81) 115
5 (9.26) 105
5 (9.45) 100
5 (9.16) 100
5 (9.26) 102
5 (9.53) 10)
129
137
129
146
129
129
129
129
129
Days after sowing
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 = Absent
1 1 1
1 1 1
1 1 1
1 1 1
1 1 1
1 1 1
1 1 1
1 1 1
1 1 1
1 = green 1 = Absent 1 = Absent
9 1
9 1
9 1
9 1
9 1
9 1
9 1
9 1
9 1
9 = Present 1 = Absent
9 1 9 2 1 1
9 1 9 2 1 1
9 1 9 2 1 1
9 1 9 2 1 1
9 1 9 2 1 1
9 1 9 2 1 1
9 1 9 2 1 1
9 1 9 2 1 1
9 1 9 2 1 1
9 1 9 2 1 1
5 1
5 1
5 1
5 1
5 1
5 1
5 1
5 1
5 1
5 = Open 1 = Absent
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
1 2
1 = Absent/Very Weak 1 = Absent/Very Weak 1 = White 2 = Light Yellow
5 (6.2) 5 (100.2)
5 (5.7) 5 (95.1)
5 (6.5) 5 (100.9)
5 (6.0) 5 (97.9)
5 (6.4) 5 (86.8)
5 (6.8) 5 (91.4)
5 (6.5) 5 (91.2)
5 (6.0) 5 (90.9)
5 (6.6) 5 (91.5)
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 = Absent
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3 = Weak
9
Time of heading (days after sowing) (50 % of plants halfway with heads) 10 Time of maturity (days after sowing) Monomorphic traits 11 Coleoptile: anthocyanin coloration 12 Basal leaf: sheath color 13 Leaf: Anthocyanin coloration 14 Leaf sheath: Anthocyanin coloration 15 Leaf: Auricles 16 Leaf: Anthocyanin coloration of auricles 17 Leaf: Collar 18 Leaf: Collar color 19 Leaf: Ligule 20 Leaf: Shape of ligule 21 Leaf: Color of ligule 22 Flag leaf: Attitude of blade (early observation) 23 Culm: Habit 24 Lemma: Anthocyanin coloration of keel (early observation) 25 Lemma: Anthocyanin coloration of area below apex 26 Lemma: Anthocyanin coloration of apex 27 Spikelet: Color of stigma 28 Spikelet: Color of anthers (for A line) 29 Stem: Thickness 30 Non-prostrate varieties only: Stem length (excluding panicle) 31 Stem: Anthocyanin coloration of nodes 32 Stem: Intensity of anthocyanin coloration of nodes
= Present = Green = Present = Cleft = Colorless = Errect
5 = Medium 5 = Medium
83
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Table 3. Continues. No Trait
33 Stem: Anthocyanin coloration of internodes 34 Sterile lemma: Color 35 Panicle: Number per plant 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Manohara
Diah Suci
1
1
1
1 3 (15) 5 2 2
1 3 (15) Spikelet: Pubescence of lemma 5 Spikelet: Apiculus color 2 Panicle: Attitude in relation to 2 stem Panicle: Presence of 9 secondary branching Panicle: Type of 2 secondary branching Panicle: Attitude of branches 3 Panicle: Exsertion 5 (4.4) Lemma: Color Lemma: warna 1 Lemma: Ornamentation 1 Lemma: Anthocyanin 1 coloration of keel Lemma: Anthocyanin coloration 1 of area below apex Lemma: Anthocyanin coloration 1 of apex Glume: Length or sterile lemma 5 length (mm) (0.26) Grain: Width (mm) 5 (2.28)
Sidenok Sidenok Ciasem Sukra
OBS 1703
INPARI 10
Fatmawati
Ciherang
Ciherang Taiwan
Remark
1
1
1
1
1
1
1 = Absent
1 3 (15) 5 2 2
1 3 (15) 5 2 2
1 3 (14) 5 2 2
1 3 (14) 5 2 2
1 3 (14) 5 2 2
1 3 (15) 5 2 2
1 3 (14) 5 2 2
1 = Straw 3 = Medium
9
9
9
9
9
9
9
9
9 = Present
2
2
2
2
2
2
2
2 = Strong
3 5 (2.1) 1 1 1
3 5 (3.9) 1 1 1
3 5 (2.2) 1 1 1
3 5 (4.7) 1 1 1
3 5 (5.7) 1 1 1
3 5 (1.9) 1 1 1
3 5 (5.6) 1 1 1
3 5 (5.2) 1 1 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
5 (0.28) 5 (2.28)
5 (0.28) 5 (2.30)
5 (0.28) 5 (2.31)
5 (0.25) 5 (2.26)
5 (0.27) 5 (2.27)
5 (0.27) 5 (2.31)
5 (0.24) 5 (2.28)
5 (0.24) 5 (2.27)
5 Medium 2 = Straw 2 = Semi Upright
3 = Semi Errect 5 = Just Exerted 1 = Straw 1 = Absent 1 = Absent or very weak 1 = Absent or very weak 1 = Absent or very weak 5 = Medium 5 = Medium
Remark: - Polymorphic trait = contains at least one genotypes different to other genotypes. - Monomorphic trait = all the eight tested genotypes has similar characteristics - No 9 and 10 are agronomic traits.
Observation on the agronomic traits, especially the heading date, found that Inpari 10, Fatmawati, and Ciherang flowered each at 100 days after sowing. Ciherang Taiwan, Manohara, and Sidenok Ciasem flowered at 102 days, OBS1703 at 105 days, Diah Suci at 107 days, and Sidenok Sukra at 115 days after sowing. Furthermore, Manohara, OBS1703, Sidenok Ciasem, Inpari 10, Fatmawati, Ciherang, and Ciherang Taiwan had a maturing day at 129 days after sowing; Diah Suci at 137 days, and Sidenok Sukra at 146 days. Thus, the heading date data could be used to distinguish the genotypes that could not be distinguished by the morphological traits, i.e. OBS1703 from Inpari 10, Ciherang, Manohara, Sidenok Ciasem, and Ciherang Taiwan. However, it could not distinguish Inpari 10 from Ciherang, and among Manohara, Sidenok Ciasem, and Ciherang Taiwan (Table 2). Furthermore, the heading date and maturing dates were affected by the environment, so that they varied among seasons and locations. Heading date and plant growth duration were longer than in normal condition, this might be due to 84
flood at vegetative stage and frequent heavy rain and cloudy weather during the plant growth. Differentiation of Rice Genotypes Based on SSR Markers Application of the 12 SSR markers linked with important agronomic traits was able to devide the nine rice genotypes into four groups (Figure 2). Result was in agreement with the results of clustering based on morphological traits, where Fatmawati and Diah Suci separated from other genotypes, each in a single genotype group. Additionally, SSR markers considered Inpari 10 stood by itself, separated from other groups. Sidenok Sukra together with the rest of the genotypes were clustered as one group. PIC value of the markers were considered very low, ranging from 0 to 0.37. with an average of 0.26. This indicated low variability among the 9 genotypes, with respect to the 12 SSR markers. There were 73 alleles developed ranging from 2 (RM10852) to 10 alleles (RM282) per marker, with an
SUSANTO ET AL.: DISTINGUISHING RICE GENOTYPE
Fatmawati Diah Suci
Sidenok Sukra Ciherang Taiwan
Inpari 10
Manohara
Sidenok Sukra
Ciherang
Ciherang Ciherang Taiwan
Inpari 10 OBS1703 Fatmawati
OBS1703 Manohara
Diah Suci Sidenok Kopkar
Sidenok Kopkar
Figure 2. Clustering eight rice genotypes based on 12 SSR markers, using the UPGMA method.
Figure 3. Clustering eight rice genotypes based on 384 SNP markers, using the UPGMA method.
average of 6.01 alleles per markers. The genotypes could be distinguished by the developed alleles.
genotypes. Mophological trait alone could not distinguish among OBS1703, Sidenok Ciasem, Ciherang Taiwan, Inpari 10, Manohara, and Ciherang. The agronomic traits, especially the heading date was slightly more powerful than the morphological traits, eventhough it might be affected by the environmental conditions. SSR markers based on 73 alleles could distinguish the 9 genotypes. The SNP markers in this case could not distinguish difference among Sidenok Sukra, Ciherang Taiwan, and Manohara. This indicated that the use of SSR markers were the most effective technique to distinguish rice genotypes among the techniques used. SSR markers could be used efficiently and effectively to distinguish, by carefully choosing the appropriate number of SSR markers applied. Application of SSR markers linked to genes controlling important traits could strongly increase its efficiency due to the possibility of identifying more alleles variability. However, it may not be practical due to its relatively low throughput characteristics. A set of 30 SSR was comparable to 111 SSR markers in distinguishing 40 rice genotypes (Ni et al. 2001). This present experiment was able to distinguish the differences among 9 genotypes by using only 12 markers. Increasing the number of markers would undoubtedly increase the power in distinguishing the difference among the genotypes. The use of SNP markers seemed to be more powerfull, because it gave a high throughput, efficient, and a robust method. However, the SNP markers used in this research were not designed to be linked to a certain gene/genes of traits, they were randomly located accross the rice genome. Application of gene-trait specific SNP markers would probably increase its power to distinguish the rice genotypes.
Differentiation of Rice Genotypes Based on SSR Markers The application of 384 SNP markers differentiated the 9 genotypes into three groups at 10% genetic distance as threshold (Figure 3). Sidenok Sukra, Ciherang Taiwan, Manohara, Ciherang, Inpari 10, and OBS1703 were in one group, Diah Suci and Sidenok Ciasem in another group, while Fatmawati stood alone as a separate group. There were 91 monomorphic markers out of 384 SNP markers. The SNP markers could not distinguish among Sidenok Sukra, Ciherang Taiwan, and Manohara. The average of PIC value of the 293 polymorphic markers was relatively low (0.248), which indicated the narrow genetic distance among the genotypes, which was in agreement with the SSR markers. The members of groups developed based on the SNP markers were less than those developed based on morphological and SSR markers. This was surprising, since the number of SNP markers used were more than the number of morphological traits and SSR markers. The SNP markers were located randomly accross the rice genome and were not necessarily linked to certain traits. Thus, they might not be related to either the morphological or agronomical traits of the plant. Therefore, it indicated that the use of gene-trait specific or SSR markers in the functional fragment of the genome was more powerful to distinguish rice genotypes. Morphological traits, SSR markers, and SNP markers indicated slightly difference in grouping and distinguishing
85
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Results of this research also indicated that molecular markers could be used to distinguish rice genotypes, including the most phenotypically similar genotypes. Nevertheless, SNP or other molecular markers could not determine the ancestors nor the sister lines. It could only differentiate among genotypes based on certain loci, and thus analyze genetic similarity and distance among genotypes. The research materials used in this study were rice genotypes existed on farmers’ fields. Some of the genotypes have the name of released varieties, but others had name of unknown origin, seed source and pedigree history (given name farmers). SSR markers was considered more powerful than the other two techniques. The technique could be used to protect the intelectual property right, through the protection of variety authenticity.
CONCLUSIONS 1. The use of SSR markers was most effective to distinguish rice genotypes as compared to the use of SNP markers, morphological traits, or agronomic traits. 2. Complete data from the morphological and agronomic traits, SSR test, and SNP test were useful to identify authenticity of a rice variety for the purpose of protecting the intellectual property right.
ACKNOWLEDGEMENT This research was funded through the national budget allocated to ICRR. Thanks to BATAN through the Indonesia Rice Consortium and Breeder Seed Production Unit of ICRR for provision of the Diah Suci and OBS1703 seeds used in this research. Great thanks is also addressed to Ir. Nani Yunani for characterizing the morphological traits based on the DUS test standard protocol, Mr. Meru for conducting the field trial, Akhmad Hidayatulllah for conducting SSR testing, and IRRI for running the SNP markers.
REFERENCES Alvarez, A., J.L. Fuentes, V.Puldón, P.J. Gómez, L. Mora, M.C. Duque, G. Gallego, and J.M. Tohme. 2007. Genetic diversity analysis of Cuban traditional rice (Oryza sativa L.) varieties based on microsatellite markers. Genet. Mol. Biol. 1117: 1109-1117. Behera, L., B.C. Patra, R.K. Sahu, A. Nanda, S.C. Sahu, A. Patnaik, and G.J.N. Rao. 2012. Assessment of genetic diversity in
86
medicinal rices using microsatellite markers. Austral. J. Crop. Sci. 6(9):1369-1376. Choudhury, P.R., S. Kohli, K. Srinivasan, T. Mohapatra, and R.P. Sharma. 2001. Identification and classification of aromatic rices based on DNA fingerprinting. Euphytica 118:243-251. Chuang, H.-yu, H.S. Lur, K.K. Hwu, and M.C. Chang. 2011. Authentication of domestic Taiwan rice varieties based on fingerprinting analysis of microsatellite DNA markers. Botanical Studies:393-405. Coburn, J.R., S.V. Temnykh, E.M. Paul, and S.R. McCouch. 2002. Design and application of microsatellite marker panels for semiautomated. Crop. Sci. 42:2092-2099. Fuentes, J.L., F. Escobar, A. Alvarez, G. Gallego, M. Cristina, M. Ferrer, J.E. Deus, and J.M. Tohme. 1999. Analyses of genetic diversity in Cuban rice varieties using isozyme , RAPD and AFLP Markers. Euphytica:107-115. Hashimoto, Z., N. Mori, M. Kawamura, T. Ishii, S. Yoshida, M. Ikegami, S. Takumi, and C. Nakamura. 2004. Genetic diversity and phylogeny of Japanese sake-brewing rice as revealed by AFLP and nuclear and chloroplast SSR markers. Theor. App. Gen. 109 (8): 1586-96. Jain, S., R.K. Jain, and S.R. McCouch. 2004. Genetic analysis of Indian aromatic and quality rice (Oryza sativa L.) germplasm using panels of fluorescently-labeled microsatellite markers. Theor. App. Gen. 109(5):965-77. Lapitan, V.C., D.S. Brar, T. Abe, and E.D. Redoña. 2007. Assessment of genetic diversity of Philippine rice cultivars carrying good quality traits using SSR markers. Breed. Sci. 57(4): 263-270. Li, R., T.B. Jiang, C.G. Xu, X.H. Li, and X.K. Wang. 2000. Relationship between morphological and genetic differentiation in rice (Oryza sativa L.). Euphytica (1996):1-8. Liu, K. and S.V. Muse. 2005. Power marker:integrated analysis environment for genetic marker data. Bioinformatics 21:21282129. McCouch, S.R., L. Teytelman, Y. Xu, K.B. Lobos, K. Clare, M. Walton, and B. Fu. 2002. Development and mapping of 2240 new SSR markers for rice (Oryza sativa L.) (supplement). DNA Res. 9(6):257-79. McNally, K.L., K.L. Childs, R. Bohnert, R.M. Davidson, K. Zhao, V.J. Ulat, G. Zeller. 2009. Genomewide SNP variation reveals relationships among landraces and modern varieties of rice. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 106(30):12273-8. Murray, M.G. and W.F. Thompson. 1980. Rapid isolation of high molecular weight DNA. Nucleic Acids Res. 8:4321-4325. Nei, M. 1987. Molecular evolutionary genetics. Columbia University Press, New York. Ni, J., P.M. Colowit, D.J. Mackill, and U. Ros. 2001. Evaluation of genetic diversity in rice subspecies using microsatellite markers. Crop.Sci. 42:601-607. PPVT [Pusat Perlindungan Varietas Tanaman, Center for Plant Variety Protection]. 2006. Guidelines for the conduct of test for distinctness, homogenity, and stability: Rice. PPVT. Jakarta. 22 pp. Raghavan, C., Ma. B.N. Elizabeth, H. Wang, G. Atienza, B. Liu, F. Qiu, K.L. McNally, and H. Leung. 2006. Rapid method for detecting SNPs on agarose gels and its application in candidate gene mapping. Mol. Breed. 19(2):87-101. Rahman, M., S.L. Rahman, Plant Genetic, and Resources Centre. 2009. DNA fingerprinting of rice (Oryza sativa L.) cultivars using microsatellite markers. Austral. J. Crop Sci. 3 (3):122128.
SUSANTO ET AL.: DISTINGUISHING RICE GENOTYPE
Ravi, M., S. Geethanjali, F. Sameeyafarheen, and M. Maheswaran. 2003. Molecular marker based genetic diversity analysis in rice (Oryza sativa L.) using RAPD and SSR markers Euphytica 133:243-252. Rohlf, F.J. 2000. NTSysPC numerical taxonomy and multivariate analysis system ver 2.1. user guide. Applied Biostatistic Inc. New York. Sasaki, T., T. Matsumoto, B.A. Antonio, and Y. Nagamura. 2005. From mapping to sequencing, post-sequencing and beyond. Plant Cell Physiol. 46(1):3-13. Song, Z.P., X. Xu, B. Wang, J.K. Chen, and B.R. Lu. 2003. Genetic diversity in the northernmost Oryza rufipogon populations estimated by SSR markers. Theor. Appl. Genet. 107(8):14929. Sun, C.Q., X.K. Wang, Z.C. Li, A. Yoshimura, and N. Iwata. 2001. Comparison of the genetic diversity of common wild rice (Oryza rufipogon Griff.) and cultivated rice (O. sativa L.) using RFLP markers. Theor. Appl. Genet. 102(1):157-162. Takatsu, K., T. Yokomaku, S. Kurata, and T. Kanagawa. 2004. A FRET-based analysis of SNPs without fluorescent probes. Nucl. Acids Res. 32(19): 156.
Thomson, M.J., E.M. Septiningsih, F. Suwardjo, T.J. Santoso, T.S. Silitonga, and S.R. McCouch. 2007. Genetic diversity analysis of traditional and improved Indonesian rice (Oryza sativa L.) germplasm using microsatellite markers. Theor. Appl. Genet. 114(3):559-68. Thomson, M.J., K. Zhao, M. Wright, K.L. Mcnally, J. Rey, C.W. Tung, and A.R. Brian. 2012. High-throughput single nucleotide polymorphism genotyping for breeding applications in rice using the bead Xpress platform: 875-886. Virk, P.S., J. Zhu, H.J. Newbur y, G.J. Bryan, M.T. Jackson, B. Birmingham, and John Innes Centre. 2000. Effectiveness of different classes of molecular marker for classifying and revealing variation in rice (Oryza sativa) germplasm. Euphytica 112:275-284. Yu, S.B., W.J. Xu, C.H.M. Vijayakumar, J. Ali, B.Y. Fu, J.L. Xu, and Y.Z. Jiang. 2003. Molecular diversity and multilocus organization of the parental lines used in the international rice molecular breeding program. Theor. Appl. Genet. 108:131-40. Zhu, Y., G. Qin, J. Hu, Y. Wang, J. Wang, and S. Zhu. 2012. Fingerprinting and variety identification of rice (Oryza sativa L.) based on simple sequence repeat markers. Plant Omics J. 5(4):421-426.
87
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
88
ADNAN ET AL.: IDENTIFIKASI VARIETAS PADI MENGGUNAKAN CITRA DIGITAL
Identifikasi Varietas Padi Menggunakan Pengolahan Citra Digital dan Analisis Diskriminan Identification of Rice Variety using Image Processing and Discriminant Analyses Adnan1, Mira Landep Widiastuti2, dan Sri Wahyuni2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Jl. Pembangunan-Pertanian, Jati-jati, Merauke, Papua E-mail:
[email protected],
[email protected] 2 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang 41256
Naskah diterima 19 Juni 2014 dan disetujui diterbitkan 15 Januari 2015
ABSTRACT. Identification of the authenticity of variety is important in order to ensure the purly of rice variety. Variety identification based on visual traits is a common technique, but it is difficult to be applied when ones encounter almost similar varieties. An alternative technique is using the image processing analysis combined with the discriminant analysis. The research objectives were: (1) to develop the geometrical, shape and textural description of rice varieties (Ciherang, Inpari 10 and Inpari 13) generated based on the image process properties, (2) to determine selective geometry, shape and texture variables, and (3) to identify rice variety using discriminant analysis. Digital image of rice grains was captured by a scanner, then was quantified by image process application in order to generate geometry, shape and texture data. Discriminant model was built using 5 of 17 input variables that have strong discriminant power. Discriminant model represented 85.9% of the data variability. The model accuracy based on the cross validation method for Ciherang, Inpari 10 dan Inpari 13 varieties was 53.6%, 52.8% dan 76.0%, respectively. Image process technology and discriminant analysis has a potential as a technique for identifying rice variety based on the seed physical criteria. Further works need to be done in order to increase the accuracy of the model. Keywords: Geometry analysis, shape descriptor, texture analysis, discriminant analysis, identification of variety. ABSTRAK. Identifikasi varietas padi penting untuk membantu perakitan dan pemurnian varietas. Identifikasi varietas umumnya dilakukan berdasarkan deskripsi varietas secara visual, namun teknik tersebut sulit dilakukan untuk mengenali varietas yang mempunyai morfologi benih serupa. Alternatif teknik lain untuk identifikasi varietas adalah menggunakan teknologi citra digital dikombinasikan dengan analisis diskriminan. Tujuan penelitian adalah: (1) menghasilkan deskripsi geometri, bentuk dan tekstur benih varietas Ciherang, Inpari 10 dan Inpari 13 berdasarkan teknologi citra digital, (2) menentukan parameter terpilih yang digunakan sebagai dasar untuk identifikasi varietas, dan (3) mengidentifikasi morfologi benih varietas padi menggunakan analisis diskriminan. Citra digital diambil menggunakan scanner. Citra yang dihasilkan dikuantifikasi menggunakan aplikasi citra digital untuk mendapatkan parameter geometri, analisis bentuk, dan tekstur. Model diskriminan dibangun berdasarkan 5 dari 17 parameter masukan dengan diskriminan power kuat. Model diskriminan yang dihasilkan mewakili 85,4% keragaman data. Tingkat akurasi model berdasarkan validasi
silang untuk varietas Ciherang, Inpari 10, dan Inpari 13 berturutturut adalah 53,6%, 52,8% dan 76,0%. Teknologi citra digital dan analisis diskriminan berpotensi digunakan untuk identifikasi varietas padi berdasarkan ciri fisik benih, namun diperlukan eksplorasi lebih lanjut untuk meningkatkan akurasi model. Kata kunci: Analisis geometri, analisis bentuk, analisis tekstur, analisis diskriminan, identifikasi varietas.
PENDAHULUAN Beras merupakan makanan pokok di Indonesia. Produksi beras secara berkesinambungan merupakan suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjaga kestabilan kondisi sosial dan ekonomi. Dalam hal ini diperlukan perakitan varietas unggul baru berdaya hasil tinggi dan penerapan inovasi teknologi budidaya dan pascapanen yang tepat untuk menghasilkan produksi yang tinggi (Ikhwani dan Makarim 2012). Perakitan varietas padi harus dilakukan terus-menerus untuk menghadapi perubahan iklim dan penyakit tanaman yang berkembang secara dinamis (Yamin et al. 2012, Ladja 2013). Hasil rakitan varietas perlu selalu dijaga kemurnian genetiknya untuk mendapatkan hasil maksimal, sesuai dengan deskripsi varietas tersebut (Sitaresmi et al. 2013). Identifikasi varietas padi pada saat perakitan diperlukan untuk membedakan galur yang dihasilkan dengan varietas yang telah ada. Beberapa teknik berpotensi digunakan untuk identifikasi varietas padi. Marka SSR spesifik dapat digunakan untuk membedakan tetua padi hibrida, varietas padi berbeda atau campuran varietas lain bahkan pada benih yang tertular penyakit. Identifikasi morfologi antarindividu di lapang sulit dilakukan untuk dapat mengenali perbedaan tersebut sebagai pembanding dari SSR. Kekurangan 89
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
metode SSR adalah relatif mahal untuk diterapkan dalam pengujian rutin (Mulsanti et al. 2013). Metode lain yang umum diterapkan untuk identifikasi varietas padi adalah berdasarkan karakter penciri spesifik atau disebut uji BUSS (Baru, Unik, Seragam, Stabil). Penentuan karakter penciri spesifik dipilih berdasarkan daya waris yang tinggi, mudah diamati secara visual, dan karakter terekspresi berdasarkan distribusi normal (Sitaresmi et al. 2013). Sebagian karakter penciri bersifat kualitatif sehingga terbuka kemungkinan perbedaan penilaian secara subjektif. Identifikasi varietas bisa dilakukan dengan cara mendeskripsikan morfologi benih. Morfologi benih seperti panjang, lebar, rasio panjang dan lebar benih serta warna endosperm diturunkan secara genetik. Evaluasi keragaman genetik berdasarkan morfologi benih penting dilakukan sebagai syarat dasar untuk merakit varietas sesuai kebutuhan pengguna (Daradjat and Rumanti 2002, Koutroubas et al. 2004). Selain untuk keperluan identifikasi varietas, data morfologi juga penting untuk perakitan peralatan penyimpanan, penanganan dan pengolahan benih padi (Varnamkhasti et al. 2007). Identifikasi padi berdasarkan morfologi seperti ukuran gabah biasanya dilakukan secara manual menggunakan caliper (Thind and Sogi 2005, Singh et al. 2005). Teknik manual seperti ini memerlukan banyak waktu dan tidak efisien. Identifikasi varietas juga bisa dilakukan secara kimia dengan mengukur kandungan bahan organik benih seperti protein. Kelemahan penggunaan analisis kimia adalah relatif mahal serta memerlukan keahlian dan peralatan yang menunjang (Thind and Sogi 2005, Singh et al. 2005). Teknik lain yang dianggap akurat untuk menguji kemurnian benih adalah menggunakan metode cek plot. Benih yang diuji ditanam kembali, kemudian dibandingkan karakter penciri tanaman dengan benih varietas otentik (Daradjat et al. 2006). Namun cek plot membutuhkan waktu dan pengamatan yang tidak sederhana. Teknik identifikasi varietas yang murah, cepat, dan tidak menggunakan peralatan spesifik perlu dikembangkan untuk membantu identifikasi kemurnian benih dengan tingkat akurasi yang dapat diandalkan. Salah satu teknik alternatif untuk membedakan varietas padi adalah menggunakan teknologi citra digital. Teknologi citra digital memanfaatkan data yang terdapat pada citra dua dimensi. Satuan terkecil dari citra digital berupa piksel mengandung informasi digital yang bisa diekstrak menggunakan aplikasi citra digital. Informasi digital tersebut berupa data RGB (Red, Green, Blue), bisa dieksploitasi untuk mendapatkan fitur-fitur citra digital yang dibutuhkan. Data RGB berupa nilai merah, biru dan hijau dengan skala 0-255 yang merupakan sistem dasar setiap piksel citra digital. Data RGB kemudian 90
dimanipulasi dengan perhitungan matematika dan statistik untuk mendapatkan parameter-parameter lain seperti geometri, bentuk dan tekstur benih padi. Penelitian Liu et al. (2005a) memanfaatkan citra digital untuk identifikasi padi, menggunakan gabah dari lima varietas berbeda dan waktu panen berbeda. Model dibangun menggunakan 50 parameter masukan yang menghasilkan validasi rata-rata 91,8%. Selanjutnya Liu et al. (2005b) mengindentifikasi benih enam varietas padi dengan memanfaatkan metode jaringan syaraf tiruan (JST) dengan kisaran akurasi 74-95%. Pada penelitian sebelumnya, Adnan et al. (2013) mengidentifikasi beras varietas Basmati, Inpari 1, dan Sintanur menggunakan teknologi citra digital dan JST dengan tingkat akurasi mencapai 100%. Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian yang dilakukan dalam rangka mengeksplorasi pemanfaatan teknologi citra digital untuk identifikasi varietas padi. Alasan pemilihan benih varietas Ciherang, Inpari 10, dan Inpari 13 adalah bentuk benih serupa sehingga pengamat sulit membedakan ketiga varietas tersebut secara visual menggunakan mata. Tujuan penelitian adalah: (1) menghasilkan deskripsi geometri, bentuk dan tekstur benih varietas Ciherang, Inpari 10 dan Inpari 13 berdasarkan teknologi citra digital, (2) menentukan parameter terpilih yang digunakan sebagai dasar untuk identifikasi varietas, dan (3) mengidentifikasi varietas beras menggunakan analisis diskriminan.
BAHAN DAN METODE Materi penelitian adalah benih padi varietas Ciherang, Inpari 10, dan Inpari 13. Jumlah sampel yang diuji dalam setiap pengambilan gambar adalah 125 butir. Sampel diambil secara acak dari lot benih produksi UPBS Balai Besar Penelitian Tanaman Padi pada musim tanam I tahun 2013 di Kebun Percobaan Sukamandi. Benih tersebut merupakan benih penjenis (BS) yang diproduksi dengan metode baku untuk menjamin keaslian dan kemurnian varietas (BSN 2000) dengan menerapkan sistem manajemen mutu berbasis ISO 9001: 2008, dan diawasi oleh penyelenggara pemulia tanaman. Benih dalam kondisi bebas dari hama dan penyakit padi. Pengambilan Citra Citra benih padi diambil menggunakan scanner HP seri C3100 dengan resolusi 600 mdpi. Satu citra berisi 25 benih padi (Gambar 1). Berkas citra berwarna disimpan dalam bentuk JPEG. Kain hitam digunakan sebagai latar belakang citra untuk memudahkan pemisahan objek dengan latar belakang pada tahap binerasi (Gambar 2).
ADNAN ET AL.: IDENTIFIKASI VARIETAS PADI MENGGUNAKAN CITRA DIGITAL
Penutup scanner digunakan saat pengambilan citra agar citra tidak dipengaruhi oleh sumber cahaya dari sumber lain. Analisis Citra Citra disimpan dan dianalisis menggunakan aplikasi ImageJ V1.47q (Schneider et al. 2012). Ekstrak data citra melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah proses pengurangan gangguan pada citra atau noise menggunakan filter mean. Filter mean yang digunakan berjarak 2 piksel sehingga mempunyai matriks berukuran 3 x 3. Cara kerja filter mean diilustrasikan pada Gambar 3. Citra digital mempunyai satuan terkecil yang disebut piksel yang mengandung informasi dasar berupa data nilai merah (R), hijau (G), dan biru (B).Setiap piksel penyusun citra digital merupakan piksel tetangga dari piksel lainnya, diilustrasikan dengan piksel xiyj. Pada piksel x2y2 yang diterapkan filter mean, setiap nilai RGB
piksel pada matriks berukuran 3 x 3 dijumlahkan kemudian dibagi sembilan. Informasi piksel baru yang didapat kemudian disimpan kembali pada piksel asal x2y2. Proses tersebut dilakukan terhadap keseluruhan piksel pada citra. Penerapan filter mean dapat mereduksi ketajaman citra sebagai salah satu efek pengurangan noise, sehingga perlu dipilih filter yang sesuai untuk tipe noise yang berbeda (Gambar 4). Tahap berikutnya adalah analisis geometri dan analisis bentuk benih padi. Parameter geometri padi yang diekstrak dari citra digital adalah: a. area, b. perimeter, c. feret maksimum, d. feret angle. e. feret minimum, sedangkan parameter analisis bentuk adalah: a. circular, b. AR, c. round, d. solidity. Citra berwarna diubah menjadi citra biner dengan nilai threshold 75. Rentang nilai citra biner berada pada angka 0-255. Nilai 0 menunjukkan warna hitam. Metode threshold digunakan untuk memisahkan latar belakang
Gambar 1. Hasil citra menggunakan scanner.
Gambar 2. Citra Biner.
A Gambar 3. Filter mean dengan ukuran matriks 3 x 3.
B
Gambar 4. Citra asli (A) dan citra setelah proses filter mean (B).
91
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
dengan objek. Setiap piksel dengan nilai ≤75 diubah menjadi 0 yang berarti warna hitam sebagai latar belakang. Piksel dengan nilai >75 diubah menjadi 1 yang berarti berwarna putih sebagai objek. Jumlah piksel yang berada di antara piksel bernilai 0 dan 1 disebut piksel perbatasan menjadi nilai perimeter (P). Nilai perimeter merupakan jumlah piksel di sekeliling objek. Jumlah seluruh piksel berwarna putih atau bernilai 1 yang berada dalam perimeter merupakan area (A). Feret maksimum merupakan jarak titik terjauh dari objek sekaligus merupakan panjang objek (L), sedangkan feret minimum merupakan diameter objek (W). Perbedaan sudut antara feret maksimum dan feret minimum dihitung sebagai feret angle dengan kisaran nilai 0-180° (Gambar 2). Nilai-nilai tersebut kemudian digunakan untuk mendapatkan deskripsi bentuk. Circularity mengindikasikan bentuk lingkaran sempurna jika mempunyai nilai 1 dan bentuknya makin memanjang jika mendekati 0 (persamaan 1). Aspect ratio (AR) merupakan perbandingan panjang dan diameter objek (persamaan 2). Roundness merupakan invers dari Circularity yang mengindikasikan bentuk elips dari objek (persamaan 3). Solidity adalah konsep kemulusan permukaan objek (persamaan 4). Solidity merupakan jumlah piksel objek dibagi dengan jumlah piksel yang berada dalam garis imaginer convex. Convex merupakan garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari objek (Gambar 5). Solidity mendekati nilai 1 jika permukaan objek rata atau mulus.
Solidity =
................................................. (4)
Tahap selanjutnya adalah analisis tekstur. Perbedaan permukaan benih padi seperti terdapat perbedaan warna antara bagian benih, atau terdapat morfologi yang berbeda seperti ukuran palea-lemma dan terdapat bulu, membentuk pola tertentu secara citra dua dimensi. Parameter analisis tekstur adalah: a) Angular Second Moment (ASM), b) contrast, c) correlation, d) Inverse Difference Moment (IDM), e) entropy, dan f) mean. Parameter tersebut didapatkan dengan cara mengubah citra berwarna menjadi citra skala abu-abu dengan cara menjumlahkan nilai RGB setiap piksel kemudian dibagi tiga (persamaan 5). Jumlah keseluruhan nilai abu-abu dibagi rata untuk memperoleh nilai mean. R+G+B Gray = ...........................................................(5) 3 Matriks co-occurance dibentuk setelah didapat skala abu-abu dengan jarak 2 piksel dan sudut 0°. Parameter analisis tekstur dibentuk dari matrik co-occurrance dengan penjelasan lebih detil pada Haralick et al.(1973). ASM merupakan ukuran keseragaman piksel, entropy mengukur ketidakberaturan atau keteracakan citra dan mengindikasikan kompleksitas dalam citra, contrast mengukur variasi lokal piksel. IDM merupakan invers dari contrast yang mengukur keseragaman piksel, sedangkan correlation menunjukkan hubungan linear antara piksel.
....................................................... (1)
Circularity =
Analsisis Diskriminan Aspect Ratio (AR) = Roundness =
............................................... (2)
....................................................... (3)
Setelah diperoleh data parameter geometri, bentuk dan tekstur benih padi sebanyak 17 parameter, diolah secara statistik menggunakan aplikasi R paket DiscriMiner dan ggplot2. Tahap pertama, data diolah menggunakan metode diskriman power untuk mendapatkan parameter berkorelasi kuat terhadap hasil analisis determinan. Parameter berkorelasi kuat yang terpilih pada metode tersebut digunakan pada tahap analisis diskriminan dengan melakukan validasi silang untuk menguji keakuratan model. Penjelasan lebih lanjut mengenai analisis diskriminan telah dijelaskan oleh Jin dan An (2011). Selanjutnya, hasil deskripsi analisis diskriminan diplotkan pada grafik untuk memudahkan analisis secara visual.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 5. Garis imaginer convex.
92
Hasil analisis menggunakan diskriminan power untuk mengetahui parameter yang berkorelasi terhadap model analisis diskriminan ditampilkan pada Tabel 1. Nilai
ADNAN ET AL.: IDENTIFIKASI VARIETAS PADI MENGGUNAKAN CITRA DIGITAL
korelasi menjelaskan hubungan parameter masukan dengan varietas. Semakin tinggi nilai korelasi menunjukkan parameter tersebut berhubungan erat dengan varietas, vise versa. Parameter area, perimeter, feret minimum, AR, dan round mempunyai nilai korelasi lebih besar dari 10%, menunjukkan parameter tersebut berpotensi untuk mendeskripsikan varietas. Semakin kecil nilai Wilks Lambda semakin besar perbedaan antara varietas, vise versa. Wilks Lambda merupakan sebaran peluang untuk data multivariat. Parameter area, perimeter, feret minimum, AR, dan round memiliki nilai Wilks Tabel 1. Diskriminan power. Parameter Area Mean Perimeter Circulation Feret maksimum Feret angle Feret minimum AR Round Solidity ASM Contrast Correlation IDM Entropy
Korelasi
Wilks Lambda
F Value
p Value
0,1424 0,0433 0,1573 0,0338 0,0611 0,0096 0,2134 0,1245 0,1289 0,0971 0,0021 0,0485 0,0049 0,0094 0,0155
0,8576 0,9567 0,8427 0,9662 0,9389 0,9904 0,7866 0,8755 0,8711 0,9029 0,9979 0,9515 0,9951 0,9906 0,9845
30,87 8,41 34,71 6,51 12,11 1,80 50,47 26,46 27,51 19,99 0,40 9,47 0,92 1,76 2,94
≤ 0,001 ≤ 0,001 ≤ 0,001 0,002 ≤ 0,001 0,167 ≤ 0,001 ≤ 0,001 ≤ 0,001 ≤ 0,001 0,673 ≤ 0,001 0,399 0,173 0,054
Lambda di bawah 90%. Artinya faktor tersebut berpotensi digunakan sebagai pembeda pada analisis diskriminan. Hasil perhitungan nilai korelasi dan Wilks Lambda didukung oleh data p value dengan nilai peluang ≤ 1%. Beberapa parameter lain walau memiliki p value yang signifikan tetapi tidak didukung oleh nilai korelasi dan Wilks Lambda, sehingga tidak dipertimbangkan sebagai parameter masukan untuk analisis diskriminan selanjutnya. Parameter geometri yaitu area, perimeter, dan feret minimum serta parameter bentuk yaitu AR dan round dipilih sebagai parameter masukan, sedangkan parameter analisis tekstur tidak ada yang terpilih sebagai parameter masukan. Gambar 6 mengilustrasikan sebaran data parameter terpilih menggunakan metode boxplot. Jumlah parameter yang digunakan pada analisis diskriminan direduksi menjadi lima faktor, berkurang dari 17 parameter yang diperoleh pada analisis citra digital (Tabel 1). Parameter lain untuk deskripsi varietas masih perlu dieksplorasi lebih lanjut agar menghasilkan nilai korelasi lebih tinggi. Korelasi hasil penelitian ini termasuk rendah dengan nilai <22%. Pemilihan parameter yang digunakan sebagai faktor pembeda mempengaruhi tingkat akurasi model. Liu et al. (2005a) membangun lima model berbeda dari 10-60 jumlah parameter pada uji prediksi lima varietas padi. Model tersebut dibangun dari parameter-parameter warna dan morfologi berdasarkan citra digital dan dianalisis menggunakan backpropagation neural
Gambar 6. Sebaran data parameter masukan untuk analisis diskriminan.
93
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
network. Hasil yang diperoleh menunjukkan model dengan 20 parameter menghasilkan akurasi 91,8%. Hal ini dianggap terbaik karena menggunakan parameter yang lebih sedikit dan memiliki hasil pendugaan varietas yang lebih stabil, walaupun pada model lain terdapat tingkat akurasi yang lebih tinggi tetapi menggunakan parameter lebih banyak, sehingga relatif lebih tidak stabil untuk menduga varietas padi. Eugen value dari analisis diskriminan berdasarkan metode validasi silang ditampilkan pada Tabel 2. Nilai tersebut menunjukkan besarnya keragaman data yang diwakili oleh model diskriminan yang dihasilkan. Nilai DF1 yang digunakan sebagai faktor pembentuk model mewakili 85,39%. Nilai DF1 tersebut diharapkan mendekati 100% agar model diskriminan yang dibangun bisa menghasilkan prediksi lebih akurat karena mayoritas data bisa terwakili oleh persamaan diskriminan yang dihasilkan. Sebaran data hasil pegujian validasi silang ditampilkan pada Gambar 7 dan Gambar 8. Validasi silang merupakan teknik untuk menguji keakuratan data dengan cara mengeluarkan titik data yang diuji dari persamaan, lalu persamaan tersebut diuji pada titik data tersebut. Pengujian ini dilakukan pada setiap titik data. Gambar 7 merupakan eksploratory data analysis (EDA) plot yang mengilustrasikan pengelompokan data Tabel 2. Eugen value. Faktor
Nilai
Proporsi (%)
DF1 DF2
0,59 0,10
85,39 14,61
Akumulasi (%) 85,39 100,00
Gambar 7. Eksploratory data analysis (EDA) plot untuk varietas.
94
varietas, sedangkan Gambar 8 mengilustrasikan parameter berpengaruh terhadap pengelompokan varietas. Jika Gambar 7 dan 8 digabung maka letak titik parameter pada kuadran di Gambar 8 berhubungan dengan faktor yang dapat menjelaskan deskripsi varietas pada Gambar 7. Parameter AR berada pada kuadran yang sama dengan titik dominan varietas Inpari 13, parameter round dan Feret minimum dominan untuk varietas Ciherang, sedangkan parameter area dan perimeter dominan untuk varietas Inpari 10. Gambar 7 dan 8 menarik untuk dicermati karena faktor parameter dominan berhubungan erat dengan nilai tertinggi varietas pada setiap parameter. Parameter AR mempunyai nilai tertinggi pada Inpari 13. Perbandingan panjang dan diameter inpari 13 lebih besar sehingga Inpari 13 relatif lebih berbentuk elips daripada varietas lainnya. Varietas Ciherang mempunyai round dan minimum feret atau diameter terbesar yang menyebabkan relatif lebih bulat daripada varietas lainnya. Varietas Inpari 10 memiliki area dan perimeter terbesar, yang menunjukkan ukurannya lebih besar dibandingkan dengan varietas lainnya. Setelah parameter dengan korelasi kuat dipilih, parameter tersebut menjadi masukan penyusun model diskriminan. Model diskriminan yang dihasilkan berdasarkan parameter masukan terpilih adalah adalah D = -18,2445–0,0022*area + 0,062901*perimeter + 0,404025*feret minimum –3,03892*AR–22,0654*round. Makin besar koefisien parameter makin besar pengaruh parameter tersebut terhadap persamaan. Parameter round memiliki koefisien yang cukup besar dibandingkan parameter lain, sehingga round merupakan faktor paling berpengaruh terhadap model diskriminan.
Gambar 8. Eksploratory data analysis (EDA) plot untuk parameter.
ADNAN ET AL.: IDENTIFIKASI VARIETAS PADI MENGGUNAKAN CITRA DIGITAL
Keakuratan pengujian model diskriminan ditampilkan confusion matrix pada Tabel 3. Tingkat akurasi pengenalan varietas padi menggunakan analisis diskriminan dengan validasi silang berkisar antara 52,8-76,0%. Tingkat akurasi pengenalan varietas tertinggi terdapat pada Inpari 13. Tingkat akurasi yang diperoleh pada penelitian ini secara umum lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Liu et al. (2005a) dengan ketepatan 91,8% mengenali lima varietas padi. Perbedaan bentuk gabah varietas padi yang digunakan Liu et al. (2005 a) sebagai sampel menyebabkan tingkat akurasi pengenalan tinggi menggunakan teknologi citra digital. Penelitian serupa oleh Camelo-Méndez et al. (2012) mengidentifikasi sembilan varietas padi di Meksiko berdasarkan warna dan bentuk benih. Data parameter didapat berdasarkan citra digital, diolah menggunakan Principal Componen Analysis (PCA), yang menunjukkan beberapa varietas padi memiliki kemiripan ciri sehingga dikelompokkan dalam satu klaster varietas. Varietas berbeda dalam satu klaster yang sama sulit dibedakan sehingga pengenalan dilakukan berdasarkan karakter ukuran yaitu panjang dan pendek, serta karakter bentuk yaitu besar, sedang dan kecil. Data lain yang diperoleh pada penelitian ini adalah bentuk benih. Teknologi citra digital mempermudah mendapatkan data bentuk gabah seperti panjang, lebar serta rasio panjang dan lebar gabah (Hobson et al. 2007). Selain itu, deskripsi gabah seperti panjang, lonjong atau bulat bisa dikuantifikasi berdasarkan analisis bentuk. Kemudahan mendapatkan data gabah bisa dimanfaatkan ketika mendeskripsikan suatu varietas secara lebih cepat dan akurat. Pengambilan data secara manual menggunakan caliper untuk menghitung panjang dan lebar benih membutuhkan waktu yang lebih lama dan kemungkinan terjadinya kesalahan lebih besar. Analisis tekstur tidak termasuk dalam parameter yang terpilih sebagai masukan dalam model pada penelitian ini. Faktor penyebab analisis tekstur tidak berpengaruh terhadap analisis diskriminan, di antaranya karena masalah ketajaman citra hasil scanner, metode pengurangan noise, dan metode pengambilan data tekstur. Fitur teknologi citra digital lain seperti analisis warna juga perlu dieksplor lebih lanjut untuk mendapatkan parameter dengan pengaruh yang lebih kuat terhadap uji diskriminan. Tabel 3. Confusion matrix tahap validasi. Prediksi Confusion
Aktual
Ciherang Inpari10 Inpari13
Ciherang
Inpari10
Inpari13
67(53,6%) 33 18
39 68(52,8%) 12
19 24 95(76,0%)
Tingkat akurasi moderat menggunakan teknologi citra digital dan analisis diskriminan untuk mengenali varietas padi serupa secara penampakan visual menunjukkan teknologi tersebut berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Penelitian masih dalam tahap awal pengembangan. Teknik untuk mendapatkan citra yang lebih baik diperlukan karena perbedaan ketajaman citra yang dihasilkan bisa mempengaruhi hasil identifikasi. Teknik pengambilan citra pada penelitian ini berbeda dari penelitian Adnan et al. (2013) mengenai identifikasi varietas beras, menggunakan web camera dengan pengaturan kondisi pencahayaan pada kotak penangkap citra. Pada penelitian ini diujicoba penggunaan scanner sebagai penangkap citra. Penggunaan scanner bertujuan agar teknik tersebut bisa direplikasi dengan harga relatif murah dan tidak banyak membutuhkan persyaratan teknis. Scanner yang digunakan mudah didapat dan tersedia secara komersial. Teknik identifikasi padi secara cepat, akurat, dan murah berdasarkan penciri benih spesifik perlu terus dikembangkan untuk menjawab tantangan identifikasi varietas padi serupa. Beberapa varietas padi yang dilepas dalam beberapa tahun terakhir mempunyai ciri gabah yang relatif serupa. Kondisi tersebut menyulitkan pada saat identifikasi benih varietas lain pada lot benih uji di laboratorium untuk keperluan sertifikasi kemurnian benih. Tantangannya adalah bentuk benih pada pangkal malai bisa berbeda dengan ujung malai pada varietas yang sama (Mulsanti et al. 2013). Faktor lingkungan juga bisa mempengaruhi perbedaan fisik benih (Daradjat et al. 2006). Pada pengambilan sampel sebelumnya pada penelitian pendahuluan, ciri fisik benih berbeda dari varietas acuan karena tanaman tertular penyakit yang menyebabkan fase pengisian benih terlambat sehingga sulit diidentifikasi. Peluang terjadinya kesalahan identifikasi padi sebagai varietas lain cukup besar karena terjadi variabilitas fenotipik, yaitu variasi di antara fenotipik tanaman apabila ditanam pada lingkungan tertentu. Variabilitas dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan. Interaksi genetik dan lingkungan menyebabkan perbedaan konsistensi gel, panjang gabah, dan kandungan amilosa. Hasil penelitian lain menunjukkan seleksi genetik perlu dilakukan pada lingkungan tertentu untuk memaksimalkan kualitas varietas yang dihasilkan (Cao et al. 2001, Kibanda and Luzi-Kihupi 2010, Suwarto 2010). Kesulitan membedakan bentuk fisik varietas padi serupa masih merupakan tantangan dan bisa menimbulkan masalah pada saat pengujian kemurnian varietas secara visual. Meskipun demikian, berdasarkan pemaparan sebelumnya, penggunaan teknologi citra
95
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
digital dapat membantu pengenalan varietas secara lebih akurat dibandingkan dengan mengandalkan pengamatan visual. Tingkat akurasi pengenalan berdasarkan citra digital perlu ditingkatkan lagi sampai mendekati 100%. Pengenalan varietas dengan ciri fisik yang cenderung berbeda bisa dengan mudah dikenali oleh teknologi citra digital (Adnan et al. 2013, Liu et al. 2005a; Sakai et al. 1996). Penelitian tahap berikutnya diperlukan untuk mendapatkan parameter-parameter uji yang stabil digunakan sebagai dasar pemodelan, identifikasi varietas-varietas padi, dan teknik pemodelan lain yang bisa memberikan tingkat akurasi yang baik.
KESIMPULAN Dari 17 parameter geometri, analisis bentuk dan analisis tekstur benih terpilih lima parameter dengan deskriminan power relatif kuat untuk membangun model diskriminan analisis dengan metode validasi silang untuk menguji keakuratan. Model diskriminan yang dihasilkan mewakili 85,4% keragaman data dengan tingkat akurasi identifikasi varietas Ciherang, Inpari 10, dan Inpari 13 berturut-turut 53,6%, 52,8%, dan 76,0%. Pengunaan teknologi citra digital dan analisis diskriminan berpotensi dikembangkan untuk identifikasi benih varietas padi dengan morfologi serupa. Untuk meningkatkan akurasi model diperlukan eksplorasi lebih lanjut dari parameter pengolahan citra digital lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Adnan, B. Kusbiantoro, dan Suhartini. 2013. Identifikasi varietas berdasarkan warna dan tekstur permukaan beras menggunakan pengolahan citrad dan jaringan syaraf tiruan. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 32(2): 91-96. Badan Standarisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia (SNI) Benih Padi Kelas Benih Penjenis. SNI 01-6233-2000. 6p. Camelo-Méndez, G.A., B.H. Camacho-Díaz, A.A. del Villar-Martínez, M.L. Arenas-Ocampo, L.A. Bello-Pérez, dan A.R. JiménezAparicio. 2012. Digital image analysis of diverse Mexican rice cultivars. Journal of the Science of Food and Agriculture 92: 2709-2714. Cao, G., J. Zhu, C. He, Y. Gao, J. Yan, and P. Wu. 2001. Impact of epistasis and QTLxenvironment interaction on the developmental behavior of plant height in rice (Oryza sativa L.). Theoretical and Applied Genetics 103: 153-160. Daradjat, A.A., S. Wahyuni, dan Nafisah. 2006. Interaksi genotipe x lingkungan dan analisis keterulangan karakter ukuran gabah varietas unggul padi. Risalah Seminar 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor, p.67-79.
96
Daradjat, A.A. dan I.A. Rumanti. 2002. Pola pewarisan sifat ukuran dan bentuk biji padi sawah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 21(2): 1-4. Haralick. R.M., K. Shanmugam, and I. Dinstein. 1973. Textural features for image classification. IEEE Trans SMC 3. 610-621. Hobson, D.M., R.M. Carter, and Y. Yan. 2007. Characterisation and identification of rice grains through digital image analysis. Instrumentation and Measurement. Technology Conference – IMTC 2007. Warsaw, Poland, May 1-3, 2007. Ikhwani, dan A.K. Makarim. 2012 Respons varietas padi terhadap perendaman, pemupukan, dan jarak tanam. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 31(2): 93-99. Jin, J. and J. An. 2011. Robust discriminant analysis and its application to identify protein coding regions of rice genes. Mathematical Biosciences 232:96-100. Kibanda, J.N. and A. Luzi-Kihupi. 2010. Influence of genetic and genotype x environment interaction on quality of rice grain. African Crop Science Journal 15(4):173-182. Koutroubas, S., F. Mazzini, B. Pons, and D. Ntanos. 2004. Grain quality variation and relationships with morpho-physiological traits in rice (Oryza sativa L.) genetic resources in Europe. Field Crops Research 86:115-130. Ladja, F.T.. 2013. Gulma inang virus tungro dan kemampuan penularannya ke tanaman padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 32(3):187-191. Liu, C.C., J.T. Shaw, K.Y. Poong, M.C. Hong, and M.L. Shen. 2005a. Classifying paddy rice by morphological and color features using machine vision. Cereal chemistry 82:649-653. Liu, Z., F. Cheng, Y. Ying, and X. Rao. 2005b. Identification of rice seed varieties using neural network. Journal of Zhejiang University SCIENCE 6B(11): 1095-1100. Mulsanti, I.W., M. Surahman, S. Wahyuni, dan D.W. Utami. 2013. Identifikasi galur tetua padi hibrida dengan marka SSR spesifik dan pemanfaatannya dalam uji kemurnian benih. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 32(1):1-8. Sakai, N., S. Yonekawa, and A. Matsuzaki. 1996. Two-dimensional image analysis of the shape of rice and its application to separating varieties. Journal of Food Engineering 27:397-407. Schneider, C.A., W.S. Rasband, and K.W. Eliceiri. 2012. NIH image to imageJ: 25 years of image analysis. Nature Methods 9:671675. Singh, N., L. Kaur, N. Singh Sodhi, and K. Singh Sekhon. 2005. Physicochemical, cooking and textural properties of milled rice from different Indian rice cultivars. Food Chemistry 89:253-259. Sitaresmi, T., N. Yunani, K.A.F. Zakki, I.W. Mulsanti, S.T. Utomo, dan A.A. Daradjat. 2013. Identifikasi varietas contoh untuk karakter penciri spesifik sebagai penunjang harmonisasi pengujian BUSS padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 32(3): 148-158. Suwarto, S., 2010. Analisis stabilitas hasil dan adaptabilitas menggunakan analisis AMMI (Additive Main Effect And Multiplicative Interaction). Jurnal Agronomika 10(1):88-96. Thind, G.K. and D.S. Sogi. 2005. Identification of coarse (IR-8), fine (PR-106) and superfine (Basmati-386) rice cultivars. Food Chemistry 91:227-233. Var namkhasti, G.M.,H. Mobli, A . Jafari, S. Rafiee, M. Heidar ysoltanabadi, and K. Kheiralipour. 2007. Some engineering properties of paddy (var. Sazandegi). International Journal of Agriculture and Biology 5:763-766. Yamin, M., B. Suprihatno, T. Rustiati, dan T. Sitaresmi. 2012. Toleransi beberapa genotipe padi umur pendek terhadap pasokan air terbatas. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 31(2):71-78.
SINAGA ET AL.: DAYA HASIL DAN STABILITAS RATUN GALUR PADI
Daya Hasil dan Stabilitas Ratun Galur Padi pada Lahan Pasang Surut Grain Yields and Stability of Ratoon Rice Genotypes in Tidal Lands Parlin H. Sinaga1, Trikoesoemaningtyas2, Didy Sopandie2, dan Hajrial Aswidinnoor2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau Jl. Kaharudin Nasution Km 10 No. 341, Pekanbaru, Riau Email:
[email protected] 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680 1
Naskah diterima 26 Agustus 2014 dan disetujui diterbitkan 12 Mei 2015
ABSTRACT. The study was aimed to determine the productivity and yield stability of ratoon rice genotypes in three environments and to obtain rice genotypes suistable for ratoonning on specific environment of tidal land. The experiment was designed in a randomized complete block with three replicates. Seedling was planted at 21 days old with spacing of 20 x 20 cm, one seedling per hill. Plants were harvested 30 days after heading by cutting at a height of 10 cm from the soil surface. One day after harvest, the land was irrigated as high as 3 cm and fertilized with Urea 50 kg/ ha, TSP 30 kg/ha, and KCl 25 kg/ha. Yield stability was analyzed according to Eberhart and Russel (1966). Ratoons were sensitive to the environmental changes. Genotype IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, and IPB 3S produced the main crop + ratoon grain yield of 5.26 t/ ha, 5.14 t/ha, and 5.64 t/ha dry milling grain (DMG), respectively. Based on yield of the main crop + ratoon, IPB97-F-13-1-1 and IPB 4S was each considered as adaptable to the suboptimum condition (bi<1). Ratoon crop yield of genotype IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, and IPB 3S each was the highest in three locations. The ratoon crop contribution to the rice production was from 31.3% to 61.9% to the main crop. Keywords: Rice, ratoon, productivity, tidal land. ABSTRAK. Penelitian bertujuan untuk mengetahui daya hasil dan stabilitas hasil tanaman ratun genotipe padi pada tiga lingkungan yang berbeda di lahan pasang surut. Percobaan dirancang menurut acak kelompok yang diulang tiga kali. Bibit padi ditanam pada umur 21 hari setelah semai, satu batang per lubang. Tanaman dipanen 30 hari setelah berbunga dengan memotong 10 cm di atas permukaan tanah. Satu hari setelah panen tanaman utama, lahan diairi setinggi 3 cm dan ditaburkan urea 50 kg/ha, TSP 30 kg/ha, dan KCl 25 kg/ha. Pengamatan dilakukan terhadap variabel tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah rumpun hidup, jumlah biji bernas per malai, bobot 1.000 biji, dan hasil tanaman ratun. Pengaruh perlakuan diuji menggunakan Anova gabungan dan uji Tuckey 0.05. Stabilitas hasil diuji menurut Eberhart dan Russel (1966). Hasil penelitian menunjukkan tanaman ratun sensitif terhadap lingkungan. Genotipe IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, dan IPB 3S terbaik berdasarkan rata-rata hasil tanaman utama+ratun di tiga lokasi masing-masing 5,26 t, 5,14 t, dan 5,64 t/ha. Genotipe IPB97-F-13-1-1 dan IPB 4S beradaptasi pada lingkungan suboptimal (bi<1). Hasil ratun IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, dan IPB 3S terbaik di 3 lokasi. Tanaman ratun meningkatkan hasil padi di lahan pasang surut dengan kontribusi 31,3-61,9%. Kata kunci: Padi, ratun, daya hasil, lahan pasang surut.
PENDAHULUAN Usahatani padi di lahan pasang surut dihadapkan pada masalah lingkungan fisik dan biofisik yang bersifat suboptimal untuk pertumbuhan tanaman, kekurangan tenaga kerja, dan lemahnya modal usaha petani. Faktor fisik lingkungan yang beragam, seperti variasi tipe luapan air dan jenis tanah yang berhubungan dengan keracunan besi dan kemasaman tanah, memerlukan penanganan yang berbeda menurut tipologi lahan dan cekaman. Faktor iklim yang ekstrim seperti banjir dan kekeringan menyebabkan penanaman padi hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun. Produktivitas padi pada lahan pasang surut rendah, 2-3 t/ha/tahun gabah kering giling (GKG). Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2008), lahan pasang surut dikelompokkan menjadi empat tipologi, yaitu: 1) lahan potensial, kedalaman pirit (lapisan beracun) >50 cm; 2) lahan sulfat masam, lapisan pirit pada kedalaman 0-50 cm; 3) lahan gambut yang mengandung lapisan gambut dengan kedalaman bervariasi, dan 4) lahan salin yang mendapat intrusi air laut sehingga mengandung garam dengan konsentrasi tinggi, terutama pada musim kemarau. Luas lahan pasang surut di Indonesia 20,1 juta ha (Departemen PU 2009), 9,53 juta ha diantaranya potensial untuk pertanian. Dari 9,53 juta ha tersebut, 6 juta ha berpotensi untuk area tanaman pangan (Dakhyar et al. 2012). Dengan demikian lahan pasang surut seyogianya dapat menjadi sentra produksi padi di Indonesia. Tetapi keterbatasan tenaga kerja dan infrastruktur menyebabkan pengembangan lahan pasang surut belum optimal. Produksi padi di lahan pasang surut masih rendah karena varietas yang dominan ditanam petani adalah varietas lokal berdaya hasil rendah dan musim tanam hanya satu kali dalam setahun. Menurut BPS (2013)
97
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
produktivitas padi di lahan pasang surut Kalimantan Tengah 3,2 t/ha dan di Kalimantan Selatan 4,2 t/ha. Sebenarnya, produksi padi di lahan pasang surut dapat ditingkatkan tanpa meningkatkan intensitas tanam, tetapi memanfaatkan teknologi ratun. Ratun adalah tanaman yang tumbuh dari tunas yang terdapat di buku (nodal) tunggul atau batang padi yang tersisa pada saat panen (Harrell et al. 2009). Sistem ratun dapat menambah hasil padi hanya dengan memberikan input minimal (Bond and Bollich 2006), sehingga dapat mengatasi kekurangan modal usaha bagi petani miskin di lahan pasang surut. Teknologi ratun dengan waktu tanam yang tepat dapat digunakan untuk meningkatkan ketahanan petani terhadap perubahan iklim (FAO 2013). Pemanfaatan varietas berdaya hasil tinggi pada budi daya ratun akan meningkatkan produksi padi per musim tanam tanpa menambah luas lahan (Islam et al. 2008). Pertumbuhan dan perkembangan ratun dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kondisi pertumbuhan tanaman utama (Liu et al. 2012). Oleh karena itu perlu pemilihan lokasi yang sesuai dan teknologi budidaya ratun spesifik lokasi. Dengan pemilihan genotipe dan teknologi budidaya yang tepat, ratun dapat menghasilkan lebih dari 4 t/ha GKG atau lebih 50% dari hasil tanaman utama (Liu et al. 2012). Dari tanaman utama yang hasil gabahnya 5,0-7,3 t/ ha diperoleh ratun dengan hasil yang berkisar antara 1,04,7 t/ha gabah atau hasil ratun dapat mencapai 64% dari hasil tanaman utama (Adigbo et al. 2012). Dengan hasil tanaman utama rata-rata 12,6 t/ha diperoleh hasil ratun 7,1 t/ha di Provinsi Fujian, Southeast China (Chen et al. 2007). Tidak semua varietas padi dapat menghasilkan ratun yang baik (Oad and Cruz 2002). Ada peluang untuk memperbaiki potensi padi ratun sehingga hasil dari tanaman kedua dapat mendekati hasil tanaman utama, melalui perbaikan genotipe dan memilih lingkungan tumbuh yang sesuai. Menurut Liu et al. (2011), tidak semua lokasi sesuai untuk produksi padi ratun. Potensi ratun padi dikendalikan secara genetik (Nadaf et al. 1994) dan berinteraksi dengan lingkungan. Variasi lingkungan pasang surut diduga akan menyebabkan variasi pada pertumbuhan dan hasil ratun. Faktor yang paling menonjol adalah penurunan mutu pertumbuhan dan rumpun hilang. Variasi hasil akibat rumpun hilang sering terjadi tetapi penyebabnya belum diketahui. Menurut Oad dan Cruz (2002), rumpun hilang berhubungan dengan varietas dan tinggi pemotongan batang dari permukaan tanah pada saat panen tanaman utama. Terdapat variasi jumlah total malai ratun dari 98 hingga 278 malai/m2 akibat penyakit Narrow Brown Leaf Spot (NBLS) (Dustin et al. 2009). Respon tanaman ratun tidak selalu mengikuti tanaman utama. Hasil penelitian Islam et al. (2008) 98
menunjukkan bahwa hasil ratun tinggi jika tanaman utama dipupuk dengan dosis yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman utama harus dipupuk melebihi kebutuhannya agar nutrisi dapat disimpan untuk kebutuhan tanaman ratun. Respon genotipe ratun dapat berbeda pada lahan dengan tipe luapan air yang berbeda. Cekaman lingkungan yang lebih berat di lahan pasang surut mungkin menyebabkan tanaman segera memasuki masa menua (senescence), sehingga berpengaruh terhadap viabilitas tunas ratun. Pengeringan lahan tipe luapan air A yang terluapi pada saat pasang besar maupun pasang kecil sulit dilakukan apalagi pada musim hujan. Penggenangan lahan tipe C sering tidak dapat dilakukan karena air tidak tersedia pada musim kemarau. Oleh karena itu perlu diketahui genotipe yang dapat beradaptasi pada kondisi lingkungan yang tercekam, dapat menghasilkan ratun yang bagus, dan stabil. Stabilitas tanaman utama tidak selalu sama dengan stabilitas tanaman ratun. Perubahan peringkat varietas mungkin terjadi antara tanaman utama dan tanaman ratun pada tempat yang berbeda. Menurut Eberhart dan Russell (1966), suatu genotipe dikatakan stabil apabila koefisien regresi nilai rata-rata genotipe dengan indeks lingkungan sama dengan satu (bi = 1). Menurut Finlay dan Wilkinson (1963), kuadrat tengah simpangan regresinya sama dengan nol (S2di = 0). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stabilitas ratun beberapa galur padi pada lingkungan pasang surut yang berbeda dan genotipe ratun spesifik lahan pasang surut.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Desa Mentaren 2, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (sulfat masam, tipe luapan B, kadar pirit 1.032 mg/kg dan kadar besi sangat tinggi 313 mg/kg), Desa Petak Batuah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (sulfat masam, tipe luapan C, kadar pirit 578 mg/kg dan kadar besi 148 mg/kg), dan Desa Sungai Solok, Kabupaten Pelalawan, Riau (lahan bergambut, tipe luapan C) pada bulan Desember 2012Agustus 2013. Lahan di semua lokasi tergolong tidak subur atau suboptimal. Sembilan genotipe padi berpotensi ratun (IPB97-F13-1-1, IPB107-F-14-4-1, IPB107-F-14-5-1, IPB Batola 6R, Inpago IPB 8G, IPB 4S, IPB Batola 5R, IPB 3S, IPB107-F18) dan satu varietas pembanding Inpara 2 (Sinaga et al. 2014) ditanam menurut rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Setiap petak percobaan berukuran 4 m x 5 m, dibatasi oleh pematang, dan saluran air untuk mengatur pengairan ke masing-masing petak. Bibit berumur 21 hari sejak semai (HSS) ditanam satu bibit
SINAGA ET AL.: DAYA HASIL DAN STABILITAS RATUN GALUR PADI
per lubang tanam dengan jarak 20 cm x 20 cm. Tanaman utama dipupuk dengan pupuk dasar 400 kg/ha Ponska pada saat tanam dan pupuk susulan 100 kg/ha urea pada umur 35 hari setelah tanam (HST). Panen tanaman utama dilakukan setelah 95% malai menguning. Pemotongan batang pada saat panen, menurut Petroudi et al. (2011) paling baik dilakukan pada ketinggian 10 cm dari permukaan tanah. Satu hari setelah panen, lahan diairi setinggi 3 cm dan langsung ditaburkan pupuk 50 kg/ha urea, 30 kg/ha TSP, dan 25 kg/ha KCl pada saat lahan masih basah. Variabel yang diamati pada tanaman utama adalah hasil panen, sedangkan pada tanaman ratun tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah rumpun hidup, jumlah biji bernas per malai, bobot 1.000 biji, dan hasil ratun. Konversi hasil/ha dari tanaman ratun dilakukan secara langsung berdasarkan hasil panen ril di lapangan, tanpa memperhitungkan jumlah rumpun hilang. Diasumsikan rumpun hilang merupakan karakter genotipe. Seleksi diarahkan kepada genotipe yang memiliki hasil ratun tinggi karena didukung oleh rumpun hidup yang tinggi. Data dianalisis varians gabungan dan diuji lanjut menggunakan uji Tuckey 0,05. Parameter stabilitas yang digunakan adalah koefisien regresi (bi), simpangan regresi (δi2), koefisien determinasi, kontribusi terhadap interaksi genotipe x lingkungan (Wi2), dan rata-rata hasil genotipe. Koefisien regresi (bi) < 1, berarti genotipe memiliki stabilitas di atas rata-rata, genotipe beradaptasi khusus di lingkungan suboptimal; bi > 1 berarti genotipe memiliki stabilitas di bawah rata-rata dan beradaptasi khusus di lingkungan yang optimal; dan bi = 1 berarti genotipe memiliki rata-rata hasil di atas rata-rata umum dan genotipe beradaptasi baik pada semua lingkungan. Eberhart dan Russell (1966) menggunakan parameter koefisien regresi (bi) dan simpangan regresi (δi2) untuk menentukan stabilitas genotipe. Genotipe disebut stabil jika mempunyai koefisien regresi (bi) satu, simpangan regresi (δi2) sama dengan nol, dan koefisien determinasi kecil. Stabilitas hasil genotipe diuji dengan rumus:
bi = koefisien regresi δ2 = deviasi dari regresi nilai rata-rata genotipe pada indeks lokasi Ri2 = koefisien determinasi
Untuk menghitung signifikansi bi terhadap satu digunakan rumus (Syukur et al. 2012):
Kriteria test = 1,0 ± (t0.05 x SEbi). Jika bi dalam selang kriteria test maka dikategorikan stabil.
HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Hasil Tanaman Utama dan Ratun Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa lingkungan berpengaruh nyata terhadap hasil tanaman utama dan hasil tanaman utama + ratun. Lingkungan lahan rawa pasang surut Pulang Pisau memberikan cekaman yang lebih berat terhadap semua genotipe dibandingkan dengan lingkungan Kapuas dan Pelalawan, terutama kadar pirit sangat tinggi (1.032 mg/kg) dan besi juga sangat tinggi (313 mg/kg), genangan terus-menerus, dan lumpur dalam (60-80 cm), sehingga tanaman mudah rebah. Kadar pirit di Kapuas lebih rendah, yaitu 578 mg/ kg dan besi 148 mg/kg. Menurut Lubis et al. (2010), konsentrasi 150 ppm Fe dalam larutan tanah menyebabkan gejala keracunan sedang dan konsentrasi 300 ppm telah menyebabkan gejala keracunan besi yang berat pada tanaman padi. Semua komponen pertumbuhan dan hasil tanaman di Pulang Pisau menurun yang ditandai oleh tanaman lebih pendek, jumlah anakan produktif sedikit, dan hasil panen rendah (Tabel 1). Semua tanaman menunjukkan gejala keracunan besi yang ditandai oleh bronzing pada daun dengan tingkat keparahan berbeda. Gejala tersebut tidak ditemukan di Kapuas dan Pelalawan. Tanaman utama IPB 3S hanya menghasilkan 2,47 t/ ha di Pulang Pisau padahal di Kapuas menghasilkan 5,34 t/ha GKG dan 3,99 t/ha di Pelalawan. Tetapi hasil ratun IPB 3S tertinggi di antara genotipe lainnya, yaitu 1,71 t/ ha. Hal ini diduga berhubungan dengan karakter adaptasi, yaitu menumbuhkan akar-akar hawa. Dalam keadaan tercekam genangan air di atas lumpur yang dalam, tanaman utama semua genotipe banyak yang tumbuh condong bahkan rebah sehingga akar dan tunas ratun sudah muncul dari buku sebelum tanaman utama dipanen. Dalam kondisi stress hipoksia, tanaman ratun membentuk akar hawa dan berkembang di sekitar permukaan tanah sehingga tanaman terhindar dari cekaman besi. Lingkungan Kapuas dan Pelalawan adalah lahan pasang surut dengan tipe luapan C, tidak dipengaruhi
99
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Tabel 1. Hasil uji beda nyata hasil tanaman utama dan ratun 10 genotipe padi di tiga lingkungan tumbuh berdasarkan uji Tukey.
Lokasi
Genotipe
IPB97-F-13-1-1 IPB107-F-14-4-1 IPB107-F-14-5-1 IPB Batola 6R Inpago IPB 8G IPB 4S IPB Batola 5R IPB 3S IPB107-F-18 Inpara 2 Pelalawan IPB97-F-13-1-1 IPB107-F-14-4-1 IPB107-F-14-5-1 IPB Batola 6R Inpago IPB 8G IPB 4S IPB Batola 5R IPB 3S IPB107-F-18 Inpara 2 Pulang Pisau IPB97-F-13-1-1 IPB107-F-14-4-1 IPB107-F-14-5-1 IPB Batola 6R Inpago IPB 8G IPB 4S IPB Batola 5R IPB 3S IPB107-F-18 Inpara 2
Hasil tanaman utama (t/ha)
Kapuas
4,47 3,98 2,60 3,35 4,07 4,55 3,52 5,34 3,83 4,19 3,77 4,06 4,37 3,68 4,16 3,40 4,08 3,99 4,67 4,65 2,85 2,47 2,17 2,75 2,55 2,82 2,12 2,47 2,37 3,52
KK P, value
16,51 0,005
a-d a-h d-h b-h a-f abc a-h a a-h a-f a-h a-g a-e a-h a-f b-h a-f a-h ab ab b-h fgh gh c-h e-h b-h h fgh fgh a-h
Hasil ratun (t/ha)
1,40 1,48 0,95 1,48 1,02 1,65 0,55 1,75 1,07 0,47 1,76 0,84 0,58 0,50 0,98 1,47 1,41 1,84 1,62 1,29 1,55 1,60 0,80 1,03 1,17 1,53 0,73 1,53 1,27 0,53 15,12 0,000
a-h a-g g-l a-g e-l abc kl ab c-k l a h-l jkl kl f-l a-g a-h a a-d a-i a-f a-e i-l d-l b-j a-g i-l a-g a-i kl
Hasil tanaman utama+ratun (t /ha)
5,87 5,46 3,55 4,84 5,08 6,20 4,07 7,09 4,90 4,66 5,52 4,89 4,95 4,18 5,14 4,87 5,49 5,83 6,30 5,94 4,40 4,07 2,97 3,78 3,72 4,35 2,85 4,00 3,63 4,05 14,05 0,002
a-e a-f fgh b-h a-g abc c-h a b-h b-h a-f b-h a-h b-h a-f b-h a-f a-e ab a-d b-h c-h gh d-h e-h b-h h d-h fgh c-h
Komponen produksi ratun Jumlah rumpun hidup/m2 22,9 17,7 18,6 15,3 16,5 24,4 10,0 24,3 17,3 17,4 14,1 7,4 5,4 4,1 7,0 12,3 10,5 16,8 14,2 15,2 16,2 17,5 4,7 7,3 11,3 15,1 5,1 13,5 9,6 13,6 16,78 0,000
Tinggi tanaman (cm)
ab 69,56 c-f a-d 69,22 c-f abc 67,56 def b-f 63,78 def a-e 66,11 def a 62,66 def d-i 60,11 efg a 63,46 def a-e 68,33 def a-e 56,67 fg c-g 97,17 a f-i 92,99 ab hi 98,85 a i 93,84 ab ghi 97,33 a c-h 100,89 a c-i 97,32 a a-e 100,10 a c-g 96,56 a b-f 82,33 bc b-e 67,67 def a-e 69,67 c-f hi 72,67 cde f-i 72,11 cde c-i 74,67 cd b-f 71,22 cde hi 73,67 cde c-g 61,67 def e-i 71,22 cde c-g 47,22 g 5,66 0,002
Jumlah anakan produktif/m2
Jlh. biji bernas/ malai
150,2 112,0 76,4 102,1 87,9 146,4 31,1 156,5 78,9 143,0 57,4 34,0 22,0 15,6 32,7 50,1 49,0 70,6 66,3 111,4 81,0 87,5 16,1 41,4 82,8 89,1 39,1 96,3 67,2 140,5
70,73 113,90 110,05 124,57 96,52 84,48 119,77 90,40 102,18 46,23 120,07 122,47 132,07 121,93 127,33 121,60 127,47 128,00 129,20 72,33 125,97 143,67 122,30 172,63 103,57 147,17 182,90 161,43 138,80 40,00
28,52 0,139
17,97 0,019
fgh b-g b-g a-f c-h d-h a-f d-h c-h gh a-f a-f a-f a-f a-f a-f a-f a-f a-f e-h a-f a-d a-f ab c-h a-d a abc a-e h
Bobot 1.000 biji (g) 24,30 24,67 22,97 23,80 24,00 24,63 25,27 25,37 25,90 20,10 25,17 25,43 26,70 26,63 27,53 26,73 25,77 24,87 25,83 20,37 24,10 23,93 24,20 24,93 25,33 24,40 26,20 26,30 25,93 22,30
a-d a-d cde bcd bcd a-d a-d a-d abc e a-d a-d ab ab a ab abc a-d abc e bcd bcd bcd a-d a-d a-d abc ab abc de
4,07 0,002
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Tuckey 0,05.Stabilitas Hasil
oleh luapan air sungai secara langsung, tidak selalu tergenang, dan kedalaman lumpur <30 cm. Lahan tipe luapan C mirip dengan sawah berpengairan intermitten dimana air dapat diatur. Menurut Mishra dan Salokhe (2010), sistem pengairan terputus-putus selama fase vegetatif lebih baik karena menghasilkan perakaran yang padat dan panjang, meningkatkan aktivitas fisiologis akar, dan meningkatkan kadar klorofil daun sehingga hasil panen tinggi. Genotipe IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, dan IPB 3S secara konsisten memberikan hasil ratun maupun total hasil tanaman utama + ratun yang tinggi di lintas lokasi. Dari ketiga genotipe tersebut, IPB 3S adalah yang terbaik dengan total hasil 7,09 t/ha. Berdasarkan hasil tanaman utama, tidak ada genotipe yang konsisten superior di semua lokasi. Genotipe IPB 3S memberikan hasil tanaman utama yang lebih tinggi dari 100
sembilan genotipe lainnya di Kapuas, tetapi hasilnya turun drastis di Pelalawan dan Pulang Pisau. Berbeda dengan tanaman utama, hasil ratun IPB 3S tertinggi di Kapuas dan Pelalawan dan sama dengan beberapa genotipe di Pulang Pisau (Gambar 1). Hasil tanaman utama genotipe Inpara 2 cukup tinggi di semua lokasi, tetapi hasil ratunnya paling rendah di Kapuas dan Pulang Pisau. Hasil total tanaman utama + ratun diduga merupakan potensi genetik yang sebenarnya. Genotipe IPB97-F-131-1 menghasilkan 4,47 t/ha dari tanaman utama dan 1,4 t/ ha dari tanaman ratun di Kapuas. Genotipe tersebut menghasilkan 3,77 t/ha dari tanaman utama dan 1,76 t/ ha dari ratun di Pelalawan. Total hasil tanaman utama + ratun di Kapuas 5,87 t/ha tidak berbeda nyata dengan hasil tanaman utama+ratun 5,52 t/ha di Pelalawan. Tanaman ratun genotipe IPB107-F-14-5-1, IPB Batola 6R, dan IPB Batola 5R di semua lingkungan menghasilkan
SINAGA ET AL.: DAYA HASIL DAN STABILITAS RATUN GALUR PADI
Gambar 1. Perubahan peringkat empat genotipe di tiga lokasi berdasarkan hasil tanaman utama dan ratun.
rumpun hidup kurang dari 40%. Sebaliknya, tanaman ratun IPB97-F-13-1-1 dan IPB 3S masing-masing menghasilkan 71% dan 73% rumpun hidup. Ratun sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, terutama jika dilihat dari jumlah rumpun hilang yang tidak konsisten dan cukup tinggi. Di lokasi yang sesuai seperti Kapuas, rumpun hidup genotipe IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, dan IPB 3S dapat mencapai masing-masing 92%, 97%, dan 97%. Genotipe Inpara 2 menghasilkan tanaman ratun yang cukup banyak tetapi malainya pendek, biji tidak berisi sempurna, dan banyak bulir hampa. Genotipe IPB107-F-14-4-1, IPB107-F-14-5-1, dan IPB107-F-14-4-1 memiliki nilai koefisien regresi rata-rata hasil tanaman utama pada rata-rata lingkungan (bi) mendekati 1, kontribusinya terhadap interaksi genotipe x lingkungan (Wi2) rendah, simpangan regresi (δi2) relatif kecil, dan koefisien determinasi (Ri2) relatif besar (Tabel 2). Hal ini berarti genotipe-genotipe tersebut stabil di tiga tipologi lahan pasang surut, yaitu sulfat masam tipe luapan B, sulfat masam tipe luapan C, dan lahan bergambut. Genotipe IPB107-F-14-4-1 dan Inpago IPB 8G memberikan rata-rata hasil lebih tinggi dibandingkan dengan IPB107-F-14-5-1. K apuas dan Pelalawan adalah lingkungan suboptimal yang cekamannya lebih ringan, di mana tanaman utama genotipe-genotipe yang memiliki nilai bi > 1, yaitu IPB Batola 5R, IPB 3S, dan IPB107-F-18 tumbuh dengan baik (Tabel 2 dan Gambar 2). Pada lingkungan optimal, tanaman utama IPB 3S memberikan hasil yang tinggi dan tetap memiliki kapasitas yang kuat untuk ratun. Berdasarkan sifat-sifatnya, genotipe IPB 3S sudah menyerupai padi tipe baru. Secara fisiologis, padi tipe baru memiliki kemampuan yang baik untuk menghasilkan fotosintat dan menyimpannya di batang. Karbohidrat yang banyak di batang akan digunakan oleh tunas ratun untuk tumbuh. Menurut Luo et al.
(2006), terdapat hubungan yang nyata dan positif antara diameter batang dengan laju regenerasi ratun. Ratun genotipe IPB97-F-13-1-1, Inpago IPB 8G, IPB 4S, dan IPB 3S memberikan kontribusi yang kecil terhadap interaksi genotipe x lingkungan (Wi2). Nilai Wi2 IPB 3S kecil dan hasil ratunnya tertinggi. Hal ini menunjukkan hasil ratun IPB 3S relatif stabil di tiga lokasi pengujian. Genotipe tersebut menempati peringkat pertama di Kapuas dan Pelalawan, hampir sama dengan IPB107-F-14-4-1 di Pulang Pisau (Gambar 1). Berdasarkan hasil tanaman ratun, IPB 4S dan Inpago IPB 8G adalah genotipe yang paling stabil tetapi IPB 4S akan lebih baik jika ditanam di Kapuas dan Inpago IPB 8G di Pulang Pisau. Tanaman utama IPB 3S beradaptasi baik pada lingkungan yang lebih baik dan berpenampilan buruk di lingkungan dengan cekaman berat seperti di Pulang Pisau, tetapi tanaman ratunnya memberi respon yang baik pada lingkungan suboptimal yang cekamannya lebih berat. IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, dan IPB 3S merupakan genotipe terbaik berdasarkan total hasil tanaman utama + ratun dengan hasil masing-masing 5,26 t/ha, 5,14 t/ha, dan 5,64 t/ha. Nilai bi hasil tanaman utama + ratun genotipe IPB97-F-13-1-1 dan IPB 4S berada di bawah 1, masing-masing 0,87 dan 0,74 (Tabel 3). Berarti kedua genotipe beradaptasi pada lingkungan sub-optimal. Genotipe IPB 3S mempunyai nilai bi tanaman utama + ratun 1,61. Artinya genotipe tersebut beradaptasi pada lingkungan optimal. Hasil rata-rata ratun ketiga genotipe juga menempati peringkat terbaik sekaligus di tiga lokasi. Dari semua genotipe yang diuji hanya Inpago IPB 8G yang stabil berdasarkan tanaman utama, tanaman ratun, maupun tanaman utama + ratun. Pertumbuhan dan hasil tanaman ratun lebih rendah dibandingkan dengan tanaman utama, seperti rumpun tanaman dan batang lebih kecil, masak lebih awal, daun
101
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Tabel 2. Nilai parameter stabilitas hasil tanaman utama 10 genotipe padi di tiga tipologi lahan pasang surut. Nilai parameter stabilitas hasil tanaman utama Genotipe
IPB97-F-13-1-1 IPB107-F-14-4-1 IPB107-F-14-5-1 IPB Batola 6R Inpago IPB 8G IPB 4S IPB Batola 5R IPB 3S IPB107-F-18 Inpara 2
Hasil (t/ha).
Wi2
bi
δi2
Ri2
3,69 3,50 3,05 3,26 3,59 3,59 3,24 3,93 3,62 4,12
0,334 0,010 1,418 0,321 0,012 0,825 0,152 1,431 0,418 0,251
0,86 1,09 0,98 0,54* 1,09 0,77* 1,19* 1,49* 1,35* 0,65*
0,31* 0,00 1,42* 0,04 0,00 0,75* 0,10 1,11* 0,26* 0,08
0,766 1,000 0,481 0,915 1,000 0,517 0,950 0,732 0,906 0,876
Wi2 = kontribusi terhadap interaksi genotipe x lingkungan; bi = koefisien regresi; δi2 = simpangan regresi; Ri2 = koefisien determinasi; * = berbeda nyata dengan 1 (bi); * = berbeda nyata dengan 0 (δi2).
dan malai lebih pendek, dan hasil lebih rendah. Anakan yang tumbuh dari buku bagian atas berukuran lebih kecil dan masak lebih awal, tetapi anakan yang tumbuh dari buku bawah yang dekat ke permukaan tanah tumbuh lebih besar. Secara umum hubungan antara hasil tanaman utama dengan ratun tidak kuat karena koefisien korelasinya hanya 0,14. Hal ini menunjukkan tanaman utama yang berdaya hasil tinggi tidak selalu menghasilkan ratun yang berdaya hasil tinggi pula. Namun terdapat peluang untuk memperoleh genotipe yang hasil tanaman utama dan ratunnya sama-sama tinggi melalui seleksi. Hasil yang lebih rendah di Pulang Pisau disebabkan oleh keracunan besi dan genangan yang terus-menerus. Mishra dan Salokhe (2010) melaporkan terjadi
R
MC
MC+R
Gambar 2. Biplot AMMI 2 hasil tanaman utama (MC), ratun (R), dan tanaman utama + ratun (MC+R) dengan tingkat kesesuaian masingmasing 78,9%, 93%, dan 79,5%. G1 = IPB97-F-13-1-1, G2 = IPB107-F-14-4-1, G3 = IPB107-F-14-5-1, G4 = IPB Batola 6R, G5 = Inpago IPB 8G, G6 = IPB 4S, G7 = IPB Batola 5R, G8 = IPB 3S, G9 = IPB107-F-18, G10 = Inpara 2.
102
SINAGA ET AL.: DAYA HASIL DAN STABILITAS RATUN GALUR PADI
Tabel 3. Nilai parameter stabilitas hasil tanaman utama + ratun 10 genotipe padi. Genotipe IPB97-F-13-1-1 IPB107-F-14-4-1 IPB107-F-14-5-1 IPB Batola 6R Inpago IPB 8G IPB 4S IPB Batola 5R IPB 3S IPB107-F-18 Inpara 2
Hasil (t/ha) 5,26 4,81 3,82 4,27 4,65 5,14 4,14 5,64 4,94 4,88
ab a-d d bcd a-d abc cd a abc abc
Wi2 0,135 0,333 0,817 0,679 0,006 1,133 0,970 1,644 0,959 0,681
bi 0,87 0,73* 0,94 0,46* 0,95 0,74* 1,38* 1,61* 1,41* 0,91
δi2
Ri2
0,11 0,23 0,81* 0,26* 0,00 1,04* 0,76* 1,11* 0,72* 0,67*
0,907 0,770 0,610 0,535 0,998 0,431 0,782 0,770 0,797 0,640
Wi2 = kontribusi terhadap interaksi genotipe x lingkungan; bi = koefisien regresi; δi2 = simpangan regresi; Ri2 = koefisien determinasi; * = berbeda nyata dengan 1 (bi); * = berbeda nyata dengan 0 (δi2).
KESIMPULAN Tanaman ratun sensitif terhadap pengaruh lingkungan. IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, dan IPB 3S merupakan genotipe terbaik berdasarkan rata-rata hasil tanaman utama+ratun di tiga lokasi. Pada lingkungan yang sesuai seperti Kapuas, IPB 3S mampu menghasilkan 7,09 t/ha GKG dari tanaman utama + ratun. Berdasarkan hasil tanaman utama + ratun, genotipe IPB97-F-13-1-1 dan IPB 4S beradaptasi pada lingkungan suboptimal. Hasil rata-rata ratun IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, dan IPB 3S menempati peringkat terbaik di tiga lokasi. Dengan menggunakan genotipe ratun berdaya hasil tinggi dan stabil, teknologi ratun nyata meningkatkan hasil padi di lahan pasang surut.
UCAPAN TERIMA KASIH penurunan hasil panen pada percobaan yang digenangi terus-menerus karena tanah lebih hypoxic. Genangan terus-menerus di area sawah menyebabkan Fe (II) diserap sampai ke daun tanaman sehingga terbentuk reaksi oksigen spesies (Thongbai and Goodman 2000), terjadi bronzing, dan tanaman keracunan besi (Audebert and Fofana 2009). Keracunan besi dapat menurunkan tinggi tanaman, bobot kering, jumlah anakan produktif, jumlah malai, meningkatkan jumlah gabah hampa, menunda pembungaan dan pematangan (Audebert 2006), produksi tanaman menurun (Amnal 2009). Bagi padi ratun, pertumbuhan tanaman utama sangat penting dan kritis untuk memperoleh hasil yang tinggi (Liu et al. 2012). Ketahanan tanaman utama terhadap cekaman besi akan menentukan pertumbuhan tanaman ratun. Kondisi lingkungan mempengaruhi kemampuan ratun, mulai dari pemunculan tunas pada buku, pembentukan anakan, hingga panen. Menurut Liu et al. (2012), waktu dan cara tebar benih serta waktu tanam pindah mempengaruhi kemampuan menumbuhkan anakan pada buku batang, translokasi nitrogen selama pertumbuhan, dan perkembangan ratun. Penundaan waktu panen menurunkan jumlah anakan dan anakan produktif (Mobasser et al. 2012). Kesuburan tanah (Dev et al. 2013), pemupukan N dan tinggi pemotongan (Petroudi et al. 2011), metode pemupukan (Nakano and Morita 2008), jarak tanam dan populasi tanaman (Luo et al. 2007, Huang 2011), kondisi iklim (Yang et al. 2011), persiapan lahan, tata air, dan pengendalian hama, penyakit, dan gulma (Santos et al. 2003) mempengaruhi viabilitas tunas dan pertumbuhan tanaman ratun.
Terima kasih disampaikan kepada penyandang dana, yaitu Dana Hibah Kompetensi, Direktorat Jenderal Dikti, Kemendikbud, 2013 dan Beasiswa pendidikan S3 Badan Litbang Pertanian, Kementan. Terima kasih disampaikan pula kepada Bapak Ajum Ali Akbar, Bapak Tumiran, Bapak Radik, Ibu Lila, dan Ibu Emisari yang telah membantu pelaksanaan penelitian di lapang.
DAFTAR PUSTAKA Adigbo, S.O., M.O. Olojede, P.J.C. Harris, and O. Ajayi, 2012. Ratooned lowland Nerica rice varieties as an option for triple cropping in inland valleys of derived savannah in Nigeria. Experimental Agriculture: Vol. 48(4):551-562. Amnal. 2009. Respon fisiologi beberapa varietas padi terhadap cekaman besi. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Audebert, A. 2006. Iron partitioning as a mechanism for iron toxicity tolerance in low land rice. In. Audebert A, L.T. Narteh, D. Killar, and B. Beks. (Ed.). Iron Toxicity in Rice-Based System in West Africa. Africa Rice Center (WARDA). Audebert, A. and M. Fofana. 2009. Rice yield gap due to iron toxicity in West Africa. J. Agron. Crop. Sci. 195:66-76. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Mengelola lahan pasang surut secara bijak. http:// old.litbang.deptan.go.id/berita/one/591/. Diunduh 22 November 2014. Bond, J.A. and P.K. Bollich. 2006. Effects of pre-harvest desiccants on rice yield and quality. Crop Protection 26: 490-494. BPS (Badan Pusat Statistik). 2013. Tanaman pangan. http:// www.bps.go.id/tnmn pgn.php. Diunduh 19 Desember 2014. Chen, H.F., Y.Y. Liang, W.X. Lin, L.D. Zhang, and K.J. Liang. 2007. Quality and physiobiochemical characteristics of the main rice crop seedlings under different raising seedling patterns for early rice and its ratoon crop (I): studies on super high-
103
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
yield ecophysiology and its regulation technology in hybridize rice. Chinese Agricultural Science Bulletin 23(2): 247-250. (in Chinese). Dakhyar, N., A . Hairani, dan L. Indrayati. 2012. Prospek pengembangan penataan lahan sistem surjan di lahan rawa pasang surut. Agrovigor 5(2):113-118. Departemen, P.U. 2009. Potensi dan tantangan pengembangan rawa Indonesia. Makalah pada Seminar Lokakar ya Pengelolaan Rawa dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Hotel Nikko Jakarta. Kedeputian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kementrian Koordinasi Bidang Perekonomian. Dev, C.M., R.K. Singh, R.N. Meena, A. Kumar, and K. Singh. 2013. Production potential and soil fertility status on ratoon sugarcane (Saccharum officinarum L.) as influenced by time and level of earthing up and nitrogen levels in North-Eastern Uttar Pradesh, India. Sustainable Agriculture Research 2(1):143-148. Dustin, L.H., A.B. Jason, B. Sterling. 2009. Evaluation of main-crop stubble height on ratoon rice growth and development. Field Crop Res. 114:396-403. Eberhart, S.A. and W.L. Russell. 1966. Stability parameters for comparing varieties. Crop. Sci. 6:36-40. FAO (Food and Agriculture Organization). 2013. Revitalizing rice rationing to reduce risk and impact during hazard-prone month in the Bicol region, the Philippines. http://teca.fao.org/ read/7739#sthash.wPet4Pva.dpuf. October 7 2013. Finley, K.W. and G.M. Wilkinson. 1963. The analysis of adaptation in plant breeding programme. Aust. J. Agric. Res. 14:742-757.
melalui keragaman genotipe padi (> 5,0 t/ha) dan ameliorasi oleh Azalia sp. Ringkasan Eksekutif Hasil-hasil Penelitian Badan Litbang Pertanian tahun 2010. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T). p.6-8. Luo, G.F., F.Z. Guo, Z.H. Zhou, and H.X. Sun. 2007. Study on highyielding cultivation techniques of ratooning rice. Acta Agriculturae Jiangxi 6:19-20,23. Luo, L.H., G.H. Liu, G.H., Xiao, Y.H., Tang, W.B., Chen L. 2006. Relationship between internode character and regeneration rate in rice. J. Guizhou Agricultural Sciences 3:9-10,21. Mishra, A. and V.M. Salokhe. 2010. Flooding stress: The efects of planting pattern and water regime on root morphology, physiology and grain yield of rice. Journal of Agronomy and Crop Science 196(5): 368–378. Mobasser, H.R., Kh.Rostaei, and A.M. Qasempour. 2012. The effect of main crop harvesting time on Rice-ratoon and Berseem clover (Trifolium alexanderinum L.) yield as intercropping system. Intl. J. Agron. Plant. Prod. 3(10):414-418. Nadaf, S.K., P.N. Umapathy, V.V. Angadi, and S.J. Patil. 1994. Genetic of ratooning ability in rice. Karnataka J. Agric. Sci. 7(3):338339. Nakano, H. and S. Morita. 2008. Effect of time of first harvest, total amount of nitrogen, and nitrogen application method on total dry matter yield in twice harvesting of rice. Field Crops Research 105: 40-47. Oad, F.C. and P.S. Cruz, P.S. 2002. Rice varietal screening for ratoonability. Pakistan J. of Applied Sci. 2(1):114-119.
Harrell, D.L., J.A. Bond, and S. Blanche. 2009. Evaluation of main crop stubble height on ratoon rice growth and development. Field Crops Research 114: 396-403.
Petroudi, E.R., G. Noormohammadi, M.G. Mirhadi, H. Madani, and H.R. Mobasser. 2011. Effect of nitrogen fertilization and rice harvest height on agronomic yield indices of ratoon ricebarseem clover intercropping system. Aust. J. of Crop Sci. 5(5):566-574.
Huang, S. 2011. Effect of different methods of fertilizer application and cultivation on ratooning growth of low-stubble rice. Fujian Science and Technology of Rice and Wheat 3:14-18.
Santos, A.B., N.K. Fageria, and A.S. Prabhu. 2003. Rice ratooning management practices for higher yields. Communications in Soil Sci. and Plant Anal. 34(5-6):881-918.
Islam, M.S., H. Mirza, and Md. Rokonuzzaman. 2008. Ratoon rice response to different fertilizer doses in irrigated condition. Agriculturae Conspectus Scientificus 73(4):197-202.
Sinaga, P.H., Trikoesoemaningtyas, D. Sopandie, dan H. Aswidinnoor. 2014. Screening of rice genotypes and Evaluation of their ratooning ability in tidal swamp area. Asian J. Agric. Res. 8(5): 218-233.
Liu, Z., J. Bi, D. Jiang, Z. Lin, X. Li, and Y. Ding. 2011. Improving rainfall use efficiency of ratoon rice in seasonal drought areas of South China. Agricultural Research in The Arid Areas 6:2530. Liu, K., J. Qin, B. Zhang, and Y. Zhao. 2012. Physiological traits, yields and nitrogen translocation of ratoon rice in response to different cultivation and planting periods. Afr. J. Agric. Res. 7(16): 2539-2545. Lubis, I., W. Desta, A. Khairil, dan N. Aldi. 2010. Studi pengendalian keracunan besi (>150 ppm) pada padi di lahan pasang surut
104
Syukur, M., S. Sujiprihati, dan R. Yunianti. 2012. Teknik pemuliaan tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta. p.199. Thongbai, P. and B.A. Goodman. 2000. Oxidative free radicals generation and post-anoxic injury of rices (Oryza sativa L.) in an iron-toxic soil. J. Plant Nutr. 23:1887-1900. Yang, R., G. Yang, Z. Gong, Q. Li, and F. Wei. 2011. Effect of different sowing dates on characteristics of first and ratoon super rice crops. J. of Southern Agric. 42(8):890-894.
ZANNATI ET AL.: SKRINING SALINITAS PADI MUTAN PADA FASE PERKECAMBAHAN
Skrining Salinitas Padi Mutan Insersi Pembawa Activation-Tagging pada Fase Perkecambahan Germination Phase Screening of Insert Mutant Rice Carrying Activation-Tagging Anky Zannati1,3, Utut Widyastuti2 dan Satya Nugroho3 1
Mahasiswa Program Studi Bioteknologi Sekolah Pasca Sarjana IPB Email:
[email protected] 2 Program Studi Bioteknologi Sekolah Pasca Sarjana IPB Jl. Raya Darmaga Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 3 Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911
Naskah diterima 8 November 2013 dan disetujui diterbitkan 9 Juni 2015
ABSTRACT. Insert mutation is a method in the functional genomics analysis, using Ac and Ds transposable elements that capable of transposing genes in plant genome, including rice. Using such method, it is possible to identify functional genes, such as abiotic stress tolerance genes in rice plant. The objectives of this research were to screen activated-tag mutant rice for tolerance to salinity stress. Seventy-five lines were chosen from a 1,000 fast screening experiment to identify mutant responsive to salinity stress. The mutant was validated in three screening batches (A, B and C) at germinating stage in Yoshida solution containing 200g/L NaCl. Three potential tolerant mutants, with the highest vigor index were identified from each batch. Insertion analysis of the nine mutants showed that the activator/dissociation (Ac/Ds) elements were still present in the genome, based on the bar and hpt marker genes as identified from the positive PCR. Keywords: Rice (Oryza sativa L.), activation-tag, salinity stress. ABSTRAK. Mutasi insersi adalah salah satu metode dalam analisis fungsional genom. Elemen transposons Ac dan Ds yang mampu bertransposisi pada genom tanaman termasuk padi, dapat digunakan untuk mengungkap gen-gen fungsional yang terkait dengan toleransi terhadap cekaman pada tanaman padi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyeleksi padi mutan pembawa activation-tagging terhadap cekaman salinitas. Dari 75 galur mutan dipilih dari 1.000 mutan yang telah melalui skrining massal untuk mengidentifikasi responnya terhadap cekaman salinitas. Mutan divalidasi pada fase perkecambahan yang dibagi ke dalam tiga kelompok eksperimen validasi (A, B dan C) pada larutan Yoshida yang mengandung NaCl 200g/l. Pada setiap kelompok eksperimen validasi didapatkan tiga mutan potensial dengan nilai index vigour tertinggi. Analisis PCR pada gen hpt dan bar dari sembilan mutan potensial menunjukkan elemen Ac/Ds masih ada dalam genom padi. Kata kunci: Padi, activation-tag, cekaman salinitas.
PENDAHULUAN Cekaman salinitas merupakan salah satu masalah dalam produksi tanaman sereal di dunia. Lebih dari 10% lahan di dunia bersifat salin. Di Asia, 12 juta ha lahan budi daya
terkena salinitas tinggi, sehingga perlu menjadi perhatian (Lafitte et al. 2004). Cekaman salinitas mempengaruhi pertumbuhan akar, batang dan luas daun, akibat ketidakseimbangan metabolik yang disebabkan oleh keracunan ion, cekaman osmotik, dan kekurangan hara (Munns 2002). Tanaman padi sangat peka terhadap cekaman salinitas, khususnya pada fase perkecambahan. Cekaman salinitas pada padi dapat berakibat pada penurunan hasil (Lafitte et al. 2004). Upaya peningkatan produksi padi ke depan akan banyak menghadapi tantangan yang semakin komplek, berkaitan dengan cekaman abiotik dan biotik akibat perubahan iklim. Permasalahan yang dihadapi adalah masih sedikitnya varietas toleran cekaman lingkungan, dalam hal ini cekaman kadar garam yang tinggi. Untuk melacak gen dengan sifat spesifik seperti fungsi menghadapi cekaman salinitas dapat dilakukan dengan menggunakan informasi genom lengkap sehingga memungkinkan eksplorasi sifat-sifat molekul, ekspresi, dan regulasi gen. Mutasi insersi menjadi salah satu strategi untuk mengetahui fungsi suatu gen, dan transposon AC/Ds yang berasal dari jagung adalah salah satu sistem yang banyak digunakan dalam mutasi insersi pada tanaman, seperti pada arabidobsis (Kuromori et al. 2004), wortel (Ipek et al. 2006), tomat (Carter et al. 2013), barley (Scholz dan LueBayclintticke 2001), dan kentang (Van Enckevort et al. 2001). Studi sebelumnya menunjukkan transposon Ac/Ds dapat digunakan pada padi sebagai mutagen insersional yang potensial (Kolesnik et al. 2004), dan sistem activation-tagging dengan elemen Ds yang membawa empat kopi enhancer digunakan pada padi untuk memaksimalkan upaya pencarian gen-gen penting (Upadhyaya et al. 2002). Pendekatan ini 105
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
diharapkan dapat mengungkap potensi padi sebagai sumber gen, atau faktor dan elemen yang mengontrol ekspresi terkait cekaman abiotik, khususnya cekaman salinitas, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk merakit unggul padi atau bahkan varietas tanaman lainnya. Pada penelitian sebelumnya, sebanyak 1.000 populasi mutan padi pembawa Ac/Ds telah berhasil dikembangkan dan telah melalui fase skrining massal untuk cekaman salinitas (belum dipublikasi). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan galur padi mutan insersi yang menunjukkan peningkatan toleransi terhadap cekaman salinitas pada fase perkecambahan.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Genomik dan Perbaikan Mutu Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong Science Center. Bahan yang digunakan adalah 75 galur padi mutan insersi yang diperoleh dari koleksi benih padi Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI (Nugroho et al. 2006). Benih dipilih berdasarkan umur panen yang seragam. Varietas Pokkali digunakan sebagai kontrol toleran salinitas, IR-29 sebagai kontrol peka, dan Nipponbare sebagai kontrol nonmutasi. Penelitian terdiri atas dua kegiatan, yaitu (1) skrining padi mutan insersi terhadap salinitas, dan (2) analisis insersi dengan PCR. Skrining Padi Mutan Insersi terhadap Salinitas pada Fase Perkecambahan Kegiatan ini dilakukan di Rumah Kaca Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong. Sebelum percobaan, benihbenih padi dari 75 galur mutan dan tiga varietas kontrol disterilisasi terlebih dahulu dengan alkohol 70% dan Bayclin 70%. Skrining dilakukan dengan mengecambahkan benih padi pada botol kultur dalam larutan Yoshida (Yoshida Solution) yang mengandung unsur makro NH4NO3, K2SO4, KH2PO4, K2HPO4, CaCl2. 6H20 and MgSO4.7H2O, dan unsur mikro MnCl2.4H20, NH4, Mo7O24.4H2O, H3BO3, ZnSO4.7H2O, CuSO4.5H2 pada pH hingga 4,5. Untuk menciptakan kondisi salin, ke dalam larutan ditambahkan 200 mM NaCl per liter. Tiap botol kultur digunakan 10 benih. Perlakuan kontrol hanya dikecambahkan pada larutan Yoshida. Sebanyak 75 galur padi mutan tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok validasi yang berbeda, untuk memudahkan pengamatan fenotipe, yaitu validasi A terdiri atas 22 galur, validasi B 20 galur, dan validasi C 31 galur. Rancangan yang digunakan adalah acak kelompok dengan dua ulangan. Galur-galur padi mutan diberi perlakuan selama 17 hari. Evaluasi gejala visual keracunan
106
garam dipakai untuk menentukan mutan yang rentan dan toleran, dengan melihat indeks vigour pada masingmasing mutan. Pengamatan dan evaluasi toleransi salinitas dilakukan pada hari ke-17 setelah salinisasi. Peubah yang diukur untuk setiap galur adalah panjang daun, panjang akar, dan persentase perkecambahan. Persentase perkecambahan adalah jumlah benih yang berkecambah/jumlah benih yang disemai x 100%. Indeks vigor yang dihitung menggunakan rumus panjang daun+panjang akar) x % perkecambahan benih, untuk menentukan mutan yang rentan dan toleran (Karnataka 2009). Dihitung juga persentase reduksi pertumbuhan, yaitu dengan rumus Reduksi Pertumbuhan = [1(Pertumbuhan perlakuan/pertumbuhan kontrol)] x 100%) untuk mengetahui persentase reduksi pertumbuhan dalam keadaan salinisasi. Metode validasi galur padi mutan ini merupakan optimasi prosedur dari IRRI (Gregorio et al. 1997). Analisis Insersi dengan PCR Isolasi DNA total dari daun padi dilakukan menggunakan metode CTAB (Murry & Thompson 1980) dan DNA hasil isolasi diukur konsentrasinya dengan photospectrometer IMPLEN. Analisis PCR bertujuan untuk mengetahui pola insersi sekaligus mengetahui aktivitas transposon Ds. PCR dilakukan dengan menggunakan dua pasangan primer. Pertama adalah pasangan primer P1-P3, kedua pasangan P1-P2. PCR dilakukan dengan total volume reaksi 12,5 ul, terdiri atas 0,5 ul DNA konsentrasi 100ng, 1,25 ul primer 10uM, DreamTaq Green (Thermo-Scientific) 6,25 ul, Nuklease Free Water 3,25 ul. Proses PCR dilakukan dengan suhu annealing 60oC, dengan PCR TGradient 96 - Gradient thermocycler Biometra. Selanjutnya amplikon hasil PCR dipisahkan pada gel agarose 0,8% menggunaan bufer 0,5xTBE. Hasil pemisahan divisualisasi setelah sebelumnya dilakukan pewarnaan dengan larutan ethidium bromide dengan konsentrasi 10 mg/ml. Visualisasi hasil dilakukan menggunakan Gel Doc Uvitec Cambride MD5. Hasil PCR dengan Primer P1 dan P3 berupa pita berukuran ±400, sedangkan primer P1 dan P2 berupa pita ±350 pb.
HASIL DAN PEMBAHASAN Skrining Cekaman Salinitas Pada validasi A, nilai indeks vigor mutan adalah 654 (4,86), 504 (4,54), dan 541 (3,62), lebih tinggi dari varietas Pokali sebagai kontrol toleran (1,03) dan Nipponbare (0,98). Pada validasi B, nilai indeks vigor mutan adalah 870 (5,50), 994 (4), dan 873 (3,5), lebih tinggi dari varietas Pokali
ZANNATI ET AL.: SKRINING SALINITAS PADI MUTAN PADA FASE PERKECAMBAHAN
Gambar 1. Indeks vigor perkecambahan padi mutan yang mendapat perlakuan salinitas pada validasi A, B dan C.
sebagai kontrol toleran (1,71) dan Nipponbare (0,79). Pada validasi C, nilai indeks vigor mutan adalah 170 (7,45), 480 (5,65), dan 788 (3,86), lebih tinggi dari varietas Pokali sebagai kontrol toleran (2,50) dan Nipponbare (1,25). Hasil skrining tertera pada Gambar 1. Nilai indeks vigor tertinggi menunjukkan mutanmutan tersebut memiliki toleransi yang lebih baik terhadap perlakuan 200 mM NaCl. Perkembangan peubah tumbuh mutan (panjang daun dan panjang akar) lebih baik dibanding kontrol isogenik Nipponbare maupun Pokkali sebagai kontrol toleran. Kondisi salin pada perlakuan, yaitu dengan konsentrasi 200mM/l NaCl atau setara dengan 20 dS/m, adalah ambang tanaman pangan dapat dikatagorikan toleran salinitas (Munns and Tester 2008). Benih padi sangat sensitif terhadap salinitas. Pengetahuan tentang mekanisme fisiologis pada benih diperlukan untuk mengetahui toleransi terhadap garam dan untuk prediksi kinerja agronomi padi selanjutnya di bawah cekaman garam, karena parameter pertumbuhan seperti biomassa, luas daun, jumlah anakan, dan tinggi
tanaman dipengaruhi oleh salinitas (Munns and Tester 2008). Ada tiga pengaruh salinitas pada tanaman, yaitu stres osmotik, toksisitas ion spesifik, dan ketidakseimbangan nutrisi. Umumnya, stres osmotik adalah pengaruh utama dalam kondisi salinitas jangka pendek sedangkan toksisitas ion spesifik dan ketidakseimbangan gizi adalah pengaruh utama dalam kondisi salinitas jangka panjang (Munns 2002). Perlakuan salinitas adalah cekaman osmotik yang memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan perkecambahan tanaman padi. Pengaruh salinitas dapat dilihat dari data reduksi pertumbuhan pada validasi A, B dan C dari hasil perhitungan reduksi pada Gambar 2. Pada validasi A terdapat tiga mutan yang menunjukkan nilai reduksi lebih rendah dibandingkan dengan mutan yang lain. Ketiga mutan tersebut yaitu mutan 654 (79,36%), 504 (80%), dan 541 (81,34%). Pada validasi A juga terdapat mutan yang memiliki nilai reduksi pertumbuhan paling tinggi yaitu mutan 590 (98,96%). Pada validasi B juga terdapat tiga mutan yang menunjukkan
107
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
nilai reduksi lebih rendah dibanding mutan yang lain. Ketiga mutan tersebut yaitu mutan 870 (74,27%), 869 (77,06%), dan 931 (79,86%), Mutan yang memiliki nilai reduksi paling tinggi adalah mutan 906 (97,59%). Pada validasi C, nilai reduksi lebih rendah dibandingkan denganmutan yang lain. Ketiga mutan tersebut yaitu mutan 170 (70,21%), 151 (78,33%), dan 480 (78,91%) . Pada validasi C juga terdapat mutan yang memiliki nilai reduksi paling tinggi yaitu mutan 466 (96,69%). Mutan-mutan yang memiliki nilai reduksi pertumbuhan yang rendah memiliki adaptasi lebih baik terhadap perlakuan NaCl 200mM. Hal ini dapat diasumsikan bahwa mutan-mutan tersebut menunjukkan toleransi yang lebih baik pada kondisi cekaman garam (Horie et al. 2012). Mutan-mutan dengan nilai reduksi yang rendah potensial digunakan untuk toleransi terhadap salinitas. Skrining mutan pada percobaan ini merupakan langkah validasi untuk mengetahui konsistensi toleransi dan kepekaan terhadap perlakuan garam, yang sebelumnya telah dilakukan secara masal. Mutan-mutan yang toleran pada skrining secara masal konsisten memiliki sifat toleran saat dilakukan validasi. Pada hari ke-17 setelah perlakuan salin, mutan-mutan yang memiliki sifat toleran menunjukkan perkecambahan
yang sangat baik dibandingkan dengan varietas kontrol seperti terlihat pada Gambar 3. Perhitungan indeks vigor dan nilai reduksi menunujukkan mutan yang potensial adalah yang memiliki nilai indeks vigor yang tinggi dan persentase reduksi pertumbuhan yang rendah, seperti ditunjukkan oleh mutan potensial validasi C yaitu mutan 170, 151, dan 480. Analisis Pola Insersi dengan PCR Analisis pola insersi bertujuan untuk mengetahui elemen transposon Ac/Ds dalam genom padi. Hasil analisis akan dimanfaatkan sebagai pendekatan dalam pemetaan daerah insersi dengan menggunakan TAIL-PCR. Berdasarkan konstruksi padi mutan pembawa activation tagging, elemen Ds terkait dengan gen bar di bawah kendali promotor ubi dan mengandung Enhancer, sementara elemen Ac terkait dengan gen penanda higromicin (hpt) di bawah kendali promotor 35S. Pola insersi diketahui melalui aktivitas elemen Ds. Untuk mengetahui aktivitas transposisi elemen Ds dilakukan analisis PCR pada galur mutan potensial toleran cekaman salinitas. PCR dilakukan dengan
Gambar 2. Nilai reduksi pertumbuhan mutan pada validasi batch A, B, dan C.
108
ZANNATI ET AL.: SKRINING SALINITAS PADI MUTAN PADA FASE PERKECAMBAHAN
pasangan primer P1dan P2 dan pasangan primer P1 dan P3. Transposisi Ds terjadi jika teramplifikasi pita berukuran sekitar 400 pb, yaitu pita yang dihasilkan oleh amplifikasi dari primer P1 dan P3. Pada kondisi Ds tidak bertransposisi ditandai oleh munculnya pita berukuran sekitar 350 pb yang dihasilkan oleh pasangan primer P1-P2 (Gambar 4). Dari hasil PCR (Gambar 5) diketahui bahwa pada galur mutan 870-16 (sumur nomor 5-6), 170-10 (sumur nomor 49-50) dan 504-4 (sumur nomor 51-52) terdapat elemen Ds bertransposisi, dengan pita berukuran sekitar 400 pb dari pasangan primer P1-P3, sedangkan
amplifikasi primer P1-P2 menunjukkan hasil negatif. Hal ini berarti elemen Ds telah bertransposisi. Elemen Ds yang tidak bertransposisi terjadi pada galur mutan 8703 (sumur sampel nomor 9-10), 480-12 (sumur sampel nomor 37-38), 170-12 (sumur sampel nomor 41-42), dan 654-1(sumur sampel nomor 81-82). Elemen Ds yang tidak bertransposisi terjadi pada mutan-mutan tersebut. Hal ini diketahui dari teramplifikasinya pita berukuran sekitar 350 pb dari pasangan primer P1-P2, sedangkan pasangan primer P1-P3 tidak menghasilkan amplifikasi. Mutan dengan elemen Ds yang tidak bertransposisi dapat terjadi karena
A
B
Gambar 3. Fenotipe perkecambahan 17 hari setelah perlakuan salinisasi pada media larutan Yoshida dengan penambahan 200 mM NaCL. A fenotipe galur mutan potensial 170, 870 dan 654. B fenotipe varietas kontrol Pokkali, Nipponbare, dan IR29.
Gambar 4. Skema plasmid pMO mengandung elemen Ds, berikut posisi dari primer P1, P2 dan P3 untuk analisis PCR eksisi.
109
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Gambar 5. Hasil analisis PCR. Angka ganjil adalah hasil PCR menggunakan Primer P1 dan P3, hasil amplifikasi PCR yaitu pita berukuran ±400 pb menunjukkan elemen Ds bertransposisi (kotak kuning). Angka genap adalah hasil PCR menggunakan primer P1 dan P2, hasil amplifikasi PCR yaitu pita berukuran ±350 pb, menunjukkan elemen Ds tidak bertransposisi (kotak merah).
hilangnya mobilitas pada generasi lanjut, misalnya pada generasi ke-6, meskipun Ac masih aktif (Izawa et al. 1997). Menurut Greco et al (2003), metilasi dari gen bar diduga juga sebagai penyebab terhambatnya aktifitas Ac/Ds pada generasi lanjut. Hal lain juga disebabkan oleh silencing (pembungkaman) gen akibat meningkatnya metilasi dari residu sitosin pada daerah promoter ubiquitin yang terkait dengan gen bar (Izawa et al. 1997). Pada hasil PCR eksisi didapatkan amplifikasi dari pasangan primer P1-P3 sekaligus P1-P2, seperti pada mutan 994-6 (sumur nomor 21-22), 170-13 (sumur
110
nomor 43-44), dan 541-3 (sumur nomor 63-64) (Gambar 5). Terdapatnya galur mutan yang menunjukkan hasil amplifikasi demikian diduga karena mutan multiple-copy atau memiliki salinan ganda, yaitu suatu populasi mutan, pada generasi lanjut terdapat kemungkinan terjadinya multiple transposition. Singh et al. (2006) menyebutkan bahwa mutan dengan multiple-copy atau salinan ganda pada suatu generasi dapat terjadi sebanyak 20-40% populasi. Setiap mutan bersifat independen, sehingga insersi yang terjadi berbeda antara satu dengan lainnya. Hal ini
ZANNATI ET AL.: SKRINING SALINITAS PADI MUTAN PADA FASE PERKECAMBAHAN
menyebabkan terjadinya transposisi bervariasi pada setiap galur mutan (Izawa et al. 1997). Mutan dengan elemen Ds yang bertransposisi juga menandakan bahwa sistem mutasi insersi activation tagging dalam penelitian ini dapat digunakan dan aktif dalam jaringan tanaman padi.
KESIMPULAN Skrining pada padi mutan pembawa activation tagging pada fase perkecambahan terdapat sembilan mutan potensial toleran salinitas, yang ditunjukkan oleh nilai indeks vigor, yaitu mutan 654, 504,541, 870, 994, 873, 170, 480 dan 788. Dari hasil analisis insersi diketahui sistem activation tagging dalam penelitian ini dapat digunakan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Program Penelitian Kompetitif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sehubungan dengan itu disampaikan terima kasih kepada Dr. Satya Nugroho.
DAFTAR PUSTAKA Carter, J.D., A. Pereira, A.W. Dickerman, and R.E. Veilleux. 2013. An active ac/ds transposons system for activation tagging in tomato cultivar m82 using clonal propagation. Plant Physiol. 162:145-156. DOI: 10.1104/pp113.213876. Greco, R., B.F. Ouwerkerk Pieter, C. Sallaud, A. Kohli, L. Colombo, P. Puigdomenech, E. Guiderdoni, P. Christou, J.H.C. Hoge, and A. Pereira. 2001. Transposon insertional mutagenesis in rice. Plant Physiol. 125:1175-1177. Gregorio, G.B., D. Senadhira, and R.D. Mendoza. 1997. Screening rice for salinity tolerance. IRRI Discussion Paper Series no 22. p 1-30 dalam: Bhowmilk, S.K., S. Titov, M.M. Islam, A. Siddika, S. Sultana, and M.D. Haque. 2009. Phenotypic and genotypic screening of rice genotypes at seedling stage for salt tolerance. African J. Biotechnol. 8(23):6490-6494. Horie, T., I. Karahara, and M. Katsuhara. 2012. Salinity tolerance mechanism in glycophytes: An overview with the central focus on rice plants. Rice J. 5(11): 1-18. DOI: 10.1186/19398433-5-11.
Ipek, A ., P. Masson, and P.W. Simon PW. 2006. Genetic transformation of an ac/ds-based transposons tagging system in carrot (Daucus carota l). J. Hort. Sci. 71(6):245-251. Izawa, T., C. Miyazaki, M. Yamamoto, R. Terada, S. Iida, and K. Shimamoto. 1991. Introduction and transposition of the maize transposable element Ac in rice. Mol Gen Genet. 227: 391396. Karnataka, J. 2009. Seed germinability, root and shoot length and vigour index of soybean as influenced by rhizosphere fungi. J. Agr. Sci. 22(5):1120-1122. Kolesnik, T., I. Szeverenyi, D. Bachmann, C.S. Kumar, S. Jiang, R. Ramamoorthy, M. Cai, Z. GangMa, V. Sundaresan, and S. Ramachandran S. 2004. Establising an efficient Ac/Ds tagging system i rice: large-scale analysis of Ds flanking sequences. Plant J. 37: 301-314. DOI: 10.1046/j.1365313X.2003.011948.x. Kuromori, T., T. Hirayama, Y. Kiyosue, H. Takabe, S. Mizokado, T. Sakurai, K. Akiyama, A. Kamiya, T. Ito, and K.A. Shinozaki. 2004. Collection of 11800 single-copy Ds transposons insertion lines in arabidobsis. Plant J. 37: 897-905. DOI: 10.1111/ j.1365.313x2003.02009.x Lafitte, H.R., A. Ismail, and J. Bennett. 2004. New directions for a diverse planet. The 4th International Crop Science Congress 26 Sep – 1 Oct. Brisbane, Australia. Munns, R. and M. Tester. 2008. Mechanism of salinity tolerance. Annu. Rev. Plant Biol. 59: 651-681. DOI: 10.1146/ annurev.arplant.59.032607.092911. Munns, R. 2002. Comparative physiology of salt and water stress. Plant Cell Environ. 25(2):239-250. Nugroho, S., K.R. Trijatmiko, S. Rahmawati, A. Zannati, dan S. Purwantomo. 2006. Upaya pembuatan populasi mutagenik lines padi pembawa Activation-Tag dengan transposon Ac/ Ds melalui transformasi dengan Agrobacterium. Seminar Nasional Bioteknologi. p. 236-242.Bogor Oktober 2006. Scholz, S.H. and S. Luetticke. 2001. Transposition of the maize transposable element Ac in barley (Hordeum vulgare L.). Mol. Gen. Genet. 264:653-661. Sudana, W. 2005. Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian 3(2):141151. Upadhyaya, N.M., X.R. Zhou, Q.H. Zhu, K. Ramm, L. Wu, R. Eamens, R. Sivakumar, T. Kato, D.W. Yun, and C. Shantoskumar. 2002. An Ac/Ds gene and enhancer trapping system for insertional mutagenesis in rice. Func. Plant Biol. 29:547–559. DOI:10.1071/PP01205. Van Enckevort, J.G., J. Lasschuit, W.J. Stiekema, E. Jacobsen, and A. Pereira. 2001. Development of Ac and Ds transposons tagging lines for gene isolation in diploid potato. Mol. Breeding 7: 117-129. Wang, Z.F., J.F. Wang, Y.M. Bao, Y.Y. Wu, X. Su, and H.S. Zhang. 2010. Inheritance of rice seed germination ability under salt stress. Rice Sci. 17: 105-110.
111
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
112
SUDIR ET AL.: KOMPOSISI DAN SEBARAN PATOTIPE XANTHOMONAS ORYZAE PADA PADI
Komposisi dan Sebaran Patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae, Penyakit pada Padi di Nusa Tenggara Barat Composition and Distribution of Xanthomonas oryzae pv. oryzae on the Rice Production Center of West Nusa Tenggara Sudir1, Dini Yuliani1 dan Lalu Wirajaswadi2 1 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat Email:
[email protected] 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB Jl. Raya Paninjauan Narmada Mataram 83101
Naskah diterima 21 April 2014 dan disetujui diterbitkan 23 September 2014
ABSTRACT. A study was carried out to identify the composition and distribution of Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) pathotypes on rice crop in West Nusa Tenggara, during the 2012 planting season. Three activities were conducted, namely collection of rice leaf samples from the fields, isolation of Xoo from the leaf samples at the laboratory, and testing pathotypes of Xoo at the screen house. Rice leaves showing typical bacterial leaf blight (BLB) symptom were collected from various farmers’ fields. The samples were detached and put into paper envelopes, and were taken to the laboratory for isolation of Xoo, at the Laboratory of Pythopathology of Indonesian Center for Rice Research (ICRR), Sukamandi. Pathotype testing was done in the ICRR screen house by inoculating the leaves of five differential rice varieties using inocula of the Xoo isolates. Resistance of the rice differential varieties was determined based on the BLB disease severity. Inoculated plant with disease severity ≤ 11% was considered resistant (R) and disease severity >11% was susceptible (S). From the 240 samples of rice leaf infected with BLB collected from West Nusa Tenggara, 232 Xoo isolates were obtained. The Xoo pathotype identification showed that pathotype IV was the most dominant in West Nusa Tenggara during the 2012 planting season, numbering 118 isolates or 51.0% out of the total isolates, followed by pathotype VIII (67 isolates or 29.0%), and pathotype III (47 isolates or 20.0%). Keywords: Xanthomonas oryzae pv. oryzae, pathotype, differential rice varieties. ABSTRAK. Penelitian bertujuan untuk mengetahui komposisi dan sebaran patotipe bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo), penyebab penyakit hawar daun bakteri (HDB), pada beberapa daerah produksi padi di Nusa Tenggara Barat. Penelitian dilaksanakan pada musim tanam I tahun 2012. Penelitian meliputi tiga kegiatan, yaitu pengambilan sampel daun padi bergejala HDB dari lapangan, isolasi Xoo di laboratorium, dan pengujian patotipe Xoo di rumah kaca. Sampel daun padi bergejala HDB diambil secara acak dari lapangan dan dimasukkan ke dalam amplop kertas untuk diisolasi Xoo dengan metode pencucian di laboratorium. Pengujian patotipe dilaksanakan dengan menginokulasikan isolat Xoo yang diperoleh pada lima varietas padi diferensial di rumah kaca dengan metode gunting. Ketahanan varietas padi diferensial terhadap isolat Xoo dikelompokkan berdasarkan keparahan penyakit HDB. Varietas diferensial bereaksi tahan (T) jika keparahan penyakit HDB ≤ 11%
dan rentan (R) jika keparahan >11%. Pengelompokan patotipe dilakukan berdasarkan nilai interaksi antara ketahanan varietas padi diferensial dengan virulensi bakteri Xoo. Dari 240 sampel daun padi bergejala HDB diperoleh 232 isolat Xoo. Hasil pengujian dari 232 isolat Xoo yang diperoleh menunjukkan Xoo yang dominan di Nusa Tenggara Barat adalah patotipe IV (51,0%) diikuti oleh patotipe VIII (29,0%), dan patotipe III (20,0%). Kata kunci: Xanthomonas oryzae pv. oryzae, patotipe, varietas padi differensial.
PENDAHULUAN Penyakit hawar daun bakteri (HDB) merupakan salah satu penyakit yang sangat penting di negara-negara penghasil padi di Asia, termasuk Indonesia (Suparyono et al. 2004, Jeung et al. 2006, Nayak et al. 2008). Di Indonesia, penyakit HDB tersebar di dataran rendah, sedang, dan tinggi, baik pada ekosistem sawah irigasi dan tadah hujan maupun lahan kering dan rawa (Suparyono et al. 2003). Penyakit HDB disebabkan oleh bakteri Xanthomnas oryzae pv. oryzae (Xoo). Penyakit ini menginfeksi bagian daun yang menyebabkan fungsi fotosintetis pada daun terganggu sehingga tanaman sakit dan menghasilkan gabah hampa atau gabah setengah isi lebih banyak dibanding tanaman sehat (Suparyono et al. 2004, Lalitha et al. 2010 ). Kehilangan hasil karena penyakit HDB bervariasi, bergantung pada stadia tanaman pada saat penyakit timbul. Di Jepang, kerugian hasil akibat penyakit HDB berkisar antara 2030% tiap tahun dengan luas penularan 300.000-400.000 ha (Ogawa 1993, Lalitha et al. 2010). Di India, kerugian hasil akibat penyakit HDB mencapai 65-95% (Nayak et al. 2008). Suparyono dan Sudir (1992) melaporkan bahwa ambang kerusakan penyakit HDB sekitar 20% pada dua minggu sebelum panen. Di atas ambang 113
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
tersebut, tiap kenaikan keparahan penyakit 10% menyebabkan kehilangan hasil meningkat 5-7%. Penyakit HDB memiliki banyak patotipe (strain) dan dapat merusak tanaman padi pada berbagai stadia tumbuh sehingga sulit dikendalikan. Di Indonesia telah teridentifikasi 11 kelompok patotipe Xoo dengan tingkat virulensi yang berbeda (Hifni dan Kardin. 1998). Hoang et al. (2008) melaporkan selama MT 2006 telah diidentifikasi 41 isolat bakteri Xoo yang berasal dari Delta Mekong. Isolat-isolat tersebut terdiri atas enam patotipe yang berbeda yang semuanya virulen terhadap gen ketahanan Xa-1, Xa-3, Xa-4, Xa-10, Xa-11, dan Xa-14. Sudir et al. (2009) melaporkan pula bahwa berdasarkan reaksi virulensinya terhadap varietas diferensial Kinmaze, Kogyoku, Tetep, Wase Aikoku, dan Java 14, struktur populasi patotipe bakteri Xoo di beberapa sentra produksi padi di Jawa terdapat tiga patotipe Xoo yang dominan, yaitu patotipe III, IV dan VIII. Kinmaze adalah varietas diferensial tanpa gen tahan, Kogyoku memiliki dua gen tahan dominan yaitu Xa-1, dan Xa-12, dan Tetep memiliki dua gen tahan dominan, yaitu Xa-1 dan Xa-2. Varietas Wase Aikoku memiliki dua gen tahan Xa-3 dan Xa-12 dan Java 14 memilki tiga gen tahan Xa-1, Xa-2, dan Xa-12 (Suparyono et al. 2003, Nayak et al. 2008). Pada MT 2007, penyakit HDB di beberapa sentra produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah didominasi oleh kelompok patotipe VIII. Penelitian pada tahun 2009 di empat kabupaten di Jawa Timur (Ngawi, Nganjuk, Lamongan, dan Bojonegoro) menunjukkan di Kabupaten Ngawi diperoleh sembilan isolat Xoo, yang terdiri atas tiga isolat patotipe III, satu isolat patotipe IV, dan lima isolat patotipe VIII. Di Kabupaten Nganjuk diperoleh lima isolat Xoo yang terdiri atas dua isolat patotipe IV dan tiga isolat patotipe VIII. Di Kabupaten Lamongan diperoleh enam isolat yang terdiri atas dua isolat patotipe III, satu isolat patotipe IV, dan tiga isolat patotipe VIII. Di Kabupaten Bojonegoro diperoleh tujuh isolat Xoo yang terdiri atas tiga isolat patotipe III, satu isolat patotipe IV dan tiga isolat patotipe VIII (Sudir 2011). Pada MT 2010/2011, isolat Xoo yang ditemukan di sentra produksi padi di Jawa Timur terdiri atas patotipe III, IV dan VIII dengan struktur dan dominasi yang beragam antarlokasi. Patotipe III dominan di Banyuwangi dan Malang, patotipe IV dominan di Blitar, Tulungagung, Trenggalek dan Ponorogo. Patotipe VIII tersebar merata di tiap lokasi, kecuali di Mojokerto, dan sangat dominan terutama di Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, dan Jember (Sudir dan Handoko 2012). Di Sulawesi Selatan, Xoo patotipe III dominan di Kabupaten Bone, Sopeng, Wajo, Sidrap, Barru dan Pangkep, sedangkan patotipe IV dominan di Kabupaten Maros (Yuliani et al. 2012). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pada MT 2011, Xoo 114
patotipe III di Sumatera Utara dominan di Kabupaten Serdang Badagai, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah, patotipe IV di Kabupaten Deli Serdang, Binjai, Langkat, Simalungun dan Asahan, sedangkan patotipe VIII dominan di Kabupaten Batubara (Sudir et al. 2013). Pengendalian penyakit HDB yang selama ini dinilai paling efektif adalah dengan penanaman varietas tahan. Akan tetapi, penggunaan varietas tahan dihadapkan kepada beragamnya patotipe Xoo yang menyebabkan ketahanan varietas dibatasi oleh waktu dan tempat. Artinya, varietas yang tahan pada suatu musim di suatu tempat dapat menjadi rentan di musim dan tempat yang lain. Hal ini disebabkan oleh ketahanan suatu varietas sangat ditentukan oleh keadaan patotipe di suatu tempat pada waktu tertentu. Patotipe adalah sinonim dari strain, patovar, dan ras (race) (Supar yono et al. 2003, Suparyono et al. 2004, Zhang 2005, Hoang et al. 2008). Pergiliran varietas tahan untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh patogen yang mampu membentuk patotipe seperti HDB, perlu dirancang secara cermat, agar varietas tahan dapat berfungsi dengan baik. Taktik ini memerlukan dukungan berbagai data, terutama yang berkaitan dengan profil patotipe di suatu ekosistem dan latar belakang ketahanan suatu varietas yang akan ditanam (Ogawa 1993, Suparyono et al. 2004, White and Young 2009). Oleh karena itu, pemantauan struktur, dominasi, dan sebaran patotipe Xoo di suatu wilayah serta pencarian gen ketahanan baru perlu terus dilakukan. Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi penghasil beras terbesar kedua di Indonesia bagian timur setelah Sulawesi Selatan, dan merupakan provinsi penghasil beras terbesar keempat di luar Jawa setelah Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan (BPS 2012). Produktivitas padi di Nusa Tenggara Barat relatif masih rendah, salah satu penyebabnya adalah penyakit HDB (Ditlin 2007). Oleh karena itu, sebagai dasar pengendalian penyakit HDB dengan penanaman varietas tahan di Nusa Tenggara Barat perlu diketahui komposisi dan sebaran patotipe Xoo penyebab penyakit ini. Penelitian bertujuan untuk mengetahui komposisi dan sebaran patotipe Xoo di berbagai ekosistem pertanaman padi di Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat dalam penyusunan strategi pewilayahan varietas di wilayah tersebut sebagai dasar rekomendasi penanaman varietas tahan HDB berdasarkan keberadaan patotipe Xoo.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada Januari-Mei 2012, dengan tiga tahap kegiatan, yaitu (1) penentuan lokasi pengamatan dan pengambilan sampel daun sakit HDB, (2) isolasi
SUDIR ET AL.: KOMPOSISI DAN SEBARAN PATOTIPE XANTHOMONAS ORYZAE PADA PADI
bakteri Xoo di laboratorium, dan (3) pengujian patotipe bakteri Xoo di rumah kaca. Penentuan Lokasi Pengamatan dan Cara Pengambilan Sampel HDB Pengamatan dan pengambilan sampel padi sakit HDB dilakukan di enam kabupaten penghasil padi di Nusa Tenggara Barat, yaitu Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, Kota Mataram, dan Sumbawa. Daerah ini merupakan penghasil utama padi di Nusa Tenggara Barat. Selain itu, penyakit HDB sering menjadi masalah di wilayah ini (Komunikasi lisan dengan Staf Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Staf Laboratorium Peramalan OPT Nusa Tenggara Barat). Pada tiap kabupaten ditentukan paling sedikit tiga kecamatan, bergantung pada keadaan pertanaman padi di lokasi, tiap kecamatan ditentukan dua desa yang mewakili. Sampel daun padi sakit HDB diambil dari pertanaman padi pada hamparan di petakan seluas 0,100,5 ha. Pada setiap petak diambil lima titik sampel secara diagonal, dan pada tiap titik diambil satu daun bergejala awal penyakit HDB. Apabila secara diagonal tidak ditemukan tanaman terinfeksi penyakit HDB, maka sampel diambil seadanya. Sample daun sakit dimasukkan ke dalam amplop kertas, kemudian dicatat lokasi dan waktu pengambilan sampel, varietas padi, stadia tanaman, dan tingkat keparahan penyakit. Skor keparahan 1 adalah tingkat penularan 1-6% (ringan), skor 3 tingkat penularan >6-12% (agak ringan), skor 5 tingkat penularan >12-25% (agak parah), skor 7 tingkat penularan >25-50% (parah), dan skor 9 tingkat penularan >50-100% (sangat parah) (SES IRRI 2013). Sebagai data tambahan, dicatat pula input teknologi yang digunakan, dan pola tanam petani setempat. Sampel dibawa ke laboratorium untuk dilakukan isolasi Xoo. Isolasi Xoo Isolasi bakteri Xoo dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman BB Padi, dengan metode pencucian
daun (leaf washing) (Suparyono et al. 2003). Sampel daun padi dipotong kecil-kecil (1 mm) kemudian dicuci dengan air destilasi steril. Air cucian ditampung dalam gelas erlenmayer dan diencerkan sampai pengenceran 10-6 kemudian diambil kira-kira 1 cc untuk ditanam dalam cawan petri yang berisi medium Potato Sukrose Agar (PSA). Inkubasi dilaksanakan di laboratorium pada suhu kamar. Setiap hari dilakukan pengamatan terhadap kemunculan koloni Xoo. Koloni tunggal (single colony) khas Xoo yang muncul dipindah ke medium PSA miring, kemudian diperbanyak untuk keperluan identifikasi patotipe Xoo. Uji Patotipe Xoo Pengujian patotipe Xoo dilakukan di Rumah Kaca BB Padi. Isolat Xoo yang diperoleh diuji virulensinya terhadap lima varietas padi diferensial yang diketahui memiliki gen ketahanan berbeda terhadap Xoo berbeda (Suparyono et al. 2003) (Tabel 1). Dengan metode ini dapat diketahui virulensi Xoo terhadap gen ketahanan varietas diferensial. Informasi ini bermanfaat bagi pemulia dalam menentukan gen tahan untuk merakit varietas yang dikehendaki. Varietas padi diferensial ditanam pada pot berukuran diameter 40 cm dan tinggi 30 cm. Masing-masing varietas ditanam dalam tiga pot, tiap pot sebagai ulangan dan pada tiap pot ditanam satu tanaman. Masing-masing varietas diferensial ditanam langsung (direct seeded) setelah benih dikecambahkan. Pertanaman dikelola menurut standar pemeliharaan tanaman padi. Isolatisolat Xoo yang diuji, diinokulasikan ke tanaman padi diferensial dengan metode gunting pada saat tanaman menjelang stadium primordia. Ujung-ujung daun padi dipotong sepanjang 10 cm menggunakan gunting inokulasi berisi suspensi bakteri umur 48 jam dengan kepekatan 108 cfu. Pengamatan keparahan penyakit dilakukan dengan cara mengukur panjang gejala pada 15 dan 30 hari sesudah inokulasi (HSI). Keparahan penyakit adalah rasio antara panjang gejala dengan panjang daun. Reaksi ketahanan varietas dikelompokkan berdasarkan
Tabel 1. Pengelompokan patotipe Xoo berdasar interaksi antara isolat Xoo dengan varietas diferensial. No. Genotipe
Gen tahan
1 Kinmaze 2 Kogyoku 3 Tetep 4 Wase Aikoku 5 Java 14 Kelompok patotipe
Tidak ada Xa-1, Xa-12 Xa-1, Xa-2 Xa-3 (Xa-12) Xa-1, Xa-2, and Xa-12
Reaksi ketahanan terhadap bakteri Xoo R T T T T I
R R T T T I
R R R T T III
R R R R R IV
R T T R T V
T T R T T VI
R R R T R VII
R R R R T VIII
R R T R T IX
R T R R T X
R R T R R XI
T T T R T XII
T= tahan, keparahan penyakit ≤11%; R = rentan, keparahan penyakit >11%. Sumber: Suparyono et al. 2003.
115
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
keparahan penyakit hasil pengamatan terakhir. Keparahan penyakit ≤11% tergolong tahan (T), keparahan >11% tergolong rentan (R) (Suparyono et al. 2003). Pengelompokan patotipe berdasarkan nilai interaksi antara ketahanan varietas diferensial dengan virulensi Xoo (Tabel 1). Data tidak dianalisis secara statistik, tetapi disajikan dalam bentuk skor keparahan penyakit HDB, kelompok patotipe, peta komposisi, dan sebaran patotipe patogen Xoo.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Penyakit HDB di Beberapa Kabupaten di Nusa Tenggara Barat Secara umum terlihat tingkat penularan penyakit HDB di Nusa Tenggara Barat merata di tiap lokasi, dari ringan sampai sangat parah dengan skor 1-9. Sampel daun padi sakit HDB diperoleh sebanyak 240 yang terdiri atas 53 sampel di Lombok Tengah, 51 sampel di Lombok Barat, 30 sampel di Lombok Timur, 26 sampel di Lombok Utara,
26 sampel di Mataram, dan 54 sampel di Sumbawa (Tabel 2). Di Kabupaten Lombok Tengah ditemukan 53 sampel tanaman bergejala HDB yang terdiri atas 10 sampel dari Kecamatan Praya Barat pada varietas Ciherang dengan skor 5-9, 12 sampel di Kecamatan Batukliang pada varietas Cigeulis, Cilosari, dan Ketan Lokal dengan skor 1-7. Tujuh sampel ditemukan di Kecamatan Kopang pada varietas Ciherang dan Cilosari dengan skor 5-7, delapan sampel di Kecamatan Paraya Tengah pada varietas Cilosari dan Ciherang dengan skor 3-5. Di Kecamatan Praya ditemukan delapan sampel pada varietas Ciherang dengan skor 3-9, dan delapan sampel di Kecamatan Jonggot pada varietas Inpari13 dengan skor 5-7, dan empat sampel pada varietas Ciherang skor 7-9. Di Kabupaten Lombok Barat ditemukan 51sampel tanaman sakit HDB, enam sampel di Kecamatan Kuripan pada varietas Ciherang dengan skor 3-5, 12 sampel di Kecamatan Gerung pada varietas Ciherang, IR36, dan Inpari4 dengan skor 3-7. Tiga sampel ditemukan di Kecamatan Kopang pada varietas Ciherang dan Cilosari dengan skor 5-7. Di Kecamatan Kediri ditemukan 13 sampel pada varietas Ciherang dengan skor 3-9. Di
Tabel 2. Lokasi pengambilan sampel, jumlah sampel tanaman padi sakit, skor dan tingkat penularan penyakit HDB di Nusa Tenggara Barat, MT 2012. Kabupaten
Kecamatan
Jumlah sampel
Skor
Tingkat penularan HDB
Lombok Tengah
Praya Barat Kopang Batukliang Praya Tengah Praya Jonggot
10 7 12 8 8 8
5-9 5 1-7 3-5 3-9 5-9
Agak parah sampai sangat parah Agak parah Ringan sampai parah Agak ringan sampai agak parah Ringan sampai sangat parah Agak parah sampai parah
Lombok Barat
Kuripan Garung Kediri Labuapi Gunungsari
6 12 13 8 8
3-5 3-9 3-9 3-5 1-5
Agak ringan sampai agak parah Agak ringan sampai sangat parah Agak ringan sampai sangat parah Agak ringan sampai agak parah Ringan sampai agak parah
Lombok Timur
Terarah Sikur Akmel Mubagik Selong Sukamulya
8 4 4 4 4 6
3-5 3 3-7 7 3-5 3-5
Agak ringan sampai agak parah Agak ringan Agak ringan sampai parah Parah Agak ringan sampai agak parah Agak ringan sampai agak parah
Lombok Utara
Bayan Pamenang
18 12
1-5 3-5
Ringan sampai agak parah Agak ringan sampai agak parah
Kota Mataram
Sandubudaya Cakranegara Sekarbela Karangpule
8 6 6 6
3-7 3-5 3 3-7
Agak Agak Agak Agak
Sumbawa
Alas Barat Buer Alas Utan Rhee
16 14 6 14 4
1-3 3 3 3 3
Ringan sampai agak ringan Agak ringan Agak ringan Agak ringan Agak ringan
240
1-9
Ringan sampai sangat parah
Jumlah sampel tanaman sakit HDB
116
ringan sampai parah ringan sampai agak parah ringan ringan sampai parah
SUDIR ET AL.: KOMPOSISI DAN SEBARAN PATOTIPE XANTHOMONAS ORYZAE PADA PADI
Kecamatan Labuapi ditemukan delapan sampel pada varietas Ciherang dengan skor 3-5, dan di Kecamatan Gunungsari delapan sampel pada varietas Cigeulis, Inpari3, dan Ciherang dengan skor 1-5. Di Kabupaten Lombok Timur ditemukan 30 sampel tanaman bergejala HDB, masing-masing empat sampel di Kecamatan Terarah, Kecamatan Sikur, Akmel, Masbagik, dan Selong dan enam sampel di Kecamatan Sukamulya. Delapan sampel ditemukan di Kecamatan Terarah pada varietas Ciherang dan Cilosari dengan skor 3-5, di Kecamatan Sikur empat sampel pada varietas Ciherang dan Cilosari dengan skor 3. Empat sampel ditemukan di Kecamatan Akmel pada varietas Cilosari dengan skor 3-7, empat sampel di Kecamatan Masbagik pada varietas Cilosari dan Ciherang dengan skor 3-5. Di Kecamatan Selong ditemukan empat sampel pada varietas Ciherang dengan skor 3-7, dan di Kecamatan Sukamulya enam sampel pada varietas Ciherang dengan skor 3-5. Di Kabupaten Lombok Utara ditemukan 30 sampel tanaman bergejala HDB yang terdiri atas 18 sampel di Kecamatan Bayan dan 12 sampel di Kecamatan Pamenang. Di Kecamatan Bayan, sampel terdiri atas varietas Cigeulis, Cimelati, Ciherang, dan Ketan Lokal dengan skor 1-7, sedangkan di Kecamatan Pemenang terdiri atas varietas Cigeulis dan Ciherang dengan skor 35. Di Kota Mataram ditemukan 26 sampel tanaman sakit HDB yang terdiri atas delapan sampel di Kecamatan Sandubudaya, dan masing-masing enam sampel di Kecamatan Cakranegara, Sekarbela, dan Karangpule. Di Kecamatan Cakranegara, Sandubudaya, dan Karangpule semua sampel diperoleh pada varietas Ciherang dengan skor 3-7, sedangkan di Kecamatan Sekarbela terdiri atas varietas Ciherang dan Ketan Lokal dengan skor 3. Di Kabupaten Sumbawa ditemukan 54 sampel tanaman sakit HDB yang terdiri atas 16 sampel di Kecamatan Alas Barat, 14 sampel di Kecamatan Buer, enam sampel di Kecamatan Alas, 14 sampel di Kecamatan Utan, dan empat sampel di Kecamatan Rhee. Di Kecamatan Alas Barat, sampel tanaman sakit HDB terdiri atas varietas Ciherang, Ketan, Inpari4 dan Mekongga dengan skor 1-3, sedangkan di Kecamatan Buer sampel terdiri atas varietas Ciherang, Sembada, dan Cigeulis. Di Kecamatan Alas, sampel terdiri atas varietas Inpari 4 dan Mekongga dengan skor 3, di Kecamatan Utan pada varietas Mekongga, Cigeulis, Ciherang, dan Sembada dengan skor 3, sedangkan sampel yang ditemukan di Kecamatan Rhee adalah pada varietas Ciherang dengan skor 3. Pertanaman padi yang ditemukan tertular penyakit HDB umumnya pada fase anakan maksimum sampai menguning (gejala hawar daun) dan tidak ditemukan pada tanaman muda (gejala kresek). Tingkat keparahan
penyakit HDB yang tinggi umumnya dijumpai pada varietas padi yang tidak memiliki gen ketahanan atau memiliki gen ketahanan tetapi hanya tahan terhadap patotipe tertentu seperti Ciherang tahan terhadap Xoo patotipe III tetapi rentan terhadap patotipe IV dan VIII (Suprihatno et al. 2011). Keparahan HDB tinggi juga dijumpai pada pertanaman yang dipupuk nitrogen (urea) dengan dosis tinggi (di atas 200 kg/ha) tanpa diimbangi dengan pemberian pupuk kalium dan pada kondisi drainase yang kurang baik atau selalu tergenang. Penggunaan pupuk nitrogen dalam jumlah yang tinggi tanpa diimbangi pupuk kalium membuat tanaman lebih sukulen sehingga mudah terinfeksi patogen (Suparyono et al. 1992). Kondisi air yang menggenang terus-menerus diduga menyebabkan kelembapan selalu tinggi yang akan mendukung perkembangan penyakit HDB. Suparyono et al. (2004) melaporkan bahwa Xoo berkembang baik pada kondisi kelembaban dan suhu tinggi, terutama pada musim hujan. Tingkat Keparahan Penyakit HDB pada Beberapa Varietas Padi Sampel yang diperoleh terdiri atas 12 varietas padi, yaitu Ciherang, Cilosari, Cigeulis, Ketan Lokal, Inpari 4, Mekongga, Cimelati, IR36, Sembada, Inpari13, IR66 dan Inpari 3. Varietas yang dominan dan penyebarannya luas adalah Ciherang 132 sampel (55%), diikuti oleh Cilosari 27 sampel (11,25%), Cigeulis 26 sampel (10,83%), Ketan Lokal 12 sampel (5,0%), Inpari 4 sembilan sampel (3,75%), Mekongga delapan sampel (3,4%), Sembada dan IR36 masing-masing enam sampel (2,5%), Inpari13 empat sampel (1,7%), IR66 dan Inpari3 masing-masing dua sampel (0,8%). Tingkat keparahan penyakit HDB bervariasi dari ringan (skor 1) sampai sangat parah (skor 9) (Tabel 3). Tabel 3. Varietas, jumlah sampel, dan tingkat keparahan penyakit HDB pada sampel tanaman di beberapa kabupaten di NTB, MT 2012. Jumlah sampel dengan skor keparahan Varietas
Jumlah sampel
1
3
5
7
9
Ciherang Cilosari Cigeulis Ketan Lokal Inpari 4 Mekongga Cimelati Sembada IR 36 Inpari 13 Inpari 3 IR 66
132 27 26 12 9 8 6 6 6 4 2 2
0 0 4 6 4 2 0 0 0 0 0 0
65 16 18 6 5 6 0 6 3 0 2 2
35 7 4 0 0 0 4 0 1 2 0 0
23 4 0 0 0 0 2 0 2 2 0 0
9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah
240
16
129
55
33
9
117
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Dari 132 sampel varietas Ciherang, 65 sampel di antaranya dengan tingkat keparahan skor 3, 35 sampel skor 5, 23 sampel skor 7, dan sembilan sampel skor 9. Dari 27 sampel varietas Cilosari, 16 sampel di antaranya dengan tingkat keparahan skor 3, tujuh sampel skor 5, dan empat sampel skor 7. Dua puluh enam sampel varietas Cigeulis terdiri atas empat sampel dengan tingkat keparahan ringan skor 1, 18 sampel skor 3, dan empat sampel skor 5. Dua belas sampel varietas Ketan Lokal terdiri atas enam sampel skor 1 dan enam sampel skor 3. Sembilan sampel varietas Inpari 4 terdiri atas empat sampel skor 1 dan lima sampel skor 3. Sampel varietas Mekongga terdiri atas dua sampel skor 1 dan enam sampel skor 3. Varietas Cimelati, Sembada, dan IR 36 masing-masing terdiri atas enam sampel. Varietas Cimelati terdiri atas empat sampel skor 5 dan dua sampel skor 7. Enam sampel varietas Sembada dengan skor 3, sedangkan enam sampel IR36 terdiri atas tiga sampel skor 3, satu sampel skor 5, dan dua sampel skor 7. Varietas Inpari 13 terdiri atas empat sampel, dua sampel skor 5 dan dua sampel skor 7. Dua sampel varietas Inpari3 dan dua sampel IR66 memiliki skor 3 (Tabel 3). Keparahan penyakit HDB dengan skor keparahan lima atau lebih besar mengindikasikan varietas tersebut tidak tahan penyakit HDB (Suparyono et al. 2003). Isolasi dan Pengujian Patotipe Xoo Isolasi bakteri Xoo dari 240 sampel tanaman yang menunjukkan gejala HDB diperoleh 232 isolat yang terdiri atas 53 isolat dari Kabupaten Lombok Tengah, 51 isolat dari Kabupaten Lombok Barat, 30 isolat dari Kabupatn Lombok Timur, 20 isolat dari Kabupaten Lombok Utara, 26 isolat dari Kota Mataram, dan 52 isolat dari Kabupaten Sumbawa (Tabel 4). Hasil pengujian virulensi Xoo terhadap varietas diferensial menunjukkan tingkat virulensi yang beragam. Keberagaman virulensi isolat Xoo tersebut diperlihatkan oleh adanya variasi keparahan penyakit pada tanaman varietas diferensial
Tabel 4. Komposisi patotipe Xoo di beberapa sentra produksi padi di Propinsi NTB, MT 2012. Patotipe Lokasi/ Kabupaten
Jumlah Jumlah sampel isolat
III
Lombok Tengah Lombok Barat Lombok Timur Lombok Utara Mataram Sumbawa
50 50 30 26 26 54
50 50 30 20 26 52
21 7 1 4 5 9
Jumlah
240
232
47 (20%) 118 (51%)
118
(42%) (14%) (3,3%) (20%) (19%) (17%)
IV 14 37 16 7 14 26
(28%) (74%) (53,3) (35%) (54%) (50%)
VIII 15 6 13 9 7 17
(30%) (12%) (43,3) (45%) (27%) (33%)
67 (29%)
yang diinokulasi dengan isolat Xoo dari ringan (keparahan kurang dari 6%) sampai sangat parah (keparahan lebih dari 60%). Perbedaan keparahan ini disebabkan oleh adanya interaksi antara gen tahan pada masing-masing varietas diferensial dengan gen virulen pada masing-masing isolat Xoo. Isolat-isolat Xoo yang diuji umumnya memiliki virulensi tinggi terhadap Kinmaze (tanpa gen tahan), Kogyoku (memiliki dua gen tahan dominan Xa-1 dan Xa-12), dan Tetep (memilki dua gen tahan dominan, Xa-1 dan Xa-2). Terhadap varietas Wase Aikoku (gen tahan Xa-3 dan Xa-12) dan Java 14 (gen tahan Xa-1, Xa-2, dan Xa-12), isolat-isolat Xoo menunjukkan virulensi yang rendah. Berdasarkan nilai interaksi antara tingkat ketahanan varietas diferensial dengan virulensi isolat Xoo, isolat Xoo di Nusa Tenggara Barat tergolong patotipe III, IV, dan VIII dengan komposisi dan dominasi yang berbeda-beda antardaerah asal isolat. Xoo patotipe III terdiri atas isolatisolat yang virulensinya tinggi terhadap varietas diferensial Kinmaze, Kogyoku, dan Tetep, tetapi lebih rendah terhadap Wase Aikoku dan Java 14. Xoo patotipe IV adalah isolat-isolat yang virulensinya tinggi terhadap semua varietas diferensial, sedangkan patotipe VIII adalah isolat-isolat yang memiliki virulensi tinggi terhadap varietas diferensial Kinmase, Kogyoku, Tetep, dan Wase Aikoku, tetapi rendah terhadap Java 14. Berdasarkan reaksi virulensinya terhadap varietas diferensial, patotipe IV memiliki virulensi lebih tinggi dibanding patotipe III dan VIII (Suparyono et al. 2003) Dari 232 isolat Xoo di Provinsi Nusa Tenggara Barat, 47 isolat (20%) di antaranya patotipe III, 118 isolat (51%) patotipe IV, dan 67 isolat (29%) patotipe VIII. Lima puluh tiga isolat yang berasal dari Kabupaten Lombok Tengah terdiri atas 21 isolat (42%) patotipe III, 14 isolat (30%) patotipe IV, dan 15 isolat (28%) patotipe VIII. Di Kabupaten Lombok Barat diperoleh 50 isolat Xoo yang terdiri atas tujuh isolat (14%) patotipe III, 37 isolat (74%) patotipe IV, dan 6 isolat (12%) patotipe VIII. Di Kabupaten Lombok Timur terdapat 30 isolat yang terdiri atas satu isolat (3,3%) patotipe III, 16 isolat (53,3%) patotipe IV, dan 13 isolat (43,3%) patotipe VIII. Di Kabupaten Lombok Utara diperoleh terdapat 20 bakteri yang terdiri atas empat isolat (20%) patotipe III, tujuh isolat (35%) patotipe IV, dan sembilan isolat (45%) patotipe VIII. Di Kota Mataram diperoleh 26 bakteri yang terdiri atas lima isolat (19%) patotipe III, 14 isolat (54%) patotipe IV, dan tujuh isolat (27%) patotipe VIII. Di Kabupaten Sumbawa diperoleh 52 isolat yang terdiri atas sembilan siolat (17%) patotipe III, 26 isolat (50%) IV, dan 17 isolat (33%) patotipe VIII (Tabel 4). Dari data ini diketahui penyebaran patotipe bakteri Xoo penyebab penyakit HDB di beberapa kabupaten di Provinsi NTB. Patotipe III, IV dan VIII tersebar di
SUDIR ET AL.: KOMPOSISI DAN SEBARAN PATOTIPE XANTHOMONAS ORYZAE PADA PADI
Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, Mataram, dan Sumbawa. Patotipe III dominan di Kabupaten Lombok Tengah, patotipe IV dominan di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur, Mataram, dan Sumbawa. Patotipe VIII dominan di Kabupaten Lombok Utara. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap variasi patotipe suatu patogen di suatu tempat, di antaranya adalah fenomena adult-plant resistance, mutasi, dan sifat heterogen alamiah yang ada pada populasi patogen. Ketiga faktor ini sangat berpengaruh terhadap dinamika populasi patotipe, keparahan penyakit, dan kehilangan hasil karena penyakit (Suparyono et al. 2003). Adult-plant resistance adalah sifat tahan yang muncul pada saat tanaman sudah mencapai fase generatif. Fenomena serupa dapat terjadi akibat proses mutasi. Kemungkinan lain adalah adanya karakter heterogenisitas yang bersifat alamiah dari suatu populasi mikroorganisme. Suparyono et al. (2003) melaporkan keberagaman varietas padi dengan latar belakang genotipe yang berbeda berpengaruh terhadap keberagaman patotipe patogen. Selain itu dilaporkan pula bahwa pengujian pada musim kemarau menunjukkan dominasi patotipe Xoo kelompok III dan VIII di beberapa sentra produksi padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur pada MK 2001, berimbang berturut-turut 42,7% dan 42,0%. Pada musim hujan dominasi patotipe berubah, yaitu patotipe VIII sangat dominan (63%), diikuti patotipe IV (29%), dan patotipe III (9%). Perubahan ini menunjukkan perubahan virulensi, musim hujan virulensi bakteri Xoo lebih tinggi dibanding musim kemarau. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan berguna sebagai pedoman untuk menyusun strategi pewilayahan varietas di Nusa Tenggara Barat sebagai dasar rekomendasi penanaman varietas tahan untuk pengendalian penyakit HDB, sesuai dengan keberadaan patotipe Xoo. Sebagai contoh, di daerah endemi Xoo patotipe III disarankan menanam varietas yang tahan Xoo patotipe III. Rekomondasi yang sama juga berlaku untuk daerah endemis Xoo patotipe IV dan VIII. Badan Litbang Kementerian Pertanian telah melepas sejumlah varietas padi yang memiliki ketahanan terhadap Xoo patotipe tertentu, diantaranya varietas Memberamo, Cibodas, Ciherang, Sintanur, Cigeulis, Inpari 5, Inpari 6, Inpari 7, dan Inpari 8 yang tahan terhadap Xoo patotipe III. Varietas Inpari 4 agak tahan terhadap Xoo patotipe III dan IV, sedangkan varietas Angke, Conde, Inpari 6, dan Inpari 17 tahan terhadap Xoo patotipe III, IV dan VIII (Suprihatno et al. 2011). Kesesuaian penanaman varietas dengan keadaan patotipe patogen di suatu wilayah berdampak positif terhadap efektivitas pengendalian penyakit HDB, sehingga penularan penyakit dapat ditekan,
umur ketahanan varietas terhadap penyakit HDB dapat diperpanjang, dan kehilangan hasil dapat ditekan.
KESIMPULAN 1. Pada MT 2012, penyakit HDB di Nusa Tenggara Barat tersebar di Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, Mataram, dan Sumbawa pada 12 varietas padi, baik varietas unggul baru (VUB) maupun varietas lokal, dengan tingkat keparahan yang beragam, mulai dari ringan (skor 1) sampai sangat parah (skor 9). 2. Berdasarkan virulensinya terhadap varietas padi diferensial, isolate bakteri Xoo di Nusa Tenggara Barat terdiri atas tiga patotipe, yaitu patotipe III, IV, dan VIII dengan komposisi sebaran yang beragam antarlokasi. Komposisi bakteri Xoo terdiri atas 47 isolat (20%) patotipe III, 118 isolat (51%) patotipe IV, dan 67 isolat (29%) patotipe VIII. Patotipe III dominan di Kabupaten Lombok Tengah, patotipe IV di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur, Mataram, dan Sumbawa, dan patotipe VIII di Kabupaten Lombok Utara. 3. Pola sebaran patotipe Xoo di Nusa Tenggara Barat dapat digunakan sebagai acuan pengendalian penyakit HDB dengan varietas tahan berdasarkan kesesuaian antara sifat ketahanan varietas dengan patotipe Xoo di lapangan. Di daerah yang Xoo patotipe III dominan disarankan menanam varietas padi yang tahan Xoo patotipe III, di daerah dominan patotipe IV disarankan menanam varietas padi tahan Xoo patotipe IV, dan di daerah dominan Xoo patotipe VIII disarankan menanam varietas padi tahan Xoo patotipe VIII.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Sdr. Suwarji dan Umin Sumarlin, atas bantuan pelaksanaan penelitian di laboratorium dan lapang yang mereka kerjakan dengan baik dan penuh tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Statistik Indonesia 2012. 620 p. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (Ditlin). 2007. Informasi perkembangan serangan OPT padi tahun 2006, tahun 2005 dan rerata 5 tahun (2000-2004). Hifni, H.R. dan K. Kardin. 1998. Pengelompokan isolat Xanthomoas oryzae pv. oryzae dengan menggunakan galur isogenik padi IRRI. Hayati 5(3):66-72.
119
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Hoang, D.D., N.K. Oanh, N.D.Toan, P. Van du, and L.C. Loan. 2008. Pathotype profile of Xanthomonas oryzae pv. oryzae isolates from the rice ecosystem in Culong Rever delta. Omonrice 16:34-40.
Timur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 15(1):25-39.
IRRI (International Rice Research Institute). 2013. Standard evaluation system for rice. INGER Genetic Resources Center.The International Rice Research Institute. Los Banos, Laguna, Philippines. 5th Ed. 55pp.
Sudir, D. Yuliani, and A. Yusuf. 2013. Structure and disstribution Xanthmonas oryzae pv. oryzae patotipe causing of rice bacterial leaf blight at central rice production in North Sumatra. Proc. Internat. Sem. Technology Innovation for Rice Production and Conserving Environment under Global Climate Change. pp.409-435. Sukamandi 11-12 July 2012.
Jeung, J.U., S.G. Heu, M.S. Shin, C.M.V. Cruz, and K.K. Jena. 2006. Dynamics of Xanthomonas oryzae pv. oryzae populations in Korea and their relationship to known bacterial blight resistance genes. Phytopathology 96: 867-875.
Suparyono, S. Kartaatmadja, dan A.M. Fagi. 1992. Relationship between potassium and development of several major rice diseases. Proseding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992. p.155-162.
Lalitha, M.S., G.L. Devi, G.N. Kumar, and H.E. Shashidhar. 2010. Molecular marker-assisted selection: A tool for insulating parental lines of hybrid rice against bacterial leaf blight. Internat. J. Plant Pathol. 1:114-123.
Suparyono dan Sudir. 1992. Perkembangan penyakit bakteri hawar daun pada stadia tumbuh berbeda dan pengaruhnya terhadap hasil padi. Media Penelitian Sukamandi 12: 6-9.
Nayak, D., M.L. Shanti, L.K. Bose, U.D. Singh, and P. Nayak. 2008. Pathogenicity association in Xanthomonas oryzae pv. oryzae the caosal organism of rice bacterial blight disease. Asian Research Publishing Network (ARPN). J. Agric. Biol. Sci. 3 (1):12-27. Ogawa, T. 1993. Methods and strategy for monitoring race distribution and identification of resistence genes to bacterial leaf blight Xanthomonas campestris pv.oryzae in rice. JARQ 27:71-80. Sudir, Suprihanto, dan Triny S. Kadir. 2009. Identifikasi patotipe Xanthmonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri padi di daerah sentra produksi padi di Jawa. Jurnal Penelitian Pertanian 28(3):131-138. Sudir. 2011. Peta penyebaran patotipe Xanthmonas oryzae pv. oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri padi di daerah sentra produksi padi di Jawa. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Padi Nasional 2011. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, 27-28 Juli 2011. Buku I. p.109-120. Sudir dan Handoko. 2012. Komposisi dan penyebaran patotipe Xanthmonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri padi di beberapa daerah produksi padi di Jawa
120
Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipe patogen hawar daun bakteri pada tanaman padi stadium tumbuh berbeda. Jurnal Penelitian Pertanian 22(1):45-50. Suparyono, Sudir, and Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomoas campestris pv. oryzae,isolates from the rice ecosystem in Java. Indonesian J. Agric. Sci. 5(2):63-69. Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki, S.E., Sudir, A. Setyono, S.D. Indrasari, M.Y. Samaullah, dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi varietas padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Badan Litbang Pertanian. 115p. White, F.F. and B. Young. 2009. Host ang pathogen factors controlling the rice- Xanthmonas oryzae pv. oryzae interaction. Plant Physiol. 150:1677-1686. Yuliani, D., A . Faizal, dan Sudir. 2012. Identifikasi patotipe Xanthomonas oryzae pv oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri di daerah sentra produksi padi di provinsi Sulawesi Selatan. Pros. Seminar Hasil Penelitian Padi Nasional 2011: Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Cekaman Lingkungan Biotik dan Abiotik:121-130. Zhang, Q. 2005. Utilization and strategy of gene for resistance to rice bacterial blight in China. Chinese J. Rice Sci. 19: 453-459.
YULIANI ET AL.: MORFOLOGI DAN KETAHANAN HAWAR DAUN BAKTERI PADA PADI
Karakterisasi Sifat Morfologi dan Ketahanan terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Beberapa Varietas Padi Morphological Characterization and Resistant to Bacterial Leaf Blight among Rice Genotypes Dini Yuliani, Rina Hapsari Wening, dan Sudir Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat Email:
[email protected] Naskah diterima 21 April 2014 dan disetujui diterbitkan 31 Desember 2014
ABSTRACT. Bacterial leaf blight, caused by Xanthomonas oryzae pv oryzae (Xoo) is common disease on rice crop in Indonesia. Resistance variety when available, would be a good control measure to the disease, which could be easily adopted by farmers. Source of gene for resistance needs to be identified among rice genotypes, to be used as parents in the breeding program. This research was aimed to characterize the morphological traits and the degree of resistance among rice genotypes against Xoo pathotype III, IV, and VIII. The experiment was conducted at Sukamandi experimental field of Indonesian Center for Rice Research, during the wet season of 2012/2013 and dry season of 2013, using a randomized factorial design. The first factor was three Xoo pathotypes i.e. pathotype III, IV, and VIII, the second factor was 20 rice genotypes including three check varieties, i.e. Ciherang, Inpari 13, and Angke. Observations of morphological and agronomic characters were done on rice plants started from primordial to grain ripening phase. Observations on BLB disease severity were done by measuring the longest symptoms on the leaves at two, three, and four weeks after inoculation. The morphological characters of the isogenic lines showed moderate leaf surface type with an open habitus (60o). Plant height ranged from 99 to 190 cm, maturity between 109 to 157 days after sowing, and the number of tillers was 9-23 tillers/hill. Against the Xoo pathotype III, IV, and VIII, three genotypes of near isogenic lines i.e. IRBB 60, IRBB 61, and IRBB 55 each was resistance, not significantly different from resistance check variety Angke, in two cropping seasons. All three isogenic lines can be used as parent to develop new resistant variety to bacterial leaf blight. Keywords: Rice, genotype, bacterial leaf blight, characterization resistance. ABSTRAK. Tanaman padi di Indonesia sering dihadapkan pada serangan penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo). Pengendalian penyakit HDB dengan varietas tahan merupakan salah satu teknik yang murah dan mudah dilakukan petani. Genotipe padi sebagai sumber tetua untuk perakitan varietas tahan perlu diketahui reaksi ketahanannya terhadap penyakit HDB. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi dan mengevaluasi ketahanan genotipe padi terhadap penyakit HDB patotipe III, IV, dan VIII. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sukamandi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi pada musim hujan 2012/2013 dan musim kemarau 2013 dengan rancangan percobaan faktorial acak kelompok. Faktor pertama adalah tiga patotipe Xoo, yaitu patotipe III, IV, dan VIII. Faktor kedua adalah 20 genotipe padi dan tiga varietas pembanding, yaitu
Ciherang, Inpari 13, dan Angke. Pengamatan karakterisasi morfologi dan agronomi dilakukan pada tanaman padi mulai pada fase primordia hingga menguning. Pengamatan intensitas penyakit HDB dilakukan dengan mengukur gejala terpanjang pada umur 2, 3, dan 4 minggu setelah inokulasi. Hasil penelitian menunjukkan karakter morfologi dari genotipe padi yang diteliti memiliki tipe permukaan daun sedang dan habitus terbuka (60o). Karakter agronomi dari genotipe padi memiliki tinggi tanaman 99-190 cm, umur matang 109157 hari, dan jumlah anakan 9-23 anakan/rumpun. Dari pengujian ketahanan terhadap HDB patotipe III, IV, dan VIII diperoleh tiga genotipe padi yang berasal dari galur isogenik yaitu IRBB 60, IRBB 61, dan IRBB 55. Intensitas penyakit HDB tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding tahan Angke pada dua musim tanam. Ketiga galur isogenik tersebut dapat dijadikan tetua tahan dalam perakitan varietas unggul baru tahan HDB. Kata kunci: Padi, genotipe, hawar daun bakteri, karakterisasi ketahanan.
PENDAHULUAN Hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) merupakan salah satu penyakit utama tanaman padi di negara-negara produsen beras, termasuk Indonesia. Penyakit HDB dapat merusak semua fase tumbuh pada tanaman padi mulai dari persemaian hingga menjelang panen dengan dua gejala khas, yaitu kresek dan hawar. Kresek yaitu gejala yang timbul pada tanaman padi pada fase vegetatif, sedangkan gejala hawar timbul pada fase generatif. Baik kresek maupun hawar menyebabkan daun tanaman berwarna hijau kelabu, melipat, menggulung, dan akhirnya mengering (Sudir 2011). Akibat kerusakan pada daun, kemampuan fotosintesis tanaman padi menjadi berkurang dan proses pengisian gabah terganggu sehingga gabah tidak terisi penuh bahkan hampa (Mew et al. 1982 dalam Sudir dan Sutaryo 2011). Penularan yang terjadi pada fase awal vegetatif dapat menyebabkan tanaman puso, sedangkan serangan pada fase tanaman generatif menyebabkan 121
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
pengisian gabah menjadi kurang sempurna dan kehilangan hasil mencapai 50% (Shen and Ronald 2002). Di Jepang, kehilangan hasil yang diakibatkan penyakit ini berkisar antara 20-50%. Di daerah tropis, misalnya Indonesia, kerusakan pertanaman padi lebih besar dibandingkan dengan di daerah subtropis (Khaeruni 2001). Ambang kerusakan tanaman padi oleh penyakit HDB adalah pada intensitas penularan 20-30% dua minggu sebelum panen pada varietas tahan hingga rentan. Setiap kenaikan 10% intensitas penyakit HDB dari ambang kerusakan menyebabkan kehilangan hasil gabah meningkat 5-7% (Suparyono dan Sudir 1992 dalam Susanto dan Sudir 2012). Luas penularan HDB di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 110.248 ha, 12 ha di antaranya puso. Luas penularan yang paling parah terjadi di Jawa Barat 40.486 ha, Jawa Tengah 30.029 ha, Jawa Timur 23.504 ha, Banten 3.745 ha, dan Sulawesi Tenggara 2.678 ha (Ditlin 2011). HDB termasuk penyakit yang sulit dikendalikan karena bakteri Xoo memiliki keragaman patotipe yang tinggi dan virulensinya mudah berubah dalam waktu relatif singkat untuk menyesuaikan diri dengan ketahanan varietas pada inangnya. Berdasarkan virulensinya terhadap varietas diferensial (Kinmaze, Kogyoku, Tetep, Wase Aikoku, dan Java 14) dengan gen ketahanan berbeda, bakteri Xoo telah dikelompokkan ke dalam berbagai patotipe. Saat ini di Indonesia terdapat 12 patotipe Xoo yang sebaran dan dominasinya mudah berubah yang dipengaruhi oleh varietas padi, musim, dan lokasi (Kadir et al. 2009). Sudir et al. (2009) melaporkan tiga patotipe Xoo yang dominan di sentra produksi padi di Jawa yaitu patotipe III, IV, dan VIII dengan komposisi dan dominasi yang bervariasi. Penanaman varietas tahan merupakan salah satu teknik pengendalian yang efektif dan mudah dilakukan petani. Gen ketahanan Xoo pada varietas padi Indonesia sebagian berasal dari varietas lokal, varietas unggul nasional, dan varietas introduksi (Silitonga 2010). Perakitan varietas padi dengan penggunaan gen-gen tahan dari berbagai varietas berpeluang menghasilkan varietas tahan HDB yang ‘disukai’ petani. Menurut Nafisah et al. (2006), varietas lokal masih dipertahankan petani karena keunggulannya yang tidak dimiliki oleh varietas padi modern. Genotipe padi yang berasal dari varietas lokal dapat menjadi sumber gen ketahanan penyakit HDB. Namun, varietas lokal belum intensif digunakan sebagai tetua dalam program pemuliaan. Varietas lokal yang teridentifikasi tahan terhadap HDB dapat dimanfaatkan sebagai sumber gen ketahanan dalam perakitan varietas tahan. Variasi genetik yang semakin luas dapat menjadi alternatif pergiliran varietas untuk memperlambat bakteri Xoo membentuk patotipe yang lebih virulen. Dari sisi patogenisitas, evaluasi ketahanan terhadap patotipe Xoo
122
tertentu juga berguna untuk mengetahui status virulensi patogen terhadap ketahanan genotipe padi. International Rice Research Institute (IRRI) telah merakit galur-galur isogenik dan melakukan penumpukan (piramiding) gen-gen pengendali ketahanan terhadap HDB (Vera Crus, 2002). Hasil piramiding gen telah teridentifikasi lebih dari 25 gen ketahanan terhadap HDB (Lee et al. 2003; Yang et al. 2003). Gen-gen Xa yang terkandung dalam galur isogenik secara spesifik efektif untuk pengelolaan HDB di beberapa negara (Loan et al. 2006). Menurut Tasliah (2012), piramiding gen-gen Xa merupakan salah satu cara untuk mendapatkan tanaman padi yang memiliki ketahanan HDB yang lebih lama. Galur-galur isogenik yang diuji adalah IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61, mengandung kombinasi gen berturut-turut (xa13 + Xa21), (Xa4 + xa5 + xa13 + Xa21), dan (Xa4 + xa5 + Xa7) (Vera Crus 2002). Pengujian galur-galur tersebut diharapkan dapat membantu penyusunan strategi pemuliaan untuk merakit varietas padi tahan HDB yang memiliki spektrum luas. Bertitik tolak pada komposisi dan dominasi patotipe Xoo di Indonesia, evaluasi genotipe padi sebaiknya ditujukan untuk memperoleh galur/varietas yang tahan terhadap Xoo patotipe III, IV, dan VIII, sehingga dapat menjadi sumber gen ketahanan yang potensial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter morfologis dan agronomis serta ketahanan 20 genotipe padi terhadap penyakit HDB.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Sukamandi, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, pada MH 2012/2013 dan MK 2013. Materi uji terdiri atas Padi Jalawara, Yoing, Rampur Masuli, Tomas, Radha 11, Glabed, Kutuk, Djembon, Ringkak Janggut, Ciganjur, Mansur, Simerah, IR 71033-121-15-B, IR 73678-6-9-B, Swarnalata, Ketan Blimbing, Kuntulan, IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61. Genotipe-genotipe tersebut memiliki potensi hasil yang cukup tinggi pada musim sebelumnya, namun belum pernah diuji ketahanannya terhadap HDB. Sebagai pembanding digunakan varietas Ciherang, Inpari 13, dan Angke. Ciherang dan Inpari 13 merupakan varietas populer dan tersebar luas di Indonesia. Angke merupakan varietas pembanding tahan HDB, memiliki gen tahan xa5 yang bersifat resesif (Suprihatno et al. 2011). Penelitian menggunakan rancangan faktorial acak kelompok dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah tiga patotipe Xoo yaitu patotipe III, IV, dan VIII. Faktor kedua adalah 20 genotipe padi dan tiga varietas pembanding. Benih masing-masing genotipe disemai.
YULIANI ET AL.: MORFOLOGI DAN KETAHANAN HAWAR DAUN BAKTERI PADA PADI
Setelah berumur 21 hari setelah sebar (HSS), bibit dipindah tanam pada petak berukuran 2 m x 5 m dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm (160 rumpun/petak). Tanaman padi dipupuk nitrogen dalam bentuk urea, sesuai rekomendasi, diaplikasikan tiga kali, masingmasing 1/3 bagian pada 10-12 hari setelah tanam (HST), fase pembentukan anakan aktif, dan fase primordia. Seluruh petak diberi pupuk P sesuai dengan rekomendasi dan diaplikasikan seluruhnya pada pemupukan pertama. Penyiangan gulma dilakukan secara manual pada tanaman berumur 21 dan 42 HST. Pengendalian tikus dilakukan dengan pemasangan pagar plastik dan pengemposan. Peubah yang diamati adalah karakter morfologi (permukaan daun dan sudut batang) dan karakter agronomi tanaman (tinggi tanaman, jumlah anakan dan umur matang). Permukaan daun diamati pada fase bunting hingga fase pembungaan. Kekasaran dan kehalusan permukaan helaian daun didasarkan pada perabaan daun secara cermat menggunakan ibu jari dan jari telunjuk. Sudut batang diamati pada fase matang susu hingga fase pemasakan. Penampakan tegakan rumpun tanaman diamati berdasarkan besar sudut yang terbentuk antara batang anakan dengan garis imaginer yang berada di tengah-tengah rumpun, tegak lurus dengan permukaan tanah. Permukaan daun dan sudut batang dikategorikan berdasarkan Standard Evaluation System for Rice IRRI (1996) seperti tersaji pada Tabel 1. Tinggi tanaman dan jumlah anakan diamati dari 10 rumpun tanaman contoh pada saat tanaman memasuki fase matang susu hingga fase pemasakan. Umur matang dihitung sejak semai benih hingga gabah pada malai telah menguning atau matang 80%. Tahapan isolasi bakteri Xoo mengacu pada metode yang dilakukan Sudir et al. (2013). Biakan murni bakteri Xoo berumur 48 jam disuspensikan dengan menggunakan air steril hingga kepekatan 108 cfu. Suspensi kemudian ditampung dalam wadah yang terdapat pada gunting inokulasi. Inokulasi bakteri Xoo patotipe III, IV dan VIII dilakukan pada 20 rumpun tanaman sampel per petak yang terletak pada lima titik diagonal dengan empat rumpun per titik. Inokulasi dilakukan pada saat tanaman padi menjelang fase primordia dengan metode gunting. Ujung daun padi pada rumpun sampel tiap genotipe dipotong sepanjang kira-kira 10 cm dengan gunting inokulasi yang berisi suspensi bakteri Xoo. Untuk menghindari terik matahari, inokulasi dilakukan menjelang sore hari, sekitar pukul 16.00-17.30 WIB. Pengamatan intensitas penyakit HDB dilakukan pada 20 rumpun tanaman sampel per petak yang telah diinokulasi Xoo. Pengamatan dilakukan dengan mengukur lima daun bergejala terpanjang/rumpun pada
Tabel 1. Deskriptor tanaman padi berdasarkan SES IRRI (1996). Karakter
Skala
Kategori
Permukaaan daun
1 2 3
Tidak berbulu Sedang Berbulu
Habitus/sudut batang
1 3 5 7 9
Tegak (<30o) Sedang (45o) Terbuka (60o) Terserak (>60o) Batang terbawah mengenai permukaan tanah
Tabel 2. Pengelompokkan tingkat ketahanan genotipe padi terhadap penyakit hawar daun bakteri berdasar SES untuk padi (IRRI 1996). Nilai skala
Luas gejala/intensitas penyakit (%)
Tingkat ketahanan
0 1 3 5 7 9
Tidak ada gejala Intensitas 1-6% Intensitas > 6-12% Intensitas > 12-25% Intensitas > 25-50% Intensitas > 50-100%
Sangat tahan (ST) Tahan (T) Agak tahan (AT) Agak rentan (AR) Rentan (R) Sangat rentan (SR)
umur 2, 3, dan 4 minggu setelah inokulasi (MSI). Intensitas penyakit adalah rasio dari panjang gejala HDB, dibagi panjang daun yang diinokulasi, dikali 100%. Reaksi ketahanan genotipe padi dikelompokkan berdasarkan intensitas penyakit pada pengamatan terakhir (empat MSI) berdasar Standard Evaluation Sytem for Rice (IRRI 1996) menggunakan skala 0, 1, 3, 5, 7, dan 9 (Tabel 2). Untuk mengetahui pengaruh genotipe padi dan patotipe Xoo terhadap intensitas penyakit HDB, data pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan uji F pada taraf 5%. Jika perlakuan berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut menggunakan Least Significance Difference (LSD) pada taraf 5% (Gomez and Gomez 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Morfologi dan Agronomi Hasil pengamatan karakter 20 genotipe padi dan tiga varietas pembanding tersaji pada Tabel 3. Komposisi tipe permukaan daun dari genotipe padi yang diuji adalah tidak berbulu 13%, berbulu 39%, dan sedang 48%. Bentuk sudut batang pertumbuhan genotipe padi sebagian besar terbuka (48%), tipe habitus sedang (39%), dan tegak (13%). Karakter morfologi kualitatif tanaman padi seperti permukaan daun dan sudut batang dapat 123
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Tabel 3. Karakter permukaan daun dan sudut batang beberapa genotipe padi. Sukamandi, MH 2012/2013.
Tabel 4. Tinggi tanaman, umur matang, dan jumlah anakan beberapa genotipe padi. Sukamandi, MH 2012/2013.
No. lapang
Genotipe 1001 1 1002 2 1003 3 1004 4 1005 5 1006 6 1007 7 1008 8 1009 9 1010 10 1011 11 1012 12 1018 13 1021 14 1015 15 1016 16 1017 17 1013 18 1014 19 1019 Varietas 1022 1023 1024
20
Genotipe/ varietas
Permukaan daun
Sudut batang
No. lapang
Padi Jalawara Yoing Rampur Masuli Tomas Radha 11 Glabed Kutuk Djembon Ringkak Janggut Ciganjur Mansur Simerah Ketan Blimbing Kuntulan IR 71033-121-15-B IR73678-6-9-B Swarnalata IR-BB61 IR-BB60 (IR72920-1-44-4) IR-BB55 (IR72916-51-1-3)
Tidak berbulu Berbulu Sedang Berbulu Berbulu Berbulu Tidak berbulu Berbulu Sedang Sedang Berbulu Sedang Berbulu Sedang Berbulu Tidak berbulu Berbulu Sedang Sedang
Terbuka (60o) Terbuka (60o) Sedang (45o) Sedang (45o) Sedang (45o) Sedang (45o) Tegak (<30o) Terbuka (60o) Terbuka (60o) Sedang (45o) Terbuka (60o) Terbuka (60o) Sedang (45o) Terbuka (60o) Terbuka (60o) Tegak (<30o) Tegak (<30o) Terbuka (60o) Terbuka (60o)
Genotipe 1001 1 1002 2 1003 3 1004 4 1005 5 1006 6 1007 7 1008 8 1009 9 1010 10 1011 11 1012 12 1018 13 1021 14 1015 15 1016 16 1017 17 1013 18 1014 19
Sedang
Terbuka (60o)
pembanding A Ciherang B Inpari 13 C Angke
1019 Sedang Sedang Sedang
Sedang (45o) Sedang (45o) Sedang (45o)
dijadikan penciri dalam mengidentifikasi suatu genotipe padi dan hubungan kekerabatan. Tinggi tanaman, umur matang, dan jumlah anakan tersaji pada Tabel 4. Genotipe padi varietas lokal (No. 114) memiliki karakter yang sangat bervariasi pada tinggi tanaman, berkisar antara 133-191 cm, umur matang 109145 hari, dan jumlah anakan antara 9-18 anakan/ rumpun. Varietas lokal memiliki jumlah anakan dengan kisaran yang luas, merupakan karakter spesifik sebagai sumber keragaman genetik untuk kemajuan pemuliaan. Jumlah anakan produktif mengindikasikan total malai yang akan terbentuk di satu rumpun. Genotipe padi yang berasal dari galur/varietas introduksi (No. 15-17) mempunyai tinggi tanaman 121174 cm, umur matang antara 110-157 hari, dan jumlah anakan 17-23 batang/rumpun. Genotipe padi yang berasal dari galur isogenik (No. 18 s/d 20) mempunyai keragaman yang lebih sempit, tinggi tanaman berkisar antara 99-107 cm, umur matang 114-117 hari, dan jumlah anakan berkisar 18-19 anakan/rumpun. Varietas unggul baru yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dan digunakan sebagai varietas pembanding memiliki tinggi tanaman 111-125 cm, umur matang 110-119 hari, dan
124
Varietas 1022 1023 1024
20
Genotipe/ varietas
Padi Jalawara Yoing Rampur Masuli Tomas Radha 11 Glabed Kutuk Djembon Ringkak Janggut Ciganjur Mansur Simerah Ketan Blimbing Kuntulan IR 71033-121-15-B IR73678-6-9-B Swarnalata IR-BB61 IR-BB60 (IR72920-1-44-4) IR-BB55 (IR72916-51-1-3)
Pembanding A Ciherang B Inpari 13 C Angke
Tinggi tanaman (cm)
Umur matang (HSS)
Jumlah anakan/ rumpun
168 170 144 190 152 137 157 175 183 133 190 160 145 191 126 121 174 107 100
109 137 120 137 124 117 120 134 141 112 145 112 137 143 112 110 157 114 114
9 10 17 11 16 14 10 13 12 18 9 17 13 10 18 17 23 18 19
99
117
19
125 118 111
115 110 119
19 19 20
jumlah anakan yang cukup banyak, berkisar antara 1920 batang/rumpun. Reaksi Ketahanan Genotipe Padi terhadap HDB pada MH 2012/2013 Hasil analisis sidik ragam data MH 2012/2013 menunjukkan bahwa pengaruh patotipe Xoo dan genotipe padi nyata (P<0,001) dan terdapat interaksi antara keduanya terhadap intensitas penyakit HDB (Tabel 5). Virulensi patogen Xoo dan tingkat ketahanan genotipe padi menentukan intensitas penyakit HDB pada masingmasing genotipe yang diuji. Intensitas penyakit yang ditimbulkan oleh Xoo patotipe III pada 16 genotipe padi (Yoing, Radha 11, Glabed, Kutuk, Djembon, Ringkak Janggut, Ciganjur, Mansur, Simerah, IRBB 55, IRBB 60, IRBB 61, Swarnalata, Ketan Blimbing, IR73678-6-9-B, dan Kuntulan) tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding tahan Angke (Tabel 6). Genotipe IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61 memiliki tingkat ketahanan terhadap Xoo patotipe IV dan genotipe Kutuk, IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61 tahan terhadap Xoo patotipe VIII, yang tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding tahan Angke.
YULIANI ET AL.: MORFOLOGI DAN KETAHANAN HAWAR DAUN BAKTERI PADA PADI
Hasil pengamatan pada empat minggu setelah inokulasi (MSI) menunjukkan tiga galur isogenik (IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61) tidak berbeda nyata dengan varietas tahan Angke. Nilai koefisien keragaman genotipe padi antarkelompok patotipe Xoo juga tidak berbeda. Hal ini menunjukkan semua genotipe padi memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi tetua tahan dan dapat digunakan sebagai sumber gen ketahanan terhadap HDB. Tabel 5. Analisis sidik ragam patotipe Xoo dan genotipe padi terhadap intensitas penyakit HDB. Sukamandi, MH 2012/2013. Sumber keragaman
DB
MH 2012/2013
Patotipe Xoo Genotipe padi Ulangan Patotipe x genotipe
2 22 2 44
* * ns *
R2 CV (%)
0,93 13,48
* = berbeda nyata, ns= tidak berbeda nyata pada taraf LSD 5%.
Genotipe Kutuk, Ciganjur, Mansur, IRBB 55, IRBB 60, Ketan Blimbing, dan IRBB 61 bereaksi tahan terhadap Xoo patotipe III dengan intensitas penularan berkisar 3,7-5,8%. Genotipe Padi Jalawara, Yoing, Rampur Masuli, Tomas, Radha 11, Glabed, Djembon, Ringkak Janggut, Simerah, IR73678-6-9-B, Swarnalata, dan Kuntulan bereaksi agak tahan terhadap Xoo patotipe III dengan intensitas penularan 7,4-12,2%. Varietas lokal Kutuk, Ciganjur, Mansur, dan Ketan Blimbing yang bereaksi tahan belum teridentifikasi gen ketahanannya terhadap Xoo. Meskipun demikian, varietas lokal yang tahan telah mengindikasikan adanya gen tahan terhadap HDB. Tiga galur isogenik yang bereaksi tahan terhadap Xoo patotipe III diketahui memiliki gen ketahanan terhadap HDB (Vera Cruz 2002). Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui gen ketahanan yang terdapat pada varietas lokal yang tahan dan kesamaannya dengan gen-gen Xa yang telah diketahui. Di antara galur isogenik, galur IRBB 61 bereaksi tahan dengan intensitas penularan 6,4% dan galur IRBB 55 dan
Tabel 6. Intensitas penyakit dan reaksi ketahanan genotipe padi terhadap HDB pada 4 minggu setelah inokulasi, Sukamandi, MH 2012/2013. Patotipe III
Patotipe IV
Patotipe VIII
No. Genotipe/varietas IP (%)
Reaksi
IP (%)
Reaksi
IP (%)
Reaksi
Genotipe 1 Padi Jalawara 2 Yoing 3 Rampur Masuli 4 Tomas 5 Radha 11 6 Glabed 7 Kutuk 8 Djembon 9 Ringkak Janggut 10 Ciganjur 11 Mansur 12 Simerah 13 Ketan Blimbing 14 Kuntulan 15 IR 71033-121-15-B 16 IR 73678-6-9-B 17 Swarnalata 18 IRBB 61 19 IRBB 60 (IR72920-1-44-4) 20 IRBB 55 (IR72916-51-1-3)
12,15* 7,44 ns 12,35* 10,55* 10,19 ns 8,00 ns 4,59 ns 8,33 ns 8,7 ns 5,66 ns 4,53 ns 9,48 ns 5,84 ns 7,63 ns 14,66* 10,17 ns 11,08 ns 3,69 ns 4,59 ns 4,71 ns
3 AT 3 AT 3 AT 3 AT 3 AT 3 AT 1T 3 AT 3 AT 1T 1T 3 AT 1T 3 AT 5 AR 3 AT 3 AT 1T 1T 1T
62,74* 40,37* 44,50* 42,35* 41,55* 55,36* 24,37* 51,19* 43,42* 54,02* 39,41* 57,44* 39,13* 50,52* 64,08* 49,91* 33,76* 6,42 ns 7,51 ns 8,65 ns
9 SR 7R 7R 7R 7R 9 SR 5 AR 9 SR 7R 9 SR 7R 7R 7R 7R 9 SR 7R 7R 1T 3 AT 3 AT
48,57* 26,39* 27,42* 20,81* 22,64* 23,51* 9,03 ns 26,37* 26,67* 40,04* 26,75* 28,31* 21,29* 20,51* 38,76* 32,10* 13,95* 5,67 ns 7,31 ns 5,37 ns
7R 7R 7R 5 AR 5 AR 5 AR 3 AT 7R 7R 7R 7R 7R 5 AR 5 AR 7R 7R 5 AR 1T 3 AT 1T
Varietas pembanding 21 Ciherang 22 Inpari 13 23 Angke
12,43 9,69 5,33
3 AT 3 AT 1T
57,19 52,06 6,59
9 SR 9 SR 1T
37,08 44,82 3,39
7R 7R 1T
LSD 5% CV
0,96 20,15
0,88 8,71
1,19 15,28
ns: intensitas penyakit tidak berbeda nyata terhadap Angke berdasarkan LSD 5%, *: intensitas penyakit berbeda nyata lebih tinggi dari Angke. IP: intensitas penyakit HDB, T: tahan, AT: agak tahan, R: rentan, AR: agak rentan, SR: sangat rentan.
125
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
IRBB 60 bereaksi agak tahan dengan intensitas penularan berturut-turut 7,5% dan 8,7% terhadap Xoo patotipe IV. Reaksi ketahanan terhadap Xoo patotipe VIII teridentifikasi dari galur isogenik yang bereaksi tahan, yaitu IRBB 55 dan IRBB 61 dengan intensitas penularan berturut-turut 5,4% dan 5,7%, sedangkan IRBB 60 yang bereaksi agak tahan dengan intensitas penularan 7,3%. Ketahanan galur isogenik IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61 terhadap semua patotipe Xoo disebabkan ketiga galur memiliki gen ketahanan berturut-turut xa13 + Xa21, Xa4 + xa5 + xa13 + Xa21, dan Xa4 + xa5 + Xa7 (Vera Cruz 2002). Varietas pembanding tahan Angke, bereaksi tahan terhadap semua patotipe Xoo. Menurut Suprihatno et al. (2011), varietas Angke tahan terhadap HDB patotipe III, IV dan VIII dengan gen tahan xa5 yang bersifat resesif. Varietas pembanding Ciherang dan Inpari 13 bereaksi agak tahan terhadap Xoo patotipe III, rentan terhadap Xoo patotipe VIII, dan sangat rentan terhadap Xoo patotipe IV. Reaksi Ketahanan Genotipe Padi terhadap HDB pada MK 2013 Analisis sidik ragam menunjukkan patotipe Xoo dan genotipe padi berpengaruh nyata, namun tidak terjadi interaksi antara keduanya (Tabel 7). Patotipe Xoo dan genotipe padi menunjukkan respon yang berbeda nyata dalam hal intensitas penularan HDB. Namun tidak terjadi interaksi antara patotipe Xoo dengan genotipe padi terhadap intensitas penularan HDB. Data klimatologi yang diperoleh dari stasiun Sukamandi pada MK 2013 menunjukkan rata-rata kelembaban relatif, curah hujan, kecepatan angin, dan radiasi matahari lebih tinggi dibanding MH 2012/2013. Intensitas penyakit oleh Xoo patotipe III pada genotipe Yoing, Kutuk, Mansur, IRBB 55, IRBB 60, Ketan Blimbing, dan IRBB 61 tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding tahan Angke. Berdasarkan nilai intensitas penyakit terhadap Xoo patotipe IV, genotipe Kutuk, Ringkak Janggut, Mansur, IRBB 55, IRBB 60, dan
Tabel 7. Analisis sidik ragam patotipe Xoo dan genotipe padi terhadap intensitas penularan HDB. Sukamandi, MK 2013. Sumber keragaman
DB
MK 2013
Patotipe Xoo Genotipe padi Ulangan Patotipe x genotipe
2 22 2 44
* * ns ns
R2 CV (%)
0,83 12,35
* = berbeda nyata, ns= tidak berbeda nyata pada taraf LSD 5%.
126
IRBB 61 tidak berbeda nyata dengan varietas Angke (Tabel 8). Intensitas penyakit oleh Xoo patotipe VIII pada genotipe IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61 tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding tahan Angke. Ketahanan ketiga genotipe tersebut termasuk ke dalam ketahanan horizontal karena bersifat moderat terhadap patogen Xoo. Menurut Gnanamanickam et al. (1999), respon ketahanan yang bervariasi terhadap patogen diklasifikasikan pada dua kategori, yaitu ketahanan kualitatif dan kuantitatif. Ketahanan kualitatif umumnya dikontrol oleh gen mayor, dipengaruhi oleh gen tunggal yang dominan atau resesif. Ketahanan kuantitatif yang dikenal dengan ketahanan horizontal adalah ketahanan medium, umumnya tidak sangat tahan terhadap patogen spesifik. Model ketahanan ini yang dinginkan dalam program pemuliaan karena dapat mencegah patahnya ketahanan genotipe. Terhadap Xoo patotipe III, genotipe IRBB 60 bereaksi agak tahan dengan intensitas penularan penyakit 12%. Terhadap Xoo patotipe VIII, genotipe IRBB 55, IRBB 60, IRBB 61, dan Ketan Blimbing bereaksi agak rentan dengan intensitas penularan penyakit 20-25%. Akan tetapi semua genotipe padi menunjukkan reaksi rentan hingga sangat rentan terhadap Xoo patotipe IV. Varietas pembanding tahan Angke bereaksi agak tahan terhadap Xoo patotipe III, namun agak rentan terhadap Xoo patotipe IV dan VIII. Hasil pengamatan pada 4 MSI menunjukkan intensitas penyakit HDB pada genotipe IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61 tidak berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Angke, terhadap semua patotipe Xoo. Ketiga galur isogenik tersebut bereaksi konsisten tahan terhadap semua patotipe Xoo pada dua musim tanam. IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61 yang masing-masing memiliki gen ketahanan xa13 + Xa21, Xa4 + xa5 + xa13 + Xa21, dan Xa4 + xa5 + Xa7 nampaknya memiliki tingkat ketahanan yang stabil, sehingga dapat dijadikan tetua tahan dalam perakitan varietas unggul tahan HDB. Perbedaan ketahanan genotipe padi yang berbeda terhadap patotipe Xoo di samping disebabkan oleh virulensi isolat Xoo juga disebabkan oleh jumlah dan komposisi gen ketahanan terhadap HDB yang dimiliki masing-masing genotipe padi. Genotipe yang memiliki gen ketahanan yang lebih banyak berpeluang memiliki tingkat ketahanan yang lebih lama (durable) dibandingkan dengan genotipe yang lebih sedikit gen ketahanannya seperti yang ditunjukkan oleh IRBB 60 (Tabel 8). Menurut Zhang Qi (2009), varietas padi yang hanya memiliki gen ketahanan Xa4 menjadi rentan terhadap HDB di India dan Indonesia. Hal ini juga terjadi pada varietas padi yang mengandung gen Xa21 yang terbukti telah patah ketahanannya terhadap HDB di India,
YULIANI ET AL.: MORFOLOGI DAN KETAHANAN HAWAR DAUN BAKTERI PADA PADI
Tabel 8. Intensitas penularan penyakit dan reaksi ketahanan genotipe padi terhadap HDB pada 4 minggu setelah inokulasi, Sukamandi, MK 2013. Patotipe III
Patotipe IV
Patotipe VIII
No. Genotipe/varietas IP (%) Genotipe 1 Padi Jalawara 2 Yoing 3 Rampur Masuli 4 Tomas 5 Radha 11 6 Glabed 7 Kutuk 8 Djembon 9 Ringkak Janggut 10 Ciganjur 11 Mansur 12 Simerah 15 Ketan Blimbing 16 Kuntulan 17 IR 71033-121-15-B 18 IR73678-6-9-B 20 Swarnalata 13 IRBB 61 14 IRBB 60 (IR72920-1-44-4) 19 IRBB 55 (IR72916-51-1-3)
36,02 18,11 23,78 23,16 20,38 26,27 18,35 24,98 20,35 34,33 17,09 34,41 17,08 29,35 38,98 38,92 27,19 16,26 11,99 15,77
Varietas Pembanding 21 Ciherang 22 Inpari 13 23 Angke
29,76 30,42 10,93
LSD 5% CV
* ns * * * * ns * * * ns * ns * * * * ns ns ns
Reaksi
IP (%)
7R 5 AR 5 AR 5 AR 5 AR 7R 5 AR 5 AR 5 AR 7R 5 AR 7R 5 AR 7R 7R 7R 7R 5 AR 3 AT 5 AR
73,29 50,86 55,25 43,54 55,56 59,28 35,14 43,81 37,66 52,40 40,54 54,49 41,04 50,22 63,77 63,92 49,58 33,18 33,45 27,53
7R 7R 3 AT
69,63 59,45 24,66
1,06 13,20
1,44 12,63
* * * * * * ns * ns * ns * * * * * * ns ns ns
Reaksi
IP (%)
9 SR 7R 9 SR 7R 9 SR 9 SR 7R 7R 7R 9 SR 7R 9 SR 7R 7R 9 SR 9 SR 7R 7R 7R 7R
60,13 34,73 39,53 31,82 28,62 44,40 30,16 37,71 32,95 50,96 32,92 52,34 24,67 33,38 52,36 51,51 41,33 20,94 20,13 20,15
9 SR 9 SR 5 AR
48,56 38,36 14,46
Reaksi
* * * * * * * * * * * * ns * * * * ns ns ns
9 SR 7R 7R 7R 7R 7R 7R 7R 7R 7R 7R 9 SR 5 AR 7R 9 SR 9 SR 7R 5 AR 5 AR 5 AR 7R 7R 5 AR
1,24 12,59
ns: intensitas penyakit tidak berbeda nyata terhadap Angke berdasarkan LSD 5%, *: intensitas penyakit berbeda nyata lebih tinggi dari Angke. IP: intensitas penyakit HDB, T: tahan, AT: agak tahan, R: rentan, AR: agak rentan, SR: sangat rentan.
Korea, Nepal, dan Cina. Oleh karena itu, galur isogenik IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61 dapat digunakan untuk pergiliran varietas karena memiliki gen-gen yang berbeda sehingga galur/varietas diharapkan tidak mudah patah oleh patogen Xoo yang semakin virulen. Karakter Morfologi dan Agronomi Genotipe Padi Tahan HDB Terdapat delapan genotipe yang teridentifikasi tahan terhadap HDB yaitu Kutuk, Ciganjur, Mansur, Ketan Blimbing, IRBB 55, IRBB 60, IRBB 61, dan Angke. Varietas lokal Kutuk, Ciganjur, Mansur, dan Ketan Blimbing memiliki permukaan daun dan sudut batang berturutturut tidak berbulu, tegak; sedang, sedang; berbulu, terbuka; dan berbulu, sedang. Galur isogenik IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61 memiliki ciri permukaan daun sedang dan sudut batang terbuka. Varietas pembanding tahan Angke memiliki permukaan daun sedang dan sudut batang sedang (Tabel 3). Karakter agronomi berupa permukaan daun dan sudut
batang genotipe tahan HDB cukup beragam, dan tidak terdapat keterkaitan antara permukaan daun dan sudut batang tanaman dengan ketahanan terhadap HDB. Delapan genotipe tahan HDB memiliki tinggi tanaman, umur matang, dan jumlah anakan yang sangat beragam. Varietas lokal Kutuk, Ciganjur, Mansur, dan Ketan Blimbing termasuk kategori tanaman tinggi dengan kisaran 133-190 cm. Ketiga galur isogenik tergolong tanaman pendek berkisar antara 99-107 cm dan varietas pembanding tahan Angke termasuk kategori tanaman sedang dengan tinggi 111 cm. Varietas lokal Kutuk dan Ciganjur memiliki umur matang berturut-turut 120 hari dan 112 hari, tergolong berumur genjah. Varietas lokal Mansur dan Ketan Blimbing dengan umur matang berturut-turut 145 hari dan 137, hari tergolong berumur sedang. Galur isogenik IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61 memiliki umur matang berkisar antara 114-117 hari. Varietas pembanding tahan Angke memiliki umur matang 119 hari. Galur isogenik dan varietas pembanding Angke berumur genjah.
127
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
MH 2012/2013
MK 2013
Gambar 1. Perkembangan reaksi ketahanan genotipe padi terhadap Xoo patotipe III, IV dan VIII pada MH 2012/2013 (kiri) dan MK 2013 (kanan).
Jumlah anakan varietas lokal Kutuk, Ciganjur, dan Ketan Blimbing tergolong sedang, dengan kisaran 1018 anakan/rumpun. Varietas lokal Mansur memiliki sembilan anakan/rumpun, tergolong sedikit. Galur isogenik IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61 memiliki jumlah anakan banyak dengan kisaran 18-19 anakan/rumpun. Varietas pembanding tahan Angke memiliki jumlah anakan banyak, 20 anakan/rumpun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sifat ketahanan suatu genotipe 128
padi terhadap HDB tidak terkait dengan karakter morfologi dan agronomi. Ketahanan terhadap HDB lebih ditentukan oleh gen yang ada pada genotipe padi. Perkembangan Penyakit HDB pada Genotipe Padi Evaluasi genotipe padi terhadap penyakit HDB pada MH 2012/2013 menunjukkan sebagian besar genotipe bereaksi tahan terhadap Xoo patotipe III dan VIII pada 2
YULIANI ET AL.: MORFOLOGI DAN KETAHANAN HAWAR DAUN BAKTERI PADA PADI
MSI. Pada 3 MSI mulai terjadi perubahan genotipe yang awalnya bereaksi tahan menjadi agak tahan hingga rentan. Namun teridentifikasi 20 genotipe bereaksi tahan dan tiga genotipe agak tahan terhadap Xoo patotipe III. Pada pengamatan 4 MSI terdapat delapan genotipe bereaksi tahan dan 14 genotipe agak tahan terhadap Xoo patotipe III, sedangkan terhadap Xoo patotipe IV dan VIII yang awalnya bereaksi tahan dan agak tahan bergeser menjadi rentan dan sangat rentan (Gambar 1). Pada pengamatan awal MK 2013 diperoleh sembilan genotipe yang bereaksi tahan dan 11 genotipe agak tahan terhadap Xoo patotipe III. Reaksi ketahanan terhadap Xoo patotipe IV dan VIII dijumpai berturut-turut pada empat dan lima genotipe yang bereaksi agak tahan. Pada pengamatan 3 MSI terdapat enam genotipe yang menunjukkan reaksi agak tahan terhadap Xoo patotipe III. Perkembangan penyakit HDB patotipe III, IV, dan VIII pada genotipe padi merata pada skala agak rentan dan sangat rentan. Pada pengamatan 4 MSI hanya terdapat dua genotipe yang bereaksi agak tahan terhadap Xoo patotipe III dan selebihnya rentan hingga sangat rentan. Galur isogenik IRBB 55, IRBB 60 dan IRBB 61 meskipun bereaksi agak rentan dan rentan terhadap HDB, tetapi intensitas penyakitnya tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding tahan Angke. Hal ini disebabkan karena ketiga galur isogenik memiliki gen ketahanan terhadap patogen Xoo patotipe III, IV, dan VIII. Patotipe III adalah isolat-isolat bakteri yang virulen terhadap varietas Kinmaze, Kogyoku, dan Tetep, namun virulensinya rendah terhadap Wase Aikoku dan Java 14. Patotipe IV adalah isolat-isolat bakteri yang virulen terhadap semua varietas diferensial asal Jepang. Patotipe VIII adalah isolat-isolat bakteri yang virulen terhadap Kinmaze, Kogyoku, Tetep, dan Wase Aikoku, namun virulensinya rendah terhadap Java 14 (Sudir et al. 2009). Intensitas penyakit HDB pada genotipe padi berkembang lebih cepat pada MK 2013 dibanding MH 2012/2013. Hal ini berkaitan dengan faktor lingkungan, terutama kelembaban relatif, curah hujan, kecepatan angin, dan radiasi matahari. Berdasarkan data klimatologi dari stasiun Sukamandi pada MK 2013, ratarata kelembaban relatif 85%; curah hujan 89,7 mm; kecepatan angin 0,8 m/det; dan radiasi matahari 861,8. Pada MH 2012/2013, rata-rata kelembaban relatif 82,9%; curah hujan 68,9 mm; kecepatan angin 0,1 m/det; dan radiasi matahari 389,7. Dari data klimatologi tersebut diketahui MH 2012/2013 merupakan musim hujan dengan iklim kering, sedangkan MK 2013 merupakan musim kemarau dengan iklim basah. Perbedaan kelembaban relatif antara MH 2012/2013 dengan MK 2013 menyebabkan perbedaan intensitas
penyakit HDB. Sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh bakteri berkembang dengan cepat pada kelembaban relatif tinggi. Kelembaban mengaktivasi bakteri untuk menginfeksi tumbuhan sehingga mempengaruhi perluasan dan tingkat penularan penyakit. Penularan penyakit diperparah oleh angin yang berperan dalam penyebaran patogen, bahkan lebih penting dalam perkembangan penyakit apabila angin bersamaan dengan hujan. Pada MK 2013, kecepatan angin dan curah hujan lebih tinggi dibanding MH 2012/ 2013. Radiasi matahari pada MK 2013 lebih tinggi daripada MH 2012/2013. Radiasi matahari dalam bentuk intensitas atau lama penyinaran kemungkinan dapat meningkatkan kerentanan tumbuhan terhadap infeksi dan juga mempengaruhi intensitas penyakit. Selain itu, intensitas penyakit HDB pada MK 2013 lebih tinggi dibanding MH 2012/2013 kemungkinan disebabkan oleh akumulasi patogen Xoo pada musim tanam sebelumnya. Kemungkinan lain terjadinya perbedaan ketahanan genotipe padi terhadap HDB pada dua musim tanam disebabkan oleh interaksi antara ketahanan tanaman terhadap virulensi patogen Xoo. Periode waktu ketahanan varietas ditentukan oleh beberapa faktor seperti komposisi dan dominasi patotipe Xoo, kecepatan perubahan patotipe Xoo, frekuensi penanaman padi, dan komposisi varietas dengan latar belakang genetik berbeda yang ditanam pada waktu dan hamparan tertentu (Suparyono et al. 2003). Menurut Sudir dan Suprihanto (2006), perubahan ketahanan varietas terhadap Xoo dapat terjadi setelah tiga kali inokulasi Xoo secara beruntun, seperti yang ditunjukkan oleh varietas Java 14. Tingkat ketahanannya berubah dari tahan menjadi rentan dengan intensitas penyakit 12,6-33,4%. Intensitas penyakit HDB juga dipengaruhi oleh waktu tanam, varietas padi, dan stadia tumbuh tanaman (Sudir dan Suprihanto 2008). Galur isogenik IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61 yang telah teruji stabil tahan terhadap Xoo patotipe III, IV dan VIII pada dua musim tanam, dapat digunakan sebagai sumber gen tahan HDB dan atau dapat ditanam untuk menekan perkembangan penyakit HDB di lapangan. Penyebaran dan penggunaan varietas tahan telah terbukti efektif dalam beberapa kasus untuk patogen daun seperti Pseudomonas dan Xanthomonas (Charkowski 2007). Untuk meningkatkan efektivitas pengendalian penyakit HDB perlu dilakukan kesesuaian penanaman varietas dengan keberadaan patotipe Xoo di lapangan, sehingga penularan penyakit dapat ditekan, umur ketahanan varietas terhadap penyakit HDB dapat diperpanjang, kehilangan hasil dapat ditekan, dan pendapatan petani dapat ditingkatkan (Sudir et al. 2009).
129
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
KESIMPULAN 1. Tidak terdapat keterkaitan antara karakter permukaan daun, sudut batang pertumbuhan tanaman, dan beberapa karakter agronomi (tinggi tanaman, jumlah anakan, dan umur matang) dengan ketahanan terhadap penyakit HDB. 2. Intensitas penyakit pada varietas tahan dipengaruhi oleh patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae. 3. Varietas lokal Kutuk, Ciganjur, Mansur, dan Ketan Blimbing bereaksi tahan terhadap Xoo patotipe III. Varietas lokal Kutuk bereaksi agak tahan terhadap Xoo patotipe VIII, sedangkan 15 genotipe lainnya bereaksi agak rentan hingga sangat rentan terhadap Xoo patotipe IV dan VIII. 4. Galur isogenik IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61 menunjukkan intensitas penyakit HDB tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding tahan Angke dan konsisten tahan terhadap Xoo patotipe III, IV, dan VIII. Galur isogenik tersebut dapat digunakan dalam perakitan varietas unggul baru tahan HDB.
DAFTAR PUSTAKA Charkowski, A.O. 2007. Potensial disease control strategies revealed by genome sequencing and functional genetics of plant pathogenic bacteria, p. 462-497. In Punja, Z.K., S.H. De Boer, dan H. Sanfacon (eds.). Biotechnology and Plant Disease Management. Biddles Ltd, King’s Lynn. London. Ditlin (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan). 2011. Laporan Tahunan 2010 Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Dirjen Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian, Jakarta. Gnanamanickam, S.S., V.B. Priyadarisini, N.N. Narayanan, P. Vasudevan, and S. Kavitha. 1999. An overview of bacterial blight disease of rice and strategies for its management. Current Science 77 (11): 1435-1443. Gomez, A.K. and A.A. Gomez. 1995. Prosedur statistika untuk penelitian pertanian. (Terjemahan oleh Enang Sjamsudin & Justika Baharsjah). Edisi 11. UI Press, Jakarta. IRRI. 1996. Standard evaluation system for rice. IRRI, Los Banos, Philippines. Kadir, T.S., Y. Suryadi, Sudir, dan M. Machmud. 2009. Penyakit bakteri padi dan cara pengendaliannya. dalam Buku Padi: Inovasi Teknologi Produksi. Daradjat A.A., A. Setiono, A.K. Makarim, dan A. Hasanuddin (eds). Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan. Kementerian Pertanian, Sukamandi. Khaeruni, A. 2001. Penyakit hawar daun bakteri pada padi: Masalah dan Upaya Pemecahannya. IPB Press. Bogor. Lee, K.S., S. Patotipeabandith, E.R. Angeles, and G.S. Khush. 2003. Inheritance of resistance to bacterial blight in 21 cultivars of rice. Phytopathology 93:147-152.
130
Loan, L.C., V.T.T. Ngan, and. P.V. Du. 2006. Preliminary evaluationon resistance genes against rice bacterial leaf blight in Can Tho Province-Vietnam. Omonrice 14: 44-47. Nafisah, A.A. Daradjat, dan H. Sembiring. 2006. Keragaman genetik padi dan upaya pemanfaatannya dalam mendukung ketahanan pangan. Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional. Puslitbang Peternakan. Kementerian Pertanian, Bogor. Shen, Y. and P. Rhonald. 2002. Molecular determinants of disease and resistance in interaction of Xanthomonas oryzae pv. oryzae and rice. J. Microbe and Infection 4(13):1361-1367. Silitonga, T.S. 2010. The use of biotechnology in the characterization, evaluation, and utilization of Indonesian rice germplasm. J. Agro Biogen 6(1):49-56. Sudir dan Suprihanto. 2006. Perubahan virulensi strain Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25(2):100-115. Sudir dan Suprihanto. 2008. Hubungan antara populasi bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae dengan intensitas penyakit hawar daun bakteri pada beberapa varietas padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27(2): 68-75. Sudir, Suprihanto, dan T.S. Kadir. 2009. Identifikasi patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit penyakit hawar daun bakteri di sentra produksi padi di Jawa. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28(3):131-138. Sudir. 2011. Komposisi patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri padi di daerah sentra produksi padi di Jawa. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian padi Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Sudir, dan B. Sutaryo. 2011. Reaksi padi hibrida terhadap penyakit hawar daun bakteri dan hubungannya dengan hasil gabah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 30(2): 88-94. Sudir, Y.A. Yogi, dan Syahri. 2013. Komposisi dan sebaran patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae di sentra produksi padi di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 32(2): 98-108. Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipe patogen hawar daun bakteri pada tanaman padi stadium tumbuh berbeda. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 22(1): 45-50. Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Suwarno, E. Lubis, S.E. Baehaki, Sudir, S.D. Indrasari, I.P. Wardana, dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi varietas padi. Edisi Revisi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Susanto, U. dan Sudir. 2012. Ketahanan genotipe padi terhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae patotipe III, IV, dan VIII. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 31(2): 108-116. Tasliah. 2012. Gen ketahanan tanaman padi terhadap bakteri hawar daun (Xanthomonas oryzae pv. oryzae). Jurnal Litbang Pertanian 31(3):103-112. Vera Cruz, Casiana. 2002. Breeding for rice disease. Rice Breeding Course. IRRI, Los Banos, Phillipines. Yang, Z., X. Sun, S. Wang, and Q. Zhang. 2003. Genetic and physical mapping of a new gene for bacterial blight resistance in rice. Theor. Appl. Genet. 106:1467-1472. Zhang Qi. 2009. Genetics and improvement of bacterial blight resistance of hybrid rice in China. Rice Science 16(2): 83– 92.
SUHARYANTO ET AL.: EFISIENSI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI SAWAH
Analisis Produksi dan Efisiensi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Provinsi Bali Production and Efficiency Analysis of the Integrated Crop Management of Rice in Bali Suharyanto1, Jangkung H. Mulyo2, Dwidjono H. Darwanto2 dan Sri Widodo2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali, Jl. Bypass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar Email:
[email protected] 2 Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jl. Flora, Bulak Sumur, Yogyakarta
Naskah diterima 28 Agustus 2014 dan disetujui diterbitkan 15 Januari 2015
ABSTRACT. The integrated crop management approach on rice is aimed to increase the productivity on fields with the constraint of limited land area. This present research was aimed to analyze the impact of the implementation of integrated crop management to grain yield and its efficiency on the lowland farming. The study was conducted in three districts representing the lowland rice production center in Bali, i.e. Tabanan, Buleleng and Gianyar, involving 216 respondents, over two cropping seasons. Sampling of the respondents was using stratified simple random method. Data were analyzed using a stochastic frontier production function with the Maximum Likelihood Estimation (MLE) method. The results showed that the aggregate of rice production was affected by land area, amount of seeds, N fertilizer, organic fertilizer, pesticides, labor and age of seedling. Rice yield was higher in the dry season applying legowo planting pattern, followed by intermittent irrigations, IPM and planting varieties other than IR64. Technically, both ICMFS alumni farmers and non ICM-FS alumni were considered efficient, with an efficiency rate of more than 70 percent, but only ICM-FS alumni farmers allocated the inputs efficiently, and therefore economically move efficient. Socio economic factors which were significantly affected the aggregate technical inefficiencies were age of farmers, level of education, farming experiences, and the number of land plots. Technical inefficiency of the lowland rice farming was lower when ICM-FS alumni farmers work on their own lands. Keywords: Lowland rice, production, efficiency, ICM. ABSTRAK. Salah satu upaya peningkatan produktivitas padi sawah dengan kendala keterbatasan luas lahan adalah melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Penelitian bertujuan untuk menganalisis dampak penerapan inovasi PTT terhadap produksi, efisiensi, dan sumber-sumber inefisiensi teknis usahatani padi sawah. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten sentra produksi padi sawah di Provinsi Bali, yakni Tabanan, Buleleng, dan Gianyar, dengan melibatkan 216 responden, selama dua musim tanam. Pengambilan sampel menggunakan metode acak berstrata. Data dianalisis menggunakan fungsi produksi stokastik frontier dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Hasil analisis menunjukkan produksi padi sawah dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah benih, pupuk N, pupuk organik, pestisida, tenaga kerja, dan umur bibit. Produktivitas padi sawah lebih tinggi pada musim kemarau, dengan sistem tanam legowo, pengairan berselang, dengan menerapkan PHT dan menggunakan varietas selain IR64. Secara
teknis, baik petani alumni SL-PTT maupun bukan alumni SL-PTT, telah efisien dengan efisiensi lebih dari 70%, namun hanya petani alumni SL-PTT yang secara alokatif efisien dan secara ekonomi tidak ada yang efisien. Faktor sosial ekonomi petani yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis adalah umur, pendidikan, pengalaman usahatani, dan jumlah persil. Inefisiensi teknis padi sawah lebih rendah pada lahan milik petani alumni SLPTT. Kata kunci: Padi sawah, pengelolaan tanaman terpadu, produktivitas, efisiensi.
PENDAHULUAN Produksi padi di Provinsi Bali dewasa ini tidak lagi mengalami peningkatan yang berarti. Kalau pun terjadi peningkatan produksi, keuntungan yang diperoleh petani relatif tidak meningkat karena makin tingginya biaya produksi. Selain itu, sebagian besar petani tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk berproduksi sehingga keuntungan yang mereka peroleh dari usahatani padi relatif kecil. Hingga saat ini lahan sawah irigasi tetap menjadi tumpuan produksi padi. Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah, peningkatan produksi padi diupayakan melalui program intensifikasi. Laju peningkatan produksi dan produktivitas padi sawah di Provinsi Bali selama periode 2008-2012 cenderung turun masing-masing -0,61% dan -0,11% dengan rata-rata produksi 862.451 ton dan produktivitas 5,76 t/ha (BPS Provinsi Bali 2013). Pelandaian produksi padi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir diduga disebabkan antara lain oleh degradasi lahan sawah, sementara program intensifikasi padi relatif tidak mengalami perbaikan. Penanaman varietas unggul baru (VUB) padi yang memerlukan pemberian pupuk dan
131
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
pestisida secara intensif, 2-3 kali musim tanam, juga menjadi penyebab pelandaian laju produktivitas padi karena menurunnya populasi biota tanah yang berpengaruh terhadap fiksasi nitrogen, kelarutan fosfat, pengendalian penyakit, dan tekanan abiotik (Tan et al. 2002, Doebbelaere et al. 2003). Provinsi Bali dengan luas wilayah relatif kecil memiliki produktivitas padi sawah yang cukup tinggi dibandingkan dengan beberapa provinsi lain di Indonesia. Hal ini didukung oleh sistem irigasi dan kelembagaan tani yang cukup baik. Untuk meningkatkan produksi padi melalui ekstensifikasi tidak memungkinkan, terlebih dengan semakin meningkatnya laju konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian lainnya. BPS Provinsi Bali (2012) melaporkan bahwa dalam periode 1997–2011 laju konversi lahan pertanian di Bali rata-rata 436 ha/tahun. Hal ini berakibat pada semakin sempitnya lahan pertanian, terutama sawah, di Bali. Pada tahun 2011, luas lahan sawah di Bali 81.744 ha (14,5%) dan luas lahan pertanian bukan sawah 273.655 ha (48,6%), sementara luas lahan bukan pertanian 208.267 ha (37%). Sembiring dan Widiarta (2008) menyatakan bahwa keberhasilan peningkatan produksi padi dari 20,2 juta ton pada tahun 1971 menjadi lebih dari 54 juta ton pada tahun 2006 didominasi oleh peningkatan produktivitas, dibandingkan dengan peningkatan luas panen. Dalam upaya peningkatan produksi padi dalam jangka pendek, penerapan inovasi teknologi lebih realistis dibandingkan dengan perluasan area sawah. Untuk itu perlu upaya intensifikasi melalui perbaikan teknologi berbasis revolusi hijau lestari. Salah satu upaya peningkatan produktivitas padi pada lahan sawah irigasi dapat dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang merupakan salah satu model pengelolaan usahatani padi sawah, dengan menggabungkan semua komponen teknologi usahatani terpilih yang serasi dan saling komplementer, untuk mendapatkan hasil panen optimal dan kelestarian lingkungan. Teknologi pertanian dimaksud meliputi komponen teknologi dasar dan pilihan. Teknologi dasar (compulsory) adalah komponen teknologi yang dapat berlaku umum di wilayah yang luas, meliputi varietas unggul, benih bermutu, pemupukan yang efisien, dan pengendalian hama terpadu (PHT). Teknologi pilihan adalah komponen teknologi spesifik lokasi yang mencakup pengelolaan tanaman, bibit muda (umur 14 hari), penggunaan pupuk organik, irigasi berselang, pupuk cair, penanganan panen dan pascapanen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan inovasi PTT terhadap produksi, efisiensi, dan inefisiensi usahatani padi sawah di Provinsi Bali.
132
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Sampel Penelitian Peneltian menggunaan pendekatan with and without project dengan pertimbangan bahwa pada beberapa sentra produksi padi sawah yang menjadi lokasi penelitian sudah hampir semuanya memperoleh Sekolah Llapang PTT (SL-PTT). Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu di Provinsi Bali, dengan pertimbangan daerah ini adalah salah satu lokasi pengembangan PTT padi sawah dengan produktivitas yang relatif tinggi. Berdasarkan luas area panen dan jumlah lokasi PTT padi sawah maka ditetapkan tiga kabupaten sebagai lokasi penelitian, yaitu Kabupaten Tabanan, Gianyar, dan Buleleng (Tabel 1). Selanjutnya secara multistage ditentukan kecamatan yang memiliki luas area panen terluas untuk masing-masing kabupaten. Sebagai unit terkecil lokasi penelitian yaitu subak/kelompok tani di masing-masing kecamatan yang ditentukan berdasarkan kondisi agroekosistem wilayah dan tahun pelaksanaan SL-PTT, dan implementasi komponen teknologi PTT di masing-masing subak/ kelompok tani. Penentuan jumlah/ukuran sampel menggunakan metode Slovin (Umar 2000) dengan rumus: n=
N 1 + N.e2
,
di mana: n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi e2 = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih bisa ditoleransi Tabel 1. Luas panen dan produktivitas padi sawah per kabupaten dan luas area SL-PTT di Provinsi Bali, 2011.
Kabupaten
Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng Denpasar Total
Luas panen (ha)
Produktivitas (t/ha)
Luas area SL-PTT (ha)
Produktivitas (t/ha)
9.070 40.459 18.787 30.458 5.720 5.304 11.911 22.493 5.067
5,75 5,61 6,29 5,57 6,34 4,96 6,21 6,29 6,23
3.500 9.850 5.000 6.300 2.500 2.000 3.100 5.000 1.000
6,67 6,51 7,05 6,79 6,99 5,65 6,48 6,58 7,67
149.269
5,87
38.250
6,71
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2011 dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Bali, 2011.
SUHARYANTO ET AL.: EFISIENSI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI SAWAH
Berdasarkan rumus Slovin dengan tingkat kesalahan 10% maka pada masing-masing subak/kelompok tani terpilih 72 responden untuk Subak Dalem (Kab Buleleng), 66 responden untuk Subak Kumpul (Kab Gianyar), dan 78 responden untuk Subak Guama (Kab Tabanan) sebagai sampel rumah tangga petani padi sawah, sehingga total sampel secara keseluruhan 216 sampel responden. Setelah penentuan jumlah sampel selanjutnya dilakukan pengambilan sampel dengan metode stratified random sampling, yaitu sampel yang diambil dengan memisahkan elemen-elemen populasi berdasarkan petani alumni SL-PTT dan bukan alumni SL-PTT. Struktur data meliputi input-output usahatani padi sawah yang dikumpulkan selama dua musim tanam yaitu Musim Kemarau (MK) 2011 dan Musim Hujan (MH) 2011/2012. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terstruktur, untuk memudahkan dalam mendapatkan informasi yang terarah dan sesuai dengan tujuan penelitian. Metode Analisis Data Pemilihan fungsi produksi stochastic frontier berdasarkan argumen bahwa dengan program SL-PTT diasumsikan tingkat produktivitas yang telah dicapai petani sudah mendekati kondisi maksimum (frontier), sehingga peningkatan produktivitas di lahan yang sama apakah masih dapat dilakukan. Melalui metode stochastic frontier, faktor-faktor yang diduga akan mempengaruhi efisiensi teknis yang akan dicapai dapat diperoleh dan dijelaskan dengan bantuan model ekonometrika. Sementara faktor-faktor penyebab inefisiensi juga dapat diestimasi pada saat bersamaan. Selain itu dapat pula diestimasi apakah inefisiensi disebabkan oleh random error dalam proses pengumpulan data dan sifat dari beberapa variabel yang tidak dapat terukur, atau disebabkan oleh faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam suatu proses produksi. Metode pendugaan model stochastic frontier dilakukan secara simultan menggunakan technical efficiency effect model untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi, intersept, dan varian dari kedua komponen error vi dan ui. Spesifikasi yang digunakan untuk menduga parameter diestimasi dengan fungsi produksi Cobb Douglas melalui pendekatan stochastic production frontier, yang diuraikan sebagai berikut: Persamaan untuk fungsi produksi padi petani alumni SL-PTT: Ln Y=α + β1 ln X1 + β2 ln X2 + β3 ln X3 + β4 ln X4 + β5 ln X5 + β6 ln X6 + β7 ln X7 + β8 ln X8 + β9 ln X9 + β10 ln X10 + δmtDmt + (vi – ui)…............. (1)
Persamaan untuk fungsi produksi padi petani bukan alumni SL-PTT : Ln Y=α + β1 ln X1 + β2 ln X2 + β3 ln X3 + β4 ln X4 + β5 ln X5 + β6 ln X6 + β7 ln X7 + β8 ln X8 + β9 ln X9 + β10 ln X10 + δmtDmt + (vi – ui)…............. (2) Persamaan untuk fungsi produksi padi gabungan petani alumni dan bukan alumni SL-PTT : Ln Y=α + β1 ln X1 + β2 ln X2 + β3 ln X3 + β4 ln X4 + β5 ln X5 + β6 ln X6 + β7 ln X7 + β8 ln X8 + β9 ln X9 + β10 ln X10 + δmtDmt + δstDst + δpDp + δPHTDPHT + δv Dv + (vi – ui)...................................... (3) Keterangan: Y = produksi padi sawah (ton) α = intersept βi = koefisien regresi (parameter yang ditaksir) (i = 1-10) = koefisien regresi dummy (parameter yang δi ditaksir) (i = mt-v) X1 = luas lahan (ha) X2 = benih (kg) X3 = pupuk N (kg) X4 = pupuk P (kg) X5 = pupuk K (kg) X6 = pupuk organik (kg) X7 = pestisida (liter) X8 = tenaga kerja (HOK) X9 = umur bibit (hari) X10 = jumlah bibit per lubang (batang) Dmt = dummy musim tanam (0 = MH, 1 = MK) Dst = dummy sistem tanam (0 = tegel,1 = legowo) Dp = dummy pengairan (0 = digenangi , 1 = intermitten/berselang). D PHT = dummy PHT (0 = jika petani tidak menerapkan PHT, 1 = jika petani menerapkan PHT) Dv = dummy varietas (0 = IR64, 1 = selain IR64) vi – ui= error term, (ui) efek inefisiensi teknis dalam model Dalam penelitian ini dilakukan penggabungan input pupuk kimia menurut kandungan unsur haranya (N, P2O5, K2O), bukan menurut jenis dan merk dagang (urea, ZA, TSP/SP-36, KCL, KNO3, NPK). Hal ini penting dilakukan karena: (1) secara agronomis dan fisiologis, yang diserap tanaman adalah jenis unsur hara dan bukan jenis atau nama dagang dari pupuk yang digunakan; (2) tidak semua petani menggunakan pupuk secara lengkap; dan (3) untuk menghindarkan multikolinieritas antarjenis pupuk yang mengandung unsur hara yang sama (urea, ZA, KNO3 dan NPK; SP-36/TSP, NPK; KCL, KNO3 dan NPK).
133
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Efisiensi teknis usahatani padi sawah, masingmasing petani responden diperoleh dari hasil analisis fungsi produksi stochastic frontier menggunakan program Frontier versi 4.1c. Analisis efisiensi teknis diukur dengan menggunakan rumus: TEi =
E(Y Ui, Xi) E(Y* Ui = 0, Xi)
= E [ exp (-Ui) /εi]…............…(4)
TEi adalah efisiensi teknis petani ke-i, exp (-E[ui|εi]) adalah nilai harapan (mean) dari ui dengan syarat εi, jadi 0≤ TEi ≤ 1. Nilai efisiensi teknis tersebut berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi teknis dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu (cross section data). Metode efisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada model efek inefisiensi teknis yang dikembangkan Coelli et al. (2005). Variabel ui digunakan untuk mengukur efek inefisiensi teknis, diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N (μi,σ2). Dengan mengasumsikan usahatani dalam mencapai keuntungan harus mengalokasikan biaya secara minimum dari input yang ada, berarti suatu usahatani berhasil mencapai efisiensi alokatif. Dengan demikian akan diperoleh fungsi biaya frontier dual yang bentuk persamaannya: C = C (yi, pi, βi ) + ui ………………………………..…..... (5) dimana: C = biaya produksi yi = jumlah output pi = harga input βi = koefisien parameter ui = error term (efek inefisiensi biaya) Persamaan fungsi biaya frontier untuk usahatani padi sawah petani alumni SL-PTT, bukan alumni SL-PTT, dan gabungan petani alumni dan bukan alumni SL-PTT adalah sebagai berikut: Ln C = α + β1 ln P1 + β2 ln P2 + β3 ln P3 + β4 ln P4 + β5 ln P5 + β6 ln P6 + β7 ln P7 + β8 ln Y + (vi – ui) ................................................................... (6) Keterangan: C = biaya produksi padi sawah (Rp) α = intersep βi = koefisien regresi (parameter yang ditaksir) (i = 1-8) P1 = harga benih padi (Rp/kg) P2 = harga pupuk N (Rp/kg) P3 = harga pupuk P (Rp/kg) P4 = harga pupuk K (Rp/kg) 134
P5 = P6 = P7 = P8 = vi– ui =
harga pupuk organik (Rp/kg) harga pestisida (Rp/liter) harga upah tenaga kerja (Rp/HOK) produksi padi sawah (kw GKP) error term, (ui) efek inefisiensi dalam model
Efisiensi ekonomi didefinisikan sebagai rasio total biaya produksi minimum yang diobservasi (C*) dengan biaya produksi aktual (C) (Ogudari dan Ojo 2007). EEi =
C* C
=
E(Ci ui = 0, yi, pi) E(Ci ui = yi, pi)
= E [ exp (Ui) /i] ........ (7)
Program Frontier 4.1c selain dapat mengestimasi fungsi produksi stokastik juga dapat mengestimasi fungsi biaya yang merupakan invers dari persamaan (5), sehingga efisiensi ekonomi merupakan invers (kebalikan) dari efisiensi biaya yang dinyatakan dengan (Ogundari dan Ojo 2007): 1 EE =
CE (Efisiensi Biaya)
.................................…… (8)
Efisiensi ekonomi merupakan gabungan dari efisiensi teknis dan alokatif, sehingga efisiensi alokatif (AE) dapat diperoleh dengan persamaan : EE (Efisiensi Ekonomi) AE =
TE (Efisiensi Teknis)
..........………......…… (9)
HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Sawah Hasil pengolahan data dengan menggunakan program Frontier versi 4.1c. memberikan estimasi parameter regresi dengan metoda Maximum Likelihood Estimation (MLE) disajikan pada Tabel 2, 3, dan 4. Hasil estimasi fungsi produksi padi total (gabungan petani alumni dan bukan alumni SL-PTT) pada Tabel 4, diperoleh nilai gamma (γ) sebesar 0,9639 dengan t hitung 24,6159. Nilai random error yang tidak dapat diterangkan dalam model fungsi produksi sangat dominan. Angka ini memberikan makna bahwa variasi residual dalam model lebih dominan disebabkan oleh inefisiensi (0,9639) dan sisanya (0,0361) disebabkan oleh random error dalam pengukuran. Jika mendekati nol diinterpretasikan bahwa seluruh error term adalah sebagai akibat dari noise (vi) seperti cuaca, hama penyakit, dan sebagainya,
SUHARYANTO ET AL.: EFISIENSI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI SAWAH
Tabel 2. Hasil estimasi fungsi produksi stokhastik frontier padi sawah pada petani alumni SL-PTT di Provinsi Bali, MK 2011 dan MH 2011/2012.
Tabel 3. Hasil estimasi fungsi produksi stokhastik frontier padi sawah pada petani bukan alumni SL-PTT di Provinsi Bali, MK 2011 dan MH 2011/2012.
Variabel
Variabel
Tanda Koefisien harapan
Konstanta Ln luas lahan Ln jumlah benih Ln pupuk N Ln pupuk P Ln pupuk K Ln pupuk organik Ln pestisida Ln tenaga kerja Ln umur bibit Ln jumlah bibit/lubang Dummy musim tanam
+/+ + + + + + + + + + +
σ2 γ LR Log-likelihood function Rata-rata efisiensi teknis
8,4024 0,8626 0,0639 0,0530 0,0190 0,0047 0,0056 0,0021 0,0377 -0,0597 -0,0062 0,0246
*** *** ** *** * ns
* * ** ** ns
***
0,0063 *** 0,8928 *** 17,0174 ** 303,4437 0,8816
Standarerror
t-rasio
0,1725 0,0346 0,0297 0,0213 0,0145 0,0133 0,0028 0,0016 0,0164 0,0262 0,0266 0,0096
48,7202 24,9083 2,1566 2,4941 1,3153 0,3575 1,9806 1,3083 2,2951 -2,2800 -0,2340 2,5547
0,0011 0,1126
5,7083 7,9299
Tanda Koefisien harapan
Konstanta Ln luas lahan Ln jumlah benih Ln pupuk N Ln pupuk P Ln pupuk K Ln pupuk organik Ln pestisida Ln tenaga kerja Ln umur bibit Ln jumlah bibit/rumpun Dummy musim tanam σ2 γ LR Log-likelihood function Rata-rata efisiensi teknis
+/+ + + + + + + + + + +
7,7147 0,6912 0,0017 0,1734 0,0125 0,0147 0,0014 0,0387 0,1046 -0,1356 -0,0077 0,0426
*** *** ns
*** ns ns ns
* *** *** ns
**
0,0152 *** 0,9999 *** 45,8046 *** 141,6768 0,7614
Standarerror
t-rasio
0,3803 0,0769 0,0746 0,0382 0,0333 0,0393 0,0018 0,0272 0,0359 0,0576 0,0481 0,0194
20,2819 8,8983 0,0222 4,5361 0,3743 0,3739 0,8115 1,4225 2,9119 -2,3547 -0,1604 2,1975
0,0029 5,2127 0,0027 365,1208
*** = Nyata pada taraf α 1%; t tabel 1% = 2,342 ** = Nyata pada taraf α 5%; t tabel 5% = 1,651 * = Nyata pada taraf α 10%; t tabel 10% = 1,285
*** = Nyata pada taraf α 1%; t tabel 1% = 2,342 ** = Nyata pada taraf α 5%; t tabel 5% = 1,651 * = Nyata pada taraf α 10%; t tabel 10% = 1,285
Tabel 4. Hasil estimasi fungsi produksi stokhastik frontier padi sawah gabungan petani alumni dan bukan alumni SL-PTT di Provinsi Bali, MK 2011 dan MH 2011/2012.
bukan akibat inefisiensi. Jika demikian maka parameter koefisien inefisiensi menjadi tidak bermakna. Nilai ratio generalized likelihood (LR) dari fungsi produksi stochastic frontier model ini adalah 102,8322 dan lebih besar daripada x2 tabel (0,01)=20,972. Nilai rasio secara statistik nyata pada taraf =1% yang diperoleh dari tabel distribusi x2campuran pada Tabel Kodde dan Palm (1986). Hal ini bermakna bahwa fungsi produksi stochastic frontier dapat menerangkan efisiensi dan inefisiensi teknis petani dalam proses produksi padi sawah. Nilai log-likelihood hasil estimasi dengan metode MLE (141,676) lebih besar dibandingan dengan metode OLS (118,774). Menurut Coelli et al. (2005), jika nilai log likelihood dengan metode MLE lebih besar dari OLS, maka fungsi produksi dengan metode MLE adalah baik dan dapat merepresentasikan kondisi di lapangan. Produksi padi sawah dipengaruhi oleh variabelvariabel produksi dengan nilai elastisitas luas lahan 0,8710, jumlah benih 0,0398, pupuk N 0,0531, pupuk organik 0,0032, pestisida 0,0028 dan tenaga kerja 0,0281. Angka ini bermakna bahwa setiap kenaikan sebesar 1% dari variabel-variabel tersebut dengan asumsi input lainnya tetap, akan meningkatkan produksi padi sawah sebesar nilai elastisitasnya. Produksi padi sawah juga dipengaruhi oleh variabel umur bibit dengan nilai elastisitas yang negatif (-0,0778). Hal ini bermakna bahwa semakin meningkat umur bibit maka produksi padi semakin menurun.
Variabel
Tanda Koefisien harapan
Konstanta Ln luas lahan Ln jumlah benih Ln pupuk N Ln pupuk P Ln pupuk K Ln pupuk organik Ln pestisida Ln tenaga kerja Ln umur bibit Ln jumlah bibit/lubang Dummy musim tanam Dummy sistem tanam Dummy pengairan Dummy PHT Dummy varietas σ2 γ LR Log-likelihood fuction Rata-rata efisiensi teknis
+/+ + + + + + + + + + + + + + +
8,3468 0,8710 0,0398 0,0531 0,0118 0,0063 0,0032 0,0028 0,0281 -0.0778 -0,0013 0,0225 0,1839 0,0379 0,1707 0,1375
*** *** * *** ns ns
** * ** *** ns
*** *** * ** ***
0,0109 *** 0,9639 *** 102,8322 *** 445,1989 0,8040
Standarerror
t-rasio
0,1636 0,0292 0,0306 0,0179 0,0122 0,0112 0,0014 0,0020 0,0152 0,0245 0,0238 0,0089 0,0397 0,0295 0,0819 0,0407
52,0082 29,8112 1,3014 2,9559 0,9691 0,5611 2,2562 1,4082 1,8555 -3,1778 - 0,0530 2,5126 4,6222 1,2886 2,0822 3,3826
0,0012 0,0392
8,7939 24,6159
*** = Nyata pada taraf α 1%; t tabel 1% = 2,335 ** = Nyata pada taraf α 5%; t tabel 5% = 1,649 * = Nyata pada taraf α 10%; t tabel 10% = 1,283
135
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
(1) Luas lahan
(4) Pupuk organik
Hasil analisis menunjukkan bahwa luas lahan merupakan variabel yang sangat elastis dibanding variabel lainnya, hal ini terlihat dari nilai koefisien estimasi yang tertinggi di antara variabel lainnya. Tetapi peningkatan produksi padi melalui peningkatan luas lahan sawah sulit diterapkan, mengingat keterbatasan luas lahan di Provinsi Bali, akibat tingginya laju konversi lahan sawah. BPS Provinsi Bali (2013b) melaporkan bahwa pada tahun 2013, luas lahan Provinsi Bali yang digunakan untuk lahan sawah 81.165 ha (14,40%) dan pada tahun 2012 tercatat 81.625 ha, berarti mengalami penurunan 460 ha (0,5%).
Pemberian pupuk organik sebanyak 428,51 kg/ha berpengaruh nyata terhadap produksi padi sawah, walaupun masih di bawah rekomendasi pemupukan sebanyak 2 t/ha (Deptan 2007). Hal ini mengindikasikan peranan pupuk organik terhadap produksi padi sawah cukup besar, terlebih apabila lahan yang diusahakan telah jenuh terhadap pupuk anorganik. Setyorini et al. (2004) menyatakan bahwa bahan organik tanah berfungsi mempertahankan kelestarian, produktivitas, dan kualitas tanah melalui aktivitas mikroba tanah yang berperan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologis tanah. Tanah yang kandungan bahan organiknya rendah berkurang daya sanggahnya terhadap kimia, fisik, dan biologis tanah. Sumarno dan Kartasasmita (2012) menyatakan bahwa rendahnya penggunaan pupuk organik pada lahan sawah disebabkan oleh kebiasaan petani menggunakan pupuk anorganik yang lebih praktis dan cepat terlihat manfaatnya, kurangnya pemahaman tentang manfaat jangka panjang pupuk organik, dan sebagian petani tidak memiliki ternak sapi sebagai penghasil kotoran hewan. Terdapat korelasi sangat nyata antara tingkat pemahaman pembuatan kompos, pemilikan ternak besar, dan ketersediaan kotoran hewan dengan jumlah pupuk organik yang diaplikasikan. Rata-rata penggunaan pupuk organik pada tiga sentra produksi padi sawah di Jawa Barat hanya 0,41 t/ha/musim, Jawa Tengah 0,39 t/ha/musim, dan Jawa Timur 1,2 t/ha/musim.
(2) Jumlah benih Rata-rata penggunaan benih padi secara total (alumni dan bukan alumni SL-PTT) adalah 29,95 kg/ha, masih memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi padi sawah. Kebiasaan petani menggunakan benih dalam jumlah yang banyak karena adanya kekawatiran jika benih yang disemai tidak tumbuh optimal dan mengantisipasi penyulaman jika ada bibit yang mati atau rusak. Petani alumni SL-PTT umumnya sudah menggunakan benih VUB bersertifikat, seperti Inpari, Ciherang dan Cigeulis, sedangkan petani bukan alumni SL-PTT sebagian besar masih menggunakan varietas IR64, bahkan beberapa petani masih menggunakan galur dan varietas lokal. (3) Pupuk N Pupuk N merupakan salah satu hara penting bagi pertumbuhan dan produksi padi sawah. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan pupuk N dengan takaran 100,42 kg/ha atau setara dengan urea 218,304 kg/ha berpengaruh nyata terhadap produksi padi. Dosis rekomendasi penggunaan pupuk N pada padi sawah adalah 250 kg/ha urea. Hasil penelitian Wahid (2003) menunjukkan pemupukan 250 kg urea/ha telah mencukupi kebutuhan tanaman padi dan meningkatkan efisiensi pemupukan N dengan cara pemberian displit dua atau tiga kali. Agar waktu pemberian pupuk lebih mendekati kebutuhan tanaman maka dapat digunakan alat bantu yang disebut bagan warna daun (BWD) (Yang et al. 2003). Dengan menggunakan BWD dapat ditentukan apakah tanaman padi perlu segera diberi pupuk N atau tidak daun tanaman padi, sesuai kebutuhan tanaman. Pemberian pupuk N berdasarkan pengamatan warna menggunakan BWD dapat menekan penggunaan pupuk N hingga 60% dari rekomendasi yang umum digunakan tanpa mengurangi hasil (Wahid 2003).
136
(5) Pestisida Hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu kendala dalam peningkatan produksi padi. Upaya pengendalian hama dan penyakit umumnya masih menggunakan pestisida. Namun, penggunaan pestisida secara berlebihan dan terus-menerus berdampak negatif terhadap lingkungan (Ameriana 2008). Rata-rata penggunaan pestisida pada usahatani padi oleh petani alumni SL-PTT 633,67 ml/ha/musim, lebih rendah dibandingkan dengan petani bukan alumni SL-PTT yang menggunakan pestisida 765,68 ml/ha/musim. Selain berdampak negatif terhadap lingkungan, penggunaan pestisida dengan dosis tinggi akan meningkatkan biaya produksi usahatani. (6) Tenaga kerja Curahan tenaga kerja pada usahatani padi sawah menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan produksi. Alokasi curahan tenaga kerja oleh petani alumni SL-PTT rata-rata 56,30 HOK/ha/musim.
SUHARYANTO ET AL.: EFISIENSI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI SAWAH
Tidak berbeda dengan petani alumni dan bukan alumni SL-PTT, curahan tenaga kerja luar keluarga masih dominan dengan sistem upahan atau borongan. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga pada usahatani padi sawah disebabkan oleh keengganan usia produktif untuk bekerja di lahan sawah. Bahkan untuk panen hampir seluruhnya menggunakan tenaga kerja luar keluarga yang berasal dari luar daerah.
berdampak pada produktivitas padi (Adiningsih 1999). Menurut Satoto et al., (2013), beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi senjang hasil antarmusim antara lain mengetahui prevalensi serangan hama/ penyakit, memetakan varietas spesifik, dan menerapkan teknik budi daya spesifik, baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Misalnya rekomendasi pemupukan, jarak tanam, pengairan, dan pengelolaan hama/penyakit tanaman.
(7) Umur dan jumlah bibit Variabel umur bibit juga menunjukkan hasil yang sama baik antara petani alumni maupun bukan alumni SLPTT. Semakin tua umur bibit maka produksi padi menurun. Bibit yang ditanam rata-rata berumur 22,59 hari setelah semai, sedangkan rekomendasi umur bibit padi untuk tanaman pindah adalah 14-21 hari setelah semai (Badan Litbang Pertanian 2007). Bibit yang tua cenderung mengalami cekaman pada waktu ditanam, yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman (Anggraini et al. 2013). Hasil penelitian Chapagain dan Yamaji (2010); Hussain et al. (2012) menunjukkan bahwa umur bibit 712 hari setelah semai (HSS) dengan jumlah benih 1-2 benih per lubang memberikan pertumbuhan dan komponen hasil terbaik. Hal ini dikarenakan bibit yang ditanam umur muda (7-12 HSS) memiliki akar yang lebih kuat sehingga tidak mudah rebah dan menghasilkan anakan produktif yang lebih banyak. Jumlah benih 1-2 batang per lubang tanam menjadikan bibit leluasa mendapatkan unsur hara yang dibutuhkan sehingga pertumbuhannya maksimal. (8) Peubah dummy iklim Faktor iklim mempengaruhi produksi padi sawah, dimana intensitas cahaya matahari dan ketersediaan air sangat dibutuhkan tanaman. Hasil estimasi variabel dummy musim tanam terhadap produksi padi sawah memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan koefisien regresi 0,0225. Hal ini mengindikasikan produktivitas padi sawah pada MK lebih tinggi daripada musim hujan. Penelitian Dobermann dan Fairhurst (2000) menyatakan bahwa hasil padi di lahan sawah irigasi hanya berproduksi <60% dari potensi hasil genetis di suatu tempat dengan kondisi iklim tertentu. Faktor iklim menyumbang variasi hasil 10% dari hasil maksimum varietas unggul padi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pada musim kemarau hasil gabah mencapai 10 t/ha, sedangkan pada musim hujan 7-8 t /ha. Lebih rendahnya produksi padi pada musim hujan disebabkan oleh rendahnya radiasi surya sebagai komponen utama fotosintesis dan tingginya tingkat kelembaban yang memicu perkembangan penyakit tanaman sehingga
(9) Peubah dummy sistem tanam Penerapan sistem tanam jajar legowo oleh petani alumni dan bukan alumni SL-PTT berpengaruh nyata terhadap produksi padi dengan koefisien regresi 0,1839. Artinya, produksi padi di lahan sawah dengan sistem tanam jajar legowo lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tanam tegel. Kendala awal bagi petani pada cara tanam jajar legowo umumnya ketidaksiapan buruh tanam. Menanam bibit padi dengan cara jajar legowo dinilai lebih rumit dan lebih lama dibanding cara tegel. Namun dengan tersedianya prototipe caplak sebagai alat penggarisdi permukaan tanah memudahkan menanam padi dengan cara jajar legowo. Menurut Sohel et al. (2009), jarak tanam optimum akan memberikan pertumbuhan yang lebih baik sehingga tanaman dapat memanfaatkan lebih banyak cahaya matahari dan unsur hara. (10) Peubah dummy pengelolaan air Pengelolaan air berperan penting dan merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan produksi di lahan sawah. Produksi padi sawah akan menurun jika tanaman padi menderita cekaman air (Hale and Orcutt 1987). Tanaman padi membutuhkan air yang volumenya berbeda untuk setiap fase pertumbuhan (Setiobudi dan Fagi 2008). Irigasi yang dilakukan petani bukan alumni SL-PTT umumnya menggenangi lahan sejak pengolahan tanah sampai tanaman dewasa. Kondisi ini kurang menguntungkan bagi tanaman dan kehidupan organisme yang bermanfaat dalam tanah. Dalam keadaan tergenang, lahan menjadi anerob sehingga ketersediaan oksigen dalam tanah menjadi terbatas. Kondisi tergenang juga menyebabkan tak berfungsinya kekuatan biologis tanah dan menghambat perkembangan perakaran padi yang berpengaruh terhadap perkembangan dan hasil tanaman padi (Setyorini dan Abdulrachman 2009, Rachmawati dan Retnaningrum 2013). Irigasi secara berselang (intermittent) merupakan teknologi pengelolaan air yang diterapkan dalam program pengembangan PTT padi sawah. Hasil analisis menunjukkan bahwa sistem pengairan berpengaruh 137
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
nyata perhadap produksi padi di lahan sawah dengan koefisien regresi 0,0379. Hal ini bermakna bahwa produksi padi sawah dengan sistem pengairan berselang/intermitten lebih tinggi dibandingkan dengan sistem penggenangan terus-menerus. Krishnasamy et al. (2003) melaporkan bahwa produktivitas padi sawah dengan irigasi berselang lebih tinggi 6,73% dan menghemat penggunaan air irigasi hingga 21% dibanding penggenangan terus-menerus. (11) Peubah dummy PHT Dalam penerapan PTT, pengendalian OPT dilakukan melalui pendekatan PHT. Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan PHT memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi padi dengan koefisien regresi 0,1707. Hal ini bermakna bahwa produksi padi sawah dengan pendekatan PHT lebih tinggi dibanding tanpa PHT. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan PHT menekan penggunaan pestisida yang berdampak pada pengurangan biaya produksi usahatani. Pincus (1991) dalam Mariyono (2008) melaporkan bahwa setelah setahun pelaksanaan program PHT di Indonesia, penggunaan pestisida turun secara drastis yang mencapai 50% dan meningkatkan hasil padi 10%. (12) Peubah dummy varietas unggul Varietas unggul merupakan salah satu teknologi inovatif yang handal dalam meningkatkan produktivitas padi, baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanaman maupun toleransi dan atau ketahanannya terhadap cekaman biotik dan abiotik (Sembiring 2008). Varietas padi juga merupakan teknologi yang paling
mudah diadopsi petani karena murah dan praktis. Petani alumni SL-PTT umumnya menggunakan varietas unggul baru seperti Inpari, Mekongga, Cigeulis, dan Ciherang yang memiliki potensi hasil cukup tinggi, sedangkan pada petani bukan alumni masih dominan menggunakan varietas IR64. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan varietas unggul baru berpengaruh nyata terhadap produksi padi sawah dengan koefisien regresi 0,1375. Hal ini bermakna bahwa produksi varietas unggul baru lebih tinggi dibandingkan dengan varietas IR64. Penelitian Hidayat et al. (2012) menunjukkan introduksi PTT padi sawah menggunakan VUB mampu meningkatkan produktivitas 0,54-2,46 t/ha dan pendapatan petani Rp 1-3 juta/ha. Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi Efisiensi ekonomi masing-masing petani responden merupakan invers (kebalikan) dari efisiensi biaya yang diperoleh dari hasil analisis fungsi biaya frontier. Efisiensi alokatif merupakan rasio dari efisiensi ekonomi terhadap efisiensi teknis. Efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi pada gabungan petani alumni dan bukan alumni SL-PTT dapat dilihat pada Tabel 5. Indeks efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi rata-rata 80,40%, 71,65%, dan 57,61%. Walaupun secara teknis telah efisien namun efisiensi alokatif turun karena sebagian petani (26,19%) tidak efisien secara alokatif. Hal ini berdampak secara ekonomi, tidak efisien, akibatnya keuntungan petani lebih rendah karena inefisiensi biaya. Gabungan petani alumni SL-PTT dan bukan alumni SL-PTT rata-rata mencapai efisiensi teknis 80,40% dari frontier, yakni produksi maksimum yang dapat dicapai
Tabel 5. Sebaran gabungan petani alumni dan bukan alumni SL-PTT padi sawah berdasarkan efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi di Provinsi Bali, MK 2011 dan MH 2011/2012. Efisiensi teknis
Efisiensi alokatif
Efisiensi ekonomi
Efisiensi Jumlah 0,10 ≤ 0,20 ≤ 0,30 ≤ 0,40 ≤ 0,50 ≤ 0,60 ≤ 0,70 ≤ 0,80 ≤ 0,90 ≤
E < 0,20 E < 0,30 E < 0,40 E < 0,50 E < 0,60 E < 0,70 E < 0,80 E < 0,90 E < 1,00
Total Minimum Maksimum Rata-rata
138
(%)
Jumlah
(%)
Jumlah
(%)
0 0 0 0 6 48 81 168 129
0,00 0,00 0,00 0,00 1,39 11,11 18,75 38,89 29,86
0 20 23 15 25 43 47 51 208
0,00 4,63 5,32 3,47 5,79 9,95 10,88 11,81 48,15
0 25 39 19 57 66 94 79 53
0,00 5,79 9,03 4,40 13,19 15,28 21,76 18,28 12,27
432
100,00
432
100,00
432
100,00
0,5417 0,9921 0,8040
0,2841 0,9793 0,7165
0,1539 0,9716 0,5761
SUHARYANTO ET AL.: EFISIENSI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI SAWAH
dengan sistem pengelolaan yang terbaik dengan nilai efisiensi terendah 54,17% dan nilai tertinggi 99,21%. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Haryani (2010), di mana petani program SL-PTT lebih efisien secara teknis dengan rata-rata efisiensi 87%, sementara petani non SL-PTT hanya 71%. Hidayah (2013) menyatakan bahwa melalui pendekatan PTT padi sawah, 75,83% petani telah efisien secara teknis dengan rata-rata efisiensi teknis 0,885. Jika dilihat dari rata-rata efisiensi teknis fungsi stokhastik frontier, petani alumni SL-PTT masih memiliki peluang untuk memperoleh produksi yang lebih tinggi seperti yang diperoleh petani yang paling efisien secara teknis. Peluang peningkatan produksi 19,60% untuk mencapai potensi produksi. Efisiensi alokatif pada gabungan petani alumni dan bukan alumni SL-PTT berkisar antara 0,2841-0,9907 dengan rata-rata 0,6814. Jika rata-rata petani dapat mencapai tingkat efisiensi alokatif yang paling tinggi, maka mereka dapat menghemat biaya sebesar 26,83% (1-0,7165/0,9793). Petani yang paling tidak efisien dapat menghemat biaya usahatani sebesar 70,99% (1-0,2841/ 0,9793). Selain penggunaan input yang kurang atau berlebihan, penyebab lain rendahnya efisiensi alokatif adalah informasi harga input dan output yang tidak sempurna, yang biasanya terjadi di sektor pertanian, sehingga keragaman harga input dan output tidak cukup digambarkan oleh harga rata-rata. Jika harga input transparan dan petani dapat menikmati harga murah atau disubsidi maka petani dapat meningkatkan efisiensi alokatif sehingga menghemat biaya dan akhirnya meningkatkan keuntungan usahatani. Efisiensi ekonomi gabungan petani alumni dan bukan alumn SL-PTT berada pada kisaran 0,1539-0,9716 dengan rata-rata 0,5761. Hal ini dapat dijelaskan bahwa jika rata-rata petani dapat mencapai tingkat efisiensi ekonomi paling tinggi maka mereka dapat menghemat biaya 40,70% (1-0,5761/0,9716). Petani yang tidak efisien dapat menghemat biaya sebesar 84,16% (1-0,1539/ 0,9716). Jadi berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa penanganan masalah inefisiensi alokatif pada gabungan
petani alumni dan bukan alumni SL-PTT lebih utama dibandingkan dengan masalah inefisiensi teknis dalam upaya pencapaian tingkat efisiensi ekonomi yang lebih tinggi, karena secara teknis, petani dikatakan efisien (indeks efisiensi teknis >0,70) dengan peluang peningkatan efisiensi yang lebih kecil (19,60%). Sementara penghematan biaya sebagai dampak pencapaian efisiensi alokatif cukup besar. Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan efisiensi alokatif pada kondisi petani memperhatikan harga input adalah dengan penambahan input yang kurang atau pengurangan pemakaian input yang berlebihan sehingga dicapai biaya yang minimum. Untuk mencapai hal tersebut maka pemerintah dapat berperan dalam menetapkan kebijakan harga input yang terjangkau oleh petani padi sawah. Hasil analisis uji beda rata-rata terhadap efisiensi teknis, ekonomi, dan alokatif juga menunjukkan perbedaan nyata secara statistik antara petani bukan alumni SL-PTT dan alumni SL-PTT (Tabel 6). Hal ini sekaligus menguatkan penelitian sebelumnya di mana perbaikan teknologi usahatani mampu meningkatkan efisiensi teknis padi sawah dibandingkan dengan teknologi eksisting. Pada petani alumni bukan SL-PTT terjadi penurunan efisiensi teknis 15,79%, efisiensi ekonomi 20,84%, dan efisiensi alokatif 4,02%. Secara teknis, baik petani alumni maupun bukan alumni, telah efisien, sebagaimana ditunjukkan oleh ratarata nilai efisiensi yang lebih besar dari 0,70. Secara ekonomi, baik petani alumni, maupun bukan alumni, belum efisien. Secara alokatif, petani alumni telah efisien sedangkan petani bukan alumni belum efisien dengan rata-rata efisiensi di bawah 0,70 (0,68). Inefisiensi Teknis Padi Sawah Hasil analisis fungsi produksi frontier stokhastik terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis usahatani pada gabungan petani alumni dan bukan alumni SL-PTT menunjukkan bahwa semua variabel yang diestimasi memberikan pengaruh yang nyata
Tabel 6. Hasil uji beda rata-rata dan persentase perubahan efisiensi teknis, ekonomi dan alokatif pada petani alumni SL-PTT dan bukan alumni SL-PTT padi sawah di Provinsi Bali, MK 2011 dan MH 2011/2012. Alumni SL-PTT
Bukan alumni SL-PTT
Efisiensi
Efisiensi teknis Efisiensi ekonomi Efisiensi alokatif
t-hitung Rata-rata
St.Dev
Rata-rata
St.Dev
0.8816 0.6269 0.7088
0,10 0,22 0,23
0.7614 0.5188 0.6814
0,05 0,18 0,20
15,425 *** 3,421 *** 1,715 *
Δ (%)
-15,79 -20,84 -4,02
*** = Nyata pada taraf α 1% * = Nyata pada taraf α 10%
139
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Tabel 7. Hasil estimasi fungsi produksi stokhastik frontier terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis padi sawah gabungan petani alumni dan bukan alumni SL-PTT padi sawah di Provinsi Bali, MK 2011 dan MH 2011/2012. Variabel
Konstanta Umur petani Pendidikan formal Pengalaman usahatani Jumlah anggota RT Jumlah persil Status lahan Dummy PTT
Tanda Koefisien harapan +/+ + -
0,4535 0,0029 -0,0065 -0,0036 -0,0015 -0,0336 -0,0445 -0,2503
*** *** *** *** ns
*** *** ***
Standarerror
t-rasio
0,0757 0,0009 0,0023 0,0009 0,0041 0,0092 0,0163 0,0631
5,9905 3,1634 -2,8618 -3,7118 -0,3595 -3,6536 -2,7197 -3,9693
*** = Nyata pada taraf α 1%; t tabel 1% = 2,335.
terhadap inefisiensi teknis padi sawah, kecuali variabel jumlah anggota rumah tangga (Tabel 7). Pada Tabel 7 terlihat bahwa variabel umur petani berpengaruh nyata positif terhadap tingkat inefisiensi teknis usahatani padi sawah dengan koefisien estimasi 0.0029. Hal ini berarti bahwa semakin tua umur petani akan meningkatkan inefisiensi teknis usahatani. Petani responden adalah kepala keluarga tani yang merupakan manajer sekaligus penggarap yang usianya relatif tidak muda. Sementara usahatani padi relatif membutuhkan tenaga dan fisik yang kuat karena variasi aktivitas budi daya yang cukup intensif, menyita waktu, dan hampir tidak ada masa istirahat sejak pengolahan lahan sampai panen. Hal ini membuktikan bahwa petani yang berumur lebih muda akan lebih efisien dalam berusahatani. Hal ini sejalan dengan penelitian Khai dan Yabe (2011), di mana efisensi teknis usahatani padi sawah di Vietnam juga dipengaruhi oleh umur petani. Kondisi di lapangan membuktikan 34,7% petani berada pada usia 51-60 tahun dan hal ini menjadi masalah dalam efisiensi. Pada penelitian ini, variabel tingkat pendidikan berpengaruh nyata negatif terhadap inefisiensi usahatani dengan koefisien estimasi -0,0065. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin meningkat efisiensi teknis. Petani dengan pendidikan yang lebih tinggi lebih terbuka dalam menerima informasi dan lebih mudah mengadopsi atau menerima perubahan teknologi, sehingga akan meningkatkan efisiensi teknis. Sejalan dengan penelitian Bakhsh et al. (2006), Reddy dan Sen (2004), dan Chi dan Yamada (2005), semakin tinggi tingkat pendidikan petani semakin meningkat efisiensi teknis. Teknik budi daya padi bagi sebagian besar penduduk perdesaan sudah menjadi bagian dari budaya yang sudah diwariskan dari masa ke masa. Pengalaman merupakan guru terbaik bagi peningkatan produksi apabila tanpa agen perubahan yang membawa inovasi baru. Pengalaman memberikan pengaruh yang nyata 140
terhadap inefisiensi usahatani padi dengan koefisien negatif -3,7118. Artinya, semakin bertambah pengalaman usahatani semakin menurun inefisiensi teknis atau semakin meningkat efisiensi teknis dengan bertambahnya pengalaman berusahatani. Penelitian Huy (2009), Taraka et al. (2012), Backman et al. (2011), dan Shanta et al. (2012) menunjukkan bahwa pengalaman usahatani memberikan pengaruh nyata negatif terhadap inefisiensi teknis, yang berimplikasi terhadap peningkatan efisiensi dengan semakin membaiknya pengalaman berusahatani. Pengetahuan usahatani yang mereka miliki umumnya bersumber dari pengalaman pribadi dan tukar menukar pengalaman dengan sesama petani. Jumlah persil berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis dengan koefisien estimasi -0,0336. Artinya semakin banyak persil semakin efisien usahatani padi secara teknis. Temuan ini bertolak belakang dengan asumsi yang dibangun bahwa terfragmentasinya lahan menjadi beberapa bagian akan meningkatkan inefisiensi teknis usahatani padi sawah. Kondisi di lokasi penelitian menunjukkan hal yang sebaliknya. Diduga, meskipun petani memiliki lebih dari satu persil, namun masih dalam satu hamparan dan dalam satu desa dengan lokasi yang berdekatan, sehingga masih berada dalam pengawasan yang baik. Sejalan dengan penelitin Kusnadi et al. (2011) dan Susilowati dan Tinaprilla (2012), di beberapa likasi di Indonesia, peningkatan jumlah persil masih selaras dengan perluasan lahan sehingga semakin banyak persil semakin luas lahan yang dikelola dan makin meningkat efisiensi. Dengan demikian efek jumlah persil lebih terkait dengan perluasan lahan daripada fragmentasi lahan. Status lahan garapan memberikan pengaruh nyata negatif (-0,0445) terhadap inefisiensi teknis usahatani padi sawah secara keseluruhan. Hal ini bermakna bahwa efisiensi teknis petani dengan status lahan garapan milik sendiri lebih efisien dibandingkan dengan status lahan bukan milik (sewa/sakap atau lainnya). Dengan kepemilikan lahan garapan milik sendiri, petani akan mengelola lahan usahatani dengan sebaik-baiknya dan menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi. Penelitian Jamal dan Dewi (2009) menunjukkan bahwa semakin kecil proporsi lahan garapan yang disewa terhadap total lahan garapan semakin menurun inefisiensi teknis. Petani alumni merupakan petani yang terlibat langsung dalam penerapan PTT padi sawah setelah melalui kegiatan sekolah lapang. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel dummy PTT berpengaruh yang nyata negatif (-0,2503) terhadap inefisiensi teknis usahatani. Hal ini bermakna bahwa efisiensi teknis petani alumni lebih tinggi dibanding efisiensi teknis petani bukan alumni SL-PTT. Melalui PTT padi sawah, petani telah melakukan managemen usahatani lebih baik
SUHARYANTO ET AL.: EFISIENSI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI SAWAH
dibandingkan petani bukan alumni SL-PTT. Aspek managerial tersebut antara lain penggunaan pupuk tepat dosis dan waktu, penggunaan pestisida seminimal mungkin berdasarkan konsep PHT, penggunaan air irigasi sesuai kebutuhan tanaman melalui irigasi berselang/intermitten, penggunaan bibit umur muda dan jumlah bibit per lubang yang relatif lebih sedikit. Penelitian Pramono et al. (2005), Bebet et al. (2008), dan Babihoe (2009) menunjukkan bahwa penerapan model PTT pada padi sawah dengan mengintroduksikan komponen-komponen teknologi budi daya sinergis mampu meningkatkan efisiensi penggunaan input dan produktivitas usahatani padi berupa peningkatan hasil panen GKP yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan pola petani.
KESIMPULAN Produksi padi sawah secara keseluruhan nyata dipengaruhi oleh variabel-variabel komponen produksi seperti luas lahan, jumlah benih, pupuk N, pupuk organik, pestisida, tenaga kerja, dan umur bibit. Produksi padi sawah lebih tinggi pada musim kemarau, dengan sistem tanam legowo, sistem pengairan berselang, menerapkan PHT, dan menggunakan VUB selain IR64. Efisiensi teknis petani alumni SL-PTT lebih tinggi 15,79% dibanding petani bukan alumni SL-PTT. Secara teknis, petani alumni SL-PTT lebih efisien dari petani bukan alumni SL-PTT karena penggunaan input produksi lebih rendah dan output produksi lebih tinggi. Efisiensi alokatif (harga) merupakan kemampuan petani untuk menggunakan input dengan proporsi yang optimal pada masing-masing tingkat harga input dan teknologi yang diterapkan. Efisiensi alokatif petani alumni SL-PTT lebih tinggi 4,02% dibandingkan dengan petani bukan alumni SL-PTT. Usahatani padi sawah lebih efisien secara ekonomi jika dapat meminimalkan biaya produksi untuk menghasilkan output tertentu dengan teknologi yang diterapkan dan harga pasar yang berlaku. Efisiensi ekonomi petani alumni SL-PTT lebih tinggi 20,84% dibandingkan dengan petani bukan alumni SLPTT. Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh nyata menurunkan inefisiensi teknis secara agregat adalah umur, pendidikan, pengalaman usahatani, jumlah persil. Efisiensi teknis padi sawah lebih tinggi pada lahan milik sendiri petani alumni SL-PTT. Secara konsisten jumlah anggota rumah tangga tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan efisiensi teknis padi sawah. Optimalisasi penggunaan input dapat dilakukan melalui penggunaan benih varietas unggul baru spesifik lokasi sesuai rekomendasi, pemberian pupuk kimia
sesuai kebutuhan tanaman, peningkatan penggunaan pupuk organik, penggunaan umur dan jumlah bibit sesuai rekomendasi, penerapan sistem tanam legowo, penerapan konsep PHT dan sistem irigasi berselang. Terdapat peluang peningkatan kapasitas managerial petani melalui peningkatan pengalaman yang dapat diperoleh melalui penyuluhan maupun sekolah lapang. Pemerintah dapat berperan dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluhan dalam diseminasi PTT, baik melalui pelatihan, penyuluhan yang intensif, sekolah lapang maupun demplot-demplot percobaan. Penanganan masalah efisiensi alokatif (harga) pada petani alumni SL-PTT maupun bukan alumni SL-PTT lebih utama dibandingkan dengan masalah efisiensi teknis dalam upaya pencapaian tingkat efisiensi ekonomi yang lebih tinggi. Penghematan biaya sebagai dampak pencapaian efisiensi alokatif (harga) cukup besar. Upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan efisiensi harga adalah penambahan input yang kurang atau pengurangan input yang berlebihan sehingga dicapai biaya minimum. Dalam rangka peningkatan efisiensi alokatif pemerintah dapat berperan dalam menentukan kebijakan subsidi input dan harga output yang memberikan insentif kepada petani untuk mengoptimalkan penggunaan input.
DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, E.S. 1999. Pengaruh variabilitas iklim terhadap produktivitas padi berdasarkan data penginderaan jauh. J. Agromet 14(1-2):71-86. Ameriana, M. 2008. Perilaku petani sayuran dalam menggunakan pestisida kimia. Jurnal Hortikultura 18(1):95-106. Anggraini, F., A Suryanto, dan N. Aini. 2013. Sistem tanam dan umur bibit pada tanaman padi sawah (Oryza sativa L.) varietas Inpari 13. Jurnal Produksi Tanaman 1(2):52-60. Bäckman, S., K.M. Zl Islam, and J. Sumelius. 2011. Determinants of technical efficiency of rice farms in North-Central and North-Western Regions in Bangladesh. Journal of Developing Area 45:73-94. Babihoe, J. 2009. Pengkajian usahatani padi varietas unggul baru melalui pendekatan Pengelolaan Tanamant Terpadu (PTT) di lahan sawah irigasi Provinsi Jambi. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 12(3). Badan Litbang Pertanian. 2007. Petunjuk teknis lapang. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Bali. 2012. Statistik harga produsen gabah provinsi Bali 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Denpasar. 61p. BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Bali. 2013a. Bali dalam angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Denpasar. p.173-181. BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Bali. 2013b. Luas lahan menurut penggunaannya di Provinsi Bali Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Denpasar. 94p.
141
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Bakhsh, K.B. Ahmad. and S. Hassan. 2006. Food security through increasing technical efficiency. Asian Journal of Plant Sciences 5(6):970-976. Bebet, N., S.L. Muliyanti, dan T. Fahmi, 2008. Penerapan model pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu padi sawah irigasi di K abupaten Sumedang. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 11(3):268-279. Chapagain, T. and E. Yamaji. 2010. The effects of irrigation method. age of seedling and spacing on crop performance, productivity and water-wise production in Japan. Pady Water Environ 8:8190. Chi,T.T.N. and R Yamada. 2005. Assessing the technical efficiency of input in rice Production in Thoi Lai Commune, Co Do District, Can Tho City. Omonrice 13:116-120. Coelli, T.J., D.S.P. Rao, C.J. O’Donnel, and G.E. Battese. 2005. An introduction to efficiency and productivity analysis. 2nd edition. Springer. New York. De Datta, S.K. 1981. Principles and practices of rice production. John Wiley & Sons, Inc., New York USA. Departemen Pertanian. 2007. Permentan No 40 tahun 2007 tentang rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada padi sawah spesifik lokasi. Departemen Pertanian. Jakarta. Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice: nutrient disorder and nutrient management. International Rice Research InstitutePotash & Phosphate Institute (PPI) - Potash & Phosphate Institute of Canada (PPIC). Doebbelaere, S.,J. Vanderleyden, and Y. Okon. 2003. Plant growthpromoting effects of diazotrophs in the rhizosphere.critical rev. Plant Sci. 22:107-149. Hale, M.G. and D.M. Orcutt. 1987. The Physiology of plants under stress. John Willey and Sons. New York. 206 hal. Har yani, D. 2010. Efisisiensi usahatani padi sawah melalui pengelolaan tanaman terpadu di Kabupaten Serang Provinsi Banten. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 13(2):131-140. Hidayah, I., N. Hanani, R. Anindita, and B. Setiawan. 2013. Production and cost efficiency analysis using frontier stochastic approach, A case on paddy farming system with Integrated Plant and Resources Management (IPRM) approach in Buru District Maluku Province Indonesia. Journal of Economics and Suistainable Development 4(1): 78-85. Hidayat, Y., Y. Saleh, dan M. Waraiya. 2012. Kelayakan usahatani padi varietas unggul baru melalui PTT di Kabupaten Halmahera Tengah. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 31(3):166-172. Hussain, A., M.A. hat, and M.A. Ghanie. 2012. Effect of number and age of seedling on growth, yields, nutrient uptake and economics of rice under system of rice intensification in temperate condition. Indian Journal of Agronomy 57(2):133137. Huy, H.T. 2009. Technical efficiency of rice-producing households in the Mekong Delta of Vietnam. Asian Journal of Agriculture and Development 6(2):35-50. Jamal, E. and Y.A. Dewi. 2009. Technical efficiency of land tenure contracts in West Java Province, Indonesia. Asian Journal of Agriculture and Development 6(2):21-34. Kodde, D.A. and F.C. Palm. 1986. Wald criteria for jointly testing equality and inequality restrictions. Econometrica 54:12431248. Khai, H.V. and M. Yabe. 2011. Technical efficiency analysis of rice production in Vietnam. J. ISSAAS 17(1):135-146.
142
Krishnasamy, S., F.P. Amerasinghe, R. Sakthivadivel, G. Ravi, S.C. Tewari, and W. van der Hoek. 2003. Strategies for conserving water and effecting mosquito vector control in rice ecosystems. International Water management Institute (IWMI). Working Paper 56. 21 pp. Kusnadi, N., N. Tinaprilla, S.H. Susilowati, dan A Purwoto. 2011. Analisis efisiensi usahatani padi di beberapa sentra produksi padi di Indonesia. Agro Ekonomi 29(1): 25-48. Mariyono, J. 2008. National dissemination of integrated pest management technology through farmers’ field schools in Indonesia: Was it successful? International Journal of Agricultural Technology 4(1):11-26. Ogundari, K. and S.O. Ojo. 2007. An examination on technical economic and allocative efficiency of small farm : The case study of cassava farmers in Osun State of Nigeria. Bulgarian Journal of Agricultural Science 13:185-195. 2007. Pramono, J., S Basuki, dan Widarto. 2005. Upaya peningkatan produktivitas padi sawah melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu. Agrosains 7(1):1-6. Rachmawati, D. dan Retnaningrum. 2013. Pengaruh tinggi dan lama penggenangan terhadap pertumbuhan padi kultivar sintanur dan dinamika populasi rhizobakteri pemfiksasi nitrogen non simbiosis. Bionatura 15(2):117-125. Reddy, A.R. and C. Sen. 2004. Technical inefficiency in rice production and Its relationship with farm specific socioeconomic charactristics. Indian Journal of Agricultural Economics 59(2):259-267. Satoto, Y. Widyastuti., U. Susanto, dan M.J. Mejaya. 2013. Perbedaan hasil padi antar musim di lahan sawah irigasi. IPTEK Tanaman Pangan 8(2):55-61. Sembiring, H. 2008. Kebijakan penelitian dan rangkuman hasil penelitian BB padi dalam mendukung peningkatan produksi beras nasional. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi, Subang. p.39-59. Sembiring, H. dan I.N. Widiarta. 2008. Inovasi teknologi padi menuju swasembada beras berkelanjutan. Dalam: A.K. Makarim et al. (eds.): Inovasi Teknologi Tanaman Pangan. Prosiding Simposium V Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Setiobudi, D. dan A.M. Fagi. 2008. Pengelolaan air padi sawah irigasi: antisipasi kelangkaan air. Dalam: Suyamto, I.N. Widiarta, dan Satoto (Eds.). Padi, inovasi teknologi dan ketahanan pangan. Buku I. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. p.243-272. Setyorini, D., L.R. Widowati, dan S. Rochayati. 2004. Teknologi pengelolaan hara tanah sawah intensifikasi.. Dalam: Agus, F., A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi dan W. Hartatik (Eds.). Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Setyorini, D. dan S. Abdulrachman. 2009. Pengelolaan hara mineral tanaman padi. Dalam: Suyamto, I.N. Widiarta, dan Satoto (Eds.). Padi, inovasi teknologi dan ketahanan pangan. Buku I. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. Shantha, A.A., B.G.H. Ali, and R.A.G. Bandara. 2012. Efficiency and managerial ability of paddy farming under minor irrigation conditions: A frontier production function approach. The Journal of Agricultural Sciences 7(3):145-158. Sohel, M.A.T., M.AB. Siddique, M. Asaduzzaman, M.N. Alam, and M.M. Karim. 2009. Varietal performance of transplant Aman rice under different hill densities. Bangladesh Journal Agric. Res 34(1):33-39.
SUHARYANTO ET AL.: EFISIENSI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI SAWAH
Sumarno dan U.G. Kartasasmita. 2012. Kesiapan petani menggunakan pupuk organik pada padi sawah. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 31(3):137-144. Susilowati, S.H. dan N. Tinaprilla. 2012. Analisis efisiensi usahatani tebu di Jawa Timur. Penelitian Tanaman Industri 18(4):162172. Tan, Z., T. Hurek, and B. Reinhold-Hurek. 2002. Effect of Nfertilization, plant genotype and environmental conditions on nifH gene pools in roots of rice environ. Microbiol. 5: 10091015.
Taraka, K., I.A. Latif, M.N. Shamsudin, and S.A. Sidique. 2012. Estimation of technical efficiency for rice farms in Central Thailand using stochastic frontier approach. Asian Journal of Agriculture and Development 9(2):1-11. Umar, H. 2000. Metode riset pemasaran dan perilaku konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wahid, A.S. 2003. Peningkatan efisiensi pupuk Nitrogen pada padi sawah dengan metode Bagan Warna Daun. Jurnal Litbang Pertanian 22(4):156-161. Yang, H.W., S. Peng, J.L. Huang, A.L. Sanico, R.J. Buresh, and C. Witt. 2003. Using leaf color chart to estimate leaf nitrogent status of rice. Agronomy Journal Vol. 95. pp.212-217.
143
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
144
IKRARWATI ET AL.: PELAPISAN BENIH PADI SELAMA PENYIMPANAN
Keefektifan Pelapisa Benih terhadap Peningkatan Mutu Benih Padi Selama Penyimpanan Effectiveness of Seed Coating on Improving Rice Seed Quality During Storage Ikrarwati1*, Satriyas Ilyas2, Amiyarsi Mustika Yukti3 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Jl. Raya Ragunan no. 30, Pasar minggu, Jakarta Selatan 12540 E-mail:
[email protected] 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 3 Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Jl. Raya Tapos No. 20, Tapos, Depok 16956
Naskah diterima 11 Juli 2013 dan disetujui diterbitkan 8 Desember 2014
ABSTRACT. Seed coating using biological pesticides such as clove oil and citronella oil, was expected to have the ability to control seed-borne pathogens on rice. The aim of the research was to determine the effectiveness of seed coating using clove oil and lemon grass oil against seed-borne fungi and bacteria on rice seed variety “Hipa 8” during storage. The experiment was conducted in Cimanggis, from February to September 2012, using completely randomized design with single factor, consisting of four levels: (1) clove oil 1% + chitosan 3%; (2) lemon grass oil 2% + carboxymethyl-cellulose 1%; (3) Synthetic pesticide (streptomycin sulphate 0.04% + benomyl 0.1%) + arabic gum 10%; and (4) control (without coating). Results showed that seedborne fungi pathogens on seed of Hipa 8 rice were detected at 6month storage consisted of Fusarium sp., Curvularia sp., Alternaria sp., Cladosporium sp., Aspergillus sp. and Penicillium sp. The detected pathogenic bacteria were Xanthomonas oryzae pv. oryzae and X. campestris pv. oryzicola. Coating formula most compatible with the rice seed of HIPA 8 was chemical pesticide + 10% arabic gum, which suppressed fungal infection from 80% to 45% at the first month and from 90% to 70% at the fifth month, suppressed populations of Xoo + Xco from 7.6 x 108 cfu/g of seed to 5.86 x 105 cfu/g of seed at the first month and 7.0 x 106 cfu/g of seed to 1.4 x 104 cfu/g of seeds at the sixth month. The treatment caused the smallest decrease of seed viability compared to the other coating treatments. Keywords: Bacteria, clove oil, lemon grass oil, fungi, natural pesticide. ABSTRAK. Benih berpelapis (seed coating) pestisida nabati seperti minyak cengkeh dan minyak serai memiliki kemampuan mengendalikan patogen terbawa benih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan coating benih terhadap cendawan dan bakteri terbawa benih padi varietas Hipa 8 selama 6 bulan penyimpanan. Penelitian dilaksanakan di Cimanggis, pada bulan Februari sampai September 2012. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima ulangan dan empat perlakuan coating benih, yaitu (1) minyak cengkeh 1%+ kitosan 3%; (2) minyak serai 2% + karboksimetilselulosa 1%; (3) pestisida kimia (streptomycin sulphate 0,04% + benomyl 0,1%) + gom arab 10%; dan (4) kontrol (tanpa coating). Hasil penelitian menunjukkan
cendawan patogen terbawa benih padi varietas Hipa 8 yang terdeteksi pada penyimpanan selama 6 bulan adalah Fusarium sp., Curvularia sp., Alternaria sp., Cladosporium sp., Aspergillus sp. dan Penicillium sp.. Bakteri patogen yang terdeteksi adalah Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan X. campestris pv. oryzicola. Formula coating yang paling kompatibel dengan benih padi varietas Hipa 8 adalah pestisida kimia + gom arab 10% yang dapat menekan total infeksi cendawan dari 80% menjadi 45% pada bulan pertama dan 90% menjadi 70% pada bulan ke lima, menekan populasi Xoo + Xco dari 7,6 x 108 cfu/g menjadi 5,86 x 105 cfu/g benih pada bulan pertama dan dari 7,0 x 106 cfu/g menjadi 1,4 x 104 cfu/g benih pada bulan ke enam, dengan penurunan viabilitas benih yang lebih kecil dibanding perlakuan coating yang lain. Kata kunci: Bakteri, cendawan, minyak cengkeh, minyak serai, pestisida nabati.
PENDAHULUAN Kesehatan benih memegang peranan penting dalam budi daya padi. Penurunan produksi padi bahkan kegagalan panen banyak disebabkan oleh penyakit, dan benih berperan dalam penyebaran penyakit yang disebabkan oleh patogen terbawa benih. Benih terinfeksi patogen akan menjadi sumber penyakit pada lokasi pertanaman baru atau dapat menimbulkan ledakan penyakit pada daerah pertanaman yang sudah memiliki riwayat tertular penyakit (Agarwal and Sinclair 1996). Benih padi umumnya terinfeksi oleh banyak mikroorganisme seperti cendawan, bakteri, virus dan nematoda. Cendawan merupakan kelompok terbesar yang menginfeksi benih, diikuti oleh bakteri. Cendawan yang banyak dilaporkan menginfeksi benih padi adalah Alternaria padwickii, Fusarium moniliforme, Curvularia 145
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
sp., Drechslera oryzae, Aspergillus flavus, Aspergillus niger (Thobunluepop 2009, Gopalakrishnan et al. 2010, Archana and Prakash 2013). Tingkat infeksi cendawan terhadap benih padi cukup tinggi. A . padwickii dilaporkan menginfeksi benih padi 1,33-44,0% (Islam et al. 2000, Pham et al. 2001), sedangkan Fusarium moniliforme, Aspergillus flavus, Fusarium solani, dan Trichoderma spp., ditemukan sebagai cendawan terbawa benih padi dengan tingkat infeksi masingmasing 23,0%; 4,53%; 3,48%; 2,44%; 2,01%; dan 1,39% (Gopalakrishnan et al. 2010). Sementara itu, bakteri yang banyak dilaporkan menginfeksi benih padi adalah Xanthomonas oryzae pv. oryzae, X. campestris pv. oryzicola (Ora et al. 2011, Damanik et al. 2013). Pengendalian cendawan dan bakteri yang menginfeksi benih padi dapat menggunakan pestisida nabati seperti minyak atsiri. Minyak cengkeh dan minyak serai merupakan minyak atsiri yang efektif mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh cendawan dan bakteri (Zainal et al. 2010, Ilyas et al. 2013). Minyak atsiri sebagai pestisida dapat diaplikasikan dengan metode coating (pelapisan) pada benih. Coating benih merupakan salah satu metode untuk memperbaiki mutu benih dengan penambahan bahan kimia pada formula coating. Coating benih dapat melindungi benih dari hama dan penyakit, mengurangi penggunaan pestisida kimia di lapang, meningkatkan daya simpan, mengurangi penularan penyakit dari benih di sekitarnya dan dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif seperti antioksidan, antimikroba, dan zat pengatur tumbuh (Shi and Liu 2001, Pham and Gowda 2007, Manjunatha et al. 2008, Thobunluepop 2009). Coating benih dengan minyak atsiri untuk pengendalian patogen terbawa benih merupakan hal yang komplek karena berhubungan dengan efektivitas antimikroba yang harus dipertahankan selama penyimpanan, sehingga masih banyak aspek yang perlu diteliti. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan coating benih dengan minyak cengkeh dan minyak serai wangi dibanding pestisida kimia terhadap cendawan dan bakteri terbawa benih padi varietas Hipa 8 selama penyimpanan.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Cendawan dan Bakteri, Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BBPPMB-TPH) Cimanggis pada bulan Februari-September 2012. Benih yang digunakan adalah benih padi hibrida varietas Hipa 8 rakitan BB-Padi Sukamandi hasil panen bulan Februari
146
2012 yang telah disimpan dalam kondisi suhu kamar 28-30°C selama 1 bulan sebelum digunakan. Minyak cengkeh yang digunakan memiliki kandungan eugenol 78,0% dan minyak serai wangi memiliki kandungan citronella 16,82%. Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak lengkap dengan empat perlakuan coating benih dan lima ulangan, yaitu: (1) minyak cengkeh 1% + kitosan 3%; (2) minyak serai 2% + CMC 1%; (3) Pestisida kimia (streptomycin sulphate 0,04% + benomyl 0,1%) + gom arab 10%; dan (4) kontrol (benih tanpa perlakuan coating). Dilakukan uji mutu patologis dan fisiologis benih setiap bulan selama enam bulan penyimpanan. Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam. Perlakuan yang menunjukkan berbeda nyata diuji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf nyata 0,05%. Proses perlakuan coating benih dilakukan dengan membuat larutan formula coating sesuai perlakuan sebanyak 100 ml ditambah 1% pewarna merah Ponceau 4R CI 16255 yang diaplikasikan untuk 500 g benih. Benih yang telah dicoating dikeringanginkan dengan kipas angin hingga kadar air mendekati kadar air kontrol 11% (± 24 jam), kemudian dikemas dengan plastik polypropylene 0,8 mm, direkatkan dan disimpan pada suhu kamar (28-30°C) selama 6 bulan. Pengamatan dilakukan pada awal penyimpanan benih dan diulang setiap bulan selama 6 bulan penyimpanan terhadap mutu patologis dan mutu fisiologis benih. Parameter yang diamati pada mutu patologis benih meliputi perkembangan cendawan dan bakteri patogen terbawa benih yaitu (1) total infeksi cendawan, (2) tingkat infeksi pada setiap cendawan, (3) jumlah koloni bakteri terbawa benih. Parameter yang diamati pada mutu fisiologis benih meliputi daya berkecambah dan kadar air benih. Identifikasi cendawan patogen terbawa benih dilakukan menggunakan mikroskop compound dan stereo berdasar ciri-ciri morfologi hifa dan spora menurut Mathur et al. (2003). Penghitungan tingkat infeksi total cendawan dan infeksi masing-masing cendawan pada benih dilakukan dengan metode blotter test (ISTA 2010). Pada setiap perlakuan, sebanyak 400 butir didisinfeksi dengan natrium hipoklorit 1%, dibilas dengan air steril dan dikeringanginkan. Benih ditanam di atas kertas saring steril dalam petridish dan diinkubasi. Identifikasi dilakukan setelah 7 hari inkubasi pada inkubator suhu 20-25 ºC dengan penyinaran near ultra violet 12 jam terang dan 12 jam gelap. Tingkat infeksi total cendawan terbawa benih dan infeksi masingmasing cendawan dihitung dengan rumus sebagai berikut:
IKRARWATI ET AL.: PELAPISAN BENIH PADI SELAMA PENYIMPANAN
Jumlah benih terinfeksi cendawan Tingkat infeksi total = ——————————— x 100% cendawan pada Jumlah benih yang benih ditabur Jumlah benih terinfeksi cendawan genus ‘x’ Tingkat infeksi = ————————————— x 100% cendawan Jumlah benih yang genus ‘x’ ditabur Identifikasi bakteri patogen terbawa benih dilakukan berdasarkan ciri morfologis dan karakter biokimia isolat bakteri yang dimurnikan. Ekstraksi dan isolasi bakteri menggunakan metode penghancuran (liquid assay) (Balai Besar PPMB-TPH 2007). Benih sebanyak 400 butir direndam dalam natrium hipoklorit selama 1 menit, dibilas dengan air steril, dihancurkan dengan mortar dan pestle serta ditambahkan air steril hingga volume mencapai 100 ml. Hasil ekstraksi diinkubasikan selama 2 jam. Suspensi bakteri diambil dengan pipet steril sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi air steril 9 ml, sehingga diperoleh pengenceran 10-1 dan divortex hingga homogen. Pengenceran diulang hingga diperoleh tingkat pengenceran 10-9. Dari setiap pengenceran yang dibuat, diambil 100 ìl suspensi dan ditabur pada media nutrient agar di cawan petri, diinkubasi dalam keadaan terbalik pada suhu 28-30ºC selama 2-3 hari. Koloni yang diduga sebagai patogen dimurnikan pada media NA/King’s B dan diinkubasi pada suhu 28-30ºC selama 2-3 hari. Isolat yang diperoleh diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi serta biokimia bakteri. Karakter biokimia diperoleh berdasarkan uji reaksi gram, fluorescence, hidrolisis pati, arginin, oksidase, dan katalase (Mortensen 1989). Penghitungan jumlah koloni bakteri terbawa benih dilakukan dengan metode plate counting (Balai Besar PPMB-TPH 2007). Dasar perhitungan metode plate counting adalah jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada media, dengan asumsi satu koloni berasal dari satu sel bakteri, sehingga satuan yang digunakan adalah colony forming unit per gram benih. Y = (X.n.10.v) / berat 400 butir benih Y : jumlah koloni bakteri per gram benih (cfu/g) X : jumlah rata-rata koloni per petri pada suatu tingkat pengenceran n : tingkat pengenceran 10 : menunjukan per ml karena yang ditabur per petri adalah 0,1 ml v : volume larutan yang digunakan untuk mengekstraksi bakteri dari benih (ml)
Pengamatan mutu fisiologis benih dilakukan terhadap parameter daya berkecambah dan kadar air benih berdasar ISTA (2010). Daya berkecambah benih dihitung berdasarkan jumlah kecambah normal (KN) pada pengamatan pertama (5 hari setelah tanam) dan kedua (7 hari setelah tanam), dibagi dengan jumlah benih yang ditanam. Kadar air benih dihitung dengan cara menimbang setiap perlakuan sebanyak 5 g, digrinder dan ditimbang bobot basahnya. Benih yang telah digrinder kemudian dioven pada temperatur 130133ºC selama 2 jam dan ditimbang bobot keringnya Σ KN pengamatan I + Σ KN pengamatan II Kadar berkecambah =——————————— x 100% (%) Σ benih yang ditanam Bobot basah – bobot kering Kadar air benih= ————————————— x 100% (%) bobot basah
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Infeksi Cendawan Terbawa Benih Padi Hasil identifikasi berdasarkan morfologi hifa dan spora cendawan menunjukkan enam genus cendawan yang menginfeksi benih padi Hipa 8 selama 6 bulan penyimpanan, yaitu Fusarium sp., Curvularia sp., Alternaria sp., Cladosporium sp., Aspergillus sp. dan Penicillium sp.. Cendawan diketahui sebagai kelompok terbesar patogen terbawa benih (Agarwal and Sinclair 1996). Keenam cendawan tersebut banyak dilaporkan menginfeksi benih padi (Islam et al. 2000, Pham et al. 2001, Thobunluepop 2009). Keefektifan berbagai formula coating terhadap cendawan terbawa benih padi varietas Hipa 8 disajikan pada Gambar 1. Semua formula coating benih mampu menekan infeksi yang disebabkan oleh cendawan terbawa benih, ditandai oleh rendahnya tingkat infeksi cendawan pada tiga perlakuan coating dibanding kontrol. Formula coating minyak cengkeh 1% + kitosan 3% menghasilkan penghambatan yang paling besar terhadap infeksi cendawan dibanding formula yang lain. Setelah 3 bulan penyimpanan, daya hambat formula minyak serai 2% + CMC 1% dan pestisida kimia + gom arab 10% mulai menurun dengan tajam yang ditandai oleh meningkatnya tingkat infeksi cendawan pada benih. Semua formula coating nyata menekan tingkat infeksi Fusarium sp. (Gambar 2), Curvularia sp. (Gambar 3), dan Alternaria sp. (Gambar 4) dibanding kontrol sejak awal sampai akhir penyimpanan. 147
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Huruf yang sama pada bulan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5% Gambar 1. Pengaruh formula coating terhadap total infeksi cendawan pada benih padi varietas Hipa 8 selama 6 bulan penyimpanan.
Gambar 2. Jumlah benih padi Hipa 8 terinfeksi Fusarium sp. pada berbagai formula coating.
Gambar 3. Jumlah benih padi Hipa 8 terinfeksi Curvularia sp. pada berbagai formula coating.
Tingkat infeksi Cladosporium sp. dapat ditekan oleh formula coating minyak cengkeh 1% + kitosan 3% dan minyak serai 2% + CMC 1%. Coating pestisida kimia + gom arab 10% tidak efektif menghambat infeksi Cladosporium sp. (Gambar 5). Tingkat infeksi Penicillium sp. hanya dapat ditekan pada perlakuan coating pestisida kimia + gom arab 10%. Formula minyak cengkeh 1% + kitosan 3% menghasilkan tingkat infeksi yang sama dengan control. Coating minyak serai 2% + CMC 1% justru meningkatkan infeksi Penicillium sp. lebih tinggi dibanding kontrol (Gambar 6). Aspergillus sp. terdeteksi setelah 3 bulan penyimpanan. Formula minyak serai 2% + CMC 1% memiliki daya hambat lebih besar terhadap Aspergillus sp., diikuti oleh formula minyak cengkeh 1% + kitosan
3%, sedangkan pestisida kimia + gom arab 10% tidak efektif menghambat cendawan tersebut (Gambar 7). Hasil penelitian menunjukkan coating benih dengan formula yang mengandung pestisida nabati seperti minyak cengkeh dan minyak serai wangi lebih efektif mengendalikan cendawan terbawa benih padi varietas Hipa 8 dibanding formula coating yang mengandung pestisida kimia. Hal ini sejalan dengan penelitian Thobunluepop (2009) pada benih padi dan Sawatwanich et al. (2008) pada benih kedelai yang menunjukkan coating benih dengan formula yang mengandung minyak cengkeh lebih efektif mengendalikan cendawan terbawa benih dibanding formula coating dengan pestisida kimia Captan (1,2,3 dan 6-tetrahydro-N-(trichloromethyl thio) phthalimide).
148
IKRARWATI ET AL.: PELAPISAN BENIH PADI SELAMA PENYIMPANAN
Gambar 4. Jumlah benih padi Hipa 8 terinfeksi Alternaria sp. pada berbagai formula coating.
Gambar 5. Jumlah benih padi Hipa 8 terinfeksi Cladosporium sp. pada berbagai formula coating.
Gambar 6. Jumlah benih padi Hipa 8 terinfeksi Penicillium sp. pada berbagai formula coating.
Gambar 7. Jumlah benih padi Hipa 8 terinfeksi Aspergillus sp. pada berbagai formula coating.
Coating dengan minyak cengkeh dan minyak serai memiliki efektifitas yang berbeda dalam menekan infeksi cendawan terbawa benih padi Hipa 8. Perbedaan efektivitas minyak cengkeh dengan minyak serai wangi disebabkan oleh jenis bahan aktif dari masing-masing fungisida nabati tersebut, yaitu eugenol pada minyak cengkeh dan sitronela pada minyak serai wangi (Sutariati et al. 2005). Nakahara et al. (2003) melaporkan linalool dan sitronelal adalah senyawa volatil dari minyak serai yang paling aktif terhadap cendawan. Ultee et al. (2002) melaporkan eugenol sebagai komponen utama minyak cengkeh adalah senyawa fenolik. Aktivitas antimikroba minyak esensial ini dapat dikaitkan dengan keberadaan intiaromatik dan gugus fenolik-OH yang dikenal reaktif dan membentuk ikatan hidrogen dengan situs aktif enzim target.
Perkembangan Bakteri Terbawa Benih Padi Hasil identifikasi bakteri berdasar sifat morfologi dan biokimia menunjukkan benih padi varietas Hipa 8 terinfeksi X. oryzae pv. oryzae (Xoo) dan X. campestris pv. oryzicola (Xco) (Tabel 1). Xoo merupakan penyebab hawar daun bakteri pada tanaman padi dan merupakan salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui patogen terbawa benih (Agarwal and Sinclair 1996). Penyakit ini dapat menurunkan produksi padi sampai 50% (Vikal et al. 2007). Sementara itu Xco adalah bakteri terbawa benih penyebab penyakit bacterial leaf streak yang merupakan salah satu penyakit penting dan banyak ditemukan pada tanaman padi (Swing et al. 1990). Selain efektif menghambat cendawan, seluruh formula coating benih yang diaplikasikan, juga memiliki kemampuan menghambat bakteri Xoo dan Xco pada 149
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
kontrol juga mengalami penurunan selama penyimpanan, namun nyata lebih besar dibanding jumlah koloni Xoo pada tiga perlakuan coating benih selama 6 bulan penyimpanan. Berdasarkan informasi tersebut, perlakuan benih yang lain seperti matriconditioning, osmoconditioning atau pencelupan benih dengan pestisida pada awal penanaman atau penyimpanan untuk menekan populasi Xoo dan Xco dapat digunakan seperti yang dilaporkan oleh Rachmawati (2009), bahwa perendaman benih dengan pestisida kimia atau pestisida nabati dapat menurunkan populasi Xoo. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku untuk pengendalian cendawan terbawa benih, karena tingkat infeksi cendawan selama 6 bulan penyimpanan dapat tetap, meningkat atau menurun, bergantung pada jenis cendawan dan perlakuan coating yang diaplikasikan (Gambar 2-7).
benih padi Hipa 8 (Tabel 2). Jumlah koloni bakteri pada semua perlakuan coating berbeda nyata dengan kontrol sejak awal hingga 6 bulan penyimpanan. Formula coating dengan minyak cengkeh, minyak serai atau pestisida kimia memiliki efektivitas yang sama kuat dalam menghambat Xoo dan Xco. Mekanisme kerja antibakteri minyak atsiri adalah dengan merusak sel bakteri. Kerusakan sel diawali dengan rusaknya membran sel yang berlanjut dengan keluarnya material isi sel dan akhirnya sel mengalami kematian (Mangoni et al. 2004, Rasooli et al. 2006). Kim et al. (1995) dan Bennis et al. (2004) menyatakan minyak atsiri menyebabkan kebocoran inti sel sehingga asam nukleat (DNA dan RNA) dan protein keluar dari sel. Bocornya material genetik ini menyebabkan terganggunya pembelahan sel. Jumlah koloni bakteri Xoo dan Xco yang terdeteksi pada percobaan ini mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu simpan. Hal tersebut terjadi pada semua perlakuan coating dan juga pada kontrol. Penurunan jumlah koloni bakteri selama waktu penyimpanan disebabkan oleh shelf-life bakteri Xoo dan Xco yang tidak panjang. Agarwal dan Sinclair (1996) melaporkan bahwa viabilitas Xoo pada benih padi adalah 0,16-0,9 tahun, sedangkan viabilitas Xanthomonas campestris pada benih Sesamum indicum dan Lactuca sativa 1,33-1,9 tahun. Meskipun jumlah koloni Xoo pada
Mutu Fisologis Benih Padi Perlakuan coating benih berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah dan kadar air benih padi Hipa 8 (Gambar 8). Semua formula coating menghasilkan daya berkecambah yang tidak berbeda nyata dengan kontrol pada awal penyimpanan, kemudian mengalami penurunan selama 6 bulan penyimpanan. Coating benih dengan minyak cengkeh dan coating dengan minyak serai wangi menyebabkan penurunan daya berkecambah benih Hipa 8 yang berbeda nyata dengan kontrol sejak satu bulan penyimpanan, sedangkan coating dengan pestisida kimia baru menyebabkan penurunan daya berkecambah yang berbeda dengan kontrol setelah 6 bulan penyimpanan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh morfologi benih padi Hipa 8 yang memiliki struktur lemma dan palea yang terbuka. Fungisida yang diaplikasikan dalam formula coating dapat langsung mengenai embrio sehingga mempengaruhi kemampuan benih untuk berkecambah. Fungisida nabati berupa minyak atsiri memiliki kandungan bahan aktif yang mudah menguap, sehingga reaksi yang diberikan terhadap benih lebih cepat
Tabel 1. Hasil identifikasi bakteri terbawa benih padi varietas Hipa 8. HIPA 8 Pengamatan/uji
Morfologi Warna Gram Arginin/anaerob Fluoresen Oksidase Hidrolisa Pati Hasil identifikasi
Koloni 1
Koloni 2
Licin, cembung, bulat Kuning, kuning pucat Negatif Negatif Negatif Negatif Positif X. campestris pv. oryzicola
Cembung, bulat kecil Kuning tua Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif X. oryzae pv. oryzae
Tabel 2. Pengaruh perlakuan coating benih terhadap jumlah koloni Xoo + Xco pada benih padi varietas Hipa 8 selama penyimpanan. Periode simpan (bulan) Perlakuan coating 0
1
2
3
4
5
6
0,16 a 0,51 a 0,85 a 90 b
0,05 a 0,36 a 0,14 a 70 b
Populasi Xoo + Xco ( … x 10 5 cfu/g benih) Minyak cengkeh 1% + kitosan 3% Minyak serai 2% + CMC 1% Pestisida kimia + gom arab 10% Kontrol
0,42 8,18 5,86 7.600
a a a b
0,40 6,88 3,74 5.520
a a a b
0,39 2,65 2,18 1.300
a a a b
0,37 a 2,37 a 1,63 a 930 b
0,32 a 1,52 a 1,30 a 210 b
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%; cfu = colony forming unit. Xoo = Xanthomonas oryzae pv. oryzae; Xco = X. Campestris pv. oryzocola.
150
IKRARWATI ET AL.: PELAPISAN BENIH PADI SELAMA PENYIMPANAN
Huruf yang sama pada bulan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5% Gambar 8. Pengaruh formula coating terhadap daya berkecambah dan kadar air benih padi varietas Hipa 8 selama penyimpanan.
dan menurunkan daya berkecambah benih lebih cepat dibanding pestisida kimia yang berbentuk serbuk padat. Kadar air pada semua perlakuan coating sudah berbeda nyata dengan kontrol sejak awal penyimpanan (Gambar 8). Hal tersebut disebabkan oleh proses pengeringan yang diakhiri setelah kadar air berada di bawah 13% dan mendekati kadar air kontrol. Jika proses pengeringan terlalu lama dikhawatirkan minyak atsiri yang diaplikasikan pada formula coating menguap. Peningkatan kadar air yang berbeda nyata pada tiga perlakuan coating terjadi setelah 3 bulan penyimpanan, namun hingga akhir masa penyimpanan kadar air semua perlakuan masih di bawah batas maksimum kadar air benih padi, yaitu 13%. Pestisida nabati seperti minyak cengkeh dan minyak serai dalam formula coating terbukti efektif mengendalikan cendawan dan bakteri terbawa benih padi Hipa 8, bahkan keefektifan minyak cengkeh dan minyak serai melebihi pestisida kimia dalam menghambat cendawan terbawa benih. Akan tetapi, perlakuan coating dengan minyak cengkeh dan minyak serai wangi menyebabkan penurunan daya berkecambah benih yang nyata lebih besar dibanding perlakuan kontrol dan pestisida kimia sejak satu bulan setelah penyimpanan. Dengan demikian formula coating yang paling kompatibel untuk pengendalian patogen terbawa benih padi Hipa 8 adalah pestisida kimia + gom arab 10%.
bulan adalah Fusarium sp., Curvularia sp., Alternaria sp., Cladosporium sp., Aspergillus sp. dan Penicillium sp. Bakteri patogen yang terdeteksi adalah Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan X. campestris pv. oryzicola. 2. Formula coating yang paling kompatibel dengan benih padi varietas Hipa 8 adalah pestisida kimia + gom arab 10% yang dapat menekan total infeksi cendawan dari 80% menjadi 45% pada bulan pertama dan dari 90% menjadi 70% pada bulan ke lima, menekan populasi Xoo + Xco dari 7,6 x 108 cfu/ g benih menjadi 5,86 x 105 cfu/g pada bulan pertama, dan dari 7,0 x 106 cfu/g menjadi 1,4 x 104 cfu/g benih pada bulan ke enam, dan lebih kecil menurunkan viabilitas benih. 3. Semua formula coating efektif mengendalikan cendawan dan bakteri terbawa benih padi varietas Hipa 8 selama enam bulan penyimpanan. Akan tetapi, formula coating benih dengan minyak cengkeh 1% + kitosan 3% dan minyak serai 2% + CMC 1% menurunkan viabilitas benih sejak satu bulan penyimpanan, sedangkan formula coating dengan pestisida kimia + gom arab 10% baru menyebabkan penurunan viabilitas benih setelah enam bulan penyimpanan.
SARAN KESIMPULAN 1. Cendawan patogen terbawa benih padi varietas Hipa 8 yang terdeteksi pada penyimpanan selama 6
Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penggunaan pestisida nabati yang berbentuk tepung atau penambahan ZPT yang dapat mempertahankan viabilitas benih padi varietas Hipa 8. 151
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
UCAPAN TERIMA KASIH Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Badan Litbang Pertanian, dan Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Kementerian Pertanian, yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini, serta kepada Prof. A. Karim Makarim, Prof. Djoko S. Damardjati ,dan Dr. M. Machmud, atas masukan dan sarannya untuk perbaikan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Agarwal, V.K. and J.B. Sinclair. 1996. Principles of seed pathology. Lewis Publishers, New York. Archana, B. dan H.S. Prakash. 2013. survey of seed-borne fungi associated with rice seeds in India. Internat’l J. Res. Pure and Appl. Microbiol. 3(1):25-29. [Balai Besar PPMB-TPH] Balai Besar Pengembangan Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2007. Deteksi Bakteri Patogen Benih. Depok (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Bennis, S., F. Chami, N. Chami, T. Bouchikhi, and A. Remmal. 2004. Surface alteration of Saccharomyces cerevisiae induced by thymol and eugenol. Letters in Appl. Microbiol. 38: 454458. Damanik, S., Pinem, M.I., dan Pengestiningsih, Y. 2013. Uji efikasi agens hayati terhadap penyakit hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) pada beberapa varietas padi sawah. J. Online Agroekoteknologi 1(4). Gopalakrishnan, C., A. Kamalakannan, dan V. Valluvaparidasan. 2010. Survey of seed-borne fungi associated with rice seeds in Tamil Nadu, India. Libyan Agric. Res. Cent. J. Internat’l 1(5): 307-309. Ilyas, S., A .Y. Rahmawati, and T.S. K adir. 2013. Seed matriconditioning plus natural or synthetic bactericides eradicated seed-borne bacterial leaf blight and improved viability and vigour of rice seed. ISTA Seed Symposium, 1218 June 2013. Antalya, Turkey. Islam, M.Sh., Q.S.A. Jahan, K. Bunarith, S. Viangkum, and S.D. Merca. 2000. Evaluation of seed health of some rice varieties under different conditions. Bot. Bull. Acad. Sin. 41:293-297. [ISTA] International Seed Testing Association. 2010. International rules for seed testing. Zurich. Switzerland. Kim, J.M., M.R. Marshall, J.A. Cornell, J.F. Preston, and C.I. Wei. 1995. Antibacterial activity of carvacrol, citral, and geraniol against Salmonella typhimurium in culture medium and fish cubes. J. Food Sci. 60(6):1365-1368. Manjunatha, S.N., R. Hunje, B.S. Vyakaranahal, and I.K. Kalappanavar. 2008. Effect of seed coating with polymer, fungicide and containers on seed quality of chilli during storage. Karnataka J. Agricul. Sci. 21(2): 270-273. Mangoni, L.M., N. Papo, D. Barra, M. Simmaco, A. Bozzi, A. Di Diulio, and A.C. Rinaldi. 2004. Effects of the antimicrobial peptide temporin L on cell morphology, membrane permeability and viability of Escherichia coli. J. Biochem. 380: 859-865.
152
Mathur, S.B. and H.K. Manandhar. 2003. Fungi in seeds. Danish Government Institute of Seed Pathology for developing countries. Denmark (DK). Mortensen, C.N. 1989. Seed bacteriology laboratory guide. Danish Government Institute of Seed Pathology for Developing Countries. Denmark (DK). Nakahara, K., N.S. Alzoreky, T. Yoshihashi , H.T.T. Nguyen, and G. Trakoontivakorn. 2003. Chemical composition and antifungal activity of essential oil from Cymbopogon nardus (Citronella Grass). JARQ 37(4):249 –252. Ora, A.N.N., Faruq, M.T. Islam, N. Akhtar, and M.M. Rahman. 2011. Detection and identification of seed borne pathogens from some cultivated hybrid rice varieties in Bangladesh. MiddleEast J. Sci. Res. 10(4): 482-488. Pham, L.G. dan R. Gowda. 2007. Influence of seed coating with synthetic polymers and chemicals on seed quality and storability of hybrid rice (Oryza sativa L.) Omonrice 15: 6874. Pham, V.D., C.L. Le, D.C. Nguyen, V.N. Huynh, and D.T. Nguyen. 2001. Survey on seedborne fungi and its effects on grain quality of common rice cultivars in the Mekong Delta. Omonrice 9:107-113. Rachmawati, Y.A. 2009. Pengaruh perlakuan matriconditioning plus bakterisida sintetis atau nabati untuk mengendalikan hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. Oryzae) terbawa benih serta meningkatkan viabilitas dan vigor benih padi (Oryza sativa l.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rasooli, I., M.B. Rezaei, and A. Allameh. 2006. Ultrastructural studies on antimicrobialefficacy of thyme essential oils on Listeria monocytogenes. Internat’l. J. Infect. Dis. 9:342-345. Sawatwanich, A., P. Thobunluepop, C. Jatisatienr, S. Vearasilp, E. Pawelzik, S. Dheeranupattana and A. Jatisatienr. 2008. Using eugenol for seed coating technology as storage fungi controller in soybean seeds. J. Plant Dis. Prot. 115: 44-45. Shi, J. and Z. Liu, 2002. Prospects of the application of seed-coating techniques to medicinal plants. Zhong Yao Cai. 25(1): 69-71. Sutariati, G.A.K., K.V. Asie, S. Ilyas, dan Sudarsono. 2005. Efektifitas daya hambat pestisida nabati terhadap pertumbuhan koloni Colletotrichum capsici secara in vitro. Agriplus 15(1): 75-82. Swings, J., M. Van Den Mooter, L. Vauterin, B. Hoste, M. Gillis, T.W. Mew, and K. Kersters. 1990. Reclassification of the causal agents of bacterial blight (Xanthomonas campestris pv. oryzae) and bacterial leaf streak (Xanthomonas campestris pv. oryzicola) of rice as pathovars of Xanthomonas oryzae (ex Ishiyama 1922) sp. nov., nom. rev. Internat’l J. Systematic Bacteriol. 40(3): 309-311. Thobunluepop, P. 2009. The inhibitory effect of the various seed coating substances against rice seed borne cendawan and their shelf-life during storage. Pakistan J. Biol. Sci. 12(16): 1102-1110. Ultee, A., M.H.J. Bennik, dan Moezellar. 2002. The phenolic hydroxyl group of carvacrol is essential for action against the foodborne pathogen Bacillus cereus. Appl. Environ. Microbiol. 68(4):1561-1568. Vikal, Y., A. Das, B. Patra, R.K. Goel, J.S. Sidhu, K. Singh. 2007. Identification of news sources of bacterial blight resitence in wild oryza species. Plant Genetic Resources 5:108-112. Zainal, A., A. Anwar, S. Ilyas, Sudarsono, dan Giyanto. 2010. Efektifitas ekstrak tumbuhan untuk mengeliminasi Clavibacter michiganensisn sub sp. michiganensis pada benih tomat. J. Agron. Indonesia 38(1): 52-59.
TAUFIQ ET AL.: CEKAMAN SALINITAS PADA KACANG TANAH
Respon Varietas Unggul Kacang Tanah terhadap Cekaman Salinitas Responses of Groundnut Varieties to Salinity Stress Abdullah Taufiq, Afandi Kristiono dan Didik Harnowo Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Raya Kendalpayak km 7, Kotak Pos 66 Malang 65101 Indonesia Telp. 0341-801468, Faks. 0341-801496 Email:
[email protected] dan
[email protected] Naskah diterima 9 Desember 2014 dan disetujui diterbitkan 17 Juni 2015
ABSTRACT. Soil salinity has negative effect on crop growth and crop productivity. Information on the response of groundnut varieties to salinity is required for varietal selection adaptable to saline soil condition. The research was conducted at the greenhouse of Indonesian Legume and Tuber Crops Research Institute (Iletri), Malang, East Java from July to September 2013. The objective of the research was to study the effect of salinity on groundnut growth. Ten groundnut varieties, consisted of seven varieties of Spanish type and three varieties of Valencia type, were tested on six levels of soil salinity. The treatment combinations were arranged in randomized complete block design, replicated four times. The soil salinity level was obtained by treating soil media using sea water dilution. Observations were made on electrical conductivity (EC) of the soil, plant height, leaf chlorophyll content index, shoot and root dry weight, number and dry weight of pods, and number and dry weight of normal seeds. Results showed that increasing the salinity level inhibited both vegetative and generative growth and the critical age to the plants affected by salinity was 45-65 days after sowing. All variables of plant growth and yield components decreased with the increase of salinity level. The highest EC value of the soil for groundnut planting to produce pods and seeds was 1.60-1.84 dS/m. Based on the growth variables, varieties of Valencia-type seemed to be more tolerant to salinity than did Spanish-type, but there was no tolerance difference based on crop yield and yield components between the two groundnut groups. Higher tolerance of Valencia type was probably due to its ability to absorb and translocate more K in saline conditions. Among the Valencia type varieties tested, Domba variety indicated the most tolerance. Keywords: Groundnut, Spanish, Valencia, tolerance, salinity. ABSTRAK. Salinitas tanah berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Informasi respon varietas unggul kacang tanah terhadap salinitas sangat diperlukan sebagai dasar pemilihan varietas adaptif lahan salin. Penelitian bertujuan mempelajari tanggap beberapa varietas kacang tanah terhadap salinitas. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Balitkabi Malang pada Juli-September 2013 menggunakan rancangan acak kelompok faktorial, empat ulangan. Faktor I adalah enam tingkat salinitas tanah yang diperoleh dari pengenceran air laut. Faktor II adalah sepuluh varietas kacang tanah, terdiri atas tujuh varietas tipe Spanish dan tiga varietas tipe Valencia. Pengamatan dilakukan terhadap daya hantar listrik (DHL) tanah, tinggi tanaman, indeks kandungan klorofil daun, bobot kering tajuk dan akar, jumlah dan bobot kering polong isi, jumlah dan bobot kering biji normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan salinitas menghambat pertumbuhan pada fase vegetatif maupun generatif. Umur kritis pertumbuhan terhadap pengaruh salinitas adalah 45-65 HST. Semua peubah pertumbuhan
dan komponen hasil tanaman menurun akibat peningkatan salinitas. Batas DHL tanah tertinggi untuk menghasilkan polong dan biji adalah 1,60-1,84 dS/m. Varietas tipe Spanish dan Valencia tidak berbeda toleransinya dari aspek hasil dan komponen hasil tanaman, tetapi dari aspek peubah pertumbuhan tipe Valencia lebih toleran dibandingkan tipe Spanish. Toleransi tersebut kemungkinan berkaitan dengan kemampuan penyerapan unsur K dan translokasinya yang lebih tinggi pada kondisi salin. Di antara varietas tipe Valencia yang diuji, varietas Domba terindikasi lebih toleran. Kata kunci: Kacang tanah, Spanish, Valencia, toleransi, salinitas.
PENDAHULUAN Lahan pertanian yang terpengaruh salinitas di Indonesia diperkirakan 0,44 juta hektar (Alihamsyah et al. 2002). Meningkatnya luas lahan sawah irigasi yang mengandung salinitas di sepanjang Pantai Utara Jawa menyebabkan produksi padi menurun, seperti di Indramayu (Marwanto et al. 2009; Erfandi dan Rachman 2011). Hal serupa juga terjadi di lahan sawah di Aceh akibat tsunami pada tahun 2004 (Rachman et al. 2008). Luas lahan salin terus bertambah, terutama di daerah pesisir pantai, karena naiknya permukaan air laut (Ismail 2007), intrusi air laut (Gama et al. 2007), pencemaran limbah (Dajic 2006; Suganda et al. 2009), dan eksploitasi air tanah yang berlebihan (Putra dan Indradewa 2011). Sebagian besar tanaman budi daya sensitif terhadap salinitas (Dogar et al. 2012). Stadia kritis tanaman terhadap cekaman salinitas adalah pada saat perkecambahan dan pertumbuhan awal (Kitajima and Fenner 2000, Mudgal 2004, Cuartero et al. 2006), serta berbunga (Vadez et al. 2007; Amin 2011). Oleh karena itu, seleksi tanaman untuk toleransi terhadap salinitas dilakukan pada stadia tersebut (Bybordi and Tabatabaei 2009). Salah satu strategi pemanfaatan lahan salin adalah penggunaan varietas toleran. Toleransi genotipe kacang tanah terhadap salinitas beragam, dari agak toleran hingga toleran (Singh et al. 2007, Munggala et al. 2008). Pada tingkat salinitas 4,1, 4,9 dan 6,5 dS/m terjadi
153
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
penurunan hasil berturut-turut 25%, 50% dan 100% (Mungala et al. 2008). Batas kritis salinitas untuk kacang tanah berdasarkan penurunan hasil adalah 3,2 dS/m (Yadav et al. 2011). Genotipe yang toleran mengandung prolin dan asam amino bebas lebih tinggi, serta penurunan kandungan klorofil yang lebih rendah (Hammad et al. 2010). Varietas unggul kacang tanah yang sudah dilepas di Indonesia hingga tahun 2012 tercatat 29 varietas, namun toleransinya terhadap salinitas belum banyak diketahui. Pengujian tanaman terhadap cekaman salinitas di laboratorium dan rumah kaca umumnya menggunakan NaCl, tetapi ada juga yang menggunakan air laut, seperti pengujian pada tanaman kedelai (Nukaya et al. 1981), kacang hijau (Kurban et al. 1998, Rabie 2004), kacang tanah (Mensah et al. 2006, Singh et al. 2007), dan kacang tunggak (Hussein et al. 2008). Informasi ini bermanfaat untuk pemuliaan tanaman toleran salinitas. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui respon beberapa varietas kacang tanah terhadap salinitas.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) di Malang dari bulan Juli hingga September 2013. Rancangan percobaan adalah acak kelompok faktorial, diulang empat kali. Faktor I adalah enam tingkat salinitas tanah, yang diperoleh dari pemberian air laut yang diencerkan, yaitu: (1). kontrol 100% air kran, DHL air 0,65 dS/m (L0); (2). 5% air laut, DHL larutan 3,66 dS/m (L1); (3). 10% air laut, DHL larutan 6,80 dS/m (L2); (4). 15% air laut, DHL larutan 9,39 dS/m (L3); (5). 20% air laut, DHL larutan 12,50 dS/m (L4), dan (6). 25% air laut, DHL larutan 15,22 dS/m (L5). Faktor II adalah 10 varietas kacang tanah, yaitu Hypoma 1 (V1), Hypoma 2 (V2), Takar 1 (V3), Tuban (V4), Kancil (V5), Bison (V6), Singa (V7), Talam 1 (V8), Domba (V9), dan Panther (V10). Air laut diambil dari Pantai Balekambang Kabupaten Malang, Jawa Timur (DHL 50,8 dS/m). Varietas berkode V1, V2, V3, V4, V5, V6, dan V8 termasuk dalam kelompok tipe Spanish, sedangkan V7, V9, dan V10 termasuk kelompok tipe Valencia. Tanah yang digunakan pada penelitian adalah tanah non-salin yang diambil dari Wajak (Kabupaten Malang) pada kedalaman 0-20 cm (Tabel 1). Tekstur tanah (dengan hand feeling) adalah lempung berpasir (Sandy loam) dengan struktur remah. Tanah dikering-anginkan, bongkahan dihancurkan, dan dibersihkan dari kotoran. Sebanyak 8,5 kg tanah setara kering udara dimasukkan ke dalam ember plastik. Sebelum tanam contoh tanah dalam ember diberi pupuk dasar Phonska (15% N, 15% P2O5, 15% K2O, 10% S) dengan dosis 1,8 g/pot atau setara 300 kg/ha (dihitung berdasarkan populasi tanaman). 154
Tabel 1. Hasil analisis tanah Inceptisol asal Wajak, Malang pada lapisan 0-20 cm yang digunakan dalam percobaan. Malang, 2013. Peubah
Metode
DHL (dS/m) pH-H2O pH-KCl K-dd (me/100 g)1) Ca-dd (me/100 g) Mg-dd (me/100 g) Na-dd (me/100 g) KTK (me/100 g)
Ekstrak 1:1 1:5 1:5 1 N NH4-asetat, pH 7 1 N NH4-asetat, pH 7 1 N NH4-asetat, pH 7 1 N NH4-asetat, pH 7 1 N NH4-asetat, pH 7
1)
Hasil analisis 0,28 6,90 5,75 0,74 5,07 1,10 0,80 8,91
Klasifikasi Rendah Netral Tinggi Sedang Tinggi Rendah Rendah
-dd: dapat ditukar.
Benih kacang tanah ditanam empat biji/pot, kemudian dilakukan penjarangan pada umur 14 hari setelah tanam (HST) menjadi dua tanaman/pot. Penyiraman dilakukan setiap hari dengan air kran hingga tanaman berumur 13 HST, dan selanjutnya setiap hari disiram menggunakan air dengan kandungan salinitas sesuai perlakuan hingga mencapai kondisi sekitar kapasitas lapang sampai tanaman berumur 70 HST, dengan total 13,4 liter/pot. Perawatan tanaman dilakukan secara intensif dan panen pada umur 90 hari untuk varietas tipe Spanish dan 95 hari untuk varietas tipe Valencia. Analisis tanah dilakukan pada awal dan saat tanaman dipanen (DHL, pH, K-dd, Ca-dd, Mg-dd, Na-dd, dan KTK). Pengamatan terdiri atas daya hantar listrik (DHL) tanah (dengan portable EC meter Hanna tipe HI993310) saat tanaman berumur 40, 55 dan 74 HST, tinggi tanaman saat berumur 25, 35, 45, 55, 65, 75, 85 HST, indeks kandungan klorofil daun pada saat tanaman berumur 25, 35, 45, 55, dan 75 HST (diukur dengan Chlorophyl meter SPAD-502). Pengamatan peubah saat panen terdiri atas bobot kering tajuk dan akar (dioven 105oC hingga tercapai bobot konstan), jumlah dan bobot kering polong isi, jumlah dan bobot kering biji normal. Analisis ragam digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan, dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan. Analisis data menggunakan program MStat-C.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Salinitas terhadap Sifat Kimia Tanah Peningkatan konsentrasi air laut dalam larutan dari 0 hingga 25% dengan interval 5% meningkatkan DHL larutan (DHLw) mengikuti persamaan DHLw=
TAUFIQ ET AL.: CEKAMAN SALINITAS PADA KACANG TANAH
Gambar 1. Hubungan konsentrasi air laut dengan DHL larutan (A) dan DHL tanah (B).
Tabel 2. Pengaruh perlakuan tingkat salinitas terhadap beberapa sifat kimia tanah setelah tanaman kacang tanah dipanen. Malang, 2013. Perlakuan salinitas Peubah
pH-H2O pH-KCl K-dd (me/100 g) Ca-dd (me/100 g) Mg-dd (me/100 g) Na-dd (me/100 g) KTK (me/100 g) Kejenuhan Na (%) 1)
Metode
1:5 1:5 1 N NH4-asetat, pH 7 1 N NH4-asetat, pH 7 1 N NH4-asetat, pH 7 1 N NH4-asetat, pH 7 1 N NH4-asetat, pH 7 Perhitungan terhadap KTK
L0 (0,65) 1)
L1 (3,66)
L2 (6,80)
L3 (9,39)
L4 (12,50)
L5 (15,22)
6,4 6,2 1,00 3,35 0,62 0,92 10,76 8,6
6,8 6,3 1,50 5,00 3,59 0,96 11,07 8,7
6,3 6,0 1,60 4,35 3,73 1,56 10,12 15,4
6,4 6,1 2,07 4,10 3,51 2,69 11,09 24,3
6,5 6,1 2,24 5,43 3,93 3,14 9,80 32,0
6,6 6,1 2,44 4,22 3,47 3,90 10,78 36,2
DHLw (dS/m)
0,753+0,582X (R2=0,99; n=6), X adalah konsentrasi air laut (Gambar 1A). Setiap peningkatan DHLw menyebabkan peningkatan DHL tanah (DHLs) pada 40, 55 dan 74 HST atau 27, 42, dan 61 hari setelah aplikasi (HSA) secara linear, berturut-turut mengikuti persamaan Y 27=-0,006+0,515X (R²=0,98), Y 42=-0,475+0,671X (R²=0,99), dan Y61=-0,449+0,708X (R²=0,99), X adalah DHLw (Gambar 1B). Total volume larutan dengan DHL sesuai perlakuan yang ditambahkan mulai 14 HST hingga tanaman berumur 40, 55, dan 74 HST berturut-turut adalah 5,6 liter/pot, 10,1 liter/pot, dan 13,4 liter/pot. Hal ini menunjukkan terjadi akumulasi garam dalam tanah dengan makin banyaknya volume larutan yang diberikan, sehingga DHLs meningkat. Artinya, cekaman salinitas meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Dengan demikian, perlakuan yang diberikan dapat memberikan keragaman salinitas pada media tanah. Kondisi pH tanah setelah tanaman dipanen beragam antarperlakuan, dan cenderung tidak meningkat akibat perlakuan. Dengan demikian, tidak terjadi pengaruh negatif dari pH tanah akibat peningkatan salinitas.
Kandungan K-dd, Ca-dd dan Mg-dd pada tanah yang diberi perlakuan salinitas lebih tinggi dibanding kontrol, tetapi cenderung tidak meningkat dengan meningkatnya salinitas larutan (DHLw) yang diberikan (Tabel 2). Peningkatan DHLw yang ditambahkan berkorelasi positif dengan peningkatan kandungan Nadd (r=0,97**, n=6) dan kejenuhan Na-dd (r=0,98**, n=6). Hal ini mengindikasikan pengaruh negatif dari perlakuan yang diberikan terutama akibat peningkatan DHLs, Na-dd, dan kejenuhan Na. Pengaruh Salinitas terhadap Tinggi Tanaman Peningkatan salinitas berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada saat berumur 25 HST hingga 85 HST. Tinggi tanaman dari 10 varietas yang diuji berbeda nyata, tetapi tidak ada interaksi nyata antara tingkat salinitas dengan varietas (Tabel 3). Hal ini menunjukkan tinggi tanaman semua varietas kacang tanah yang diuji menurun akibat peningkatan salinitas.
155
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Tabel 3. Hasil analisis ragam pengaruh salinitas terhadap tinggi tanaman kacang tanah di rumah kaca. Malang, 2013. Tinggi tanaman (cm) Sumber keragaman
db
Salinitas (L) Varietas (V) L*V
5 9 45
KK (%)
25 HST
35 HST
45 HST
55 HST
65 HST
75 HST
85 HST
* ** tn
** ** tn
** ** tn
** ** tn
** ** tn
** ** tn
** ** tn
13,5
13,9
12,7
12,3
20,3
16,3
16,9
* dan ** masing-masing nyata pada 5% dan 1%; tn: tidak nyata. Tabel 4. Rata-rata tinggi tanaman kacang tanah pada berbagai tingkat salinitas di rumah kaca. Malang, 2013. Tinggi tanaman (cm) Salinitas (dS/m)1) 25 HST L0 L1 L2 L3 L4 L5
7,3 a 7,3 a (0)2) 7,1 ab (3) 7,1 ab (3) 6,8 b (7) 6,7 b (8)
35 HST 8,8 a 8,4 ab (5) 8,0 bc (9) 8,0 bc (9) 7,6 c (14) 7,6 c (14)
45 HST 12,5 10,1 9,1 8,5 7,9 8,2
a b (27) c (39) cd(45) e (52) de(49)
55 HST 15,2 a 11,6 b 10,3 c 9,6 d 9,0 de 8,5 e
(24) (32) (37) (41) (44)
65 HST 16,9 12,3 10,5 9,6 9,0 8,8
a b c d de e
(27) (38) (43) (47) (48)
75 HST 18,5 12,7 10,7 9,8 9,8 9,6
a b c cd cd d
(31) (42) (47) (47) (48)
85 HST 21,1 a 16,2 b (23) 14,0 c (34) 11,6 d (45) 10,4 e (51) 9,6 e (55)
Angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada uji BNT 5%. 1) DHL tanah L0 s/d L5 berturut-turut adalah 1,60-1,84 dS/m, 2,95-4,44 dS/m, 5,43-6,45 dS/m, 6,57-8,22 dS/m, dan 7,65-10,38 dS/m; 2) angka dalam tanda kurung adalah persentase penurunan terhadap kontrol (L0).
Peningkatan salinitas menghambat pertumbuhan tanaman. Dibandingkan perlakuan kontrol, penurunan tinggi tanaman pada umur <45 HST relatif rendah (<15%), dan meningkat drastis pada umur 45-85 HST, mencapai 23-55% (Tabel 4). Terdapat indikasi bahwa semakin lama tanaman mengalami cekaman, makin besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman. Hal ini kemungkinan karena sejak tanaman berumur 45 HST sudah memasuki stadia perkembangan dan pengisian polong, sehingga membutuhkan pasokan unsur hara yang lebih banyak, dan pasokan hara tersebut terganggu oleh salinitas. Peningkatan salinitas menyebabkan pertumbuhan tanaman pada umur lebih dari 45 HST atau 31 HSA mengalami stagnasi, yang tercermin dari melambatnya penambahan tinggi tanaman. Pengamatan secara visual menunjukkan adanya gejala keracunan garam pada tanaman, yaitu daun menguning, mengering dan kemudian mati. Gejala keracunan mulai terjadi pada salinitas L1 (DHLs 1,60-1,84 dS/m). Berdasarkan data tinggi tanaman diketahui bahwa umur kritis tanaman kacang tanah terhadap cekaman salinitas adalah pada saat berumur 45 HST. Berdasarkan tinggi tanaman relatif, terdapat indikasi bahwa nilai kritis pertumbuhan tanaman adalah pada tingkat salinitas L1 (DHLw 3,66 dS/m atau DHLs 1,60-1,84 dS/m) (Gambar 2).
156
Gambar 2. Tinggi tanaman relatif tanaman kacang tanah akibat perlakuan salinitas (DHL tanah L0 s/d L5 berturut-turut adalah 1,60-1,84 dS/m, 2,95-4,44 dS/m, 5,43-6,45 dS/ m, 6,57-8,22 dS/m, dan 7,65-10,38 dS/m).
Peningkatan DHLs menurunkan tinggi tanaman, yang ditunjukkan oleh korelasi negatif antara tinggi tanaman dengan DHLs pada berbagai umur tanaman. Tinggi tanaman pada umur 45 HST berkorelasi negatif dengan DHLs pada 40 HST (r=-0,88*, n=6). Tinggi tanaman pada umur 55 dan 65 HST berkorelasi negatif dengan DHLs pada 55 HST, dengan nilai korelasi berturutturut r=-0,89* dan r=-0,87* (n=6). Tinggi tanaman pada umur 75 dan 85 HST berkorelasi negatif dengan DHLs pada 74 HST, dengan nilai korelasi berturut-turut r=0,84* dan r=-0,96* (n=6).
TAUFIQ ET AL.: CEKAMAN SALINITAS PADA KACANG TANAH
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cekaman salinitas menghambat pertumbuhan tanaman. Meskipun tinggi tanaman dikendalikan oleh faktor genetik, namun faktor lingkungan (cekaman salinitas) juga berpengaruh terhadap ekspresi gen. Hal ini terlihat dari pengaruh cekaman salinitas terhadap penurunan tinggi tanaman semua varietas yang diuji. Pengaruh negatif cekaman salinitas tersebut kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya air yang dapat diserap tanaman karena meningkatnya tekanan osmotik air akibat meningkatnya DHL, dan pengaruh negatif dari meningkatnya kandungan Na tanah akibat terjadinya akumulasi garam.
klorofil daun sehingga kandungannya menurun. IKK pada umur 65 dan 75 HST mempunyai pola hubungan kuadratik dengan DHLs, dengan konstanta pada peubah X2 bernilai negatif (Gambar 4). Semakin meningkat DHLs semakin besar penurunan IKK. Pada umur 65 HST dan 75 HST IKK juga berkorelasi negatif dengan Na-dd dan kejenuhan Na dengan nilai korelasi (r) antara -0,93** dan 0,99** (n=6). Hal ini menunjukkan penurunan IKK selain disebabkan oleh peningkatan DHL juga karena peningkatan Na-dd dan kejenuhan Na.
Pengaruh Salinitas terhadap Indeks Kandungan Klorofil (IKK) Peningkatan salinitas berpengaruh nyata terhadap Indeks Kandungan Klorofil (IKK) mulai tanaman berumur 45 HST, sedangkan pengaruh varietas terhadap IKK nyata sejak tanaman berumur 25 HST. Tidak nyata pengaruh interaksi antara salinitas dengan varietas terhadap IKK, kecuali pada saat tanaman berumur 75 HST (Tabel 5). IKK tidak menurun pada salinitas L1 (DHLs 1,60-1,84 dS/m), justru meningkat 2-3% dibanding kontrol. Penurunan IKK mulai terjadi pada tingkat salinitas L2 dengan DHLs 2,95-4,44 dS/m (Gambar 3). Tingkat penurunan IKK pada umur 45 HST atau 32 HSA relatif lebih rendah (<10%) dibanding saat tanaman berumur lebih dari 45 HST. Pada tingkat salinitas L3 (DHLs 5,436,45 dS/m), IKK turun >20% dibandingkan dengan kontrol saat tanaman berumur 65 dan 75 HST. Dalam kaitannya dengan IKK terindikasi bahwa umur kritis tanaman akibat pengaruh salinitas berkisar antara 5565 HST, dengan batas kritis pada tingkat salinitas L2 (DHLs 2,95-4,44 dS/m) karena terjadi penurunan IKK 14% dan semakin menurun pada tingkat salinitas yang lebih tinggi. Nilai IKK pada umur 45 HST berkorelasi negatif dengan DHLs pada 40 HST (r=-0,85*, n=6). Nilai IKK pada umur 55 dan 65 HST berkorelasi negatif dengan DHLs pada 55 HST dengan nilai yang sama (r=-0,94*, n=6). Hal ini menunjukkan peningkatan DHL merusak
Gambar 3. Indeks Kandungan Klorofil daun kacang tanah akibat perlakuan salinitas (DHL tanah L0 s/d L5 berturut-turut 1,60-1,84 dS/m, 2,95-4,44 dS/m, 5,43-6,45 dS/m, 6,578,22 dS/m, dan 7,65-10,38 dS/m).
Gambar 4. Hubungan Indeks Kandungan Klorofil daun kacang tanah dengan tingkat salinitas.
Tabel 5. Hasil analisis ragam pengaruh salinitas terhadap indeks kandungan klorofil (IKK) daun 10 varietas kacang tanah di rumah kaca. Malang, 2013. IKK Sumber keragaman
Salinitas (L) Varietas (V) L*V KK (%)
db
5 9 45
25 HST
35 HST
45 HST
55 HST
65 HST
75 HST
tn ** tn
tn ** tn
** ** tn
** ** tn
** ** tn
** ** **
6,3
6,5
8,2
9,1
21,5
28,1
* dan ** masing-masing nyata pada 5% dan 1%; tn: tidak nyata.
157
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Tabel 6. Rata-rata Indeks Kandungan Klorofil daun 10 varietas tanaman kacang tanah di rumah kaca. Malang, 2013. IKK Varietas 25 HST Hypoma 1 Hypoma 2 Takar 1 Tuban Kancil Bison Singa Talam 1 Domba Panther
40,83 38,32 38,98 38,14 39,97 39,95 41,31 37,21 43,89 43,43
b cde cd de bc bc b e a a
35 HST 41,47 40,07 39,85 38,99 40,98 41,06 42,48 38,13 43,73 43,17
bcd de def ef cd cd abc f a ab
45 HST
55 HST
40,67 bcd 39,96 cde 42,08 abc 39,93 cde 39,35 de 39,32 de 41,30 abcd 38,11 e 43,24 a 42,18 ab
40,62 40,62 40,78 42,40 41,52 40,24 43,99 38,67 42,76 44,03
cde cde cde abcd bcd de ab e abc a
65 HST 30,30 38,44 36,49 36,29 41,07 38,63 34,88 38,02 46,72 41,47
d bc bc bc b bc cd bc a ab
Angka sekolom yang didampingi huruf sama berarti tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Unsur Na pada konsentrasi rendah dapat mensubstitusi fungsi kalium (K) dalam mengatur tekanan osmosis (Dogar 2012), namun pada konsentrasi tinggi dapat menekan serapan K, N, dan Mg (White and Broadley 2001; Tester and Davenport 2003). Penurunan kandungan klorofil pada salinitas tinggi mungkin terkait dengan gangguan pada fungsi seluler dan kerusakan klorofil karena akumulasi ion garam, terutama natrium. Kerusakan klorofil semakin banyak dengan semakin tingginya salinitas, yang ditunjukkan oleh penurunan IKK. Kerusakan klorofil menyebabkan terganggunya proses fotosintesis, sehingga pertumbuhan tanaman tidak optimal. Nilai IKK daun varietas kacang tanah yang diuji berbeda nyata sejak tanaman berumur 25 HST. Varietas Domba dan Panther konsisten mempunyai IKK lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya sampai tanaman berumur 65 HST. Semua varietas yang diuji, kecuali Domba, mengalami penurunan IKK pada 65 HST (Tabel 6). Hal ini menunjukkan varietas Domba lebih toleran dibandingkan dengan varietas lainnya. Nilai IKK daun 10 varietas yang diuji pada umur 75 HST beragam pada berbagai tingkat salinitas. IKK varietas Hypoma 1 turun drastis pada perlakuan L2, artinya mengalami kerusakan klorofil yang parah, dan hanya toleran sampai tingkat salinitas L1. IKK varietas Hypoma 2, Tuban, Kancil, Bison, Singa turun drastis pada perlakuan L3, dan hanya toleran sampai tingkat salinitas L2. IKK varietas Takar 1, Talam 1, dan Panther turun drastis pada perlakuan L4, dan hanya toleran sampai tingkat salinitas L3. Daun semua varietas yang diuji, kecuali varietas Domba, mengalami klorosis sangat parah dan bahkan kering pada tingkat salinitas L4, yang diindikasikan oleh IKK yang tidak terukur (Gambar 5). Hal ini menunjukkan hanya varietas Domba yang mempunyai tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap salinitas.
158
Gambar 5. Indeks Kandungan Klorofil (IKK) 10 varietas kacang tanah pada umur 75 HST pada berbagai perlakuan salinitas (DHL tanah L0 s/d L5 berturut-turut adalah 1,60-1,84 dS/m, 2,95-4,44 dS/m, 5,43-6,45 dS/m, 6,578,22 dS/m, dan 7,65-10,38 dS/m).
Biomas Tajuk dan Akar Salinitas dan varietas berpengaruh nyata terhadap biomas tajuk dan akar pada saat panen, tetapi interaksi keduanya hanya berpengaruh nyata terhadap biomas tajuk (Tabel 7). Sepuluh varietas yang diuji dipanen pada umur yang berbeda. Varietas tipe Valencia (Singa, Domba, dan Panther) dipanen pada umur 95 hari, sedangkan tujuh varietas lainnya yang termasuk tipe Spanish dipanen pada umur 90 hari. Bobot biomas tajuk dan akar turun 28% pada kisaran DHLs 1,60-1,84 dS/m, dan penurunan semakin besar dengan semakin meningkatnya salinitas. Penurunan bobot biomas tajuk lebih besar dibanding akar, yang mengindikasikan pertumbuhan tajuk lebih sensitif terhadap salinitas. Biomas tajuk dan akar mempunyai pola hubungan kuadratik yang sangat erat dengan peningkatan DHL tanah (Gambar 6). Berdasarkan penurunan bobot biomas tajuk dan akar, terdapat indikasi bahwa nilai kritis terhadap salinitas tanah kemungkinan lebih rendah dari DHLs 1,60-1,84 dS/m.
TAUFIQ ET AL.: CEKAMAN SALINITAS PADA KACANG TANAH
Tabel 7. Analisis ragam pengaruh salinitas dan varietas terhadap biomas tajuk dan akar kacang tanah pada saat panen di rumah kaca. Malang, 2013. Biomas Sumber keragaman
db
Salinitas (L) Varietas (V) L*V
Tajuk
Akar
** ** **
** ** tn
20,2
32,2
5 9 45
KK (%)
* dan ** masing-masing nyata pada 5 dan 1%; tn: tidak nyata. Gambar 6. Hubungan antara salinitas tanah dengan bobot kering tajuk dan akar kacang tanah. Tabel 8. Analisis ragam pengaruh salinitas terhadap hasil dan komponen hasil 10 varietas kacang tanah di rumah kaca. Malang, 2013.
Sumber keragaman
db
Jumlah polong isi
Bobot kering polong isi
Jumlah biji normal/ pot
Bobot kering biji normal
Salinitas (L) Varietas (V) L*V
5 9 45
** * tn
** tn tn
** * tn
** tn tn
24,9
22,9
26,0
26,0
KK (%)
Analisis varian menggunakan data yang ditransformasi dengan √(X+0,5); jumlah tanaman per pot adalah 2 tanaman; * dan ** masing-masing nyata pada 5% dan 1%; tn: tidak nyata.
Bobot biomas akar berbeda nyata antarvarietas, dan mempunyai respon yang sama terhadap peningkatan salinitas. Bobot biomas tajuk 10 varietas yang diuji beragam pada berbagai tingkat salinitas (Gambar 7). Pada tingkat salinitas L1 dan L2, bobot biomas tajuk varietas Singa dan Domba lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Hal ini menunjukkan kedua varietas tersebut lebih toleran terhadap salinitas. Bobot biomas tajuk semua varietas menurun pada tingkat salinitas L3 hingga L5. Cekaman salinitas menghambat penyerapan air oleh akar tanaman karena potensial osmotik larutan tanah meningkat, sehingga tanaman mengalami kekeringan fisiologis, tekanan turgor turun yang menyebabkan stomata tertutup sehingga pasokan CO2 untuk fotosintesis berkurang, dan mengakibatkan penurunan laju fotosintesis (Kabir et al. 2004; Ashraf and Harris 2004; Parida et al. 2005; Ondrasek et al. 2009). Cekaman salinitas juga menyebabkan kerusakan klorofil (Hamayun et al. 2010; Ghassemi-Golezani et al. 2011), sehingga menurunkan laju fotosintesis. Penurunan laju fotosintesis menyebabkan fotosintat berkurang yang mengakibatkan penurunan produksi bahan kering.
Gambar 7. Bobot biomas tajuk 10 varietas kacang tanah pada saat panen dengan berbagai perlakuan salinitas (DHL tanah L0 s/d L5 berturut-turut adalah 1,60-1,84 dS/m, 2,954,44 dS/m, 5,43-6,45 dS/m, 6,57-8,22 dS/m, dan 7,6510,38 dS/m).
Hasil dan Komponen Hasil Peningkatan salinitas berpengaruh nyata terhadap jumlah polong isi, jumlah biji normal, bobot kering polong isi dan dan bobot kering biji normal. Varietas berpengaruh nyata terhadap jumlah polong isi, jumlah biji normal. Tidak ada pengaruh interaksi antara salinitas dengan varietas terhadap peubah-peubah tersebut (Tabel 8). Jumlah polong dan biji serta bobot kering polong dan biji turun akibat peningkatan salinitas. Peubahpeubah tersebut turun 40% pada tingkat salinitas L1 dan turun 80% pada tingkat salinitas L2 (Tabel 9). Pada salinitas yang lebih tinggi dari L2, tanaman tidak membentuk polong. Hal ini menunjukkan cekaman salinitas berpengaruh buruk terhadap pembentukan dan pengisian polong. Pada tanaman kedelai, pemulia menggunakan penurunan hasil 50% sebagai kriteria seleksi toleransi (Krisnawati dan Adie 2009). Sing et al. (2008) dalam menilai toleransi kacang tanah
159
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Tabel 9. Pengaruh salinitas terhadap jumlah polong isi, bobot kering polong, serta jumlah dan bobot kering biji normal kacang tanah di rumah kaca. Malang, 2013. Salinitas (dS/m)1) L0 L1 L2 L3 L4 L5
Jumlah polong isi/2 tanaman
Bobot kering polong isi (g/2 tanaman)
30 a 18 b (40)2) 6 c (80) 0 d (100) 0 d (100) 0 d (100)
25,22 a 15,57 b (38) 4,42 c (83) 0,07 d (100) 0,00 d (100) 0,00 d (100)
Jumlah biji normal/2 tanaman
Bobot kering biji normal (g/2 tanaman)
47 a 28 b (40) 8 c (83) 0 d (100) 0 d (100) 0 d (100)
16,53 a 9,06 b (45) 2,38 c (86) 0,05 d (100) 0,00 d (100) 0,00 d (100)
Angka sekolom yang didampingi huruf sama berarti tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%;1)DHL tanah L0 s/d L5 berturut-turut adalah 1,60-1,84 dS/m, 2,95-4,44 dS/m, 5,43-6,45 dS/m, 6,57-8,22 dS/m, dan 7,65-10,38 dS/m; 2)angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol.
berdasarkan produktivitas genotipe yang diuji pada berbagai tingkat salinitas. Terdapat indikasi bahwa nilai kritis salinitas untuk hasil dan komponen hasil kacang tanah adalah pada perlakuan L1 (DHLs 1,60-1,84 dS/m). Bobot kering polong isi varietas yang diuji turun 3053% pada perlakuan salinitas L1, dan turun 78-93% pada perlakuan L2 dibanding kontrol, kecuali pada varietas Domba turun 59% (Tabel 10). Pada tingkat salinitas yang lebih tinggi dari L2, tanaman tidak membentuk polong. Dengan demikian batas tertinggi tingkat salinitas semua varietas kacang tanah yang diuji untuk peubah hasil polong adalah L1 (DHLw 3,66 dS/m, DHLs 1,60-1,84 dS/ m). Berdasarkan peubah hasil, maka tidak ada perbedaan toleransi varietas kacang tanah tipe Valencia dan tipe Spanish terhadap salinitas, meskipun tipe Valencia mempunyai toleransi yang lebih tinggi terhadap kerusakan klorofil. Hasil penelitian ini menunjukkan stadia pembentukan dan pengisian polong sangat sensitif terhadap salinitas. Cekaman salinitas pada stadia tersebut berpengaruh negatif terhadap hasil polong. Pada saat memasuki stadia generatif, tanaman lebih banyak menyalurkan hasil fotosintesis dalam bentuk asimilat pada biji. Menurunnya IKK mulai dari 45-65 HST menyebabkan proses fotosintesis terganggu sehingga asimilat hasil fotosintesis yang ditranslokasikan ke polong kurang optimal. Kebutuhan unsur hara tanaman kacang tanah pada stadia pengisian polong (55 HST) relatif lebih tinggi. Cekaman salinitas menyebabkan proses penyerapan hara terganggu sehingga kebutuhan hara pada stadia pengisian polong tidak terpenuhi. Kandungan K, Na, Ca, dan Mg dalam Tajuk dan Akar Kandungan K pada akar maupun tajuk pada kondisi salin lebih rendah dibandingkan pada kontrol (L0), sebaliknya kandungan Na meningkat. Pada kondisi salin,
160
Tabel 10. Pengaruh tingkat salinitas terhadap penurunan bobot kering polong 10 varietas kacang tanah di rumah kaca. Malang, 2013.
Varietas
Hypoma 1 Hypoma 2 Takar 1 Tuban Kancil Bison Singa Talam 1 Domba Panther 1)
Bobot kering polong isi pada L0 (g/2 tanaman) L1 24,37 22,73 24,57 25,77 27,87 27,57 28,47 21,33 25,83 23,73
32 30 39 33 39 45 42 30 53 36
Persentase penurunan terhadap L0 (%)1) L2
L3
L4
L5
92 78 93 81 86 82 90 81 59 82
100 100 100 100 100 99 100 100 100 99
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
DHL tanah L0 s/d L5 berturut-turut adalah 1,60-1,84 dS/m, 2,954,44 dS/m, 5,43-6,45 dS/m, 6,57-8,22 dS/m, dan 7,65-10,38 dS/m.
kandungan Ca dan Mg pada akar turun, tetapi pada tajuk meningkat (Tabel 11). Peningkatan kandungan Na pada akar maupun tajuk mengindikasikan sel akar cukup permeabel dalam penyerapan Na dan translokasinya ke tajuk. Kandungan Na dalam tajuk berkorelasi negatif dengan kandungan K dalam tajuk (r=-0,85*), berkorelasi positif dengan Mg (r=0,85*), tetapi tidak berkorelasi dengan Ca. Hal ini menunjukkan peningkatan Na akibat salinitas menghambat penyerapan K, Ca, dan Mg ke akar, tetapi hanya unsur K yang translokasinya dari akar ke tajuk terhambat. Oleh karena itu, gejala kekurangan K sangat menonjol pada tanaman yang mendapat pengaruh salinitas. Kandungan Na dalam tajuk berkorelasi negatif dengan tinggi tanaman (r=-0,96**), IKK (r=-0,84*), biomas akar (r=-0,98**), biomas tajuk (r=-0,97**), hasil polong dan hasil biji (r=-0,98**). Dengan demikian pengaruh buruk salinitas terhadap pertumbuhan dan hasil kacang tanah terutama karena tingginya kandungan Na.
TAUFIQ ET AL.: CEKAMAN SALINITAS PADA KACANG TANAH
Tabel 11.Pengaruh tingkat salinitas terhadap kandungan K, Na, Ca, dan Mg akar dan tajuk tanaman kacang tanah. Malang, 2013. Kandungan unsur hara (%) Salinitas (dS/m)1)
L0 L1 L2 L3 L4 L5 1)
K
Na
Ca
Mg
Akar
Tajuk
Akar
Tajuk
Akar
Tajuk
Akar
Tajuk
1,78 1,66 1,20 1,20 1,40 1,57
1,79 1,70 1,65 1,72 1,68 1,57
0,06 0,09 0,07 0,07 0,08 0,08
0,36 0,52 0,63 0,66 0,72 0,74
0,86 0,75 0,69 0,54 0,64 0,71
2,06 3,22 2,75 2,24 2,35 2,21
0,51 0,46 0,38 0,37 0,38 0,42
0,41 1,28 1,26 1,21 1,24 1,32
DHL tanah L0 s/d L5 berturut-turut adalah 1,60-1,84 dS/m, 2,95-4,44 dS/m, 5,43-6,45 dS/m, 6,57-8,22 dS/m, dan 7,65-10,38 dS/m.
Tabel 12. Kandungan K, Na, Ca, dan Mg akar kacang tanah tipe Spanish dan Valencia pada berbagai tingkat salinitas. Malang, 2013. Kandungan unsur hara (%) Kelompok varietas
Nisbah unsur
Salinitas (dS/m)1)
K
Na
Ca
Mg
K/Na
Ca/Na
Mg/Na
Spanish
L0 L1 L2 L3 L4 L5
1,90 1,69 1,09 1,15 1,35 1,40
0,07 0,09 0,06 0,07 0,08 0,07
0,87 0,75 0,75 0,53 0,66 0,73
0,54 0,50 0,38 0,37 0,40 0,41
28,89 18,44 17,02 17,11 17,54 18,90
13,24 8,23 11,62 7,87 8,56 9,79
8,24 5,45 5,93 5,55 5,17 5,56
Valencia
L0 L1 L2 L3 L4 L5
1,50 1,61 1,44 1,32 1,50 1,97
0,05 0,09 0,08 0,07 0,08 0,09
0,84 0,74 0,54 0,57 0,59 0,67
0,44 0,38 0,36 0,38 0,35 0,43
28,13 17,21 18,00 18,81 18,75 21,85
15,75 7,93 6,79 8,14 7,33 7,48
8,19 4,07 4,54 5,38 4,33 4,78
1)
DHL tanah L0 s/d L5 berturut-turut adalah 1,60-1,84 dS/m, 2,95-4,44 dS/m, 5,43-6,45 dS/m, 6,57-8,22 dS/m, dan 7,65-10,38 dS/m.
Terdapat indikasi antagonisme antara penyerapan Na dengan K pada tanaman. Menurut Zhu (2003), penyerapan Na + bersaing dengan K + melalui penghambatan transporter spesifik K+ pada akar dalam kondisi salin. Penurunan konsentrasi K+ dalam sel tanaman menurunkan kemampuan tanaman mengatur aktivitas enzim, tekanan osmotik dan turgor tanaman. Beberapa enzim yang terlibat dalam metabolisme tanaman diaktifasi oleh K dan tidak dapat digantikan oleh ion lain. Selain itu, hara K berperan penting dalam pengaturan osmotik sel. Kemampuan tanaman menjaga konsentrasi K pada tingkatan yang cukup diperlukan untuk ketahanan terhadap cekaman salin. Oleh karena itu, nisbah K/Na kemungkinan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator ketahanan varietas terhadap salinitas karena terkait dengan mekanisme pengaturan tekanan osmotik sel. Kandungan K, Ca, Mg, dan Na 10 varietas yang diuji pada berbagai tingkat salinitas sangat beragam dan sulit diinterpretasi. Oleh karena itu, varietas-varietas tersebut
dikelompokkan berdasar fenotipiknya, yaitu tipe Spanish (Hypoma 1, Hypoma 2, Takar 1, Tuban, Kancil, Talam 1) dan tipe Valencia (Singa, Domba, Panther). Peningkatan salinitas menurunkan kandungan K, Ca, Mg, dan Na dalam akar tanaman kelompok varietas tipe Spanish maupun Valencia, tetapi kandungan K pada varietas tipe Valencia cenderung lebih tinggi dibanding tipe Spanish pada berbagai perlakuan salinitas. Nisbah K/Na dalam akar varietas kelompok tipe Spanish pada kondisi salin cenderung lebih rendah dibanding tipe Valencia (Tabel 12). Terdapat indikasi bahwa kemampuan penyerapan K pada kondisi salin lebih tinggi pada tipe Valencia dibanding tipe Spanish. Peningkatan salinitas meningkatkan kandungan Na, Ca, dan Mg dalam tajuk pada kelompok varietas tipe Spanish maupun Valencia. Peningkatakan salinitas menurunkan kandungan K pada varietas tipe Spanish, tetapi meningkat pada varietas tipe Valencia, kecuali pada perlakuan salinitas yang tinggi (L5) (Tabel 13). Hal ini menyebabkan nisbah K/Na dalam tajuk pada kelompok
161
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
Tabel 13. Kandungan K, Na, Ca dan Mg tajuk kacang tanah tipe Spanish dan Valencia pada berbagai tingkat salinitas. Malang, 2013. Kandungan unsur hara (%) Kelompok varietas
Nisbah unsur
Salinitas (dS/m)1)
K
Na
Ca
Mg
K/Na
Ca/Na
Mg/Na
Spanish
L0 L1 L2 L3 L4 L5
1,81 1,64 1,52 1,64 1,63 1,57
0,36 0,51 0,59 0,62 0,69 0,74
2,04 3,35 2,86 2,29 2,50 2,21
0,41 1,25 1,25 1,19 1,25 1,31
5,02 3,21 2,55 2,63 2,35 2,12
5,65 6,54 4,81 3,67 3,60 2,99
1,14 2,44 2,11 1,91 1,80 1,77
Valencia
L0 L1 L2 L3 L4 L5
1,72 1,84 1,95 1,89 1,79 1,58
0,34 0,55 0,70 0,75 0,76 0,74
2,10 2,91 2,48 2,14 2,00 2,20
0,41 1,34 1,28 1,24 1,20 1,35
5,06 3,35 2,79 2,54 2,35 2,14
6,19 5,30 3,56 2,86 2,62 2,99
1,21 2,44 1,84 1,66 1,58 1,83
1)
DHL tanah L0 s/d L5 berturut-turut adalah 1,60-1,84 dS/m, 2,95-4,44 dS/m, 5,43-6,45 dS/m, 6,57-8,22 dS/m, dan 7,65-10,38 dS/m.
varietas tipe Valencia cenderung lebih tinggi dibanding tipe Spanish (Tabel 13). Akumulasi Na dalam tajuk lebih besar pengaruhnya terhadap translokasi K pada varietas kelompok tipe Spanish dibanding tipe Valencia. Perbedaan kemampuan fisiologis penyerapan K dan Na serta translokasinya dari akar ke tajuk kemungkinan menyebabkan kacang tanah tipe Valencia berpeluang mempunyai toleransi yang lebih tinggi terhadap salinitas dibandingkan dengan tipe Spanish. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cekaman salinitas berpengaruh buruk terhardap pertumbuhan dan hasil kacang tanah, terutama akibat peningkatan kadar Na dan DHL. Dari 10 varietas yang diuji, tidak satu pun yang toleran terhadap kondisi salin, dan DHL tanah tertinggi untuk menghasilkan polong dan biji adalah 1,601,84 dS/m. Namun demikian, dari aspek pertumbuhan terdapat indikasi varietas kelompok tipe Valencia lebih toleran dibandingkan dengan tipe Spanish. Di antara varietas kacang tanah tipe Valencia yang diuji, varietas Domba berpeluang mempunyai toleransi tertinggi terhadap salinitas.
KESIMPULAN 1. Peningkatan salinitas tanah menghambat pertumbuhan tanaman kacang tanah pada stadia vegetatif maupun generatif. Umur kritis pertumbuhan tanaman terhadap pengaruh salinitas adalah 45-65 HST. 2. Peningkatan salinitas menghambat pertumbuhan tanaman, menurunkan indeks kandungan klorofil daun, pertumbuhan tajuk dan akar, hasil, serta komponen hasil tanaman. 162
3. Batas DHL tanah tertinggi pada tanaman kacang tanah untuk menghasilkan polong dan biji adalah 1,60-1,84 dS/m. 4. Berdasarkan hasil polong dan komponen hasil, tidak terdapat perbedaan toleransi terhadap salinitas antara tipe Spanish dan Valencia. Dari aspek pertumbuhan, varietas tipe Valencia berpeluang lebih toleran dibandingkan dengan tipe Spanish yang disebabkan oleh kemampuannya yang lebih tinggi dalam menyerap dan translokasi K. 5. Varietas Domba tipe Valenca berpeluang mempunyai toleransi yang lebih tinggi terhadap salinitas.
DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, Trip, M. Sarwani, dan I. Ar-Riza. 2002. Lahan pasang surut sebagai sumber pertumbuhan produksi padi masa depan. Hlm. 263-287. Dalam B. Suprihatno, A.K. Makarim, I.W. Widiarta, Hermanto, dan A.S. Yahya (eds). Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Buku 2. Pusat Penel. dan Pengemb. Tan. Pangan, Bogor. Amin, M. 2011. Adaptation of suitable crops in saline soils of noakhali district. Technical Bull. No. 02. Krishi Gobeshona Foundation, Bangladesh. 5 ps. Ashraf M. and P.J.C. Harris. 2004. Potential biochemical indicators of salinity tolerance in plants. J. Plant Sci. 166:3-16. Bybordi, A. and S.J. Tabatabaei. 2009. Effect of salinity stress on germination and seedling properties in canola cultivars (Brassica napus). Notulae Botanicae Horti Agrobotanici ClujNapoca 37(1):71-76. Cuartero, J., M. C. Bolarin, M. J. Asins, and V. Moreno. 2006. Increasing salt tolerance in the tomato. J. Exp. Botany. 57(5):1045-1058. Dajic, Z. 2006. Salt stres. p.41-99. In. K.V.M. Rao, A.S. Raghavendra and K.J. Reddy (Eds.). Physiology and molekuler biology stress tolerance in plants. Springer, NY. 400 pages.
TAUFIQ ET AL.: CEKAMAN SALINITAS PADA KACANG TANAH
Dogar U.F., N. Naila, A. Maira, A. Iqra, I. Maryam, H. Khalid, N. Khalid, H.S. Ejaz, and H.B. Khizar. 2012. Noxious effects of NaCl salinity on plants. Botany Res. Inter. 5(1):20-23.
Mudgal, V. 2004. Physiological studies on growth and nitrogen metabolism in Cicer arietinum L. under saline conditions. Ph.D. Thesis. Rohilkhand Univ., India.
Dogar, U.F., N. Naila, A. Maira, A. Iqra, I. Maryam, H. Khalid, N. Khalid, H.S. Ejaz, and H.B. Khizar. 2012. Noxious effects of NaCl salinity on plants. Botany Res. Inter. 5(1):20-23.
Mungala, A.J., T. Radhakrishnan, and J.R.D. Junagadh. 2008. In vitro screening of 123 Indian peanut cultivars for sodium chloride induced salinity tolerance. World J. of Agric. Sci. 4(5):574-582.
Erfandi, D. and A. Rachman. 2011. Identification of soil salinity due to seawater intrusion on rice field in the Northern Coast of Indramayu, West Java. J. Trop. Soils 16(2):115-121. Gama, P.B.S., S. Inagana, K. Tanaka, and R. Nakazawa. 2007. Physiological response of common bean (Phaseolus vulgaris. L.) seedlings to salinity stress. African J. of Biotech. (2):7988. Ghassemi-Golezani, K., M. Taifeh-Noori, S. Oustan, M. Moghaddam, and S.S. Rahmani. 2011. Physiological performance of soybean cultivars under salinity stress. J. of Plant Physiol. and Breeding 1(1):1-7. Hamayun, M., S.A. Khan, A.L. Khan, Z.K. Shinwari, J. Hussain, E. Sohn, S.M. Kang, Y.H. Kim, M. A. Khan, and I.J. Lee. 2010. Effect of salt stress on growth attributes and endogenous growth hormones of soybean cultivar Hwangkeumkong. Pak. J. Bot. 42(5):3103-3112. Hammad, S.A.R., Kh. A. Shaban, and M.F. Tantawy. 2010. Studies on salinity tolerance of two peanut cultivars in relation to growth, leaf water content: Some chemical aspects and yield. J. of Applied Sci. Res. 6(10):1517-1526. Hussein, M.M., M.M. Shaaban, and A.K.M. El-Saady. 2008. Response of Cowpea Plants Grown Under Salinity Stress to PK-Foliar Applications. Amer. J. of Plant Phys. 3(2):81-88. Ismail, A. 2007. Rice Tolerance to salinity and other problem soils: Physiological Aspects and Relevance breeding. IRRI Lecture in Rice Breeding Course. 19-31 Agustus 2007. PBGB, Los Banos, the Philipines. Kabir, M.E., M.A. Karim, and M.A.K. Azad. 2004. Effect of potassium on salinity tolerance of mungberan (Vigna radiata L. Wilczek). J. of Biol. Sci. 4(2):103-110. Kitajima, K. and M. Fenner. 2000. Ecology of seedling regeneration. pp. 331-359. In M. Fenner (edt). Seeds: the ecology of regeneration in plant communities, 2nd ed. CAB Inter. Pub., Wallingford, UK. 415 pages. Krisnawati, A. dan M.M. Adie. 2009. Kendali genetik dan karakter penentu toleransiKedelai terhadap salinitas. Iptek Tan. Pangan 4(2):222-237.
Nukaya, A., M. Masui, and A. Ishida. 1981. Relationships between Salt Tolarance of Green Soybeans and Calcium Sulafte Applications in Sand Culture. J. Japan. Soc. Hort. Sci. 50(3): 326-331. Ondrasek, G., D. Romic, Z. Rengel, M. Romic, and M. Zovko. 2009. Cadmium accumulation by muskmelon under salt stress in contaminated organic soil. Sci. Tot. Enviro. 407:2175-2182. Parida, A.K., A.B. Das, and B. Mittra. 2004. Effects of salt on growth, ion accumulation, photosynthesis and leaf anatomy of the mangrove, Bruguiera parviflora. Trees-Struct. Funct. 18:167174. Putra, E.T.S. dan D. Indradewa. 2011. Perubahan iklim dan ketahanan pangan nasional. http://www.faperta.ugm.ac.id/ dies/eka_prof_didik.php Rabie, G.H. 2004. Influence of arbuscular mycorrhizal fungus and kinetin on the response of mungbean plants to irrigation by seawater. Mycobiology 32(2):79-87 Rachman, A., I.G.M. Subiksa, D. Erfandi, and P. Slavich. 2008. Dynamics of tsunami-affected soil properties. p.51-64. In F. Agus and G. Tinning (eds). Proc. of Inter. Workshop on Post Tsunami Soil Manag. 180 pp. Singh R., D. Issar, P.V. Zala ,and P.C. Nautiyal. 2007. Variation in sensitivity to salinity in groundnut cultivars during seed germination and early seedling growth. SAT ejournal 5(1):17. Singh, A.L., K. Hariprassana, and R.M Solanki. 2008. Screening and selection of groundnut genotypes for tolerance of soil salinity. Aus. J. of Crop Sci. 1(3):69-77. Suganda, H., D. Setyorini, H. Kusnadi, I. Saripin, dan U. Kurnia. 2009. Evaluasi pencemaran limbah industri tekstil untuk kelestarian lahan sawah. p.203-221. Dalam: U. Kurnia, F. Agus, D. Setyorini, dan A. Setiyanto (Eds.). Pros. Sem. Nas. Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Balai Penel. Tanah, Bogor. 238 p. Tester, M. and R. Davenport. 2003. Na+ tolerance and Na+ transport in higher plants. Annals. of Botany. 91:503-527.
Kurban, H., H. Saneoka, K. Nehira, R. Adilla, and K. Fujita. 1998. Effect of salinity on growth and accumulation of organic and inorganic solutes in the leguminous plants Alhagi pseudoalhagi and Vigna radiata. Soil Sci. Plant Nutr. 44(4):589597.
Vadez, V., L. Krishnamurthy, R. Serraj, P.M. Gaur, H.D. Upadhyaya, D.A. Hoisington, R.K. Varshney, N.C. Turner, and K.H.M. Siddique. 2007. Large variation in salinity tolerance in chickpea is explained by differences in sensitivity at the reproductive stage. Field Crops Res. 104:123-129.
Marwanto, S., A. Rachman, D. Erfandi, dan I.G.M. Subiksa. 2009. Tingkat salinitas tanah pada lahan sawah intensif di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. p. 175-190. Dalam U. Kurnia, F. Agus, D. Setyorini, dan A. Setiyanto (eds). Pros. Sem. Nas. Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Balai Penel. Tanah, Bogor. 238 p.
White P.J. and Broadley M.R. 2001. Chloride in soils and its uptake and movement within the plant: a review. Annals. of Botany. 88:967-988.
Mensah, J.K., P.A. Akomeah, B. Ikhajiagbe, and E.O. Ekpekurede. 2006. Effects of salinity on germination, growth and yield of five groundnut genotypes. African J. of Biotech. 5(20):19731979.
Zhu, J.K. 2003. Regulation of ion homeostasis under salt stress. J. Plant Biol. 6(5): 441-445.
Yadav, S., M. Irfan, A. Ahmad, and S. Hayat. 2011. Causes of salinity and plant manifestations to salt stress: A review. J. Environ. Biol. 32(5):667-685.
163
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 2 2015
164