Akreditasi: 646/AU3/P2MI-LIPI/2015
Pengantar Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Volume 34 Nomor 3 diawali dengan dua tulisan hasil penelitian pemupukan padi. Tulisan pertama membahas hasil evaluasi rekomendasi pemupukan padi hibrida dan tulisan kedua membahas pengaruh pupuk majemuk NPKS dan NPK terhadap hasil padi sawah pada tanah Inceptisol. Masih berkaitan upaya peningkatan produksi padi, Jurnal PP kali ini juga mengetengahkan hasil penelitian pengendalian hama padi tanpa mencemari lingkungan dengan topik perkembangan dan kemampuan hidup predator pada tanaman padi Rojolele transgenik.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Volume 34
ISSN 0216-9959 Nomor 3
2015
DAFTAR ISI Verifikasi Dosis Rekomendasi Pemupukan Hara Spesifik Lokasi untuk Padi Varietas Hibrida .................................................................... Suyamto, M. Saeri, D.P. Saraswati, dan Robi’in
165
Empat hasil penelitian kedelai yang mengisi Jurnal PP nomor ini masing-masing membahas simulasi dan prediksi potensi hasil dan produksi di Jawa Timur, hasil beberapa genotipe pada intensitas naungan yang berbeda, daya simpan benih di tempat penyimpan terbuka, dan alat pengusang cepat benih.
Pengaruh Pupuk Majemuk NPKS dan NPK terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah pada Inceptisol ................................................... Wiwik Hartatik dan Ladiyani Retno Widowati
175
Perkembangan Pradewasa dan Kemampuan Hidup Predator Verania lineata Thurnberg (Coleoptera: Coccinellidae) pada Tanaman Padi Varietas Rojolele Transgenik ......................................... N. Usyati, Damayanti Buchori, Syafrida Manuwoto, Purnama Hidayat, dan Inez H. Slamet-Loedin
187
Gandum yang merupakan komoditas pangan introduksi memerlukan suhu rendah untuk dapat berproduksi optimal. Melalui studi pendugaan parameter genetik gandum hasil persilangan telah dipelajari kemungkinan pengembangannya di dataran tinggi dan menengah.
Model Simulasi dan Visualisasi Prediksi Potensi Hasil dan Produksi Kedelai di Jawa Timur ............................................................................ Bambang Sri Koentjoro, Imas Sekaesih Sitanggang, dan Abdul Karim Makarim Pertumbuhan dan Hasil Biji Genotipe Kedelai di Berbagai Intensitas Naungan .................................................................................................... Titik Sundari dan Gatut Wahyu Anggoro Susanto
203
Redaksi
Model Dinamik Vigor Daya Simpan Benih Kedelai pada Penyimpanan Terbuka ............................................................................ Ari Wahyuni, M.R. Suhartanto, dan Abdul Qadir
219
Alat Pengusang Cepat IPB 77-1 MM untuk Penapisan Vigor Daya Simpan Benih Kedelai ............................................................................ Rerenstradika Tizar Terryana, M.R. Suhartanto, dan Abdul Qadir
229
Pendugaan Parameter Genetik Populasi F3 dan F4 Tanaman Gandum Persilangan Oasis x HP1744 .................................................... Mayasari Yamin, Darda Efendi, dan Trikoesoemaningtyas
237
195
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan merupakan publikasi yang memuat makalah ilmiah primer hasil penelitian tanaman pangan (padi dan palawija). Redaksi mengutamakan makalah dari peneliti lingkup Puslitbang Tanaman Pangan dan menerima makalah dari semua institusi penelitian tanaman pangan lainnya di Indonesia, termasuk perguruan tinggi, LIPI dan BATAN. Makalah yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan dari pimpinan instansi masing-masing. Ketentuan penulisan makalah untuk dapat dimuat di jurnal ini tertera dalam "Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir.
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BOGOR, INDONESIA
SUYAMTO ET AL.: PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI PADI HIBRIDA
Verifikasi Dosis Rekomendasi Pemupukan Hara Spesifik Lokasi untuk Padi Varietas Hibrida Verification the Effectiveness of Site Specific Nutrient Management (SSNM) for Hybrid Rice Suyamto, M. Saeri, D.P. Saraswati, dan Robi’in Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jln. Raya Karangploso Km 4, Kotak Pos 188, Malang 65101, Indonesia Telp. (0341) 494052, 485056; Fax. (0341) 471255 E-mail:
[email protected] Naskah diterima 5 Februari 2015 dan disetujui diterbitkan 14 September 2015
ABSTRACT. IAARD in collaboration with IRRI has developed site specific nutrient management (SSNM or PHSL) recommendation, which can be accessed through PHSL-web (http:/webapps.irri.org/ nm/id). PHSL recommendations were evaluated for inbred rice variety but not yet for hybrid rice. The objective of this experiment was to verify the effectiveness of PHSL recommendation for hybrid rice and to evaluate the response of hybrid rice to N fertilizer. Two experiments were conducted during the dry season of 2012 in two locations (Malang and Blitar). The first experiment consisted of 6 treatments: (1) PHSL recommendation based on yield target of hybrid variety (Mapan-P05) (10.3 t/ha or 20% higher compared to that of inbred variety), (2) same as treatment 1 for Hipa-10 hybrid variety, (3) same as treatment 1 for Ciherang variety, (4) PHSL based on the yield target similar to that of inbred variety (8.6 t/ha) applied for Mapan-P05 hybrid variety, (5) same as treatment 4 applied for Hipa-10 hybrid variety, and (6) same as treatment 4 applied for Ciherang inbred variety. PHSL recommendation for hybrid rice was 300 kg NPK (Phonska) + 376 kg urea/ha applied 4 times, while that for inbred rice was 200 kg NPK (Phonska) + 332 kg urea/ha applied 3 times. The experiment was arranged in a randomized complete design, 4 replications, and plot size was 5 m x 10 m. The second experiment was arranged in a split plot design with four replications and plot size 5 m x 10 m. The main plots consisted of 4 rates of urea application namely: 0; 150; 300; and 450 kg urea/ha. The sub plots were two varieties namely: Mapan-P05 (hybrid) and Ciherang (inbred). Soil was analyzed before the conduct of experiment. Main data collection included yield of rice, hybrid rice respon to urea fertilizer. Results of the experiment showed that fertilizer rate based on PHSL for hybrid rice was not appropriate. Applying rate of fertilizers based on PHSL for hybrid rice resulted in rice yields not significantly different to that of inbred variety fertilized based on PHSL for inbred variety. The response of hybrid variety to N fertilizer was higher than that of inbred variety, suggesting that hybrid rice produced higher yield than did inbred, at the same rate of fertilizer. To obtain a higher yield of hybrid rice (such as Mapan-P05) the rate and time of fertilizer applications are not necessarily to be increased as recommended on PHSL-web. Using the same fertilizer rate, hybrid rice (such as Mapan-P05) produced higher yield compared to that of inbred variety, which indicated higher efficiency of fertilization. Yield of hybrid rice Hipa-10 variety was not only determined by fertilizer rate but also by other factors, such as seed quality and crop management (M). The existence of GxExM interaction was higher for hybrid rice, meaning hybrid variety required very specific environment.
ABSTRAK. Badan Litbang Pertanian bekerja sama dengan IRRI telah mengembangkan rekomendasi pemupukan hara spesifik lokasi (PHSL) yang dapat diakses melalui website (http:/webapps.irri.org/ nm/id). Rekomendasi PHSL telah diuji pada padi inbrida namun belum diuji pada padi hibrida. Penelitian ini mengevaluasi rekomendasi PHSL untuk mengetahui respon tanaman padi hibrida terhadap pemupukan N (urea). Penelitian dilakukan pada musim kemarau 2012 di Blitar dan Malang. Penelitian pertama mengevaluasi (1) perlakuan rekomendasi PHSL padi hibrida untuk varietas hibrida Mapan-P05, (2) sama dengan perlakuan 1 untuk varietas hibrida Hipa-10, (3) sama dengan perlakuan 1 untuk varietas inbrida Ciherang, (4) rekomendasi PHSL padi inbrida untuk varietas hibrida Mapan-P05, (5) sama dengan perlakuan 4 untuk varietas hibrida Hipa-10, dan (6) sama dengan perlakuan 4 untuk varietas inbrida Ciherang. Rekomendasi PHSL untuk padi hibrida adalah 300 kg Phonska + 376 kg urea/ha diberikan empat kali, dan rekomendasi PHSL untuk padi inbrida 200 kg Phonska + 332 kg urea/ha diberikan tiga kali. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, luas plot 5 m x 10 m, empat ulangan. Penelitian kedua dengan rancangan petak terpisah, luas petak 5 m x 10 m, empat ulangan. Petak utama adalah empat perlakuan dosis urea (0, 150, 300, 450 kg/ha) dan anak petak adalah dua varietas (hibrida Mapan-P05 dan inbrida Ciherang). Hasil analisis tanah sebelum penelitian, hasil padi, dan respon padi hibrida terhadap pupuk N merupakan data utama yang dikumpulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rekomendasi PHSL padi hibrida kurang tepat. Hal ini karena dengan dosis dan waktu pemberian pupuk NPK yang lebih tinggi, hasil padi hibrida ternyata sama dengan dosis dan waktu pemberian pupuk yang lebih rendah atau rekomendasi pupuk untuk padi inbrida. Respon padi hibrida terhadap pempukan N lebih tinggi dibanding padi inbrida. Artinya, pada dosis pupuk N yang sama mampu memberikan hasil lebih tinggi dibanding padi inbrida. Dapat disimpulkan bahwa padi hibrida tidak memerlukan dosis dan waktu aplikasi pemupukan yang lebih tinggi seperti yang direkomendasikan oleh PHSL-web. Pada dosis pupuk yang sama, padi hibrida memberikan hasil lebih tinggi dibanding padi inbrida, yang berarti efisiensi pemupukan lebih tinggi. Tingkat hasil padi hibrida tidak hanya ditentukan oleh pemberian pupuk, namun juga oleh faktor lain, kualitas benih, dan faktor lingkungan. Terdapat indikasi interaksi G x E x M pada padi hibrida, yang bermakna varietas hibrida memerlukan lingkungan tumbuh yang spesifik. Kata kunci: Padi hibrida, pupuk, efisiensi.
Keywords: Hybrid rice, fertilizer, efficiency.
165
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
PENDAHULUAN Salah satu program pemerintah untuk mendukung peningkatan produksi padi nasional adalah melalui pengembangan padi hibrida. Padi hibrida memanfaatkan fenomena heterosis yang muncul pada turunan pertama (F1) dari suatu persilangan antarvarietas yang berbeda. Berbeda dengan jagung hibrida yang dapat menghasilkan 30-40% lebih tinggi dibanding varietas inbrida, peningkatan hasil padi hibrida hanya 15-20% dibanding padi inbrida (Satoto et al. 2006). Peningkatan hasil padi hibrida belum memenuhi harapan petani, sehingga Sumarno et al. (2008) menyarankan agar pelepasan varietas padi hibrida perlu persyaratan heterosis minimal 20% dan bersifat stabil. Barclay (2010) menyatakan pengembangan padi hibrida tidak ekonomis apabila heterosisnya hanya 15-20%. Melalui IPTEK, padi hibrida memiliki potensi yang tinggi meningkatkan produksi padi menuju ketahanan pangan global (Virmani 1994). China saat ini sedang mengembangkan padi “Super Hybrids” dengan nilai heterosis ditargetkan sebesar 25-40%. Di Indonesia telah dilepas ratusan varietas padi hibrida, namun perkembangannya masih sangat terbatas dan hasilnya tidak maksimal. Satoto et al. (2008) berpendapat bahwa tidak maksimalnya hasil padi hibrida antara lain karena: (1) umumnya bersifat spesifik lokasi; (2) memerlukan budi daya lebih cermat, terutama dalam hal kebutuhan dan waktu pemberian pupuk; (3) serangan hama/ penyakit, utamanya hawar daun yang keparahannya dapat mencapai 90%; (4) mutu benih sangat beragam (kemurnian dan daya tumbuh), terutama terjadi pada program bantuan benih; dan (5) pengetahuan petani tentang padi hibrida sangat beragam. Hasil analisis Zaini dan Erythrina (2008) juga menunjukkan belum semua varietas padi hibrida yang dapat memberi hasil optimal karena umumnya tidak tahan terhadap hama/penyakit. Namun Ashari dan Rusastra (2014) berpendapat bahwa pengembangan padi hibrida berpeluang menjadi terobosan mendukung peningkatan produksi beras, walaupun saat ini masih menghadapi tantangan seperti citra yang kurang baik, penuh risiko dan teknik budi daya belum optimal. Permasalahan lain adalah hasil benih padi hibrida masih rendah sehingga harga benih tinggi. Untuk meningkatkan hasil benih padi hibrida, Susilawati et al. (2014) menyarankan pemberian hormon GA3 dengan dosis 200 ppm. Dari aspek manajemen, pemupukan yang tepat dan spesifik lokasi sesuai kebutuhan tanaman sangat menentukan tingkat hasil padi hibrida. Penelitian pemupukan pada tanaman padi telah berkembang cukup pesat dengan menghasilkan rekomendasi
166
pemupukan spesifik lokasi melalui penerapan prinsip dan konsep pemupukan hara spesifik lokasi (PHSL). Prinsip PHSL adalah memberi tanaman padi dengan hara sesuai kebutuhannya, guna memperoleh hasil tinggi dengan penggunaan hara optimal dari sumber alami (indigenous) dalam tanah. Kebutuhan tanaman akan tambahan hara dari pupuk (misal N,P,K) dihitung dari selisih antara kebutuhan hara (N,P,K) total tanaman untuk mencapai hasil tinggi yang ditargetkan dikurangi dengan kemampuan penyediaan hara dari sumber alami yang berasal dari tanah, sisa tanaman, pupuk hijau, air irigasi dan sebagainya (Dobermann et al. 2004). Buresh et al. (2006) berpendapat bahwa penerapan prinsip dan pendekatan PHSL padi sawah dapat dilakukan dengan mengikuti tiga langkah atau tahapan sebagai berikut: (1) menetapkan target hasil realistis yang dapat dicapai, (2) menggunakan hara yang sudah tersedia dari sumber alami dalam tanah secara efektif, dan (3) menggunakan tambahan pupuk untuk menutup kekurangan hara antara kebutuhan tanaman (tergantung target hasilnya) dan penyediaan hara dari sumber alami dalam tanah. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa ratarata hara NPK yang terangkut oleh varietas unggul padi inbrida berturut-turut adalah 17,5 kg N, 3 kg P dan 17 kg K untuk setiap ton gabah dan jerami yang dihasilkan (Dobermann and Fairhurst 2000). Hasil penelitian Mahajan et al. (2014) menunjukkan kebutuhan hara NPS padi hibrida berturut-turut 19,1; 3,2; dan 1,8 kg/ton gabah. Secara umum, makin banyak gabah dan jerami yang dihasilkan (sampai batas tertentu), makin tinggi pula hara NPK yang diserap tanaman. Dengan prinsip tersebut, IRRI bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah mengembangkan PHSL-web yang dapat diakses untuk mendapatkan rekomendasi PHSL. PHSL-web dengan alamat http:/ webapps.irri.org/nm/id telah diluncurkan oleh Menteri Pertanian pada Januari 2011. Penelitian dan pengembangan pemupukan hara spesifik lokasi (PHSL) pada tanaman padi lebih banyak dilakukan dan diuji untuk varietas padi inbrida, dan belum teruji pada varietas padi hibrida. Bila secara genetik potensi hasil padi hibrida dapat mencapai 1520% lebih tinggi daripada padi inbrida, apakah hara NPK yang terserap dan dosis pupuk yang diberikan juga lebih tinggi? Bila penanaman padi hibrida memerlukan tingkat pemupukan yang lebih tinggi, berarti akan menambah biaya input produksi, padahal menurut hasil penelitian Ruskandar (2010) justru biaya input tinggi antara lain menjadi penyebab tidak atau lambatnya adopsi padi hibrida oleh petani. Oleh karena itu, penelitian aplikasi rekomendasi PHSL dan peningkatan efisiensi pemupukan NPK padi hibrida perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
SUYAMTO ET AL.: PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI PADI HIBRIDA
rekomendasi PHSL pada padi hibrida dan mengetahui respon padi hibrida terhadap pemupukan N, guna meningkatkan efesiensi pemupukan NPK pada padi hibrida.
BAHAN DAN METODE Penelitian terdiri atas dua kegiatan, yaitu: (1) evaluasi penerapan rekomendasi PHSL untuk padi hibrida, dan (2) respon padi hibrida terhadap pemupukan N. Kegiatan (1) merupakan penelitian utama, sedangkan kegiatan (2) merupakan penelitian pendukung. Evaluasi Penerapan Rekomendasi PHSL untuk Padi Hibrida Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi rekomendasi PHSL yang diperoleh dari PHSL-web untuk padi hibrida. Penelitian dilakukan pada musim kemarau (MK) 2012 di dua lokasi, yaitu Malang dan Blitar. Kandungan N total dan P2O5 di kedua lokasi sama statusnya, sedangkan kandungan K2O di Malang lebih tinggi daripada Blitar (Tabel 1). Ada enam perlakuan yang dievaluasi, yaitu: (1) rekomendasi PHSL dengan target hasil padi hibrida 20% lebih tinggi dari padi inbrida (10,3 t/ha), untuk varietas hibrida Mapan-P05, (2) sama dengan perlakuan 1 untuk varietas hibrida Hipa-10, (3) sama dengan perlakuan 1 untuk varietas inbrida Ciherang, (4) rekomendasi PHSL dengan target hasil padi inbrida (8,6 t/ha) untuk varietas hibrida Mapan-P05, (5) sama dengan perlakuan 4 untuk varietas hibrida Hipa-10, dan (6) sama dengan perlakuan 4 untuk varietas inbrida Ciherang.
Penentuan target hasil padi inbrida merupakan hasil diskusi dengan petani di lokasi penelitian. Setelah menjawab sejumlah pertanyaan pada PHSL-web versi 1.11 atas dasar wawancara dengan petani yang lahannya digunakan untuk penelitian, diperoleh rekomendasi PHSL dengan target hasil padi hibrida 10,3 t GKP/ha (Tabel 2) dan target hasil padi inbrida 8,6 t GKP/ha (Tabel 3). Dari Tabel 2 dan 3 terlihat rekomendasi pupuk untuk padi hibrida (300 kg Phonska + 376 kg Urea/ha diberikan 4 kali) lebih tinggi daripada padi inbrida (200 kg Phonska + 332 kg Urea/ha diberikan 3 kali). Oleh karena jawaban petani terhadap pertanyaan pada PHSL-web di kedua lokasi tidak banyak berbeda dan status hara NPK juga relatif tidak berbeda, maka rekomendasi PHSL pada kedua lokasi penelitian juga tidak berbeda. Penelitian dirancang secara acak lengkap, empat ulangan dengan luas petak perlakuan 5 m x 10 m. Teknologi budidaya pada dasarnya mengikuti cara petani, kecuali sistem tanam menggunakan jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam (20 cm x 10-12,5 cm) x 40 cm. Data hasil panen padi per hektar tiap perlakuan dikonversi dari hasil ubinan seluas 2 m x 5 m pada kadar air gabah 14%. Respon Padi Hibrida terhadap Pemupukan N Penelitian ini juga dilakukan di Malang dan Blitar pada MK 2012 (berdampingan dengan penelitian evaluasi rekomendasi PHSL). Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah, dengan luas petak perlakuan
Tabel 2. Rekomendasi PHSL-web versi 1.11 dengan target hasil padi hibrida 10,3 t GKP/ha (PHSL hibrida). Malang dan Blitar, MK 2012.
Tabel 1. Hasil analisis tanah awal lokasi penelitian pemupukan padi hibrida. Blitar dan Malang, MK 2012*.
Umur (HST)
Jenis pupuk
Parameter
0-14 24-28 38-42 68-72
Phonska Urea Urea Urea
Malang
Kategori
pH H2O 6,8 Netral pH KCl 5,7 Agak masam C-organik (%) 1,77 rendah N total (%) 0,15 rendah P2O5 Olsen (ppm) 97 Sangat tinggi K dd (me/100 g) 0,48 sedang Na dd (me/100 g) 0,53 sedang Ca dd (me/100 g) 21,70 Sangat tinggi Mg dd (me/100 g) 9,02 Sangat tinggi KTK (me/100 g) 27,83 tinggi Tekstur Pasir (%) 51 Debu (%) 20 Liat (%) 29 Klas tekstur Lempung liat berpasir
Blitar 6,08 4,54 1,02 0,10 62 0,02 0,42 0,41 0,36 1,04
Kategori Agak masam masam rendah Rendah Sangat tinggi Sangat rendah sedang Sangat rendah rendah Sangat rendah
78 10 12 Pasir berlempung
*Hasil analisis di laboratorium tanah BPTP Jawa Timur.
Takaran (kg/ha) 300 132 200 44
Setara N Setara P2O5 Setara K2O (kg/ha) (kg/ha) (kg/ha) 45 60,72 92 20,24
45 0 0 0
45 0 0 0
HST = hari setelah tanam.
Tabel 3. Rekomendasi PHSL-web versi 1.11 dengan target hasil padi inbrida 8,6 t GKP/ha (PHSL inbrida) Malang dan Blitar, MK 2012. Umur (HST)
Jenis pupuk
0-14 24-28 38-42
Phonska Urea Urea
Takaran (kg/ha) 200 132 200
Setara N Setara P2O5 Setara K2O (kg/ha) (kg/ha) (kg/ha) 30 60,72 92
30 0 0
30 0 0
HST = hari setelah tanam.
167
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
5 m x 10 m dan empat ulangan. Perlakuan petak utama adalah takaran pupuk urea, yaitu 0, 150, 300, dan 450 kg/ha (setara dengan 0, 69, 138 dan 207 kg N/ha). Perlakuan anak petak adalah varietas hibrida MapanP05 dan inbrida Ciherang. Teknologi budidaya pada dasarnya mengikuti cara petani, kecuali sistem tanam menggunakan jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam (20 cm x 10-12,5 cm) x 40 cm. Lokasi penelitian ini bersebelahan dengan penelitian evaluasi rekomendasi PHSL sehingga tingkat kesuburan tanahnya diasumsikan mirip seperti pada Tabel 1. Varietas padi hibrida yang digunakan adalah Mapan-P05 dan varietas padi inbrida adalah Ciherang. Analisis respon padi hibrida terhadap pemupukan P dan K tidak dilakukan karena dari penelitian pendahuluan di rumah kaca tidak terlihat nyata. Data utama yang diamati adalah hasil padi per hektar yang merupakan konversi dari hasil ubinan 2 m x 5 m dengan kadar air gabah 14% dan respon hasil padi terhadap pemupukan N dengan analisis regresi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Penerapan Rekomendasi PHSL untuk Padi Hibrida Pertanaman padi pada dua lokasi penelitian tumbuh normal, tidak ada gangguan hama dan penyakit yang berarti, dan bahkan secara visual di atas rata-rata keragaan tanaman padi milik petani di sekitarnya. Secara visual terlihat perbedaan keragaan tanaman antar varietas hibrida, antara varietas hibrida dan inbrida, serta antar perlakuan pupuk. Dengan rekomendasi pemupukan atas dasar target hasil varietas inbrida 8,6 t GKP/ha atau PHSL inbrida (200 kg Phonska dan 332 kg urea/ha seperti pada Tabel 3), hasil padi Ciherang di Blitar 7,33 t GKG/ha dan di Malang 9,69 t GKG/ha. Apabila takaran pemupukan tersebut diaplikasikan pada padi hibrida varietas Mapan-P05, hasil gabah mencapai 10,46 t GKG/ha di Blitar dan 10,82 t GKG/ha di Malang (Tabel 4), atau masing-masing meningkat 42,7% dan 11,6% dibanding hasil padi inbrida varietas Ciherang dengan takaran pupuk yang sama. Namun hasil yang berbeda terjadi pada varietas hibrida Hipa-10. Penggunaan rekomendasi pemupukan tersebut justru memberikan hasil lebih rendah menjadi hanya 6,03 t GKG/ha di Blitar dan 4,52 t GKG/ha di Malang (Tabel 4), atau masingmasing 17,3% dan 53,3% lebih rendah dibanding hasil Ciherang. Pada perlakuan dosis pemupukan atas dasar target hasil padi hibrida sebesar 10,3 t GKP/ha atau PHSL hibrida (300 kg Phonska dan 376 kg urea/ha seperti pada Tabel 2), ternyata hasil padi hibrida Mapan-P05 dan Hipa-10
168
tidak meningkat atau sama dibandingkan dengan hasil pada penggunaan pupuk atas dasar target hasil varietas inbrida Ciherang (PHSL inbrida). Demikian juga untuk varietas Ciherang, peningkatan dosis pupuk juga tidak meningkatkan hasil gabah (Tabel 4). Hal ini menunjukkan rekomendasi pupuk pada padi inbrida juga berlaku untuk padi hibrida. Artinya, padi hibrida tidak memerlukan rekomendasi pupuk secara khusus yang berbeda dengan padi inbrida seperti yang rekomendasikan oleh PHSL-web. Dengan demikian, pemupukan 200 kg Phonska + 332 kg urea atau kombinasi 182,7 kg N + 30 kg P2O5 + 30 kg K2O/ha telah memadai untuk padi hibrida di kedua lokasi penelitian. Hasil penelitian lain pada tanah Alfisol di India menunjukkan kombinasi 150 kg N + 75 kg P2O5 + 50 kg K2O/ha merupakan kombinasi terbaik untuk padi hibrida karena memberikan hasil tertinggi sebesar 7,06 t/ha atau meningkat 135% dibanding tanpa pemupukan (Krishnakumar et al. 2005). Sementara Bezbaruha et al. (2011) menyarankan, agar diperoleh hasil padi hibrida yang tinggi maka pemberian pupuk anorganik (75%) perlu dikombinasikan dengan pupuk organik (25%) pada jarak tanam 20 cm x 20 cm. Kombinasi pupuk anorganik dan organik juga akan mempertahankan keberlanjutan pertumbuhan, hasil, dan serapan hara padi hibrida (Pandey et al. 2014). Penelitian Buresh et al. (2012) pada MH 2011/2012 di sembilan provinsi juga menunjukkan validitas rekomendasi PHSL sangat tinggi. Penerapan rekomendasi PHSL padi inbrida di 75 lokasi di Jawa memberikan hasil panen 0,2 t/ha lebih tinggi daripada perlakuan pemupukan cara petani. Pengujian di 231 lokasi di luar Jawa menunjukkan rekomendasi PHSL memberikan hasil padi sawah 0,6 t/ha lebih tinggi dibanding cara pemupukan petani. Keuntungan bersih dari penerapan rekomendasi PHSL adalah Rp 1,13 juta/ ha di Jawa dan Rp 2,08 juta/ha di luar Jawa. Tabel 4. Hasil padi hibrida pada penelitian PHSL di Blitar dan Malang, MK 2012. Hasil kadar air 14% (t GKG/ha) Rekomendasi pupuk
Varietas
PHSL hibrida PHSL hibrida PHSL hibrida PHSL inbrida PHSL inbrida PHSL inbrida
Mapan-P05 HIPA-10 Ciherang Mapan-P05 HIPA-10 Ciherang
KK (%)
Blitar 10,29 6,32 7,34 10,46 6,03 7,33 8,63
a bc b a c b
Malang 10,52 4,44 9,90 10,82 4,52 9,69
a b a a b a
9,76
Angka selajur yang di ikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT. PHSL hibrida lihat Tabel 2, PHSL inbrida lihat Tabel 3.
SUYAMTO ET AL.: PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI PADI HIBRIDA
Peningkatan hasil panen tersebut dicapai dengan penggunaan pupuk N dan P yang lebih rendah dibanding cara petani. Uji verifikasi juga menunjukkan penerapan rekomendasi PHSL menurunkan takaran pupuk N dari 194 kg/ha menjadi 94 kg/ha di Jawa, atau turun lebih dari 50% dibanding pemupukan cara petani. Di luar Jawa, takaran pupuk N dengan PHSL turun dari 112 kg/ha pada praktek petani menjadi 85 kg/ha. Demikian juga untuk P2O5, penerapan PHSL menurunkan takaran pupuk dari 34 kg/ha menjadi 20 kg/ha di Jawa dan dari 33 kg/ha menjadi 26 kg/ha di luar Jawa. Untuk K2O, penerapan PHSL menurunkan takaran K2O dari 25 kg/ha menjadi 18 kg/ha di Jawa, namun tidak menurunkan takaran pupuk K2 O di luar Jawa. Hal serupa diperoleh pada uji rekomendasi PHSL yang dikembangkan untuk tanaman jagung hibrida di beberapa Negara di Asia Tenggara. Penerapan rekomendasi PHSL jagung hibrida meningkatkan hasil rata-rata 1 t/ha dan menghemat pupuk N hingga 42% dibanding pemupukan cara petani (Pasuquin et al. 2014). Pada penelitian ini, keragaan tanaman dan hasil padi hibrida varietas Mapan-P05 jauh lebih baik dibanding varietas Hipa-10, dan bahkan hasil Hipa-10 lebih rendah dibanding varietas inbrida Ciherang. Perbedaan respon dua varietas padi hibrida tersebut terhadap pemupukan antara lain disebabkan oleh perbedaan sifat genetik dan adaptasinya terhadap lingkungan. Terdapat indikasi kuat bahwa padi hibrida lebih sensitif terhadap lingkungan dan manajemen usahatani, termasuk penanganan benihnya. Hasil penelitian Suyamto et al. (2012) menunjukkan bahwa dari 13 varietas padi hibrida yang diuji, sebagian besar menghasilkan gabah lebih rendah dibanding padi inbrida Ciherang. Hanya varietas hibrida Mapan-P05 yang secara konsisten menghasilkan gabah lebih tinggi dibanding Ciherang di beberapa lokasi, baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Sementara varietas Hipa-10 menunjukkan hasil yang tidak konsisten dan cenderung sama atau lebih rendah daripada hasil padi inbrida Ciherang. Keragaan agronomis varietas Hipa-10 di lapangan sebenarnya sangat baik, namun yang menonjol adalah anakan sebagaian besar berasal dari tanaman induk yang bercabang (tidak normal), malai pendek dan tidak keluar sempurna, serta banyak gabah hampa. Diduga kuat kualitas benihnya kurang seragam dan kurang murni. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa tingkat hasil padi hibrida tidak hanya ditentukan oleh pemupukan, namun juga oleh sifat genetis dan aspek-aspek non pupuk lainnya, seperti kualitas benih dan lingkungan tumbuh. Dengan kata lain, keragaan dan hasil padi yang merupakan interaksi antara genetik (G), lingkungan (E) dan manajemen (M) terlihat sangat nyata pada padi hibrida pada penelitian ini.
Tingkat hasil padi hibrida (Mapan-P05) yang lebih tinggi dibanding padi inbrida ternyata tidak memerlukan takaran dan frekuensi pemberian pupuk yang lebih tinggi, berarti efisiensi pemupukan pada padi hibrida lebih tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Zhang dan Wang (2006), bahwa hasil padi hibrida pada pemupukan yang sama memberikan hasil lebih tinggi dari padi inbrida, dan serapan NPK oleh padi hibrida meningkat masing-masing sebesar 10,8%; 5,2% dan 12,8% dibanding padi inbrida. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam memperbaiki konsep dan penerapan rekomendasi PHSL untuk padi hibrida, karena rekomendasi pupuk untuk padi hibrida tidak perlu dengan takaran lebih tinggi dibanding padi inbrida dan tidak harus diberikan sebanyak empat kali seperti rekomendasi dalam PHSL-web versi 1.11 (Tabel 2). Oleh karena itu, rekomendasi dari pemupukan padi hibrida dapat menggunakan rekomendasi pemupukan padi inbrida. Salah satu keunggulan padi hibrida adalah nilai heterosisnya, dihitung dengan rumus hasil padi hibrida – hasil padi inbrida x 100% (Satoto et al. 2007). Nilai heterosis varietas hibrida Mapan-P05 jauh lebih tinggi dibanding varietas hibrida Hipa-10, berkisar antara 4042,5 di Blitar dan 6-11,6 di Malang, sedangkan untuk Hipa10 justru minus yang berkisar antara minus 13-39 di Blitar dan minus 53-55 di Malang (Tabel 5). Data hasil padi menunjukkan bahwa target hasil padi hibrida 10,3 t/ha dapat dicapai oleh varietas Mapan-P05, namun tidak tercapai oleh varietas Hipa-10, baik di Malang maupun di Blitar. Target hasil padi inbrida Ciherang 8,6 t/ha juga dapat dicapai di Malang namun sedikit kurang di Blitar. Labih tingginya hasil padi di Malang antara lain karena kesuburan tanahnya relatif lebih tinggi (Tabel 1). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Suyamto et al. (2012), yang diduga karena umur panen padi di dataran medium seperti di Malang (450 m dpl) rata-rata lebih panjang 7-10 hari dibanding di dataran rendah (di bawah 100 m dpl), sehingga proses produksi gabah menjadi lebih lama. Penanaman padi hibrida perlu selektif dan harus memperhatikan kesesuaiannya dengan kondisi lingkungan setempat agar dicapai hasil dan keuntungan yang tinggi. Hasil penelitian Wagan (2015) menunjukkan bahwa walaupun biaya produksi padi hibrida lebih tinggi akibat harga benih yang lebih tinggi dibanding padi inbrida, namun karena hasil yang dicapai (pada pemupukan yang sama) lebih tinggi maka keuntungan yang diperoleh juga lebih tinggi (sekitar 16,6%) dibanding padi inbrida. Dengan kata lain, PHSL dan padi hibrida memiliki peluang sebagai teknologi terobosan mendukung peningkatan hasil dan keuntungan seperti pendapat Ashari dan Rusastra (2014).
169
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Tabel 5. Peningkatan hasil/nilai heterosis padi hibrida dibanding inbrida pada penelitian PHSL di Blitar dan Malang, MK 2012.
Rekomendasi pupuk
PHSL hibrida PHSL hibrida PHSL hibrida PHSL inbrida PHSL inbrida PHSL inbrida
Varietas
Mapan-P05 HIPA-10 Ciherang Mapan-P05 HIPA-10 Ciherang
Nilai heterosis padi hibrida vs Ciherang dengan RH (%)
Hasil GKG-kadar air 14% (t/ha) Blitar
Malang
10,29 6,32 7,34 10,46 6,03 7,33
10,52 4,44 9,90 10,82 4,52 9,69
Blitar
Nilai heterosis padi hibrida vs Ciherang dengan RI (%)
Malang
40,19 -13,89 42,50 -39,09 -
Blitar
6,26 -55,15 9,29 -54,34 -
Malang
40,38 -13,77 42,50 -17,84 -
8,56 -54,17 11,66 -53,35 -
PHSL hibrida lihat Tabel 2, PHSL inbrida lihat Tabel 3.
Respon Padi Hibrida terhadap Pemupukan N Tanaman padi hibrida sangat responsif terhadap pemupukan N di Malang dan Blitar, demikian juga untuk padi inbrida. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa respon tanaman padi terhadap pemupukan N pada umumnya sangat besar, sedang respon terhadap pemupukan P dan K di lahan sawah intensif umumnya rendah. Buresh et al. (2010) menyebutkan bahwa dari 525-531 titik pengamatan di lahan sawah irigasi, tambahan hasil padi akibat pemberian pupuk P dan K rata-rata rendah, berturutturut hanya 9% dan 12%. Hasil gabah tanpa pemupukan N pada penelitian ini ternyata sudah cukup tinggi, terutama untuk padi hibrida di Malang. Hal ini antara lain karena kandungan hara tanah di Malang tergolong sedang hingga sangat tinggi (Tabel 1) dan umur tanaman di Malang relatif lebih panjang akibat suhu udara yang relatif rendah. Walaupun demikian, pemberian pupuk N hingga 300 kg urea/ha masih mampu meningkatkan hasil padi (Tabel 6). Pada takaran pupuk N yang sama, hasil padi hibrida di kedua lokasi lebih tinggi dibanding padi inbrida. Artinya, efisiensi pemupukan pada padi hibrida lebih tinggi dibandingkan padi inbrida. Hal ini menunjukkan padi hibrida mampu memanfaatkan hara atau pupuk lebih banyak dibanding padi inbrida. Hal ini sejalan dengan penelitian Zhang dan Wang (2006), bahwa padi hibrida mempunyai kapasitas penyerapan hara lebih tinggi dibanding padi inbrida. Dengan kata lain, penanaman padi hibrida mampu meningkatkan efisiensi pupuk, dan hasil kegiatan ini sejalan dan konsisten dengan kegiatan yang telah dijelaskan di depan (Tabel 4 dan Tabel 5). Hasil penelitian Islam et al. (2010) pada pemupukan P menunjukkan bahwa padi hibrida menggunakan hara P lebih efisien dibanding padi inbrida. Untuk mengetahui keeratan hubungan antara perlakuan takaran N (urea) dengan hasil padi hibrida 170
Tabel 6. Pengaruh pemupukan N terhadap hasil pada inbrida dan hibrida di Malang dan Blitar, MK 2012. Hasil kadar air 14% (t GKG/ha) Dosis urea (kg/ha)
Malang Inbrida
0 150 300 450
4,35 7,46 9,40 10,55
e d bc ab
Blitar Hibrida
8,27 10,37 10,98 10,91
cd ab a a
Inbrida
Hibrida
4,94 5,60 6,26 6,96
6,25 6,95 8,25 8,67
c bc ab a
bc b a a
dan inbrida dilakukan analisis regresi di masing-masing lokasi. Di Malang, respon padi hibrida dan inbrida terhadap pemberian pupuk urea menunjukkan hubungan kuadratik dengan nilai F hitung nyata masingmasing dengan nilai R2 = 0,99 (Gambar 1 dan 2). Respon kuadratik ini terjadi diduga karena kesuburan tanah dan kondisi lingkungan tumbuh tanaman, seperti suhu udara, di Malang relatif lebih baik dibanding Blitar. Berdasarkan persamaan kuadrat pada padi hibrida diperoleh nilai Y (hasil gabah) maksimum 11,30 t/ha pada nilai X (takaran urea) 352,6 kg/ha. Berdasarkan persamaan kuadrat untuk padi inbrida diperoleh nilai Y (hasil gabah) maksimum 10,44 t/ha pada nilai X (takaran urea) 528,01 kg/ha. Penambahan urea yang sama 352,55 kg/ha memberikan hasil 11,31 t/ha untuk varietas hibrida dan 9,77 t/ha untuk varietas inbrida. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penambahan jumlah pupuk N yang sama pada varietas hibrida di Malang akan memberikan hasil 15,7% lebih tinggi dibanding varietas inbrida. Dapat diartikan padi hibrida sangat efisien dalam menggunakan pupuk N yang ditambahkan. Respon kuadratik hasil gabah dan jumlah gabah per malai padi hibrida terhadap perlakuan N juga dihasilkan oleh Li et al. (2014) dengan hasil gabah maksimun 10 t/ha pada pemupukan N 195 kg/ha di
SUYAMTO ET AL.: PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI PADI HIBRIDA
Hibrida Malang
Inbrida Malang 11,00
Hasil gabah (t/ha)
Hasil gabah (t/ha)
11,00
9,00
Y = 4,369 + 0,023 X – 2,178E-5X2 R2=0,99
8,00
Dosis N sebagai urea (kg/ha)
Gambar 1. Hubungan dosis N dengan tingkat hasil padi varietas inbrida di Malang, MK 2012.
Dosis N sebagai urea (kg/ha)
Gambar 2. Hubungan dosis N dengan tingkat hasil padi varietas hibrida di Malang, MK 2012.
Y = 4,932 + 0,004 X R2 =0,99
Hibrida Blitar
Hasil gabah (t/ha)
Hasil gabah (t/ha)
Inbrida Blitar
Y = 6,246 + 0,006 X R2=0,97
Dosis N (kg/ha)
Dosis N
Gambar 3. Hubungan dosis N dengan tingkat hasil padi varietas inbrida di Blitar, MK 2012.
Gambar 4. Hubungan dosis N dengan tingkat hasil padi varietas hibrida di Blitar, MK 2012.
Nanjing dan 18 t/ha pada pemupukan 375 kg N/ha di Tooyuan. Respon agak berbeda terjadi di Blitar. Penambahan pupuk urea tertinggi (400 kg/ha) masih menunjukkan garis regresi yang cenderung linier dengan nilai R2 masingmasing 0,99 untuk padi inbrida dan 0,97 untuk padi hibrida (Gambar 3 dan 4). Hal ini diduga berkaitan dengan tingkat
kesuburan tanah di Blitar yang relatif kurang subur. Dari Gambar tersebut terlihat bahwa padi hibrida secara konsisten memberikan hasil lebih tinggi dibanding padi inbrida. Setiap penambahan pupuk N sebanyak 1 kg urea akan diikuti oleh kenaikan hasil padi hibrida 6 kg gabah kering panen, sedangkan kenaikan hasil padi inbrida hanya 4 kg. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penambahan pupuk N (urea) yang sama, padi hibrida 171
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
memberikan hasil 33,33% lebih tinggi dibanding padi inbrida di Blitar. Tanpa penambahan N, potensi hasil padi hibrida di Blitar 6,25 t/ha sedangkan inbrida 4,93 t/ha. Karena hubungannya masih linier maka belum dapat ditentukan takaran N yang memberikan hasil optimum (tertinggi) untuk varietas hibrida dan inbrida di Blitar. Hasil penelitian Yoseftabar et al. (2012) juga menunjukkan bahwa padi hibrida masih memperlihatkan respon positif pada pemberian pupuk N hingga 300 kg N/ha. Sementara Xie et al. (2007) menggunakan perangkat sistem layanan hara (simulasi) untuk menghitung takaran optimal pupuk N untuk varietas padi hibrida yang umum ditanam di China, dan hasilnya adalah 120-150 kg N/ha.
KESIMPULAN Untuk mencapai target hasil padi hibrida sekitar 20% lebih tinggi daripada padi inbrida tidak memerlukan takaran dan waktu aplikasi pemupukan NPK yang lebih tinggi seperti yang direkomendasikan pada PHSL-web, sehingga rekomendasi pemupukan untuk padi inbrida pada PHSL-web dapat digunakan untuk padi hibrida. Respon tanaman padi hibrida terhadap pemupukan lebih tinggi dibanding padi inbrida. Artinya, pada takaran pupuk NPK yang sama, hasil padi hibrida lebih tinggi dibanding padi inbrida. Dengan kata lain, penggunaan padi hibrida dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Tingkat hasil padi hibrida (seperti pada Hipa 10) tidak hanya ditentukan oleh pemberian pupuk, namun juga oleh faktor lainnya, seperti genetis, kualitas benih, dan lingkungan tumbuh. Diperoleh indikasi kuat bahwa interaksi G x E x M bersifat sangat spesifik untuk padi hibrida.
DAFTAR PUSTAKA Ashari dan I.W. Rusastra. 2014. Pengembangan padi hibrida: pengalaman dari Asia dan prospek bagi Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi 32(2):103-121. Barclay, A. 2010. Hibridizing the world. Rice today. International Rice Research Institute. October-December, 2010, Vol. 9, No. 4. Bezbaruha, R., R.C. Sharma, and P. Banik. 2011. Effect of nutrient management and planting geometry on productivity of hybrid rice cultivars. American Journal of Plant Science 2:297-302. Buresh, R., M.F. Pampolino, and C. Witt. 2010. Field-specific potassium and phosphorus balances and fertilizer requirements for irrigated rice-based cropping system. Plant and Soil 335(1-2):35-64. Buresh, R., D. Setyorini, S. Abdulrachman, F. Agus, C. Witt, I. Las, and Suyamto. 2006. Improving nutrient management for
172
irrigated rice with particular consideration to Indonesia. Hal.165-178. In. Sumarno et al. (Ed). Rice industry, culture and environment. Indonesian Center for Rice Research. Buresh, R., Z. Zaini, M. Syam, S. Kartaatmadja, Suyamto, R. Castillo, J.D. Torre, P.J. Sinohin, S.S. Girsang, A. Thalib, Z. Abidin, B. Susanto, M. Hatta, D. Haskarini, R. Budiono, Nurhayati, M. Zairin, D.W. Soegondo, M. van den Berg, H. Sembiring, M.J. Mejaya, and V.B.J. Tolentino. 2012. Nutrient manager for rice: A mobile phone and internet application increases rice yield and profit in rice farming. Seminar International. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient disorder and nutrient management. International Rice Reseach Institute. Philippines. Dobermann, A., C. Witt, and D. Dawe. 2004. Increasing the productivity of intensive rice systems through site specific nutrient management. Science Publisher Inc. and International Rice Research Institute. Islam, M.R., P.K. Saha, S.K. Zaman, and J. Uddin. 2010. Phosphorus fertilization in inbred and hybrid rice. Dhaka University Journal of Biological Sciences 19(2):181-187. Krishnakumar, S., R. Nagarajan, S.K. Natarajan, D. Jawahar, and B.J. Pandian. 2005. NPK fertilizer for hybrid rice (Oryza sativa L.) productivity in Alfisols of Southern District of Tamil Nadu. Asian Journal of Plant Science 4:574-576. Li, G., J. Zhang, C. Yang, Y. Song, C. Zheng, Z. Liu, S. Wang, S. Tang, and Y. Ding. 2014. Yield and yield components of hybrid rice as influenced by N-fertilization at different eco-sites. Journal of Plant Nutrient 37(2):244-258. Mahajan, B.R., R.N. Pandey, S.C. Datta, D. Kumar, R.N. Sahoo, and R. Parsad. 2014. Fertilizer nitrogen, phosphorus and sulphur prescription for aromatic hybrid rice (Oryza sativa L.) using targeted yield approach. Proceeding of the National Academy of Science 84(3): 537-547. Pandey, D., D.K. Payasi, and N. Pandey. 2014. Effect of organic and inorganic fertilizers on hybrid rice. International Journal of Current Research 6(5):6549-6551. Pasuquin, J.M., M.F. Pampolino, C. Witt, A. Dobermann, T. Oberthur, M.J. Fisher, and K. Inubushi. 2014. Closing yield gaps in maize production in Southeast Asia through site-specific nutrient management. Field Crop Research 156 : 219-230. Journal homepage : www.elsevier.com/locate/fcr Ruskandar, A. 2010. Persepsi petani dan identifikasi faktor penentu pengembangan dan adopsi varietas padi hibrida. Iptek Tanaman Pangan 5(2):113-125. Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Satoto, B. Sutaryo, dan B. Suprihatno, 2008. Prospek pengembangan varietas padi hibrida. p.1-28. Dalam: A.A.Daradjat (Ed.) Padi: Inovasi Teknologi Produksi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Satoto, Indrastuti, M. Direja, dan B. Suprihatno. 2007. Yield stability of ten hybrid rice combination derived from introduced CMS and local restorer lines. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(3):145-149. Satato, Sumarno, dan I. Las.2006. Current status of hybrid rice industries, present and future reserch program. Dalam: Sumarno et al. (Ed.): Rice Industry Culture and Evironment. Book 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi . Sumarno, J. Wargiono, U.G. Kartasamita, I.G. Ismail, dan J. Soejitno. 2008. Pemahaman dan kesiapan petani mengadopsi padi hibrida. Iptek Tanaman Pangan 3(2):167183.
SUYAMTO ET AL.: PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI PADI HIBRIDA
Susilawati, P.N., M. Surahman, B.S. Purwoko, T.K. Suharsi and Satoto. 2014. Effect of GA3 concentration on hybrid rice seed production in Indonesia. International Journal of Applied Science and Technology 4(2):143-148. Suyamto, M. Saeri, dan Sugiono. 2012. Adaptasi varietas padi hibrida pada dua ketinggian tempat berbeda di Jawa Timur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 15(2):: 171-180. Virmani, S.S. 1994. Prospects of hybrid rice in the tropics and subtropics. p.7-20. In. S.S. Virmani (Ed.). Hybrid rice technology: New development and future prospects. Selected papers from the International Rice Research Conference. IRRI.
Wagan, S.A. 2015. Performance of hybrid and conventional rice varieties in Sindh, Pakistan. Journal of Economics and Sustainable Development Vol. 6 No. 3. Xie, W., G. Wang, and Q. Zhang. 2007. Potential production simulation and optimal nutrient management of two hybrid rice varieties in Jinhua, Zhejiang Province, China. Journal of Zhejiang University Science B 8(7):486-492. Zaini, Z. dan Erythrina. 2008. Pengembangan penanaman padi hibrida dengan pendekatan PTT dan penanda padi. IPTEK Tanaman Pangan 3(2):156-166. Zhang, Q. and G. Wang. 2006. Yield of inbred rice and hybrid rice and soil nutrient balance under longterm fertilization. Journal of Plant Nutrition and Fertilizer 12(3):340-345.
173
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
174
HARTATIK DAN WIDOWATI: PUPUK MAJEMUK NPKS DAN NPK PADA PADI SAWAH
Pengaruh Pupuk Majemuk NPKS dan NPK terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah pada Inceptisol Effect of Compound fertilizer NPKS and NPK on Rice Growth and Yield on Inceptisol Wiwik Hartatik and Ladiyani Retno Widowati Balai Penelitian Tanah Jl. Tentara Pelajar 12, Bogor 16114 E-mail:
[email protected];
[email protected] Naskah diterima 20 Februari 2014 dan disetujui diterbitkan 29 Juli 2015
ABSTRACT. Rate of NPK fertilization on rice using NPK compound fertilizer needs to consider soil nutrient status and plant nutrient requirement. The research was aimed to determine the optimum rate of compound fertilizer and the effect of enriched S nutrient of NPKS compound (15-15-15-5S) and NPK compound fertilizer (1515-15) on the growth and yield of rice. The experiments were conducted at two sites in Galuga, Ciampea Bogor, West Java from April to September 2013, using randomised complete block design with 3 replications. Experiment at site I consisted of 9 treatments: six levels of fertilizers NPKS i.e. 0; 150; 300; 450; 600; and 750 kg/ha, standard fertilizer, NPK compound fertilizer equivalent to standard, and standard fertilizer plus S. Rate of urea, SP-36, and KCl for standard fertilizer treatment was respectively 250, 75, and 50 kg/ha. At site II the treatments consisted of 6 levels of NPK compound fertilizer i.e. 0; 150; 300; 450; 600; and 750 kg/ha and the standard fertilizer with rate of 250 kg/ha of urea, 50 kg/ha SP36, and 75 kg/ha KCl. Plot size was 4 m x 5 m planted with Ciherang variety. Data collection included chemical properties of soil before and after the experiment, plant height, number of tillers, straw weight, and dry grain weight and the nutrient uptake. The effectiveness of fertilizer was calculated by RAE (Relative Agronomic Effectiveness). Results showed that fertilizer NPKS (15-15-15-5S) at 600 kg/ha effectively increased dry grain weight from 3.63 t/ha to 4.67 t/ha, but was not significantly different from a standard fertilizer treatment. It increased dry grain weight by 29% compared to control. NPK fertilizer (15-15-15) effectively promoted growth and dry grain weight equivalent to standard fertilizer at rate of 300-750 kgha. The optimum rate of NPK compound fertilizer (15-15-15) was 440 kg/ha as was shown with the production performance of 4.12 t/ha with RAE by 58%. NPKS compound fertilizer with rate of 750 kg/ha showed the highest uptake of N, P, and K nutrients and significantly increased the available P in the soil. Whereas NPK compound fertilizer with a rate of 600 kg/ha indicated the highest P nutrient uptake. Fertilizer enrichment with sulfur on NPKS fertilizer (15-15-15-5S) did not significant affect on grain dry weight. Keywords: Lowland rice, inceptisols, compound fertilizer, NPKS. ABSTRAK. Pemupukan NPK pada padi sawah dengan menggunakan pupuk majemuk NPK perlu mempertimbangkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Penelitian bertujuan untuk menentukan dosis optimum dan pengaruh pupuk majemuk NPK yang diperkaya S (15-15-15-5S) dan pupuk majemuk NPK terhadap pertumbuhan dan hasil padi. Penelitian dilakukan di Desa Galuga, Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor, pada bulan April–September, 2013. Percobaan lapangan terdiri atas dua unit menggunakan rancangan acak kelompok, 3 ulangan. Unit I terdiri atas sembilan perlakuan: enam tingkat dosis pupuk NPKS (0, 150, 300, 450, 600, dan 750 kg/ ha), ditambah NPK standar, pupuk majemuk NPK setara NPK standar dan NPK standar + S. Dosis pupuk urea, SP-36 dan KCl untuk perlakuan NPK standar berturut-turut adalah 250, 75 dan 50 kg/ha. Unit II terdiri atas enam tingkat dosis pupuk majemuk NPK (0, 150, 300, 450, 600 dan 750 kg/ha) dan NPK standar dengan dosis 250 kg urea, 50 kg SP-36 dan 75 kg KCl/ha. Petak perlakuan berukuran 4 m x 5 m. Padi varietas Ciherang digunakan sebagai tanaman indikator. Pengamatan dilakukan terhadap sifat kimia tanah sebelum dan sesudah percobaan, tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot jerami dan gabah kering dan serapan hara. Efektivitas pupuk dihitung dengan Relative Agronomic Effectivenes(RAE). Hasil penelitian menunjukkan pupuk NPKS 1515-15-5S dengan dosis optimum 600 kg/ha efektif meningkatkan bobot gabah kering, dari 3,63 t/ha menjadi 4,67 t/ha dan tidak berbeda nyata dengan pupuk NPK standar dan terjadi peningkatan bobot gabah kering 29% dibanding kontrol dengan nilai RAE 100%. Pupuk NPK 1515-15 efektif meningkatkan pertumbuhan dan bobot gabah kering yang setara dengan NPK standar pada dosis 300-750 kg/ha. Dosis optimum pupuk majemuk NPK adalah 440 kg/ha, ditunjukkan oleh capaian hasil 4,12 t/ha dengan nilai RAE 58%. Perlakuan pupuk majemuk NPKS 750 kg/ha memberikan serapan N, P dan K tertinggi dan nyata meningkatkan P tersedia. Pemberian pupuk majemuk NPK dengan dosis 600 kg/ha memberikan serapan P tertinggi. Pengkayaan pupuk majemuk NPK (15-15-15) dengan sulfur (5S) tidak nyata meningkatkan bobot gabah kering. Kata kunci: Padi sawah, inceptisols, pupuk majemuk NPKS.
PENDAHULUAN Kenyataan di lapang menunjukkan petani menggunakan pupuk N dan P dengan dosis yang cukup tinggi (Hartatik 2000), sementara pupuk K ditinggalkan selain karena harganya mahal juga sering kali tidak tersedia di lapang. Di beberapa provinsi di China, penggunaan N berkisar antara 200-274 kg N/ha dan pupuk P 46-69 kg P2O5/ha dengan hasil gabah 4,72-8,56 t GKP/ha (Yun Jin et al. 2002).
175
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting, namun akhir-akhir ini harga pupuk di dunia meningkat cukup tajam dan ketersediaannya mulai langka. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi efisiensi pemupukan dan mencari alternatif sumber pupuk di dalam negeri. Meningkatnya harga pupuk yang dikenal masyarakat seperti SP-36, KCl, dan Urea telah menumbuhkan industri pupuk di dalam negeri, dengan jenis dan formula yang bervariasi. Dalam upaya peningkatan efisiensi pemupukan telah dikembangkan teknologi pemupukan berimbang. Menurut Setyorini et al. (2006), pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk ke dalam tanah untuk mencapai status semua hara esensial seimbang dan optimum dalam tanah untuk meningkatkan produksi dan mutu hasil pertanian, efisiensi pemupukan, kesuburan tanah serta menghindari pencemaran lingkungan. Artinya, bagi tanah yang memiliki hara dengan kadar optimum tidak perlu lagi dipupuk, kecuali untuk pengganti hara yang terangkut panen. Sumber hara dapat berupa pupuk tunggal, pupuk majemuk atau kombinasi keduanya. Penerapan teknologi pemupukan berimbang spesifik lokasi diarahkan menggunakan pupuk majemuk dengan berbagai formula. Formula pupuk majemuk perlu mempertimbangkan status hara tanah dan kebutuhan hara tanaman di lokasi setempat. Pupuk majemuk lebih efisien ditinjau dari segi distribusi, penyimpanan, dan aplikasi dibanding pupuk tunggal karena unsur N,P,K terdapat dalam satu jenis pupuk. Penggunaan pupuk majemuk akan mendorong petani menggunakan pupuk secara lengkap. Walaupun demikian, penggunaan pupuk majemuk NPK hendaknya mengacu pada status hara tanah dan kebutuhan hara tanaman. Kelemahan penggunaan pupuk majemuk antara lain masih memerlukan penambahan pupuk tunggal (terutama urea) untuk mencukupi kebutuhan hara N sesuai fase pertumbuhan tanaman. Pupuk majemuk NPK yang ada saat ini mempunyai kadar N, P, K yang kurang sesuai sehingga sulit menetapkan dosis NPK yang tepat untuk tanah berstatus P dan K tinggi (Setyorini et al. 2004). Hara N, P, dan K merupakan hara makro yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak. Hara N dalam tanaman berfungsi sebagai pembentuk zat hijau daun (klorofil) dan unsur pembentuk protein. Hara P yang berfungsi sebagai penyimpan dan transfer energi, merupakan komponen penting dalam asam nukleat, koenzim, nukleotida, fospoprotein, fospolipid dan gula fosfat. Hara K berfungsi dalam pembentukan pati, mengaktifkan enzim dan katalisator penyimpanan hasil fotosintesis (Dierolf et al. 2000). Pemupukan urea dengan takaran 200 kg/ha dan pemupukan P dan K berdasarkan uji tanah nyata meningkatkan bobot gabah
176
kering, serapan hara N dan K pada Inceptisol Karawang dan Sragen serta Vertisol Madiun (Hartatik dan Sri Adiningsih 2003). Pengkajian pemupukan di Sikku Ale, Cempa, Pinrang Sulawesi Selatan pada MT 2001 menunjukkan bahwa tanpa pemupukan N pertumbuhan dan hasil padi lebih rendah (Arafah dan Sirappa 2003). Hasil kajian BPTP Kalimantan Barat menunjukkan pemberian pupuk NPK pada tanaman padi dengan takaran 350 kg NPK dan 180 kg urea/ha memberikan hasil tertinggi, 8,2 t GKP/ha. Takaran pupuk disesuaikan dengan status hara tanah (BPTP Kalbar 2013). Aplikasi pupuk majemuk NPK dosis 120 kg/ha yang dikombinasikan dengan residu Biochar 10 t/ha nyata meningkatkan hasil padi di Desa Empetring, Kecamatan Darul Kamal, Kabupaten Aceh Besar (Samira et al. 2012). Pemupukan NPK dalam jangka panjang (33 tahun) di daerah subtropika China meningkatkan kandungan hara N, P dan K, di tanah. Hasil padi dengan pemupukan NPK lebih tinggi dari pemupukan NP atau NK atau N saja (Bi et al. 2014). Penggunaan pupuk N dan P secara terus menerus dengan dosis tinggi tanpa pengembalian sisa panen mempercepat pengurasan hara lainnya di tanah seperti hara makro K, S, Ca, Mg, dan Si serta hara mikro Zn dan Cu. Penanaman padi di lahan sawah secara terus menerus juga menurunkan produktivitas dan kesehatan tanah karena proses reduksi berlangsung terus sehingga beberapa unsur hara mikro seperti Cu dan Zn menjadi kurang tersedia bagi tanaman (Setyorini et al. 2010). Sulfur (S) merupakan hara makro sekunder yang dibutuhkan tanaman, dan merupakan komponen utama dari asam amino, methionine dan cystine yang berperan dalam pembentukan klorofil, protein, dan metabolisme tanaman (Lunde et al. 2008). Kahat S menyebabkan penurunan kandungan cysteine dan methionine pada tanaman padi (Mengel and Kirkby 1982). Hasil penelitian Widowati dan Rochayati (2003) menunjukkan bahwa 30 contoh tanah yang diambil di Jawa, Lombok, dan Sulawesi Selatan memerlukan penambahan hara S. Agar berproduksi optimal, maka tanaman padi di lahan kekurangan hara S perlu dipupuk dengan NPKS, sesuai status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Percobaan Sulaeman et al. (1984) menunjukkan bahwa pengekstrak terbaik hara S untuk tanah sawah adalah Ca(H2PO4) 2.500 ppm P. Batas kritis S dalam tanah < 9 mg S/kg {S terekstrak dalam 0,01 M Ca(H2PO4)2} (Dobermann and Faihurst 2000). Dari percobaan pot diketahui bahwa respon pemupukan S terjadi pada tanah Grumosol, Regosol, dan Alluvial (Widowati et al. 2004). Pemupukan S diperlukan untuk tanah dengan status hara S sedang atau rendah (Al-Jabri 2006).
HARTATIK DAN WIDOWATI: PUPUK MAJEMUK NPKS DAN NPK PADA PADI SAWAH
Pemupukan S nyata meningkatkan hasil gabah di Takalar, Sulawesi Selatan dengan hasil tertinggi 6,18 t/ha pada pemupukan 10 kg S/ha, sedangkan di Sinjai pemupukan S tidak meningkatkan bobot gabah (Buntan dan Rauf 1995). Pemupukan NPK yang berlebihan akan menyebabkan pencemaran lingkungan terutama nitrat akan mencemari air tanah dan sungai dan terjadi ketidakseimbangan hara dalam tanah. Pengembangan formula pupuk majemuk seyogianya disesuaikan dengan kebutuhan hara tanaman dan status hara P dan K tanah, serta mengantisipasi kahat hara S, Zn dan Si pada lokasi tertentu. Oleh karena itu dibutuhkan formula pupuk majemuk yang dapat diaplikasikan secara spesifik lokasi agar lebih efisien dan tidak mencemari lingkungan. Tujuan penelitian adalah mempelajari pengaruh pupuk majemuk NPK dengan formula 15-15-15-5S dan 15-1515 serta menentukan dosis optimum pada tanaman padi.
BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan pada MK 2013 (AprilSeptember 2013) pada lahan sawah berkadar hara P tinggi dan K rendah di Desa Galuga, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Pupuk yang diuji adalah pupuk majemuk NPKS 15-15-15-5S dan NPK 15-15-15 berbentuk granul. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, sembilan perlakuan untuk percobaan unit I dan tujuh perlakuan untuk percobaan unit II, masing-masing dengan tiga ulangan. Perlakuan pada percobaan unit I terdiri atas lima dosis pupuk majemuk NPK15-15-15-5S yaitu, 150, 300, 450, 600, dan 750 kg/ha, kontrol, NPK standar dan NPK 15-15-15-5S setara NPK standar (pemberian dalam bentuk pupuk majemuk NPKS dengan kadar hara setara pupuk standar) dan NPK standar + S. Pupuk NPK standar yang digunakan dalam bentuk pupuk tunggal adalah urea, SP-36, dan KCl dengan dosis berturut-turut 250 kg urea, 75 kg SP-36, dan 50 kg KCl/ha. Perlakuan pada percobaan unit II terdiri atas pupuk majemuk NPK bertingkat dari 150, 300, 450, 600, dan 750 kg/ha. Sebagai NPK standar adalah Urea, SP-36, dan KCl dengan takaran 250 kg urea, 50 kg SP-36, dan 75 kg KCl/ha. Perbedaan dosis NPK standar disebabkan oleh perbedaan status hara P dan K pada waktu penetapan lokasi menggunakan Soil Test Kit. Perlakuan dan dosis pupuk majemuk NPKS dan NPK disajikan pada Tabel 1 dan 2. Varietas Ciherang ditanam sebagai tanaman indikator dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm, dua bibit per lubang. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi
tanaman pada umur 21 HST, 30 HST dan 60 HST serta saat menjelang panen, bobot jerami dan gabah kering. Analisis tanah dilakukan sebelum tanam dan sesudah panen, meliputi tekstur, pH, C-organik, N-total, P terekstrak HCl 25% dan Bray 1, K terekstrak HCl 25%, Ca, Mg, K, Na, dan KTK terekstrak NH4OAc 1 N pH 7, dan kejenuhan basa, Al dan H terekstrak KCl 1 N dan S terekstrak Ca(H2PO4)2 500 ppm P. Petakan perlakuan pada percobaan unit I dan II berukuran 4 m x 5 m. Jarak antar petak dibatasi oleh galengan 50 cm untuk menjaga tidak terjadi kontaminasi antar perlakuan. Tanah dibajak dua kali, kemudian diratakan. Pupuk majemuk NPKS, NPK, dan SP-36 dengan dosis sesuai perlakuan diberikan sekaligus pada saat tanaman berumur 7 HST. Untuk perlakuan NPK standar, pemberian pupuk adalah ½ dosis urea dan ½ dosis KCl serta seluruh dosis SP-36, diaplikasikan pada saat tanaman padi berumur 7 HST dengan cara disebar lalu dibenamkan ke dalam tanah. Dengan cara yang sama, setengah dosis urea dan KCl diberikan pada saat tanaman padi berumur 28 HST. Dalam penelitian ini tidak
Tabel 1. Perlakuan dan dosis pupuk majemuk NPKS di Desa Galuga, Bogor, MK. 2013. Percobaan Unit I. Perlakuan
Kontrol NPK standar (pupuk tunggal) NPKS 150 NPKS 300 NPKS 450 NPKS 600 NPKS 750 NPKsetara NPK standar NPK standar + Sulfur
Urea SP-36 KCl NPKS ZA ....…………………..(kg/ha)....…………………. 0 250
0 75
0 50
0 0
-
0 0 0 0 0 183
0 0 0 0 0 -
0 0 0 0 0 -
150 300 450 600 750 200
-
220
75
50
-
63
Tabel 2. Perlakuan dan dosis pupuk majemuk NPK dan perlakuan pembanding lainnya di Desa Galuga, Bogor, MK 2013. Percobaan Unit II. Perlakuan
Urea SP-36 KCl NPK ……………..kg/ha ………………
Kontrol NPK standar (pupuk tunggal) NPK 150 NPK 300 NPK 450 NPK 600 NPK 750
0 250 0 0 0 0 0
0 50 0 0 0 0 0
0 75 0 0 0 0 0
0 0 150 300 450 600 750
177
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
dilakukan penambahan pupuk N, dengan tujuan untuk mengetahui penyediaan hara N yang berasal dari tanah, bahan organik, dan pupuk majemuk NPK dalam memenuhi kebutuhan N tanaman. Efektivitas pupuk NPK 15-15-15-5S dan NPK 15-1515 diketahui dengan cara menggunakan perhitungan Relative Agronomic Effectiveness (RAE) dengan rumus (Machay et al. 1984; Chien 1996) sebagai berikut:
RAE =
Hasil pada pupuk yang diuji – hasil pada kontrol Hasil pada pupuk standar – hasil pada kontrol
x 100%
Sifat Kimia Tanah Sebelum Percobaan Tanah Inceptisol Desa Galuga, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, bertekstur liat, dan pH tergolong rendah. Kadar C-organik, N-total dan C/N rendah, Ppotensial (ekstrak HCl 25%) dan P tersedia sangat tinggi dan K-potensial (ekstrak HCl 25%), K-dd dan Na-dd rendah. Kadar Ca-dd, Mg-dd dan Kapasitas tukar kation sedang. Kejenuhan basa tinggi. Kadar Al-dd sangat rendah. Kadar S tanah rendah (Tabel 4). Tanah sebelum percobaan mempunyai tingkat kesuburan yang relatif rendah dengan kandungan bahan organik, N, K, dan S yang rendah, kandungan P tinggi, kahat N, K dan S.
Kadar Hara Pupuk Majemuk NPK dan NPKS Pupuk majemuk NPKS berbentuk granul dengan kadar air 1,35%, kandungan total N 15,21%, P2O5 15,07%, K2O 15,17%, dan S 5,11%, Zn 133 ppm, Mn 435ppm, Cu 14 ppm, B 52 ppm, Mo 14,4 ppm, dan Pb 3,6 ppm. Pupuk NPK 15:15:15 mengandung N 15,48%, P2O5 15,59%, dan K2O 16,28% (Tabel 3), sehingga memenuhi syarat sebagai pupuk majemuk karena kadar total N, P2O5 dan K2O minimal 30%.
Tabel 3. Kandungan hara upuk majemuk NPK 15:15:15:5S dan NPK 15:15:15. Hasil analisis Hara
Pupuk NPKS 15:15:15:5S
Pupuk NPK 15:15:15
Kadar air (%) Total nitrogen (%)
1,35* 15,21
1,92 15,48
P2O5 (%) K2O (%) S (%)
15,07 15,17 5,11
15,59 16,28 -
Persyaratan teknis pupuk anorganik SNI 2803: 2012 2% Total N, P2O5 dan K2O Min 30%
Sifat Kimia Tanah Setelah Percobaan Sifat kimia tanah setelah panen percobaan unit I disajikan pada Tabel 5. Perlakuan pemupukan NPKS tidak berbeda nyata terhadap pH H2O dibanding kontrol. Perlakuan pemupukan juga tidak nyata mempengaruhi kadar Corganik dan N-total. Perlakuan NPK dosis 750 kg/ha memberikan kadar C-organik tertinggi 1,15%. Kadar Ptersedia semua perlakuan tergolong sangat tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil analisis P tersedia tanah awal percobaan yang memang sudah sangat tinggi, di samping tambahan P dari pupuk majemuk. Pemupukan NPK dosis 750 kg/ha memberikan kadar P tersedia tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Tabel 4. Sifat kimia tanah sebelum percobaan di Desa Galuga, Bogor, MK 2013. Nilai analisis Jenis analisis
Kadar unsur mikro Zn (ppm) 133 Cu (ppm) 14 Mn (ppm) 435 Co (ppm) td B (ppm) 52 Mo (ppm) 14,4
-
Maks. 5000 (ppm) Maks. 5000 (ppm) Maks. 5000 (ppm) Maks. 20 (ppm) Maks. 2500 (ppm) Maks. 10 (ppm)
Kadar logam berat As (ppm) Hg (ppm) Pb (ppm) Cd (ppm)
-
≤100 (ppm) ≤10 (ppm) ≤500 (ppm) ≤100 (ppm)
td td 3,6 td
HASIL DAN PEMBAHASAN
* Uji mutu dilakukan oleh Laboratorium Balai Penelitian Tanah pada tahun 2013.
P-Bray 1 (ppm) Kation Tukar Ca-dd (cmol(+)/kg) Mg-dd (cmol(+)/kg) K-dd (cmol(+)/kg) Na-dd (cmol(+)/kg) Kapasitas Tukar Kation (cmol(+)/kg) Kejenuhan Basa (%) Al- dapat ditukar (cmol(+)/kg) S {ekstrak Ca(H2PO4)2 500 ppm P} (ppm)
Kriteria*) Unit I
Unit II
61,45
57,6
9,40 1,48 0,24 0,26 18
9,26 1,40 0,25 0,31 18,13
64 0,09
62 0,13
Tinggi Sangat rendah
8,4
0,13
Rendah (Sofyan et al. 2004)
*)Sumber: Pusat Penelitian Tanah (1993)
178
Sangat tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah Sedang
HARTATIK DAN WIDOWATI: PUPUK MAJEMUK NPKS DAN NPK PADA PADI SAWAH
tertentu dan tidak memiliki hubungan langsung dengan perubahan hasil padi.
Hal ini menunjukkan bahwa pemupukan NPKS dosis 750 kg/ha menyebabkan kelebihan hara P (residu) dalam tanah yang berdampak negatif terhadap keseimbangan hara dan hasil tanaman. Kadar Ca, Mg, K dapat ditukar, dan KTK pada perlakuan pemupukan tidak berbeda nyata dibanding kontrol. Kejenuhan basa pada perlakuan pemupukan NPKS dosis 300 kg/ha nyata lebih tinggi dari perlakuan lainnya, karena serapan basabasa pada perlakuan ini lebih rendah dibandingkan dengan pemupukan NPK dosis yang lebih tinggi. Kadar S total tanah setelah percobaan tidak berbeda nyata antarperlakuan. Sifat tanah setelah panen percobaan unit II menunjukkan perbedaan kadar hara, bergantung pada jenis dan aplikasi pupuk. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemupukkan NPK meningkatkan kadar Corganik, N-organik, P dan K ekstrak HCl 25%, K-dd, dan KTK (Tabel 6). Hubungan kuadratik antara takaran pupuk majemuk NPK menunjukkan kadar N, P, dan K di tanah meningkat sampai takaran 300 kg/ha, kemudian menurun. Hal ini terjadi karena setelah pupuk NPK diberikan dengan dosis 300 kg, hasil tanaman meningkat, artinya banyak hara N, P, dan K terserap tanaman, baik dalam gabah maupun jerami. Unsur Ca, Mg dan kejenuhan basa tidak menunjukkan pola
Tinggi Tanaman Pengaruh pupuk majemuk NPKS 15:15:15:5S terhadap tinggi tanaman padi sawah umur 21, 30, 60 dan 90 HST disajikan pada Tabel 7. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan hara yang dapat diserap tanaman. Tinggi tanaman padi semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Pada umur 21 HST, tinggi tanaman pada perlakuan NPKS 450 kg/ha mencapai 52,5 cm, berbeda nyata dengan perlakuan NPK standar, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPKS 750 kg/ha dan NPK majemuk setara NPK standar. Tinggi tanaman terendah terdapat pada perlakuan kontrol. Pada umur 30 HST, tanaman pada perlakuan NPKS 450 kg/ha masih nyata lebih tinggi dari perlakuan NPK standar, walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPKS 750 kg/ha dan NPK majemuk setara NPK standar. Tanaman tertinggi 74,72 cm terdapat pada perlakuan NPKS 750 kg/ha dan terendah pada perlakuan kontrol. Pada umur 60 HST, tanaman pada perlakuan NPKS 450 kg/ha nyata lebih tinggi dari perlakuan NPK standar,
Tabel 5. Sifat kimia tanah setelah panen percobaan unit I di Desa Galuga, Bogor, MK 2013. Perlakuan
pH H2O
Kontrol NPK standar NPKS300 NPKS 450 NPKS600 NPKS 750 NPK majemuk setara NPK standar NPK standar + Sulfur
5,17 5,23 5,23 5,17 5,10 5,13 5,13
C-organik N-total P-tersedia Ca-dd Mg-dd K-dd Na-dd KTK (%) (ppm) ..............................cmol+/kg............................
a*) a a a a a a
5,17 a
1,08 ab 1,11ab 1,04 ab 1,02 ab 1,05 ab 1,15 a 1,02b
0,11 0,11 0,10 0,09 0,11 0,11 0,10
a a a a a a a
95,5 c 90,0 d 90,0 d 75,5 f 98,8 b 111,7 a 87,6 e
9,11 9,29 8,97 8,82 8,99 9,48 9,23
a a b b b a a
1,00b
0,10 a
74,6 g
9,45 a
1,21 1,29 1,27 1,17 1,19 1,28 1,18
a a a a a a a
0,18 a 0,16 a 0,15 a 0,23 a 0,19 a 0,20 a 0,17a
0,49 0,49 0,71 0,13 0,51 0,64 0,64
b b a c a a a
1,28 a
0,18 a
0,21 c
16,4 15,1 14,9 14,6 16,1 17,8 15,5
a a a a a a a
16,0 a
KB S- total ...........(%)........... 68,0 74,3 75,0 72,7 68,0 68,3 72,7
d b a b d d b
69,7 c
0,023 0,027 0,017 0,023 0,020 0,017 0,020
a a a a a a a
0,017 a
*) Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.
Tabel 6. Sifat kimia tanah setelah panen percobaan unit II di Desa Galuga, Bogor, MK 2013. Bahan organik
HCI 25%
Nilai Tukar Kation (NH4-Acetat 1N, PH7)
Perlakuan
Kontrol NPK Standar NPK 150 NPK 300 NPK 450 NPK 600 NPK 750
C-organik (%)
N-organik (%)
C/N
1,99 2,07 2,16 2,68 2,14 2,18 1,91
0,20 0,21 0,23 0,25 0,21 0,22 0,20
10,00 9,67 9,67 11,00 10,33 10,00 9,67
P2O5 K2O ........mg/100 g........ 59,33 53,33 62,33 66,33 62,00 59,67 61,00
7,33 6,67 7,33 12,33 8,00 8,67 8,33
Ca Mg K Na KTK ................................me/100 g................................ 6,62 5,89 6,59 6,28 6,09 5,93 6,06
1,20 1,06 1,28 1,26 1,13 1,13 1,12
0,11 0,05 0,10 0,26 0,12 0,13 0,12
0,25 0,27 0,28 0,34 0,29 0,23 0,26
14,42 11,14 13,74 14,75 14,06 13,09 10,73
KB* (%) 57,00 67,33 60,33 55,33 54,33 57,33 73,67
179
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Tabel 7. Pengaruh pupuk NPK 15-15-15-5S terhadap tinggi tanaman padi di Desa Galuga, Bogor, MK 2013.
Tabel 8. Pengaruh pupuk NPK 15-15-15 terhadap tinggi tanaman padi di Desa Galuga, Bogor, MK 2013.
Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman (cm)
Perlakuan
Kontrol NPK standar NPKS 150 NPKS 300 NPKS 450 NPKS 600 NPKS 750 NPK majemuk setara NPK standar NPK standar + S
Perlakuan 21 HST
30 HST
48,7 46,7 47,3 47,3 52,5 48,9 51,8 49,7
65,6 67,8 65,8 68,3 72,2 69,2 74,7 70,4
cd*) d d d a bcd abc a-d
48,6 cd
60 HST
c 93,5 c bc 97,1 bc c 93,8 c bc 93,9 c ab 99,2 ab bc 98,6 ab a 101,7 a abc 98,7 ab
69,4 bc
97,9 abc
90 HST 93,4 96,9 94,5 93,7 100,1 98,8 99,0 100,7
c abc bc c a a a a
98,1 ab
Kontrol NPK Standar NPK 150 NPK 300 NPK 450 NPK 600 NPK 750
30 HST
60 HST
61,1 66,9 62,8 68,9 67,1 67,4 68,2
87,7 97,8 87,2 94,8 94,8 93,0 93,7
c*) ab bc a ab ab a
b a b a a ab a
*) Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.
*) Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT. Tabel 9. Pengaruh pupuk NPKS 15-15-15-5S terhadap jumlah anakan padi di Desa Galuga, Bogor, MK 2013.
tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPKS 600 kg/ha, NPKS 750 kg/ha, NPKS majemuk setara NPK standar, dan NPK standar + S. Walaupun pemberian hara S tidak nyata secara statistik, namun tanaman padi di lapang memberikan respon positif terhadap pemberian S yang ditunjukkan oleh vigor tanaman yang lebih sehat dan daun lebih hijau. Hal ini berkaitan dengan kadar S tanah sebelum percobaan tergolong rendah. Tanaman tertinggi 101,7 cm terdapat pada perlakuan NPKS 750 kg/ha dan terendah pada perlakuan kontrol. Pada umur 90 HST, tinggi tanaman berkisar antara 93,4–100,7 cm, tertinggi 100,7 cm pada perlakuan NPK majemuk setara NPK standar yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, kecuali perlakuan NPK 150 kg/ha, NPK 300 kg/ha, dan kontrol. Peningkatan dosis pupuk NPK sampai 600 kg/ha tidak lagi mempengaruhi pertumbuhan karena tanaman sudah memasuki fase pengisian biji. Data tersebut menunjukkan pemberian pupuk NPKS 450 kg/ha nyata meningkatkan tinggi tanaman dan tidak berbeda nyata dibanding NPK standar, walaupun peningkatan dosis pupuk masih meningkatkan tinggi tanaman padi pada umur 60 HST. Respon tanaman terhadap pemupukan NPK berubah seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Seluruh perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 8). Hanya terdapat kecenderungan penambahan tinggi tanaman, tertinggi pada umur 60 HST dari perlakuan NPK standar. Jumlah Anakan Pengaruh pupuk majemuk NPKS 15:15:15:5S terhadap jumlah anakan tanaman padi sawah pada umur 21, 30, 60 HST dan jumlah anakan produktif disajikan pada Tabel
180
Jumlah anakan (batang/rumpun) Perlakuan
Kontrol NPK standar NPKS 150 NPKS 300 NPKS 450 NPKS 600 NPKS 750 NPK majemuk setara NPK standar NPK standar + S
21 HST
30 HST
60 HST
90 HST
8,6 c*) 9,7 b 9,8 b 10,0 b 10,4 b 10,5 b 11,7 a 10,2 b
14,4 16,7 17,1 17,7 18,2 17,5 19,7 18,4
8,6 13,7 10,5 10,6 10,9 12,0 12,4 12,9
7,5 9,7 9,0 7,8 9,3 10,0 8,8 9,3
10,5 b
16,7 b
c b b ab ab ab a ab
d a c c c abc abc ab
11,1 bc
c a ab bc ab a abc ab
9,3 ab
*) Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.
9. Jumlah anakan padi meningkat sampai tanaman berumur 30 HST, kemudian menurun pada umur 60 HST. Pada umur 21 HST, jumlah anakan tertinggi 11,7 terdapat pada perlakuan NPKS 750 kg/ha, berbeda nyata dengan perlakuan NPK standar. Pada umur 30 HST, perlakuan NPKS 750 kg/ha masih memberikan jumlah anakan tertinggi 19,7 dan berbeda nyata dengan perlakuan NPK standar dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPK 300 kg/ha, 450 kg/ha, 600 kg/ha,dan NPK majemuk setara NPK standar. Jumlah anakan terendah terdapat pada perlakuan kontrol. Pada umur 60 HST, perlakuan NPKS 600 kg/ha dan 750 kg/ha serta NPKS majemuk setara NPK standar memberikan jumlah anakan produktif yang tidak berbeda nyata dengan NPK standar. Jumlah anakan produktif tertinggi 13,7 terdapat pada perlakuan NPK standar. Jumlah anakan produktif berkisar antara 7,510,0. Jumlah anakan produktif terbanyak dicapai oleh perlakuan NPKS 600 kg/ha, tidak berbeda nyata dengan
HARTATIK DAN WIDOWATI: PUPUK MAJEMUK NPKS DAN NPK PADA PADI SAWAH
NPK standar. Peningkatan dosis NPKS hingga 750 kg/ha menurunkan jumlah anakan produktif. Jumlah anakan produktif terendah terdapat pada perlakuan kontrol. Jumlah anakan produktif pada umur 60 dan 90 HST menunjukkan pengaruh pemupukan NPK bertingkat (Tabel 10). Pemberian pupuk tunggal N, P dan K memberikan pengaruh yang hampir sama dengan pemupukan NPK majemuk pada dosis yang sama (300 kg NPK/ha). Pada umur 60 HST, jumlah anakan tidak menunjukkan pola tertentu, tetapi peningkatan dosis pupuk cenderung meningkatkan jumlah anakan. Pada 90 HST, semakin meningkat dosis pupuk semakin meningkat pula jumlah anakan. Jumlah anakan tertinggi diperoleh dari perlakuan NPK 750 kg/ha. Bobot Jerami dan Hasil Gabah Kering Pengaruh pupuk majemuk NPKS 15:15:15:5S terhadap komponen hasil disajikan pada Tabel 11. Bobot jerami kering berkisar antara 3,97-5,17 t/ha. Bobot jerami kering pada perlakuan NPK 300 kg/ha (4,43 t/ha) tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPK standar. Peningkatan dosis Tabel 10. Pengaruh pupuk NPK 15-15-15 terhadap jumlah anakan padi di Desa Galuga, Bogor, MK 2013.
NPK sampai 600 kg/ha memberikan bobot jerami kering tertinggi (5,17 t/ha) dan tidak berbeda nyata dengan NPK standar. Terjadi peningkatan bobot jerami kering 12% dibandingkan dengan NPK standar. Bobot jerami kering terendah terdapat pada perlakuan kontrol. Peningkatan dosis NPKS sampai 750 kg/ha menurunkan bobot jerami kering. Bobot jerami kering perlakuan NPK standar + hara S adalah 4,93 t/ha dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPK standar. Pemberian hara S menaikkan bobot jerami kering walau tidak nyata. Hasil gabah kering berkisar antara 3,6-4,8 t/ha, tertinggi pada perlakuan NPK standar + S. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman padi respon terhadap pemberian hara S pada tanah berstatus S rendah. Bobot gabah kering terendah terdapat pada perlakuan kontrol. Pemupukan NPKS 600 kg/ha nyata meningkatkan bobot gabah kering dibanding kontrol dan tidak berbeda nyata
Tabel 11. Pengaruh pupuk NPKS 15-15-15-5S (percobaan unit I) terhadap bobot jerami dan hasil gabah kering di Desa Galuga, Bogor, MK 2013.
Perlakuan
Bobot jerami kering (t/ha)
Bobot gabah kering (t/ha)
Bobot gabah 1.000 butir (g)
Nisbah gabah/ jerami (g)
27,1 28,01 28,18 28,8 29,39 28,39 28,10 26,55
0,91 1,02 1,05 0,97 1,02 0,90 0,89 0,90
Jumlah anakan (batang/rumpun) Perlakuan
Kontrol NPK standar NPK 150 NPK 300 NPK 450 NPK 600 NPK 750
60 HST
90 HST
10,5 13,5 11,5 13,0 11,9 12,2 13,5
9,0 12,7 11,2 12,0 12,0 12,3 14,3
c*) ab bc ab abc abc ab
c ab bc ab ab ab a
Kontrol NPK standar NPKS 150 NPKS 300 NPKS 450 NPKS 600 NPKS 750 NPK majemuk setara NPK standar NPK standar + Sulfur
3,97 4,63 3,70 4,43 4,33 5,17 5,03 4,87
bc*) abc c abc abc a a ab
4,93ab
3,63 4,70 3,90 4,30 4,40 4,67 4,47 4,40
b a ab ab ab a ab ab
4,80 a
bc abc ab a a ab abc cd
25,29 d
0,97
*) Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.
*) Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.
Gambar 1. Hubungan antara dosis pupuk majemuk NPKS dengan bobot gabah kering di Desa Galuga, Bogor, MK 2013.
Gambar 2. Hubungan antara dosis pupuk majemuk NPK dengan bobot gabah kering di Desa Galuga, Bogor, MK 2013.
181
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
dengan NPK standar dengan rasio gabah dan jerami 0,90. Terjadi peningkatan bobot gabah kering 29% dibanding kontrol. Bobot gabah 1.000 butir pada perlakuan NPKS 150–750 kg/ha tidak berbeda nyata dengan NPK standar. Penggunaan pupuk majemuk NPK 150, 300 dan 450 kg/ha memberikan rasio gabah dan jerami cukup tinggi, berturut-turut 1,05; 0,97 dan 1,02. Hubungan antara dosis pupuk majemuk NPKS dengan bobot gabah kering ditunjukkan oleh persamaan regresi kuadratik y = -2E-06 x2 + 0,003x + 3,5854 (R2 = 0,96). Peningkatan dosis pupuk NPKS sampai 450 kg/ha masih meningkatkan bobot gabah kering. Dosis maksimum pupuk NPKS adalah 750 kg/ ha. Dosis optimum (dihitung dari 80% dari dosis maksimum) pupuk NPKS adalah 600 kg/ha (Gambar 1). Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa peningkatan dosis pupuk NPKS tidak nyata diikuti oleh peningkatan bobot gabah kering, karena perlakuan pupuk NPKS tidak disertai dengan penambahan pupuk tunggal Urea. Setyorini dan Kasno (2008) melaporkan dosis optimum pupuk NPK majemuk 20:10:10 pada lahan sawah berstatus P dan K tanah sedang adalah 225 kg/ha, ditambah dengan 250 kg urea/ha. Takaran optimum pupuk NPK majemuk 25:9:9 pada lahan sawah berstatus P dan K tanah sedang adalah 290 kg/ha, ditambah dengan 140 kg urea/ha. Pemupukan NPKS dosis 300, 450 dan 600 kg/ha dengan formula NPKS 15:15:15:5S tanpa disertai pemupukan urea menyebabkan tanaman padi masih kekurangan hara N selama pertumbuhan . Berdasarkan perhitungan setara pupuk NPK standar maka pupuk NPKS formula 15:15:15:5S dengan dosis 300 kg/ha masih kekurangan hara N 150 kg urea/ha, namun kelebihan hara P sebesar 50 kg SP-36 dan 25 kg KCl/ha. Pemupukan NPKS 450 kg/ha menyebakan tanaman masih kekurangan hara N 100 kg urea/ha dan kelebihan 112,5 kg SP-36 dan 62,5 kg KCl/ha. Jika dosis pupuk NPKS ditingkatkan menjadi 600 kg/ha, tanaman juga masih kekurangan hara N 50 kg urea/ha dan kelebihan hara P 175 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha. Oleh karena itu, pemberian pupuk NPKS formula 15:15:15:5S perlu disertai dengan pupuk tunggal urea untuk memenuhi kebutuhan N tanaman. Di samping itu, pemupukan NPK majemuk perlu memperhatikan status hara P dan K tanah, sehingga tambahan pupuk P dan K pada tanah berstatus P dan K rendah bisa memenuhi kebutuhan hara P dan K tanaman padi agar berproduksi optimal. Bila tidak disertai penambahan urea maka dosis pupuk majemuk yang dibutuhkan lebih tinggi dan terjadi kelebihan pupuk P dan K yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan hara, walaupun residu pupuk P di tanah masih dapat dimanfaatkan tanaman. 182
Pemupukan NPK standar + S cenderung meningkatkan bobot gabah kering walaupun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan NPK standar. Hal ini menunjukkan pupuk S dibutuhkan tanaman padi jika tanah berstatus hara S rendah (Tabel 3). Pemupukan NPKS 600 kg/ha yang diperkaya S 5% memberikan bobot gabah kering yang lebih rendah dari NPK standar + S walaupun tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena S pupuk majemuk belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh tanaman. Kadar S 5% dalam pupuk majemuk NPK 300 kg/ha sebesar 15 S kg/ha seharusnya sudah dapat memenuhi kebutuhan S tanaman padi yang hanya 12 kg S untuk hasil gabah padi 6 t/ha. Bila jerami dikembalikan ke tanah pemupukan S cukup dengan takaran 6 kg S/ha (rasio gabah dan jerami 40:60) (Dobermann and Faihurst 2000). Tanaman padi tumbuh dengan baik dan memberikan respon terhadap pemupukan seperti tersaji pada Gambar 2. Hasil gabah kering berkisar antara 3,65,3 t GKG/ha. Angka ini termasuk sesuai pada jenis tanah dengan tingkat kesuburan sedang. Pemberian pupuk NPK 15-15-15 nyata efektif dan setara dengan pupuk standar dengan takaran 300, 450, 600, dan 750 kg/ha karena tidak berbeda nyata secara statistik. Bila mengacu pada data ini maka NPK 300 kg termasuk mencukupi dan setara dengan NPK standar (200 kg NPK + 183 kg urea). Putra (2012) melaporkan bahwa pemupukan dengan NPK 200 kg + urea 50 kg + pupuk daun 2 l/ha dapat meningkatkan hasil padi gogo varietas Situ Patenggang hingga 3,4 t/ha atau meningkat 58% dibandingkan dengan pupuk tunggal urea 200 kg, SP36 100 kg, dan KCl 50kg/ha. Berdasarkan perhitungan, untuk mendapatkan hasil optimum (80% dari maksimum) diperlukan pupuk majemuk NPK dengan takaran 550 kg/ha dan 440 kg/ha masing-masing untuk menghasilkan gabah 4,13 t/ha dan 4,12 t/ha. Penurunan dosis dari 550 kg ke 440 kg/ha hanya mengurangi hasil 10 kg, sehingga dosis NPK 440 kg/ha lebih memungkinkan untuk direkomendasikan sebelum mempertimbangkan faktor lainnya. Aplikasi N: P2O5: K2O dengan dosis 150: 75: 50 kg/ha memberikan bobot gabah kering yang tinggi, sedangkan aplikasi N: P2O5:K2O 150: 50: 50 kg/ha memberikan serapan P dan K yang tinggi pada padi hibrida (Kumar et al. 2005). Dalam penetapan rekomendasi pemupukan perlu memperhatikan kadar P dan K tanah. Pada tanah percobaan ini, kadar P tinggi dan K rendah, sehingga pemupukan dengan takaran 440 kg NPK/ha masing-masing dengan kadar N 66 kg N, P2O5 66 kg, dan K2O 66 kg tidak sesuai dengan kondisi tanah. Bobot kering jerami merupakan salah satu indikator efisiensi tanaman untuk mengalokasikan hasil fotosintesis ke bagian jerami dan biji. Idealnya, rasio
HARTATIK DAN WIDOWATI: PUPUK MAJEMUK NPKS DAN NPK PADA PADI SAWAH
jerami dan gabah adalah 1:1 (Tabel 12). Akan tetapi, dari penelitian ini diperoleh rasio jerami dan gabah <1, sehingga dapat dinyatakan bahwa padi varietas Ciherang yang digunakan sebagai tanaman indikator mempunyai efisiensi yang tinggi dalam alokasi hasil fotosintesis. Untuk mengetahui pengaruh pupuk terhadap kualitas hasil di antaranya melalui parameter bobot 1.000 butir, tidak berbeda nyata antar perlakuan. Bobot gabah kering pada perlakuan pupuk majemuk NPKS relatif sama dengan perlakuan NPK, namun rasio gabah dan jerami perlakuan NPKS lebih tinggi dari NPK. Dibandingkan dengan perlakuan NPK (Percobaan unit II), penambahan hara S sedikit meningkatkan bobot gabah kering, walaupun tidak nyata. Respon positif tanaman tidak selalu ditunjukkan oleh tanah yang berstatus S rendah (Sulaeman et al. 1984). Kebutuhan S tanaman berada dalam kisaran yang lebar, masing-masing tanaman mempunyai kebutuhan S yang spesifik dan bergantung pada fase pertumbuhannya (Dobermann and Fairhurst 2000).
kering sejalan dengan kadar hara S tanah awal yang rendah. Untuk pembentukan gabah diperlukan hara S yang berperan dalam pembentukan klorofil, protein serta fungsi dan metabolisme tanaman (Hawkesford 2012, Doberman et al. 1998). Serapan hara N, P, dan K tanaman pada penelitian unit II berbeda, bergantung pada jenis hara (Tabel 14). Hal ini sama dengan serapan hara N, P, dan K pada penelitian unit I. Serapan N tanaman berkisar antara 32,30-57,94 kg/ha, P 3,30-5,80 kg/ha, dan K 49,95-93,68 kg/ha. Serapan N dan K tertinggi terdapat pada perlakuan NPK standar, sedangkan serapan P tertinggi pada perlakuan NPK 600. Perlakuan NPK 600 memberikan hasil gabah lebih tinggi dibandingkan dengan NPK standar. Pemupukan NPK standar (250-50-75) yang setara dengan 112,5-18-27 kg N-P2O5-K2O/ha memberikan hasil gabah setara dengan NPK 600 yang setara dengan 9090-90 kg N-P2O5-K2O. Ketidaksimbangan terjadi karena tanaman padi pada tanah ini membutuhkan N
Serapan Hara N, P, K dan S Serapan hara N tanaman berkisar antara 30,28-48,27 kg/ ha, P 3,19-6,30 kg/ha, dan K 56,26-92,52 kg/ha. Serapan N, P dan K tertinggi dicapai oleh perlakuan pupuk NPKS dosis 750 kg/ha yang berbeda nyata dengan NPKS 150 kg/ha untuk serapan N dan K, serta NPKS dosis 300 kg/ ha untuk serapan P (Tabel 13). Hal sejalan dengan bobot kering gabah yang tinggi pada perlakuan pupuk NPKS 750 kg/ha. Serapan S berkisar antara 1,83-6,15 kg/ha. Serapan S tertinggi dicapai oleh perlakuan pupuk majemuk NPKS setara NPK standar yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPK standar, NPK standar + sulfur, dan pupuk majemuk NPKS 750 kg/ha. Pemberian pupuk NPK yang ditambah pupuk S memberikan serapan S dan bobot kering gabah yang tinggi, fenomena ini menunjukkan tanaman padi respon terhadap hara S untuk meningkatkan bobot gabah Tabel 12. Pengaruh pupuk NPK 15-15-15 (Unit II) terhadap bobot jerami dan gabah kering di Desa Galuga, Bogor, MK 2013.
Perlakuan
Kontrol NPK standar NPK 150 NPK 300 NPK 450 NPK 600 NPK 750
Berat 1.000 butir (g) 27,95 25,94 26,78 26,32 26,59 29,79 27,05
a*) a a a a a a
Jerami kering (t/ha)
Gabah kering (t/ha)
4,43 7,03 5,87 5,13 5,47 6,27 7,33
3,58 4,30 3,99 4,03 4,09 4,42 4,16
c a abc bc bc ab a
b ab b ab ab ab ab
Rasio gabah/ jerami 0,82 0,61 0,68 0,78 0,75 0,70 0,58
*) Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.
Tabel 13. Pengaruh pupuk NPKS 15-15-15-5S (Unit I) terhadap serapan hara N,P,K dan S pada Inceptisol Galuga, Bogor, MK 2013. Serapan hara (kg/ha) Perlakuan N Kontrol NPK standar NPKS 150 NPKS 300 NPK NPKS450 NPKS 600 NPKS 750 NPK majemuk setara NPK standar NPK standar + Sulfur
36,7 40,2 30,3 35,3 36,0 42,9 48,3 43,7
ab*) ab b ab ab ab a ab
40,5 ab
P
K
S
4,5 ab 4,5 ab 4,3 ab 3,2 b 5,6 ab 5,0 ab 6,3 a 5,4 ab
70,0 86,7 56,3 71,8 66,8 71,6 92,5 90,3
4,8 ab
89,9 a
ab ab b ab ab ab a a
1,8 e 5,4 ab 2,7 de 3,8 cd 4,2 bcd 4,1 bcd 5,1 abc 6,2 a 5,9 a
*) Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT. Tabel 14. Pengaruh pupuk NPK 15-15-15 (Unit II) terhadap serapan hara N, P dan K pada Inceptisol Galuga, Bogor, MK 2013. Serapan hara (kg/ha) Perlakuan N Kontrol NPK standar NPK 150 NPK 300 NPK 450 NPK 600 NPK 750
32,30 57,94 38,53 44,03 44,08 47,30 48,88
P c*) a c b b b b
3,30 4,93 4,93 5,16 5,76 5,80 5,30
K b ab ab a a a a
49,95 61,14 55,50 93,68 77,69 84,26 73,08
c bc c a b ab b
*) Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.
183
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
mendekati 100 kg, sedangkan hara P dan K tersedia lebih dari NPK majemuk. Kalium adalah unsur hara yang tergolong luxury consumption (Doberman et al. 1998), karena berapa pun tersedia dalam larutan tanah akan diserap oleh tanaman tanpa menimbulkan keracunan.
KESIMPULAN
Nilai Relatif Efektivitas Agronomi Perlakuan NPK standar + sulfur memberikan nilai RAE tertinggi, yaitu 109%. Berdasar nilai RAE maka perlakuan tersebut efektif meningkatkan bobot gabah kering. Nilai RAE terendah terdapat pada perlakuan NPKS 150 kg/ha. Hal ini menunjukkan pupuk NPKS dengan dosis 150 kg/ ha tidak efektif meningkatkan hasil tanaman padi. Perlakuan NPKS 600 kg/ha memberikan nilai RAE yang cukup tinggi, sebesar 100%. Peningkatan dosis pupuk menjadi 750 kg/ha justru menurunkan nilai RAE. Perlakuan NPKS 600 kg/ha efektif meningkatkan bobot gabah kering dari 3,63 t/ha menjadi 4,67 t/ha yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk NPK standar dan terjadi peningkatan bobot gabah kering 29% dibanding kontrol dengan nilai RAE sebesar 100% (Tabel 15). Nilai RAE pada penelitian ini berkisar antara 50% pada perlakuan NPK 15-15-15 dosis 150 kg/ha sampai 113% pada perlakuan NPK 15-15-15 dosis 600 kg/ha. Bila mengacu pada nilai RAE maka perlakuan NPK 15-15-15 dosis 600 kg/ha termasuk tertinggi, namun tidak
Tabel 15. Pengaruh pupuk NPKS 15-15-15-5S(Unit I) terhadap nilai relatif efektivitasagronomi di Desa Galuga, Bogor, MK 2013. Perlakuan Kontrol NPK standar NPKS 150 NPKS 300 NPK NPKS 450 NPKS 600 NPKS 750 NPK majemuk setara NPK standar NPK standar + Sulfur
sertamerta ditetapkan sebagai takaran rekomendasi terbaik, karena harus mempertimbangkan nilai B/C ratio (Tabel 16).
RAE (%) 100 25 63 72 100 79 72 109
1. Pupuk NPKS (15-15-15-5S) dengan dosis optimum 600 kg/ha efektif meningkatkan bobot gabah kering dari 3,63 t/ha menjadi 4,67 t/ha dan terjadi peningkatan bobot gabah kering 29% dibanding perlakuan kontrol dengan nilai RAE 100%. 2. Pupuk NPK (15-15-15) efektif meningkatkan pertumbuhan dan bobot gabah kering yang setara dengan NPK standar pada dosis 300 -750 kg /ha. Dosis optimum NPK 440 kg/ha ditunjukkan oleh capaian hasil gabah 4,12 t/ha dengan nilai RAE 58%. 3. Pupuk majemuk NPKS 750 kg/ha memberikan serapan N, P dan K tertinggi dan nyata meningkatkan P tersedia. Pupuk majemuk NPK dengan dosis 600 kg/ha memberikan serapan P tertinggi. 4. Pengkayaan pupuk majemuk NPKS formula 15-1515-5S dengan sulfur tidak nyata meningkatkan bobot gabah kering. 5. Penggunaan pupuk majemuk NPK perlu disertai dengan pemupukan urea untuk memenuhi kebutuhan hara N pada fase-fase pertumbuhan padi. Tanpa pupuk urea maka dosis pupuk majemuk NPK yang dibutuhkan akan lebih tinggi. Bila dosis pupuk NPK 15:15:15 sebesar 300 kg/ha perlu disertai dengan pemupukan urea 150 kg/ha atau bila dosis NPK 450 kg/ha perlu disertai pemupukan urea 100 kg/ha. 6. Pada tanah yang berstatus hara S rendah, tanaman padi membutuhkan pemupukan S. Kebutuhan hara S bagi tanaman padi dapat dipenuhi dari pupuk majemuk NPKS.
DAFTAR PUSTAKA Tabel 16. Pengaruh pupuk NPK 15-15-15-5 terhadap nilai relatif efektivitas agronomi di Desa Galuga, Bogor, MK 2013. Perlakuan Kontrol NPK standar NPK 150 NPK 300 NPK NPK 450 NPK 600 NPK 750
184
RAE (%) 100 50 43 58 113 76
Arafah dan M.P. Sirappa. 2003. Kajian penggunaan jerami dan pupuk N, P, dan K pada lahan sawah irigasi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 4(1):15-24. Al-Jabri, M. 2006. Penetapan rekomendasi pemupukan berimbang berdasarkan analisis tanah untuk padi sawah. Jurnal Sumberdaya Lahan 1(2):25-35. Bi, L., J. Xia, K. Liu, D. Li, and X. Yu. 2014. Effects of long-term chemical fertilization on trends of rice yield and nutrient use efficiency under double rice cultivation in subtropical China. Plant Soil Environ. 60(12): 537 -543.
HARTATIK DAN WIDOWATI: PUPUK MAJEMUK NPKS DAN NPK PADA PADI SAWAH
BPTP Kalbar. 2013. Uji aplikasi pupuk NPK Phonska pada padi sawah di desa Andeng Kecamatan Temila K abupaten Landak.http://kalbar.litbang.pertanian.go.id/ind/
Mengel, K. and E.A. Kirkby. 1982. Principles of plant nutrition. International Potash Institute. P.O. Box, CH-3048 WorblaufenBern/Switzerland.
Blair, G.J., Mamaril, C.P. Pangerang Umar, Momuat, E.O. and Momuat, C. 1979. Sulfur nutrition of rice. 1. A survey of soils of South Sulawesi, Indonesia. Agronomy Journal 71:473-477.
Peraturan Menteri Pertanian. 2011. Peraturan Menteri Pertanian No. 43/Permentan/SR.140/8/2011. Tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pupuk An-organik.Kementerian Pertanian.
Buntan, A. dan M. Rauf. 1995. Pengaruh pemberian belerang pada padi sawah di lahan beririgasi Aluvial takalar dan Latosol Sinjai. Agrikam 10(1):47-54.
Purnomo, J., D. Santoso, Heryad, dan S. Moersidi. 1992. Status belerang tanah-tanah sawah di Pulau Jawa. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah: Bidang Kesuburan dan Produktivitas Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. p.103-112.
Chien, S.H. 1996. Evalution of Gafsa (Tunisia) and Djebel Onk (Algeria) phosphate rocks and soil testing of phosphate rock for direct application.In Nutrient Management for Sustainable Crop Production in Asia, Bali, Indonesia, 9-12 December 1996, p.175-185. Dobermann, A., K.G. Cassman, C.P. Mamaril, and J.E. Sheehy. 1998. Management of phosphorus, potassium, and sulfur in intensive, irrigated lowland rice. Field Crops Research, Volume 56: 113–138. Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient disorder and nutrient management. International Rice Research Institute. Potash and Phosphate Institute (PPI). Potash and Phosphate Institute of Canada (PPIC). Dierolf, T., T. Fairhurst, and E. Mutert. 2000. Soil fertility Kit: a toolkit for acid upland soil fertility management in Southeast Asia. PPI & PPIC. Gomez, K.A., and A.A. Gomez. 1984. Statistical procedures for agriculture research. An International Rice Research Institute Book.John Wiley and Sons. Hartatik, W. 2000. Efisiensi pemupukan N, P, dan K untuk optimalisasi produktivitas padi sawah intensifikasi. Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Buku II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. p. 105-121.
Pusat Penelitian Tanah. 1993. Penilaian Angka-angka Hasil Analisa Tanah. Bogor. Putra, S. 2012. Pengaruh pupuk NPK tunggal, majemuk dan pupuk daun terhadap peningkatan produksi padi gogo varietas Situ Patenggang. AGROTROP 2(1):55-61. Samira, D, Sufardi, Zaitun, Chairunas, A. Gani, P. Slavich, and M. Mcleod. 2012. Effect of NPK fertilizer and biochar residue on paddy growth and yield of second planting. The Proceedings of The 2nd Annual International Conference Syiah Kuala University 2012 and The 8th MT-GT Uninet Biosciences Conference. Banda Aceh. p.157-161. Setyorini, D. dan A. Kasno. 2008. Neraca hara N, P, dan K, pada tanah Inceptisols dengan pupuk majemuk untuk tanaman padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27(23):141-147. Setyorini, D., L.R. Widowati, dan S. Rochayati. 2004. Teknologi pengelolaan hara lahan sawah intensifikasi. Dalam: Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. p.137-167. Setyorini, D., D.A. Suriadikarta, dan Nurjaya. 2010. Rekomendasi pemupukan padi di lahan sawah bukaan baru. Dalam: Tanah Sawah Bukaan Baru. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. p.77-106.
Hartatik, W. dan J. Sri Adiningsih. 2003. Evaluasi rekomendasi pemupukan NPK pada lahan sawah yang mengalami pelandaian produktivitas (levelling off). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim. Bogor, 14-15 Oktober 2003: 17-36.
Sofyan, A., Nurjaya, dan A. Kasno. 2004. Status hara tanah sawah untuk rekomendasi pemupukan. Dalam: Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Hawkesford, M. 2012. In L.J. De Kok et al. (Eds.) Sulfur metabolism in plants: Mechanisms and application to food security, and responses to climate change. Proc. Int. Plants S Workshop, Springer Netherlands. pp.11 -24.
Sulaeman, M., S. Soepartini, dan M. Sudjadi. 1984. Hubungan antara kadar belerang tersedia dalam tanah dengan respon tanaman padi sawah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 3:2026.
Kumar, S.K., R. Nagarajan, S.K. Natarajan, D. Jawahar, and B.J. Pandan. 2005. NPK fertilizers for Hybrid Rice (Oryza Sativa L.) Productivity in Alfisols of Southern Districts of Tamil Nadu. Asian J. Plant Sci. 4(6): 574 -576.
Widowati, L.R., dan Sri Rochayati. 2003. Identifikasi kahat hara S, Ca, Mg, Cu, Zn dan Mn pada tanah sawah intensifikasi. Prosiding Kongres Nasional VIII Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (BUKU 2).
Lunde, C., A. Zygadlo, H.T. Simonsen, P.L. Nielsen, A. Blennow, and A. Haldrup. 2008. Sulfur starvation in rice: the effect on photosynthesis, carbohydrate metabolism, and oxidative stress. Physiologia Plantarum 134: 508-512.
Widowati, L.R., Sri Rochayati, S. Dwiningsih, dan J. Sriadiningsih. 2004. Pengaruh berbagai sumber dan takaran P serta kapur pada tanah sulfat masam potensial Tabunganen - Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumber Daya Tanah dan Iklim (BUKU II).
Machay, A.D.J.K. Syers, and P.E.H. Gregg. 1984. Ability of chemical extraction procedures to assess the agronomic effectiveness of phosphate rock material. New Zealand Journal of Agricultural Research 27:219-230. Machay, A.D., J.K. Syers and P.E.H. Gregg. 1984. Ability of chemical extraction procedures to assess the agronomic effectiveness of phosphate rock material. New Zealand Journal of Agricultural Research 27: 219-230.
Widowati, L.R. dan S. Rochayati. 2008. Pengelolaan hara untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah bukaan baru di Harapan Masa-Tapin Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Yun Jin. Ji, Ronggui Wu, and Rongle Liu. 2002. Rice production and fertilization in China. Better Crops International – IPNI. Vol.16. Special Supplement.
185
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
186
USYATI ET AL.: PREDATOR VERANIA LINEATA THURBERG PADA PADI TRANSGENIK
Perkembangan Pradewasa dan Kemampuan Hidup Predator Verania lineata Thurnberg (Coleoptera: Coccinellidae) pada Tanaman Padi Varietas Rojolele Transgenik Larvae Development and Survival of Predatoral Insect Verania lineata on the Transgenic Rojolele Rice Variety N. Usyati1, Damayanti Buchori2, Syafrida Manuwoto2, Purnama Hidayat2, dan Inez H. Slamet-Loedin3 1 Peneliti Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9-Sukamandi, Subang 41256, Jawa Barat. Telp. 08159816014 E-mail:
[email protected] 2 Pengajar Pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB Jl. Kamper, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680, Jawa Barat. Telp. 08121105362; 081381212995; 08121110303 E-mail:
[email protected];
[email protected] 3 Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong-Bogor Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong 16911, Bogor-Jawa Barat. Telp. 08128016681 E-mail:
[email protected]
Naskah diterima 29 September 2014 dan disetujui diterbitkan 1 September 2015
ABSTRACT. The use of transgenic varieties on the agricultural production system may provide some agronomical benefits. However, uses of transgenic variety have raised some debates about their potential negative impact on the environment, such as on the decreasing of natural enemies. To study the impact of transgenic variety to the natural enemies, study was conducted on larvae development, and the survival of predatoral insect (V. lineata) on the transgenic Rojolele rice variety. Test was conducted at the laboratory of Molecular Biology, Research Centre for Biotechnology of Indonesian Institute of Science, from January to October 2009. Completely randomized design with 8 treatments and 30 replications were employed. The treatments were transgenic Rojolele rice as follow: 4.2.3-28-15-2-7 and 4.2.4-21-8-16-4 lines contained fusion of two cry genes (cryIB-cryIAa). The 3R9-8-2826-2 and 3R7-8-15-2-7 lines contained mpi::cryIB gene, the T96.11-420 line contained cryIAb gene obtained by particle bombardment, DTcry (azygous) is a segregate and does not contain cry gene (null), DTcry-13 line contained cryIAb gene by Agrobacterium, and non transgenic rice (Rojolele variety). Results showed that there were differences of larvae development and survival of insect predator V. lineata fed on the among transgenic rice lines. On transgenic line T9-6.11-420 and on DTcry-13 line the life time, developmental stages, the number eclosion of adult female, adult insect weight, and survival of the preimaginal and the adult of insect predator were consistently low. On the transgenic line 4.2.3-28-15-2-7; 3R9-8-28-26-2; and 3R7-8-15-2-7 each had no consistent effect on the larvae development and the survival of insect predator. DTcry (azygous) line had no effect on the larvae development and the survival of insect predator. Whereas transgenic line 4.2.4-21-8-16-4 had an effect on the adult weight of insect predator. Keywords: Rojolele rice, transgenic, predator V. lineata.
ABSTRAK. Penggunaan varietas transgenik dalam sistem produksi pertanian memberikan beberapa keuntungan, namun tanaman transgenik sering diperdebatkan, tentang pengaruh negatifnya terhadap lingkungan, terutama terhadap musuh alami. Untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh penanaman varietas transgenik terhadap musuh alami, dilakukan penelitian perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi varietas Rojolele transgenik di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong, Bogor, dari bulan Januari sampai Oktober 2009. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, delapan perlakuan dan 30 ulangan. Perlakuan meliputi galur padi Rojolele transgenik, yaitu galur 4.2.328-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa), galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry (azygous) yaitu segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry (null), dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman padi varietas Rojolele nontransgenik. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata antargalur padi Rojolele transgenik. Pada galur transgenik T9-6.11-420 dan DTcry-13, lama perkembangan, keberhasilan dalam mencapai tahap akhir setiap stadium perkembangan, kemunculan imago betina, berat imago, dan kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata konsisten rendah dibandingkan dengan padi varietas Rojolele nontransgenik. Pada galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi), 3R9-8-28-26-2 (mpi), dan 3R7-8-15-2-7 (mpi), perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata tidak konsisten. Pada galur DTcry (azygous), perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.421-8-16-4 (fusi) hanya berpengaruh terhadap berat imago predator V. lineata. Kata kunci: Padi Rojolele, transgenik, predator V. lineata.
187
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
PENDAHULUAN Penggunaan tanaman transgenik dalam sistem produksi pertanian memberikan beberapa keuntungan, diantaranya mengurangi penggunaan insektisida konvensional yang berspektrum luas, menekan perkembangan hama target, meningkatkan hasil, mengurangi biaya produksi untuk meningkatkan keuntungan, dan meningkatkan kesempatan untuk pengendalian secara biologi (Naranjo 2005). Namun tanaman transgenik masih diperdebatkan, terutama pengaruhnya terhadap lingkungan. Isu yang sering menjadi perdebatan adalah pengaruhnya terhadap biodiversitas, terutama organisme bukan sasaran, termasuk serangga herbivor bukan sasaran, musuh alami, dan mikrobiota tanah. Isu lainnya adalah serangga yang berkembang menjadi tahan dan perpindahan gen yang diinsersikan dari tanaman ke tanaman liar atau gulma (Fontes et al. 2002; Naranjo 2005). Musuh alami seperti predator dan parasitoid adalah regulator populasi hama. Kemampuan hidup musuh alami bergantung pada suplai serangga inang (hama). Artinya, berkurangnya jumlah hama yang makan pada tanaman transgenik akan mempengaruhi kerapatan populasi musuh alami (O’Callaghan et al. 2005). Tanaman transgenik dapat mempengaruhi musuh alami melalui tiga cara yaitu: (1) langsung makan pada jaringan tanaman transgenik seperti polen, akar; (2) makan pada inang yang makan pada tanaman transgenik; dan (3) melalui pengurangan populasi inang (Losey et al. 2004; O’Callaghan et al. 2005). Menurut Dutton et al. (2003) dan Fontes et al. (2002), pengaruh tanaman transgenik terhadap musuh alami dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung disebabkan oleh pengaruh toxin secara langsung terhadap musuh alami. Pengaruh tidak langsung terjadi karena reduksi dari jumlah dan kualitas inang atau mangsa dan secara tidak sengaja introgresi gen menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimia tanaman, sehingga tanaman tidak menarik untuk dikunjungi musuh alami. Coleoptera penting dalam penelitian agroekologi karena jumlah spesiesnya besar, distribusinya kosmopolitan, dan berperan sebagai agen pengendali hayati. Coleoptera seperti kumbang Coccinellid selain sebagai predator juga makan polen tanaman dan nektar bunga. Kegunaannya sebagai makanan alternatif yang penting untuk potensi reproduksi Coccinellid dan untuk bertahan hidup ketika makanan utamanya jarang. Dalam pertanian, kumbang Coleoptera penting karena sebagai spesies indikator kunci yang digunakan untuk memonitor perubahan ekologi atau lingkungan, termasuk biodiversitas (Ferry et al. 2007).
188
Banyak studi agroekologi yang telah mencoba menentukan pengaruh tanaman transgenik terhadap predator dari ordo Coleoptera maupun predator dari ordo lain, namun hasilnya berbeda-beda dan tidak konsisten, bergantung pada jenis predatornya. Pilcher et al. (1997) melaporkan tidak ada pengaruh negatif dari polen tanaman transgenik (protein cryIAb) terhadap perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator Coleomegilla maculata DeGeer (Coleoptera: Coccinellidae), Orius insidiosus Say (Heteroptera: Anthocoridae), dan Chrysoperla carnea Stephens (Neuroptera: Chrysopidae). Ferry et al. (2007) juga melaporkan bahwa tanaman yang mengandung gen Bt cry3A tidak berpengaruh negatif terhadap reproduksi dan aktivitas kumbang Harmonia axyridis (Coleoptera: Coccinellidae) dan Nebria brevicollis (Coleoptera: Carabidae). Hilbeck et al. (1998) mengamati mortalitas larva C. carnea yang memangsa Ostrinia nubilalis dan Spodoptera littoralis pada tanaman jagung Bt dan nonBt. Mereka menemukan persentase mortalitas larva C. carnea yang memangsa O. nubilalis yang diperbanyak pada tanaman jagung Bt lebih tinggi (62%) daripada mortalitas larva predator pada jagung non-Bt (37%). Hal serupa tidak terjadi pada C. carnea yang memangsa S. littoralis, baik pada tanaman jagung Bt maupun non-Bt. Dutton et al. (2002) melaporkan bahwa C. carnea yang makan Tetranychus urticae yang mengandung toxin cryIAb atau yang makan Rhopalosiphum padi yang tidak mencerna toxin tidak mempengaruhi kemampuan hidup, perkembangan, atau berat C. carnea. Sebaliknya, secara nyata meningkatkan mortalitas dan memperlambat perkembangan predator C. carnea ketika makan S. littoralis. Di Indonesia, studi mengenai pengaruh tanaman transgenik khususnya tanaman padi transgenik terhadap predator V. lineata belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada tanaman padi Rojolele transgenik.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong, Bogor, pada bulan Januari-Oktober 2009. Serangga uji yang digunakan adalah predator V. lineata dan wereng cokelat. Imago predator V. lineata diambil dari pertanaman padi yang sedang berbunga di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Selanjutnya imago predator V. lineata dipelihara pada tanaman padi
USYATI ET AL.: PREDATOR VERANIA LINEATA THURBERG PADA PADI TRANSGENIK
varietas Ciherang di rumah kaca Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, di Sukamandi, sampai bertelur dan kembali menghasilkan keturunan baru (generasi ke-2). Telur yang dihasilkan imago predator V. lineata generasi ke-2 ini selanjutnya dibagi dua, sebagian digunakan untuk perbanyakan dan sebagian lagi untuk pengujian. Imago wereng cokelat diambil dari pertanaman padi di Cibinong, Bogor. Selanjutnya imago wereng cokelat dipelihara pada tanaman padi varietas Rojolele di rumah kaca Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI, Cibinong, Bogor, sampai bertelur dan kembali menghasilkan keturunan baru (generasi ke-2). Nimfa instar-2 wereng cokelat generasi ke-2 ini digunakan untuk pakan predator V. lineata dalam pengujian. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan delapan perlakuan dan 30 ulangan. Perlakuan meliputi: A = Rjl trans galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi), B = Rjl trans galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi), C = Rjl trans galur 3R98-28-26-2 (mpi), D = Rjl trans galur 3R7-8-15-2-7 (mpi), E = Rjl trans galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan), F = galur DTcry (azygous), G = Rjl trans galur DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium), H = varietas Rojolele (kontrol). Penelitian menggunakan metode Pilcher et al. (1997). Tahap-tahap pengujian adalah sebagai berikut: larva instar-1 predator V. lineata ditempatkan pada tabung gelas berukuran 3 cm x 20 cm. Ke dalam tabung gelas tersebut dimasukkan polen dan anter sesuai perlakuan, wereng cokelat instar-2, madu, dan air sebagai pakan predator. Polen dan anter yang diberikan sebagai pakan instar-1 dan 2 adalah 0,01 g; untuk instar3, 4, dan imago masing-masing 0,02 g; 0,03 g; dan 0,04 g. Banyaknya wereng coklat yang diberikan adalah lima ekor untuk setiap perlakuan. Madu diberikan melalui kapas basah yang dicelupkan pada larutan madu 10%, dan air diberikan dalam bentuk kapas basah yang dicelupkan dalam air. Pergantian pakan dilakukan setiap dua hari sekali.
Tabel 1.
Pengamatan perkembangan predator V. lineata dilakukan setiap hari mulai dari instar-1 sampai imago mati. Parameter yang diamati adalah: (1) lama perkembangan pada setiap stadia perkembangan; (2) individu yang gagal mencapai perkembangan; (3) individu yang berhasil mencapai perkembangan; (4) imago jantan yang muncul; (5) imago betina yang muncul; (6) berat imago total; (7) berat imago jantan; (8) berat imago betina; (9) kemampuan hidup pradewasa; dan (10) kemampuan hidup dewasa. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisis ragam (ANOVA) dan perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji berganda Duncan pada taraf nyata 5% menggunakan program SAS (1990).
HASIL DAN PEMBAHASAN Lama Perkembangan Predator V. lineata Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan lama perkembangan predator V. lineata pada setiap stadium perkembangan antargalur padi Rojolele transgenik. Perbedaan mulai terlihat pada stadium perkembangan instar-2 sampai imago (Tabel 1). Lama perkembangan predator V. lineata dari instar3 sampai imago pada galur transgenik T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) dan DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium) konsisten nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik (P=0,0001). Pada galur transgenik 4.2.3-28-15-2-7 (fusi), 3R9-8-28-26-2 (mpi), dan 3R7-8-15-2-7 (mpi), lama perkembangan predator V. lineata pada setiap stadium tidak konsisten. Sebaliknya, perkembangan predator V. lineata mulai instar-1 sampai imago (kecuali pada stadia pupa) pada galur transgenik 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) dan DTcry (azygous) terlihat konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan varietas nontransgenik (Tabel 1).
Rata-rata lama perkembangan predator V. lineata pada tujuh galur padi transgenik dan Rojolele nontransgenik (kontrol), pada berbagai stadia perkembangan predator. Cibinong, Bogor, Januari-Oktober, 2009. Rata-rata lama perkembangan ± SE (hari)*
Galur/varietas Instar-1 Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DTcry (azygous) Rjl trans DTcry-13 (cryIAb) Rojolele (kontrol)
2,00 2,40 2,17 2,30 2,67 2,37 2,43 2,17
± 0,00 d ± 0,09 bc ± 0,07 cd ± 0,09 bc ± 0,12 a ± 0,09 bc ± 0,09 ab ± 0,07 cd
Instar-2 3,43 3,87 4,90 3,67 3,27 4,40 3,13 3,87
± 0,35 de ± 0,13 abcd ± 0,19 a ± 0,26 bcde ± 0,25 cde ± 0,15 ab ± 0,29 e ± 0,08 abc
Instar-3 2,53 ± 0,38 cd 2,83 ± 0,24 abc 2,20 ± 0,18 bcd 2,90 ± 0,36 bc 1,93 ± 0,33 d 3,07 ± 0,22 ab 1,73 ± 0,23 d 3,43 ± 0,10 a
Instar-4 3,80 6,70 9,17 5,73 5,50 8,27 6,13 8,77
± 0,59 c ± 0,64 ab ± 1,41 ab ± 0,87 bc ± 1,12 c ± 0,82 ab ± 1,51 c ± 0,44 a
Pupa 3,33 ± 0,67 b 2,73 ± 0,31 b 3,63 ± 1,15 bc 2,93 ± 0,57 bc 1,37 ± 0,39 c 2,87 ± 0,35 b 1,43 ± 0,42 c 5,50 ± 0,64 a
Imago 23,37 ± 7,02 a 25,10 ± 5,58 a 2,50 ± 0,82 b 10,07 ± 2,89 a 1,73 ± 0,59 b 20,53 ± 6,19 a 4,30 ± 2,92 b 21,23 ± 6,07 a
Total 38,47 ± 7,85 bc 43,63 ± 6,02 ab 24,57 ± 3,02 bc 27,60 ± 4,07 bc 16,47 ± 2,18 c 41,50 ± 6,74 ab 19,17 ± 4,14 c 44,97 ± 6,29 a
*
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
189
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
transgenik T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) dan DTcr y-13 (cr yIAb melalui Agrobacterium) konsisten nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik (P=0,0001). Keberhasilan perkembangan predator V. lineata pada setiap stadium pada galur transgenik 4.2.328-15-2-7 (fusi), 3R9-8-28-26-2 (mpi), dan 3R7-8-15-2-7 (mpi) terlihat tidak konsisten. Pada galur transgenik 4.2.421-8-16-4 (fusi) dan DTcry (azygous), predator V. lineata yang berhasil berkembang secara konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik.
Predator V. lineata yang Gagal Berkembang Pada setiap stadium perkembangan terlihat predator V. lineata yang gagal berkembang pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) dan DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium) konsisten nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik (P=0,0001). Pada galur transgenik 4.2.3-28-15-2-7 (fusi), 3R9-8-28-26-2 (mpi), dan 3R7-8-15-2-7 (mpi), predator V. lineata yang gagalberkembang pada setiap stadium terlihat tidak konsisten. Sebaliknya, pada galur transgenik 4.2.4-21-816-4 (fusi) dan DTcry (azygous), predator V. lineata yang gagal berkembang konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik (Tabel 2).
Imago Predator V. lineata yang Muncul Persentase imago predator V. lineata jantan yang muncul pada semua padi Rojolele transgenik, kecuali pada galur DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik (P=0,0640). Sebaliknya, persentase imago predator V. lineata betina yang muncul berbeda nyata antarpadi Rojolele transgenik (P=0,0105). Pada galur transgenik DTcr y-13 (cr yIAb melalui Agrobacterium), T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan), dan 3R9-8-28-26-2 (mpi), imago predator
Predator V. lineata yang Berhasil Berkembang Terdapat perbedaan keberhasilan predator V. lineata dalam mencapai setiap stadium perkembangan antargalur padi Rojolele transgenik. Perbedaan perkembangan ini mulai terlihat pada stadium instar-1 sampai imago (Tabel 3). Pada setiap stadium perkembangan terlihat predator V. lineata yang berhasil berkembang pada galur
Tabel 2. Persentase individu predator V. lineata yang gagal mencapai perkembangan pada tujuh galur padi transgenik dan Rojolele nontransgenik (kontrol), pada berbagai stadia perkembangan predator. Cibinong, Bogor, Januari-Oktober, 2009. Individu predator yang berhasil ± SE (%)* Galur/varietas Instar-1 Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DTcry (azygous) Rjl trans DTcry-13 (cryIAb) Rojolele (kontrol)
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
± ± ± ± ± ± ± ±
Instar-2
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
a a a a a a a a
Instar-3
33,33 ± 8,75 a 3,33 ± 3,33 cd 10,00 ± 5,57 bcd 20,00 ± 7,43 abc 30,00 ± 8,51 a 3,33 ± 3,33 cd 26,67 ± 8,21 ab 0,00 ± 0,00 d
Instar-4
36,67 ± 8,95 ab 3,33 ± 3,33 d 16,67 ± 6,92 bcd 33,33 ± 8,75 abc 50,00 ± 9,28 a 13,33 ± 6,31 cd 50,00 ± 9,28 a 6,67 ± 4,63 d
36,67 26,67 70,00 46,67 66,67 20,00 70,00 16,67
Pupa
± ± ± ± ± ± ± ±
8,95 8,21 8,51 9,26 8,75 7,43 8,51 6,92
bc bc a ab a c a c
Imago
40,00 30,00 73,33 46,67 70,00 26,67 80,00 23,33
± ± ± ± ± ± ± ±
9,09 8,51 8,21 9,26 8,51 8,21 7,43 7,85
c c a bc ab c a c
40,00 30,00 73,33 46,67 70,00 26,67 80,00 23,33
± ± ± ± ± ± ± ±
9,09 8,51 8,21 9,26 8,51 8,21 7,43 7,85
c c a bc ab c a c
*
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Tabel 3. Persentase individu predator V. lineata yang berhasil mencapai perkembangan pada tujuh galur padi transgenik dan Rojolele nontransgenik (kontrol) pada berbagai stadia perkembangan predator. Cibinong, Bogor, Januari-Oktober, 2009. Individu predator yang berhasil ± SE (%)* Galur/varietas Instar-1 Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DTcry (azygous) Rjl trans DTcry-13 (cryIAb) Rojolele (kontrol) *
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Instar-2 ± ± ± ± ± ± ± ±
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
a a a a a a a a
66,67 ± 8,75 d 96,67 ± 3,33 ab 90,00 ± 5,57 abc 80,00 ± 7,43 bcd 70,00 ± 8,51 d 96,67 ± 3,33 ab 73,33 ± 8,21 cd 100,00 ± 0,00 a
Instar-3 63,33 96,67 83,33 66,67 50,00 86,67 50,00 93,33
± ± ± ± ± ± ± ±
Instar-4 8,95 3,33 6,92 8,75 9,28 6,31 9,28 4,63
cd a abc bcd d ab d a
63,33 73,33 30,00 53,33 33,33 80,00 30,00 83,33
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
190
± ± ± ± ± ± ± ±
Pupa 8,95 ab 8,21 ab 8,51 c 9,26 bc 8,75 c 7,43 a 8,51 c 6,92 a
60,00 70,00 26,67 53,33 30,00 73,33 20,00 76,67
Imago ± ± ± ± ± ± ± ±
9,09 a 8,51 a 8,21 c 9,26 ab 8,51 bc 8,21 a 7,43 c 7,85 a
60,00 70,00 26,67 53,33 30,00 73,33 20,00 76,67
± ± ± ± ± ± ± ±
9,09 a 8,51 a 8,21 c 9,26 ab 8,51 bc 8,21 a 7,43 c 7,85 a
USYATI ET AL.: PREDATOR VERANIA LINEATA THURBERG PADA PADI TRANSGENIK
80.00 Jantan
50.00
ab
a
0.0070
ab ab
40.00 30.00 20.00
0.0080 a
60.00
Rata-rata berat imago (g)
Imago yang muncul (%)
70.00
a
0.0090
Betina
b ab
a
b
a ab ab
ab
10.00
b ab b
a
0.0060 0.0050 b
b
0.0040 0.0030
b b
0.00
1
2
3
4
5
6
7
0.0020
8
b
b
0.0010
Perlakuan 1 = Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) 2 = Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) 3 = Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) 4 = Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) 5 = Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) 6 = DT cry (Azygous) 7 = Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) 8 = Rojolele
0.0000 Perlakuan Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi)
*
Huruf yang sama pada warna diagram yang sama pada masingmasing perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous)
Gambar 1. Persentase imago predator V. lineata yang muncul pada tujuh galur padi Rojolele transgenik dan nontransgenik (kontrol). Cibinong, Bogor, Januari-Oktober 2009.
Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele (kontrol) *
Huruf yang sama pada warna diagram yang berbeda pada masingmasing perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT. Gambar 2. Rata-rata berat (g) imago predator V. lineata (total jantan dan betina) yang muncul pada tujuh galur padi Rojolele transgenik dan nontransgenik (kontrol). Cibinong, Bogor, Januari-Oktober 2009. 0.0060
a 0.0050
Berat Imago Predator V. lineata Semua galur padi Rojolele transgenik berpengaruh terhadap berat imago predator V. lineata. Hal ini terlihat pada berat total, berat imago jantan dan betina pada semua galur padi Rojolele transgenik yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik (P=0,0001; P=0,0004; P=0,0002). Namun antargalur padi Rojolele transgenik tidak terlihat perbedaan berat imago. Kisaran berat imago total, berat imago jantan, dan berat imago betina pada padi Rojolele transgenik masing-masing 0,0018-0,0040 g; 0,0002-0,0018 g; dan 0,0009-0,0023 g. Kisaran berat imago total, berat imago jantan, dan berat imago betina pada galur DTcry (azygous) dan varietas Rojolele nontransgenik masingmasing adalah: 0,0066-0,0088 g; 0,0014-0,0042 g; dan 0,0046-0,0051 g (Gambar 2 dan 3).
a a
Rata-rata berat imago (g)
V. lineata betina yang muncul nyata lebih rendah (1013,33%) dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik (40%). Pada galur transgenik 3R7-8-15-27 (mpi), 4.2.4-21-8-16-4 (fusi), 4.2.3-28-15-2-7 (fusi), dan DTcry (Azygous) tidak terlihat perbedaan persentase imago predator V. lineata betina yang muncul dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik. Tingkat kemunculan imago predator V. lineata betina berkisar antara 26,67-43,33% (Gambar 1).
0.0040
0.0030
b b
0.0020
b
b
b
b
b
b b
0.0010
b
b b
b
0.0000 Jantan
Betina Jenis kelamin
Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi)
Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi)
Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi)
Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi)
Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb)
DT cry (Azygous)
Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb)
Rojolele (kontrol)
*
Huruf yang sama pada warna diagram yang berbeda pada masingmasing perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT. Gambar 3. Rata-rata berat (g) imago predator V. lineata jantan dan betina yang muncul pada tujuh galur padi Rojolele transgenik dan nontransgenik (kontrol). Cibinong, Bogor, Januari-Oktober 2009.
191
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Kemampuan Hidup Predator V. lineata
192
a
a
60
a
a a
a
70
a
a ab
Kemampuan hidup (%)
Berdasarkan hasil analisis terlihat perbedaan kemampuan hidup predator V. lineata, baik pada pradewasa maupun dewasa, antargalur padi Rojolele transgenik (Gambar 4). Pada galur transgenik DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium), T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan), dan 3R9-8-28-26-2 (mpi), kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik (P=0,0001). Hal ini menunjukkan padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium), T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan), dan 3R9-8-28-26-2 (mpi) berpengaruh terhadap kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata. Pada galur transgenik 3R7-8-15-2-7 (mpi), 4.2.4-21-8-16-4 (fusi), galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi), dan DTcry (azygous) tidak terlihat perbedaan kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik (Gambar 4). Secara keseluruhan terlihat perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata berbeda antargalur padi Rojolele transgenik. Pada galur transgenik T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) dan DTcr y-13 (cr yIAb melalui Agrobacterium), lama perkembangan, keberhasilan mencapai setiap stadium perkembangan, kemunculan imago betina, berat imago, dan kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata konsisten lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik. Perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada galur transgenik 4.2.3-28-15-2-7 (fusi), 3R9-8-28-26-2 (mpi), dan 3R7-8-15-2-7 (mpi) tidak konsisten. Pada galur DTcry (azygous), perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik. Sebaliknya, padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-164 (fusi) hanya berpengaruh terhadap berat imago predator V. lineata. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan tidak semua padi Rojolele transgenik berpengaruh terhadap perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata. Selain itu, pada padi Rojolele transgenik yang menunjukkan pengaruh terhadap perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata diduga bukan disebabkan oleh toxin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan spesifikasi kristal protein gen yang digunakan. Pada penelitian ini, gen yang digunakan adalah gen cryIAb, fusi dua gen cry (cryIBcryIAa), dan gen mpi::cryIB yang spesifik untuk Lepidoptera, dan tidak spesifik untuk Coleoptera (Coccinellidae) seperti V. lineata.
80
ab
50 40
30
bc
c
c
bc
c
20
c
10
0 Pradewasa
Dewasa Stadia perkembangan Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous) Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele (kontrol)
*
Huruf yang sama pada warna diagram yang berbeda pada masingmasing perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT. Gambar 4. Persentase kemampuan hidup predator V. lineata pada tujuh galur padi Rojolele transgenik dan nontransgenik (kontrol), pada stadia pradewasa dan dewasa. Cibinong, Bogor, Januari-Oktober 2009.
Faktor utama yang menentukan kisaran inang kristal protein adalah perbedaan pH pada midgut larva yang mempengaruhi proses kelarutan (solubilization) dan pengubahan kristal yang tidak aktif menjadi aktif, dan lokasi penempelan (binding site) yang spesifik dari protoxin dalam sistem pencernaan serangga (Lereclus et al. 1993; Bahagiawati 2005; Manyangarirwa et al. 2006). Nilai pH pada midgut Coleoptera (Coccinellidae) adalah 6 pada larva dan 5,5 pada imago (Walker et al. 1998), sementara pH pada midgut Lepidoptera berkisar antara 8-10 (Nation 2002). Enzim protease pada midgut Coleoptera terutama adalah cystein dan protease aspartat, sementara pada Lepidoptera adalah protease serin (Evans 2002). Dengan kondisi midgut pada Coleoptera (Coccinellidae) yang bersifat asam dan enzim protease yang berbeda maka protoxin tidak larut dan tidak berubah menjadi toxin aktif (Manjunath 2005). Selain itu, pada Coleoptera (Coccinellidae) seperti V. lineata tidak ada lokasi penempelan yang spesifik (receptor) dari protoxin tersebut.
USYATI ET AL.: PREDATOR VERANIA LINEATA THURBERG PADA PADI TRANSGENIK
Adanya pengaruh padi Rojolele transgenik terhadap perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata diduga disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, gen untuk protein B. thuringiensis dimodifikasi untuk meningkatkan tingkat ekspresi pada tanaman. Modifikasi ini mempengaruhi tingkat ekspresi B. thuringiensis dan cara pengiriman pada tanaman, sehingga ada potensi tanaman transgenik B. thuringiensis mempengaruhi serangga nonLepidoptera. Selain itu, karena modifikasi protein ini mungkin predator tidak mau makan polen yang mengandung protein B. thuringiensis karena kecocokan polen sebagai sumber makanan telah berubah (Pilcher et al. 1997). Alasan bahwa gen untuk protein B. thuringiensis dimodifikasi untuk meningkatkan tingkat ekspresi pada tanaman, karena jika urutan gen lengkap yang mengkode protoxin diklon dan disisipkan ke dalam tanaman maka aras ekspresi protoxin sangat rendah (sekitar 0,0001% ng/mg protein total), sehingga menjadi tidak efektif memberikan perlindungan terhadap tanaman. Oleh karena itu, yang dilakukan kemudian adalah mengklon dan mengekspresikan sebagian gen protoxin, yaitu hanya bagian ujung-N protein yang mengandung urutan toxin yang aktif. Molekul toxin yang dihasilkan dalam tanaman transgenik dapat mencapai aras 0,01% protein total, sehingga meningkatkan ketahanan terhadap serangga hama. Ekspresi protein toxin B. thuringiensis dalam tanaman transgenik masih lebih rendah dibanding aras ekspresi protein rekombinan yang lain. Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu: (1) faktor penggunaan kodon yang berbeda antara bakteri dengan tanaman karena genom bakteri banyak mengandung nukleotida A+T, sedangkan tanaman mempunyai kandungan G+C yang tinggi sehingga translasi mRNA menjadi tidak efisien, dan (2) kandungan A+T yang tinggi pada bakteri menghasilkan mRNA yang tidak lengkap sehingga tidak dapat ditranslasi menjadi protein yang fungsional. Oleh karena itu, kemudian dilakukan rekayasa terhadap urutan gen toxin Bt dengan cara membuat gen sintetik yang mengkode protein yang sama tetapi dengan pola penggunaan kodon yang sesuai untuk tanaman. Hasil ekspresi gen sintetik ini dapat mencapai 0,3% protein total jika diekspresikan pada tanaman transgenik (Yuwono 2006). Kedua, diduga terkait dengan hilangnya susunan makanan yang diperlukan dalam polen seperti asam amino. Menurut Geng et al. (2006), polen mengandung nutrisi dengan berat molekul kecil yang meliputi asam amino, sementara nektar mengandung karbohidrat dengan konsentrasi tinggi yang dapat menyediakan energi. Polen dan nektar dapat menyediakan diet yang komplit untuk keberhasilan pertumbuhan,
perkembangan, dan reproduksi sebagian besar serangga. Ketiga, insersi gen baru ke dalam tanaman melalui rekayasa genetik dapat mengubah kualitas nutrisi tanaman (Dutton et al. 2002). O’Callaghan et al. (2005) dan Riudavets et al. (2006) menyatakan manipulasi genetik dapat menyebabkan perubahan dalam karakteristik tanaman, seperti C:N rasio, kandungan lignin, nitrogen, dan karbohidrat. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah tidak semua tanaman transgenik memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Namun untuk menjaga kelestarian lingkungan maka prinsip kehati-hatian dalam pengembangan tanaman transgenik tetap harus diutamakan. Untuk itu, pengujian keamanan lingkungan secara komprehensif dari berbagai disiplin ilmu perlu dilaksanakan sebelum tanaman transgenik dilepas ke lingkungannya.
KESIMPULAN Terdapat perbedaan perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata antargalur padi Rojolele transgenik yang diuji. Pada galur transgenik T96.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) dan DTcry13 (cryIAb melalui Agrobacterium), lama perkembangan, keberhasilan mencapai setiap stadium perkembangan, kemunculan imago betina, berat imago, dan kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata konsisten rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik. Pada galur transgenik 4.2.3-28-15-2-7 (fusi), 3R9-828-26-2 (mpi), dan 3R7-8-15-2-7 (mpi), perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata tidak konsisten. Pada galur DTcry (azygous), perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik. Galur transgenik 4.2.4-21-8-164 (fusi) hanya berpengaruh terhadap berat imago predator V. lineata.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada tim peneliti dan teknisi Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong, Bogor, yang telah membantu dana, materi, dan fasilitas penelitian, serta membantu kelancaran penelitian di laboratorium. Terima kasih juga disampaikan kepada tim peneliti dan
193
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
teknisi Kelompok Peneliti Proteksi Tanaman Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, yang telah membantu penyediaan serangga uji.
DAFTAR PUSTAKA Bahagiawat, A.H.. 2005. Ulasan: dampak tanaman transgenik Bt terhadap populasi serangga pengendali hayati. J. Agro Biogen. 1(2):76-84. Dutton, A., H. Klein, J. Romeis, and F. Bigler. 2002. Uptake of Bttoxin by herbivores feeding on transgenic maize and consequences for the predator Chrysoperla carnea. Ecol. Entomol. 27:441-447. Dutton, A., J. Romeis, and F. Bigler. 2003. Assessing the risks of insect resistant transgenic plants on entomophagous arthropods: Bt-maize expressing cry1Ab as a case study. BioControl. 48:611-636. Evans, H.F. 2002. Environmental impact of Bt exudates from roots of genetically modified plants [final report]. Forest Research Alice Holt Lodge Wrecclesham Farnham, Surrey GU104LH. pp.1-130. Ferry, N., E.A. Mulligan, M.E.N. Majerus, and A.M.R. Gatehouse. 2007. Bitrophic and tritrophic effects of Bt Cry3A transgenic potato on beneficial, non target, beetles. Transgenic Res. 16:795-812. Fontes, E.M.G., C.S.S. Pires, E.R. Sum, and A.R. Panizzi. 2002. The environmental effects of genetically modified crops resistant to insect. Neotropical Entomology 31(4):497-513. Geng, J.H., Z.R. Shen, K. Song, and L. Zheng. 2006. Effect of pollen of regular cotton and transgenic Bt+CpTI cotton on the survival and reproduction of the parasitoid wasp Trichogramma chilonis (Hymenoptera: Trichogrammatidae) in the laboratory. Environ. Entomol. 35(6):1661-1668. Hilbeck, A., M. Baumgartner, P.M. Fried, and F. Bigler. 1998. Effects of transgenic Bacillus thuringiensis corn-fed prey on mortality and development time of immature Chrysoperla carnea (Neuroptera: Chrysopidae). Environ. Entomol. 27(2):480-487. Lereclus, D., A. Delecluse, and M.M. Lecaded. 1993. Diversity of Bacillus thuringiensis toxins and genes. Bacillus thuringiensis,
an environmental biopesticides: theory and practices. John Willey and Sons, New York. Losey, J.E., J.J. Obr ycki, and R.A. Hufbauer. 2004. Biosafety considerations for transgenic insecticidal plants: non-target predators and parasitoids. Encyclopedia of Plant and Crop Science. Marcel Dekker Inc, New York. pp. 156-159. Manjunath, T.M. 2005. A decade of commercialized transgenic crops-analyses of their global adoption, safety and benefits. http://www.americanscientist.org/template/AssetDetail/ assetid/14323?fulltext=true [5 Mei 2008]. Manyangarirwa, W., M. Turnbull, G.S. Mc.Cutcheon, and J.P. Smith. 2006. Gene pyramiding as a Bt resistance management strategy: How sustainable is this strategy ? Afr. J. Biotechnol. 5(10):781-785. Naranjo, S.E. 2005. Long-term assessment of the effects of transgenic Bt cotton on the abundance of nontarget arthropod natural enemies. Environ. Entomol. 34(5):1193-1210. Nation, J.L. 2002. Digestion in: Insect Physiology and Biochemistry. CRC Press LLC, United States of Amerika. pp. 27-63. O’Callaghan, M., T.R. Glare, E.P.J. Burgess, and L.A. Malone. 2005. Effects of plants genetically modified for insect resistance on nontarget organisms. Annu. Rev. Entomol. 50:271-292. Pilcher, C.D., J.J. Obr ycki, M.E. Rice, and L.C. Lewis. 1997. Preimaginal development, survival, and field abundance of insect predators on transgenic Bacillus thuringiensis corn. Environ. Entomol. 26(2):446-454. Riudavets, J., R. Gabarra, M.J. Pons, and J. Messeguer. 2006. Effect of transgenic Bt rice on the survival of three nontarget stored product insect pests. Environ. Entomol. 35(5):1432-1438. SAS Institute. 1990. SAS/STAT User’s Guide, Version 6. Fourth Edition. Volume 2. SAS Institute Inc, North Carolina. Van Heusden, A.W., I.W. van Doijen, R. Vrielink van Ginkel, W.H.J. Verbeck, W.A. Wietsma, and C. Kik. 2000. A genetic map of interspecific locus cross in Alium based on amplified fragment length polymorphism (AFLP TM) marker. Theor. Appl. Genet. 100:118-126. Walker, A.J., L. Ford, M.E.N. Majerus, I.E. Geoghegan, N. Birch, J.A. Gatehouse, and A.M.R. Gatehouse. 1998. Characterisation of the midgut digestive proteinase activity of the two-spot ladybird (Adalia bipunctata L) and its sensitivity to proteinase inhibitors. Insect Biochem. Molec. Biol. 28(3):173-180. Yuwono T. 2006. Bioteknologi Pertanian. Cetakan pertama. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 284 hal.
194
KOENTJORO ET AL.: PREDIKSI POTENSI HASIL DAN PRODUKSI KEDELAI DI JAWA TIMUR
Model Simulasi dan Visualisasi Prediksi Potensi Hasil dan Produksi Kedelai di Jawa Timur Simulation Model and Visualization of Yield Prediction and Soybean Production Potential in East Java Bambang S. Koentjoro1, Imas S. Sitanggang2 dan Abdul Karim Makarim3 1
Mahasiswa Pasca Sarjana, Departemen Ilmu Komputer, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor, E-mail:
[email protected] 2 Departemen Ilmu Komputer-IPB 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Badan Litbang Pertanian Naskah diterima 14 Juli 2014 dan disetujui diterbitkan 9 Oktober 2015
ABSTRACT. The prediction of national soybean yield and production could be improved its accuracy by integrating a simulation model and Geographic Information Systems (GIS). The objective of this research was to integrate a simulation model with a GIS, to predict the potential yield and production of soybean in the soybean production centers of East Java. This study was conducted from December 2013 till May 2014. The approach used in this study was a systems approach using a simulation model as solution to the problem. The model is SUCROS.SIM (Simple Universal Crops Growth Simulator), which was written using Powersim software and Spreadsheet in order to be fully integrated with GIS. The initial phase of the integration process between SUCROS.SIM and GIS are as follows (a) model validation, using input data of soybean plant assimilate partitioning, (b) climatic data (solar radiation, maximum and minimum temperatures) collected from the climatological station (BMKG) Karangploso Malang and (c) observation data of soybean yields of two varieties (Wilis and Argomulyo) at Muneng Experiment Station. It was found that the coefficients of determination of simulation model of soybean yield potential (R2) range from 0.945-0.992 and RMSE (Root Mean Square Error) values range from 0.11 to 0.25 t/ha. The average of soybean yield potential and production in 2012 at soybean production centers of East Java were 1.94 t/ha and 293,459 ton, respectively. The conclusion is SUCROS.SIM valid to be integrated with GIS. Keywords: Soybean, yield potential, simulation model. ABSTRAK. Pendugaan hasil dan produksi kedelai dan sebarannya di sentra-sentra produksi masih lemah. Ketelitian tersebut dapat ditingkatkan melalui pengintegrasian model simulasi potensi hasil dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Tujuan penelitian ini adalah integrasi model simulasi dengan SIG dalam memprediksi potensi hasil kedelai di sentra produksi kedelai di Jawa Timur. Penelitian dilakukan di Laboratorium System Dynamic, Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Malang dan di Laboratorium Software Enginering and Information System, IPB, Bogor, pada bulan Desember 2013-Mei 2014. Penelitian dilakukan dengan pendekatan “sistem” menggunakan model simulasi sebagai solusi masalah. Model simulasi potensi hasil kedelai yang digunakan adalah model SUCROS.SIM (Simple Universal Crop Growth Simulator), yang ditulis menggunakan perangkat lunak Powersim dan Spreadsheet agar dapat diintegrasikan dengan SIG secara penuh. Tahap awal dari proses integrasi model SUCROS.SIM dengan SIG
adalah (a) validasi model, menggunakan input data partisi asimilat tanaman kedelai; (b) data iklim (radiasi surya, suhu maksimum dan minimum dari stasiun klimatologi (BMKG) Karangploso, Malang; (c) data pengamatan hasil kedelai varietas Wilis dan Argomulyo di Kebun Percobaan Muneng (2009-2012). Koefisien determinasi model simulasi potensi hasil kedelai (R2) berkisar antara 0,945-0,992 dan nilai RMSE (Root Mean Squre Error) 0,11-0,25 t/ha. Rata-rata potensi hasil dan produksi kedelai pada tahun 2012 di sentra produksi kedelai di Jawa Timur masing-masing adalah 1,94 t/ha dan 293.459 ton. Kesimpulannya, SUCROS.SIM valid untuk diintegrasikan dengan SIG. Kata kunci: Kedelai, potensi hasil, model simulasi.
PENDAHULUAN Penggunaan model simulasi semakin berkembang, sejalan dengan diperlukannya sistem perkiraan hasil, potensi hasil, dan produksi suatu komoditas yang lebih tepat. Data produksi kedelai yang tepat antara lain diperlukan untuk menghitung impor yang sesuai dengan kebutuhan dan produksi dalam negeri. Tastra et al. (2012) mengembangkan model simulasi swasembada kedelai nasional, yang diantaranya menggunakan data hasil kedelai dari BPS yang relatif statis. Cara ini kurang akurat, karena belum mempertimbangkan varietas kedelai yang digunakan, termasuk penggunaan varietas unggul berpotensi hasil tinggi. Untuk itu, penggunaan model potensi hasil kedelai yang memasukkan sifat varietas sebagai komponen (subsistem) model simulasi sangat diperlukan. Makarim et al. (2005) juga telah mengembangkan model simulasi peningkatan produktivitas kedelai, khususnya di lahan suboptimal dengan menggunakan bahasa pemrograman FORTRAN dengan nama KEDELE.CSM. Model ini dapat digunakan untuk memprediksi hasil kedelai potensial, hasil kedelai tanpa pupuk, dan perkiraan hasil kedelai di tingkat petani. 195
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Model juga dapat memberikan saran penggunaan pupuk dan kapur secara lebih akurat, dan menyajikan hasil analisis usahatani (modal, pendapatan, keuntungan dan unsur usahatani lainnya). Namun model simulasi KEDELE.CSM memerlukan banyak input seperti kondisi tanah, iklim, parameter varietas, dan aspek nonteknis seperti ekonomi, sosial dan budaya untuk memudahkan penerapan dan pengembangan di lahan petani. Kedelai umumnya dibudidayakan di lahan sawah dan lahan kering. Di lahan sawah kedelai biasanya ditanam setelah padi dengan pola padi-padi-kedelai. Pergeseran waktu tanam dan perubahan cuaca seringkali menyebabkan mengalami cekaman kekeringan, sehingga akan berakibat pada menurunnya produktivitas tanaman kedelai (Makarim 2005). Model simulasi menjadi penting karena dapat digunakan sebagai alat bantu (media) dalam menganalisis sistem tanaman sehingga diperoleh cara peningkatan produktivitas tanaman secara efisien. Selain untuk meramalkan hasil panen, model simulasi juga penting untuk studi perencanaan dan tindakan pencegahan di masa depan. Para pembuat kebijakan memerlukan informasi skala regional, bahkan skala nasional. Model pertumbuhan tanaman yang lain adalah CROPGRO-Soybean. Seidl et al. (2001) menggunakan model CROPGRO_Soybean untuk analisis keragaman hasil kedelai dengan berbasis Decision Support System (DSS). Model ini dapat digunakan untuk menganalisis pertumbuhan tanaman kedelai berdasarkan intensitas cahaya dan fotosintesis harian, suhu, air dan stres nitrogen. Karbohidrat yang diperoleh kemudian dipartisi ke seluruh bagian/komponen tanaman. Model ini juga dapat mengintegrasikan pengaruh cekaman lingkungan dengan keragaman spasial terhadap pertumbuhan tanaman. Penggunaan model simulasi CROPGRO-Soybean untuk kedelai lahan kering seperti yang dilakukan Bhatia et al. (2008) menunjukkan model simulasi potensi hasil kedelai dengan pengairan yang cukup memberikan hasil yang lebih tinggi dibanding model simulasi dengan penggunaan air terbatas. Sementara Setiyono et al. (2010) mencoba mengulas penggunaan SOYSIM untuk memodelkan pertumbuhan dan hasil kedelai yang mendekati kondisi optimal. Pada model SOYSIM digunakan formula mekanistik baru untuk mensimulasikan fenologi, fotosintesis kanopi, dan akumulasi bahan kering. Model SOYSIM dapat digunakan sebagai Decision Suppor System (DSS) untuk meningkatkan hasil kedelai. Pada pemodelan simulasi tanaman untuk potensi hasil dapat digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan efisiensi penggunaan cahaya, seperti yang diterapkan pada model LINTUL dan pendekatan
196
fotosintesis seperti yang terdapat pada model SUCROS (Van Ittersum 2002). Salah satu model simulasi potensi hasil kedelai yang mudah digunakan oleh peneliti dan pengambil kebijakan adalah SUCROS.SIM yang dikembangkan oleh Tastra (2004) dari SUCROS.CSM. Namun model simulasi ini masih belum terintegrasi dengan Sistem Informasi Geografis (SIG), sehingga kinerja dari model simulasi tersebut belum dapat divisualisasikan dalam bentuk peta sebaran, sehingga pemanfaatannya dalam memperkirakan peningkatan produksi kedelai di sentra-sentra produksi termasuk Jawa Timur belum optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk memprediksi potensi hasil dan produksi kedelai dengan model simulasi (SUCROS.SIM) di sentra produksi Jawa Timur dan visualisasi hasil simulasi dalam Sistem Informasi Geografis.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium System Dynamic, Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Malang, dan Laboratorium Software Enginering and Information System, IPB, Dramaga Bogor, pada bulan Desember 2013-Mei 2014. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis sistem dilanjutkan dengan penggunaan model simulasi sebagai solusi masalah. Model simulasi potensi hasil kedelai yang digunakan adalah model SUCROS.SIM (Simple Universal Crop Growth Simulator), yang ditulis menggunakan perangkat lunak Powersim dan Spreadsheet. Selanjutnya dilakukan transfer data ke dalam SIG sehingga informasi dapat divisualisasikan dalam bentuk peta. Validasi Model Simulasi Potensi hasil tanaman kedelai diprediksi dengan model SUCROS.SIM melalui validasi model. Input data yang digunakan adalah nilai partisi asimilat tanaman kedelai ke batang, daun, akar, dan biji (Tabel 1) serta data iklim berupa radiasi surya, suhu maksimum dan minimum. Data iklim dikumpulkan dari stasiun klimatologi (BMKG) Karangploso, Malang (BMKG 2013). Hasil simulasi berupa potensi hasil biji kemudian dibandingkan dengan data pengamatan hasil kedelai varietas Wilis dan Argomulyo dari Kebun Percobaan Muneng, Probolinggo, dari tahun 2009 hingga 2012. Selanjutnya ditentukan nilai RMSE (Root Mean Square Error) dan koefisien determinasi (R2) model simulasi potensi hasil kedelai. Wilis dan Argomulyo merupakan varietas kedelai yang banyak dibudidayakan petani di Jawa Timur (Heriyanto 2012).
KOENTJORO ET AL.: PREDIKSI POTENSI HASIL DAN PRODUKSI KEDELAI DI JAWA TIMUR
Tabel 1. Data partisi tanaman kedelai secara umum yang digunakan dalam model SUCROS.SIM. Fase tumbuh1 0 0,25 0,50 0,75 1,0 1,2 1,5 1,8 2,1
Partisi daun
Partisi batang
Batang+daun+biji
0,71 0,61 0,65 0,85 0,70 0,54 0,32 0 0
0,29 0,39 0,35 0,15 0,30 0,33 0,18 0
0,5 0,7 0,8 1 0 1
1
Angka 0, 1 dan 2 masing-masing menunjukkan fase berkecambah, batas fase vegetatif dan generatif, serta masak fisiologis; - = tidak ada data Sumber: Penning d Vries et al. (1982).
Root Mean Square Eror (RMSE) adalah parameter yang digunakan untuk mengukur perbedaan antara nilai prediksi potensi hasil kedelai menggunakan model simulasi SUCROS.SIM dengan data pengamatan langsung. Nilai RMSE menunjukkan tingkat akurasi (fitness) model. Semakin kecil nilai RMSE, semakin tinggi tingkat akurasi dari model simulasi tersebut. Rumus untuk menghitung RMSE adalah sebagai berikut (Ghamari et al. 2011 ): RMSE =
1 n
Σn (Xm - Xp)2 ................................................/1/
dimana: Xm : hasil simulasi potensi hasil kedelai (t/ha) Xp : pengamatan hasil kedelai (t/ha) n : waktu pengamatan (tahun) Nilai koefisien determinasi model simulasi dihitung menggunakan persamaan berikut (Ghamari et al. 2011) [Σ(Xp - Xp) (Xm - Xm)]
2
R2 =
Σ(Xp - Xp)2 (Xm - Xm)2
sehingga kondisi lapang diharapkan masih cukup air dan belum terjadi kekeringan. Visualisasi Hasil Prediksi Model Simulasi Hasil dari model simulasi selanjutnya disimpan dalam basis data di postgres sebagai data spasial. Hasil tabulasi data excel ditransfer menggunakan Dynamic Data Exchange (DDE) ke Quantum GIS, digabungkan dengan Map Vektor Quantum GIS (Gambar 1). Hasil gabung dengan Peta Jatim diimpor ke Open GeoSuite untuk mendapatkan peta sebaran, alur proses visualisasi seperti pada Gambar 2. Menurut de Silva (2000) terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam integrasi model, yaitu: 1. level integrasi dari pada SIG dan model; 2. format data dan informasi; 3. mekanisme pertukaran data. Menurut Chang (2008), komponen untuk membuat Sistem Informasi Geografis (SIG) terdiri atas sistem komputer, perangkat lunak SIG, SDM, data, dan infrastruktur.
Parameter input
Spatial data
Output
Spatial input
Gambar 1. Interaksi antara powersim, microsoft excel dan SIG (Carlos et al. 2006).
Data Input Suhu (min, max), radiasi, partisi asimilat
Powersim
Microsoft Excel
.................................../2/
dimana: Xp : pengamatan prediksi hasil kedelai (t/ha) X : rata-rata data output Xm : pengamatan observasi (t/ha) Belum ada standar baku yang dapat digunakan untuk menentukan R2 dan RMSE yang layak untuk informasi potensi hasil, namun secara umum dapat diartikan bahwa nilai R2 ≥ 0,85 dan RMSE ≤ 0,3 sudah cukup sebagai bahan informasi bagi pengambil kebijakan. Pada model ini, waktu tanam sebagai input model dilakukan sekitar Juli atau 210 (Julian date),
Quantum GIS
PostGis
Open GeoSuite
Visualisasi
Gambar 2. Diagram alir proses visualisasi hasil prediksi model simulasi potensi hasil kedelai SUCROS.SIM.
197
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Tabel 2. Input data suhu dan radiasi surya yang digunakan dalam model simulasi potensi hasil kedelai (SUCROS.SIM) di Jawa Timur, 2013. Rata-rata Kabupaten Tahun
Suhu minimum (oC)
Suhu maksimum (oC)
Radiasi surya *)
Satklim Kr. Ploso-Malang, koordinat: 07o45’48" LS, 111o35’48" BT, 600 m dpl. Ds. Ngijo, Kec. Karangploso, Kab. Malang*)
2008 2009 2010 2011 2012
19,7 19,9 20,9 19,7 19,6
28,1 28,8 28,6 28,3 28,4
408,6 425,8 435,9 409,0 389,8
Stamet Banyuwangi: koordinat: 08o13’ LS, 114o23’ BT, 50 m dpl. Ds. Mojopanggung, Kec. Giri, Kab. Banyuwangi
2008 2009 2010 2011 2012
24,1 24,1 24,5 23,9 24,1
30,8 31,2 31,5 30,8 30,9
408,6 425,8 435,9 409,0 389,8
Stamet Juanda: koordinat 07 o23’05" LS, 112o47’02" BT, Ds. Sedati, Kec. Sedati, Kab. Sidoarjo
2008 2009 2010 2011 2012
23,7 24,0 24,7 24,0 24,2
32,2 32,5 32,3 31,6 32,1
408,6 425,8 435,9 409,0 389,8
Lanud Pacitan: koordinat 08o18’ LS, 111o09’ BT, 10 m dpl, Ds, Sambong, Kec, Pacitan, Kab, Pacitan
2008 2009 2010 2011 2012
22,7 22,4 23,2 21,8 22,0
30,0 30,8 31,2 30,7 30,0
408,6 425,8 435,9 409,0 389,8
Bendungan Wlingi: koordinat 08 o08’36" LS, 101o52’24" BT, 174 m dpl, Ds, Wlingi, Kec, Wlingi, Kab, Blitar
2008 2009 2010 2011 2012
23,3 24,4 24,4 23,5 24,7
32,5 33,4 32,1 30,2 30,5
408,6 425,8 435,9 409,0 389,8
KP Muneng: koordinat 07o75’ LS, 113o22’” BT, 10 m dpl, Ds, Muneng Kidul, Kec, Sumberasih, Kab, Probolinggo
2008 2009 2010 2011 2012
22,0 22,0 22,9 21,8 21,8
32,1 32,8 32,3 32,1 32,3
408,6 425,8 435,9 409,0 389,8
Sumber: BMKG Karangploso Malang (2013) Data Radiasi matahari yang ada hanya Satklim Karangploso **) Data dikali 0,0419 menjadi MJ/m/d. *)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Iklim Potensi hasil kedelai di beberapa kabupaten di Jawa Timur diprediksi dengan menggunakan input data iklim, yaitu suhu minimum (oC), suhu maksimum (oC), dan radiasi surya. Suhu udara minimum di Kabupaten Probolinggo dalam periode 2008-2012 berkisar antara 21,8-22oC, sementara suhu maksimum 32,1-32,8oC (Tabel 2). Di Kabupaten Pacitan dengan ketinggian tempat yang sama dengan Kabupaten Probolinggo, yaitu 10 m dpl, kisaran suhu udara juga hampir sama, suhu minimum berkisar antara 21,8-23,2oC dan suhu maksimum 30,0-31,2oC. Kabupaten Malang dengan ketinggian tempat 600 m dpl. mempunyai suhu yang lebih rendah dibanding kabupaten Pacitan dan
198
Probolinggo, minimum 19,6-209oC dan maksimum 28,128,8oC. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap suhu udara minimum dan maksimum, makin tinggi tempat dari permukaan laut makin rendah suhu udara di tempat tersebut. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap potensi hasil kedelai. Validasi Model Simulasi Percobaan dengan menggunakan data pengamatan hasil kedelai varietas Wilis dan Argomulyo pada MK 2 di Kebun Percobaan Muneng, Probolinggo (2009-2012) diperoleh koefisien determinasi simulasi potensi hasil kedelai (R2) sebesar 0,945 untuk varietas Wilis dan 0,992 untuk varietas Argomulyo (Gambar 3). Dengan demikian, rata-rata koefisien determinasi dari SUCROS.SIM adalah 0,96, Nilai R2 yang cukup tinggi
Hasil aktual, y (t/ha)
KOENTJORO ET AL.: PREDIKSI POTENSI HASIL DAN PRODUKSI KEDELAI DI JAWA TIMUR
1.50 1.48 1.46 1.44 1.42 1.40 1.38 1.36 1.34 1.32
Tabel 2. Nilai parameter RMSE simulasi potensi hasil kedelai (SUCROS.SIM) untuk varietas Wilis dan Argomulyo di Kebun percobaan Muneng, 2009-2012.
y = 0.849x - 0.208 R² = 0.945
Varietas Wilis
Varietas Argomulyo
Tahun Prediksi Peng(t/ha) amatan (t/ha)
error 2
Prediksi Peng(t/ha) amatan (t/ha)
error 2
Var. Wilis 1.80
1.85
1.90
1.95
2.00
2.05
Prediksi dengan model simulasi SUCROS.SIM, x (t/ha)
2009 2010 2011 2012
2,00 1,87 1,83 1,92
1,49 1,40 1,34 1,41
RMSE (t/ha) R2
0,259 0,221 0,245 0,260
2,00 1,87 1,83 1,92
1,74 1,67 1,49 1,57
0,25 0,945
0,070 0,085 0,144 0,123 0,11 0,992
Hsil aktual, y (t/ha)
1.75 y = 1.940x - 2.143 R² = 0.992
1.70 1.65
Tabel 3. Rata-rata hasil simulasi potensi dan senjang hasil kedelai Wilis di Kebun Percobaan Muneng (2009-2012).
1.60 1.55
Varietas Wilis
1.50
Var. Argomulyo
Potensi hasil (t/ha)
1.45 1.86
1.88
1.90
1.92
1.94
1.96
1.98
2.00
Varietas Argomulyo
Tahun
2.02
Prediksi dengan model simulasi SUCROS.SIM, x (t/ha)
Gambar 3. Validasi simulasi potensi hasil kedelai (SUCROS.SIM) untuk varietas Wilis dan Argomulyo di Kebun Percobaan Muneng, Balitkabi (2009-2012).
menunjukkan model simulasi potensi hasil kedelai SUCROS.SIM cukup baik apabila divisualkan pada sistem informasi geografis untuk melihat sebaran potensi hasil kedelai di Jawa Timur. Dengan menggunakan data pengamatan hasil kedelai varietas Wilis dan Argomulyo di Kebun Percobaan Muneng (2009-2012) diperoleh nilai RMSE (Root Mean Squre Error) 0,25 t/ha untuk varietas Wilis dan 0,11 t/ha untuk varietas Argomulyo (Tabel 3) atau rata-rata nilai RMSE simulasi SUCROS.SIM adalah 0,18 t/ ha. Nilai RMSE yang cukup rendah ini menunjukkan simulasi potensi hasil kedelai SUCROS.SIM layak ditampilkan pada sistem informasi geografis, untuk visualisasi sebaran potensi hasil kedelai di Jawa Timur. Tingginya nilai RMSE untuk varietas Wilis dari Argomulyo disebabkan oleh input data partisi asimilat untuk tanaman kedelai menggunakan data bersifat umum, belum menggunakan data partisi asimilat spesifik varietas, sementara secara genetik hasil kedelai varietas Argomulyo (1,5-2,0 t/ha) lebih besar dibandingkan dengan varietas Wilis (1,6 t/ha) (Suhartina 2012). Pada penelitian ini, hasil kedelai varietas Argomulyo berkisar antara 1,5-1,7 t/ha, sedangkan Wilis 1,3-1,5 t/ha. Rendahnya
Hasil Senjang Potensi aktual hasil hasil (t/ha) (t/ha) (t/ha)
Hasil aktual (t/ha)
Senjang hasil (t/ha)
2009 2010 2011 2012
2,00 1,87 1,83 1,92
1,49 1,40 1,34 1,41
0,51 0,47 0,49 0,51
2,00 1,87 1,83 1,92
1,74 1,67 1,49 1,57
0,26 0,20 0,34 0,35
Rata-rata
1,91
1,41
0,50
1,91
1,62
0,29
hasil aktual varietas Wilis menyebabkan potensi hasilnya jauh lebih rendah dibanding Argomulyo. Implikasinya, untuk meningkatkan validitas dari simulasi perlu dukungan basis data partisi asimilat dari setiap varietas unggul kedelai yang akan dikembangkan. Potensi Peningkatan Hasil Kedelai Peluang peningkatan hasil kedelai ditunjukkan oleh senjang hasil, yaitu perbedaan potensi hasil dan hasil actual, untuk varietas Wilis pada tahun 2009-2012 sebesar 0,50 t/ha. Hal ini menunjukkan masih terdapat peluang peningkatan hasil kedelai. Sementara senjang hasil varietas Argomulyo 0,29 t/ha yang menunjukkan terdapat peluang peningkatan hasilnya (Tabel 3). Kinerja simulasi potensi hasil kedelai di tiap kabupaten di Jawa Timur dengan simulasi SUCROS.SIM disajikan pada Tabel 4 dan visualisasi sebarannya pada Gambar 3. Berdasarkan hasil simulasi tersebut diperoleh potensi hasil kedelai di Jawa Timur dalam periode 20092012 rata-rata 1,91 t/ha (Tabel 4), lebih tinggi dibandingkan dengan data hasil kedelai BPS 2013 yang hanya 1,6 t/ha. 199
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Kinerja simulasi potensi hasil kedelai di Jawa Timur memberikan hasil yang nyata. Hal ini terlihat dari analisis uji t yang menunjukkan angka t hitung 10,529 sementara t-tabel 2,306. Rata-rata luas areal panen kedelai di Jawa Timur dalam periode 2009-2012 adalah 246.124 ha,
dengan potensi hasil 1,91 t/ha, sehingga diperoleh prediksi produksi kedelai 469.096 ton. Berdasarkan hasil aktual pada kurun waktu yang sama diperoleh produksi kedelai 327.344 ton dengan rata-rata produktivitas 1,33 t/ha (Tabel 5). Dengan demikian, senjang produksi kedelai dalam kurun waktu yang sama adalah 141.936 ton.
Tabel 4. Kinerja simulasi potensi hasil kedelai di Jawa Timur dalam periode 2009-2012 menggunakan SUCROS.SIM.
Visualisasi Sistem Informasi Geografis
Potensi hasil kedelai (t/ha)
Keluaran dari simulasi prediksi potensi hasil SUCROS.SIM dikelola dalam bentuk data spreadsheet. Dengan format data spreadsheet tersebut data hasil model simulasi ditransfer ke aplikasi Quantum GIS. Quantum GIS berfungsi mengolah data spasial dan memvisualisasikan dalam bentuk SIG MAP. Data dari spreadsheet ditransfer ke dalam Quantum GIS dengan proses impor data dari Quantum GIS, selanjutnya diproses menjadi data spasial dan digabung dengan data spasial Jatim MAP. Hasil gabung data di save as sebagai file shape file (SHP), yang kemudian divisualiasikan. Klasifikasi data vektor berguna untuk menetapkan simbol yang berbeda pada fitur (objek yang berbeda pada layer yang sama), bergantung pada atribut yang digunakan. Dengan klasifikasi ini maka user akan mudah melihat atribut dari berbagai fitur. Klasifikasi didasarkan pada hasil prediksi potensi hasil dari simulasi SUCROS.SIM. Pada tahun 2009 terdapat lima kabupaten yang mempunyai potensi hasil tinggi dengan rentang >2,0 t/ ha, yaitu Magetan, Pacitan, Trenggalek, Malang dan Sumenep, sedangkan 24 kabupaten lainnya masuk kategori sedang dengan rentang hasil 1,76-2,0 t/ha. Pada tahun 2010, semua kabupaten di Jawa Timur dalam kategori sedang dengan rentang hasil dari model simulasi 1,75-2,0 t/ha. Pada tahun 2011 terdapat tiga
Kabupaten
Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Lumajang Bondowoso Pasuruan Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Bangkalan Pamekasan Blitar Kediri Mojokerto Banyuwangi Gresik Jember Malang Probolinggo Sampang Sidoarjo Situbondo Sumenep Rata-rata
2009
2010
2011
2012
2,13 1,97 1,97 1,97 1,76 1,96 2,46 1,97 1,97 1,83 1,97 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 2,00 1,96 1,96 1,96 1,96 1,97
1,96 1,87 1,87 1,87 1,82 1,87 2,31 1,87 1,87 1,76 1,87 1,87 1,87 1,87 1,87 1,87 1,87 1,87 1,87 1,87 1,87 1,87 1,86 1,86 1,87 1,86 1,87 1,87 1,86 1,88
1,96 1,83 1,86 1,86 1,68 1,83 2,17 1,86 1,86 1,73 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,83 1,84
2,00 1,93 1,96 1,96 1,94 1,92 2,36 1,96 1,96 1,76 1,93 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,92 1,94
Tabel 5. Analisis uji t-Student produktivitas dan produksi kedelai di Jawa Timur (2009-2012).
Tahun
Luas panen (ha)
Produktivitas Potensi*) (t/ha)
Aktual**) (t/ha)
Potensi (t)
Aktual (t)
Peluang peningkatan hasil (t/ha)
2009 2010 2011 2012
264478 246766 252605 220646
1,97 1,88 1,84 1,94
1,25 1,31 1,43 1,33
528,956 461,452 462,267 423,640
331,145 323,263 360,703 293,459
0,72 0,57 0,41 0,61
Rata-rata SD t-hitung t-tabel(0,05;6)
246124
1,91 0,06 10,529 2,306
1,33 0,07
469,079
327,143
0,58
*) Hasil simulasi dengan SUCROS.SIM **) Data BPS 2012.
200
Produksi
KOENTJORO ET AL.: PREDIKSI POTENSI HASIL DAN PRODUKSI KEDELAI DI JAWA TIMUR
kabupaten dalam kategori potensi hasil tinggi, yaitu Magetan, Trenggalek dan Malang, sementara kategori sedang meliputi 18 kabupaten, yaitu Pacitan, Ngawi, Tuban, Lamongan, Gresik, Madiun, Nganjuk, Kediri, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, dan Situbondo dengan rentang hasil 1,752,0 t/ha. Kategori potensi hasil rendah terdapat di Kabupaten Bojonegoro, Ponorogo, Tulungagung, Blitar, Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi dengan rentang hasil 1,50-1,75 t/ha. Pada tahun 2012 terdapat empat kabupaten dengan kategori potensi hasil tinggi, yaitu Magetan, Pacitan, Trenggalek dan Malang, sedangkan 25 kabupaten lainnya masuk pada kategori potensi hasil sedang dengan rentang 1,75-2,00 t/ha. Secara umum, dalam periode 2008-2012 terdapat tiga kabupaten yang konsisten memberikan hasil tinggi, yaitu Magetan, Trenggalek, dan Malang.
KESIMPULAN DAN SARAN Pemodelan simulasi SUCROS.SIM cukup handal digunakan untuk memprediksi potensi hasil dan produksi kedelai di Jawa Timur, dengan RMSE adalah 0,25 dan 0,11 atau rata-rata RMSE 0,18. Prediksi potensi hasil kedelai model simulasi SUCROS.SIM cukup layak divisualisasikan dengan SIG, dengan nilai R2 0,94-0,99. Kabupaten yang mempunyai potensi hasil tinggi berdasarkan hasil simulasi SUCROS.SIM di Jawa Timur adalah Malang, Trenggalek, dan Magetan. Pada sentra produksi kedelai Jawa Timur diperoleh prediksi potensi hasil 1,91 t/ha dengan total produksi 469.079 t dalam periode 2009-2012, dengan sebaran di tiap kabupaten ditampilkan dalam bentuk peta dinamis. Untuk meningkatkan validitas dari model simulasi yang diintegrasikan dengan SIG, disarankan membuat basis data penelitian partisi asimilat setiap varietas unggul kedelai, dan pengembangan basis data iklim (suhu dan radiasi).
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Stasiun Klimatologi Karangploso, Bapak Subekti, atas data iklim yang telah diberikan, dan Bapak Ir. Suyamto (Kepala Kebun Percobaan Muneng-Balitkabi) atas bantuan memberikan data iklim dan data hasil lapang. Terima kasih juga kepada Bapak Ir. I Ketut Tastra, MS (Peneliti Balitkabi) atas sarannya.
DAFTAR PUSTAKA Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2013. Klimatologi. Stasiun Klimatologi Karang Ploso. Malang. Bhatia, V.S., P. Singh, S.P. Wani, G.S. Chauhan, A.V.R. Kesava Rao, A.K. Mishra, and K. Srinivas. 2008. Analysis of potential yields and yield gaps of rainfed soybean in India using CROPGROSoybean model. Journal Agricultural and Forest Meteorology 148:1252-1265. Carlos, A., Aragon., A. Len, Malczynki, R. Enrique, Vivoni, C. Vince, Tidwell, and S. Gonzales. 2006. Modeling ungauged tributaries using geographical information Systems (GIS) and System Dynamic. http://proceedings.esri.com/library/userconf/proc06/ papers/ papers/pap_1163.pdf. [diunduh Oktober 2013]. Chang, K.T. 2008. Introduction to geographic information systems. Singapore: McGraw Hill International Edition. de Silva, F.N. and R.W. Eglese. 2000. Integrating simulation modelling and GIS: spatial decision support systems for evacuation planning. Journal of the Operational Research Society 51(4):423-430. Ghamari, A., H. Rabbani, and J. Khazael. 2011. Mathematic model for predicting the terminal velocity of chickpea, rice and lentil. J. World App. Sci. 15(11):1557-1561. Heriyanto. 2012. Upaya percepatan penyebaran varietas unggul kedelai di Pulau Jawa. p. 272-282. Dalam Rahmianna, A.A., Eriyanto Yusnawan, Abdullah Taufiq, Sholihin, Suharsono, Titik Sundari dan Hermanto (penyunting). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Makarim, A.K, D.M. Arsyad, dan A. Ghozi. 2005. Model simulasi peningkatan produksim kedelai di lahan sub-optimal. Hlm. 19-36. Dalam: Makarim, A.K., Suharsono, D.M. Arsyad, Adisarwanto, T., Mar woto. dan N. Saleh (penyunting). Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Suboptimal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Seidl, M.S., W.D. Batchelor, J.B. Fallick, and J.O. Paz. 2001. GIScrop model based decision support system to evaluate corn and soybean prescriptions. American Society of Agricultural Engineers 17(5):721-728. Setiyono, T.D., K.G. Cassmana, J.E. Spechta, A. Dobermannb, A. Weissc, H. Yangd, S.P. Conleye, A.P. Robinsonf, P. Pederseng, and J.L. De Bruinh, 2010. Simulation of soybean growth and yield in near-optimal growth conditions. Science Direct. Field Crops Research 119: 161-174. doi:10.1016/j.fcr.2010.07.007 Suhartina. 2012. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Edisi 7. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang, p.1-75. Tastra, I.K. 2004. Prospek penerapan model simulasi interaktif sistem produksi tanaman pangan pada era otonomi daerah. p.521-538. Dalam Sri Hardaningsih, dkk (peny). Prosiding Teknologi Inovasi Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbiumbian untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengambangan Tanaman Pangan. Bogor. Tastra, I.K., E. Ginting, dan G.S.A . Fatah. 2012. Menuju swasembada kedelai melalui penerapan kebijakan yang sinergis. IPTEK Tanaman Pangan Vol. 7. 2012. van Ittersum, M.K., P.A. Leffelaar, H. Van Keulen, M.J. Kropff, I. Bastiaans, and J. Goudriaan. 2002. Developments in modelling crop growth, cropping systems and production systems in the Wageningen School. NJAS 50(2):240-247.
201
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
202
SUNDARI DAN SUSANTO: HASIL KEDELAI PADA BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN
Pertumbuhan dan Hasil Biji Genotipe Kedelai di Berbagai Intensitas Naungan Growth and Seed Yield of Soybean Genotypes at Different Shade Intensities Titik Sundari dan Gatut Wahyu Anggoro Susanto Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Raya Kendalpayak, Km 8 Malang, Kotak Pos 66 Malang 65101 E-mail:
[email protected] Naskah diterima 14 April 2014 dan disetujui diterbitkan 5 Oktober 2015
ABSTRACT. Intensity and quality of sunlight received by plants during the reproductive period greatly influence the soybean yield and yield components. Growth and seed yield of soybean genotypes at different shade intensities were assessed through research conducted at the Research Station of Kendalpayak, Malang, in the year 2011. Three soybean varieties, namely: Pangrango, Argomulyo, and Grobogan, and twelve soybean promising lines tolerant to shade were tested on four artificial shade intensities, ie without shade (N0), shade of 25% (N1), 50% (N2), and 75% (N3). Placement of treatments in each level of shade was arranged in a randomized block design, replicated three times. Results showed that: shade treatment changed the microclimate under the shading. Shade treatment of 25%, 50%, and 75% caused different stress intensities. Shade intensity of 75% caused an increase in plant height and specific leaf area, a reduction in the number of leaves and leaf area, photosynthetically active radiation (PAR) absorption rate, photosynthetic rate, leaf chlorophyll index, number of filled pods, and seed weight per plant. Number of filled pods was considered effective to be used as a basis for selecting soybean genotypes having high yield in shaded conditions. Plant height and seed weight could be used as an indicator for soybean shade tolerance. Genotype AI26-1114-8-28 and IIj9-299-1-4 were considered as shade-tolerant up to 75% shade based on the stress index tolerance value (ITC). Keywords: Soybean, seed yield, shade, genotypes. ABSTRAK. Kondisi lingkungan yang berlaku pada periode reproduksi, khususnya intensitas dan kualitas cahaya matahari yang diterima tanaman, sangat berpengaruh terhadap hasil dan komponen hasil kedelai. Pertumbuhan dan hasil biji beberapa genotipe kedelai pada berbagai intensitas naungan diteliti di Kebun Percobaan Kendalpayak, Malang, pada tahun 2011. Tiga varietas unggul kedelai (Pangrango, Argomulyo, dan Grobogan) serta 12 galur harapan kedelai toleran naungan diuji pada empat intensitas naungan buatan, yaitu tanpa naungan (N0), naungan 25% (N1), 50% (N2), dan 75% (N3). Penempatan perlakuan di setiap intensitas naungan berdasarkan rancangan acak kelompok, diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan naungan mengakibatkan perubahan iklim mikro di bawah naungan. Perlakuan naungan 25%, 50%, dan 75% menyebabkan intensitas cekaman yang berbeda. Intensitas naungan hingga 75% menyebabkan peningkatan tinggi tanaman dan spesifik luas daun, tetapi mengurangi jumlah dan luas daun, laju penyerapan cahaya (PAR), laju fotosintesis, indeks klorofil daun, jumlah polong isi dan bobot biji per tanaman. Pada kondisi ternaungi, bobot biji ditentukan oleh jumlah dan luas daun, laju
penyerapan cahaya (PAR), laju fotosintesis dan jumlah polong isi. Jumlah polong isi dinilai efektif digunakan sebagai dasar pemilihan kedelai hasil tinggi pada kondisi ternaungi. Karakter tinggi tanaman dan bobot biji dapat digunakan sebagai indikator toleransi kedelai terhadap naungan. Genotipe AI26-1114-8-28 dan IIj9-299-1-4 toleran terhadap naungan hingga 75% berdasarkan nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC). Kata kunci: Kedelai, hasil biji, naungan, genotipe.
PENDAHULUAN Pengembangan kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman perkebunan, lingkungan agroforestri, atau tumpangsari menghadapi masalah, terutama rendahnya intensitas cahaya akibat naungan (Sopandie et al. 2007). Berbagai hasil penelitian menunjukkan pengurangan intensitas cahaya matahari pada tumpangsari jagung-kedelai berkisar antara 30-50% cahaya penuh (Polthanee et al. 2011, He et al. 2012). Pengurangan tersebut berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman (Panhwar et al. 2004), berkurangnya luas daun total 28% dari tanpa naungan (Pantilu et al. 2012, Muhuria et al. 2006), jumlah polong per tanaman (Kakiuchi dan Kobata 2006, Polthanee et al. 2011), hasil biji (Zhang et al. 2011), bobot 1.000 biji (Liu et al. 2010), meningkatkan tinggi tanaman dan mengurangi diameter batang kedelai (Bakhshy et al. (2013). Peningkatan tinggi tanaman disebabkan oleh pemanjangan ruas batang (etiolasi) (Li et al. 2006, Paciullo et al. 2011). Menurut Franklin (2008), pemanjangan batang, tangkai daun, hipokotil, dan dominasi apikal merupakan penghindaran terhadap naungan. Respon penghindaran terhadap naungan memberikan kesempatan pada tanaman untuk mendapatkan sinar matahari yang cukup guna bertahan hidup. Hasil penelitian lain menyatakan bahwa toleransi terhadap naungan berhubungan dengan kemampuan 203
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
tanaman menyimpan karbohidrat dalam bentuk biji (Trikoesoemaningtyas et al. 2008). Strategi untuk mengatasi lingkungan kekurangan cahaya akibat naungan adalah menanam genotipe kedelai yang adaptif terhadap kondisi tersebut. Respon setiap genotipe terhadap naungan sangat beragam. Genotipe yang adaptif adalah yang mampu memanfaatkan sejumlah karakter morfologi, fisiologis, dan biokimia untuk melawan cekaman kekurangan cahaya (Xiong et al. 2006, Gao et al. 2008). Secara fisiologis, genotipe yang mampu beradaptasi terhadap intensitas cahaya rendah mempunyai kandungan klorofil b lebih tinggi dibandingkan dengan varietas rentan. Karakter fisiologi ini dapat digunakan sebagai indikator dalam program pemuliaan kedelai toleran naungan (Polthanee et al. 2011). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon genotipe kedelai terhadap naungan.
secara distruktif dengan interval dua minggu sekali, mulai umur 2 minggu setelah tanam (MST) hingga 8 MST. Indeks klorofil diamati pada umur 6 MST, laju fotosintesis dan PAR (Photosynthetically Active Radiation) pada umur 4 dan 6 MST, jumlah polong isi, bobot biji per tanaman dan bobot 100 biji diamati pada saat panen. Pengamatan terhadap PAR dan fotosintesis dilakukan menggunakan Li-Cor. Spesifik luas daun dihitung dengan rumus: SLD =
Luas daun
cm2 g
bobot kering daun
a
Indeks cekaman dihitung dengan rumus: IC = 1 –
Ys Yp
,
dan indeks toleransi dihitung berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Fernandez (1993), dengan rumus:
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang, pada tahun 2011. Tiga varietas unggul kedelai (Pangrango, Argomulyo, dan Grobogan) dan 12 galur harapan kedelai toleran naungan diuji pada empat intensitas naungan buatan, yaitu tanpa naungan (N0), naungan 25% (N1), 50% (N2), dan 75% (N3). Pada setiap intensitas naungan ditempatkan 15 genotipe yang diulang tiga kali, dengan demikian dalam satu percobaan terdapat 45 perlakuan. Penempatan perlakuan di masing-masing intensitas naungan berdasarkan rancangan acak kelompok. Perlakuan tanpa naungan, naungan 25%, 50%, dan 75% setara dengan 0, 1, 2, dan 3 lapis paranet hitam. Naungan disiapkan sebelum tanam, dengan memasang paranet hitam pada ketinggian 1,82,0 m di atas permukaan tanah. Intensitas cahaya diukur setiap hari menggunakan Lux meter. Benih masing-masing genotipe di tanam dalam polibag yang berisi campuran tanah kering dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1 seberat 8 kg, dua tanaman per polibag. Pemupukan dilakukan pada saat tanam, dengan dosis setara 50 kg urea + 100 kg SP36 + 75 kg KC/ha. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara intensif mulai 7 hari setelah tanam (HST) hingga pemasakan polong, dengan interval 3-4 hari sekali. Penyiraman tanaman dilakukan secara periodik 1-2 hari sekali, bergantung pada umur tanaman. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, dan spesifik luas daun (SLD)
204
. Ys Yp Yp Ys
= Rata-rata hasil pada kondisi tercekam = Rata-rata hasil pada kondisi normal = Hasil pada kondisi normal = Hasil pada kondisi tercekam
Pengelompokan toleransi genotipe kedelai terhadap naungan berdasarkan metode yang dikembangkan Doreste et al. (1979), dengan kriteria: 1. Sangat toleran (ST) : (X > X + 2 sd) 2. Toleran (T) : (X + sd < X ≤ X + 2 sd) 3. Agak toleran (AT) : (X – sd < X ≤ X + sd) 4. Rentan (R) : (X – 2 sd < X ≤ X – 2 sd) 5. Sangat rentan (SR) : (X ≤ X – 2 sd) dimana X adalah rata-rata dan sd adalah simpangan baku ITC. Pengamatan intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban dilakukan setiap hari pada pukul 12.00 WIB. Data dari masing-masing intensitas naungan dianalisis berdasarkan rancangan acak kelompok. Uji beda nyata dua nilai tengah dilakukan menggunakan LSD 5%. Pengaruh langsung dan tak langsung dari karakter kuantitatif terhadap hasil dan ITC dihitung berdasarkan analisis sidik lintas (Singh and Chaudhary 1977).
SUNDARI DAN SUSANTO: HASIL KEDELAI PADA BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Intensitas cahaya pada perlakuan naungan 25%, 50% dan 75% masing-masing 76%, 55%, dan 33%. Naungan menyebabkan pengurangan intensitas cahaya yang berdampak terhadap perubahan iklim mikro di bawah naungan. Hal ini ditandai oleh perubahan suhu dan kelembaban udara. Suhu udara di bawah naungan lebih rendah dibanding di luar naungan, sedangkan kelembaban udara lebih tinggi (Gambar 1).
Kelembaban udara pada perlakuan tanpa naungan dan naungan 25% adalah sama, rata-rata 64%, sedangkan pada perlakuan naungan 50% dan 75% mencapai 72% dan 83%. Suhu pada perlakuan tanpa naungan dan naungan 25% relatif sama, yaitu 36°C dan 35°C, sedangkan pada perlakuan naungan 50% dan 75% hanya 32°C dan 30°C. Kondisi tersebut menyebabkan lingkungan di bawah naungan lebih teduh, yang ditunjukkan oleh suhu udara yang lebih rendah dan kelembaban udara lebih tinggi (Gambar 1).
Intensitas cahaya (Lux)
700 Naungan 0%
600 500
Naungan 25%
400
Naungan 50%
300
Naungan 75%
200 100 0 1
11
21
31
41
51
61
71
81
Umur kedelai (HST) 40
Naungan 0%
Suhu (oC)
Naungan 25% 35 Naungan 50% 30
Naungan 75%
25 1
11
21
31
41
51
61
71
81
Umur kedelai (HST)
Kelembaban udara (%)
Naungan 75% 80 Naungan 50%
70 Naungan 0% Naungan 25% 60 1
11
21
31
41
51
61
71
81
Umur kedelai (HST)
Gambar 1. Pola penerimaan intensitas cahaya (A), suhu (B), dan kelembaban udara pada empat intensitas naungan (C). KP Kendalpayak, Malang, MT 2011.
205
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Intensitas cekaman naungan yang ditimbulkan oleh perlakuan naungan 25%, 50%, dan 75% adalah 33%; 59%, dan 84%. Intensitas cekaman tersebut berdampak pada pertumbuhan, komponen hasil, dan hasil genotipe kedelai.
Analisis ragam pada masing-masing intensitas naungan menunjukkan tinggi tanaman masing-masing genotipe beda (Tabel 1 dan 2). Keragaman tinggi tanaman antargenotipe menunjukkan respon masingmasing genotipe terhadap naungan berbeda.
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman genotipe kedelai pada umur 2 dan 4 MST dengan empat intensitas naungan. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011. Tinggi tanaman (cm) umur 2 MST
Tinggi tanaman (cm) umur 4 MST
Genotipe N0
N1
N2
N3
N0
N1
N2
N3
IBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan
14,3 14,3 14,0 14,7 13,7 14,7 14,3 13,7 15,0 15,3 15,0 16,0 15,3 14,3 17,3
18,7 16,7 17,3 18,0 16,7 20,7 18,0 17,3 16,0 16,7 19,3 25,0 22,0 21,0 27,0
18,3 17,3 18,7 20,3 19,7 21,3 16,3 18,7 18,3 22,3 23,0 21,3 23,0 21,7 24,7
20,3 19,3 20,3 23,7 22,7 22,7 22,0 21,3 21,0 24,0 23,0 24,3 26,0 28,0 24,3
25,7 26,7 24,7 23,0 25,7 30,3 24,3 26,0 25,3 31,3 29,3 34,3 32,3 32,3 36,7
30,0 31,3 33,0 31,0 33,0 41,0 34,0 33,0 31,0 43,3 35,7 47,0 39,3 43,7 44,3
33,3 31,0 31,7 35,0 34,0 34,7 33,7 34,3 32,7 45,7 49,3 52,0 44,3 45,0 60,3
41,7 39,3 40,7 41,7 40,3 52,3 34,7 40,0 33,3 47,3 49,0 49,7 52,0 58,3 78,0
LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
1,45 14,8 5,89
1,79 19,4 5,52
2,05 20,3 6,03
2,90 22,9 7,59
1,45 28,5 3,03
1,93 36,7 3,14
2,99 39,8 4,50
2,11 46,6 2,71
N0: tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman genotipe kedelai pada umur 6 dan 8 MST dengan empat intensitas naungan. KP Kendapayak, Malang, MT 2011. Tinggi tanaman (cm) umur 6 MST
Tinggi tanaman (cm) umur 8 MST
Genotipe N0
N1
N2
N3
N0
N1
N2
N3
IBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan
46,0 49,0 45,3 43,3 46,7 59,3 43,0 43,3 41,3 50,3 51,3 59,0 55,7 56,3 51,0
52,3 48,0 53,0 56,0 51,7 56,0 57,3 55,3 55,3 55,7 65,7 67,0 60,7 63,0 59,7
59,3 59,7 52,7 58,7 56,0 77,3 60,7 55,0 56,3 70,3 78,3 67,0 70,3 54,0 71,7
66,0 62,7 53,7 50,0 60,7 86,0 62,0 61,7 52,3 86,0 69,0 61,7 72,3 67,7 85,3
47,0 47,7 47,3 38,0 53,0 62,0 44,0 51,3 52,3 56,0 67,7 68,3 57,7 55,7 55,7
58,3 55,3 60,0 69,0 59,0 73,3 58,7 54,3 60,7 72,7 69,0 95,0 73,3 70,0 69,0
60,0 62,7 54,3 65,3 57,7 76,7 62,7 54,7 55,7 74,7 78,7 73,0 69,7 72,0 75,3
60,0 66,0 52,0 50,0 68,0 74,0 55,3 53,7 52,0 75,3 68,7 82,0 75,7 79,0 86,0
LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
1,56 49,4 1,88
2,10 57,1 2,19
3,59 63,2 3,39
3,10 66,5 2,79
2,08 53,6 2,32
3,29 66,5 2,95
9,30 66,2 8,40
3,48 66,5 3,13
N0: tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
206
SUNDARI DAN SUSANTO: HASIL KEDELAI PADA BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN
Berdasarkan tinggi tanaman pada umur 2 MST, varietas Grobogan menunjukkan pertumbuhan awal yang lebih cepat dibanding genotipe lainnya, baik pada perlakuan tanpa naungan maupun perlakuan naungan (Tabel 2). Berdasarkan rata-rata tinggi tanaman pada masingmasing intensitas naungan diketahui bahwa semakin tinggi intensitas naungan semakin tinggi tanaman. Peningkatan tinggi tanaman disebabkan oleh adanya dominasi apikal yang lebih tinggi di bawah naungan. Perlakuan naungan menyebabkan pengurangan jumlah daun. Semakin tinggi intensitas naungan, semakin berkurang jumlah daun yang terbentuk (Tabel 3). Perlakuan naungan 50% dan 75% menyebabkan pengurangan jumlah daun, masing-masing 19,15% dan 36,17% pada umur 4 MST. Pada umur 8 MST, pengurangan jumlah daun masing-masing perlakuan naungan mencapai 7,62% (naungan 25%), 22,86% (naungan 50%) dan 40% (naungan 75%) (Tabel 3). Perlakuan naungan hingga 75% menyebabkan pengurangan jumlah daun varietas Grobogan hingga 57,14% pada 4 MST dan 36,36% pada 8 MST dibandingkan dengan tanpa naungan (Tabel 3). Luas daun antargenotipe menunjukkan perbedaan di setiap tingkat naungan (Tabel 4 dan 5). Semakin tinggi intensitas naungan, semakin berkurang luas daun yang terbentuk, baik pada umur 2, 4, 6, maupun 8 MST (Gambar 2). Luas daun berkorelasi sangat nyata dengan jumlah daun, dengan koefisien regresi r=0,66** (4 MST) dan 0,69** (8 MST).
Berdasarkan persamaan regresi pada Gambar 2 diketahui peningkatan intensitas naungan menjadi 75% mengurangi luas daun yang lebih besar pada umur 8 MST, berkisar antara 53,4-76,1% dibandingkan dengan perlakuan tanpa naungan. Perlakuan naungan 25% mengurangi luas daun kedelai 5,6-46,5%, dan pengurangan luas daun pada naungan 50% berkisar antara 26,6-62,7%. Luas daun pada perlakuan naungan 25% hanya berkisar 53,5-94,4% dari perlakuan tanpa naungan, jauh lebih besar dibandingkan dengan naungan 50% (37,2-73,4%) maupun naungan 75% (23,846,5%). Pengurangan luas daun mengakibatkan berkurangnya penyerapan cahaya (PAR) dan fotosintesis. Hal ini ditunjukkan oleh korelasi sangat nyata antara luas daun pada umur 4 dan 6 MST dengan PAR dan fotosintesis, dengan koefisien korelasi masingmasing r = 0,73** dan 0,90** untuk PAR, serta 0,67** dan 0,76** untuk laju fotosintesis (Tabel 14). Spesifik luas daun (SLD) menunjukkan intensitas ketebalan daun, semakin besar nilai SLD semakin tipis daun. Nilai SLD genotipe yang diuji menunjukkan perbedaan (Tabel 6 dan 7). Pada awal pertumbuhan, nilai SLD terbesar yang terdapat pada perlakuan tanpa naungan dan naungan 50% ditunjukkan oleh varietas Argomulyo, sedangkan pada perlakuan naungan 25% dan 75% diberikan oleh varietas Pangrango dan Grobogan.
Tabel 3. Rata-rata jumlah daun per tanaman genotipe kedelai pada umur 6 dan 8 MST dengan empat intensitas naungan. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011. Jumlah daun/tanaman umur 4 MST
Jumlah daun/tanaman umur 8 MST
Genotipe
IBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
N0
N1
N2
N3
N0
N1
N2
N3
4 5 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 7
5 5 5 4 5 4 4 4 4 5 4 5 5 5 6
4 4 3 3 3 4 4 4 3 4 4 5 4 4 4
3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 4 3
10 10 11 10 10 8 10 12 10 11 10 11 11 12 11
10 10 9 10 9 9 9 9 10 10 9 12 10 9 9
9 9 8 7 8 7 8 8 7 9 8 10 7 9 8
7 6 7 6 6 6 6 5 6 7 5 7 6 9 7
1,13 4,7 14,0
tn 4,7 14,5
0,68 3,8 10,6
tn 3 14,6
0,99 10,5 5,6
tn 9,7 14,5
tn 8,1 15,0
1,46 6,3 13,9
N0: tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
207
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Tabel 4. Rata-rata luas daun per tanaman genotipe kedelai umur 2 dan 4 MST pada empat intensitas naungan. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011. Luas daun (cm²) umur 2 MST
Luas daun (cm²) umur 4 MST
Genotipe N0
N1
N2
N3
N0
N1
N2
N3
IBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan
39,7 47,7 53,3 63,3 63,0 66,3 57,0 59,0 58,3 70,0 56,7 87,0 71,7 61,0 76,0
48,3 60,3 50,0 46,3 60,0 50,7 61,3 49,0 61,0 64,0 45,0 77,7 63,7 60,3 65,7
27,7 31,3 51,3 40,0 53,7 47,0 46,0 40,0 36,0 56,0 46,3 42,7 47,7 46,0 44,7
23,7 24,0 24,3 22,3 22,0 24,3 23,7 27,0 15,7 38,3 25,3 29,0 31,0 47,3 51,7
232,3 176,3 238,7 355,7 244,3 238,3 249,0 347,3 227,3 281,0 320,3 346,0 539,0 285,0 339,3
210,0 183,3 214,0 175,0 192,0 170,3 182,7 187,7 198,0 266,7 265,0 275,7 259,3 211,0 229,3
200,3 157,0 209,3 194,3 171,0 189,0 174,7 204,0 220,0 233,7 199,7 281,0 187,3 173,7 293,7
146,7 193,3 125,0 84,7 149,3 100,0 111,0 93,0 133,3 84,7 109,3 119,0 136,3 79,0 70,7
LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
2,98 62,0 2,87
3,54 57,6 3,68
3,41 43,8 4,65
2,97 28,6 6,19
19,79 294,7 4,02
6,32 214,7 1,76
23,12 205,9 6,71
12,64 115,7 6,53
N0: tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
Tabel 5. Rata-rata luas daun per tanaman genotipe kedelai umur 6 dan 8 MST pada empat intensitas naungan, tahun 2011. Luas daun (cm²) umur 6 MST
Luas daun (cm²) umur 8 MST
Genotipe N0
N1
N2
N3
N0
N1
N2
N3
IBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan
393,0 503,0 517,3 551,7 598,3 619,0 544,3 518,3 455,3 663,0 495,0 616,0 618,7 554,7 661,0
426,3 408,3 419,7 355,7 374,3 411,3 395,3 371,3 314,7 478,0 396,7 530,7 486,7 522,3 453,3
361,7 392,3 340,3 298,7 293,7 388,3 387,3 294,7 290,0 344,0 275,0 470,7 301,3 289,7 296,0
199,0 236,3 230,7 194,7 315,3 169,0 146,7 148,0 232,0 129,3 192,7 278,7 291,7 186,0 226,3
989,3 953,7 509,0 508,3 1041,0 1471,7 653,3 559,0 651,7 660,3 929,7 1081,3 763,7 1188,7 710,3
519,3 356,3 485,0 309,0 391,3 481,3 329,3 348,0 580,0 452,3 260,0 545,7 477,0 442,3 272,0
243,0 288,3 261,7 250,7 310,7 409,3 251,3 211,0 537,3 250,7 209,7 404,3 199,7 286,7 274,7
170,3 224,3 210,7 178,0 188,0 225,3 168,0 153,0 114,0 238,0 138,7 271,3 109,7 228,0 192,3
LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
28,85 553,9 3,11
11,20 423,0 1,58
28,25 334,9 5,04
22,04 211,8 6,22
89,44 844,7 6,33
12,64 416,6 1,81
27,77 292,6 5,67
18,95 187,3 6,05
N0: tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
Nilai SLD meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas cahaya (Gambar 3), yang menunjukkan ketebalan daun semakin berkurang. Berkurangnya intensitas ketebalan daun disebabkan oleh berkurangnya intensitas ketebalan sel epidermis dan
208
jaringan palisade daun (Sundari et al. 2008). Jaringan palisade merupakan tempat pigmen fotosintesis berada, termasuk pigmen warna hijau (klorofil). Korelasi antara SLD dengan indeks klorofil menunjukkan koefisien korelasi nyata negatif (r = –0,29**).
SUNDARI DAN SUSANTO: HASIL KEDELAI PADA BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN
Gambar 2. Hubungan regresi antara intensitas naungan dengan luas daun kedelai per tanaman. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011.
Gambar 3. Hubungan regresi antara intensitas naungan dengan spesifik luas daun kedelai. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011.
Tabel 6. Rata-rata spesifik luas daun genotipe kedelai pada umur 2 dan 4 MST dengan empat intensitas naungan. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011. Spesifik luas daun (cm²/g) umur 2 MST
Spesifik luas daun (cm²/g) umur 4 MST
Genotipe N0
N1
N2
N3
N0
N1
N2
N3
IBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan
299,1 280,0 272,7 354,1 335,1 291,9 307,3 344,8 254,0 323,1 269,3 326,5 347,0 370,1 278,7
317,1 344,2 400,1 332,0 382,4 409,8 397,3 401,0 422,8 511,1 428,4 485,8 569,5 415,6 368,8
372,3 391,2 370,4 451,6 368,2 397,9 451,9 365,4 354,6 388,5 373,2 296,4 407,0 450,7 308,0
263,7 317,4 341,5 368,1 367,6 154,6 236,6 330,9 206,4 507,4 403,5 448,9 474,6 525,0 606,9
329,1 287,4 357,4 483,5 359,8 287,6 346,4 475,2 345,4 328,9 396,3 352,6 562,2 424,3 367,4
376,8 335,0 351,8 363,6 356,3 308,1 391,5 312,1 423,5 389,1 358,2 344,4 390,7 384,9 438,5
483,1 458,5 454,1 463,4 544,5 428,2 423,5 467,6 533,1 571,5 442,0 460,4 455,3 533,8 403,1
567,3 798,6 575,0 321,0 534,2 295,7 442,4 424,8 568,6 363,4 494,0 487,6 487,0 366,0 274,7
LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
26,26 310,2 5,08
17,14 412,4 2,48
23,42 383,2 3,65
30,78 370,2 4,97
27,93 380,2 4,39
16,79 368,3 2,72
29,32 474,8 3,69
29,18 466,7 3,74
N0: tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
Indeks klorofil masing-masing genotipe beragam pada setiap tingkat naungan (Tabel 8). Indeks klorofil menunjukkan tingkat kehijauan daun, semakin besar nilai indeks klorofil daun semakin hijau warna daun. Indeks klorofil tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa naungan yang ditunjukkan oleh varietas Argomulyo dan genotipe IBK5-147-2-11, pada naungan 25% ditunjukkan oleh IBM22-873-1-13 dan IBM22-862-4-1, pada naungan 50% oleh IBM22-867-4-7 dan Pangrango, sedangkan pada naungan 75% oleh IBM22-862-4-1. Pada penelitian ini, nilai indeks klorofil daun menurun dengan meningkatnya intensitas naungan, yang berarti perlakuan naungan menyebabkan tingkat kehijauan daun semakin berkurang, daun menjadi berwarna hijau muda (pucat). Berkurangnya tingkat
kehijauan daun diduga karena terjadi perubahan rasio antara klorofil a yang mengendalikan warna hijau tua dengan klorofil b yang mengendalikan warna hijau muda. Perubahan rasio klorofil a/b disebabkan oleh perubahan kandungan klorofil a dan b pada tanaman yang ternaungi. Peningkatan kandungan klorofil b dari tanaman yang ternaungi lebih tinggi dari kandungan klorofil a (Suwarto 2013). Kisman et al. (2007) melaporkan, apabila terdapat cekaman naungan 50% mengakibatkan terjadinya peningkatan kandungan klorofil b yang cukup besar. Hal ini yang diduga kuat berhubungan erat dengan berkurangnya tingkat kehijauan daun pada perlakuan naungan 50% dan 75%. Hal yang sama dilaporkan oleh De Carvalho Gonçalves et al. (2005); Yang et al. (2007); serta Mielke dan Schaffer 209
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Tabel 7. Rata-rata spesifik luas daun genotipe kedelai pada umur 6 dan 8 MST dengan empat intensitas naungan. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011. Spesifik luas daun (cm²/g) umur 6 MST
Spesifik luas daun (cm²/g) umur 8 MST
Genotipe N0
N1
N2
N3
N0
N1
N2
N3
IBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan
188,0 275,7 252,0 293,8 249,3 163,6 204,8 234,5 190,9 250,6 182,2 199,3 249,3 305,2 267,7
328,1 291,7 242,0 253,5 285,2 256,9 405,7 347,7 308,0 252,3 325,1 254,6 343,6 285,1 301,9
283,6 378,7 300,4 313,0 285,2 326,9 381,2 311,3 339,7 387,0 320,6 394,0 387,3 374,1 302,7
405,7 443,0 413,1 447,2 467,8 302,4 323,6 439,6 354,6 305,8 393,6 643,9 528,6 336,8 392,5
255,1 273,0 199,1 206,5 264,4 365,3 240,9 228,2 243,2 204,2 240,1 258,3 272,5 285,4 233,2
411,3 241,2 356,1 207,2 244,9 248,7 315,8 262,6 403,1 190,4 282,4 249,5 362,8 300,3 158,8
317,3 315,5 305,1 305,7 341,7 376,1 366,1 333,3 322,8 190,5 329,2 358,5 323,2 356,1 357,4
278,6 377,1 722,7 371,8 269,7 466,8 281,5 286,7 269,2 335,6 293,0 508,7 239,3 449,3 443,5
LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
20,66 233,8 5,28
19,96 298,8 4,00
20,10 339,0 3,55
31,66 413,2 4,58
29,06 251,3 6,91
18,25 282,3 3,86
32,98 326,6 6,04
32,5 372,9 5,21
N0: tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
Tabel 8. Rata-rata indeks klorofil daun genotipe kedelai pada umur 6 MST dengan empat intensitas naungan. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011. Indeks klorofil daun (SPAD) Genotipe N0
N1
N2
N3
IBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan
43,6 45,3 43,1 41,9 43,4 41,3 43,8 41,5 42,7 43,6 45,2 43,8 41,3 45,3 44,7
43,3 43,8 43,8 42,2 42,9 43,8 44,6 45,0 43,5 45,1 42,1 44,9 44,3 42,1 43,5
42,2 42,4 40,8 38,2 43,0 43,4 43,5 43,2 45,6 39,8 41,0 42,1 45,6 42,2 42,9
43,0 41,5 42,9 41,8 40,5 41,5 43,3 44,3 43,1 38,1 39,0 40,2 40,8 40,3 42,7
LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
1,57 43,4 2,16
1,34 43,7 1,83
2,64 42,4 3,73
1,86 41,5 2,68
N0: tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
210
(2010), yang menyatakan daun tanaman yang tumbuh di bawah intensitas cahaya rendah mempunyai kandungan pigmen fotosintesis (klorofil) yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun dari tanaman yang tumbuh di bawah intensitas cahaya tinggi. Laju penyerapan cahaya (PAR) berbeda antargenotipe (Tabel 9). Laju penyerapan PAR berkurang dengan semakin tingginya intensitas naungan (Gambar 4). Pada umur 4 MST, naungan 25% menyebabkan pengurangan PAR 21,7%; naungan 50% dan 75% mengurangi PAR 44,0% dan 68,1% dibanding tanpa naungan. Pada umur 6 MST, naungan 25%, 50% dan 75% mengakibatkan pengurangan PAR berturut-turut 20,1%; 43,0%; dan 67,1%. Hal yang sama juga disampaikan oleh Zhang et al. (2008), bahwa penyerapan cahaya di bawah naungan (tumpangsari) lebih rendah dibanding tanpa naungan (monokultur). Pengurangan laju penyerapan cahaya disebabkan oleh berkurangnya jumlah dan luas daun yang berperan dalam penyerapan cahaya. Analisis korelasi antara jumlah dan luas daun dengan PAR sangat nyata positif (Tabel 14). Peningkatan luas daun berhubungan erat dengan peningkatan kemampuan menyerap cahaya (PAR) yang digunakan sebagai sumber energi untuk fotosintesis. Setiap genotipe mempunyai laju fotosintesis yang berbeda pada masing-masing intensitas naungan (Tabel 10). Laju fotosintesis berkurang dengan tingginya intensitas naungan, yang ditunjukkan oleh analisis regresi antara
SUNDARI DAN SUSANTO: HASIL KEDELAI PADA BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN
Tabel 9. Rata-rata laju penyerapan cahaya (PAR) genotipe kedelai pada umur 4 dan 6 MST dengan empat intensitas naungan. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011. SPAR (μmol/m²/dt) umur 4 MST
PAR (μmol/m²/dt) umur 6 MST
Genotipe
IBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
N0
N1
N2
N3
N0
N1
N2
N3
500 500 500 499 501 501 501 500 500 500 501 500 500 500 500
400 399 401 400 399 400 399 401 399 400 400 400 279 400 399
280 279 281 279 279 281 280 280 281 281 281 280 279 281 279
159 160 160 159 160 160 159 159 159 160 161 161 159 160 160
500 500 500 500 500 500 501 501 499 500 500 500 500 500 500
400 399 399 400 399 400 400 400 399 401 399 400 399 401 400
285 285 286 285 285 286 285 284 286 286 286 285 285 285 286
164 165 164 164 165 165 164 164 164 166 164 164 166 166 165
0.95 500,2 0,11
0,55 391,7 0,08
0,79 280,1 0,17
0,48 159,7 0,19
0,91 500,1 0,11
0,67 399,7 0,10
0,41 285,3 0,09
0,43 164,7 0,16
N0: tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
Tabel 10. Rata-rata laju fotosintesis genotipe kedelai pada umur 4 dan 6 MST dengan empat intensitas naungan. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011. Laju fotosintesis (μmol/m²/dt) umur 4 MST
Laju fotosintesis (μmol/m²/dt) umur 6 MST
Genotipe N0
N1
N2
N3
N0
N1
N2
N3
IBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan
16,2 16,4 16,1 14,1 15,2 16,7 15,0 12,4 14,3 12,4 14,8 14,6 13,9 14,3 15,6
7,9 10,7 10,5 14,2 10,5 10,9 10,4 11,1 8,8 12,0 8,8 11,9 9,2 8,5 14,3
10,7 10,3 6,7 9,8 9,5 6,2 12,8 9,0 7,8 8,0 7,4 8,7 9,2 7,9 8,9
6,3 6,7 5,5 2,0 5,3 5,3 4,5 3,2 3,8 3,8 3,6 5,0 5,3 3,8 6,9
13,3 12,3 13,4 14,8 17,9 15,2 18,7 17,6 16,8 17,5 19,0 20,6 19,5 20,2 19,9
18,6 19,2 17,4 18,6 18,7 19,6 18,7 18,7 18,8 18,9 16,7 20,5 17,4 18,2 18,4
17,1 16,3 16,0 14,0 11,5 13,2 10,5 12,7 11,1 10,3 12,9 10,2 8,5 7,6 13,4
7,7 9,2 8,7 8,2 7,0 6,7 7,1 8,9 7,2 8,3 7,9 7,1 8,5 9,0 8,4
LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
1,28 14,8 5,18
0,99 10,6 5,55
1,09 8,9 7,36
0,27 4,7 3,45
1,36 17,1 4,73
1,34 18,6 4,33
1,34 12,4 6,51
0,49 8,0 3,63
N0: tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
intensitas naungan dengan laju fotosintesis yang bersifat linier negatif (Gambar 4). Perlakuan naungan 25%; 50%; dan 75% masing-masing menyebabkan berkurangnya laju fotosintensis pada umur 4 MST sebesar 22,32%; 28,74%; dan 40,32%, serta pada umur 6 MST sebesar 17,07%, 20,58%,
dan 25,92%. Pengurangan laju fotosintesis terjadi akibat berkurangnya penerimaan cahaya matahari. Analisis korelasi antara laju fotosintesis dengan laju penyerapan PAR menunjukkan koefisien yang sangat nyata positif, r = 0,91** (4 MST), dan 0,82** (6 MST).
211
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Tabel 11. Rata-rata umur polong matang genotipe kedelai pada perlakuan empat intensitas naungan. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011.
Tabel 12. Rata-rata jumlah polong isi per tanaman genotipe kedelai pada perlakuan empat intensitas naungan. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011.
Umur polong matang (HST)
Jumlah polong isi /tanaman
Genotipe
BK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
Genotipe N0
N1
N2
N3
75 77 76 77 75 76 77 77 76 74 71 72 76 71 73
79 79 80 79 79 80 79 79 80 71 80 71 80 71 72
79 79 80 79 79 80 79 79 80 71 80 71 80 71 72
79 79 80 79 79 80 79 79 80 71 80 71 80 71 72
1,49 75 1,19
tn 77 0,56
tn 77 0,14
tn 77 1,51
N0: tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
Gambar 4. Hubungan regresi antara intensitas naungan dengan laju fotosintesis. Kendalpayak, Malang, MT 2011.
Umur polong matang genotipe pada perlakuan tanpa naungan menunjukkan perbedaan, namun tidak pada perlakuan naungan (Tabel 11). Umur polong matang paling genjah pada masing-masing naungan adalah sama, yaitu 71 hari, sedangkan umur paling panjang beragam antarnaungan, yaitu 77 hari (naungan 25% dan 50%) hingga 80 hari (naungan 75%). Umur polong matang pada perlakuan tanpa naungan rata-rata 75 hari dan pada perlakuan naungan 77 hari. Jumlah polong isi berbeda antargenotipe (Tabel 12). Genotipe IIj9-299-1-4 mampu membentuk polong isi
212
IBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
N0
N1
N2
N3
Ratarata
28 31 27 25 31 48 33 38 29 36 39 37 40 35 25
31 20 27 21 22 25 22 16 18 25 16 25 28 20 15
20 20 14 15 15 17 18 13 12 17 14 17 15 13 11
9 9 7 5 7 10 6 7 6 7 7 10 6 11 5
22,1 19,9 18,7 16,6 18,7 25,1 19,9 18,4 16,3 21,2 19,1 22,3 22,3 19,6 14,1
2,75 33,47 4,91
2,62 21,99 7,13
2,51 15,46 9,69
1,56 7,63 12,23
19,6
N0: tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
dalam jumlah yang lebih banyak dibanding varietas Pangrango pada perlakuan tanpa naungan. Jumlah polong terbanyak pada perlakuan naungan 25% dicapai oleh genotipe IBK5-143-3-7, naungan 50% oleh genotipe IBK5-143-3-7 dan IBK5-147-2-11, dan naungan 75% oleh varietas Argomulyo. Peningkatan intensitas naungan diikuti oleh pengurangan jumlah polong isi (Gambar 5), karena semakin tinggi intensitas naungan semakin berkurang jumlah cahaya yang diterima kanopi tanaman, yang berdampak pada terganggunya proses fotosintesis. Dengan demikian, fotosintat yang dialokasikan untuk pembentukan polong dan biji menjadi berkurang. Jumlah polong isi berkorelasi sangat nyata dengan PAR dan fotosintesis pada umur 4 dan 6 MST masing-masing dengan koefisien korelasi r =0,89** dan 0,91** dengan PAR, serta 0,83** dan 0,74** dengan laju fotosintesis. Data ini menunjukkan peningkatan PAR dan laju fotosintesis berhubungan erat dengan peningkatan jumlah polong isi. Naungan 25%, 50% dan 75% masing-masing menyebabkan pengurangan jumlah polong isi 26,4%; 52,7%; dan 79,1% dibanding tanpa naungan. Pengurangan jumlah polong isi berdampak pada pengurangan bobot biji.
SUNDARI DAN SUSANTO: HASIL KEDELAI PADA BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN
Bobot biji antargenotipe menunjukkan perbedaan antarperlakuan naungan (Tabel 13). Genotipe IIj9-2991-4 dan AI26-1114-8-28 konsisten berbobot biji tertinggi di empat perlakuan naungan, melebihi rata-rata bobot biji 15 genotipe yang diuji. Bobot biji berkorelasi nyata positif dengan peubah jumlah dan luas daun pada umur 4; 6; dan 8 MST, laju penyerapan cahaya (PAR); dan fotosintesis pada umur 4 dan 6 MST; dan jumlah polong isi (Tabel 14).
Tabel 13. Bobot biji genotipe kedelai pada perlakuan empat intensitas naungan. KP Kendalpayak, Malang M 2011. Bobot biji (g/tanaman) Genotipe N0
N1
N2
N3
Ratarata
IIBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango Argomulyo Grobogan
5,5 9,0 4,6 8,7 7,8 13,5 10,5 7,5 8,1 8,1 15,5 10,4 8,9 9,0 8,2
12,9 6,8 4,0 9,8 3,3 8,9 4,1 5,2 5,0 6,4 2,9 7,1 6,5 5,0 2,8
4,3 5,6 3,4 4,2 5,1 5,3 2,1 2,5 3,5 3,2 2,8 5,7 2,6 2,5 2,2
1,9 1,9 0,6 1,1 1,4 2,5 0,8 0,6 1,6 1,7 1,8 2,3 0,8 1,5 0,8
6,1 5,8 3,1 5,9 4,4 7,5 4,3 4,0 4,6 4,8 5,8 6,4 4,7 4,5 3,5
LSD (5%) Rata-rata Koef. keragaman (%)
0,75 9,0 5,20
0,43 6,0 4,21
0,41 3,7 6,29
0,25 1,4 9,92
5,0
N0:tanpa naungan, N1, N2, dan N3 berturut-turut adalah naungan 25%, 50%, dan 75%.
Peningkatan jumlah daun, luas daun, PAR, fotosintesis, dan jumlah polong isi berpeluang meningkatkan bobot biji. Sebaliknya, bobot biji menurun seiring dengan meningkatnya intensitas naungan. Regresi analisis antara intensitas naungan dengan bobot biji per tanaman bersifat linier negatif dengan persamaan Y=8,80-0,1X; r²=0,66** (Gambar 6). Perlakuan naungan 25%, 50%, dan 75% menyebabkan pengurangan bobot biji masing-masing 28,4%; 56,8%; dan 85,2% dibandingkan dengan tanpa naungan. Besarnya pengurangan bobot biji sejalan dengan besarnya pengurangan jumlah polong isi. Jumlah polong isi berkorelasi sangat nyata dengan bobot biji per tanaman (r=0,89**). Jumlah polong merupakan komponen hasil yang paling menentukan hasil, baik pada kondisi tanpa cekaman, maupun tercekam naungan (Liu et al. 2010). Artinya, naungan menyebabkan berkurangnya asimilat yang dapat dialokasikan untuk pembentukan organ reproduktif
Gambar 5. Hubungan regresi antara intensitas naungan dengan jumlah polong isi kedelai. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011.
Tabel 14. Korelasi antara hasil (bobot biji) dengan karakter jumlah daun, luas daun, PAR, fotosintesis dan jumlah polong isi. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011. Karakter
BKBJ
JD 4
JD 6
JD 8
LD 4
LD 6
LD 8
PAR 4
PAR 6
FS 4
FS 6
JPI
BKBJ JD 4 JD 6 JD 8 LD 4 LD 6 LD 8 PAR 4 PAR 6 FS 4 FS 6 JPI
1 0,59** 0,75** 0,73** 0,61** 0,78** 0,79** 0,80** 0,81** 0,74** 0,71** 0,89**
1 0,78** 0,79** 0,66** 0,78** 0,54** 0,74** 0,75** 0,69** 0,75** 0,68**
1 0,97** 0,72** 0,85** 0,70** 0,88** 0,89** 0,81** 0,84** 0,86**
1 0,68** 0,83** 0,69** 0,85** 0,86** 0,78** 0,80** 0,84**
1 0,80** 0,57** 0,73** 0,75** 0,67** 0,65** 0,73**
1 0,76** 0,88** 0,90** 0,84** 0,76** 0,88**
1 0,79** 0,79** 0,76** 0,55** 0,86**
1 0,99** 0,91** 0,91** 0,89**
1 0,82** 0,83** 0,91**
1 0,70** 0,83**
1 0,74**
1
BKBJ: bobot biji; JD: jumlah daun; LD: luas daun; PAR: Photosynthetically active radiation; FS: fotosintesis; JPI: jumlah polong isi, angka 4, 6, dan 8 menunjukkan umur dalam minggu setelah tanam.
213
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
seperti bunga dan polong. yang berdampak pada berkurangnya jumlah polong. Pada penelitian ini, jumlah polong isi berkorelasi sangat nyata positif dengan laju fotosintesis (r=0,74**), laju fotosintesis berkorelasi sangat nyata positif dengan luas daun (r=0,76**), dan luas daun berkorelasi sangat nyata positif dengan PAR (Tabel 14). Peningkatan jumlah daun berhubungan erat dengan peningkatan luas daun total. Daun merupakan organ fotosintesis yang berperan dalam penyerapan cahaya, sehingga meningkatnya luas daun diikuti oleh meningkatnya penyerapan cahaya (PAR) dan laju fotosintesis. Peningkatan laju fotosintesis berdampak pada peningkatan alokasi fotosintat ke organ reproduktif yang ditunjukkan oleh peningkatan jumlah polong isi dan bobot biji per tanaman. Berdasarkan nilai koefisien lintas (Tabel 15) dapat ditafsirkan bahwa dari 11 karakter kuantitatif yang dianalisis, terdapat satu karakter yang mutlak dominan mandiri menentukan bobot biji, jumlah polong isi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi antara jumlah
polong isi dengan bobot biji (r=0,89**) yang hampir sama besar dengan pengaruh langsungnya (r=0,86**). Hal tersebut menunjukkan bahwa koefisien korelasi memiliki derajad keeratan hubungan yang tinggi antara jumlah polong isi dengan bobot biji. Jumlah polong isi dapat digunakan sebagai indikator seleksi di bawan naungan untuk mendapatkan genotipe yang mampu menhasilkan bobot biji tinggi. Berdasarkan analisis sidik lintas pada Tabel 16 diketahui jumlah polong isi ditentukan oleh jumlah daun dan spesifik luas daun pada umur 8 MST. Berdasarkan nilai koefisien lintas (Tabel 16) bawa tidak terdapat karakter yang mutlak dominan mandiri menentukan jumlah polong isi. Namun, secara relatif jumlah daun dan spesifik luas daun pada umur 8 MST berkorelasi positif cukup besar dengan jumlah polong isi, masingmasing dengan koefisien korelasi r = 0,61 dan 0,27 serta pengaruh langsung yang juga positif, yaitu 0,47 dan 0,48. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka jumlah daun dan spesifik luas daun pada umur 8 MST mempunyai kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan karakter yang lain dalam menentukan jumlah polong isi ke arah positif, walaupun keduanya tidak dominan secara mutlak menentukan jumlah polong isi. Pada umur 8 MST, kedelai berada pada fase pengisian polong, sehingga membutuhkan alokasi fotosintat ke polong cukup besar. Oleh karena itu, keberadaan daun yang didukung oleh kemampuannya menyerap cahaya dalam jumlah besar sangat diperlukan untuk meningkatkan proses fotosintesis. Berdasarkan nilai indeks toleransi terhadap cekaman naungan (ITC), genotipe IIj9-299-1-4 konsisten menempati posisi pertama pada tiga perlakuan naungan (25%, 50%, dan 75%), dengan kriteria sangat toleran. Genotipe AI26-1114-8-28 menempati posisi ketiga pada
Gambar 6. Hubungan antara bobot biji per tanaman dengan intensitas naungan. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011.
Tabel 15. Koefisien pengaruh langsung (angka yang digaris bawah) dan tak langsung karakter kuantitatif kedelai terhadap bobot biji. KP Kendalpayak, MT 2011.
JD 4 JD 6 JD 8 LD 4 LD 6 LD 8 PAR 4 PAR 6 FS 4 FS 6 JPI
JD 4
JD 6
JD 8
LD 4
LD 6
LD 8
PAR 4
PAR 6
FS 4
FS 6
JPI
rxy
-0,02 -0,02 -0,06 -0,10 0,10 0,06 0,23 -0,29 -0,10 0,13 0,59
-0,02 -0,03 -0,07 -0,11 0,11 0,08 0,27 -0,34 -0,11 0,14 0,74
-0,02 -0,03 -0,07 -0,11 0,11 0,08 0,26 -0,33 -0,11 0,13 0,72
-0,02 -0,02 -0,05 -0,16 0,11 0,07 0,23 -0,29 -0,09 0,11 0,63
-0,02 -0,02 -0,06 -0,13 0,13 0,09 0,27 -0,35 -0,12 0,13 0,76
-0,01 -0,02 -0,05 -0,09 0,10 0,12 0,25 -0,30 -0,11 0,09 0,74
-0,02 -0,02 -0,06 -0,12 0,12 0,09 0,31 -0,38 -0,13 0,15 0,77
-0,02 -0,02 -0,06 -0,12 0,12 0,09 0,31 -0,38 -0,12 0,14 0,79
-0,02 -0,02 -0,06 -0,11 0,11 0,09 0,28 -0,31 -0,14 0,12 0,72
-0,02 -0,02 -0,06 -0,10 0,10 0,06 0,28 -0,32 -0,10 0,17 0,64
-0,02 -0,02 -0,06 -0,12 0,12 0,10 0,28 -0,35 -0,12 0,12 0,86
0,59 0,75 0,73 0,61 0,78 0,79 0,80 0,81 0,74 0,71 0,89
Pengaruh sisa = 0,26 JD: jumlah daun; LD: luas daun; PAR: Photosynthetically active radiation; FS: fotosintesis; JPI: jumlah polong isi, angka 4, 6, dan 8 menunjukkan umur dalam minggu setelah tanam.
214
SUNDARI DAN SUSANTO: HASIL KEDELAI PADA BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN
Tabel 16. Koefisien pengaruh langsung (angka yang digaris bawah) dan tak langsung karakter pertumbuhan kedelai terhadap jumlah polong isi. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011. Karakter TT2 TT4 TT6 TT8 JD4 LD2 JD4 JD6 JD8 SLD4 SLD6 SLD8
TT2
TT4
TT6
TT8
JD4
LD2
JD4
JD6
JD8
SLD4
SLD6
SLD8
rxy
0,54 -4,82 1,76 -0,33 1,69 0,91 0,22 -0,30 0,07 0,19 0,04 0,02
0,52 -5,07 1,86 -0,33 1,84 0,94 0,18 -0,31 0,08 0,21 0,02 0,01
0,41 -4,06 2,33 -0,35 1,11 0,68 0,14 -0,26 0,17 0,27 -0,01 -0,01
0,46 -4,34 2,08 -0,39 1,39 0,85 0,18 -0,36 0,23 0,19 0,02 0,03
0,44 -4,45 1,23 -0,26 2,10 0,77 0,18 -0,28 0,02 0,04 0,06 -0,02
0,42 -4,09 1,36 -0,28 1,40 1,16 0,17 -0,39 0,06 0,14 0,05 -0,03
0,36 -2,86 1,03 -0,21 1,18 0,62 0,33 -0,25 -0,09 -0,08 0,09 -0,08
0,34 -3,16 1,25 -0,28 1,20 0,91 0,17 -0,49 0,19 0,09 0,07 0,09
0,09 -0,90 0,83 -0,19 0,10 0,16 -0,06 -0,20 0,47 0,11 -0,03 0,23
-0,20 2,13 -1,25 0,15 -0,16 -0,33 0,05 0,09 -0,10 -0,51 0,07 -0,08
0,13 -0,76 -0,18 -0,06 0,78 0,36 0,20 -0,23 -0,09 -0,25 0,15 -0,07
0,54 -5,07 2,33 -0,39 2,10 1,16 0,33 -0,49 0,47 -0,51 0,15 0,48
-0,01 -0,03 0,42 0,35 -0,16 -0,01 0,04 0,39 0,61 -0,15 -0,01 0,27
Pengaruh sisa = 0.06 TT: tinggi tanaman, JD: jumlah daun; LD: luas daun; PAR: Photosynthetically active radiation; FS: fotosintesis; JPI: jumlah polong isi, angka2, 4, 6, dan 8 menunjukkan umur dalam minggu setelah tanam.
Tabel 17. Indeks toleransi genotipe kedelai terhadap naungan (ITC) pada intensitas naungan berbeda. KP Kendalpayak, Malang, MT 2011. Indeks toleransi terhadap naungan, pada naungan: Genotipe 25% IBK5-143-3-7 IBK5-147-2-11 IBK5-172-4-36 IBK5-173-5-37 IBK5-173-5-37 IIj9-299-1-4 IBM22-861-2-22 IBM22-862-4-1 IBM22-867-4-7 IBM22-873-1-13 IBIj11-431-2-20 AI26-1114-8-28 Pangrango ATgomulyo Grobogan
0,9 0,7 0,2 1,0 0,3 1,5 0,5 0,5 0,5 0,6 0,5 0,9 0,7 0,5 0,3
Rata-rata
0,6
Kriteria 50% AT AT R T R ST AT AT AT AT AT AT AT AT R
0,3 0,6 0,2 0,4 0,5 0,9 0,3 0,2 0,3 0,3 0,5 0,7 0,3 0,3 0,2 0,4
Kriteria 75% Kriteria AT T R AT AT ST AT AT AT AT AT T AT AT AT
0,1 0,2 0,0 0,1 0,1 0,4 0,1 0,1 0,2 0,2 0,3 0,3 0,1 0,2 0,1
AT AT R AT AT ST AT R AT AT T T AT AT AT
0,2
ST: sangat toleran, T: toleran, AT: agak tahan, dan R: rentan.
perlakuan naungan 25% (agak toleran) dan 75%, (toleran), serta posisi ke dua pada perlakuan naungan 50% (toleran) (Tabel 17). Indeks toleransi terhadap cekaman naungan berkorelasi sangat nyata positif dengan bobot biji (r=0,88**), jumlah polong isi (r=0,72**), luas daun (r=0,63**), dan laju fotosintesis pada umur 6 MST (r=0,65**). Hal ini menunjukkan peningkatan indeks
toleransi terhadap cekaman berhubungan erat dengan bobot biji, jumlah polong isi, luas daun, dan laju fotosintesis pada umur 6 MST. Berdasarkan kriteria bobot biji dan nilai indeks toleransi terhadap cekaman, genotipe IIj9-299-1-4 dan AI26-1114-8-28 sesuai dikembangkan di lingkungan dengan intensitas naungan hingga 75%. Pada intensitas naungan 75%, kedua genotipe lebih efisien dalam penggunaan fotosintat untuk pembentukan biji dibandingkan dengan genotipe lainnya. Analisis sidik lintas antara karakter kuantitatif dengan ITC menunjukkan tidak terdapat karakter kuantitatif yang mutlak dominan mandiri menentukan ITC (Tabel 18). Namun secara relatif, tinggi tanaman pada umur 6 MST dan bobot biji memberikan nilai koefisien korelasi yang sangat nyata positif terhadap ITC (0,52 dan 0,95). Koefisien pengaruh langsung kedua karakter tersebut juga positif cukup besar (0,84 dan 0,78). Berdasarkan nilai tersebut, karakter tinggi pada umur 6 MST dan bobot biji mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam menentukan ITC ke arah positif dibandingkan dengan karakter kuantitatif yang lain, walaupun keduanya tidak dominan secara mutlak. Berdasarkan informasi tersebut dapat dinyatakan bahwa keserempakan analisis terhadap semua karakter yang berhubungan erat dengan ITC perlu mendapat perhatian. Terdapat dua karakter yang harus diperhatikan dari 14 karakter kuantitatif yang diuji, yaitu tinggi tanaman pada umur 6 MST dan bobot biji per tanaman. Peningkatan tinggi tanaman merupakan upaya yang dilakukan tanaman untuk meningkatkan peluang mendapatkan cahaya matahari lebih banyak.
215
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Tabel 18. Koefisien pengaruh langsung (angka yang digaris bawah) dan tak langsung karakter kuantitatif kedelai terhadap indeks toleransi terhadap naungan (ITC). KP Kendalpayak, Malang, MT 2011.
TT2 TT4 TT6 TT8 JD4 LD2 JD4 JD6 JD8 SLD4 SLD6 SLD8 JPI BKBJ
TT2
TT4
TT6
TT8
JD4
LD2
JD4
JD6
JD8
SLD4
SLD6
SLD8
JPI
BKBJ
rxy
0,29 -1,43 0,64 0,22 0,21 0,27 -0,10 -0,02 -0,01 0,04 0,03 0,01 0,00 0,03
0,28 -1,51 0,67 0,22 0,23 0,28 -0,08 -0,02 -0,01 0,04 0,02 0,00 0,01 -0,02
0,22 -1,21 0,84 0,23 0,14 0,21 -0,07 -0,02 -0,01 0,05 -0,01 0,00 -0,13 0,28
0,24 -1,29 0,75 0,26 0,17 0,26 -0,08 -0,03 -0,02 0,04 0,02 0,01 -0,11 0,28
0,23 -1,32 0,44 0,17 0,26 0,23 -0,08 -0,02 0,00 0,01 0,04 -0,01 0,05 -0,11
0,23 -1,22 0,49 0,19 0,17 0,35 -0,08 -0,03 -0,01 0,03 0,03 -0,01 0,00 -0,17
0,19 -0,85 0,37 0,14 0,15 0,19 -0,15 -0,02 0,01 -0,02 0,07 -0,03 -0,01 -0,06
0,18 -0,94 0,45 0,19 0,15 0,28 -0,08 -0,04 -0,02 0,02 0,05 0,04 -0,12 0,10
0,05 -0,27 0,30 0,13 0,01 0,05 0,03 -0,02 -0,04 0,02 -0,02 0,09 -0,18 0,47
-0,11 0,63 -0,45 -0,10 -0,02 -0,10 -0,03 0,01 0,01 -0,10 0,05 -0,03 0,04 -0,22
0,07 -0,23 -0,07 0,04 0,10 0,11 -0,09 -0,02 0,01 -0,05 0,11 -0,02 0,00 -0,10
0,01 -0,03 -0,02 0,02 -0,01 -0,02 0,02 -0,01 -0,02 0,02 -0,02 0,18 -0,08 0,05
0,00 0,05 0,35 0,09 -0,04 0,00 -0,01 -0,02 -0,02 0,01 0,00 0,05 -0,30 0,49
0,01 0,04 0,30 0,09 -0,04 -0,08 0,01 -0,01 -0,02 0,03 -0,01 0,01 -0,19 0,78
0,16 0,10 0,52 0,49 -0,13 -0,03 -0,04 0,27 0,63 -0,42 -0,15 0,09 0,66 0,95
Pengaruh sisa = 0,03 JD: jumlah daun; LD: luas daun; SLD: spesifik luas daun, JPI: jumlah polong isi, BKBJ: bobot biji, angka 4, 6, dan 8 menunjukkan umur dalam minggu setelah tanam
KESIMPULAN Intensitas naungan hingga 75%, meningkatkan tinggi tanaman dan spesifik luas daun, tetapi mengurangi jumlah dan luas daun, laju penyerapan cahaya, laju fotosintesis, indeks klorofil, jumlah polong isi dan bobot biji per tanaman. Pada kondisi ternaungi, bobot biji ditentukan oleh jumlah dan luas daun, laju penyerapan cahaya (PAR), laju fotosintesis dan jumlah polong isi. Jumlah polong isi dinilai efektif sebagai kriteria pemilihan kedelai hasil tinggi pada kondisi ternaungi. Tinggi tanaman dan bobot biji dapat digunakan sebagai indikator toleransi terhadap naungan. Genotipe AI261114-8-28 dan IIj9-299-1-4 toleran terhadap naungan dengan intensitas hingga 75% berdasarkan nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC).
UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih disampaikan kepada Proyek AFACI sebagai penyandang dana penelitian, Balitbangtan, dan Puslitbang Tanaman Pangan yang terlah memberikan kesempatan bagi pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Bakhshy, J., K. Ghassemi–Golezani, S. Zehtab-Salmasi, and M. Moghaddam. 2013. Effects of water deficit and shading on morphology and grain yield of soybean (Glycine Max L.). Tech. J. Engin. & App. Sci. 3(1):39-43. http://tjeas.com/wpcontent/uploads/2013/01/39-43.pdf Tanggal 2 April 2013.
216
De Carvalho Gonçalves, J.F., D.C. De Sousa Barreto, U.M. Dos Santos Jr., A.V.Fernandes, P.D.T. Barbosa Sampaio, and M.S. Buckeridge. 2005. Growth, photosynthesis and stress indicators in young rosewood plants (Aniba rosaeodora Ducke) under different light intensities. Braz. J. Plant Physiol. 17:325-334. Doreste, S.E., C. Arias, and A. Bellotti. 1979. Field evaluations of cassava cultivars for resistance to tetranychid mites. In. Brekelbaum,T., A. Bellotti, and J.C. Lazaro. Proceedings Cassava Protection Workshop. p.161-164. Fernandez, G.C.J. 1993. Effective selection criteria for assessing plant stress tolerance. pp. 257-270. In: C.G. Kuu (ed.). Adaptation of Food Crops to Temperature and Water Stress. Proc. of an Inter. Sym., Taiwan, 13-18 August 1992. AVRDC. Franklin, K.A. 2008. Shade avoidance. New Phytol. 170:930-944. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/ Tanggal 8 Januari 2014. Gao, W.R., X.S.H. Wang, P. Liu, Ch. Chen, J.G. Li, J.S. Zhang, and H. Ma. 2008. Comparative analysis of ESTs in response to drought stress in chickpea (Cicer arietinum L.). Biochemical and Biophysical Research Communications. 376:578-583. He, H., L.Yang, L. Zhao, H. Wu, L. Fan, Y. Xie, Y. Zhu, and C. Li. 2012. The temporal-spatial distribution of light intensity in maize and soybean intercropping systems. J. Resour. Ecol. 3 (2) 169-173. http://www.jorae.cn/fileup/PDF/ Tanggal 24 September 2014. Kakiuchi, J. and T. Kobata. 2006. The relationship between dry matter increase of seed and shoot during the seed-filling period in three kinds of soybeans with different growth habits subjected to shading and thinning. Plant Production Science, 9(1): 20-27. doi:10.1626/pps.9.20 Tanggal 28 Maret 2013. Kisman, N. Khumaida, Trikoesoemaningtyas, Sobir, dan D. Sopandie. 2007. Karakter morfo-fisiologi daun, penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Bul. Agron. 35(2):96-102. Li, C.Y., Z.D. Sun, H.Z. Chen, and S.Z. Yang. 2006. Influence of shading stress during different growth stage on yield and main characters of soybean. Southwest China Journal of Agricultural Sciences 19:265-269.
SUNDARI DAN SUSANTO: HASIL KEDELAI PADA BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN
Liu, B., X.B.Liu, C. Wang, Y.S. Li, J.Jin, and S.J. Herbert. 2010. Soybean yield and yield component distribution across the main axis in response to light enrichment and shading under different densities. Plant Soil Environ. 56(8):384-392.
Sopandie, D., Kisman, N. Khumaida, Trikoesoemaningtyas, dan Sobir. 2007. Karakter morfo-fisiologi daun, penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Bul. Agron. 35(2):96-102.
Muhuria, K.N. Tyas, N. Khumaida, Trikoesoemaningtyas, dan D. Sopandie. 2006. Adaptasi tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya rendah : Karakter daun untuk efisiensi penangkapan cahaya. Bul. Agron. 34(3):133-140.
Sundari, T., Soemartono, Tohari, dan W. Mangoendidjojo. 2008. Anatomi daun kacang hijau genotipe toleran dan sensitive naungan. Bul. Agron. 36(3):221-228.
Mielke, M.S. and B. Schaffer. 2010. Photosynthetic and growth responses of Eugenia uniflora L. seedlings to soil flooding and light intensity. Environ. Exper Bot. 68:113-121. Paciullo, D.S.C., P.B. Fernandes, C.A. de Miranda Gomide, C.R.T. de Castro, F. de Souza Sobrinho, and C.A.B. de Carvalho. 2011. The growth dynamics in Brachiaria species according to nitrogen dose and shade. R. Bras. Zootec. 40(2). http:// dx.doi.org/10.1590/S1516-35982011000200006 Tanggal 12 April 2013. Panhwar, M.A., F.H. Mempn, M.A. Kalhoro, and M.I. Somro. 2004. Performance of maize in intercropping system with soybean under different planting patterns and ni-trogen levels. Journal of Applied Science 4(2):201-204. doi:10.3923/ jas.2004.201.204 Diakses tanggal 28 Maret 2013. Pantilu, L.I., F.R. Mantiri, N.S. Ai, dan D. Pandiangan. 2012. Respons morfologi dan anatomi kecambah kacang kedelai (Glycine max (L.) Merill) terhadap intensitas cahaya yang berbeda. Jurnal Bioslogos. 2(2):79-87. Polthanee, A., K. Promsaena, and A. Laoken. 2011. Influence of low light intensity on growth and yield of four soybean cultivars during wet and dry seasons of Northeast Thailand. Agricultureal Sciences. 2(2):61-67. http://www.scirp.org/ journal/AS/ Diakses tanggal 28 Maret 2013. Singh, R.K. and B.D.Chaudhary. 1977. Biometrical methods in quantitative genetic analysis. Kalyani Publ. Ludhiana. New Delhi.
Suwarto. 2013. Perubahan klorofil, luas daun spesifik, dan efisiensi penggunaan cahaya ubikayu pada sistem tumpangsari dengan jagung. Bul. Agrohorti 1(1):135-139. Trikoesoemaningtyas, D. Wirnas, I. Widodo, L. Muhuria, D. Soepandi, and T. Takano. 2008. Maximizing genetic improvement in the selection of soybean for adaptation to low light intensity. Proceeding of the final seminar “Toward harmonization between development and environmental conservation in biological production”. pp.74-83. Xiong, L, R.G. Wang, G. Mao, and J.M. Koczan. 2006. Identification of drought tolerance determinants by genetic analysis of root response to drought stress and abscisic acid. Plant Physiology 142(3):1065-1074. http://dx.doi.org/10.1104/ Tanggal 9 April 2013. Yang, X.Y., X.F. Ye, G.S. Liu, H.Q. Wei, and Y. Wang. 2007. Effects of light intensity on morphological and physiological characteristics of tobacco seedlings. Chin. J. Appl. Ecol. 18:2642-2645. Zhang, L., W. van der Werf, L. Bastiaans, S. Zhang, B. Li, and J.H.J. Spiertz. 2008. Light interception and utilization in relay intercrops of wheat and cotton. Field Crops Research. 107:2942.data2.xjlas.ac.cn:81/UploadFiles/.../106.pdf Tanggal 16 April 2013. Zhang, J., D.L. Smith, W. Liu, X. Chen, and W. Yang. 2011. Effects of shade and drought stress on soybean hormones and yield of main-stem and branch. The African Journal of Biotechnology. 10(85):14392-14398, http://dx.doi.org/ 10.5897/AJB11.2143 Tanggal 9 April 2013.
217
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
218
WAHYUNI ET AL.: VIGOR BENIH KEDELAI PADA PENYIMPANAN TERBUKA
Model Dinamik Vigor Daya Simpan Benih Kedelai pada Penyimpanan Terbuka Model of Seed Storability Vigor of Soybean Seed in an Open Storage Ari Wahyuni1, M.R. Suhartanto2, Abdul Qadir2 Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, SPs IPB Jalan Meranti Kampus Darmaga Bogor, 16680 E-mail:
[email protected], Telp/HP: 0852 8231 9041 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jalan Meranti Kampus Darmaga Bogor, 16680 1
Naskah diterima 9 Mei 2014 dan disetujui diterbitkan 9 September 2015
ABSTRACT. Soybean seed viability declines during seed storage. Soybean seed deteriorates rapidly, affected by its high protein content and often high humidity in the tropical environment. This research was aimed to develop dynamic model of soybean seed viability in an open storage. The study was conducted in three stages, namely: 1) desk study, 2) seed storage experiment, 3) development of seed storage model, simulation and verification of the model. The second stage of the experiment consisted of soybean seed storing and germination testing using completely randomized design. Treatments were three initial moisture content (7-8%, 910% and 11-12%) and four varieties of soybean (Anjasmoro, Wilis, Detam-1 and Detam-2). The results showed that the seed behaviour during storage period were affected by initial seed moisture content, initial viability, varieties and environmental condition. Therefore, seed moisture content, initial viability and varieties may be used as input model. Moisture content, integreting seed respiration, electric conductivity and seed storability vigor (VDSDB) were as model output. Simulation of Seed Storability Vigor Prediction Model with Model Construction Layer-Stella (MCLS) using relative humidity (RH), temperature, seed permeability, initial moisture content and initial viability as input model could logically predict the seed moisture content and seed storability vigor (VDSDB). Keywords: Soybean, open storage, seed storability vigor, dynamic model. ABSTRAK. Viabilitas benih kedelai mengalami penurunan selama penyimpanan. Kemunduran yang berlangsung secara cepat dipicu oleh tingginya kandungan protein dan kelembaban tinggi, khususnya di daerah tropis. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model dinamik penyimpanan benih kedelai secara terbuka. Penelitian dilakukan melalui tiga tahap yaitu 1) studi literatur, 2) penyimpanan dan pengujian benih, 3) penyusunan model penyimpanan benih, simulasi dan verifikasi model. Penyimpanan dan pengujian benih dilakukan dengan rancangan acak lengkap dengan kadar air awal benih 7-8%, 9-10%, dan 11-12% dan varietas kedelai Anjasmoro, Wilis, Detam-1, dan Detam-2 sebagai perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku benih selama periode penyimpanan dipengaruhi oleh kadar air awal benih, viabilitas awal, varietas dan kondisi lingkungan simpan. Peubah tersebut dapat dijadikan input model. Kadar air benih selama periode simpan, respirasi benih, daya hantar listrik dan vigor daya simpan benih dijadikan output model. Hasil simulasi menggunakan Model Construction Layer-Stella (MCLS) berdasarkan kelembaban relatif (RH), suhu, permeabilitas, kadar air awal dan viabilitas awal benih sebagai input model
menunjukkan hasil yang logik pada output kadar air dan vigor daya simpan benih. Kata kunci: Kedelai, penyimpanan terbuka, vigor daya simpan benih, dan model dinamik.
PENDAHULUAN Pengadaan benih kedelai untuk dibudidayakan dilakukan beberapa waktu sebelum musim tanam dimulai, sehingga benih terlebih dahulu harus disimpan dengan baik agar mempunyai daya tumbuh yang optimal pada saat ditaman. Menurut Purwanti (2004), pengadaan benih kedelai tepat jumlah dan waktu sering berhadapan dengan masalah daya simpan benih yang rendah. Meskipun tergolong sebagai kelompok ortodoks, benih kedelai dikenal sebagai benih berdaya simpan relatif pendek. Kemunduran daya tumbuh benih kedelai berlangsung cepat selama penyimpanan. Kemunduran daya tumbuh benih secara cepat terutama disebabkan oleh tingginya kandungan protein dan kondisi lingkungan tropis dengan kelembaban yang tinggi. Menurut Kong et al. (2009), faktor utama yang berpengaruh terhadap daya simpan benih kedelai meliputi RH ruang simpan, kadar air awal benih, temperatur dan periode simpan benih. Mutu benih yang rendah merupakan salah satu masalah dalam upaya peningkatan produksi kedelai, apalagi pencantuman umur simpan benih di Indonesia jarang dinyatakan pada kemasan benih. Produsen benih memiliki informasi mutu benih hanya pada awal produk dikemas dan sebelum terebut didistribusikan, sementara informasi mutu benih selama penyimpanan tidak diketahui petani. Karena itu perlu pengujian benih terlebih dahulu. Kegiatan tersebut memerlukan waktu dan biaya tambahan yang akan memengaruhi keuntungan produsen atau harga jual hingga ke petani.
219
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Proses kemunduran benih bersifat kompleks (Copeland dan McDonald 2004), menjadi obyek yang cukup rumit untuk dipelajari apa adanya, sehingga diperlukan pendekatan kemunduran benih sebagai suatu sistem. Sistem adalah mekanisme dimana berbagai komponen berinteraksi untuk membentuk suatu fungsi dan penyederhanaannya disebut sebagi model (Handoko 2005). Kemunduran benih dalam penyimpanan merupakan sistem yang dinamik, sehingga merupakan model yang sesuai dengan kemunduran benih. Model dinamik vigor daya simpan benih dapat digunakan untuk memberikan informasi kepada produsen dengan ketepatan hasil seperti pengujian, tanpa tambahan waktu dan biaya, sehingga bermanfaat dalam upaya penyediaan benih bermutu secara tepat waktu dengan harga terjangkau. Model dinamik vigor daya simpan benih kedelai diharapkan dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk mendapatkan informasi vigor daya simpan benih secara cepat dan akurat dalam proses penentuan kelayakan benih sebelum ditanam di lapang. Model ini dibangun berdasarkan pendekatan proses yang terjadi selama penyimpanan sehingga memberikan hasil yang akurat. Hasbianto (2012) mengungkapkan bahwa model dinamik penyimpanan benih kedelai (SoyVios-2 Model) dengan input permeabilitas dan luas kemasan, RH lingkungan simpan (RH out), suhu, kadar air awal dan viabilitas awal dapat menduga secara logik kadar air (KA) benih, VDSDB, VDSDHL dan periode simpan benih kedelai varietas Anjasmoro yang disimpan pada kemasan karung plastik, kantung plastik polyprophilen, dan alumunium foil. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perilaku kemunduran benih dan menyusun model vigor daya simpan benih kedelai pada penyimpanan terbuka.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan melalui kegiatan penyimpanan dan pengujian benih di laboratorium, penyusunan model, simulasi serta verifikasi model. Percobaan penyimpanan dan pengujian benih dilaksanakan pada bulan April sampai November 2013 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan model, simulasi, dan verifikasi model dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai April 2014. Bahan yang digunakan adalah benih kedelai varietas Anjasmoro, Wilis, Detam-1 dan Detam-2, kemasan plastik polypropilen (PP). Alat yang digunakan terdiri atas
220
timbangan analitik, alat pengecambah benih tipe IPB 72-1, alat analisis respirasi, sealer, thermohigrometer, conductivity meter dan Software Stella 9.0.2. Perumusan Sistem Penyimpanan Terbuka Penyimpanan benih terbuka diidentifikasi sebagai suatu sistem yang dipengaruhi oleh kondisi ruangan simpan. Obyek pemodelan difokuskan pada berkurangnya viabilitas benih yang disimpan pada ruang simpan terbuka (suhu kamar). Pemodelan dilakukan terhadap penurunan viabilitas benih selama penyimpanan dalam hubungannya dengan proses metabolisme benih dan interaksinya terhadap kondisi ruang simpan. Diagram Alir Sistem Penyimpanan Benih Proses aliran massa air dari ruang simpan ke dalam benih dideskripsikan dalam diagram alir dengan berbagai peubah yang terlibat, baik peubah luar maupun peubah dalam, yang diawali oleh proses absorpsi uap air dari ruang simpan melalui kulit benih. Imbibisi benih meningkatkan kadar air benih dan memengaruhi aktivitas enzim. Aktivitas enzim digunakan untuk pembongkaran cadangan makanan melalui respirasi yang menyebabkan pengurangan energi pertumbuhan benih dan kerusakan membran sel hingga akhirnya menurunkan vigor daya simpan benih. Penyusunan Model Model disusun berdasarkan diagram alir yang dilanjutkan dengan penentuan hubungan kuantitatif antarkomponen dalam sistem. Hubungan kuantitatif antarkomponen dalam sistem diperoleh dari penelusuran pustaka dan percobaan. Penelusuran pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai hubungan antara peubah luar (kondisi ruang simpan) dengan peubah dalam (peubah-peubah dalam benih) selama penyimpanan benih. Hubungan Kuantitatif Antarkomponen dalam Sistem Hubungan kuantitatif antarkomponen dalam sistem bertujuan untuk membangun proses yang logik dalam model. Penyimpanan dan Pengujian Benih di Laboratorium Percobaan terdiri atas penyimpanan terbuka benih kedelai menggunakan rancangan acak lengkap dengan varietas dan kadar air awal benih sebagai perlakuan.
WAHYUNI ET AL.: VIGOR BENIH KEDELAI PADA PENYIMPANAN TERBUKA
Varietas yang digunakan terdiri atas Anjasmoro dan Wilis (kedelai kuning), Detam-1 dan Detam -2 (kedelai hitam). Kadar air awal benih terdiri atas 7-8%, 9-10% dan 1112%. Benih disimpan selama 4 bulan pada kemasan plastik PP pada suhu kamar 25-30oC. Peubah yang diamati meliputi kadar air selama penyimpanan (KA), respirasi, daya hantar listrik (DHL) dan daya berkecambah benih (DB). Hubungan kuantitatif dan logik yang diperoleh dari percobaan dimasukkan ke dalam diagram alir untuk membentuk suatu model dalam bentuk input proses dan output. Proses perangkaian peubah dalam sistem menggunakan software Stella membentuk Model Construction Layer (MCL). Hubungan persamaan matematik dalam MCL disusun dalam Equation Layer (EL) (Qadir 2012). Simulasi dan Validasi Simulasi model dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan (logik) model yang telah disusun, sehingga dapat ditentukan validitas model tersebut. Hasil penelitian Hasbianto (2012) tentang penyimpanan terbuka benih kedelai menunjukkan varietas, kadar air awal, viabilitas awal, suhu dan RH dapat dijadikan input model. Input model yang digunakan dalam simulasi penelitian ini terdiri atas tingkat kelembaban ruang simpan, suhu ruang simpan, ukuran benih, permeabilitas benih, kadar air awal dan viabilitas awal simpan, sedangkan output simulasi terdiri atas kadar air benih, respirasi, tingkat kebocoran membran (daya hantar listrik), dan daya berkecambah setelah periode penyimpanan (vigor daya simpan).
simpan yang sama. Berdasarkan verifikasi kuantitatif, hasil simulasi dinyatakan sesuai atau tidak berbeda dengan hasil aktual jika p-value lebih besar dari α (0,05).
HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan model menggunakan dasar diagram alir sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Diagram alir penyimpanan benih mendeskripsikan proses yang terjadi selama penyimpanan benih, yang diawali oleh proses penyerapan (absorpsi) uap air melalui kulit benih, sehingga meningkatkan kadar air benih. Peningkatan kadar air benih menyebabkan pengaktifan enzim dehidrogenase, sehingga proses respirasi meningkat. Peningkatan proses respirasi berpengaruh terhadap kerusakan membran sel yang ditunjukkan oleh bocoran metabolit benih kedelai. Peningkatan bocoran metabolit benih berpengaruh terhadap proses perkecambahan benih, hingga akhirnya menurunkan vigor daya simpan (VDS) benih. Proses-proses tersebut dipengaruhi oleh varietas, RH dan suhu, permeabilitas benih serta kondisi awal benih sebelum disimpan (vigor awal benih).
Verifikasi Model Verifikasi dimaksudkan sebagai tahapan kegiatan pemodelan yang bertujuan untuk menilai kesesuaian hasil simulasi dengan hasil aktual. Hasil aktual diperoleh dari percobaan penyimpanan dan pengujian benih. Handoko (2005) menjelaskan bahwa verifikasi model dapat dilakukan melalui metode kualitatif dan kuantitif. Verifikasi model secara kualitatif di antaranya menggunakan grafik yang dapat memvisualisasikan output model dengan pengukuran berdasarkan waktu atau periode tertentu, sehingga lebih luas dibandingkan metode kuantitatif (uji statistik) yang perbandingannya berdasarkan nilai pada titik tertentu. Berdasarkan hasil verifikasi kualitatif, nilai dugaan dinyatakan berkesesuaian jika nilai hasil dugaan (simulasi) berada dalam selang kepercayaan (1-α = 0,95) dari hasil aktual. Verifikasi model secara kuantitatif menggunakan uji statistik, dengan membandingkan secara berpasangan (uji-t) hasil simulasi dengan hasil aktual pada periode
Keterangan:
Gambar 1. Diagram alir penyimpanan terbuka benih kedelai.
221
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Penyusunan Model Model sebagai penyederhanaan dari suatu sistem memerlukan pembatasan, terutama terkait dengan faktor-faktor yang menjadi variabel dalam model yang dibentuk. Percobaan penyimpanan dan pengujian benih kedelai dilakukan untuk mempelajari perilaku benih pada penyimpanan terbuka. Perilaku benih diperlukan untuk menentukan variabel-variabel yang dapat dijadikan sebagai input dan output model serta menentukan hubungan antar komponen. Perilaku empat varietas benih kedelai (Anjasmoro, Wilis, Detam-1 dan Detam-2) pada KA awal 9-10% ditunjukkan melalui peubah KA seperti tertera pada Gambar 2. Kadar air pada keempat varietas benih kedelai (Anjasmoro, Wilis, Detam-1 dan Detam-2) meningkat selama periode simpan 4 bulan. Meskipun terjadi peningkatan kadar air selama penyimpanan 4 bulan, benih keempat varietas kedelai masih dapat mempertahankan kadar airnya pada batas aman hingga akhir periode simpan, yaitu ≤ 11%.
Gambar 2. Kadar air empat varietas benih kedelai selama penyimpanan terbuka.
Perilaku respirasi dan daya hantar listrik empat varietas benih kedelai pada penyimpanan terbuka dengan kadar air awal 9-10% tertera pada Gambar 3. Respirasi dan daya hantar listrik benih meningkat selama periode simpan 4 bulan. Proses respirasi menimbulkan peningkatan suhu yang berlangsung secara perlahan. Pada kondisi penyimpanan yang baik, panas hasil respirasi sedikit memengaruhi kondisi benih pada penyimpanan, tetapi pada kondisi lembap, peningkatan panas hasil respirasi menimbulkan kerusakan pada benih yang disimpan. Peningkatan respirasi dan daya hantar listrik diduga terjadi karena adanya peningkatan kadar air benih selama penyimpanan. Respirasi dan daya hantar listrik merupakan salah satu komponen penilaian deteriorasi benih. Pengaruh varietas terhadap peningkatan respirasi dan daya hantar listrik memberikan respon yang berbeda. Hal ini diduga berkaitan dengan komposisi kimia benih antarvarietas, berbeda dengan kandungan protein. Balitkabi (2012) menyebutkan kandungan protein benih kedelai varietas Detam-1, Anjasmoro, Detam-2 dan Wilis berturut-turut 45,36%, 41,80-42,10%, 45,58%, dan 37,0%. Perilaku empat varietas benih kedelai pada kadar air awal 9-10% yang ditunjukkan melalui peubah daya berkecambah (DB) disajikan pada Gambar 4. Daya berkecambah sebagai tolok ukur vigor daya simpan benih keempat varietas benih kedelai selama periode simpan 4 bulan cenderung menurun hingga akhir periode simpan. Hal ini memberikan indikasi terjadinya penurunan mutu fisiologis benih kedelai yang disimpan. Sebagain besar benih kedelai yang disimpan mampu mempertahankan viabilitasnya > 80% hingga akhir periode simpan, yaitu benih dari varietas Anjasmoro, Wilis, dan Detam-2. Hal ini diduga berkaitan dengan viabilitas awal benih sebelum simpan. Benih
Gambar 3. Respirasi dan DHL empat varietas benih kedelai.
222
WAHYUNI ET AL.: VIGOR BENIH KEDELAI PADA PENYIMPANAN TERBUKA
Gambar 4. DB empat varietas benih kedelai selama penyimpanan terbuka.
Gambar 5. DB benih kedelai varietas Anjasmoro pada KA awal berbeda selama penyimpanan terbuka.
kedelai yang disimpan dengan viabilitas awal tinggi (95100%) memiliki periode simpan yang lebih panjang dibanding benih yang memiliki viabilitas sedang (8095%). Jyoti dan Malik (2013) juga mengemukakan bahwa mutu dan viabilitas benih selama penyimpanan bergantung pada viabilitas awal benih dan teknik penyimpanan. Perilaku benih kedelai varietas Anjasmoro pada kadar air awal yang berbeda yaitu pada KA awal 7-8%, 910% dan 11-12% ditunjukkan melalui peubah DB sebagaimana disajikan pada Gambar 5. Daya berkecambah varietas Anjasmoro cenderung menurun hingga akhir periode simpan. Meskipun terjadi penurunan DB, benih varietas Anjasmoro mampu mempertahankan viabilitasnya > 80% hingga akhir periode simpan. Penurunan DB benih kedelai selama periode simpan mengindikasikan turunnya mutu fisiologis benih yang disimpan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Copeland dan McDonald (2004) yang menyatakan bahwa proses mundurnya mutu fisiologis benih terjadi secara berangsur-angsur dan kumulatif akibat perubahan fisiologis dan biokimia benih. Hasil percobaan penyimpanan dan pengujian benih kedelai yang meliputi perilaku benih selama penyimpanan menunjukkan varietas, kadar air awal, viabilitas awal, suhu dan RH dapat dijadikan input untuk model yang disusun. Input tersebut mampu memprediksi perubahan pada output model, yaitu kadar air benih, respirasi, dan vigor daya simpan benih. Model pendugaan vigor daya simpan benih dapat disusun berdasarkan persamaan yang menghubungkan antara nilai kadar air dengan respirasi benih kedelai. Kadar air dan respirasi benih berpengaruh terhadap mutu fisiologis benih selama penyimpanan.
Persamaan tersebut menggambarkan hubungan antara respirasi (CO2) dengan kadar air (MC). Konstanta yang diperoleh dari hubungan tersebut adalah a (0,0630) dan b (0,616). Pendugaan vigor daya simpan benih kedelai berdasarkan nilai DHL menggunakan persamaan regresi yang menghubungkan antara nilai DHL dengan VDSDHL benih kedelai.
Log CO2 = a(MC)-b ( Hall 1970)
VDSDB = ki - (0,05662 + 0,0198*DHL -0,0029*DHL2) Nilai dugaan VDSDB pada periode simpan adalah viabilitas awal (ki) dikurangi dengan VDSDHL. Hubungan kuantitatif yang digunakan untuk membangun model penyimpanan benih kedelai dapat dilihat pada Tabel 1. Hubungan kuantitatif antarkomponen dari pustaka dan percobaan penyimpanan benih dirangkai dalam Model Construction Layer - Stella (MCL-S) yang mengacu pada penelitian Hasbianto (2012) dengan modifikasi. MCL-S untuk model dinamik penyimpanan benih kedelai dideskripsikan pada Gambar 6. MCL penyimpanan benih terdiri atas conferter, conector, flow dan stocks. Conferter yang digambarkan sebagai { berfungsi untuk menyimpan konstanta, input persamaan, melakukan kalkulasi dari berbagai input lainnya atau menyimpan data dalam bentuk grafis (tabulasi x dan y), misal input permeabilitas kemasan, RHout dan suhu. Conector yang dilambangkan sebagai → berfungsi untuk menghubungkan conferter ke conferter (KA ke respirasi), conferter ke flow (respirasi ke metabolit) dan stocks ke conferter (DHL ke VDS) dari model. Aliran/flow yang dilambangkan dengan berfungsi untuk menambah atau mengurangi stok misal perubahan RH kemasan dan metabolit. Stocks digambarkan sebagai merupakan hasil akumulasi dari suatu aliran massa. DHL dan RHin adalah akumulasi aliran yang berfungsi sebagai stocks. 223
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Simulasi dan Verifikasi Model
Tabel 1. Hubungan kuantitatif antar komponen untuk membangun model.
Keterangan : n/t = jumlah air terserap per hari, g.hari-1; Ab = luas permukaan kemasan; Rhout = RH luar; Rhin = RH dalam kemasan; Po = tekanan uap jenuh air; Me = kadar air kesetimbangan; Mt = kadar air selama periode simpan; Mo = kadar air awa; n = 1.52; c untuk varietas kedelai = 3.20x10-5; T = temperatur; A = luas permukaan benih, θ periode simpan (hari); k = koefisien divusivitas benih kedelai; r = jari-jari benih; Dv = divusivitas untuk varietas kedelai sebesar 10-11 m2.detik-1; v = viabilitas benih, σ = simpangan baku distribusi frekuensi kematian benih pada periode tertentu, p adalah periode simpan; Ki = intersep atau viabilitas awal sebelum simpan; KE, CW, CH dan CQ = konstanta spesifik komoditas. Konstanta spesifik untuk komoditas kedelai berdasarkan Kruse et al. (2005) yaitu KE (7.748), CW (3.979), CH (0.053) dan CQ (0.000228).
Input yang digunakan untuk simulasi model terdiri atas varietas, permeabilitas awal, jari-jari benih yang mewakili ukuran benih, kadar air awal dan viabilitas awal benih (Tabel 2). Penggunaan input model ini bisa disesuaikan tergantung out put model apa yang akan dihasilkan. Hasil simulasi dengan output model berupa kadar air dan respirasi empat varietas benih kedelai yang disimpan selama periode simpan 16 minggu tertera pada Gambar 7. Pola yang logik ditunjukkan oleh kadar air dan respirasi benih kedelai yang disimpan selama periode simpan 16 minggu. Kadar air dan respirasi pada empat varietas benih kedelai mengalami peningkatan selama periode simpan 4 bulan. Hasil simulasi dengan output model berupa DHL dan VDSDB empat varietas benih kedelai yang disimpan selama periode simpan 16 minggu tertera pada Gambar 8. Pola yang logik ditunjukkan pada DHL oleh adanya peningkatan bocoran metabolit selama penyimpanan benih kedelai. Pola logik juga terdapat pada VDSDB benih kedelai yang disimpan selama periode simpan 16 minggu. Benih kedelai mengalami penurunan VDSDB selama periode simpan, yang mengindikasikan turunnya mutu fisiologis benih yang disimpan.
Po Pr Kemas an A ke m a sa n R H out R H in
: : : : :
nt A Me a dan b DS ki
: : : : : :
t e ka n a n u a p a ir je n u h p e rm e a b ilit as k e m a s a n lu a s k e m a s a n R H lu a r k e m a s a n R H d a la m ke m a sa n ju m la h ua p a ir t e rse ra p beni h ju m la h ua p a ir u d a ra k a d a r a i r ke s e imb a n g a n k o n st a n ta re sp i ra s i d a y a s im p an v ia b ilita s a w a l
Gambar 6. MCL penyimpanan benih kedelai.
224
Mo A b e n ih r b e n ih k Dv
: : : : :
KA aw al lu a s p e rmu k a a n b e n ih ja ri-ja ri b e n ih ko e f . Div u sit a s b e n ih d ivu s ita s b e n ih
c dan n ps ki D HL V DS
: : : : :
ko n s ta n t a p e rs . He n d e rs o n p e rio d e s im p a n via b ilit a s a wa l d a ya h a n ta r list rik vig o r d a ya
WAHYUNI ET AL.: VIGOR BENIH KEDELAI PADA PENYIMPANAN TERBUKA
Verifikasi model penyimpanan terbuka benih empat varietas kedelai dengan output KA tertera pada Gambar 9. Verifikasi secara kualitatif menunjukkan adanya kesesuaian antara kadar air benih empat varietas kedelai hasil simulasi dengan aktual. Kesesuaian tersebut
Tabel 2. Input simulasi model penyimpanan terbuka benih empat varietas kedelai. Uraian Permeabilitas awal (μS/cm/g) Jari-jari 1 (mm) Jari-jari 2 (mm) Kadar awal (%) Viabilitas awal (%)
Anjasmoro
Wilis
Detam 1
Detam 2
33,83
33,75
42,99
41,05
4,32 3,44 8,00 97,33
3,54 2,90 8,00 96,67
3,78 3,37 8,00 89,33
3,69 3,21 8,00 91,33
Jari-jari 1 adalah rata-rata r untuk dua sisi panjang benih kedelai. Jari-jari 2 adalah rata-rata r untuk dua sisi pendek benih kedelai. Pengukuran menggunakan jangka sorong digital dengan ketepatan dua digit.
didasarkan pada data hasil simulasi yang berada dalam selang kepercayaan (1- α = 0,95) dari hasil aktual hingga periode simpan 16 minggu. Hasil verifikasi nilai KA selama 16 minggu menggunakan uji-t menunjukkan nilai pvalue varietas Anjasmoro (0,512), Wilis (0,102), Detam-1 (0,194) dan Detam-2 (0,051) yang masing-masing lebih besar dari α (0,05), berarti hasil simulasi tidak berbeda nyata (terdapat kesesuaian) dengan hasil aktual. Verifikasi model pada penyimpanan terbuka benih empat varietas kedelai dengan output VDSDB tertera pada Gambar 10. Verifikasi secara kualitatif menunjukkan adanya kesesuaian antara VDSDB empat varietas benih kedelai hasil simulasi dengan aktual. Hasil verifikasi nilai VDSDB selama 16 minggu menunjukkan nilai p-value varietas Anjasmoro (0,429), Wilis (0,054), Detam-1 (0,208) dan Detam-2 (0,159) yang masing-masing lebih besar dari α (0,05), berarti hasil simulasi tidak berbeda nyata (terdapat kesesuaian) dengan hasil aktual.
Gambar 7. Hasil simulasi kadar air dan respirasi benih empat varietas kedelai.
Gambar 8. Hasil simulasi DHL dan VDSDB benih empat varietas kedelai.
225
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Gambar 9. Kadar air benih empat varietas kedelai hasil simulasi dan aktual.
Gambar 10. VDSDB empat varietas benih kedelai hasil simulasi dan aktual.
226
WAHYUNI ET AL.: VIGOR BENIH KEDELAI PADA PENYIMPANAN TERBUKA
KESIMPULAN
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik. No. 45/ 07/ Th. XVI, 1 Juli 2014. Diunduh tanggal 5 Agustus 2014.
Perilaku kemunduran benih kedelai dapat ditunjukkan oleh peubah kadar air, respirasi, DHL dan DB (vigor daya simpan). Kemunduran benih selama penyimpanan terbuka diindikasikan oleh peningkatan KA, respirasi, DHL dan penurunan vigor daya simpan benih. Model dinamik penyimpanan terbuka benih kedelai dapat menduga secara logik dan layak kadar air (KA) dan vigor daya simpan (VDSDB) benih kedelai. Varietas Anjasmoro dan Wilis mampu mempertahankan vigor daya simpan 80% selama empat bulan penyimpanan. Varietas Detam-1 dan Detam-2 mengalami penurunan vigor daya simpan < 80% setelah disimpan selama 11 minggu. VDSDB benih pada akhir periode simpan untuk varietas Anjasmoro, Wilis, Detam-1 dan Detam-2 masingmasing adalah 84%, 80%, 68% dan 70%. Model dinamik penyimpanan benih dapat digunakan untuk menduga perilaku kemunduran benih berbagai varietas kedelai. Input model yang digunakan terdiri atas varietas, permeabilitas awal, jari-jari benih yang mewakili ukuran benih, kadar air awal dan viabilitas awal benih.
Copeland, L.O., M.B. McDonald. 2001. Seed Science and Technology. Washington. Chapman and Hall. Thomson Publishing.
UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Program Kerja Sama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N) Tahun 2013, serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM-IPB) atas bantuan dana penelitian.
Ellis, R.H., T.D. Hong. 2006. Temperature sensivity of low moisture content limit to negative seed longevity-moisture content relationship in hermetic storage. Annals of Botany 97:785 – 791. Hall, D.W. 1970. Handling and Storage of Food Grains in Tropical and Sub tropical Areas. FAO Agr. Dev. Paper No. 90. Handoko. 2005. Quantitative Modeling of System Dynamics for Natural Resources Management. Southeast Asian Regional Centre For Tropical Biology. Bogor. Hasbianto, A. 2012. Pemodelan penyimpanan benih kedelai pada sistem penyimpanan terbuka [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Henderson, S.M., R.L. Perry. 1976. Agricultural Process Engineering. 3rd. Edition, The AVI publishing co. Inc. Westport Connecticut. Indartono. 2011. Pengkajian suhu ruang penyimpanan dan teknik pengemasan terhadap kualitas benih kedelai. Gema Teknologi 16(3) : 158-163. Jyoti, C. P. Malik. 2013. Seed Deterioration. International Journal of Life Sciences Biotechnology and Pharma Research. 2(3):374-385. Koizumi, M., K. Kikuchi, S. Isobe, N. Ishida, S. Naito, H. Kano. 2008. Role of seed coat imbibing soybean observed by micromagnetic resonance imaging. Annals of Botany 102:343-352. Kong, F., Chang, S. K. C. 2009. Statistical and kinetic studies of the changes in soybean quality during storage as related to soymilk and tofu making. Journal of Food Science 74 (2): 8189. Kruse, M., K.G. Ghiasi, S. Schmohl. 2005. The seed vaibility equation for analysing seed storage behaviour. 7th ISTA Seminar on Statistics. University of Hohenheim. Marwanto. 2004. Soybean seed coat characteristics and its quality losses during incubator aging and storage. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 6:57-65. Purwanti S. 2004. Kajian suhu ruang simpan terhadap kualitas benih kedelai hitam dan kedelai kuning. J. Ilmu Pert. 11(1): 22-31.
DAFTAR PUSTAKA Arpah, M. 2007. Penetapan kadaluwarsa pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. [Balitkabi] Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai. Unit Produksi Benih Sumber – Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Qadir, A. 2012. Pemodelan pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) di bawah cekaman naungan [disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Salinas, A.R., R.M.Craviotto, C. Beltran, V. Bisaro, M. Yoldjian. 2010. Electrical conductivity of soybean seed cultivars and adjusted models of leakage curves along the time. Revista Caatinga; Mossoro 23:1-7. Shelar, V.R., R.S. Shaikh, A.S. Nikam. 2008. Soybean seed quality during storage: a review. Agric. Rev. 29:125-131.
227
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
228
TERRYANA ET AL.: ALAT PENGUSANG CEPAT BENIH KEDELAI
Alat Pengusang Cepat IPB 77-1 MM untuk Penapisan Vigor Daya Simpan Benih Kedelai Accelerated Aging Machine IPB 77-1 MM for Soybean Seed Screening Based on Seed Storability Vigor Rerenstradika Tizar Terryana1, M.R. Suhartanto2, dan Abdul Qadir2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111 E-mail:
[email protected]; No. Telp/HP : 0852 8231 9041 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jalan Meranti Kampus Darmaga Bogor, 16680
1
Naskah diterima 16 Mei 2014 dan disetujui diterbitkan 9 September 2015
ABSTRACT. Accelerated Aging Machine “IPB 77-1 MM” could be used for soybean seed screening based on the seed storability vigor. The aim of the research was to identify simple, fast and accurate accelerated aging method using accelerated aging machine IPB 77-1 MM. Two methods of accelerated aging test (physical and chemical treatment) were applied to seeds of Anjasmoro soybean variety. The best accelerated aging method was then used to screen seed storability vigor of 23 soybean varieties. Seed storability vigor of 23 soybean varieties were detected using accelerated aging machine IPB 77-1 MM and each was compared with the seed storability vigor of those stored 10 weeks in controlled storage. Results of the experiment showed that using chemical or physical treatment on accelerated aging process were able to decrease seed vigor, but chemical treatment decreased seed vigor faster, more simple and more practical. Accelerated aging machine IPB 77-1 MM could also be used for screening varietal seed storability vigor of soybean using electrical conductivity test. Keywords: Soybean seed, accelerated aging machine, storability, electrical conductivity. ABSTRAK. Alat Pengusang Cepat IPB 77-1 MM dapat digunakan untuk penapisan benih kedelai berdasarkan vigor daya simpan. Penelitian bertujuan untuk memperoleh metode pengusangan cepat benih kedelai secara cepat, mudah, dan akurat menggunakan alat pengusang cepat IPB 77-1 MM yang sesuai untuk penapisan vigor daya simpan beberapa varietas benih kedelai. Dua metode uji pengusangan cepat benih (fisik dan kimia) menggunakan alat pengusang cepat IPB 77-1 MM diaplikasikan pada benih kedelai varietas Anjasmoro untuk mendapatkan metode terbaik pengusangan cepat benih. Metode pengusangan cepat terbaik selanjutnya digunakan untuk menapis 23 varietas benih kedelai berdasarkan vigor daya simpannya. Hasil penapisan 23 varietas benih kedelai tersebut selanjutnya dibandingkan dengan vigor daya simpan 23 varietas benih kedelai yang telah disimpan dalam kondisi ruang simpan terkontrol selama 10 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pengusangan cepat menggunakan alat pengusang cepat IPB 77-1 MM, baik secara fisik maupun kimia, dapat menurunkan vigor benih, tetapi metode pengusangan secara kimia lebih cepat dalam menurunkan vigor benih. Metode pengusangan secara kimia juga lebih praktis dan mudah dalam pengaplikasian. Alat Pengusang cepat IPB 77-1 MM dapat digunakan
untuk penapisan benih kedelai berdasarkan vigor daya simpannya dengan menggunakan uji daya hantar listrik. Kata kunci: Benih kedelai, alat pengusang cepat, daya simpan, daya hantar listrik.
PENDAHULUAN Pengadaan benih kedelai dilakukan beberapa waktu sebelum musim tanam, sehingga benih terlebih dahulu harus disimpan dengan baik agar mempunyai daya tumbuh yang optimal pada saat ditanam. Menurut Purwanti (2004), pengadaan benih kedelai bermutu sering berhadapan dengan masalah daya simpan benih yang rendah karena suhu dan kelembaban ruang simpan, sehingga benih kedelai cepat mengalami penurunan viabilitas dan vigor selama masa penyimpanan. Mutu fisiologis benih kedelai tergolong cepat mengalami penurunan viabilitas (daya tumbuh dan kekuatan tumbuh) dan vigor pada suhu dan kelembaban yang relatif tinggi, akibat laju respirasi yang meningkat (Rahayu et al. 2009). Hasil penelitian Tatipata et al. (2004) menunjukkan benih kedelai yang mengalami penurunan viabilitas dan vigor dicerminkan oleh menurunnya kadar fosfolipid, protein membran, fosfor anorganik mitokondria, aktivitas spesifik suksinat dehidrogenase, sitokromoksidase, dan laju respirasi. Vigor daya simpan benih merupakan salah satu parameter vigor benih yang ditunjukkan oleh kemampuan benih selama masa penyimpanan dalam kondisi suboptimum (Sadjad et al. 1999). Benih yang memiliki vigor daya simpan benih tinggi akan lebih panjang daya simpannya jika kondisi ruang simpan optimum. Lot benih yang menunjukkan daya berkecambah yang sama
229
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
belum tentu mempunyai vigor daya simpan benih yang sama. Oleh karena itu, vigor daya simpan benih merupakan informasi penting yang sangat dibutuhkan produsen, konsumen, ilmuwan, dan analis benih. Vigor daya simpan benih dapat dideteksi melalui metode pengusangan cepat benih secara fisik dan kimia (Sadjad 1994). Metode pengusangan cepat benih secara fisik menggunakan uap air panas dapat menciptakan kondisi lembab dan panas pada benih, sehingga penurunan viabilitas benih berlangsung secara gradual (Suhartanto 1994). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan suhu dan kelembaban tinggi menurunkan viabilitas benih dengan cepat sehingga dapat digunakan untuk menduga vigor daya simpan benih. Ferdianti (2007) menggunakan metode pengusangan cepat (MPC) fisik pada suhu 45oC dan kelembaban nisbi 100% selama 48, 96, dan 144 jam efektif untuk uji vigor daya simpan benih gandum. Menurut Peng et al. (2011), kondisi pengusangan cepat yang optimal untuk benih gandum adalah pada suhu 55oC dengan RH 90%. Pengusangan benih secara kimia menggunakan uap etanol dengan intensitas yang semakin tinggi dapat menyebabkan kerusakan membran sel yang selanjutnya menurunkan viabilitas benih secara gradual (Pian 1981; Setyawati 1989; Pramono 2000). Uap etanol akan berpengaruh buruk terhadap penurunan kualitas fisiologi benih (Zanzibar 2007). Menurut Pian (1981), perlakuan benih dengan uap etanol dapat meningkatkan kandungan etanol benih yang mengakibatkan perubahan sifat molekul makro yang berpengaruh terhadap enzim, membran sel, mitokondria dan organel lainnya yang berperan dalam perkecambahan benih. Perangkat keras yang dapat digunakan dalam pengusangan benih ialah alat pengusang cepat IPB 771. Sadjad (1977) merancang alat pengusang cepat IPB 77-1 untuk menduga daya simpan benih melalui metode pengusangan cepat secara kimia. Alat pengusang cepat IPB 77-1 memiliki kelemahan, yaitu periode waktu penderaan yang relatif lama. Selanjutnya MPC IPB 77-1 dimodifikasi menjadi MPC IPB 77-1 M. Berdasarkan hasil penelitian Sadjad (1992), terjadi peningkatan efisiensi waktu penderaan benih dengan alat pengusang cepat IPB 77-1 M dari 60 menit menjadi 30 menit untuk benih jagung, dan dari 30 menit menjadi 20 menit untuk benih kedelai. Alat tersebut masih memiliki kelemahan dimana benih mengalami gesekan antarbutiran kelembaban nisbi tinggi, dan suhu tidak optimum. Pada tahun 1994 telah dirakit alat pengusang cepat IPB 77-1 MM yang merupakan hasil modifikasi alat pengusang cepat 77-1 M untuk menyempurnakan sistem pergerakan benih dalam ruang deraan.
230
Penelitian uji pengusangan cepat benih secara fisik dan kimia pada kasus kemunduran viabilitas benih kedelai akibat goncangan telah dilakukan Suhartanto (1994) dengan alat pengusang cepat IPB 77-1 MM. Hasil penelitian menunjukkan alat pengusang cepat IPB 77-1 MM dapat mengindikasikan kemunduran viabilitas benih kedelai akibat goncangan berdasarkan metode pengusangan cepat benih secara fisik. Pada tahun 2011, alat pengusang cepat IPB 77-1 MM dimodifikasi lebih lanjut untuk menyempurnakan bentuk alat dan sistem pergerakan benih dalam ruang deraan. Alat pengusang cepat IPB 77-1 MM juga dirancang untuk memungkinkan terjadinya devigorasi benih secara bertahap agar proses devigorasi hanya terfokus pada benih yang akan didera. Devigorasi dilakukan dengan menempatkan benih dalam keadaan non-stasioner menggunakan uap panas (fisik) atau uap etanol (kimia) secara bertahap. Hingga saat ini belum terdapat alat yang dapat digunakan untuk menduga vigor daya simpan benih kedelai secara cepat, mudah dan akurat. Alat pengusang cepat IPB 77-1 MM diharapkan dapat dimanfaatkan secara efektif untuk mendapatkan informasi vigor daya simpan benih kedelai secara cepat, mudah dan akurat dalam proses penentuan kelayakan benih kedelai sebelum tahap penanaman di lapang. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode pendugaan vigor daya simpan benih kedelai secara cepat, mudah dan akurat dengan alat pengusang cepat IPB 77-1 MM serta memanfaatkan alat tersebut untuk penapisan beberapa varietas benih kedelai berdasarkan vigor daya simpannya.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Mei hingga September 2013. Penelitian melalui beberapa tahapan kegiatan yaitu (1) penentuan metode pengusangan cepat benih dengan alat pengusang cepat IPB 77-1 MM, (2) penyimpanan dan pengujian benih di laboratorium, dan (3) analisis perbandingan hasil penapisan varietas benih kedelai berdasarkan vigor daya simpan benih secara buatan dengan vigor daya simpan benih secara alami. Materi uji yang digunakan adalah benih kedelai varietas Krakatau, Kaba, Anjasmoro, Pangrango, Seulawah, Lawit, Dempo, Wilis, Malabar, Sinabung, Dieng, Panderman, Sindoro, Burangrang, Grobogan, Lokon, Tidar, Tanggamus, Rajabasa, Ijen, Ratai, Kawi dan Argopuro yang memiliki viabilitas awal >95%.
TERRYANA ET AL.: ALAT PENGUSANG CEPAT BENIH KEDELAI
Pengusangan cepat masing-masing benih kedelai menggunakan alat pengusang cepat IPB 77-1 MM dengan rancangan acak lengkap faktorial. Sebagai perlakuan adalah waktu pengusangan cepat benih dengan empat ulangan. Waktu pengusangan cepat baik secara fisik maupun kimia sama, yaitu 0, 1x10, 2x10, 3x10, 4x10, 5x10, 6x10 dan 7x10 menit. Suhu dan kelembaban nisbi udara dalam ruang deraan pada saat proses pengusangan cepat secara fisik berkisar antara 52-89%, sedangkan saat proses pengusangan cepat secara kimia berkisar 32-82%. Benih kedelai yang digunakan adalah varietas Anjasmoro. Variabel yang diamati meliputi daya berkecambah (DB), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), bobot kering kecambah normal (BKKN), D50 dan daya hantar listrik (DHL). Penapisan Benih secara Buatan dan Alami Pada percobaan ini, benih 23 varietas kedelai (Krakatau, Kaba, Anjasmoro, Pangrango, Seulawah, Lawit, Dempo, Wilis, Malabar, Sinabung, Dieng, Panderman, Sindoro, Burangrang, Grobogan, Lokon, Tidar, Tanggamus, Rajabasa, Ijen, Ratai, Kawi dan Argopuro) diusangkan menggunakan metode pengusangan cepat benih terbaik hasil percobaan pertama. Secara terpisah, benih 23 varietas kedelai disimpan selama 0, 2, 4, 6, 8 dan 10 minggu pada ruang simpan tertutup bersuhu 30oC dengan kelembaban nisbi udara 85.3%. Penapisan dilakukan dengan cara mengelompokkan varietas kedelai berdasarkan rata-rata nilai vigor daya simpan pada setiap variabel pengamatan. Vigor awal (VA) Vigor daya simpan = . (VDS) Sudut kemiringan garis linier (o) Pada percobaan ini juga dilakukan analisis tingkat kesesuaian data hasil penapisan berdasarkan vigor daya
simpan secara buatan (VDS-buatan) dengan vigor daya simpan secara alami (VDS-alami). Analisis tingkat kesesuaian antara VDS_buatan dengan VDS_alami dilakukan dengan cara menghitung persentase kesesuaian hasil penapisan pada setiap variabel pengamatan. Variabel yang diamati meliputi daya berkecambah (DB), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT) dan daya hantar listrik (DHL).
HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Metode Pengusangan Cepat Benih Kedelai Hasil percobaan menunjukkan bahwa pengusangan cepat benih kedelai secara fisik dan kimia menurunkan daya berkecambah, indeks vigor, kecepatan tumbuh dan bobot kering kecambah normal, sejalan dengan semakin bertambahnya waktu pengusangan, dan nyata meningkatkan daya hantar listrik (Tabel 1 dan 2). Nilai variabel DB, K CT, IV dan BKKN menurun dibandingkan dengan kontrol, sejalan dengan waktu pengusangan, namun perbedaan nilai antar dua perlakuan yang berurutan tidak selalu nyata. Untuk variabel DB, perbedaan nilai daya berkecambah diperoleh setelah pengusangan 3x10 menit atau lebih, untuk variabel IV setelah pengusangan 1x10 menit, untuk variabel KCT setelah pengusangan 2x10 menit, dan untuk variabel BKKN setelah pengusangan 3x10 menit atau lebih. Variabel DB, K CT , IV dan BKKN tidak mampu menunjukkan perbedaan yang nyata oleh perlakuan pengusangan cepat fisik. Sebaliknya, DHL mampu membedakan masing-masing hasil perlakuan pengusangan cepat fisik secara nyata.
Tabel 1. Pengaruh waktu pengusangan cepat benih kedelai secara fisik terhadap variabel daya berkecambah (DB), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), bobot kering kecambah normal (BKKN), dan daya hantar listrik (DHL). Pengusangan cepat fisik (menit) 0x10 (kontrol) 1x10 2x10 3x10 4x10 5x10 6x10 7x10
DB (%)
IV (%)
100 a 92 ab 89 ab 83 bc 77 bc 70 cd 56 de 43 e
88 a 78 b 70 b 59 c 40 d 28 e 24 ef 19 f
KCT (% KN/etmal) 46,16 41,78 39,29 35,59 30,16 25,91 21,14 16,31
a ab bc cd de ef fg g
BKKN (g) 0,06 0,06 0,05 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04
a a ab bc c d d d
DHL (µS/cm/g) 09,88 10,97 11,86 13,64 15,92 16,13 18,53 20,77
h g f e d c b a
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
231
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Tabel 2. Pengaruh waktu pengusangan cepat benih kedelai secara kimia terhadap daya berkecambah (DB), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (K CT), bobot kering kecambah normal (BKKN) dan daya hantar listrik (DHL). Pengusangan cepat fisik (menit)
DB (%)
0 (kontrol) 1x10 2x10 3x10 4x10 5x10 6x10 7x10
IV (%)
100 a 90 ab 85 b 69 c 54 d 41 e 30 e 12 f
KCT (% KN/etmal)
88 a 64 b 35 c 0d 0d 0d 0d 0d
46,16 38,58 31,37 20,66 16,47 11,97 8,95 3,68
a b c d e f f g
BKKN (g) 0,05 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,03 0,03
DHL (µS/cm/g)
a b b c cd d e e
9,88 h 11,79 g 17,32 f 19,04 e 24,62 d 28,03 c 29,40 b 29,82 a
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Tabel 3. Persamaan regresi linier, nilai korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2) antara variabel viabilitas dan vigor benih kedelai dengan waktu pengusangan cepat benih secara fisik dan kimia. Pengusangan Fisik Persamaan Regresi Daya Berkecambah y = 103 – 0,764 x Indeks Vigor y = 88.17 – 1,069 x Kecepatan Tumbuh y = 46,95 – 0,426 x Bobot Kering Kecambah Normal y = 0,056 – 0,00029 x Daya Hantar Listrik y = 9,339 – 1,537 x
Pengusangan Kimia
R2
r
Persamaan Regresi
R2
R
0,89
-0,94**
y = 104,4 – 1,265 x
0,97
-0,98**
0.97
-0,98**
y = 72.46 - 1,525 x
0,81
-0,90**
0,98
-0,98**
y = 43,66 – 0,609 x
0,98
-0,98**
0,94
-0,97**
y = 0,055 – 0,00036 x
0,95
-0,98**
0,96
0,98**
y = 10,19 – 3,159 x
0,97
0,98**
y: peubah viabilitas dan vigor benih; x: peubah waktu pengusangan (menit). Angka yang diikuti oleh tanda (**)sangat nyata pada taraf 1%.
Penentuan Metode Terpilih Metode pengusangan cepat benih dipilih berdasarkan persamaan hasil analisis regresi linier serta kemudahan dan kecepatan pelaksanaannya. Berdasarkan hasil analisis regresi linier dan korelasi yang menggambarkan hubungan antara waktu pengusangan cepat benih (x) dengan variabel viabilitas dan vigor benih kedelai (y) yang tertera pada Tabel 3 diketahui nilai koefisien korelasi (r) seluruh variabel vigor benih hampir mendekati satu (r H” 1). Hal tersebut menunjukkan terdapat keeratan hubungan nyata antara waktu pengusangan cepat benih dengan variabel viabilitas dan vigor benih. Analisis regresi linier juga dilakukan untuk melihat nilai koefisien determinasi (R-Sq atau R2). Mattjik dan Sumertajaya (2006) mengemukakan bahwa semakin besar nilai R2 maka model persamaan semakin mampu menerangkan variabel y. Metode pengusangan cepat benih secara fisik maupun kimia memiliki nilai koefisien determinasi yang tinggi.
232
Daya berkecambah benih pada metode pengusangan cepat secara fisik menurun hingga 50% pada perlakuan pengusangan selama 7x10 menit, sedangkan daya berkecambah pada metode pengusangan cepat secara kimia menurun hingga 50% pada perlakuan pengusangan selama 4x10 hingga 5x10 menit (Gambar 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pengusangan cepat benih secara fisik sama baiknya dengan secara kimia, tetapi metode pengusangan cepat benih secara kimia memerlukan waktu relatif lebih singkat dalam menurunkan daya perkecambahan benih hingga 50%. Selain itu, dari segi teknis, metode pengusangan cepat benih kedelai secara kimia relatif lebih mudah dan lebih cepat karena prosedur pengoperasian metode pengusangan cepat benih secara fisik membutuhkan waktu 90-120 menit untuk memperoleh suhu yang konstan dalam ruang deraan.
100
100
90
90
80
Daya Berkecambah (%)
Daya Berkecambah (%)
TERRYANA ET AL.: ALAT PENGUSANG CEPAT BENIH KEDELAI
70 60 50 40 30 20 10
80 70 60 50 40 30 20 10 0
0 00
10 1x10
20 30 40 50 5x10 2x10 4x10 3x10 Waktu Pengusangan (menit)
60 6x10
70 7x10
00
Waktu Pengusangan Cepat (menit)
10 20 30 40 50 60 70 5x10 7x10 1x10 2x10 4x10 3x10 6x10 Waktu Pengusangan (menit) Waktu Pengusangan Cepat (menit)
Gambar 1. Kurva hubungan waktu pengusangan cepat benih kedelai secara fisik (a) dan kimia (b) dengan daya berkecambah benih.
Perbandingan Hasil Penapisan Benih Kedelai secara Buatan dan Alami Hasil penelitian menunjukkan terdapat kesesuaian antara hasil penapisan 23 varietas benih kedelai berdasarkan VDS-buatan dengan VDS-alami pada variabel daya berkecambah sebesar 56,5% (Tabel 4). Berdasarkan rata-rata nilai VDS-buatan dan VDS-alami pada variabel daya berkecambah benih, kedelai varietas Seulawah, Kaba, Pangrango, Sinabung dan Wilis dapat dikelompokkan ke dalam varietas yang memiliki vigor daya simpan tinggi, sedangkan Sindoro, Ratai, Panderman, Lokon, Dieng, Rajabasa, Grobogan dan Tanggamus dikelompokkan ke dalam varietas bervigor daya simpan rendah. Untuk variabel indeks vigor terdapat kesesuaian antara hasil penapisan berdasarkan VDS-buatan dengan VDS(Tabel 5). Berdasarkan data rata-rata nilai VDS-buatan alami dan VDS-alami pada variabel indeks vigor, kedelai varietas Sindoro, Burangrang, Seulawah, Rajabasa dan Kaba dapat dikelompokkan ke dalam varietas yang memiliki vigor daya simpan tinggi, sedangkan varietas Malabar, Panderman, Kawi, Argopuro, Lokon, Ratai, Wilis dan Grobogan dikelompokkan ke dalam varietas bervigor daya simpan rendah. Kesesuaian antara hasil penapisan berdasarkan VDSdengan hasil penapisan berdasarkan VDS-alami pada buatan variabel kecepatan tumbuh sebesar 47,8% (Tabel 6). Berdasarkan data rata-rata nilai VDS-buatan dan VDS-alami pada variabel kecepatan tumbuh, kedelai varietas Kaba, Sindoro, Burangrang, Anjasmoro, Tidar dan Lokon dikelompokkan ke dalam varietas bervigor daya simpan tinggi, sedangkan varietas Kawi, Sinabung, Rajabasa,
Tabel 4. Perbandingan hasil penapisan 23 varietas kedelai berdasarkan V DS-buatan dan V DS-alami pada variabel daya berkecambah. Varietas
VDS-alami
Varietas
Seulawah Kaba Argopuro Tidar Ijen Burangrang Kawi Pangrango Sinabung Wilis Anjasmoro Dempo Sindoro Ratai Panderman Lokon Dieng Rajabasa Malabar Grobogan Lawit Tanggamus Krakatau
3,414 3,322 3,260 3,208 3,196 3,181 3,161 3,146 3,145 3,123 3,086 3,082 3,069 3,067 3,058 3,055 3,046 3,043 3,038 3,017 3,011 2,939 2,928
Krakatau Kaba Anjasmoro Pangrango Seulawah Lawit Dempo Wilis Malabar Sinabung Dieng Panderman Sindoro Burangrang Grobogan Lokon Tidar Tanggamus Rajabasa Ijen Ratai Kawi Argopuro
Rata-rata 3,113 Ringkat kesesuaian 56,5%
VDS-buatan 3,809 3,686 3,636 3,529 3,474 3,450 3,331 3,273 3,212 3,209 3,139 3,113 3,081 3,070 3,056 3,036 3,027 3,017 2,965 2,957 2,956 2,882 2,841 3,206
- - -: batas rata-rata.
Wilis, dan Tanggamus dapat dikelompokkan ke dalam varietas yang memiliki vigor daya simpan rendah. Berdasarkan variabel daya hantar listrik, kesesuaian antara hasil penapisan berdasarkan VDS-buatan dengan
233
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Tabel 5. Perbandingan hasil penapisan 23 varietas kedelai berdasarkan VDS-buatan dan VDS-alami pada variabel indeks vigor. Varietas
VDS-alami
Varietas
Seulawah Sinabung Burangrang Sindoro Kaba Anjasmoro Dieng Rajabasa Ijen Dempo Lawit Malabar Ratai Tanggamus Grobogan Panderman Krakatau Tidar Pangrango Argopuro Kawi Wilis Lokon
3,649 3,566 3,483 3,445 3,438 3,402 3,387 3,368 3,366 3,363 3,331 3,317 3,287 3,286 3,285 3,276 3,267 3,262 3,258 3,202 3,166 3,148 3,051
Sindoro Burangrang Krakatau Pangrango Seulawah Rajabasa Tidar Tanggamus Kaba Anjasmoro Malabar Panderman Kawi Argopuro Lawit Dieng Lokon Ratai Wilis Grobogan Ijen Sinabung Dempo
Rata-rata 3,331 Tingkat kesesuaian 56,5%
Tabel 6. Perbandingan hasil penapisan 23 varietas kedelai berdasarkan VDS-buatan dan VDS-alami pada variabel kecepatan tumbuh.
VDS-buatan 3,960 3,475 3,445 3,425 3,390 3,253 3,233 3,233 3,221 3,173 3,165 3,121 3,111 3,066 3,058 3,050 3,000 2,988 2,986 2,935 2,909 2,900 2,898
Varietas
VDS-alami
Varietas
Anjasmoro Lawit Seulawah Tidar Sindoro Ratai Dempo Malabar Grobogan Burangrang Kaba Argopuro Lokon Pangrango Ijen Kawi Krakatau Dieng Panderman Tanggamus Sinabung Wilis Rajabasa
3,992 3,831 3,797 3,734 3,607 3,603 3,598 3,585 3,583 3,545 3,536 3,535 3,486 3,457 3,429 3,373 3,292 3,273 3,256 3,246 3,127 3,050 2,971
Pangrango Dieng Kaba Panderman Sindoro Burangrang Anjasmoro Krakatau Tidar Lokon Ijen Seulawah Kawi Ratai Sinabung Dempo Lawit Grobogan Rajabasa Argopuro Wilis Malabar Tanggamus
VDS-buatan 4,042 3,561 3,536 3,409 3,406 3,403 3,367 3,355 3,345 3,316 3,310 3,293 3,268 3,267 3,251 3,178 3,177 3,172 3,146 3,129 3,097 3,031 2,925
3,174 Rata-rata 3,474 Tingkat kesesuaian 47,8%
3,304
- - -: batas rata-rata. - - -: batas rata-rata.
hasil penapisan berdasarkan VDS-alami sebesar 78,2% (Tabel 7). Kedelai varietas Kaba, Lawit, Krakatau, Pangrango, Kawi, dan Ratai dikelompokkan ke dalam varietas yang memiliki vigor daya simpan tinggi, sedangkan varietas Malabar, Anjasmoro, Grobogan, Argopuro, Rajabasa, Tidar, Wilis, Panderman, Tanggamus, Lokon, Ijen, dan Dempo dapat dikelompokkan ke dalam varietas bervigor daya simpan rendah berdasarkan rata-rata nilai VDS-buatan dan VDS-alami pada variabel daya hantar listrik. Berdasarkan rekapitulasi seluruh hasil percobaan, daya hantar listrik merupakan variabel yang paling sesuai digunakan dalam penapisan varietas kedelai berdasarkan vigor daya simpan benih apabila menggunakan alat pengusang cepat IPB 77-1 MM. Variabel daya hantar listrik memiliki nilai kesesuaian penapisan berdasarkan VDS-buatan dan VDS-alami tertinggi, mencapai 78,2%, lebih tinggi dibandingkan dengan variabel daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh benih. Hal ini juga didukung oleh hasil
234
percobaan sebelumnya yang menunjukkan daya hantar listrik merupakan variabel yang lebih peka dalam membedakan setiap titik waktu pengusangan cepat benih. Daya hantar listrik merupakan salah satu variabel pengujian benih secara fisik untuk melihat tingkat kebocoran dan degradasi membran sel. Menurut Saenong (1986), variabel daya hantar listrik dapat lebih dini menunjukkan kemunduran benih kedelai, karena gejala utama kemunduran benih adalah terjadinya degradasi membran sel yang akhirnya diikuti oleh penurunan energi yang dibutuhkan untuk biosintesis. Roberts (1972) mengemukakan bahwa eksudat yang keluar karena kebocoran membran sel dapat mendorong berkembangnya mikroorganisme, sehingga memperlambat proses perkecambahan, meningkatkan kepekaan kecambah terhadap cekaman lingkungan, meningkatkan pertumbuhan kecambah abnormal dan akhirnya benih akan kehilangan kemampuan untuk berkecambah.
TERRYANA ET AL.: ALAT PENGUSANG CEPAT BENIH KEDELAI
Tabel 7. Perbandingan hasil penapisan 23 varietas kedelai berdasarkan VDS-buatan dan VDS-alami pada variabel daya hantar listrik. Varietas
VDS-alami
Varietas
VDS-buatan
Pangrango Kaba Lawit Sindoro Krakatau Seulawah Ratai Kawi Sinabung Malabar Wilis Burangrang Argopuro Rajabasa Grobogan Dieng Anjasmoro Panderman Dempo Lokon Tidar Ijen Tanggamus
3,618 3,569 3,538 3,536 3,379 3,291 3,260 3,222 3,220 2,972 2,947 2,889 2,882 2,882 2,867 2,831 2,825 2,823 2,807 2,779 2,775 2,768 2,751
Kaba Lawit Krakatau Burangrang Pangrango Dieng Kawi Ratai Malabar Anjasmoro Sinabung Sindoro Grobogan Argopuro Rajabasa Tidar Wilis Panderman Tanggamus Lokon Ijen Dempo Seulawah
3,408 3,363 3,349 3,347 3,345 3,225 3,091 3,057 3.023 3,000 2,998 2,992 2,989 2,981 2,933 2,916 2,914 2,912 2,902 2,809 2,796 2,795 2,609
Rata-rata 3,062 Tingkat kesesuaian 78,2%
3,033
Bogor, Tahun Anggaran 2013, serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM-IPB) atas bantuan dana penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Ferdianti, H. 2007. Uji vigor daya simpan dan vigor kekuatan tumbuh pada beberapa galur gandum (Triticum aestivum L.) [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 38p. Peng, Q., K. Zhiyou, L. Xiaohong, and L. Yeju. 2011. Effects of accelerated aging on physiological and biochemical characteristics of waxy and non waxy wheat seeds. Journal of Northeast Agricultural University 18(2):7-12. Pian, Z.A. 1981. Penggunaan uap etil alkohol terhadap viabilitas benih jagung dan pemanfaatannya untuk menduga daya simpan [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 278p. Pramono, E. 2000. Efektivitas desikan arang kayu dalam mempertahankan vigor daya simpan benih kedelai (Glycine max L.). Pros. Sem. Hasil-hasil Penelitian Universitas Lampung. p 85-94 Purwanti, S. 2004. Study of storage temperature on the quality of black and yellow soybean seed. Jurnal Ilmu Pertanian 11(1): 22-31. Rahayu, M., Sudarto, K. Puspadi, dan I. Mardian. 2009. Paket teknologi produksi benih kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Nusa Tenggara Barat. 48p. Roberts, E.H. 1972. Viability of seeds. Champman Hall. London.
- - -: batas rata-rata
KESIMPULAN Alat pengusang cepat IPB 77-1 MM dapat digunakan sebagai alat penduga vigor daya simpan benih kedelai melalui metode pengusangan cepat benih secara fisik maupun kimia. Prosedur pengusangan cepat benih secara kimia lebih cepat dan lebih mudah dibandingkan dengan pengusangan cepat benih secara fisik dalam menurunkan viabilitas benih hingga 50%. Alat pengusang cepat IPB 77-1 MM dapat dimanfaatkan untuk penapisan varietas benih kedelai berdasarkan variabel vigor daya simpannya menggunakan metode pengusangan cepat benih secara kimia dan tolok ukur daya hantar listrik dengan nilai kesesuaian penapisan 78,2%.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Program Penelitian Unggulan Strategis Nasional Institut Pertanian
Sadjad, S. 1992. Studi pemanfaatan mesin pengusang cepat IPB 77-1 yang dimodifikasi untuk simulasi kemunduran benih kedelai oleh goncangan transportasi. Makalah Hasil-hasil Penelitian Institut Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sadjad, S. 1994. Kuantifikasi metabolisme benih. Jakarta: PT Widiasarana Indonesia. 145p. Sadja, S., E. Muniarti, dan S. Ilyas. 1999. Parameter pengujian vigor benih dari komparatif ke simulatif. PT Widiasarana Indonesia. Jakarta. 185p. Saenong, S. 1986. Kontribusi vigor awal terhadap daya simpan benih jagung (Zea mays L.) dan kedelai (Glycine max L. Merr) [Desertasi]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 210 p. Setyawati, A.S. 1989. Pengaruh devigorasi etanol, radiasi Co-60 dan etil metasulfonat (EMS) terhadap kemunduran benih bayam [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suhartanto, M.R. 1994. Studi sistem multiplikasi devigorasi secara fisik dan kimia pada kasus kemunduran viabilitas benih kedelai (Glycine max L.) akibat goncangan [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 51 p. Tatipata, A., P. Yudono, A. Purwantoro, dan W. Mangoendidjojo. 2004. Kajian aspek fisiologi dan biokimia deteriorasi benih kedelai dalam penyimpanan. Ilmu Pertanian 11(2):76-87. Zanzibar, M. 2007. Pengaruh perlakuan pengusangan dengan uap etanol terhadap penurunan kualitas fisiologi benih akor, merbau dan mindi. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 4(2): 69-118.
235
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
236
YAMIN ET AL.: PENDUGAAN PARAMETER GENETIK GANDUM
Pendugaan Parameter Genetik Populasi F3 dan F4 Tanaman Gandum Persilangan Oasis x HP1744 Genetic Parameters Estimate of F3 and F4 Wheat Populations Derived from Oasis x HP1744 Cross Mayasari Yamin1, Darda Efendi2, dan Trikoesoemaningtyas2 Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, SPS IPB Jalan Meranti Kampus Darmaga Bogor, 16680 E-mail:
[email protected];
[email protected] 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jalan Meranti, Kampus Darmaga Bogor, 16680, Indonesia 1
Naskah diterima 20 Februari 2014 dan disetujui diterbitkan 28 Oktober 2015
ABSTRACT. The study was aimed to obtain the information on the genetic diversity on agronomic traits of wheat among the F3 and F4 generations, derived from crosses of Oasis x HP1744, planted at the highland and medium elevation. The second objective was to acquire the character for selection and to acquire the adaptable genotypes on the highland and on the plain medium elevation. Selection was carried out using Shuttle Breeding, where F3 generation was selected at the Experimental Station of Cipanas (1100 m asl) and F4 generation was selected at the plain medium elevation of Cisarua (600 m asl). The experiment used Augmented Designs. Genetic material consisted of 57 F3 pedigree families selected from the F2 generation of Oasis x HP1744 cross plus six check varieties. The F4 generation cinsisted 320 selected genotypes from the F3 generation plus six check varieties. Plant height, flag leaf area, percentage of empty florets per panicle, number of grains/panicle and grain weight/panicle of the F3 generation showed larger mid value than the two parents. In the F4 generation, flag leaf greenness, total number of tillers, number of productive tillers, main panicle seed weight, number of seeds/ panicle, seed weight/panicle, number of seeds/plant and seed weight/plant indicated the mean value larger than that of the Oasis. Plant height, number of productive tillers, days to flowering, maturity, spikelet number, and the total number of florets of the F4 generation showed higher heritability than that of F3 generation. Character suitable for indirect selection in the F3 was plant height, which indicated the best indirect differential selection. Potential families for further selection included: O/HP 21, O/HP 82, O/HP 12, O/HP 100 and O/HP 28. Characters most suitable for indirect selection in the F4 generation were: main panicle seed weight which indicated the best indirect differential selection. Genotypes potential for further selection in the medium elevation were O/ HP82-19; O/HP82-15, O/HP78-5, O/HP49-30 and O/HP78-2.
Shuttle Breeding. Generasi F3 diseleksi di dataran tinggi Kebun Percobaan Balithi, Cipanas (1.100 m dpl). Generasi F4 diseleksi di dataran menengah di Cisarua (600 m dpl). Penelitian menggunakan rancangan Augmented Design, materi genetik terdiri dari 57 famili F3 hasil seleksi pedigree dari generasi F2 (Oasis x HP1744) dan enam varietas pembanding. Generasi F4 terdiri dari 320 genotipe hasil seleksi dari generasi F3 dan enam varietas pembanding. Tinggi tanaman, luas daun bendera, persentase floret hampa per malai, jumlah biji/malai dan bobot biji/malai dari generasi F3 memiliki nilai tengah lebih baik dari kedua tetuanya. Genotipe F4 menunjukkan kehijauan daun bendera, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, bobot biji malai utama, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, jumlah biji/tanaman, dan bobot biji/tanaman, keragaan nilai tengah yang lebih baik dibandingkan dengan tetua Oasis. Tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen, jumlah spikelet, dan jumlah floret total genotipe F4 memiliki nilai heritabilitas yang lebih tinggi dari generasi F3. Karakter seleksi tidak langsung yang sesuai untuk generasi F3 adalah tinggi tanaman yang menunjukkan diferensial seleksi tidak langsung terbaik. Famili yang potensial untuk diseleksi lebih lanjut diantaranya O/HP 21, O/HP 82, O/HP 12, O/HP 100 dan O/HP 28. Karakter seleksi tidak langsung sesuai untuk F4 adalah bobot biji malai utama dengan diferensial seleksi tidak langsung terbaik. Genotipe yang potensial untuk diseleksi lebih lanjut di dataran menengah diantaranya O/HP82-19; O/HP82-15, O/HP785, O/HP49-30 dan O/HP78-2.
Keywords: Wheat, character selection, differential selection, shuttle breeding, variance components.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan gandum di dataran menengah dan rendah adalah suhu tinggi. Althuhaish et al. (2014) melaporkan bahwa iklim di dataran tinggi sangat berbeda dataran rendah atau menengah pada garis lintang yang sama. Budi daya gandum pada kondisi suhu tinggi menghambat pertumbuhan tanaman, jumlah anakan dan luas daun, serta mengurangi hasil dan komponen hasil (Althuhaish
ABSTRAK. Gandum merupakan tanaman pangan introduksi yang memerlukan suhu rendah untuk berproduksi optimal. Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi keragaman genetik karakter agronomis pada generasi F3 dan F4 gandum dari persilangan Oasis x HP1744, karakter seleksi, dan genotipe yang beradaptasi di dataran tinggi dan menengah. Penelitian dilaksanakan dengan menerapkan
Kata kunci: Gandum, diferensial seleksi, karakter seleksi, komponen ragam, shuttle breeding.
PENDAHULUAN
237
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
et al. 2014). Bobot biji dan jumlah biji gandum sangat sensitif terhadap suhu tinggi seperti yang ditunjukkan oleh penurunan jumlah biji/malai dengan meningkatnya suhu. Selain itu, peningkatan suhu menyebabkan ketidakseimbangan antara fotosintesis dan respirasi (Wahid et al. 2007). Cekaman suhu tinggi merupakan faktor pembatas utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil gandum di banyak daerah di dunia (Modarresi et al. 2010). Cekaman suhu tinggi dapat mempercepat pertumbuhan tanaman gandum yang mengakibatkan penurunan hasil (Irfaq et al. 2005). Cekaman suhu tinggi mengurangi jumlah pigmen fotosintetik, protein terlarut, RBP (rubisco binding proteins), LS-rubisco dan SS-rubisco dalam gelap, tetapi pada kondisi cahaya naik kembali berperan menyerupai chaperone dan HSPs. Selain itu, pada kondisi suhu tinggi, sintesis pati dan sukrosa sangat dipengaruhi oleh penurunan aktivitas enzim SPS, ADPglucose, pyrophosphorylase dan invertase (Vu et al. 2001). Keragaman genetik sangat penting untuk memenuhi tujuan pemuliaan tanaman seperti meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil dan memiliki adaptasi yang lebih luas (Mondal 2003). Pendugaan keragaman genetik dapat dilakukan melalui pendekatan analisis kuantitatif (biometrik) yang dapat menduga model genetik, jumlah gen pengendali, dan mengurai ragam genetik menjadi ragam genetik aditif, dominan, dan epistasis, serta nilai heritabilitas (Fehr 1987). Tingginya ragam genetik menyebabkan tingginya nilai koefisien keragam genetik (KKG) yang menunjukkan peluang terhadap usahausaha perbaikan yang efektif melalui seleksi (Yunianti et al. 2010). Pengembangan gandum di dataran menengah memerlukan seleksi karakter yang tepat. Seleksi pada karakter agronomi dapat dilakukan secara langsung dan tak langsung. Jumlah anakan produktif dapat digunakan sebagai karakter seleksi untuk potensi hasil (Budiarti et al. 2004). Mohammedi et al. (2007) menyatakan bahwa bobot biji/malai di bawah kondisi cekaman suhu tinggi merupakan karakter yang lebih baik untuk menyaring genotipe toleran. Anwar et al. (2009) melaporkan bahwa jumlah anakan produktif memiliki pengaruh langsung tertinggi dan cocok digunakan sebagai penanda seleksi untuk karakter potensi hasil. Natawijaya (2012) menyatakan bahwa jumlah anakan produktif dan bobot biji/malai dapat digunakan sebagai karakter untuk menyeleksi genotipe gandum berdaya hasil tinggi. Dari seleksi terhadap populasi F2 persilangan Oasis x HP 1774 berdasarkan jumlah anakan produktif dan bobot biji per malai telah dihasilkan 131 benih famili F2.
238
Perakitan gandum yang mampu beradaptasi baik pada dataran menengah maupun rendah dapat dicapai dengan dua pendekatan, yaitu pemuliaan langsung dan shuttle breeding. Pemuliaan langsung merupakan pendekatan pemuliaan yang dilakukan di lingkungan target cekaman untuk mengeksploitasi gen-gen yang berhubungan dengan karakter toleransi. Shuttle breeding merupakan metode pemuliaan yang bertujuan untuk memisahkan materi genetik antara lokasi alternatif yang digunakan (Borlaug 1968). Secara khusus, proses pemuliaan shuttle breeding melibatkan lokasi yang berbeda berdasarkan lintang, ketinggian tempat, dan curah hujan, yang terbukti merupakan metode yang paling efesien dalam memperkenalkan dan memilih gen untuk lingkungan yang tertekan (Velu et al. 2013). Seleksi segregan persilangan Oasis x HP1744 telah dilakukan pada generasi F2 di dataran tinggi (Natawijaya, 2012). Analisis keragaman genetik dan seleksi famili berdaya hasil tinggi juga telah dilakukan pada generasi F3 di dataran tinggi, sedangkan untuk generasi F4 dilakukan analisis keragaman genetik, seleksi berdasarkan karakter agronomi, dan seleksi galur-galur gandum yang toleran terhadap suhu tinggi di dataran menengah. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi keragaman genetik karakter agronomi gandum untuk memperoleh karakter seleksi yang akan digunakan dalam menyeleksi genotipe-genotipe yang toleran terhadap suhu tinggi dan melakukan seleksi pada generasi F3 dan F4 dari persilangan Oasis x HP1744.
BAHAN DAN METODE Penelitian populasi F3 dilaksanakan di dataran tinggi di Kebun Percobaan Balithi, Cipanas, dengan ketinggian tempat ±1.100 m dpl pada bulan April-Agustus 2012. Penelitian populasi F4 dilaksanakan di dataran menengah di Cisarua, Bogor, dengan ketinggian tempat ± 600 m dpl pada bulan Februari 2013 sampai Mei 2013. Bahan genetik yang digunakan adalah generasi F3 dan F4 hasil persilangan varietas introduksi Oasis x HP1744. Generasi F3 terdiri atas 57 famili hasil seleksi silsilah (pedigree) dari 131 famili F2 (Natawijaya 2012). Generasi F4 terdiri atas 320 genotipe dari 40 famili hasil seleksi pedigree dari generasi F3. Sebagai pembanding digunakan varietas nasional Selayar dan Dewata, varietas introduksi Rabe dari India, Basribey dari Turki, dan kedua tetua Oasis dan HP1744.
YAMIN ET AL.: PENDUGAAN PARAMETER GENETIK GANDUM
Pelaksanaan Penelitian Generasi F3 di Dataran Tinggi Cipanas (1.100 m dpl) Percobaan generasi F3 disusun dalam rancangan perbesaran Augmented Design, dengan luas petakan 1 m x 1 m. Perlakuan terdiri atas enam varietas pembanding (Selayar, Dewata, Rabe, Basribey, Oasis, dan HP1744) yang diulang empat kali dan 57 famili (Oasis x HP1744). Varietas pembanding dan famili masing-masing ditanam satu biji/lubang dengan jarak tanam 10 cm x 10 cm. Pemupukan pertama dengan dosis 150 kg/ha urea, 200 kg/ha SP36, dan 100 kg/ha KCl dilakukan pada umur 10 HST (hari setelah tanam). Pemupukan kedua dengan dosis 150 kg/ha urea pada umur 30 HST. Jumlah sampel yang diamati adalah 30 tanaman per famili, 57 famili F3 diseleksi menjadi 40 famili terbaik menggunakan seleksi silsilah. Setiap famili diambil delapan malai terbaik, sehingga diperoleh 320 galur F4. Generasi F4 di Dataran Menengah Cisarua (600 m dpl) Generasi F4 yang terdiri atas 320 galur disusun dalam rancangan perbesaran (Augmented Design), dengan ukuran petak 1 m x 1 m sebanyak 98 petak. Enam varietas pembanding (Selayar, Dewata, Rabe, Basribey, Oasis, dan HP1744) diulang sebanyak tiga kali, dan 80 petak digunakan untuk menanam 320 galur (Oasis x HP1744). Varietas pembanding dan famili masing-masing ditanam satu biji/lubang dengan jarak tanam 10 cm x 10 cm. Pemupukan pertama dengan dosis 150 kg/ha urea, 200 kg/ha SP36, dan 100 kg/ha KCl dilakukan pada umur 10 HST. Pemupukan kedua dengan dosis 150 kg/ha urea dilakukan pada umur 30 HST. Jumlah sampel yang diamati yaitu lima genotipe dari 20 total tanaman (seleksi 25%). Pengamatan dilakukan terhadap populasi F3 dan F4 pada fase vegetatif yang terdiri atas tinggi tanaman, jumlah anakan total, luas daun bendera, kehijauan daun bendera menggunakan SPAD, dan jumlah anakan produktif. Pengamatan pada fase generatif meliputi umur berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah spikelet, jumlah floret total, jumlah floret hampa per malai, dan persentase floret hampa per malai. Pengamatan pada fase produksi terdiri atas jumlah biji malai utama, bobot biji malai utama, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, jumlah biji/tanaman, dan bobot biji/tanaman. Analisis Data untuk Generasi F3 dan F4 Analisis data generasi F3 dan F4 menggunakan metode Augmented Design. (rancangan pembesaran). Analisis keragaman digunakan untuk menduga nilai ragam
fenotipe (ó2p), ragam genetik (ó2G), ragam lingkungan (ó2E), koefisien keragaman genetik (KKG), standar deviasi ragam genetik (ó ó2G), dan pendugaan heritabilitas dalam arti luas (hbs).
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Nilai Tengah Generasi F3 di Dataran Tinggi Nilai tengah karakter agronomi generasi F3 di dataran tinggi (1.100 mdpl) disajikan pada Tabel 1. Karakter tinggi tanaman (70,9 cm), luas daun bendera (18,5 cm2), persentase floret hampa per malai (31,7%), jumlah biji/ malai (34,4) dan bobot biji per malai (1,5 g) memiliki nilai tengah yang lebih baik dibandingkan dengan kedua tetuanya. Keragaan Nilai Tengah Generasi F4 di Dataran Menengah Nilai tengah karakter agronomi generasi F4 di dataran menengah disajikan pada Tabel 2. Galur-galur generasi F4 memberikan jumlah biji malai utama, bobot biji malai utama, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, jumlah biji/ tanaman, dan hasil (bobot biji/tanaman) yang lebih baik dibandingkan dengan tetua toleran Oasis (Tabel 2). Galur-galur tersebut juga memiliki jumlah anakan, jumlah anakan produktif, dan kehijauan daun bendera yang lebih baik. Penurunan elevasi yang diikuti oleh peningkatan suhu menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman gandum. Hal ini dapat dilihat dari penurunan nilai tengah generasi F4 untuk semua karakter agronomi di Cisarua yang disebabkan oleh pengaruh temperatur, dan ketersediaan air. Nilai tengah tinggi tanaman (56,4 cm), kehijauan daun bendera (41,5), jumlah anakan total (5,9), jumlah anakan produktif (4,6), persentase floret hampa/malai (69,5%), jumlai biji malai utama (38,2), bobot biji malai utama (1,5 g), jumlah biji/malai (14,8), bobot biji/malai (0,44 g), jumlah biji/tanaman (53,1), dan bobot biji/ tanaman (1,59 g) populasi F4 lebih baik dari tetua Oasis. Keragaman Generasi F3 dan F4 Gandum (Oasis x HP1744) Nilai ragam genetik, heritabilitas arti luas, dan koefesien keragaman genetik untuk karakter agronomi generasi F3 dan F4 disajikan pada Tabel 3. Karakter agronomi yang memiliki nilai heritabilitas yang tidak berubah dari generasi F3 ke generasi F4 yaitu luas daun bendera,
239
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Tabel 1. Nilai tengah karakter agronomi populasi F3 gandum dengan kedua tetuanya di dataran tinggi Cipanas, MK 2012. Populasi F3
Oasis
HP1744
Karakter agronomi x ± SE
Kisaran
x ± SE
Kisaran
x ± SE
Kisaran
Vegetatif Tinggi tanaman (cm) Luas daun bendera (cm2) Kehijauan daun bendera Jumlah anakan total Jumlah anakan produktif
70,91 ± 0,65 18,52 ± 0,41 47,48 ± 0,43 4,77 ± 0,10 3,98 ± 0,09
57,72-79,79 11,84-24,94 38,65-56,15 3,03-6,23 2,47-5,90
65,29 ± 6,94 16,23 ± 3,69 49,17 ± 0,73 5,96 ± 0,87 5,78 ± 0,74
51,49-73,46 9,33-21,95 48,25-50,62 4,83-7,67 4,83-7,23
63,23 ± 3,37 18,22 ± 1,42 50,25 ± 0,60 4,74 ± 0,18 4,59 ± 0,17
56,5-67,01 15,51-20,30 49,63-51,46 4,40-5,00 4,27-4,83
Generatif Umur berbunga (HST) Umur panen (HST) Panjang malai (cm) Jumlah spikelet Jumlah floret total Jumlah floret hampa/malai Persentase floret hampa/malai (%)
61,98 ± 0,31 96,82 ± 0,47 8,53 ± 0,08 16,76 ± 0,16 50,37 ± 0,49 15,78 ± 0,99 31,74 ± 1,88
57,40-69,43 84,43-103,87 7,44-10,00 14,37-18,93 43,11-60,30 2,00-41,47 3,68-72,78
62,58 ± 0,78 95,17 ± 0,96 9,69 ± 0,53 18,40 ± 1,19 55,20 ± 3,56 38,38 ± 2,99 69,43 ± 5,30
61,77-64,14 94,03-97,07 8,64-10,36 16,03-19,73 48,10-59,20 34,97-44,33 58,90-75,69
65,29 ± 2,07 96,83 ± 1,18 8,76 ± 0,19 16,51 ± 0,38 49,53 ± 0,14 30,79 ± 2,38 61,84 ± 4,76
61,86-69,00 95,06-99,07 8,43-9,10 16,03-17,27 4,32-4,76 26,03-33,30 52,89-69,10
Hasil Jumlah biji malai utama Bobot biji malai utama (g) Jumlah biji/malai Bobot biji/malai (g) Jumlah biji/tanaman Bobot biji/tanaman (g)
105,01 ± 4,56 4,01 ± 0,17 34,44 ± 1,05 1,45 ± 0,06 139,37 ± 5,37 5,45 ± 0,22
43,17-206,43 1,69-7,96 15,33-50,43 0.24-2,81 67,73-256,87 2,58-10,76
150,17 ± 9,84 4,65 ± 0,38 16,82 ± 3,74 0,40 ± 0,04 166,99 ± 7,88 5,06 ± 0,42
135,3-168,77 4,04-5,35 12,27-24,23 0,34-0,48 158,7-182,73 4,38-5,83
129,35 ± 2,48 4,22 ± 0,12 18,75 ± 2,27 0,37 ± 0,03 148,1 ± 4,42 4,59 ± 0,14
124,53-132,73 4,00-4,38 14,80-22,67 0,32-0,41 139,33-153,47 4,32-4,76
Tabel 2. Nilai tengah karakter agronomi populasi F4 gandum dengan kedua tetuanya di dataran menengah Cisarua, MK 2012. Populasi F4
Oasis
HP1744
Karakter agronomi x ± SE
Kisaran
x ± SE
Kisaran
x ± SE
Kisaran
Vegetatif Tinggi tanaman (cm) Luas daun bendera (cm2) Kehijauan daun bendera Jumlah anakan total Jumlah anakan produktif
56,42 ± 0,77 11,58 ± 0,20 41,57 ± 0,55 5,92 ± 0,15 4,60 ± 0,14
43,15-93,29 6,95-20,96 35,35-62,69 1,00-14,00 0-14,00
68,05 ± 0,32 15,50 ± 1,26 38,39 ± 0,82 4,79 ± 0,76 3,92 ± 0,77
67,56-68,65 13,14-17,45 37,31-40,01 3,50-6,13 2,50-5,13
59,70 ± 2,93 13,10 ± 1,27 43,11 ± 1,09 7,04 ± 1,05 5,58 ± 1,08
53,98-63,69 11,51-15,61 41,05-44,74 5,13-8,75 3,75-7,50
Generatif Umur berbunga (HST) Umur panen (HST) Panjang malai (cm) Jumlah spikelet Jumlah floret total Jumlah floret hampa/malai Persentase floret hampa/malai (%)
52,48 ± 0,76 91,41 ± 1,19 7,74 ± 0,11 15,36 ± 0,21 46,07 ± 0,63 31,23 ± 0,64 69,53 ± 1,09
29,50-71,00 81,00-116,00 5,80-12,66 11,67-21,43 35,00-64,29 6,67-54,00 14,81-100,00
57,67 ± 1,20 104,00 ± 1,00 8,21 ± 0,32 18,21 ± 0,32 54,63 ± 0,98 46,96 ± 2,52 86,18 ± 6,12
56,00-60,00 102,00-105,00 7,75-8,81 17,63-18,75 52,88-56,25 42,25-50,88 75,11-96,22
54,50 ± 2,21 88,09 ± 0,84 9,00 ± 0,14 17,96 ± 0,49 53,88 ± 1,47 24,84 ± 1,48 46,18 ± 3,12
50,13-57,25 86,75-89,63 8,73-9,18 17,00-18,63 51,00-55,88 22,38-27,50 40,04-50,23
Hasil Jumlah biji malai utama Bobot biji malai utama (g) Jumlah biji/malai Bobot biji/malai (g) Jumlah biji/tanaman Bobot biji/tanaman (g)
38,23 ± 2,22 1,15 ± 0,07 14,84 ± 0,55 0,44 ± 0,02 53,10 ± 2,64 1,59 ± 0,08
0-266,67 0-8,52 0-43,33 0-1,37 0-310,00 0-9,87
37,40 ±13,90 1,08 ± 0,46 7,67 ± 3,48 0,22 ± 0,11 45,10 ± 17,40 1,31 ± 0,57
16,60-63,90 0,44-1,97 2,00-14,00 0,05-0,43 18,60-77,90 0,49-2,41
72,50 ± 15,90 1,60 ± 0,26 29,04 ± 2,24 0,73 ± 0,03 101,50 ± 17,30 2,34 ± 0,27
41,50-94,00 1,12-2,01 26,38-33,50 0,69-0,80 68,80-127,50 1,81-2,72
240
YAMIN ET AL.: PENDUGAAN PARAMETER GENETIK GANDUM
kehijauan daun bendera, panjang malai, jumlah floret hampa per malai, persentase floret hampa per malai, jumlah biji malai utama, bobot biji malai utama, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, jumlah biji/tanaman, dan bobot biji/tanaman. Karakter agronomi generasi F4 yang memiliki nilai heritabilitas lebih tinggi dari generasi F3 adalah tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen, jumlah spikelet, dan jumlah floret total. Nilai duga heritabilitas dan KKG yang tinggi pada generasi F4 memungkinkan dilakukan seleksi untuk karakter agronomi. Seleksi generasi F3 dan F4 dapat menggunakan dua karakter sekaligus untuk memisahkan galur-galur yang potensial.
Seleksi Generasi F3 (Oasis x HP1744) di Dataran Tinggi Karakter seleksi didasarkan pada nilai heritabilitas dan koefisien keragaman genetik. Nilai diferensial seleksi berbeda untuk setiap metode seleksi. Perbedaan tersebut menggambarkan perbedaan famili F3 yang terseleksi untuk setiap metode seleksi (Tabel 4). Seleksi langsung melalui karakter bobot biji per tanaman memiliki nilai diferensial seleksi 14,9%, sedangkan seleksi tak langsung melalui karakter tinggi tanaman memiliki nilai diferensial seleksi 2,2%. Hal ini membuktikan seleksi secara langsung pada karakter target (bobot biji per tanaman) akan menghasilkan nilai diferensial seleksi terbaik.
Tabel 3. Ragam genetik, heritabilitas hbs dan koefesien keragam genetik (KKG) karakter agronomi gandum pada populasi F3 di dataran tinggi Cipanas dan populasi F4 di dataran menengah (Cisarua), MK 2012. σ2g
h2bs
σ(σ2G)
KKG
Karakter F3
F4
F3
F4
F3
F4
F3
F4
Vegetatif Tinggi tanaman Luas daun bendera Kehijauan daun bendera Jumlah anakan total Jumlah anakan produktif
10,31 3,60 2,73 31,54 0,00
32,83 2,03 26,87 0,86 1,04
33,21 39,34 79,92 99,16 0,00
52,07 37,66 87,75 41,03 56,69
5,70S 16,28 S 4,06 L 95,00 L 0,00 S
10,07L 11,94S 12,55L 15,76 S 22,35L
10,34 2,68 0,65 5,09 0,11
13,32 1,44 2,95 0,53 0,35
Generatif Umur berbunga Umur panen Panjang malai Jumlah spikelet Jumlah floret total J.Floret hampa per malai Persentase FH per malai
0,00 2,19 0,07 0,30 3,32 11,65 62,11
50,25 136,02 0,43 2,97 26,72 31,17 71,03
0,00 46,08 24,77 27,85 32,43 57,9 89
86,84 90,3 37,91 65,51 65,51 73,46 56,49
0,00 S 1,62 S 3,32 S 3,55 S 3,95 S 14,33 S 12,15 S
13,44L 12,72L 8,49S 11,18L 11,18L 17,86L 12,17L
0,93 1,19 0,09 0,33 3,00 26,30 32,58
5,46 13,09 0,30 0,73 6,57 5,74 24,52
264,73 0,42 22,21 0,07 430,16 0,74
358,36 0,39 15,78 0,016 531,29 0,55
66,00 74,47 95,65 98,08 74,28 81,98
75,88 87,18 50,44 57,23 77,9 86,43
43,27 L 55,46 L 31,92 L 60,51 L 39,20 L 53,15 L
48,87L 54,41L 26,58L 29,15L 42,89L 46,62L
92,01 0,10 9,40 0,03 109,59 0,17
59,23 0,04 6,80 0,005 81,33 0,09
Hasil Jumlah biji malai utama Bobot biji malai utama Jumlah biji/malai Bobot biji/malai Jumlah biji/tanaman Bobot biji/tanaman
S = sempit apabila σ2g < 2(σσ2G) ; L = luas apabila σ2g > 2(σσ2G).
Tabel 4. Diferensial seleksi berdasarkan karakter bobot biji/tanaman (seleksi langsung) dan tinggi tanaman (seleksi tak langsung) pada beberapa kriteria seleksi populasi F3 gandum (Oasis x HP1744) di dataran tinggi, MK 2012. Rata-rata populasi terseleksi Karakter seleksi Bobot biji/tanaman (g) Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan produktif Umur panen (HST)
Diferensial (%)
Rata-rata populasi awal
Langsung
Tak langsung
Langsung
Tak langsung
5,45 70,91 3,98 96,82
6,26 71,35 4,15 96,93
5,57 74,2 4,08 96,64
14,86 0,62 4,27 0,11
2,20 4,64 2,51 -0,19
241
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Seleksi untuk generasi F3 di dataran tinggi dilakukan terhadap karakter bobot biji pertanaman dan tinggi tanaman (Gambar 1). Penetapan batas kuadran diperoleh melalui persamaan x + SD (standar deviasi). Kuadran I merupakan famili yang memiliki bobot biji/ tanaman yang tinggi namun tanaman berpostur rendah. Kuadran II merupakan famili yang memiliki bobot biji/ tanaman rendah disertai dengan postur tanaman yang rendah. Kuadran III merupakan famili yang memiliki bobot biji/tanaman tinggi dengan postur tanaman yang tinggi. Kuadran IV merupakan famili yang memiliki bobot biji/tanaman rendah tetapi postur tanaman tinggi. Berdasarkan pemisahan kuadran, famili yang berada pada kuadran III merupakan famili potensial. Famili tersebut akan digunakan pada generasi F4 (Oasis x HP1744) di dataran menengah (lingkungan cekaman). Natawijaya (2012) melaporkan bahwa seleksi langsung ke karakter target akan menghasilkan nilai diferensial seleksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan seleksi tidak langsung. Seleksi Generasi F4 (Oasis x HP1744) di Dataran Menengah Genotipe yang digunakan pada generasi F4 (Oasis x HP1744) di dataran menegah berasal dari materi genetik
F3 yang telah diseleksi (Gambar 1). Karakter seleksi yang digunakan pada F4 yaitu bobot biji/tanaman, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, jumlah biji malai utama, bobot biji malai utama, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, jumlah biji/tanaman, dan persentase floret hampa per malai. Peubah-peubah tersebut memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dengan koefisien keragaman genetik yang luas. Seleksi galur F4 di dataran menengah menggunakan dua pendekatan, yaitu seleksi langsung berdasarkan bobot biji/tanaman dan tidak langsung berdasarkan bobot biji malai utama (Tabel 5). Diferensial seleksi menunjukkan adanya perbaikan nilai tengah antara populasi terseleksi dari populasi asalnya. Seleksi langsung dengan karakter bobot biji/tanaman memberikan perbaikan nilai tengah bobot biji/tanaman sebesar 204,4% pada populasi hasil seleksi. Nilai diferensial seleksi yang menggunakan karakter bobot biji malai utama untuk seleksi tak langsung menunjukkan hasil yang tidak terpaut jauh, baik bobot biji/tanaman maupun karakter lainnya. Hal ini menunjukkan bobot biji/tanaman sangat ditentukan oleh bobot biji malai utama yang ditandai oleh nilai korelasi mendekati 1 (r = 0,99). Karakter bobot biji malai utama memiliki nilai pengaruh langsung tertinggi (0,83) dengan heritabilitas yang tinggi pula. Jika seleksi dilakukan pada karakter
O/HP 21
11
71.57
Bobot biji pe r tanaman (gram)
10 9 8 7
O/HP 28
O/HP 6 O/HP 22 104 O/HPO/HP 7 O/HP 121 O/HP 100 O/HP O /HP 85 81 O/HP 30
O /HP 61 O /HP O/HP 65 1050/HP 82 O /HP 37 O/HP 109 O/HP 69 O/HP O/HP 64 O/HP 17106 O/HP 78 O/HP 87 O/HP 122 O/HP 12 O/HP 49 O/HP 66 O/HP 9 O/HP 115 O/HP O/HP 76 O/HP 93 53 O /HP 96 O /HP 123 O/HP 71 O/HP 108 O/HP 89 O/HP103 O /HP 11 124 O/HP 125 O /HP 92 O /HPO/HP 14 O/HP 99 O/HP 53 27 O/HP O/HP 2 O/HP 40 0/HP 23 O/HP 111 O/HP113 O/HP 51 O/HP 94 O/HP 39 O /HP 26 O/HP 16
O /HP 31
6 5 4 3
5.669
2 60
65
70
75
80
Tinggi tanaman (cm) Gambar 1. Sebaran famili-famili generasi F3 gandum (Oasis x HP1744) untuk karakter bobot biji/tanaman dan tinggi tanaman di dataran tinggi. Cipanas, MK 2012.
242
YAMIN ET AL.: PENDUGAAN PARAMETER GENETIK GANDUM
Tabel 5. Diferensial seleksi berdasarkan karakter bobot biji/tanaman (seleksi langsung) dan bobot biji malai utama (seleksi tak langsung) pada beberapa kriteria seleksi populasi F4 gandum (Oasis x HP1744) di dataran menengah. Cisarua, MK 2012. Rata-rata populasi terseleksi Karakter seleksi Bobot biji/tanaman Bobot biji malai utama Jumlah biji malai utama Jumlah biji/tanaman Bobot biji/malai; Jumlah biji/malai Jumlah anakan produktif Jumlah anakan total Persentase floret hampa per malai
Langsung
Tak langsung
Langsung
Tak langsung
1,59 1,15 38,23 53,1 0,44 14,84 4,60 5,92 69,53
4,84 3,98 125,02 153,43 0,86 27,72 7,91 8,98 45,62
4,82 4,00 125,44 152,66 0,82 26,53 7,86 8,92 47,54
204,40 246,09 227,02 188,95 95,45 86,79 71,96 51,69 -34,39
203,14 247,83 228,12 187,50 86,36 78,77 70,87 50,68 -31,63
6.07
O/HP82-19 O/HP82-15
1.4
B obot biji/malai (gram)
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
O/HP78-5 O/HP49-30
O/HP109-22
1.2 1.0
Diferensial (%)
Rata-rata populasi awal
O/HP104-6
O/HP78-2 O/HP12-23 O/HP78-22 O/HP6-8
O/HP85-28 O/HP85-14 O/HP12-1 O/HP121-28 O/HP123-7 O/HP105-2O/HP64-14 O/HP124-9 O/HP105-4 O/HP49-1 O/HP7-2 O/HP85-4 O/HP64-22 O/HP121-30 O/HP12-27 O/HP100-20 O/HP23-28 O/HP99-2 O/HP111-8 O/HP12-17 O/HP122-27 O/HP6-17 O/HP109-27 O/HP93-1 O/HP111-28 O/HP89-8 O/HP105-28 O/HP14-19 O/HP23-17 O/HP82-3 O/HP66-5 O/HP14-22 O/HP123-4 O/HP14-10 O/HP89-26 O/HP82-18 O/HP87-30 O/HP93-3 O/HP65-20 O/HP121-19 O/HP69-19 O/HP17-20 O/HP14-21 O/HP53-29 O/HP81-9 O/HP81-17 O/HP7-26 O/HP104-28 O/HP121-11 O/HP7-14 O/HP121-6O/HP121-5 O/HP99-15 O/HP105-6 O/HP6-18 O/HP85-26 O/HP85-10 O/HP78-14 O/HP82-13 O/HP124-20 O/HP109-21 O/HP89-12 O/HP69-6 O/HP49-4 O/HP66-16 O/HP31-1 O/HP104-9 O/HP111-24 O/HP65-12 O/HP53-19 O/HP66-22 O/HP109-1 O/HP121-26 O/HP66-21 O/HP53-30 O/HP37-20 O/HP104-11 O/HP12-5 O/HP100-4 O/HP78-8 O/HP6-13 O/HP99-1 O/HP49-16 O/HP31-4 O/HP105-16 O/HP49-21 O/HP81-26 O/HP111-22 O/HP96-27 O/HP96-28 O/HP115-30 O/HP89-3 O/HP82-23 O/HP69-13 O/HP104-17 O/HP49-25 O/HP9-23 O/HP31-9 O/HP6-10 O/HP100-17 O/HP17-7 O/HP30-10 O/HP37-9 O/HP61-2 O/HP100-15 O/HP111-5 O/HP78-25 O/HP104-21 O/HP123-20 O/HP66-4 O/HP81-25 O/HP9-8 O/HP31-26 O/HP96-25 O/HP53-4 O/HP93-6 O/HP9-21 O/HP92-4 O/HP22-3 O/HP82-7 O/HP105-19 O/HP7-23 O/HP69-17 O/HP14-4 O/HP78-23 O/HP7-24 O/HP99-10 O/HP92-13 O/HP109-12 O/HP99-29 O/HP123-16 O/HP111-10 O/HP30-29 O/HP81-8 O/HP100-3 O/HP66-28 O/HP23-13 O/HP14-8 O/HP53-13 O/HP92-21 O/HP87-8 O/HP30-30 O/HP30-8 O/HP69-8 O/HP100-19 O/HP23-20 O/HP49-13 O/HP31-11 O/HP96-19 O/HP61-10 O/HP123-9 O/HP104-29 O/HP87-9 O/HP31-27 O/HP69-30 O/HP65-26 O/HP81-12 O/HP12-28 O/HP12-12 O/HP61-23 O/HP66-9 O/HP23-11 O/HP124-8 O/HP61-26 O/HP93-25 O/HP37-17 O/HP12-25 O/HP22-10 O/HP22-17 O/HP6-29 O/HP81-1 O/HP124-2 O/HP92-10 O/HP17-28 O/HP109-9 O/HP9-5 O/HP109-25 O/HP61-18 O/HP85-11 O/HP49-2 O/HP9-20 O/HP65-8 O/HP21-21 O/HP21-29 O/HP30-3 O/HP7-6 O/HP121-29 O/HP105-9 O/HP17-19 O/HP64-10 O/HP109-4 O/HP9-14 O/HP21-2 O/HP122-11 O/HP64-18 O/HP123-12 O/HP122-19 O/HP87-15 O/HP64-17 O/HP124-5 O/HP17-6 O/HP61-28 O/HP31-29 O/HP7-13 O/HP64-26 O/HP81-3 O/HP85-8 O/HP115-16 O/HP92-14 O/HP105-17 O/HP22-2 O/HP82-12 O/HP22-24 O/HP96-18 O/HP93-16 O/HP78-29 O/HP122-1 O/HP53-16 O/HP17-18 O/HP30-26 O/HP30-22 O/HP37-15 O/HP22-27 O/HP123-27 O/HP111-4 O/HP87-27 O/HP85-23 O/HP100-13 O/HP22-23 O/HP64-24 O/HP21-30 O/HP14-9 O/HP92-27 O/HP37-6 O/HP115-4 O/HP65-3 O/HP6-30 O/HP21-18 O/HP96-30 O/HP37-13 O/HP6-12 O/HP99-24 O/HP53-12 O/HP115-19 O/HP22-9 O/HP21-3 O/HP65-9 O/HP31-18 O/HP100-7 O/HP92-23 O/HP93-10 O/HP96-9 O/HP17-5O/HP21-16 O/HP87-12 O/HP111-15 O/HP122-30 O/HP115-3 O/HP115-13 O/HP122-20 O/HP123-19 O/HP115-18 O/HP53-21 O/HP64-3 O/HP122-21 O/HP93-11 O/HP87-10 O/HP87-21 O/HP99-19 O/HP65-18 O/HP21-7 O/HP30-28 O/HP7-15 O/HP69-7 O/HP89-19 O/HP17-25 O/HP28-12 O/HP122-29 O/HP96-22 O/HP124-19 O/HP61-25 O/HP65-24 O/HP9-12 O/HP28-21 O/HP28-15 O/HP28-11 O/HP28-20 O/HP28-6 O/HP28-5 O/HP28-9 O/HP9-27 O/HP37-21 O/HP37-10 O/HP69-29 O/HP89-21 O/HP23-21 O/HP23-19 O/HP14-25 O/HP23-14 O/HP115-14 O/HP124-21 O/HP124-22 O/HP89-30 O/HP89-15 O/HP99-28 O/HP61-6 O/HP66-3 O/HP104-20 O/HP93-27
0
2
4
6
8
10
12
0.459
14
Jumlah anakan total Gambar 2. Sebaran galur-galur generasi F4 gandum (Oasis x HP1744) untuk karakter bobot biji/malai dan jumlah anakan total di dataran menengah.
tersebut akan terjadi kemajuan genetik untuk karakter hasil. Selain itu, akan diperoleh genotipe terseleksi yang sama untuk kedua metode seleksi yang digunakan. Seleksi galur-galur generasi F4 (Oasis x HP1744) yang potensial di dataran menengah didasarkan pada karakter jumlah anakan total dan bobot biji/malai (Gambar 2). Kuadran I untuk galur yang memiliki bobot biji/malai yang tinggi, namun jumlah anakan total rendah. Kuadran II untuk galur yang memiliki bobot biji/ malai rendah disertai dengan jumlah anakan total rendah. Kuadran III untuk galur yang memiliki bobot
biji/malai tinggi dengan jumlah anakan total tinggi. Kuadran IV untuk famili yang memiliki bobot biji/malai rendah tetapi jumlah anakan total tinggi. Berdasarkan pemisahan kuadran, galur-galur potensial berada pada kuadran III. Identitas galur-galur yang berada pada kuadran III dapat dilihat pada Tabel 6. Galur-galur F4 di dataran menengah yang terseleksi akan digunakan untuk generasi berikutnya. Galur-galur tersebut diperkirakan sesuai untuk dataran tinggi dengan elevasi ± 1100 m dpl dan sesuai untuk dataran menengah pada ketinggian tempat ± 600 m dpl. 243
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 3 2015
Tabel 6. Galur-galur generasi F4 gandum (pada Gambar 2) hasil seleksi menggunakan dua karakter sekaligus (kuadran III) berdasarkan karakter bobot biji/malai dan jumlah anakan total dengan intensitas seleksi 10% di dataran menengah. Cisarua, MK 2012. Genotipe
O/HP82-19 O/HP82-15 O/HP78-5 O/HP49-30 O/HP78-2 O/HP93-3 O/HP12-23 O/HP78-22 O/HP6-8 O/HP104-6 O/HP85-14 O/HP85-28 O/HP121-28 O/HP123-7 O/HP12-1 O/HP105-2 O/HP124-9 O/HP105-4 O/HP49-1 O/HP64-14 O/HP7-2 O/HP85-4 O/HP64-22 O/HP121-30 O/HP12-27 O/HP100-20 O/HP99-2 O/HP23-28 O/HP111-8 O/HP12-17 O/HP122-27
Jumlah anakan total
Bobot biji/ malai
Bobot biji/ tanaman
9,67 11,33 7,40 7,50 9,83 10,20 9,75 10,67 8,20 5,33 11,40 7,50 8,25 9,67 10,25 3,00 5,75 4,83 10,40 4,67 4,50 7,17 8,33 5,00 7,00 9,50 6,20 5,60 5,75 6,17 6,50
1,37 1,34 1,22 1,19 1,18 1,18 1,17 1,14 1,11 1,07 1,00 1,00 0,99 0,99 0,99 0,96 0,96 0,95 0,94 0,94 0,93 0,92 0,91 0,90 0,90 0,90 0,89 0,89 0,88 0,87 0,87
4,07 9,87 3,53 3,28 7,38 6,82 8,47 5,48 5,17 3,00 2,57 2,99 2,59 2,51 6,81 2,06 1,70 1,93 5,29 1,25 2,59 3,25 2,09 1,92 4,10 4,49 2,81 4,08 3,03 4,18 1,71
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Gautam dan Sethi (2002); Leilah dan Al-Khateeb (2005); Kumar et al. (2010); Khokhar et al. (2010) Iftikhar et al. (2012); Sokoto et al. (2012); Zafernaderi et al. (2013) yang mendapatkan karakter bobot biji per tanaman, jumlah anakan total, dan jumlah anakan produktif berkorelasi positif dengan hasil gandum. Kahrizi (2010) melaporkan bahwa lingkungan berpengaruh terhadap ekspresi karakter agronomi yang umumnya dipengaruhi oleh gen aditif. Nilai duga heritabilitas karakter agronomi pada populasi gandum generasi F4 tergolong tinggi untuk semua karakter agronomi, karena lebih banyak gen-gen aditif yang telah terfikasi dibandingkan dengan generasi F3. Jambormias et al. (2004) menyatakan nilai heritabilitas sifat-sifat kuantitatif yang tergolong tinggi yang mengindikasikan keragaman fenotipe pada generasi tersebut merupakan keragaman yang diwariskan pada turunannya. Nilai heritabiltas rendah hingga sedang pada generasi F3
244
mengindikasikan sebaran ragam genetik cukup merata pada semua tingkat kekerabatan.
KESIMPULAN Galur-galur generasi F3 gandum persilangan Oasis x HP1744 menunjukkan nilai tengah persentase floret hampa per malai, jumlah biji/malai dan bobot biji/malai yang lebih baik dibandingkan dengan kedua tetuanya dan karakter tersebut memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. Galur-galur generasi F4 memiliki keragaan nilai tengah yang lebih baik dibandingkan dengan tetua toleran Oasis untuk karakter kehijauan daun bendera, jumlah anakan total, jumlah biji malai utama, bobot biji malai utama, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, jumlah biji/tanaman, dan bobot biji/tanaman dan memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. Karakter agronomi generasi F4 yang heritabilitasnya lebih tinggi dari generasi F3 adalah tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen, jumlah spikelet, dan jumlah floret total. Karakter seleksi tidak langsung yang dapat diaplikasikan pada generasi F3 adalah tinggi tanaman, yang memiliki nilai diferensial untuk seleksi tidak langsung terbaik. Famili yang potensial adalah O/HP 21, O/HP 82, O/ HP 12, O/HP 100 dan O/HP 100. Karakter seleksi tidak langsung pada generasi F4 adalah bobot biji malai utama yang memiliki nilai diferensial seleksi untuk seleksi terbaik tidak langsung. Genotipe yang potensial di dataran menengah diantaranya O/HP82-19, O/HP82-15, O/HP785, O/HP49-30, O/HP78-2, dan O/HP109-22.
DAFTAR PUSTAKA Althuhaish, A.A .K., Miftahdin, Trikoesoemaningtyas, dan Y. Sudirman. 2014. Field adaptation of some introduced wheat (Triticum aestivum L.) genotypes in two altitudes of tropical agro-ecosystem environment of Indonesia. Hayati Journal of Biosciences 21(1):31-38. Anwar, J., M.A. Ali, M. Hussain, W. Sabir, M.A. Khan, M. Zulkiffal, and M. Abdullah. 2009. Assesment of yield criteria in bread wheat through correlation and path analysis. The Journal of Animal and Plant Sciences 19(4):185-188. Borlaug, N.E. 1968. Wheat breeding and its impact on would food supply. In: Procidings of 3rd International wheat genetics symposium. Australian Academy of Science, Canberra. pp.136. Budiarti, S.G., Y.R. Rizki, dan Y.W.E. Kusumo. 2004. Analisis koefesien lintas beberapa sifat pada plasma nutfah gandum (Triricum aestivum L.) koleksi Balitbiogen. Zuriat 15(1):3139. Fehr, W.R. 1987. Principles of cultivar development Vol 1. Mc Millan, New York, USA.
YAMIN ET AL.: PENDUGAAN PARAMETER GENETIK GANDUM
Gautam, R.K. and G.S. Sethi. 2002. Character association in Secale cereale L. introgressed bread wheats under irragated and water stress condition. Indian J. Genet. Plant Breed. 62(1):6970. Iftikhar, R., I. Khaliq, M. Ijaz, dan M.A.R. Rashid. 2012. Association analysis of grain yield and its componenets in pring wheat (Triticum aestivum L). J. Agric & Environ.Sci. 12(3):389-392. Irfaq, M., T. Muhammad, M. Amin, and A . Jabbar. 2005. Performance of yield and other agronomic characters of four wheat genotypes under heat stress. International Journal of Botany 1(2): 124-127. Jambormias, E., S.H. Sutjahjo, M. Jusuf, dan Suharsono. 2004. Keragaan, keragaman genetik dan heritabilitas 11 sifat kuantitatif kedelai (Glycine max L. Merrill) pada generasi seleksi F5 persilangan varietas Slamet x Nakhonsawan. Jurnal Pertanian Kepulauan 3(2):115-124. Kahrizi, D., M. Mahdi, M. Reza, and C. Kainoosh. 2010. Estimation of genetic parameters related to morpho-agronomi traits of durum wheat (Triticum turgidum var.durum). Biharean Biologist 4(2):93-97. Khokhar, M.I., M. Hussain, M. Zulkiffal, N. Ahmad, and W. Sabar. 2010. correlation and path analysis for yield and yield contributing characters in wheat (Triticum aestivum L.). Afr. J. Plant Sci. 4(11):464-466. Kumar, S., D. Singh, and V.K. Dhivedi. 2010. Analysis and yield componenets and yheir association in wheat for arthitecturing the decirable plant type. Indian J. Agric. Res. 44(4):267-273. Leilah, A.A. and S.A. Al-Khateeb. 2005. Statistical analysis of wheat yield under drought condotion. J Arid Environ. 61:483-496. Modarresi, M., V. Mohammdi, A. Zali, and M. Mardi. 2010. Response of wheat yield and yield related traits of high temperature. Cereal Research communications 38(1):23-31.
Mohammedi, V., M.R. Bihamta, and A.A. Zali. 2007. Evaluation of screening techniques for heat tolerance in wheat. Pakistan J. Biol. Sci. 10: 887-892. Mondal, M.A.A. 2003. Improvement of potato (Solanum tuberosum L.) through hybridization an in vitro culture technique. PhD Thesis. Rajshahi University. Rajshahi, Bangladesh. Natawijaya, A. 2012. Analisis genetik dan seleksi generasi awal segregan gandum (Triticum aestivum L.). [Thesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sokoto, M.B., I.U. Abubakar, and A.U. Dikko. 2012. Correlation analysis of some growth. yield, yield components and grain quality of wheat (Triticum aestivum L.). Niger. J. Basic Appl. Sci. 20(4):349-356. Velu, G. And R.P. Singh. 2013. Phenotyping for plant breeding: Application of phenotying methods for crop improvement international maize and wheat improvement center (CIMMYT), Mexico. pp. 41-50. Vu, J.C.V., R.W. Gesch, A.H. Pennanen, L.H.J. Allen, K.J. Boote, and G. Bowes. 2001. Soybean photosynthesis, Robisco and carbohydrate enzym function at supra-optimal temperatures in elevated CO2. J. Plant physiol. 158:259-307. Wahid, A., S. Gelani, M. Ashraf, and M.R. Foolad. 2007. Heat tolerance in plants: an overview. Environ. Exp. Bot. 61:199 223. Yunianti, R., S. Sarsidi, S. Sriani, S. Memen, and H.H. Sri. 2010. Kriteria seleksi untuk perakitan varietas cabai tahan Phytophthoras capsici Leonian. J. Agron. Indonesia. 38(2):122129. Zafarnaderi, N., S. Aharizad, and S.A. Mohammedi. 2013. Relationship between grain yield and related agronomic traits in bread wheat recombinant inbread lines under water deficit condition. Ann. Biol. Res. 4(4):7-11.
245
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Volume 34, 2015
ISSN 0216-9959
Keterangan diberikan tanpa dipungut biaya, Lembar abstrak ini dapat di-copy tanpa izin penerbit/penulis
E.F. Pramudyawardani, B. Suprihatno, dan Made J. Mejaya (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi) Potensi Hasil Galur Harapan Padi Sawah Ultra Genjah dan Sangat Genjah Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 1-11. Ketersediaan varietas unggul padi sawah ultra genjah dengan mutu sesuai dengan preferensi konsumen akan mendorong pergiliran varietas pada wilayah yang memungkinkan bagi peningkatan IP menjadi 300-400 per tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil 200 galur generasi lanjut padi sawah ultra genjah dan sangat genjah pada uji daya hasil pendahuluan (UDHP) dan uji daya hasil lanjutan (UDHL). UDHP di Sukamandi dilakukan pada MT I 2012 menggunakan 200 galur hasil seleksi padi ultra genjah dengan lima varietas pembanding (Ciherang, Dodokan, Silugonggo, Inpari 1, Inpari 13) dalam rancangan augmented. UDHL dilakukan di Sukamandi, Kuningan, Magelang, dan Klaten pada MT II 2012 menggunakan 17 galur terpilih dan tiga pembanding (Silugonggo, Inpari 13, dan Ciherang) dalam rancangan acak kelompok tiga ulangan. Dari 200 galur ultra genjah yang digunakan pada UDHP diperoleh tiga galur yang memberikan hasil di atas varietas pembanding terbaik (Inpari 1) dan dua galur setara dengan Inpari 1. Sebanyak 155 galur tergolong ultra genjah, kurang dari 90 HSS dan 45 galur tergolong sangat genjah (91-104 HSS). Berdasarkan kriteria hasil per hari terpilih 17 galur untuk diuji pada UDHL. Dari analisis gabungan ke-4 lokasi pengujian, tujuh galur memberikan hasil per satuan luas dan waktu lebih tinggi dari varietas pembanding terbaik Silugonggo (5,51 t/ha, 51,7 kg/hr), dan 14 galur lebih baik dari Ciherang (5,07 t/ha, 41,9 kg/hr), 13 galur lebih baik dari Inpari 13 (5,27 t/ha, 46,7 kg/hr). Melalui penelitian ini diperoleh tujuh galur terbaik dengan hasil berkisar antara 5,62-6,12 t/ha, dengan umur matang fisiologis 87-94 HSS. Galur-galur tersebut dan galur-galur dengan hasil per hari lebih baik dari varietas pembanding terbaik siap diuji multilokasi untuk memenuhi persyaratan pelepasan varietas.
disisipkan ke dalam genom Ciherang, diharapkan akan merangsang pembungaan lebih cepat, namun potensi hasil tidak berubah. Berdasarkan penelitian sebelumnya telah diperoleh sebanyak 78 galur BC2F4 turunan dari Ciherang x Nipponbare melalui metode MAB, namun masih skala laboratorium dan rumah kaca. Oleh karena itulah dilakukan penelitian ini yang bertujuan mengevaluasi baik secara molekuler ataupun di lapang tanaman BC2F4 agar diperoleh tanaman yang memiliki umur genjah dengan hasil minimal sama dengan Ciherang. Evaluasi lapang dilakukan di dua lokasi, yakni di KP Sukamandi (BB Padi, Jawa Barat), dan KP Maros (Balitsereal, Sulawesi Selatan) pada bulan April s.d. Juli 2012. Analisis molekuler dilakukan di Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika, Bogor (Juni s.d. Desember 2012), dengan menggunakan marka RM1362 dan RM7601 yang merupakan marka pengapit daerah QTL untuk gen Hd2 yang terletak di kromosom tujuh. Pengamatan umur berbunga dan hasil gabah dijadikan dasar evaluasi pemilihan galurgalur BC2F4. Lima dari galur tersebut yang berbunga lebih genjah dari Ciherang dan hasil lebih tinggi dipilih untuk dilakukan analisis background dengan menggunakan marka mikrosatelit yang tersebar di seluruh kromosom. Galur yang memiliki umur berbunga paling genjah adalah galur BC2F4CihNip-60 yang berbunga pada 74 hari setelah sebar (hss), lebih genjah 4 hari dibandingkan dengan Ciherang, sedangkan galur yang memiliki hasil tertinggi dengan umur berbunga lebih genjah dari Ciherang adalah galur BC2F4CihNip-23 (2,20 t/ha lebih banyak dibandingkan Ciherang). Sebanyak 74 galur BC2F4 (95%) mengandung segmen daerah QTL gen Hd2 dalam kondisi homozigot, menunjukkan keberhasilan seleksi secara molekuler dari generasi F1 sampai tanaman BC2F4. Background genetik dari lima galur BC2F4 terpilih sebagian besar sudah kembali kepada tetua Ciherang. Terpilih dua puluh lima nomor BC2F4 turunan Ciherang memiliki umur berbunga lebih genjah, dan hasil gabah lebih banyak dibanding Ciherang. Galur-galur tersebut perlu diuji lebih lanjut pada beberapa lokasi. (Penulis) Kata kunci: Padi, Ciherang, MAB, umur genjah, produktivitas tinggi.
(Penulis) Kata kunci: Padi, ultra genjah, hasil per hari.
Joko Prasetiyono, Ahmad Dadang, Ma’sumah, Tasliah, Fatimah, dan Tiur Sudiaty Silitonga (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian)
Wartono (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian); Giyanto, Kikin H. Mutaqin (Institut Pertanian Bogor) Efektivitas Formulasi Spora Bacillus subtilis B12 sebagai Agen Pengendali Hayati Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Tanaman Padi
Evaluasi Molekuler dan Lapangan terhadap Galur-galur Padi Berumur Genjah dan Produktivitas Tinggi
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 21-28.
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 13-20.
Pengendalian penyakit hawar daun bakteri pada padi, tidak layak untuk dikendalikan menggunakan bakterisida, karena harganya yang mahal dan dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu alternatif pengganti adalah pengendalian secara hayati. Bacillus subtilis adalah salah satu agen biokontrol untuk mengendalikan penyakit karena kemampuannya dalam menghasilkan antimikroba dan memacu pertumbuhan tanaman. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keefektifan formulasi spora B. subtilis isolat Indonesia
Perbaikan padi varietas Ciherang agar berumur genjah dengan produksi tinggi telah dilakukan menggunakan metode Marker Assisted Backcrossing (MAB), dimana Nipponbare yang mengandung lokus gen Hd2 dijadikan sebagai tetua sumber gen umur genjah. Lokus ini mengatur waktu pembungaan Nipponbare, yang sensitif terhadap panjang penyinaran di daerah tropis. Ketika
247-1 247
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
melalui perlakuan benih dan semprot tanaman pada konsentrasi dan frekuensi yang berbeda untuk mengendalikan penyakit hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae). Pengaruh lain dari aplikasi formulasi spora B. subtilis dilihat dari pertumbuhan tanaman. Penelitian dilakukan di rumah kaca dan lapangan dengan rancangan faktorial. Pada pengujian rumah kaca, perlakuan benih dan aplikasi/ penyemprotan tanaman dengan konsentrasi 2% memberikan hasil yang lebih baik dalam menekan penyakit HDB dan meningkatkan pertumbuhan tanaman padi, sehingga dapat direkomendasikan pada pengujian lapang. Pada pengujian lapang, interval aplikasi 2 minggu sekali memberikan pengaruh yang lebih baik dalam menekan penyakit dan meningkatkan hasil panen. Aplikasi formulasi spora B. subtilis dapat menekan penyakit HDB hingga 21% dan berpotensi meningkatkan hasil panen hingga 50%. (Penulis) Kata kunci: Padi, B. subtilis, Xanthomonas oryzae, formulasi.
Tasliah, Joko Prasetiyono, Tintin Suhartini, dan Ida Hanarida Soemantri (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian) Ketahanan Galur-Galur Padi Pup1 terhadap Penyakit Blas Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 29-36. Penyakit blas merupakan penyakit utama padi gogo di Indonesia. Galur-galur padi gogo hasil persilangan dengan Kasalath dan NILC443 yang mengandung lokus Pup1 telah dihasilkan dan telah diteliti pengaruhnya terhadap pemupukan P. Galur tersebut perlu diteliti ketahanannya terhadap serangan blas, karena di dalam lokus Pup1 diketahui mengandung gen-gen yang terlibat dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap penyakit termasuk blas. Tanaman BC2F5 dari enam persilangan (DK, DN, SK, SN, BK, BN) digunakan dalam penelitian ini. Evaluasi penyakit blas di rumah kaca dilakukan di BB Biogen pada Maret-April 2011 menggunakan campuran tiga ras blas (ras 173, 033, and 133). Evaluasi penyakit blas di lapangan dilakukan di KP Taman Bogo, Lampung, dan di lahan petani di Desa Cikeusal, Banten, pada Januari-April 2011. Analisis molekuler untuk mengetahui keberadaan lokus Pup1 dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler BB Biogen, menggunakan primer spesifik K20-2 pada Januari-Agustus 2013. Hasil analisis molekuler menunjukkan semua galur Pup1 memiliki alel homozigot, kecuali alel heterozigot pada SK7, SK8, SK15, SK16, BN8. Galur-galur tersebut tidak dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya. Pengujian blas di rumah kaca memberikan hasil yang beragam, namun sebagian besar galur yang mengandung Pup1 bereaksi agak tahan. Hasil penelitian di lapangan, menunjukkan sebagian besar galur Pup1 bereaksi tahan terhadap blas, namun tanaman pembanding rentan (Kencana Bali) tidak menunjukkan gejala infeksi jamur blas. Percobaan di rumah kaca dinilai dalam kondisi optimal untuk pertumbuhan jamur blas. Pengaruh lokus Pup1 terlihat jelas terhadap ketahanan blas pada persilangan dengan tetua Situ Bagendit yang tidak mengandung lokus Pup1. Penambahan lokus Pup1 pada genom Situ Bagendit meningkatkan ketahanan terhadap penyakit blas. (Penulis) Kata kunci: Padi, BC2F5, Pup1, penyakit blas.
248-2 248
Gatut Wahyu, A.S. (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang); W. Mangoendidjojo, P. Yudono (Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada); A. Kasno (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang) Analisis Nilai Tengah Generasi untuk Umur Panen Keturunan Persilangan Tiga Varietas Kedelai Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 37-41. Perbaikan karakter tanaman memerlukan informasi tentang parameter genetik, dan pendugaannya dilakukan dengan pendekatan analisis genetik yaitu melalui aksi gen. Penelitian bertujuan untuk mempelajari aksi gen karakter umur panen kedelai melalui analisis rata-rata generasi. Tetua-tetua yang digunakan adalah varietas Nanti, Grobogan dan Malabar. Penelitian terdiri atas dua tahapan. Tahap pertama, menyilangkan dua tetua untuk membentuk populasi tanaman yang meliputi F1, F2, silang balik atau backcross (BC1.1) dan BC1.2. Penelitian dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang, Jawa Timur, pada bulan Maret 2007 hingga Juni 2009. Tahap kedua, penelitian lapang untuk mempelajari genetik karakter umur panen kedelai yang melibatkan tetua P1, tetua P2, F1, BC1.1, BC1.2, dan F2 masing-masing kombinasi persilangan. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Jambegede, Jawa Timur, pada awal musim kemarau ke-2 (MK II) Juli 2009. Pola pewarisan karakter umur panen ketiga kombinasi persilangan dikendalikan oleh interaksi gen dalam lokus. Aksi gen pengaruh aditif dan dominan berkontribusi mempengaruhi pewarisan umur panen pada persilangan varietas umur genjah (Grobogan) dengan umur genjah (Malabar). Persilangan antara varietas umur sangat dalam (Nanti) dengan umur genjah (Grobogan atau Malabar) menunjukkan karakter umur panen genjah dimungkinkan dikendalikan oleh gen resesif bersifat aditif. (Penulis) Kata kunci: Kedelai, aksi gen, aditif, nonaditif, analisis nilai tengah generasi.
Roy Efendi (Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros); Yunus Musa, M. Farid Bdr, M. Danial Rahim (Universitas Hasanuddin, Fakultas Pertanian, Jurusan Agronomi); M. Azrai, Marcia Pabendon (Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros) Seleksi Jagung Inbrida dengan Marka Molekuler dan Toleransinya terhadap Kekeringan dan Nitrogen Rendah Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 43-53. Informasi keragaman genetik, tingkat homozigositas, dan toleransi cekaman kekeringan dan N rendah dari jagung inbrida sangat bermanfaat untuk pemilihan tetua dalam merakit varietas jagung yang toleran cekaman kekeringan dan N rendah. Penelitian bertujuan untuk (a) menyeleksi homosigositas dan analisis keragaman genetik dari 51 jagung inbrida menggunakan 36 marka simple sequence repeats (SSRs) dan (b) menyeleksi inbrida (homosigositas >80%) yang toleran kekeringan dan pemupukan N rendah. Percobaan menggunakan rancangan petak-petak terbagi dengan tiga ulangan. Sebagai petak utama adalah cekaman kekeringan (pemberian air normal dan cekaman kekeringan), anak petak adalah tingkat pemupukan N yaitu 75 dan 150 kg N/ha dan anak-anak petak adalah 51 inbrida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman genetik jagung inbrida tergolong cukup besar dengan kisaran nilai koefisien kemiripan genetik 0,22-0,87 dengan rata-rata nilai polimorfis 0,57. Jagung inbrida dengan tingkat homosigositas >80% sebanyak 30 inbrida yang terbagi ke dalam enam kelompok heterotik. Inbrida yang toleran kekeringan terdapat pada kelompok heterotik C dan F yaitu
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
DTPYC9-F46-3-9-1-1-B dan 1044-30, sedangkan yang medium toleran kekeringan terdapat pada kelompok heterotik A dan B yaitu CML 161/NEI 9008 dan MR 14. Inbrida yang toleran pemupukan N rendah terdapat pada kelompok heterotik D yaitu G20133077, sedangkan inbrida yang medium toleran pemupukan N rendah terdapat pada kelompok heterotik A, B, C, D, dan F yaitu CML 161/ NEI 9008, CY 11, CY 15, CY 6, CLRCY039, Nei9008, DTPYC9-F461-2-1-2-B, G 2013627, G2013649, 1044-30. Inbrida yang medium toleran kekeringan dan pemupukan N rendah terdapat pada kelompok C dan F yaitu DTPYC9-F46-1-2-1-2-B dan 1044-30. Jagung inbrida dengan tingkat toleransi kekeringan dan pemupukan N mediumtoleran dapat digunakan sebagai tetua dalam pembentukan jagung hibrida atau sintetik unggul yang toleran pada kondisi cekaman tersebut dengan melakukan rekombinasi persilangan antarkelompok heterotik. (Penulis) Kata kunci: Jagung inbrida, homosigositas, SSR, kekeringan, nitrogen rendah.
Sutoro, Mamik Setyowati (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian) Daya Gabung Umum, Daya Gabung Khusus dan Keragaan Hasil Hibrida Jagung pada Dua Tingkat Pumupukan N Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 55-59. Produksi jagung dapat ditingkatkan melalui penanaman varietas unggul yang efisien dalam memanfaatkan pupuk atau hara yang tersedia dalam tanah. Pertanaman jagung dapat memberikan hasil tinggi apabila dipupuk secara optimal, tetapi pemberian pupuk dalam jumlah banyak menurunkan efisiensi agronomis pupuk. Penanaman jagung dengan pupuk takaran tinggi berdampak negatif terhadap lingkungan. Banyak petani yang tidak mampu memberikan pupuk secara optimal, terutama petani pada lahan marjinal. Oleh karena itu, varietas jagung yang efisien dalam memanfaatkan pupuk sangat diperlukan. Genotipe persilangan diallel dan tetuanya diuji dalam rancangan tersarang dengan tiga ulangan pada dua tingkat pemupukan (N rendah dan optimal sebagai faktor tersarang). Genotipe sebagai perlakuan yang diuji adalah hibrida full diallel dan resiprokal yang berasal dari lima inbrida (tetua) adaptif pupuk rendah dan tetua inbridanya berdasarkan model Griffing metode I. Hibrida H3, H7, dan H9 cocok pada kondisi pupuk N rendah. Inbrida jagung G2 dan G5 cocok pada kondisi N optimal, dan hasil silang tunggalnya (hibrida H7) cocok pada kondisi N rendah. Inbrida G4 yang cocok pada kondisi N rendah dan inbrida G5 yang cocok pada kondisi optimal, silang tunggalnya menghasilkan hibrida H10 yang cocok pada kondisi N optimal. Nampaknya hibrida jagung yang cocok pada kondisi N rendah atau optimal dapat dihasilkan dari pasangan inbrida yang cocok pada kondisi N rendah dan atau optimal. Inbrida yang cocok pada lingkungan target belum tentu menghasilkan hibrida yang cocok pada lingkungan target tersebut. (Penulis) Kata kunci: Jagung, nitrogen, DGU, DGK.
Ruly Hamida (Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Malang); Kumala Dewi (Fakultas Biologi, Universitas Gajahmada, Yogyakarta) Efektivitas Mikoriza Vesikular Arbuskular dan 5-aminolevulinic Acid terhadap Pertumbuhan Jagung Varietas Lokal Madura pada Cekaman Kekeringan Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 61-67. Pertumbuhan jagung lokal pada daerah yang tercekam kekeringan terhambat dan hasil menurun. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengadaptasikan tanaman jagung agar dapat bertahan pada kondisi cekaman kekeringan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi mikoriza vesikular arbuskular (MVA) dan 5-aminolevulinic acid (ALA) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jagung lokal madura varietas Guluk-guluk pada kondisi cekaman kekeringan berbeda. Penelitian menggunakan rancangan acak-acak terpisah dengan tiga faktor perlakuan dan enam ulangan. Faktor pertama adalah variasi inokulasi mikoriza, yaitu tanpa inokulasi (M0) dan dengan inokulasi mikoriza (M1). Faktor kedua adalah aplikasi ALA dengan konsentrasi 0% (P0), 0,05% (P1) dan 0,1% (P2). Faktor ketiga adalah intensitas penyiraman, yaitu setiap dua hari sekali (K0), empat hari sekali (K1), dan enam hari sekali (K2) sampai kapasitas lapang. Inokulasi mikoriza dilakukan pada saat penanaman benih, sedangkan penyemprotan ALA pada saat tanaman berumur 2 minggu setelah tanam. Pengukuran parameter dilakukan pada umur 45 HST. Data dianalisis dengan ANOVA dua arah dan dilanjutkan dengan uji DMRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan MVA dan ALA berpengaruh nyata terhadap peningkatan infeksi mikoriza, kadar P total daun, kadar klorofil total, tinggi tanaman, bobot basah dan bobot kering pucukakar dan rasio pucuk/akar serta penurunan kadar hormon asam absisat (ABA). Kadar ABA tanaman jagung yang mendapat perlakuan penyiraman dua hari sekali turun hingga 1,7 ppm, lebih rendah dari perlakuan kontrol (5,8 ppm). Perlakuan terbaik ditunjukkan oleh kombinasi inokulasi mikoriza dan penyemprotan ALA 0,05% pada intensitas penyiraman setiap empat hari sekali (K1M1P1). (Penulis) Kata kunci: Mikoriza Vesikular Arbuskular, 5-aminolevulinic acid, jagung lokal madura, cekaman kekeringan.
Erliana Ginting, Rahmi Yulifianti, M. Jusuf, Made J. Mejaya (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang) Identifikasi Sifat Fisik, Kimia, dan Sensoris Klon-klon Harapan Ubijalar Kaya Antosianin Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 69-78. Perakitan varietas unggul ubijalar kaya antosianin mendukung pemanfaatannya sebagai pangan fungsional sekaligus diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal. Untuk itu dilakukan penelitian sifat fisik, kimia, dan sensoris 10 klon harapan ubijalar ungu dan dua varietas pembanding (Antin 1 dan Ayamurasaki) di Laboratorium Kimia dan Teknologi Pangan Balitkabi, Malang, pada bulan NovemberDesember 2012. Klon/varietas tersebut ditanam pada MK II 2012 di Tumpang, Malang, dan dipanen pada umur 4,5 bulan. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, tiga ulangan. Pengamatan meliputi warna dan komposisi kimia umbi segar serta sifat sensoris umbi kukus dengan uji Hedonik melibatkan 20 panelis. Warna daging umbi bervariasi dari putih/orange sembur ungu, ungu hingga ungu tua. Tingkat kecerahan warna (L*) umbi berkorelasi negatif dengan total antosianin (R2 = 0,81) yang nilainya berkisar dari 1,86 mg (MSU 06044-05) hingga 123,92 mg, setara sianidin 3-glukosida/
249-3 249
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
100 g bb (MSU 06046-48). Klon MSU 06046-48, MSU 06028-71, dan MIS 0601-179 memiliki total antosianin lebih tinggi daripada varietas pembanding Ayamurasaki (70,41mg/100 g bb). Kadar air, abu, serat, gula reduksi, amilosa, dan pati umbi juga bervariasi antarklon/varietas dengan kisaran 67,7-75,8%; 2,8-3,9% bk; 2,54,8% bk; 0,9-4,4% bk; 20,0-27,4% bk dan 50,3-66,6% bk. Klon MIS 0601-179 memiliki kadar bahan kering dan pati tertinggi (40,1% dan 66,6% bk), sesuai untuk bahan baku tepung. Warna, rasa, dan tekstur umbi kukus klon MSU 06044-05 (kuning keunguan) paling disukai, diikuti oleh MIS 0601-179, Ayamurasaki, dan MSU 0602871 (ketiganya berwarna ungu). Rasa umbi kukus klon MSU 0604648 (kadar antosianin tertinggi) kurang disukai karena agak pahit/ sepat sehingga memerlukan alternatif pengolahan selain dikukus. (Penulis) Kata kunci: Ubijalar, antosianin, fisik, kimia, sensoris.
Untung Susanto, Nofi Anisatun Rohmah, Made Jana Mejaya (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi) Pembedaan Varietas Padi Berdasarkan Karakter Morfologi, Agronomi, dan Marka Molekular Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 79-87. Data lengkap karakteristik suatu varietas sangat bermanfaat untuk mengecek keautentikan suatu varietas yang benihnya diperdagangkan. Seringkali nama suatu varietas berubah dalam proses distribusi benih informal antar petani. Hal ini berpotensi merugikan pihak yang memiliki hak kekayaan intelektual varietas. Pencirian keautentikan suatu varietas berdasarkan karakter morfologi sering kali kurang memadai. Dewasa ini, telah tersedia teknologi marka molekuler, seperti SSR dan SNP yang lebih akurat dalam membedakan antarvarietas, relatif praktis, efektif, dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk membedakan sembilan varietas padi yang ditanam di lahan petani berdasarkan karakter morfologi (47 karakter), agronomi (9 karakter), marka SSR (12 marka terpilih terpaut karakter-karakter penting tanaman padi), dan marka SNP (384 marka) serta membandingkan akurasi masing-masing marka dalam membedakan varietas yang diuji. Kesembilan genotipe tersebut adalah empat varietas yang ditanam petani yang benihnya melalui distribusi informal, sehingga memiliki nama baru yang tidak terdapat dalam daftar varietas padi yang telah dilepas, serta lima varietas unggul yang telah resmi dilepas sebagai acuan. Penelitian untuk mendapatkan data morfologi dan agronomis tanaman dilakukan di Desa Ranca Jaya, Kecamatan Patok Beusi, Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada MH 2011/2012, menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Ekstraksi DNA dari masing-masing varietas dilakukan dari contoh daun yang berasal dari materi yang sama dengan yang ditanam di lapang menggunakan metode CTAB yang dimodifikasi. Selanjutnya masing-masing contoh DNA diuji dengan 12 marka SSR dan 384 marka SNP. Hasil pengujian menunjukkan marka SSR terpaut karakter spesifik tanaman padi lebih akurat untuk membedakan varietas padi yang diuji dibandingkan dengan marka SNP (acak dan umumnya tidak terpaut suatu karakter tertentu) serta ciri-ciri agronomi dan morfologi. Karakter agronomi mampu membedakan beberapa varietas yang tidak dapat dibedakan berdasarkan karakter morfologinya. Secara keseluruhan, karakter morfologi, agronomi, dan molekuler dapat digunakan untuk menjamin perlindungan hak kekayaan intelektual atas suatu varietas. (Penulis) Kata kunci: Marka molekuler, morfologi, agronomi, padi.
Adnan (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua), Mira Landep Widiastuti, Sri Wahyuni (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi) Identifikasi Varietas Padi Menggunakan Pengolahan Citra Digital dan Analisis Diskriminan Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 89-96. Identifikasi varietas padi penting untuk membantu perakitan dan pemurnian varietas. Identifikasi varietas umumnya dilakukan berdasarkan deskripsi varietas secara visual, namun teknik tersebut sulit dilakukan untuk mengenali varietas yang mempunyai morfologi benih serupa. Alternatif teknik lain untuk identifikasi varietas adalah menggunakan teknologi citra digital dikombinasikan dengan analisis diskriminan. Tujuan penelitian adalah: (1) menghasilkan deskripsi geometri, bentuk dan tekstur benih varietas Ciherang, Inpari 10 dan Inpari 13 berdasarkan teknologi citra digital, (2) menentukan parameter terpilih yang digunakan sebagai dasar untuk identifikasi varietas, dan (3) mengidentifikasi morfologi benih varietas padi menggunakan analisis diskriminan. Citra digital diambil menggunakan scanner. Citra yang dihasilkan dikuantifikasi menggunakan aplikasi citra digital untuk mendapatkan parameter geometri, analisis bentuk, dan tekstur. Model diskriminan dibangun berdasarkan 5 dari 17 parameter masukan dengan diskriminan power kuat. Model diskriminan yang dihasilkan mewakili 85,4% keragaman data. Tingkat akurasi model berdasarkan validasi silang untuk varietas Ciherang, Inpari 10, dan Inpari 13 berturut-turut adalah 53,6%, 52,8% dan 76,0%. Teknologi citra digital dan analisis diskriminan berpotensi digunakan untuk identifikasi varietas padi berdasarkan ciri fisik benih, namun diperlukan eksplorasi lebih lanjut untuk meningkatkan akurasi model. (Penulis) Kata kunci: Analisis geometri, analisis bentuk, analisis tekstur, analisis diskriminan, identifikasi varietas.
Parlin H. Sinaga (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau), Trikoesoemaningtyas, Didy Sopandie, Hajrial Aswidinnoor (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor) Daya Hasil dan Stabilitas Ratun Genotipe Padi pada Lahan Pasang Surut Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 97-104. Penelitian bertujuan untuk mengetahui daya hasil dan stabilitas hasil tanaman ratun genotipe padi pada tiga lingkungan yang berbeda di lahan pasang surut. Percobaan dirancang menurut acak kelompok yang diulang tiga kali. Bibit padi ditanam pada umur 21 hari setelah semai, satu batang per lubang. Tanaman dipanen 30 hari setelah berbunga dengan memotong 10 cm di atas permukaan tanah. Satu hari setelah panen tanaman utama, lahan diairi setinggi 3 cm dan ditaburkan urea 50 kg/ha, TSP 30 kg/ha, dan KCl 25 kg/ha. Pengamatan dilakukan terhadap variabel tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah rumpun hidup, jumlah biji bernas per malai, bobot 1.000 biji, dan hasil tanaman ratun. Pengaruh perlakuan diuji menggunakan Anova gabungan dan uji Tuckey 0.05. Stabilitas hasil diuji menurut Eberhart dan Russel (1966). Hasil penelitian menunjukkan tanaman ratun sensitif terhadap lingkungan. Genotipe IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, dan IPB 3S terbaik berdasarkan rata-rata hasil tanaman utama+ratun di tiga lokasi masing-masing 5,26 t, 5,14 t, dan 5,64 t/ha. Genotipe IPB97-F-13-1-1 dan IPB 4S beradaptasi pada lingkungan suboptimal (bi<1). Hasil ratun IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, dan IPB 3S terbaik di 3 lokasi. Tanaman ratun meningkatkan hasil padi di lahan pasang surut dengan kontribusi 31,3-61,9%. (Penulis) Kata kunci: Padi, ratun, daya hasil, lahan pasang surut.
250-4 250
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
Anky Zannati (Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI), Utut Widyastuti (Program Studi Bioteknologi Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor); ISatya Nugroho (Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI) Skrining Salinitas Padi Mutan Insersi Pembawa Activation-Tagging pada Fase Perkecambahan Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 105-111. Mutasi insersi adalah salah satu metode dalam analisis fungsional genom. Elemen transposons Ac dan Ds yang mampu bertransposisi pada genom tanaman termasuk padi, dapat digunakan untuk mengungkap gen-gen fungsional yang terkait dengan toleransi terhadap cekaman pada tanaman padi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyeleksi padi mutan pembawa activation-tagging terhadap cekaman salinitas. Dari 75 galur mutan dipilih dari 1.000 mutan yang telah melalui skrining massal untuk mengidentifikasi responnya terhadap cekaman salinitas. Mutan divalidasi pada fase perkecambahan yang dibagi ke dalam tiga kelompok eksperimen validasi (A, B dan C) pada larutan Yoshida yang mengandung NaCl 200g/l. Pada setiap kelompok eksperimen validasi didapatkan tiga mutan potensial dengan nilai index vigour tertinggi. Analisis PCR pada gen hpt dan bar dari sembilan mutan potensial menunjukkan elemen Ac/Ds masih ada dalam genom padi. (Penulis) Kata kunci: Padi, activation-tag, cekaman salinitas.
Sudir, Dini Yuliani (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi); Lalu Wirajaswadi (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB) Komposisi dan Sebaran Patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae, Penyakit pada Padi di Nusa Tenggara Barat Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 113-120. Penelitian bertujuan untuk mengetahui komposisi dan sebaran patotipe bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo), penyebab penyakit hawar daun bakteri (HDB), pada beberapa daerah produksi padi di Nusa Tenggara Barat. Penelitian dilaksanakan pada musim tanam I tahun 2012. Penelitian meliputi tiga kegiatan, yaitu pengambilan sampel daun padi bergejala HDB dari lapangan, isolasi Xoo di laboratorium, dan pengujian patotipe Xoo di rumah kaca. Sampel daun padi bergejala HDB diambil secara acak dari lapangan dan dimasukkan ke dalam amplop kertas untuk diisolasi Xoo dengan metode pencucian di laboratorium. Pengujian patotipe dilaksanakan dengan menginokulasikan isolat Xoo yang diperoleh pada lima varietas padi diferensial di rumah kaca dengan metode gunting. Ketahanan varietas padi diferensial terhadap isolat Xoo dikelompokkan berdasarkan keparahan penyakit HDB. Varietas diferensial bereaksi tahan (T) jika keparahan penyakit HDB £11% dan rentan (R) jika keparahan >11%. Pengelompokan patotipe dilakukan berdasarkan nilai interaksi antara ketahanan varietas padi diferensial dengan virulensi bakteri Xoo. Dari 240 sampel daun padi bergejala HDB diperoleh 232 isolat Xoo. Hasil pengujian dari 232 isolat Xoo yang diperoleh menunjukkan Xoo yang dominan di Nusa Tenggara Barat adalah patotipe IV (51,0%) diikuti oleh patotipe VIII (29,0%), dan patotipe III (20,0%). (Penulis) Kata kunci: Xanthomonas oryzae pv. oryzae, patotipe, varietas padi differensial.
Dini Yuliani, Rina Hapsari Wening, Sudir (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi) Karakterisasi Sifat Morfologi dan Ketahanan terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Beberapa Varietas Padi Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 121-130. Tanaman padi di Indonesia sering dihadapkan pada serangan penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo). Pengendalian penyakit HDB dengan varietas tahan merupakan salah satu teknik yang murah dan mudah dilakukan petani. Genotipe padi sebagai sumber tetua untuk perakitan varietas tahan perlu diketahui reaksi ketahanannya terhadap penyakit HDB. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi dan mengevaluasi ketahanan genotipe padi terhadap penyakit HDB patotipe III, IV, dan VIII. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sukamandi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi pada musim hujan 2012/2013 dan musim kemarau 2013 dengan rancangan percobaan faktorial acak kelompok. Faktor pertama adalah tiga patotipe Xoo, yaitu patotipe III, IV, dan VIII. Faktor kedua adalah 20 genotipe padi dan tiga varietas pembanding, yaitu Ciherang, Inpari 13, dan Angke. Pengamatan karakterisasi morfologi dan agronomi dilakukan pada tanaman padi mulai pada fase primordia hingga menguning. Pengamatan intensitas penyakit HDB dilakukan dengan mengukur gejala terpanjang pada umur 2, 3, dan 4 minggu setelah inokulasi. Hasil penelitian menunjukkan karakter morfologi dari genotipe padi yang diteliti memiliki tipe permukaan daun sedang dan habitus terbuka (60o). Karakter agronomi dari genotipe padi memiliki tinggi tanaman 99-190 cm, umur matang 109157 hari, dan jumlah anakan 9-23 anakan/rumpun. Dari pengujian ketahanan terhadap HDB patotipe III, IV, dan VIII diperoleh tiga genotipe padi yang berasal dari galur isogenik yaitu IRBB 60, IRBB 61, dan IRBB 55. Intensitas penyakit HDB tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding tahan Angke pada dua musim tanam. Ketiga galur isogenik tersebut dapat dijadikan tetua tahan dalam perakitan varietas unggul baru tahan HDB. (Penulis) Kata kunci: Padi, genotipe, hawar daun bakteri, karakterisasi ketahanan.
Suharyanto (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali); Jangkung H. Mulyo, Dwidjono H. Darwanto, Sri Widodo (Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Analisis Produksi dan Efisiensi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Provinsi Bali Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 131-143. Salah satu upaya peningkatan produktivitas padi sawah dengan kendala keterbatasan luas lahan adalah melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Penelitian bertujuan untuk menganalisis dampak penerapan inovasi PTT terhadap produksi, efisiensi, dan sumber-sumber inefisiensi teknis usahatani padi sawah. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten sentra produksi padi sawah di Provinsi Bali, yakni Tabanan, Buleleng, dan Gianyar, dengan melibatkan 216 responden, selama dua musim tanam. Pengambilan sampel menggunakan metode acak berstrata. Data dianalisis menggunakan fungsi produksi stokastik frontier dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Hasil analisis menunjukkan produksi padi sawah dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah benih, pupuk N, pupuk organik, pestisida, tenaga kerja, dan umur bibit. Produktivitas padi sawah lebih tinggi pada musim kemarau, dengan sistem tanam legowo, pengairan berselang, dengan
251-5 251
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
menerapkan PHT dan menggunakan varietas selain IR64. Secara teknis, baik petani alumni SL-PTT maupun bukan alumni SL-PTT, telah efisien dengan efisiensi lebih dari 70%, namun hanya petani alumni SL-PTT yang secara alokatif efisien dan secara ekonomi tidak ada yang efisien. Faktor sosial ekonomi petani yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis adalah umur, pendidikan, pengalaman usahatani, dan jumlah persil. Inefisiensi teknis padi sawah lebih rendah pada lahan milik petani alumni SLPTT. (Penulis) Kata kunci: Padi sawah, produktivitas, efisiensi, pengelolaan tanaman terpadu.
Ikrarwati (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta); Satriyas Ilyas (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor); Amiyarsi Mustika Yukti (Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura) Keefektifan Pelapisan Benih terhadap Peningkatan Mutu Benih Padi Selama Penyimpanan Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 145-152. Benih berpelapis (seed coating) pestisida nabati seperti minyak cengkeh dan minyak serai memiliki kemampuan mengendalikan patogen terbawa benih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan coating benih terhadap cendawan dan bakteri terbawa benih padi varietas Hipa 8 selama 6 bulan penyimpanan. Penelitian dilaksanakan di Cimanggis, pada bulan Februari sampai September 2012. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima ulangan dan empat perlakuan coating benih, yaitu (1) minyak cengkeh 1%+ kitosan 3%; (2) minyak serai 2% + karboksimetilselulosa 1%; (3) pestisida kimia (streptomycin sulphate 0,04% + benomyl 0,1%) + gom arab 10%; dan (4) kontrol (tanpa coating). Hasil penelitian menunjukkan cendawan patogen terbawa benih padi varietas Hipa 8 yang terdeteksi pada penyimpanan selama 6 bulan adalah Fusarium sp., Curvularia sp., Alternaria sp., Cladosporium sp., Aspergillus sp. dan Penicillium sp.. Bakteri patogen yang terdeteksi adalah Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan X. campestris pv. oryzicola. Formula coating yang paling kompatibel dengan benih padi varietas Hipa 8 adalah pestisida kimia + gom arab 10% yang dapat menekan total infeksi cendawan dari 80% menjadi 45% pada bulan pertama dan 90% menjadi 70% pada bulan ke lima, menekan populasi Xoo + Xco dari 7,6 x 108 cfu/g menjadi 5,86 x 105 cfu/g benih pada bulan pertama dan dari 7,0 x 106 cfu/g menjadi 1,4 x 104 cfu/g benih pada bulan ke enam, dengan penurunan viabilitas benih yang lebih kecil dibanding perlakuan coating yang lain. (Penulis) Kata kunci: Bakteri, cendawan, minyak cengkeh, minyak serai, pestisida nabati.
Abdullah Taufiq, Afandi Kristiono, Didik Harnowo (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang) Respon Varietas Unggul Kacang Tanah terhadap Cekaman Salinitas Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 153-163. Salinitas tanah berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Informasi respon varietas unggul kacang tanah terhadap salinitas sangat diperlukan sebagai dasar pemilihan
252-6 252
varietas adaptif lahan salin. Penelitian bertujuan mempelajari tanggap beberapa varietas kacang tanah terhadap salinitas. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Balitkabi Malang pada Juli-September 2013 menggunakan rancangan acak kelompok faktorial, empat ulangan. Faktor I adalah enam tingkat salinitas tanah yang diperoleh dari pengenceran air laut. Faktor II adalah sepuluh varietas kacang tanah, terdiri atas tujuh varietas tipe Spanish dan tiga varietas tipe Valencia. Pengamatan dilakukan terhadap daya hantar listrik (DHL) tanah, tinggi tanaman, indeks kandungan klorofil daun, bobot kering tajuk dan akar, jumlah dan bobot kering polong isi, jumlah dan bobot kering biji normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan salinitas menghambat pertumbuhan pada fase vegetatif maupun generatif. Umur kritis pertumbuhan terhadap pengaruh salinitas adalah 45-65 HST. Semua peubah pertumbuhan dan komponen hasil tanaman menurun akibat peningkatan salinitas. Batas DHL tanah tertinggi untuk menghasilkan polong dan biji adalah 1,60-1,84 dS/m. Varietas tipe Spanish dan Valencia tidak berbeda toleransinya dari aspek hasil dan komponen hasil tanaman, tetapi dari aspek peubah pertumbuhan tipe Valencia lebih toleran dibandingkan tipe Spanish. Toleransi tersebut kemungkinan berkaitan dengan kemampuan penyerapan unsur K dan translokasinya yang lebih tinggi pada kondisi salin. Di antara varietas tipe Valencia yang diuji, varietas Domba terindikasi lebih toleran. (Penulis) Kata kunci: Kacang tanah, Spanish, Valencia, toleransi, salinitas.
Suyamto, M. Saeri, D.P. Saraswati, Robi’in (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur) Verifikasi Dosis Rekomendasi Pemupukan Hara Spesifik Lokasi untuk Padi Varietas Hibrida Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 165-173. Badan Litbang Pertanian bekerja sama dengan IRRI telah mengembangkan rekomendasi pemupukan hara spesifik lokasi (PHSL) yang dapat diakses melalui website (http:/webapps.irri.org/ nm/id). Rekomendasi PHSL telah diuji pada padi inbrida namun belum diuji pada padi hibrida. Penelitian ini mengevaluasi rekomendasi PHSL untuk mengetahui respon tanaman padi hibrida terhadap pemupukan N (urea). Penelitian dilakukan pada musim kemarau 2012 di Blitar dan Malang. Penelitian pertama mengevaluasi (1) perlakuan rekomendasi PHSL padi hibrida untuk varietas hibrida Mapan-P05, (2) sama dengan perlakuan 1 untuk varietas hibrida Hipa-10, (3) sama dengan perlakuan 1 untuk varietas inbrida Ciherang, (4) rekomendasi PHSL padi inbrida untuk varietas hibrida Mapan-P05, (5) sama dengan perlakuan 4 untuk varietas hibrida Hipa-10, dan (6) sama dengan perlakuan 4 untuk varietas inbrida Ciherang. Rekomendasi PHSL untuk padi hibrida adalah 300 kg Phonska + 376 kg urea/ha diberikan empat kali, dan rekomendasi PHSL untuk padi inbrida 200 kg Phonska + 332 kg urea/ha diberikan tiga kali. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap ber blok, luas plot 5 m x 10 m, empat ulangan. Penelitian kedua dengan rancangan petak terpisah, luas petak 5 m x 10 m, empat ulangan. Petak utama adalah empat perlakuan dosis urea (0, 150, 300, 450 kg/ha) dan anak petak adalah dua varietas (hibrida Mapan-P05 dan inbrida Ciherang). Hasil analisis tanah sebelum penelitian, hasil padi, dan respon padi hibrida terhadap pupuk N merupakan data utama yang dikumpulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rekomendasi PHSL padi hibrida kurang tepat. Hal ini karena dengan dosis dan waktu pemberian pupuk NPK yang lebih tinggi, hasil padi hibrida ternyata sama dengan dosis dan waktu pemberian pupuk yang lebih rendah atau rekomendasi pupuk untuk padi inbrida. Respon padi hibrida terhadap pempukan N lebih tinggi dibanding padi inbrida. Artinya, pada dosis
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
pupuk N yang sama mampu memberikan hasil lebih tinggi dibanding padi inbrida. Dapat disimpulkan bahwa padi hibrida tidak memerlukan dosis dan waktu aplikasi pemupukan yang lebih tinggi seperti yang direkomendasikan oleh PHSL-web. Pada dosis pupuk yang sama, padi hibrida memberikan hasil lebih tinggi dibanding padi inbrida, yang berarti efisiensi pemupukan lebih tinggi. Tingkat hasil padi hibrida tidak hanya ditentukan oleh pemberian pupuk, namun juga oleh faktor lain, kualitas benih, dan faktor lingkungan. Terdapat indikasi interaksi G x E x M pada padi hibrida, yang bermakna varietas hibrida memerlukan lingkungan tumbuh yang spesifik.
N. Usyati (Peneliti Balai Besar Penelitian Tanaman Padi ), Damayanti Buchori, Syafrida Manuwoto, Purnama Hidayat (Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB), Inez H. Slamet-Loedin (Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong-Bogor)
(Penulis)
Penggunaan varietas transgenik dalam sistem produksi pertanian memberikan beberapa keuntungan, namun tanaman transgenik sering diperdebatkan, tentang pengaruh negatifnya terhadap lingkungan, terutama terhadap musuh alami. Untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh penanaman varietas transgenik terhadap musuh alami, dilakukan penelitian perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi varietas Rojolele transgenik di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong, Bogor, dari bulan Januari sampai Oktober 2009. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, delapan perlakuan dan 30 ulangan. Perlakuan meliputi galur padi Rojolele transgenik, yaitu galur 4.2.328-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa), galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan, galur DTcry (azygous) yaitu segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry (null), dan galur DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman padi varietas Rojolele nontransgenik. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata antargalur padi Rojolele transgenik. Pada galur transgenik T9-6.11-420 dan DTcry-13, lama perkembangan, keberhasilan dalam mencapai tahap akhir setiap stadium perkembangan, kemunculan imago betina, berat imago, dan kemampuan hidup pradewasa dan dewasa predator V. lineata konsisten rendah dibandingkan dengan padi varietas Rojolele nontransgenik. Pada galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi), 3R9-8-28-26-2 (mpi), dan 3R7-8-15-2-7 (mpi), perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata tidak konsisten. Pada galur DTcry (azygous), perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata konsisten tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele nontransgenik. Padi Rojolele transgenik galur 4.2.421-8-16-4 (fusi) hanya berpengaruh terhadap berat imago predator V. lineata.
Kata kunci: Padi hibrida, pupuk, efisiensi.
Wiwik Hartatik, Ladiyani Retno Widowati (Balai Penelitian Tanah, Bogor) Pengaruh Pupuk Majemuk NPKS dan NPK terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah pada Inceptisol Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 175-185. Pemupukan NPK pada padi sawah dengan menggunakan pupuk majemuk NPK perlu mempertimbangkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Penelitian bertujuan untuk menentukan dosis optimum dan pengaruh pupuk majemuk NPK yang diperkaya S (1515-15-5S) dan pupuk majemuk NPK terhadap pertumbuhan dan hasil padi. Penelitian dilakukan di Desa Galuga, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, pada bulan April–September, 2013. Percobaan lapangan terdiri atas dua unit menggunakan rancangan acak kelompok, 3 ulangan. Unit I terdiri atas sembilan perlakuan: enam tingkat dosis pupuk NPKS (0, 150, 300, 450, 600, dan 750 kg/ha), ditambah NPK standar, pupuk majemuk NPK setara NPK standar dan NPK standar + S. Dosis pupuk urea, SP-36 dan KCl untuk perlakuan NPK standar berturut-turut adalah 250, 75 dan 50 kg/ha. Unit II terdiri atas enam tingkat dosis pupuk majemuk NPK (0, 150, 300, 450, 600 dan 750 kg/ha) dan NPK standar dengan dosis 250 kg urea, 50 kg SP-36 dan 75 kg KCl/ha. Petak perlakuan berukuran 4 m x 5 m. Padi varietas Ciherang digunakan sebagai tanaman indikator. Pengamatan dilakukan terhadap sifat kimia tanah sebelum dan sesudah percobaan, tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot jerami dan gabah kering dan serapan hara. Efektivitas pupuk dihitung dengan Relative Agronomic Effectivenes(RAE). Hasil penelitian menunjukkan pupuk NPKS 15-15-15-5S dengan dosis optimum 600 kg/ha efektif meningkatkan bobot gabah kering, dari 3,63 t/ha menjadi 4,67 t/ha dan tidak berbeda nyata dengan pupuk NPK standar dan terjadi peningkatan bobot gabah kering 29% dibanding kontrol dengan nilai RAE 100%. Pupuk NPK 15-15-15 efektif meningkatkan pertumbuhan dan bobot gabah kering yang setara dengan NPK standar pada dosis 300-750 kg/ha. Dosis optimum pupuk majemuk NPK adalah 440 kg/ha, ditunjukkan oleh capaian hasil 4,12 t/ha dengan nilai RAE 58%. Perlakuan pupuk majemuk NPKS 750 kg/ha memberikan serapan N, P dan K tertinggi dan nyata meningkatkan P tersedia. Pemberian pupuk majemuk NPK dengan dosis 600 kg/ha memberikan serapan P tertinggi. Pengkayaan pupuk majemuk NPK (15-15-15) dengan sulfur (5S) tidak nyata meningkatkan bobot gabah kering. (Penulis) Kata kunci: Padi sawah, inceptisols, pupuk majemuk NPKS.
Perkembangan Pradewasa dan Kemampuan Hidup Predator Verania lineata Thurnberg (Coleoptera: Coccinellidae) pada Tanaman Padi Varietas Rojolele Transgenik Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 187-194.
(Penulis) Kata kunci: Padi Rojolele, transgenik, predator V. lineata.
Bambang S. Koentjoro (Mahasiswa Pasca Sarjana, Departemen Ilmu Komputer, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor), Imas S. Sitanggang (Departemen Ilmu Komputer- IPB), Abdul Karim Makarim (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor) Model Simulasi dan Visualisasi Prediksi Potensi Hasil dan Produksi Kedelai di Jawa Timur Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 195-201. Pendugaan hasil dan produksi kedelai dan sebarannya di sentrasentra produksi masih lemah. Ketelitian tersebut dapat ditingkatkan melalui pengintegrasian model simulasi potensi hasil dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Tujuan penelitian ini adalah model simulasi dengan SIG dalam memprediksi potensi hasil kedelai di sentra produksi kedelai di Jawa Timur. Penelitian dilakukan di Laboratorium
253-7 253
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
System Dynamic, Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Malang dan di Laboratorium Software Enginering and Information System, IPB, Bogor, pada bulan Desember 2013-Mei 2014. Penelitian dilakukan dengan pendekatan “sistem” menggunakan model simulasi sebagai solusi masalah. Model simulasi potensi hasil kedelai yang digunakan adalah model SUCROS.SIM (Simple Universal Crop Growth Simulator), yang ditulis menggunakan perangkat lunak Powersim dan Spreadsheet agar dapat diintegrasikan dengan SIG secara penuh. Tahap awal dari proses integrasi model SUCROS.SIM dengan SIG adalah (a) validasi model, menggunakan input data partisi asimilat tanaman kedelai; (b) data iklim (radiasi surya, suhu maksimum dan minimum dari stasiun klimatologi (BMKG) Karangploso, Malang; (c) data pengamatan hasil kedelai varietas Wilis dan Argomulyo di Kebun Percobaan Muneng (2009-2012). Koefisien determinasi model simulasi potensi hasil kedelai (R2) berkisar antara 0,945–0,992 dan nilai RMSE (Root Mean Squre Error) 0,11–0,25 t/ha. Rata-rata potensi hasil dan produksi kedelai pada tahun 2012 di sentra produksi kedelai di Jawa Timur masing-masing adalah 1,94 t/ha dan 293.459 ton. Kesimpulannya, SUCROS.SIM valid untuk diintegrasikan dengan SIG. (Penulis) Kata kunci: Kedelai, potensi hasil, model simulasi.
Titik Sundari, Gatut Wahyu Anggoro Susanto (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang) Pertumbuhan dan Hasil Biji Genotipe Kedelai di Berbagai Intensitas Naungan Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 203-217. Kondisi lingkungan yang berlaku pada periode reproduksi, khususnya intensitas dan kualitas cahaya matahari yang diterima tanaman, sangat berpengaruh terhadap hasil dan komponen hasil kedelai. Pertumbuhan dan hasil biji beberapa genotipe kedelai pada berbagai intensitas naungan diteliti di Kebun Percobaan Kendalpayak, Malang, pada tahun 2011. Tiga varietas unggul kedelai (Pangrango, Argomulyo, dan Grobogan) serta 2 galur harapan kedelai toleran naungan diuji pada empat intensitas naungan buatan, yaitu tanpa naungan (N0), naungan 25% (N1), 50% (N2), dan 75% (N3). Penempatan perlakuan di setiap intensitas naungan berdasarkan rancangan acak kelompok, diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan naungan mengakibatkan perubahan iklim mikro di bawah naungan. Perlakuan naungan 25%, 50%, dan 75% menyebabkan intensitas cekaman yang berbeda. Intensitas naungan hingga 75% menyebabkan peningkatan tinggi tanaman dan spesifik luas daun, tetapi mengurangi jumlah dan luas daun, laju penyerapan cahaya (PAR), laju fotosintesis, indeks klorofil daun, jumlah polong isi dan bobot biji per tanaman. Pada kondisi ternaungi, bobot biji ditentukan oleh jumlah dan luas daun, laju penyerapan cahaya (PAR), laju fotosintesis dan jumlah polong isi. Jumlah polong isi dinilai efektif digunakan sebagai dasar pemilihan kedelai hasil tinggi pada kondisi ternaungi. Karakter tinggi tanaman dan bobot biji dapat digunakan sebagai indikator toleransi kedelai terhadap naungan. Genotipe AI26-1114-8-28 dan IIj9-299-1-4 toleran terhadap naungan hingga 75% berdasarkan nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC). (Penulis) Kata kunci: Kedelai, hasil biji, naungan, genotipe.
254-8 254
Ari Wahyuni (Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, SPs IPB), M.R. Suhartanto, Abdul Qadir (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor) Model Dinamik Vigor Daya Simpan Benih Kedelai pada Penyimpanan Terbuka Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 219-227. Viabilitas benih kedelai mengalami penurunan selama penyimpanan. Kemunduran yang berlangsung secara cepat dipicu oleh tingginya kandungan protein dan kelembaban tinggi, khususnya di daerah tropis. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model dinamik penyimpanan benih kedelai secara terbuka. Penelitian dilakukan melalui tiga tahap yaitu 1) studi literatur, 2) penyimpanan dan pengujian benih, 3) penyusunan model penyimpanan benih, simulasi dan verifikasi model. Penyimpanan dan pengujian benih dilakukan dengan rancangan acak lengkap dengan kadar air awal benih 78%, 9-10%, dan 11-12% dan varietas kedelai Anjasmoro, Wilis, Detam-1, dan Detam-2 sebagai perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku benih selama periode penyimpanan dipengaruhi oleh kadar air awal benih, viabilitas awal, varietas dan kondisi lingkungan simpan. Peubah tersebut dapat dijadikan input model. Kadar air benih selama periode simpan, respirasi benih, daya hantar listrik dan vigor daya simpan benih dijadikan output model. Hasil simulasi menggunakan Model Construction Layer-Stella (MCLS) berdasarkan kelembaban relatif (RH), suhu, permeabilitas, kadar air awal dan viabilitas awal benih sebagai input model menunjukkan hasil yang logik pada output kadar air dan vigor daya simpan benih. (Penulis) Kata kunci: Kedelai, penyimpanan terbuka, vigor daya simpan benih, dan model dinamik.
Rerenstradika Tizar Terryana (Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, SPs IPB), M.R. Suhartanto, Abdul Qadir (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor) Alat Pengusang Cepat IPB 77-1 MM untuk Penapisan Vigor Daya Simpan Benih Kedelai Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 229-235. Alat Pengusang Cepat IPB 77-1 MM dapat digunakan untuk penapisan benih kedelai berdasarkan vigor daya simpan. Penelitian bertujuan untuk memperoleh metode pengusangan cepat benih kedelai secara cepat, mudah, dan akurat menggunakan alat pengusang cepat IPB 77-1 MM yang sesuai untuk penapisan vigor daya simpan beberapa varietas benih kedelai. Dua metode uji pengusangan cepat benih (fisik dan kimia) menggunakan alat pengusang cepat IPB 77-1 MM diaplikasikan pada benih kedelai varietas Anjasmoro untuk mendapatkan metode terbaik pengusangan cepat benih. Metode pengusangan cepat terbaik selanjutnya digunakan untuk menapis 23 varietas benih kedelai berdasarkan vigor daya simpannya. Hasil penapisan 23 varietas benih kedelai tersebut selanjutnya dibandingkan dengan vigor daya simpan 23 varietas benih kedelai yang telah disimpan dalam kondisi ruang simpan terkontrol selama 10 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pengusangan cepat menggunakan alat pengusang cepat IPB 77-1 MM, baik secara fisik maupun kimia, dapat menurunkan vigor benih, tetapi metode pengusangan secara kimia lebih cepat dalam menurunkan vigor benih. Metode pengusangan secara kimia juga lebih praktis dan mudah dalam pengaplikasian. Alat Pengusang cepat IPB 77-1 MM dapat digunakan untuk penapisan benih kedelai
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
berdasarkan vigor daya simpannya dengan menggunakan uji daya hantar listrik. (Penulis) Kata kunci: Benih kedelai, alat pengusang cepat, daya simpan, daya hantar listrik.
Mayasari Yamin (Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, SPS IPB), Darda Efendi, Trikoesoemaningtyas (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor) Pendugaan Parameter Genetik Populasi F3 dan F4 Tanaman Gandum Persilangan Oasis x HP1744 Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 237-245. Gandum merupakan tanaman pangan introduksi yang memerlukan suhu rendah untuk berproduksi optimal. Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi keragaman genetik karakter agronomis pada generasi F3 dan F4 gandum dari persilangan Oasis x HP1744, karakter seleksi, dan genotipe yang beradaptasi di dataran tinggi dan menengah. Penelitian dilaksanakan dengan menerapkan Shuttle Breeding. Generasi F3 diseleksi di dataran tinggi Kebun Percobaan Balithi, Cipanas (1.100 m dpl). Generasi F4 diseleksi di dataran menengah di Cisarua (600 m dpl). Penelitian menggunakan
rancangan Augmented Design, materi genetik terdiri dari 57 famili F3 hasil seleksi pedigree dari generasi F2 (Oasis x HP1744) dan enam varietas pembanding. Generasi F4 terdiri dari 320 genotipe hasil seleksi dari generasi F3 dan enam varietas pembanding. Tinggi tanaman, luas daun bendera, persentase floret hampa per malai, jumlah biji/malai dan bobot biji/malai dari generasi F3 memiliki nilai tengah lebih baik dari kedua tetuanya. Genotipe F4 menunjukkan kehijauan daun bendera, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, bobot biji malai utama, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, jumlah biji/tanaman, dan bobot biji/tanaman, keragaan nilai tengah yang lebih baik dibandingkan dengan tetua Oasis. Tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen, jumlah spikelet, dan jumlah floret total genotipe F4 memiliki nilai heritabilitas yang lebih tinggi dari generasi F3. Karakter seleksi tidak langsung yang sesuai untuk generasi F3 adalah tinggi tanaman yang menunjukkan diferensial seleksi tidak langsung terbaik. Famili yang potensial untuk diseleksi lebih lanjut diantaranya O/HP 21, O/HP 82, O/HP 12, O/HP 100 dan O/HP 28. Karakter seleksi tidak langsung sesuai untuk F4 adalah bobot biji malai utama dengan diferensial seleksi tidak langsung terbaik. Genotipe yang potensial untuk diseleksi lebih lanjut di dataran menengah diantaranya O/HP82-19; O/HP82-15, O/HP785, O/HP49-30 dan O/HP78-2. (Penulis) Kata kunci: Gandum, diferensial seleksi, karakter seleksi, komponen ragam, shuttle breeding.
255-9 255
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Volume 34, 2015
ISSN 0216-9959
The description given are free terms. This abstract sheets may be reproduced without permission of charge
E.F. Pramudyawardani, B. Suprihatno, dan Made J. Mejaya (Indonesian Center for Rice Research, Sukamandi) Yield Potential of Promising Very-very Early (VVEM) and Very Early Maturing (VEM) Rice Lines Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 1-11. Breeding for high yielding rice varieties with VVEM (<90 days after sowing/das) is considered important to increase cropping indexes in the fully irrigated farm lands. This research was aimed to evaluate the yield potential of 200 promising VVE and VE maturing rice lines. A total of 200 VVE and VE maturing rice lines and five check varieties (Ciherang, Dodokan, Inpari 1, Inpari 13, Silugonggo) were evaluated in Preliminary Yield Trial (PYT) at Sukamandi Experimental Farm using augmented design, during the dry season of 2012. The 17 lines selected from PYT along with three check varieties (Silugonggo, Inpari 13, Ciherang) were further evaluated in Advanced Yield Trial (AYT) using randomized complete block design at Sukamandi, Kuningan, Magelang and Klaten, during wet season of 2012. Of the 200 lines tested in PYT, three lines yielded significantly higher than the best check variety (Inpari 1) and 2 lines did equal to Inpari 1. A total of 155 lines were VVE (<90 das), and 45 lines were VE maturing (91-104 das). Based on yield per day, 17 lines were selected to be evaluated in AYT in WS 2012. Based on combined analyses from four locations of AYT, seven lines produced grain yield/ha and grain yield/day higher than did the best check Silugonggo (5.51 t/ha and 51.7 kg/day); there were14 lines did better than Ciherang (5.07 t/ha; 41.9 kg/day), and 13 lines yielded better than did Inpari 13 (5.27 t/ha; 46.7 kg/day). The best seven lines and lines with higher productivity per day than that of the best check, with an average yield of 5.62 t/ha up to 6.12 t/ha, with days to maturity from 87 up to 94 das, were ready to be evaluated in Multi Locational Yield Trial to meet the requirement for the release of new variety. (Author) Kata kunci: Rice, very-very early, very early, yield per day.
Joko Prasetiyono, Ahmad Dadang, Ma’sumah, Tasliah, Fatimah, dan Tiur Sudiaty Silitonga (Indonesian Center for Agricultural Biotechnology and Genetic Resource Research and Development, Bogor) Molecular and Morphological Field Evaluation of Early Maturing and High Productivity of Rice Lines Derivative of Ciherang Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 13-20. Improving Ciherang rice variety for earliness and higher productivity was obtained using Marker Assisted Backcrossing (MAB). Among 78 lines of BC2F4 generation of Ciherang x Nipponbare were obtained from greenhouse and molekuler analysis selection. Field evaluations were conducted at two locations, namely field station of Sukamandi (Indonesian Center for Rice Research, West Java), and field station of Maros (Indonesian Cereals Research Institute,
219-1 256
South Sulawesi). Molecular analysis was performed using markers RM1362 and RM7601 which are flanking markers for the QTL region for Hd2 gene, located on chromosome 7. Flowering time and grain yield were evaluated among BC2F4 lines. Five lines flowered earlier and yielded higher than Ciherang were selected for background analysis using microsatellites covering the rice chromosomes. The earliest flowering line was BC2F4CihNip-60 (at 74 days, 4 days earlier than that of Ciherang), and the highest yield (which flowered earlier than Ciherang) was BC2F4CihNip-23, namely (2.20 t/ha higher than Ciherang). A total of 74 (95%) BC2F4 lines showed QTL region of Hd2 gene in homozygous condition. This showed that molecular selection from F1 generation of BC2F4 was able to identify homozygous gens and almost free of contaminant plant. Genetic backgrounds of the five BC2F2 selected lines were similar to that of Ciherang. Based on the agronomic and molecular marker, twenty five lines of BC2F4 flowered earlier than did Ciherang and yielded higher than did Ciherang. These lines should be further evaluated for their stability. (Author) Kata kunci: Rice, Ciherang, MAB, early maturity, high productivity.
Wartono (Indonesian Center for Agricultural Biotechnology and Genetic Resource Research and Development, Bogor); Giyanto, Kikin H. Mutaqin (Bogor Agricultural University) Effectiveness of Bacillus subtilis B12 Spore Formulation as Biocontrol Agent for Bacterial Leaf Blight on Rice Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 21-28. Bacterial leaf blight control in rice (Oryza sativa Lin.) using bactericide is prohibitive, due to its high cost and its negative effect on the environment. Biocontrol when avaible, therefore is the best alternative solution. Bacillus subtilis is a perspective of biocontrol agent to control several plant diseases, because of its ability to produce antimicrobial and produce plant growth promoting substances. This research was aimed to examine the effectiveness of B. subtilis spore formulation by way of seed treatments and foliar sprays, using different frequencies and concentrations, to control bacterial leaf blight disease (BLB) on rice, caused by Xanthomonas oryzae pv. oryzae, and to evaluate its function as plant growth promoter. The experiments were conducted at greenhouse and in the field using factorial design. At the greenhouse experiment, seed treatment and foliar spray, using concentration of 2% produced better result in controlling BLB, and better result on promoting rice plant growth. In the field experiment, application at 2 week interval showed better effect on suppressing the the disease and on increasing yield. Applications of the formulation of B. subtilis B12 spore reduced BLB disease by 21% and potentially increased yield up to 50%. (Author) Kata kunci: Rice, B. subtilis, Xanthomonas oryzae, formulation.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
Tasliah, Joko Prasetiyono, Tintin Suhartini, dan Ida Hanarida Soemantri (Indonesian Center for Agricultural Biotechnology and Genetic Resource Research and Development, Bogor)
The crossing of very late maturity (Nanti) with early maturity (Grobogan or Malabar) showed that early maturity was probably controlled by additive recessive genes.
Resistance of Pup1 Rice (Oryza sativa Lin.) Lines to Blast Disease
(Author)
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 29-36.
Kata kunci: Soybean, gene action, additive, non-additive, generation mean analysis.
Blast is one of major disease on the upland rice in Indonesia. Upland rice lines derived from Kasalath and NIL-C443 crosses, containing Pup1 gen locus had been developed and evaluated for P fertilizer efficiency. Those lines would be evaluated for blast resistance, due to the fact that Pup1 locus contains genes involved in plant defend mechanism to disease, including blast disease. The BC2F5 plants derived from six crosses (DK, DN, SK, SN, BK, BN) were used in this research. Responses to blast disease in the green house were evaluated at ICABIOGRAD Bogor from March to April 2011, using combination of three blast races (race 173, 033, and 133). The response to blast disease in the field was evaluated at Taman Bogo Research Station, Lampung, and at farmer’s field in Cikeusal Village, Banten, from January to April 2011. Molecular analysis to trace Pup1 gene locus was conducted at the Molecular Biology Laboratory, using specific primer K20-2, from January to August 2013. Based on the molecular analysis all Pup1 lines showed homozygoes alleles, except the heterozygoes alleles on SK7, SK8, SK15, SK16, BN8 line, which were then not included in the next planting. The responses to blast at greenhouse among lines varied, but the Pup1 lines were mostly at level of moderate resistan (AT). Based on the result from the field experiment, most of Pup1 lines were resistance, however the susceptible check plant (Kencana Bali) did not show blast fungus infection. Differences of the result might be due to the blast testing at the green house which was more favorable for blast fungal growth. The effect of Pup1 gene locus showed clearly on resistance of plants obtained from Situ Bagendit cross, where Situ Bagendit was susceptible and does not contain the Pup1 locus. Additional of Pup1 locus in Situ Bagendit genome had increased the degree of resistant to blast. (Author) Kata kunci: Rice, BC2F5, Pup1, blast disease.
Gatut Wahyu, A.S. (Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute, Malang); W. Mangoendidjojo, P. Yudono (Faculty of Agriculture, Gadjah Mada University, Yogyakarta); A. Kasno (Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute, Malang) Generation Mean Analysis of Days to Maturity from Three Soybean Crosses Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 37-41. Genetic parameters of a character, which is estimated using genetic analysis approach, is important in a character improvement. The aim of this research was to examine the gene action of days to maturity character on soybean using generation mean analysis. The research consisted two steps, first was preparing four populations (F1, BC1.1, BC1.2 and F2) of three single crosses, i.e. Nanti × Grobogan, Grobogan × Malabar, and Nanti × Malabar. The second step was testing those populations consisting of P1, P2, F1, F2, BC1.1 and BC1.2 in the field at Jambegede Experimental Station, Malang, East Java, from July to September 2009. The results showed that there were interaction between the gene loci on the inheritance of days to maturity, from the three cross combinations under study. The role of additive gene action and the influence of dominant inheritance contributed jointly, affecting days to maturity of early maturity (Grobogan) and early maturity (Malabar) cross.
Roy Efendi (Indonesian Cereals Research Institute, Maros); Yunus Musa, M. Farid Bdr, M. Danial Rahim (Faculty of Agriculture, Hasanuddin University, Makassar); M. Azrai, Marcia Pabendon (Indonesian Cereals Research Institute, Maros) Maize Inbred Line Selection Using Molecular Marker and Its Tolerance to Drought and Low Nitrogen Stress Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 43-53. Information on genetic diversity, homozygosity, drought stress and low N tolerance of maize inbred line are useful for parental selection in developing maize varieties tolerant to drought and low N. The objectives of this study were (a) selection for homozygoes lines and analysis of genetic diversity among 51 maize inbred lines applying simple sequence repeats (SSRs) using thirty six markers (b) selection for inbred lines (homozygosity over 80%) for drought and low nitrogen (N) tolerance. Experiment was conducted using split-split plots design with three replications. Water treatments were as the main plots (well-watered and drought stress conditions), subplots were nitrogen fertilization at rate of 75 and 150 kg N/ha and the sub-sub plots were 51 inbred lines. The results showed that there were broad ranges of genetic variability among inbred lines with genetic similarity coefficient values ranging from 0.22 to 0.87 and polymorphism information content average was 0.57. Thirty inbreds having homozygosity over 80% were spread into six heterotic groups. Drought tolerance inbreds were in heterotic groups C and F, namely DTPYC9-F46-3-9-1-1-B and 1044-30, the drought medium tolerance in heterotic group A and B, namely CML 161/NEI 9008 and MR 14. Inbred for low-N fertility tolerance was in the heterotic group D namely G20133077, while medium tolerance to low-N fertility inbreds were in heterotic group A, B, C, D, and F, and they were CML 161/NEI 9008, CY 11, CY 15, CY 6, CLRCY039, Nei9008, DTPYC9-F46-1-2-1-2-B, G2013627, G2013649, 1044-30. Inbreds tolerance to both medium drought and to low-N fertility were in heterotic group C and F they were DTPYC9-F46-1-2-1-2B and 1044-30. Inbred lines of maize tolerant to drought and to lowN fertility can be used as parent to develop hybrid or synthetic varieties, posessing stress tolerances, by cross recombination between heterotic groups. (Author) Kata kunci: Maize inbred, homozygosity, SSR, drought, low nitrogen fertility.
Sutoro, Mamik Setyowati (Indonesian Center for Agricultural Biotechnology and Genetic Resource Research and Development, Bogor) General Combining Ability, Spesific Combining Ability and Yield Performances of Maize Hybrids on Two Levels of N Fertilization Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 55-59. Maize grain production may be increased by growing varieties that utilize the available nutrients in the soil efficiently. High grain yield of maize could be achieved when hybrid variety was planted under
257-2 257
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
the optimal rate of fertilization. However, application of fertilizer on agricultural land in large quantities have a negative impact on the environment. Therefore, maize variety that is able to use fertilizer efficiently is needed, which would be reducing the environmental impact from a high fertilization and also helping farmers who are less able to provide optimal fertilizer rate or those who are growing maize under the marginal land. Maize genotypes developed by diallel mating and their parents were tested under nested design, three replications on two levels of nitrogen fertilization (low and optimal N level, as nested factor). The full diallel crosses (hybrids and reciprocals) derived from five inbred lines were tested using Griffing method I. Result indicated that H3, H7 and H9 hybrids were adaptable to low N. Inbred G2 and G5 were suitable for optimal N fertilization condition, and their single cross hybrids using H7 as parent was suitable for the low N fertilization condition. Inbred G4 was suitable for low N condition and inbred G5 was suitable for the optimal N condition. Single cross hybrids of H10 was as parent suitable for N optimal condition. It was shown that maize hybrids suitable for low or optimal N fertilizations could be generated from either pairs of inbreds adaptif under low N or optimal N conditions. Inbred lines adapted to certain N fertilization may not necessarily produced hybrid adapted to the same N level of environment. (Author) Kata kunci: Maize, nitrogen, GCA, SCA.
Ruly Hamida (Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Institute, Malang); Kumala Dewi (Faculty of Biology, Gajahmada University, Yogyakarta) Effectiveness of Vesicular Arbuscular Mycorrhiza and 5Aminolevulinic Acid on the Growth of Local Madura Variety Maize to Drought Stress Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 61-67. The local Madura maize variety planted on drought stress area suffered retarded plant growth and reduced grain yield. Research was conducted to alleviate the stress on crop plants, to survive under drought condition. The aim of this study was to investigate the effects of MVA and ALA on the growth of Guluk-guluk local maize variety planted under difference drought stresess. The experiment was conducted using split-split plot design with three factors in six replications. The first factor was variation of MVA application, i.e., without inoculation (M0) and with inoculation of mycorrhiza (M1). The second factor was ALA treatment which consisted of 3 levels, namely 0% (P0), 0.05% (P1) and 0.1% (P2). Third factor was plant watering intensity, i.e., watered once every 2 days (K0), watered once every 4 days (K1) and watered once every 6 days (K2) reaching field capacity, respectively. Data were analyzed by two-way ANOVA and Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). The results suggested that MVA and ALA treatments gave significant effects in increasing the percentage of mycorrhiza infection, total leaf P content, total chlorophyll content, plant height, fresh and dry weight of shoot and root and shoot/root ratio. It showed a significant effect in decreasing ABA content in maize plant subjected to drought stress. The ABA content was 1.7 ppm in plants watered once every 2 days, where control plant had ABA content of 5.8 ppm. The best treatment was found on plants treated with mycorrhiza inoculation and 0.05% ALA and watered once every 4 days. (Author) Kata kunci: MVA, 5-ALA, local maize variety, drought stress.
258-3 258
Erliana Ginting, Rahmi Yulifianti, M. Jusuf, Made J. Mejaya (Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute, Malang) Identification of Physical, Chemical, and Sensorial Characteristics of Rich-anthocyanins Promising Clones of Sweet Potato Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 1, hlm 69-78. Breeding for sweet potato varieties rich in anthocyanins is essential to promote the use of sweet potato as functional food as well as to support food diversification program. This study was performed to identify physical, chemical, and sensorial characteristics of 10 promising clones of purple-fleshed sweet potato and two varieties (Ayamurasaki and Antin 1) as checks, at the Food Chemistry and Processing Laboratory of ILETRI, Malang from November until December 2012. The trial was arranged in a completely randomized design with three replicates. Observations included physical and chemical characteristics of the fresh roots and sensory attributes of the steamed roots using hedonic test of 20 panelists. The flesh colour varied from white/yellow purplish, purple up to dark purple. The lightness colour (L*) of root flesh was negatively correlated with total anthocyanins (R2 = 0.81), which varied from 1.86 mg (MSU 06044-05) up to 123.92 mg equivalent to cyanidin 3-glycoside/ 100 g fw (MSU 06046-48). Three clones, namely MSU 06046-48, MSU 06028-71, and MIS 0601-179 had higher total anthocyanins than that of Ayamurasaki (70.41mg/100 g fw) as a check. Moisture, ash, crude fiber, reducing sugar, amylose, and starch contents also varied among clones, ranged from 67.7 to 75.8%; 2.8 to 3.9% dw; 2.5 to 4.8%; 0.9 to 4.4% dw; 20.0 to 27.4% dw and 50.3 to 66.6% dw, respectively. MIS 0601-179 clone had the highest dry matter and starch contents (40.05% dw and 66.64% dw) which were suitable for flour ingredient. The steamed roots of MSU 0604405 (yellow purplish) gave the highest scores of panelist preferences on colour, texture and taste attributes, followed by MIS 0601-179, Ayamurasaki, and MSU 06028-71 (purple). The bitter taste of MSU 06046-48 steamed roots associated with the highest anthocyanins content was slightly disliked, suggesting that this clone needs an alternative preparation method other than steaming. (Author) Kata kunci: Sweet potato, anthocyanins, physical, chemical, sensory properties.
Untung Susanto, Nofi Anisatun Rohmah, Made Jana Mejaya (Indonesian Center for Rice Research, Sukamandi) Distinguishing Rice Genotypes using Morphological, Agronomical, and Molecular Markers Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 79-87. Complete data on characteristics of a rice variety is very important to trace the authenticity of the variety at the field. Sometimes a name of a variety had changed, due to the informal seed distribution among farmers. This could become problem in the property right of the variety. Distinguishing among rice varieties using only morphological and agronomical traits are sometimes not sufficient. Currently, molecular markers such as SSR (Simple Sequence Repeats) and SNP (Single Nucleotide Polymorphism) markers have become available and are powerfull to distinguish rice genotypes. This research was aimed to distinguish nine rice varieties grown by farmers, using morphological characters (47 traits), agronomical characters (9 traits), SSR markers (12 primer pairs, related with important traits of rice plant), and 384 SNP markers, and to compare the effectiveness of each technique in distinguishing among genotypes. A field experiment was conducted in Ranca Jaya village,
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
Patok Beusi, Subang, West Java during Wet Season (WS) of 2011/ 2012, using a Randomized Complete Block Design in three replications. A modified CTAB method was used to extract DNA for detection using 12 SSR markers and 384 SNP markers. The results revealed that the use of SSR markers that were linked to certain genes was more accurate than that of the SNP markers, agronomic, and morphological characters, in distinguishing differences among the 9 rice genotypes. The complete data of morphologic, agronomic, and molecular are useful to distinguish the authenticity of a variety in order to protect the intelectual property right attached on the variety. (Author) Kata kunci: Morphological, agronomic, SSR, SNP, rice.
Adnan (Assessment Institute for Agricultural Technology Papua), Mira Landep Widiastuti, Sri Wahyuni (Indonesian Center for Rice Research, Sukamandi) Identification of Rice Variety using Image Processing and Discriminant Analyses Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 89-96. Identification of the authenticity of variety is important in order to ensure the purly of rice variety. Variety identification based on visual traits is a common technique, but it is difficult to be applied when ones encounter almost similar varieties. An alternative technique is using the image processing analysis combined with the discriminant analysis. The research objectives were: (1) to develop the geometrical, shape and textural description of rice varieties (Ciherang, Inpari 10 and Inpari 13) generated based on the image process properties, (2) to determine selective geometry, shape and texture variables, and (3) to identify rice variety using discriminant analysis. Digital image of rice grains was captured by a scanner, then was quantified by image process application in order to generate geometry, shape and texture data. Discriminant model was built using 5 of 17 input variables that have strong discriminant power. Discriminant model represented 85.9% of the data variability. The model accuracy based on the cross validation method for Ciherang, Inpari 10 dan Inpari 13 varieties was 53.6%, 52.8% dan 76.0%, respectively. Image process technology and discriminant analysis has a potential as a technique for identifying rice variety based on the seed physical criteria. Further works need to be done in order to increase the accuracy of the model. (Author) Kata kunci: Geometry analysis, shape descriptor, texture analysis, discriminant analysis, identification of variety.
Parlin H. Sinaga (Assessment Institute for Agricultural Technology Riau), Trikoesoemaningtyas, Didy Sopandie, Hajrial Aswidinnoor (Departement Agronomy dan Horticulture, Bogor Agricultural University) Grain Yields and Stability of Ratoon Rice Genotypes in Tidal LandsGrain Yields and Stability of Ratoon Rice Genotypes in Tidal Lands Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 97-104. The study was aimed to determine the productivity and yield stability of ratoon rice genotypes in three environments and to obtain rice genotypes suitable for ratooning on specific environment of tidal land. The experiment was designed in a randomized complete block
with three replicates. Seedling was planted at 21 days old with spacing of 20 x 20 cm, one seedling per hill. Plants were harvested 30 days after heading by cutting at a height of 10 cm from the soil surface. One day after harvest, the land was irrigated as high as 3 cm and fertilized with Urea 50 kg/ha, TSP 30 kg/ha, and KCl 25 kg/ ha. Yield stability was analyzed according to Eberhart and Russel (1966). Ratoons were sensitive to the environmental changes. Genotype IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, and IPB 3S produced the main crop + ratoon grain yield of 5.26 t/ha, 5.14 t/ha, and 5.64 t/ha dry milling grain (DMG), respectively. Based on yield of the main crop + ratoon, IPB97-F-13-1-1 and IPB 4S was each considered as adaptable to the suboptimum condition (bi<1). Ratoon crop yield of genotype IPB97-F-13-1-1, IPB 4S, and IPB 3S each was the highest in three locations. The ratoon crop contribution to the rice production was from 31.3% to 61.9% to the main crop. (Author) Kata kunci: Rice, ratoon, productivity, tidal land.
Anky Zannati (Indonesian Institute of Sciences), Utut Widyastuti (Bogor Agricultural University); ISatya Nugroho (Indonesian Institute of Sciences) Germination Phase Screening of Insert Mutant Rice Carrying Activation-Tagging Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 105-111. Insert mutation is a method in the functional genomics analysis, using Ac and Ds transposable elements that capable of transposing genes in plant genome, including rice. Using such method, it is possible to identify functional genes, such as abiotic stress tolerance genes in rice plant. The objectives of this research were to screen activated-tag mutant rice for tolerance to salinity stress. Seventy-five lines were chosen from a 1,000 fast screening experiment to identify mutant responsive to salinity stress. The mutant was validated in three screening batches (A, B and C) at germinating stage in Yoshida solution containing 200g/L NaCl. Three potential tolerant mutants, with the highest vigor index were identified from each batch. Insertion analysis of the nine mutants showed that the activator/dissociation (Ac/Ds) elements were still present in the genome, based on the bar and hpt marker genes as identified from the positive PCR. (Author) Kata kunci: Rice (Oryza sativa L.), activation-tag, salinity stress.
Sudir, Dini Yuliani (Indonesian Center for Rice Research, Sukamandi); Lalu Wirajaswadi (Assessment Institute for Agricultural Technology West Nusa Tenggara) Composition and Distribution of Xanthomonas oryzae pv. oryzae on the Rice Production Center of West Nusa Tenggara Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 113-120. A study was carried out to identify the composition and distribution of Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) pathotypes on rice crop in West Nusa Tenggara, during the 2012 planting season. Three activities were conducted, namely collection of rice leaf samples from the fields, isolation of Xoo from the leaf samples at the laboratory, and testing pathotypes of Xoo at the screen house. Rice leaves showing typical bacterial leaf blight (BLB) symptom were collected from various farmers’ fields. The samples were detached and put into paper envelopes, and were taken to the
259 259-4
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
laboratory for isolation of Xoo, at the Laboratory of Pythopathology of Indonesian Center for Rice Research (ICRR), Sukamandi. Pathotype testing was done in the ICRR screen house by inoculating the leaves of five differential rice varieties using inocula of the Xoo isolates. Resistance of the rice differential varieties was determined based on the BLB disease severity. Inoculated plant with disease severity £11% was considered resistant (R) and disease severity >11% was susceptible (S). From the 240 samples of rice leaf infected with BLB collected from West Nusa Tenggara, 232 Xoo isolates were obtained. The Xoo pathotype identification showed that pathotype IV was the most dominant in West Nusa Tenggara during the 2012 planting season, numbering 118 isolates or 51.0% out of the total isolates, followed by pathotype VIII (67 isolates or 29.0%), and pathotype III (47 isolates or 20.0%). (Author) Kata kunci: Xanthomonas oryzae pv. oryzae, pathotype, differential rice varieties.
Dini Yuliani, Rina Hapsari Wening, Sudir (Indonesian Center for Rice Research, Sukamandi) Morphological Characterization and Resistant to Bacterial Leaf Blight among Rice Genotypes Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 121-130. Bacterial leaf blight, caused by Xanthomonas oryzae pv oryzae (Xoo) is common disease on rice crop in Indonesia. Resistance variety when available, would be a good control measure to the disease, which could be easily adopted by farmers. Source of gene for resistance needs to be identified among rice genotypes, to be used as parents in the breeding program. This research was aimed to characterize the morphological traits and the degree of resistance among rice genotypes against Xoo pathotype III, IV, and VIII. The experiment was conducted at Sukamandi experimental field of Indonesian Center for Rice Research, during the wet season of 2012/2013 and dry season of 2013, using a randomized factorial design. The first factor was three Xoo pathotypes i.e. pathotype III, IV, and VIII, the second factor was 20 rice genotypes including three check varieties, i.e. Ciherang, Inpari 13, and Angke. Observations of morphological and agronomic characters were done on rice plants started from primordial to grain ripening phase. Observations on BLB disease severity were done by measuring the longest symptoms on the leaves at two, three, and four weeks after inoculation. The morphological characters of the isogenic lines showed moderate leaf surface type with an open habitus (60o). Plant height ranged from 99 to 190 cm, maturity between 109 to 157 days after sowing, and the number of tillers was 9-23 tillers/hill. Against the Xoo pathotype III, IV, and VIII, three genotypes of near isogenic lines i.e. IRBB 60, IRBB 61, and IRBB 55 each was resistance, not significantly different from resistance check variety Angke, in two cropping seasons. All three isogenic lines can be used as parent to develop new resistant variety to bacterial leaf blight. (Author) Kata kunci: Rice, genotype, bacterial leaf blight, characterization resistance.
260 260-5
Suharyanto (Assessment Institute for Agricultural Technology Bali); Jangkung H. Mulyo, Dwidjono H. Darwanto, Sri Widodo (Faculty of Agriculture, Gadjah Mada University, Yogyakarta) Production and Efficiency Analysis of the Integrated Crop Management of Rice in Bali Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 131-143. The integrated crop management approach on rice is aimed to increase the productivity on fields with the constraint of limited land area. This present research was aimed to analyze the impact of the implementation of integrated crop management to grain yield and its efficiency on the lowland farming. The study was conducted in three districts representing the lowland rice production center in Bali, i.e. Tabanan, Buleleng and Gianyar, involving 216 respondents, over two cropping seasons. Sampling of the respondents was using stratified simple random method. Data were analyzed using a stochastic frontier production function with the Maximum Likelihood Estimation (MLE) method. The results showed that the aggregate of rice production was affected by land area, amount of seeds, N fertilizer, organic fertilizer, pesticides, labor and age of seedling. Rice yield was higher in the dry season applying legowo planting pattern, followed by intermittent irrigations, IPM and planting varieties other than IR64. Technically, both ICM-FS alumni farmers and non ICM-FS alumni were considered efficient, with an efficiency rate of more than 70 percent, but only ICM-FS alumni farmers allocated the inputs efficiently, and therefore economically move efficient. Socio economic factors which were significantly affected the aggregate technical inefficiencies were age of farmers, level of education, farming experiences, and the number of land plots. Technical inefficiency of the lowland rice farming was lower when ICM-FS alumni farmers work on their own lands. (Author) Kata kunci: Lowland rice, productivity, efficiency, ICM.
Ikrarwati (Assessment Institute for Agricultural Technology Jakarta); Satriyas Ilyas (Departement Agronomy dan Horticulture, Bogor Agricultural University); Amiyarsi Mustika Yukti (Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura) Effectiveness of Seed Coating on Improving Rice Seed Quality During Storage Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 145-152. Seed coating using biological pesticides such as clove oil and citronella oil, was expected to have the ability to control seedborne pathogens on rice. The aim of the research was to determine the effectiveness of seed coating using clove oil and lemon grass oil against seed-borne fungi and bacteria on rice seed variety “Hipa 8” during storage. The experiment was conducted in Cimanggis, from February to September 2012, using completely randomized design with single factor, consisting of four levels: (1) clove oil 1% + chitosan 3%; (2) lemon grass oil 2% + carboxymethyl-cellulose 1%; (3) Synthetic pesticide (streptomycin sulphate 0.04% + benomyl 0.1%) + arabic gum 10%; and (4) control (without coating). Results showed that seed-borne fungi pathogens on seed of Hipa 8 rice were detected at 6-month storage consisted of Fusarium sp., Curvularia sp., Alternaria sp., Cladosporium sp., Aspergillus sp. and Penicillium sp. The detected pathogenic bacteria were Xanthomonas oryzae pv. oryzae and X. campestris pv. oryzicola. Coating formula most compatible with the rice seed of HIPA 8 was chemical pesticide + 10% arabic gum, which suppressed fungal
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
infection from 80% to 45% at the first month and from 90% to 70% at the fifth month, suppressed populations of Xoo + Xco from 7.6 x 108 cfu/g of seed to 5.86 x 105 cfu/g of seed at the first month and 7.0 x 106 cfu/g of seed to 1.4 x 104 cfu/g of seeds at the sixth month. The treatment caused the smallest decrease of seed viability compared to the other coating treatments. (Author) Kata kunci: Bacteria, clove oil, lemon grass oil, natural pesticide.
Abdullah Taufiq, Afandi Kristiono, Didik Harnowo (Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute, Malang) Responses of Groundnut Varieties to Salinity Stress Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 2, hlm 153-163. Soil salinity has negative effect on crop growth and crop productivity. Information on the response of groundnut varieties to salinity is required for varietal selection adaptable to saline soil condition. The research was conducted at the greenhouse of Indonesian Legume and Tuber Crops Research Institute (Iletri), Malang, East Java from July to September 2013. The objective of the research was to study the effect of salinity on groundnut growth. Ten groundnut varieties, consisted of seven varieties of Spanish type and three varieties of Valencia type, were tested on six levels of soil salinity. The treatment combinations were arranged in randomized complete block design, replicated four times. The soil salinity level was obtained by treating soil media using sea water dilution. Observations were made on electrical conductivity (EC) of the soil, plant height, leaf chlorophyll content index, shoot and root dry weight, number and dry weight of pods, and number and dry weight of normal seeds. Results showed that increasing the salinity level inhibited both vegetative and generative growth and the critical age to the plants affected by salinity was 45-65 days after sowing. All variables of plant growth and yield components decreased with the increase of salinity level. The highest EC value of the soil for groundnut planting to produce pods and seeds was 1.60-1.84 dS/ m. Based on the growth variables, varieties of Valencia-type seemed to be more tolerant to salinity than did Spanish-type, but there was no tolerance difference based on crop yield and yield components between the two groundnut groups. Higher tolerance of Valencia type was probably due to its ability to absorb and translocate more K in saline conditions. Among the Valencia type varieties tested, Domba variety indicated the most tolerance. (Author)
(Malang and Blitar). The first experiment consisted of 6 treatments: (1) PHSL recommendation based on yield target of hybrid variety (Mapan-P05) (10.3 t/ha or 20% higher compared to that of inbred variety), (2) same as treatment 1 for Hipa-10 hybrid variety, (3) same as treatment 1 for Ciherang variety, (4) PHSL based on the yield target similar to that of inbred variety (8.6 t/ha) applied for Mapan-P05 hybrid variety, (5) same as treatment 4 applied for Hipa-10 hybrid variety, and (6) same as treatment 4 applied for Ciherang inbred variety. PHSL recommendation for hybrid rice was 300 kg NPK (Phonska) + 376 kg urea/ha applied 4 times, while that for inbred rice was 200 kg NPK (Phonska) + 332 kg urea/ha applied 3 times. The experiment was arranged in a randomized complete block design, 4 replications, and plot size was 5 m x 10 m. The second experiment was arranged in a split plot design with four replications and plot size 5 m x 10 m. The main plots consisted of 4 rates of urea application namely: 0; 150; 300; and 450 kg urea/ha. The sub plots were two varieties namely: Mapan-P05 (hybrid) and Ciherang (inbred). Soil was analyzed before the conduct of experiment. Main data collection included yield of rice, hybrid rice respon to urea fertilizer. Results of the experiment showed that fertilizer rate based on PHSL for hybrid rice was not appropriate. Applying rate of fertilizers based on PHSL for hybrid rice resulted in rice yields not significantly different to that of inbred variety fertilized based on PHSL for inbred variety. The response of hybrid variety to N fertilizer was higher than that of inbred variety, suggesting that hybrid rice produced higher yield than did inbred, at the same rate of fertilizer. To obtain a higher yield of hybrid rice (such as Mapan-P05) the rate and time of fertilizer applications are not necessarily to be increased as recommended on PHSL-web. Using the same fertilizer rate, hybrid rice (such as Mapan-P05) produced higher yield compared to that of inbred variety, which indicated higher efficiency of fertilization. Yield of hybrid rice Hipa10 variety was not only determined by fertilizer rate but also by other factors, such as seed quality and crop management (M). The existence of GxExM interaction was higher for hybrid rice, meaning hybrid variety required very specific environment. (Author) Keywords: Hybrid rice, fertilizer, efficiency.
Wiwik Hartatik, Ladiyani Retno Widowati ( Indonesian Soil Research Institute, Bogor) Effect of Compound fertilizer NPKS and NPK on Rice Growth and Yield on Inceptisol Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 175-185.
Kata kunci: Groundnut, Spanish, Valencia, tolerance, salinity.
Suyamto, M. Saeri, D.P. Saraswati, Robi’in (Assessment Institute for Agricultural Technology East Java, Malang) Verification the Effectiveness of Site Specific Nutrient Management (SSNM) for Hybrid Rice Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 165-173. IAARD in collaboration with IRRI has developed site specific nutrient management (SSNM or PHSL) recommendation, which can be accessed through PHSL-web (http:/webapps.irri.org/nm/id). PHSL recommendations were evaluated for inbred rice variety but not yet for hybrid rice. The objective of this experiment was to verify the effectiveness of PHSL recommendation for hybrid rice and to evaluate the response of hybrid rice to N fertilizer. Two experiments were conducted during the dry season of 2012 in two locations
Rate of NPK fertilization on rice using NPK compound fertilizer needs to consider soil nutrient status and plant nutrient requirement. The research was aimed to determine the optimum rate of compound fertilizer and the effect of enriched S nutrient of NPKS compound (15-15-15-5S) and NPK compound fertilizer (15-15-15) on the growth and yield of rice. The experiments were conducted at two sites in Galuga, Ciampea Bogor, West Java from April to September 2013, using randomised complete block design with 3 replications. Experiment at site I consisted of 9 treatments: six levels of fertilizers NPKS i.e. 0; 150; 300; 450; 600; and 750 kg/ha, standard fertilizer, NPK compound fertilizer equivalent to standard, and standard fertilizer plus S. Rate of urea, SP-36, and KCl for standard fertilizer treatment was respectively 250, 75, and 50 kg/ha. At site II the treatments consisted of 6 levels of NPK compound fertilizer i.e. 0; 150; 300; 450; 600; and 750 kg/ha and the standard fertilizer with rate of 250 kg/ha of urea, 50 kg/ha SP-36, and 75 kg/ha KCl. Plot size was 4 m x 5 m planted with Ciherang variety. Data collection included chemical properties of soil before and after the experiment,
261 261-5
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
plant height, number of tillers, straw weight, and dry grain weight and the nutrient uptake. The effectiveness of fertilizer was calculated by RAE (Relative Agronomic Effectiveness). Results showed that fertilizer NPKS (15-15-15-5S) at 600 kg/ha effectively increased dry grain weight from 3.63 t/ha to 4.67 t/ha, but was not significantly different from a standard fertilizer treatment. It increased dry grain weight by 29% compared to control. NPK fertilizer (1515-15) effectively promoted growth and dry grain weight equivalent to standard fertilizer at rate of 300-750 kgha. The optimum rate of NPK compound fertilizer (15-15-15) was 440 kg/ha as was shown with the production performance of 4.12 t/ha with RAE by 58%. NPKS compound fertilizer with rate of 750 kg/ha showed the highest uptake of N, P, and K nutrients and significantly increased the available P in the soil. Whereas NPK compound fertilizer with a rate of 600 kg/ha indicated the highest P nutrient uptake. Fertilizer enrichment with sulfur on NPKS fertilizer (15-15-15-5S) did not significant affect on grain dry weight. (Author) Keywords: Lowland rice, inceptisols, compound fertilizer, NPKS.
N. Usyati (Indonesian Center for Rice Research, Sukamandi), Damayanti Buchori, Syafrida Manuwoto, Purnama Hidayat (Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB), Inez H. Slamet-Loedin (Indonesian Institute of Sciences) Larvae Development and Survival of Predatoral Insect Verania lineata on the Transgenic Rojolele Rice Variety Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 187-194. The use of transgenic varieties on the agricultural production system may provide some agronomical benefits. However, uses of transgenic variety have raised some debates about their potential negative impact on the environment, such as on the decreasing of natural enemies. To study the impact of transgenic variety to the natural enemies, study was conducted on larvae development, and the survival of predatoral insect (V. lineata) on the transgenic Rojolele rice variety. Test was conducted at the laboratory of Molecular Biology, Research Centre for Biotechnology of Indonesian Institute of Science, from January to October 2009. Completely randomized design with 8 treatments and 30 replications were employed. The treatments were transgenic Rojolele rice as follow: 4.2.3-28-15-2-7 and 4.2.4-21-8-16-4 lines contained fusion of two cry genes (cryIB-cryIAa). The 3R9-8-28-26-2 and 3R7-8-15-2-7 lines contained mpi::cryIB gene, the T9-6.11-420 line contained cryIAb gene obtained by particle bombardment, DTcry (azygous) is a segregate and does not contain cry gene (null), DTcry-13 line contained cryIAb gene by Agrobacterium, and non transgenic rice (Rojolele variety). Results showed that there were differences of larvae development and survival of insect predator V. lineata fed on the among transgenic rice lines. On transgenic line T9-6.11-420 and on DTcry-13 line the life time, developmental stages, the number eclosion of adult female, adult insect weight, and survival of the preimaginal and the adult of insect predator were consistently low. On the transgenic line 4.2.3-28-15-2-7; 3R9-8-28-26-2; and 3R7-815-2-7 each had no consistent effect on the larvae development and the survival of insect predator. DTcry (azygous) line had no effect on the larvae development and the survival of insect predator. Whereas transgenic line 4.2.4-21-8-16-4 had an effect on the adult weight of insect predator. (Author) Keywords: Rojolele rice, transgenic, predator V. lineata.
262 262-7
Bambang S. Koentjoro (Mahasiswa Pasca Sarjana, Departemen Ilmu Komputer, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor), Imas S. Sitanggang (Departemen Ilmu Komputer- IPB), Abdul Karim Makarim (Indonesian Center for Food Crops Research and Development, Bogor) Simulation Model and Visualization of Yield Prediction and Soybean Production Potential in East Java Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 195-201. The prediction of national soybean yield and production could be improved its accuracy by integrating a simulation model and Geographic Information Systems (GIS). The objective of this research was to integrate a simulation model with a GIS, to predict the potential yield and production of soybean in the soybean production centers of East Java. This study was conducted from December 2013 till May 2014. The approach used in this study was a systems approach using a simulation model as solution to the problem. The model is SUCROS.SIM (Simple Universal Crops Growth Simulator), which was written using Powersim software and Microsoft Excel in order to be fully integrated with GIS. The initial phase of the integration process between SUCROS.SIM and GIS are as follows (a) model validation, using input data of soybean plant assimilate partitioning, (b) climatic data (solar radiation, maximum and minimum temperatures) collected from the climatological station (BMKG) Karangploso Malang and (c) observation data of soybean yields of two varieties (Wilis and Argomulyo) at Muneng Experiment Station. It was found that the coefficients of determination of simulation model of soybean yield potential (R2) range from 0.945-0.992 and RMSE (Root Mean Square Error) values range from 0.11 to 0.25 t/ ha. The average of soybean yield potential and production in 2012 at soybean production centers of East Java were 1.94 t/ha and 293,459 ton, respectively. The conclusion is SUCROS.SIM valid to be integrated with GIS. (Author) Keywords: Soybean, yield potential, simulation model.
Titik Sundari, Gatut Wahyu Anggoro Susanto (Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute, Malang) Growth and Seed Yield of Soybean Genotypes at Different Shade Intensities Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 203-217. Intensity and quality of sunlight received by plants during the reproductive period greatly influence the soybean yield and yield components. Growth and seed yield of soybean genotypes at different shade intensities were assessed through research conducted at the Research Station of Kendalpayak, Malang, in the year 2011. Three soybean varieties, namely: Pangrango, Argomulyo, and Grobogan, and twelve soybean promising lines tolerant to shade were tested on four artificial shade intensities, ie without shade (N0), shade of 25% (N1), 50% (N 2), and 75% (N3). Placement of treatments in each level of shade was arranged in a randomized block design, replicated three times. Results showed that: shade treatment changed the microclimate under the shading. Shade treatment of 25%, 50%, and 75% caused different stress intensities. Shade intensity of 75% caused an increase in plant height and specific leaf area, a reduction in the number of leaves and leaf area, photosynthetically active radiation (PAR) absorption rate, photosynthetic rate, leaf chlorophyll index, number of filled pods, and seed weight per plant. Number of filled pods was considered effective to be used as a basis for selecting soybean genotypes
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
having high yield in shaded conditions. Plant height and seed weight could be used as an indicator for soybean shade tolerance. Genotype AI26-1114-8-28 and IIj9-299-1-4 were considered as shade-tolerant up to 75% shade based on the stress index tolerance value (ITC). (Author) Keywords: Soybean, seed yield, shade, genotypes.
Ari Wahyuni (Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, Bogor Agricultural University), M.R. Suhartanto, Abdul Qadir (Bogor Agricultural University)
varieties were detected using accelerated aging machine IPB 77-1 MM and each was compared with the seed storability vigor of those stored 10 weeks in controlled storage. Results of the experiment showed that using chemical or physical treatment on accelerated aging process were able to decrease seed vigor, but chemical treatment decreased seed vigor faster, more simple and more practical. Accelerated aging machine IPB 77-1 MM could also be used for screening varietal seed storability vigor of soybean using electrical conductivity test. (Author) Keywords: Soybean seed, accelerated aging machine, storability, electrical conductivity.
Model of Seed Storability Vigor of Soybean Seed in an Open Storage Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 219-227. Soybean seed viability declines during seed storage. Soybean seed deteriorates rapidly, affected by its high protein content and often high humidity in the tropical environment. This research was aimed to develop dynamic model of soybean seed viability in an open storage. The study was conducted in three stages, namely: 1) desk study, 2) seed storage experiment, 3) development of seed storage model, simulation and verification of the model. The second stage of the experiment consisted of soybean seed storing and germination testing using completely randomized design. Treatments were three initial moisture content (7-8%, 9-10% and 11-12%) and four varieties of soybean (Anjasmoro, Wilis, Detam-1 and Detam2). The results showed that the seed behaviour during storage period were affected by initial seed moisture content, initial viability, varieties and environmental condition. Therefore, seed moisture content, initial viability and varieties may be used as input model. Moisture content, integreting, seed respiration, electric conductivity and seed storability vigor (VDSDB) were as model output. Simulation of Seed Storability Vigor Prediction Model with Model Construction Layer-Stella (MCLS) using relative humidity (RH), temperature, seed permeability, initial moisture content and initial viability as input model could logically predict the seed moisture content and seed storability vigor (VDSDB). (Author) Keywords: Soybean, open storage, seed storability vigor, dynamic model.
Rerenstradika Tizar Terryana (Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, SPs IPB), M.R. Suhartanto, Abdul Qadir (Departement Agronomy dan Horticulture, Bogor Agricultural University) Accelerated Aging Machine IPB 77-1 MM for Soybean Seed Screening Based on Seed Storability Vigor Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 229-235. Accelerated Aging Machine “IPB 77-1 MM” could be used for soybean seed screening based on the seed storability vigor. The aim of the research was to identify simple, fast and accurate accelerated aging method using accelerated aging machine IPB 77-1 MM. Two methods of accelerated aging test (physical and chemical treatment) were applied to seeds of Anjasmoro soybean variety. The best accelerated aging method was then used to screen seed storability vigor of 23 soybean varieties. Seed storability vigor of 23 soybean
Mayasari Yamin (Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Bogor Agricultural University), Darda Efendi, Trikoesoemaningtyas (Departement Agronomy dan Horticulture, Bogor Agricultural University) Genetic Parameters Estimate of F3 and F4 Wheat Populations Derived fromOasis x HP1744 Cross Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2015, vol. 34 no. 3, hlm 237-245. The study was aimed to obtain the information on the genetic diversity on agronomic traits of wheat among the F3 and F4 generations, derived from crosses of Oasis x HP1744, planted at the highland and medium elevation. The second objective was to acquire the character for selection and to acquire the adaptable genotypes on the highland and on the plain medium elevation. Selection was carried out using Shuttle Breeding, where F3 generation was selected at the Experimental Station of Cipanas (1100 m asl) and F4 generation was selected at the plain medium elevation of Cisarua (600 m asl). The experiment used Augmented Designs. Genetic material consisted of 57 F3 pedigree families selected from the F2 generation of Oasis x HP1744 cross plus six check varieties. The F4 generation cinsisted 320 selected genotypes from the F3 generation plus six check varieties. Plant height, flag leaf area, percentage of empty florets per panicle, number of grains/ panicle and grain weight/panicle of the F3 generation showed larger mid value than the two parents. In the F4 generation, flag leaf greenness, total number of tillers, number of productive tillers, main panicle seed weight, number of seeds/panicle, seed weight/panicle, number of seeds/plant and seed weight/plant indicated the mean value larger than that of the Oasis. Plant height, number of productive tillers, days to flowering, maturity, spikelet number, and the total number of florets of the F4 generation showed higher heritability than that of F3 generation. Character suitable for indirect selection in the F3 was plant height, which indicated the best indirect differential selection. Potential families for further selection included: O/HP 21, O/HP 82, O/HP 12, O/HP 100 and O/HP 28. Characters most suitable for indirect selection in the F4 generation were: main panicle seed weight which indicated the best indirect differential selection. Genotypes potential for further selection in the medium elevation were O/HP82-19; O/HP82-15, O/HP78-5, O/HP49-30 and O/HP78-2. (Author) Keyword: Wheat, character selection, differential selection, shuttle breeding, variance components.
263 263-8
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Volume 34, 2015
ISSN 0216-9959
Indeks Penulis A. Kasno Abdul Karim Makarim Abdul Qadir Abdullah Taufiq Adnan Afandi Kristiono Ahmad Dadang Amiyarsi Mustika Yukti Anky Zannati Ari Wahyuni B. Suprihatno Bambang Sri Koentjoro D.P. Saraswati Damayanti Buchori Darda Efendi Didik Harnowo Didy Sopandie Dini Yuliani Dwidjono H. Darwanto E.F. Pramudyawardani Erliana Ginting Fatimah Gatut Wahyu Anggoro Susanto Giyanto Hajrial Aswidinnoor Ida Hanarida Soemantri Ikrarwati Imas Sekaesih Sitanggang Inez H. Slamet-Loedin Jangkung H. Mulyo Joko Prasetiyono Kikin H. Mutaqin Kumala Dewi Ladiyani Retno Widowati Lalu Wirajaswadi M. Azrai M. Danial Rahim M. Farid Bdr M. Jusuf
264 264-1
37 195 219, 229 153 89 153 13 145 105 219 1 195 165 187 237 153 97 113, 121 131 1 69 13 37, 203 21 97 29 145 195 187 131 13, 29 21 61 175 113 43 43 43 69
M. Saeri M.R. Suhartanto Ma’sumah Made J. Mejaya Mamik Setyowati Marcia Pabendon Mayasari Yamin Mira Landep Widiastuti N. Usyati Nofi Anisatun Rohmah P. Yudono Parlin H. Sinaga Purnama Hidayat Rahmi Yulifianti Rerenstradika Tizar Terryana Rina Hapsari Wening Robi’in Roy Efendi Ruly Hamida Satriyas Ilyas Satya Nugroho Sri Wahyuni Sri Widodo Sudir Suharyanto Sutoro Suyamto Syafrida Manuwoto Tasliah Tintin Suhartini Titik Sundari Tiur Sudiaty Silitonga Trikoesoemaningtyas Untung Susanto Utut Widyastuti W. Mangoendidjojo Wartono Wiwik Hartatik Yunus Musa
165 219, 229 13 1, 69, 79 55 43 237 89 187 79 37 97 187 69 229 121 165 43 61 145 105 89 131 113, 121 131 55 165 187 13, 29 29 203 13 97, 237 79 105 37 21 175 43
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Volume 34, 2015
ISSN 0216-9959
Indeks Judul Alat Pengusang Cepat IPB 77-1 MM untuk Penapisan Vigor Daya Simpan Benih Kedelai 229 Analisis Nilai Tengah Generasi untuk Umur Panen Keturunan Persilangan Tiga Varietas Kedelai 37 Analisis Produksi dan Efisiensi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Provinsi Bali 131 Daya Gabung Umum, Daya Gabung Khusus dan Keragaan Hasil Hibrida Jagung pada Dua Tingkat Pumupukan N 55 Daya Hasil dan Stabilitas Ratun Genotipe Padi pada Lahan Pasang Surut 97 Distinguishing Rice Genotypes Using Morphological, Agronomical, and Molecular Markers 79 Efektivitas Formulasi Spora Bacillus subtilis B12 sebagai Agen Pengendali Hayati Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Tanaman Padi 21 Efektivitas Mikoriza Vesikular Arbuskular dan 5aminolevulinic Acid terhadap Pertumbuhan Jagung Varietas Lokal Madura pada Cekaman Kekeringan 61 Evaluasi Molekuler dan Lapangan terhadap Galur-galur Padi Berumur Genjah dan Produktivitas Tinggi Turunan Ciherang 13 Identifikasi Sifat Fisik, Kimia, dan Sensoris Klonklon Harapan Ubijalar Kaya Antosianin 69 Identifikasi Varietas Padi Menggunakan Pengolahan Citra Digital dan Analisis Diskriminan 89 Karakterisasi Sifat Morfologi dan Ketahanan Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Beberapa Varietas Padi 121
Keefektifan Pelapisan Benih terhadap Peningkatan Mutu Benih Padi Selama Penyimpanan Ketahanan Galur-galur Padi Pup1 terhadap Penyakit Blas Komposisi dan Sebaran Patotipe Xanthomonas oryzae Pv. oryzae, Penyakit pada Padi di Nusa Tenggara Barat Model Dinamik Vigor Daya Simpan Benih Kedelai pada Penyimpanan Terbuka Model Simulasi dan Visualisasi Prediksi Potensi Hasil dan Produksi Kedelai di Jawa Timur Pendugaan Parameter Genetik Populasi F3 dan F4 Tanaman Gandum Persilangan Oasis x HP1744 Pengaruh Pupuk Majemuk NPKS dan NPK terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah pada Inceptisol Perkembangan Pradewasa dan Kemampuan Hidup Predator Verania lineata Thurnberg (Coleoptera: Coccinellidae) pada Tanaman Padi Varietas Rojolele Transgenik Pertumbuhan dan Hasil Biji Genotipe Kedelai di Berbagai Intensitas Naungan Potensi Hasil Galur Harapan Padi Sawah Ultra Genjah dan Sangat Genjah Respon Varietas Unggul Kacang Tanah terhadap Cekaman Salinitas Seleksi Jagung Inbrida dengan Marka Molekuler dan Toleransinya terhadap Kekeringan dan Nitrogen Rendah Skrining Salinitas Padi Mutan Insersi Pembawa Activation-Tagging pada Fase Perkecambahan Verifikasi Dosis Rekomendasi Pemupukan Hara Spesifik Lokasi untuk Padi Varietas Hibrida
145 29
113 219 195
237
175
187 203 1 153
43
105 165
265 265-1
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Volume 34, 2015
ISSN 0216-9959
Indeks Subjek
Gandum Seleksi Jagung DGK DGU Homosigositas Inbrida Lokal madura Mikoriza Vesikular Arbuskular Nitrogen SSR Toleran kekeringan Kacang tanah Toleran salinitas Kedelai Genetik Model simulasi Toleran naungan Benih Alat pengusang cepat Daya simpan Daya hantar listrik
237 237 43, 55, 61 55 55 43 43 61 61 43, 55 43 43, 61 153 153 37, 195, 219, 229 37 195 203 219, 229 229 219, 229 229
Padi 1, 13, 21, 29, 79, 89, 97, 131, 145, 165, 175, 187 Agronomi 79 B. subtilis 21 Benih 145 Blas 29 Cekaman salinitas 105 Genjah 13 Hawar daun bakteri 121 Lahan pasang surut 97 Marka molekuler 79 Padi hibrida 165 Padi sawah 131, 175 Pengelolaan tanaman terpadu 131 Pestisida nabati 145 Predator V. lainata 187 Pupuk 165, 175 Tekstur nasi 89 Transgenik 187 Ratun 97 Ultra genjah 1 Varietas Ciherang 13 Varietas Differensial 113 Varietas Rojolele 187 Xanthomonas oryzae 21, 113 Ubi jalar Antosianin
266 266-1
69 69