#54/Oktober/2015
K U GUM untuk PROPERT
Dari Redaksi
Diterbitkan oleh UKPKM Tegalboto Universitas Jember Jln. Kalimantan 55 Komp. Gd. PKM Kav. Selatan 68121
[email protected] etegalboto.com
Kepada pembaca yang budiman, kami mengharapkan kritik dan saran tentang media tegalboto atau apa saja tentang kampus. Kirim ke 089681987146. Jangan lupa tulis nama dan fakultas
-Nizzar KusumaJumat, 13 Maret 2015 Universitas Jember melaksanakan launching Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pemuda Tanggap Bencana. Pelatihan diadakan selama tiga hari, dimulai dari hari Rabu sampai hari Jumat. Rangkaian acara diakhiri dengan simulasi bencana banjir yang disaksikan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi. Kegiatan ini diikuti oleh 105 mahasiswa dari berbagai fakultas, diantaranya mahasiswa dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Teknik, FISIP, dan FKIP. Turut berpartisipasi pula para anggota unit kegiatan mahasiswa, seperti pecinta alam, Pramuka, dan KSR. Mereka dibagi menjadi tujuh cluster: cluster kaji cepat, infokom, logistik & dapur umum, SAR (Search and Rescue), kesehatan (meliputi psikologi didalamnya), media center, dan huntara (hunian sementara). Tiap cluster terdiri dari 15 anggota. Anggota-anggota di tiap cluster dipilih berdasarkan kompetensi keilmuannya dengan tujuan mempermudah pelatihan. Joko Mulyono, selaku ketua kegiatan menuturkan, “Universitas Jember berkomitmen untuk melatih relawan yang kompeten. Cenderung akan lebih cepat untuk melatih seseorang yang memiliki kompetensi keahlian.” Kebijakan untuk merekrut anggota sesuai kompetensi keilmuan membuat pelatihan yang seharusnya diadakan selama 6 hari diminimalkan menjadi 3 hari. Yuli Santoso, salah satu anggota berpendapat bahwa pelatihan belum berjalan maksimal, “Penyampaian kurikulum 6 hari itu dipadatkan menjadi 3 hari. Hal tersebut membuat temanteman bingung, karena materi masih terasa
awam”. Selain itu, anggota pelatihanan merasa materi yang disampaikan masih kurang untuk membekali anggota saat terjun langsung ke lapang. “Materi yang disampaikan masih kurang, jadi seharusnya ada pelatihan lanjutan” ungkap Erwin Putra, anggota pecinta alam yang mengikuti pelatihan. Pendidikan dan pelatihan ini juga belum didukung dengan sarana prasarana yang memadai. Selain itu, instruktur untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan yang berstatus sebagai dosen hanya unggul dalam teori dari pada implementasinya. “Instruktur kita belum memiliki pengalaman. Dosen kan kacamata kuda yang tahu teorinya, tapi tentang relawan mereka belum mengerti” ujar Joko Mulyono. Untuk mengatasi kendalakendala ini, Universitas Jember menggandeng organisasi lain, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember, BASARNAS, PMI, dan TNI. Wewenang pelatihan diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang lebih kompeten sehingga kegiatan lebih efektif. Menanggapi terkait pelatihan lanjutan, menurut Joko Mulyono universitas sudah ada rencana untuk mengadakan pelatihan tersebut, namun belum ditentukan waktunya. Hingga bulan Oktober, pengenalan mengenai tanggap bencana belum disampaikan kepada mahasiswa baru mengingat pihak universitas berencana memberikan pada saat PK2. Namun, dalam rangkaian festival Tegalboto telah disusun terkait kegiatan pelatihan tanggap bencana pada tanggal 26-28 Oktober 2015.[]
3
-Novitariyani Hasanah & Hidayatul M.-
Gumuk adalah kata yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jember, karena Jember dulu dijuluki sebagai Kota Seribu Gumuk. Pada tahun 2005 jumlah gumuk mecapai 823, hal inilah kemudian menyebabkan gumuk menjadi tidak spesial di mata masyarakat Jember. Seperti yang dikatakan oleh Giri salah satu aktivis #SaveGumuk, gerakan untuk melindungi gumuk-gumuk di Jember, salah seorang temannya pernah mengatakan, ”Untuk apa melindungi gumuk jika jumlahnya masih banyak?” Menurut Sutrisno (Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jember), hanya ada dua wilayah di Indonesia yang mempunyai bentang alam berupa gumuk, yaitu di Jember dan Tasikmalaya. Gumuk memiliki perbedaan dengan bukit, kandungan antara bukit dan gumuk memiliki perbedaan yang jelas: Gumuk mengandung batu piring, pasir, batu pondasi, sedangkan bukit sebagian besar kandungannya hanya tanah biasa. Gumuk adalah aset kabupaten Jember, namun masyarakat yang apatis tentang hal ini membuat keberadaanya semakin terancam. Saat ini jumlah gumuk hanya sekitar 600 buah, karena terjadi banyak pengerukan, seperti pada Gumuk Tidar, Gunung Batu, gumuk di daerah Jawa VII, dan pengerukan kapur di daerah Puger. Menurut M. Farid Ma'ruf (Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Jember), pembangunan dilakukan karena gumuk berada pada daerah yang strategis. Hal ini juga dibenarkan oleh Hendrik, Ketua Tim Pemasaran Perumahan Istana Tidar menyatakan bahwa daerah Gumuk Tidar baik untuk bisnis properti, karena dekat dengan kampus IKIP, AKBID, POLIJE dan UNEJ. “Pembangunan yang dilakukan pada daerah gumuk memiliki kelemahan terutama untuk masalah regulasi air, karena wilayah gumuk lebih tinggi
4
dibandingkan wilayah lainnya,” lanjut Farid. Hal yang sama juga disampaikan oleh Hendrik, pembangunan di atas gumuk memang memiliki kelemahan untuk masalah persediaan air, sehingga rumah-rumah di Perumahan Istana Tidar harus membuat sumur bor. Banyaknya pengerukan gumuk yang dilakukan, menyebabkan bencana puting beliung pada tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Kaliwates, Kecamatan Sumbersari dan Kecamatan Patrang. Menurut Hasan warga asal Kaliwates, Jember belum pernah terjadi angin puting beliung, namun sekitar tiga tahun yang lalu bencana angin puting beliung terjadi. Berdasarkan keterangan dari Giri salah satu penyebab terjadinya angin puting beliung karena hilangnya gumuk yang merupakan penahan angin. Gumuk juga memiliki manfaat sebagai daerah resapan air, Seperti yang dikatakan Priyo, pegawai Kantor Lingkungan Hidup Jember dilansir dari Ecpose Online, "Mengkhawatirkan, kehilangan gumuk di daerah Jember dapat menyebabkan siklus banjir lima tahunan terjadi lagi, hal ini disebabkan serapan utama air yang ada di daerah Jember hilang.” Energi untuk Mengeruk Gumuk Pemilik gumuk Gunung Batu yang bernama Mad, mengatakan bahwa akan meratakan gumuk ini. Selama proses pengerukan ini, dia menggunakan alat backhoe yang menghabiskan sekitar 60 sampai 80 liter solar per hari. Ini berarti dalam 100 hari, maka pemilik gumuk menghabiskan 6000 liter solar hanya untuk satu gumuk. Menurut Mad, Gunung Batu itu akan dibuat perumahan untuk anak dan cucunya kelak yang hanya berjumlah 8 orang. Penggunaan bahan bakar solar diketahui ikut menyumbang gas CO2 yang turut memicu pemanasan global. Solar juga berasal dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbarui. Dampak ini tidak sebanding dengan manfaatnya mengingat perumahan hanya akan dihuni oleh beberapa orang saja. Perataan gumuk untuk memenuhi kebutuhan hunian manusia terlihat tidak efektif. Pengerukan gumuk dapat mengubah topografi tanah mengakibatkanputing beliung maupun berkurangnya ketersediaan air.[]
5
Diskursus
-Agustira Rahman-
7
6
7
Diskursus
a r a d U i d r Melebu -Syahrul FatoniKerja-kerja jurnalistik berkaitan dengan mencari kebenaran yang objektif dari sebuah kasus. Untuk mewartakan kebenaran, pelaku jurnalistik melakukan wawancara, mencari sudut pandang, menulis dengan objektif, dan paling akhir layout. Sedangkan filsafat adalah pencarian tanpa akhir. Mereka berdua sama-sama mencari, pasti akan ada satu titik dimana jurnalisme dan filsafat saling berjabat tangan. Lalu saya putuskan membuka kembali Dunia Sophie dengan sudut pandang jurnalisme. Di awal buku, kita diarahkan untuk mempertanyakan segala hal. Bahkan seekor anjing harus ditanyai kenapa dia menggonggong – bukan hanya sekedar dia anjing maka dia menggonggong. Sama seperti seorang jurnalis, mempertanyakan segala hal. Saat menghadapi narasumber ada enam pertanyaan penting yaitu apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana. Namun, jawaban dari sekian pertanyaan tidak mewakili apa yang sedang terjadi, banyak aspek lain seperti ekspresi, kedaan sosial ekonomi, kondisi psikologis, karakter, dsb. Kemudian dalam
8
jurnalistik juga mengajarkan untuk mencari narasumber lebih dari satu orang demi mencari kebenaran yang utuh pada satu peristiwa. Satu kesamaan antara jurnalisme dan filsafat yaitu skeptis, sikap dimana kita kurang percaya dengan segala hal. Sikap skeptis mendekatkan kita dengan kebenaran. Filsafat dan jurnalisme keduanya mengagungkan kebenaran di atas segalanya, bahkan nyawa. Pelaku keduanya rela mengorbankan nyawa atas nama kebenaran. Sebuah kisah dari Socrates, salah satu filsuf Athena yang dipaksa untuk meminum racun cemara karena mempertanyakan berbagai hal, mulai dari dewa dan aturan yang diberikan oleh penguasa. Tidak jarang para jurnalis juga harus mengorbankan nyawanya untuk sebuah kebenaran. Salah satunya Anak Agung Prabangsa, wartawan Radar Bali yang tewas di bunuh akibat membongkar kasus korupsi yang dilakukan oleh kroni Bupati Bangli. Walaupun filsafat dan jurnalisme mengagungkan kebenaran, mereka juga bingung dengan kebenaran itu sendiri. Dalam postmodern yang tidak mengenal adanya kebenaran mutlak, karena setiap orang memiliki pendapat dan sudut pandangnya dalam menangapi sebuah peristiwa. Dalam pengantar buku Psikologi dan Posmodernisme, Steinar Kvale mengatakan bahwa, “postmodern adalah sebuah era dimana perspektif yang beraneka ragam dari media baru membawa kepada penghapusan atas batas yang jelas anatara realitas dan fantasi, yang merusak kepercayaan kepada realitas objektif.” Asumsi yang sama juga ada di dunia jurnalistik. Untuk menanggulangi hal tersebut reporter mengambil semua pandangan, kemudian memasukan semuanya kedalam satu tulisan dan membiarkan pembaca untuk mengambil pendapatnya sendiri. Namun, cara seperti itu hanya menyampakain kita pada fakta tapi bukan kebenaran. Para Poststrukturalis meyakini bahwa kebenaran menghilang dalam distorsi bahasa. lalu bagaimana para pelaku jurnalistik menghadapi teror ini? Jawabannya dengan memberitakan sebuah peristiwa terus menerus. Di buku sembilan eleman jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rossentiel memberikan sebuah contoh kasus tentang Abner Louima, imigran Haiti yang ditangkap karena mengacau di luar sebuah klab malam di Brooklyn pada tahun 1997. Cerita ini pertama kali terlihat sebagai berita polisi singkat. Namun tiga hari kemudian, penulis kolom Daily News di New York Mike McAlary menjumpai Louima di rumah sakit dan mewawancarinya. Louima membeberkan bahwa polisi telah dengan brutal menyodominya dengan pegangan torak pompa toilet. Dua hari kemudian pada wawancara kedua, Louima menyebut apa yang dikatakan polisi yang menangkapnya, “Ini adalah masa Giuliani (merujuk pada walikota Rudolph Giuliani). Ini bukan masa Dinkins (merujuk pada mantan walikota David Dinkins, seorang Amerika keturunan Afrika).” Lebih banyak lagi petugas yang dicopot dari tugas, dan segera setelah itu warga menggelar protes di Brooklyn. Dalam hitungan hari, New York Times mempublikasikan laporan mendalam tentang turunnya kejahatan di kota terkait dengan meningkatnya pelecehan dan kebrutalan polisi. Kota ini kembali memberikan perhatian pada perilaku polisi terhadap tersangka. Setahun kemudian, Louima menarik kembali pernyataan “masa Giuliani” yang dilontarkannya tanpa bukti, sekalipun ia tidak menarik kata-katanya tentang perlakuan brutal yang menimpanya. Beberapa bulan kemudian, City Journal milik Manhattan Institute menerbitkan sebuah artikel yang menunjukkan bahwa terlepas dari insiden kebrutalan polisi yang banyak mendapat sorotan tersebut, Departeman Kepolisian New York relatif memiliki catatan yang baik dalam persoalan ini. Metode pemberitaan seperti itu, seakan mengukuhkan bahwa jurnalisme tidak akan mendapatkan kebenaran.[]
9
-Novitariyani Hasanah-
“Hey” sapa seorang laki-laki kepadaku saat aku sedang asyik menikmati setiap tegukkan es. Dan aku hanya mencibir karena aku merasa belum pernah berkenalan dengan pria itu. “Nada” kata laki-laki itu lagi. Aneh aku belum pernah mengenalkan diriku pada pria ini, kenapa dia bisa mengetahui namaku, berbagai spekulasi mulai muncul di kepalaku. Mungkin aku cukup popular disekolah tanpa aku sadari selama ini, atau jangan-jangan orang disebalahku sekarang adalah fansku yang selama ini selalu menguntitku, jangan-jangan dia tidak hanya sekedar tau namaku saja tapi juga riwayat penyakit yang pernah aku alami, nomor telepon genggam, nomor sepatu, plat nomor motor dan juga ukuran ukuran pakian dalamku. “Hey, senang bisa bertemu denganmu lagi dan aku harap kita tidak akan pernah berpisah untuk kedua kalinya,” kata pria itu sembil menatapku. Aku benar-benar tidak mengerti, dengan muka sedikit bingung aku pergi meninggalkan pria-itu menuju kelas. Baru aku tau kalau ternyata pria itu adalah siswa pindahan dari Yogyakarta. Tenyata kejadian itu tidak berhenti disitu, sejak saat itu pria ini selalu menggangguku kemanapun aku pergi, di sekolah, di toko buku, dia bahkan beberapa kali datang kerumah membuat ibu menggoda kalau aku sekarang sudah berani pacaran. Hari demi hari aku lewati, kini hidupku mulai berubah sejak datangnya pria itu. Aku jadi sering senyumsenyum sendiri, nyanyi-nyanyi sendiri, ngomong-ngomong sendiri, bahkan tertawa-tawa sendiri. Tiada hari tanpa kejutan darinya. Sampai akhirnya aku tau bahwa aku telah benar-benar jatuh dalam cintanya. Setelah lulus SMA dan melanjutkan kuliah kita memutuskan untuk menikah, kita menjalin rumah tangga yang haromonis, dengan dikaruniai dua orang anak. Namun satu hal yang masih membuatku janggal selama ini, tentang hubungan kita. Setiap kali aku bertanya bagaimana dulu dia mengenalku, dia selalu menjawab bahwa aku harus mengingatnya sendiri dan jika aku tidak ingat itu, tidak akan menjadi masalah karena yang terpenting buatnya sekarang adalah aku bisa bahagia hidup bersamanya. Tentu saja aku bahagia hidup bersamanya, dia tampan, pintar, sukses, pandai menyanyi, suka berolahraga, romantis dan yang terpenting adalah dia sangat-sangat mencintaiku. Sampai suatu hari aku mengerti rahasia terbesar dari hidupku, rahasia yang tidak ingin aku ketahui saat ini, rahasia yang akan menentukan nasib rumah tanggaku, rahasia yang harus aku rahasikan dari pria yang kini telah menjadi suamiku. Terlahir sebagai anak tunggal dan dibesarkan oleh seorang ibu, membuatku sering mengeluh, kenapa aku tidak punya ayah, kenapa aku tidak punya saudara, kemana orang-orang yang seharusnya menjadi keluarga itu. Tapi sekarang, aku ingin terlahir menjadi anak tunggal dan tanpa saudara kembarku. Pagi ini aku sangat bahagia, karena besok suamiku akan pulang dari luar kota. Ditambah lagi besok adalah ulang tahun ketiga pernikahan kita, seharusnya hari ini menjadi hari paling membahagiakan ditahun ini. Sampai aku bertemu dengan seseorang yang begitu mirip dengaku secara fisik, yang membuatku takjub dia juga bernama Nada. Kita memiliki nama yang sama. Aku bertemu dengannya tanpa sengaja disebuah toko buku dan dia yang lebih dulu mengejutkaku dengan secara tiba-tiba mendatangiku dan kemudian memberikan pelukan hangat ya awalnya aku rasa begitu. Kami bertemu hari berikutnya dan berikutnya dia bercerita banyak hal, tentang ayah kita yang tidak pernah aku kenal, begitu juga denganku yang bercerita tentang ibu yang tidak pernah memberitahuku bahwa aku sebenarnya kembar. Mungkin sebaiknya aku berhenti sampai disini sebelum dia mulai bercerita tentang sang pria yang sangat dia cintai. Cinta kau pikir dia cinta sejatimu, mereka telah mengenal sejak kecil saat dia masih di Indonesia di Yogyakarta dan mereka selalu bersama sampai akhirnya dia mengalami kecelakaan dan ayah mengajaknya untuk pindah ke Jepang. Nada pindah ke Jepang tanpa sempat mengucapkan perpisahan dengan pria itu, dan itu membuatnya menyesal sampai dia belum menikah hingga sekarang dan berharap sang pria juga demikian. “Aku berharap aku dapat segera pulang ke Indonesia dan bertemu dengan keluarga kecil kita” katanya padanya. “dan aku berharap kau tidak pernah bisa pulang ke Indonesia dan bertemu dengan suamiku” jeritku dalam hati.[] (cerita selengkapnya, kunjungi etegalboto.com)
10
Kami di udara
etegalboto.com
Rp