MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-VI/2008 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN PASAL 34 AYAT (2a) HURUF B DAN PENJELASAN PASAL 34 AYAT (2a) TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ACARA MENDENGAR KETERANGAN AHLI DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH, SAKSI DARI PEMERINTAH SERTA PIHAK TERKAIT (KADIN) (III)
JAKARTA
RABU, 27 FEBRUARI 2008
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-VI/2008 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 34 Ayat (2a) Huruf b Dan Penjelasan Pasal 34 Ayat (2a) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 PEMOHON Prof. Dr. Anwar Nasution (Ketua BPK-RI) ACARA Mendengar Keterangan Ahli dari Pemohon dan Pemerintah, Saksi dari Pemerintah Serta Pihak Terkait (Kadin)(III) Rabu, 27 Februari 2008, Pukul 09.00 – 17.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN (1) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (2) Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. (3) H. Achmad Roestandi, S.H. (4) Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M (5) H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (6) I Dewa Gede Palguna, S.H.,M.H. (7) Dr. Harjono, S.H., M.CL (8) Maruarar Siahaan, S.H. (9) Soedarsono, S.H. Makhfud, S.H.
Ketua Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Pemohon : • • • • • • • • •
I Gusti Agung Ray (ANGBINTAMA KN II) Hendar Ristiawan (KADITAMA BINBANGKUM) Daeng (KADITIMA REVBANG) Syafria Adnan Baharudin (TORTAMA KN II) Hening Tyastanto (KADIT KHKKN/D) Koesnindar (KADIT LABH) Anang Hernandi (Staf Pajak) Drs. Imran Ak Sapto
Kuasa Hukum Pemohon: • • • • •
Bambang Widjojanto, S.H., LL.M. Iskandar Sonhadji, S.H. Etty Herawati Novy G.A. Palenkahu Sarmaully Mutiara Marpaung
Pemerintah : • • • • • • • • • • •
Dr. Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan) Marsilam Simandjuntak (Penasihat Menteri Keuangan) Mar’ie Muhammad (Penasihat Menteri Keuangan) Mulia. P. Nasution (Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan) Darmin Nasution (Dirjen Pajak Departemen Keuangan) Anwar Suprijadi (Dirjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan) Herry Purnomo (Dirjen Perbendaharaan Departemen Keuangan) Ahmad Sofyan (Kepala Biro Hukum) IGD Mayun Winangun (Sekretaris Ditjen Pajak) IGD Sanjaya (Kasi Peraturan KUP) Mualimin Abdi, S.H., M.Hum (Kasubdit Pendamping Persidangan Dep. Hukum dan HAM)
Ahli dari Pemohon : • • • • •
Dr. Faisal Basri, S.E. Dr. Imam Sugema Prof. Dr. Philipus. M. Hadjon Drs. Hadisubroto, Msc Denny Indraya, S.H., LL.M., Ph.D.
2
Ahli dari Pemerintah : • • • • •
Prof. Dr. Gunadi Prof. DR. Satrio Budihardjo Joedono Drs. Soedarjono Drs. Kanaka Puradiredja Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.m.
Saksi dari Pemerintah : • •
Rhenald Kasali, Ph.D. Frederik Tumbuan
Pihak Terkait : • • • • •
Hariyadi Sukamdani (Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik Perpajakan, Sistem Moneter dan Fiskal Kadin) Miftahul Hakim Haryadi Saptaji Utamakayo Priyohandoyo
DPR : • •
Patrialis Akbar Dwi Trihartomo (Staf Biro Hukum)
3
SIDANG DIBUKA PUKUL 09.00 WIB 1.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik Saudara-Saudara, sidang Mahkamah Konstitusi untuk pemeriksaan lanjutan atas perkara ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X
Assalamu’alaikum wr. wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Kita mulai dengan perkenalan seperti biasa. Kita mulai dari Pemohon siapa saja yang hadir silakan. Supaya gampang termasuk ahli diperkenalkan jugalah. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : HENDAR RISTIAWAN Terima kasih Ketua, yang terhormat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dari Pemohon pagi ini yang hadir Pemohon asli Bapak Drs. Imran. A.K., Pak Agung, Pak Sapto ini dari Pemohon asli. Kemudian ahli yang hadir Pak Denny Indrayana, Pak Frans Limahelu, Pak Philipus Hadjon, Pak Rudi Satrio, Pak Imam Sugema, Pak Faisal Basri, kemudian dari Kuasa Hukum Pemohon saya sendiri Hendar Ristriawan, Pak Safri Adnan, Pak Daeng Nasir, Pak Novy Palenkahu, Pak Iskandar Sondhaji, Pak Koesnindar, Etty Herawati, Anang Hernadi, dan Sarmauly Marpaung. Demikian yang kami laporkan, terima kasih.
3.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, selamat datang. Full team ya? Kecuali ketuanya. Sekarang saya persilakan Pemerintah siapa saja yang hadir?
4.
PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Terima kasih pimpinan. Dari Pemerintah kami sendiri Menteri Keuangan didampingi oleh tiga Dirjen yang mendapat hak kuasa substitusi; Pak Mulia Nasution Sekretaris Jenderal, Pak Darmin Nasution sebelah kiri saya, Dirjen Pajak, dan Pak Herry Purnomo Dirjen Perbendaharaan. Di belakang kami perlu kami perkenalkan Pak Mar’ie Muhammad dan Pak Marsilam adalah tim asistensi khusus Menteri Keuangan untuk hal ini, walaupun beliau juga
4
adalah staf tenaga yang ditempatkan oleh Presiden Di Departemen Keuangan untuk urusan pajak dan bea cukai. Hari ini kami membawa dari daftar ahli yang kami sampaikan atau yang hadir pada hari ini adalah Prof. Dr. Satrio Budihardjo Yudono, beliau adalah bekas yang dulu menduduki Ketua BPK, Bapak Drs. Soedarjono beliau berdua kami hadirkan sebagai ahli audit keuangan negara karena Pak Soedarjono adalah bekas Pimpinan BPKP, kemudian Drs. Kanaka Puradiredja adalah ahli di bidang audit, Bapak Prof. Dr. Gunadi adalah ahli hukum pajak. Kemudian dari saksi wajib pajak adalah Pak Frederik Tumbuan beliau adalah mewakili wajib pajak dan yang kedua adalah Bapak Rhenald Kasali, Ph.D. dari Universitas Indonesia sebagai salah satu saksi mewakili wajib pajak dan tentu saja Kadin yang minggu lalu telah menyampaikan hari ini juga tetap hadir dan kalau diperlukan bisa menjadi saksi wajib pajak badan. Kami juga ingin menyampaikan kalau kemungkinan nanti pukul sebelas kami harus meninggalkan tempat mohon diizinkan karena ada sidang kabinet paripurna, namun tentu saya akan melihat situasi kalau sangat kritikal di sini untuk kemenangan kita saya akan hadir di sini terus. Kami ingin menyampaikan kepada Yang Mulia Hakim pimpinan, bahwa seluruh statement atau pandangan atau keterangan yang kami sampaikan baik tertulis maupun yang disampaikan secara oral oleh kami sendiri maupun oleh para ahli dan saksi merupakan satu kesatuan. Jadi keseluruhan keterangan yang saling melengkapi, saling memperbaiki, dan saling mendukung. Jadi yang kami sampaikan secara tertulis kemarin maupun yang disampaikan secara oral dan pada hari ini oleh seluruh saksi dan ahli adalah merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi, saling memperbaiki, dan saling mendukung. Saya perkenalkan daftar ahli adalah Pak Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M. beliau adalah ahli di bidang hak asasi manusia yang hadir di dalam tim yang kami minta dari sisi Pemerintah. Demikian dari kami Bapak pimpinan, terima kasih. 5.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, jadi DPR tidak ada bukan? Karena memang sudah. Jadi sekarang kita memang fokus memusatkan perhatian kepada keterangan ahli dan saksi baik yang diajukan oleh Pemohon maupun yang diajukan oleh Pemerintah. Khusus mengenai Kadin, Kadin sudah kita dengar sebagai pihak terkait. Sebagai pihak terkait tentu sekarang hadir lagi, ya boleh saja nanti bila diperlukan bisa menambah keterangan juga tapi kalau ingin sebagai saksi yaitu sebagai pelaku usaha tentu bukan sebagai Kadin. Dalam hal ini bisa juga diterima sebagai saksi, jadi sebetulnya tidak usah sebagai saksi tetap saja sebagai pihak terkait sudah cukup saya rasa. Sekiranya nanti dalam persidangan mau menambah keterangan boleh saja karena Kadin memang organisasinya para pengusaha yang kepentingannya terkait erat dan karena itulah kami
5
sesuai dengan permintaannya kami izinkan untuk menjadi pihak terkait. Ini untuk anu saja supaya saksinya tidak usah ditambah lagi, saya kira begitu ya! Baik, Saudara-Saudara sekalian kita lanjutkan pertama kita manfaatkan waktu pagi ini sampai pukul dua belas dengan tentu saja nanti pukul sebelas Ibu Menteri akan ikut sidang kabinet tapi kalau nanti seru tidak jadi ikut sidang kabinetnya kalau begitu dibikin saja jadi seru di sini. Jadi kita pusatkan perhatian untuk mendengar dari keterangan ahli mulai pukul sembilan ini sampai pukul dua belas, nanti kita masuk lagi sidang sore pukul dua itu untuk mendengar keterangan saksi, saya kira begitu pembagiannya mengingat jumlah ahlinya banyak sekali ini. Ini belum pernah ini ada perkara sebanyak ini ahlinya, baik dari pihak Pemohon maupun pihak Pemerintah. Ini menunjukkan memang serius ini perkara ini. Nah, sekarang sebelum kita mulai kita ambil sumpah dulu baik untuk ahli yang diajukan Pemerintah maupun yang diajukan oleh Pemohon. Dari Pemohon yang sudah diambil sumpah Pak Faisal Basri itu tidak perlu lagi, kemudian yang kedua Pak Imam Sugema, yang belum adalah Pak Philipus Hadjon, Pak Frans Limahelu, dan kemudian Pak Ahmadi Hadisubroto, oh ini di dalam daftarnya Pak Denny Indrayana ya? Langganan ini. 6.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M. Pak Ketua, saksi kami sudah hadir yang namanya Pak Ahmadi juga tadi belum disebut.
7.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ahmadi sebagai saksi?
8.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M. Maaf sebagai ahli. Jadi ada Pak Ahmadi, Pak Denny, Pak Frans Limahelu, dan Philipus Hadjon serta Rudi Satrio. Jadi seluruh ahli kami sudah hadir Pak nanti tinggal disumpah terlebih dahulu.
9.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kami persilakan karena ini banyak sekali saya persilakan dari Pemohon dululah lima orang. Oh ya ini ada dua ya, yang beragama Islam dulu, silakan!
6
10.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.Hum (KASUBDIT PENDAMPINGAN PERSIDANGAN DEP. HUKUM DAN HAM) Mohon izin Ketua, bahwa kita sepakati ahli dari Pemerintah lima dan dari Pemohon lima. Kemudian kemarin kami juga ada semacam rapat koordinasi untuk lalu lintas persidangan begitu, jadi kita sepakati lima-lima mengingat satu dan lain hal agar persidangan ini menjadi lebih efektif. Apakah hal itu bisa dipertimbangkan Yang Mulia? Terima kasih.
11.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya betul itu, jadi lima-lima. Ini limanya siapa ini terserah Pemohon menentukan, dua yang sudah. Nah, tambah tiga lagi, tiganya siapa?
12.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M. Pak Ketua, memang kemarin ada diskusi untuk menentukan ahli sebanyak lima dan kami juga kemarin masih tetap mengemukakan bahwa jangan sampai membuat sidang menjadi efisien inginnya, tapi kemudian menegasikan prinsip-prinsip penting untuk mencari keadilan, untuk menguji norma-norma. Itu sebabnya kemudian dalam diskusi itu disepakati juga untuk tetap menghadirkan saksi, untuk menghadirkan ahli, dan kemudian dilihat nanti urgensi dan efisiensi waktunya. Jadi itu sebabnya seperti misalnya Saudara Denny itu membuat satu studi yang cukup menarik mengenai BPK kemudian ini penting untuk persidangan ini. Jadi itu sebabnya kami mohonkan semua ahli yang kami ajukan itu disumpah lebih dahulu dan kita lihat nanti bagaimana konteks proses persidangan selanjutnya.
13.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, begini sajalah kita sesuai dengan kesepakatan lima dulu kita ambil sumpah lima, nanti lihat kalau misalnya kita perlu tambah kita tambah dua lagi, supaya adil dari Pemerintah juga harus ditambah dua begitu maksudnya. Ya, jadi boleh saja. Bisa saja ini nanti misalnya dianggap tidak cukup bila memang diperlukan kita buat sidang sekali lagi juga boleh, tidak apa-apa. Tapi ini sekarang lima-lima jadi sepuluh, lalu nanti sore hari kita mendengar keterangan saksi, begitu. Sekiranya Pemerintahpun siap mau menambah juga misalnya boleh nanti sore hari ditambah dua orang, bagaimana Pemerintah ada mau ditambah juga?
7
14.
PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Pemerintah selama ini taat asas Pak. Jadi dari Pak Hakim pimpinan menyampaikan kami mengikuti seluruh dan kita sangat serius untuk selalu mengikuti prosedur tanpa dalam hal ini meninggalkan aspek-aspek keadilan atau akurasi dari seluruh keputusan. Jadi kami sangat serius sekali mengenai hal itu, kami selalu mengikuti apa yang menjadi keputusan dari sidang ini.
15.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Ok, jadi begini saja ya. Kami beri kesempatan pada Pemerintah untuk manambah ahli, tapi ini untuk sore. Jadi sekarang tetap lima, kemudian nanti sore hari kita dengarkan keterangan saksi, dua orang dari Pemerintah ada berapa orang dari Pemohon? Nah, di situ nanti ditambah dua lagi, dua ahli dari Pemohon bisa dua ahli dari Pemerintah terserah mau digunakan atau tidak supaya adil saja. Sebab itulah gunanya ada rapat kemarin itu, maksudnya untuk menentukan, kami tidak menentukan siapa orangnya hanya jumlahnya ini semata-mata untuk manajemen waktu. Lima itu sudah sangat banyak dari lima perspektif sudah cukup, tapi kalau mau ditambah boleh, begitu ya! Pak Pemohon sementara begitu ya? Jadi sekarang kita ambil sumpah lima dulu nanti, bersama-sama saja jadi semua ahli yang Pemerintah maupun yang Pemohon bersama-sama saja dan Anda yang tentukan lima orang untuk bicara yang sekarang ini siapa yang pagi ini, sedangkan dua lagi dicadangkan untuk nanti sore. Begitu ya? 16.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M. Terima kasih, Pak Ketua. Jadi yang penting semua ahli bisa diperiksa walaupun lebih efisien ini.
17.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Nah, silakan semua ahli yang tadi sudah disebut yang beragama
Islam dulu silakan berdiri di depan, jadi tiga dari Pemohon. Siapa saja orangnya? Silakan. Lima dari, Pak Laica? 18.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Para Saudara diminta mengikuti lafal sumpah yang bakal dibacakan, “demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya”.
8
19.
AHLI SELURUHNYA : (DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., PHD, AHMADI HADISUBROTO, Prof. Dr. GUNADI, Prof. Dr. SATRIO BUDIHARJO JOEDONO, Dr. SOEDARJONO, ABDUL HAKIM GARUDA NUSANTARA, S.H., LL.M., Drs. KANAKA PURADIREJA, S.H., LL.M. (ISLAM)) Demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
20.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Terima kasih, Silakan kembali selanjutnya ahli yang beragama Kristen dan Katolik, kami mohon disatukan saja sekaligus. Baik, silakan Pak Maruarar!
21.
HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Ya, ikuti ya Pak. “Saya berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya”.
22.
AHLI SELURUHNYA : (Prof. Dr. PHILIPUS M. HADJON, FRANS LIMAHELU (KRISTEN)) Saya berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.
23.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, silakan. Sedangkan sisanya itu akan diambil sumpahnya sendiri nanti bersama-sama juga dengan saksi, mohon bersabar ya Pak. Sekarang sebelum dimulai memberi kesempatan pada ahli saya persilakan dulu Pemohon untuk menambahkan keterangan-keterangan yang barangkali belum sempat disampaikan pada sidang terdahulu sekaligus memandu untuk mengajukan pertanyaan atau meminta mana duluan dari ahli untuk bicara, saya persilakan. Ya secara umum saja.
24.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.Hum (KASUBDIT PENDAMPINGAN PERSIDANGAN DEP. HUKUM DAN HAM) Yang Mulia, izin Yang Mulia? Sebelum diteruskan barangkali ada beberapa hal yang harus kita sepakati dulu Yang Mulia, misalnya apakah penjelasan atau
9
penyampaian yang disampaikan oleh ahli apakah, kemarin kita sepakati dua-dua Yang Mulia. Jadi dari Pemohon dua kemudian dari Pemerintah dua, itu satu. Yang kedua, barangkali alokasi waktu Yang Mulia kita sepakati apakah setiap ahli itu akan menyampaikan dalam atau waktunya berapa menit agar lebih terfokus begitu Yang Mulia, terima kasih. 25.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, dimulai dulu seperti yang sudah disepakati kemarin, dua dari sini nanti dua dari Pemerintah dan ini bicaranya umum dulu jadi katakanlah setiap ahli bicara lima menit. Nanti setelah itu ada atau sepuluh menit barangkali, sepuluh menitlah silakan.
26.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M. Terima kasih Pak Ketua. Yang pertama tanggapan ini masih bersifat umum Pak Ketua, detail dan yang komprehensifnya kami akan masukkan di dalam bagian kesimpulan sehingga kami bisa mempunyai waktu yang lebih efisien. Saya akan mulai saja tanggapan Pemohon atas jawaban Pemerintah kepada yang terhormat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan hadirin yang kami hormati. Bagian pertama bagian pendahuluan jawaban Pemerintah atas permohonan judicial review yang diajukan Pemohon nampaknya masih memiliki semangat yang berkiblat pada praktik pelaksanaan ketatanegaraan yang lama, kendatipun landasan konstitusional dari negara sudah mengalami perubahan yang signifikan. MPR sebagai lembaga tertinggi negara telah mengubah dasar tatanan kenegaraan dan menyerahkannya kepada kehidupan kenegaraannya yang lebih demokratis, berkeadilan, dan berpihak kepada rakyat. Di dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut telah diintroduksi pasalpasal yang mengatur HAM, hak-hak dasar warga negara, adanya lembaga baru dan mengatur secara lebih tegas kewenangan lembaga yang sudah ada. Salah satu tujuan dari penegasan kewenangan dan pembentukan lembaga dimaksud untuk meneguhkan eksistensi dan mengatur cakupan kewenangan lembaga setelah dilaksanakannya check and balance sehingga tidak ada satu pun lembaga yang menjalankan kekuasaannya secara absolut. Pada pengelolaan keuangan negara telah terjadi perubahan yang mendasar, Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen seperti tersebut di dalam Pasal 23 ayat (1) hanya mengatur tentang penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara. Pada perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat (1) tidak hanya mengatatur tentang penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara, tapi juga mengatur bagaimana pelaksanaan dan tujuan dari pengelolaan
10
keuangan negara dilakukan. Itu sebabnya secara eksplisit dikemukakan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab dan digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen tidak hanya mengatur tentang mekanisme penyusunan APBN tapi juga berkenaan dengan kontrol penggunaan dan pengelolaan keuangan negara yang digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pendapat Pemerintah yang menyangkut bahwa Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri ditafsirkan sebagai sifat yang melekat pada pembentukan lembaga, bukan sebagai kekuasaan dalam menjalankan fungsinya merupakan pendapat yang keliru. Penafsiran historis yang menjadi pendapat Pemerintah a quo tidak tepat jika dijadikan dasar argumen karena perubahan Konstitusi ketiga telah meletakkan dasar filosofi yang berbeda terhadap tujuan pengelolaan keuangan negara yang terwujud di dalam APBN yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta perkembangan pengaturan keuangan negara yang lebih komprehensif. Tujuan a quo tersebut tidak akan dapat tercapai jika kebebasan dan kemandirian hanya ditafsirkan pada lembaganya saja yang terlepas dari pengaruh Pemerintah. Karena kebebasan dan kemandirian dalam melakukan pemeriksaan menjadi syarat yang fundamental agar Pemohon dapat melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan standar norma dan etika pemeriksaan yang berlaku. Badan Pemeriksa Keuangan dapat diibaratkan tidak hanya sebagai eksternal auditor tetapi komisaris suatu badan hukum yang bernama Republik Indonesia yang mempunyai tugas dan atau kewenangan konstitusional untuk melakukan audit dan pemeriksaan kinerja serta profesional dan tepat waktu terhadap pengelolaan dan tanggung jawab penggunaan keuangan negara. Sehingga tujuan pengelolaan dan tanggung jawab anggaran pendapatan belanja negara dan daerah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai. Ketua dan Hakim Konstitusi yang kami muliakan. Berkenaan dengan legal standing. Badan Pemeriksaan Keuangan adalah suatu lembaga yang secara jelas disebut dan diatur dalam Bab VIII A Pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian Pemohon telah memenuhi kriteria sebagaimana telah diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Untuk memenuhi legal standing BPK harus memenuhi kriteria Pemohon sebagaimana yang dimaksud dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi pun di dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan 010/PUU-III/2005 telah merumuskan secara jelas mengenai adanya persyaratan hak dan atau kewenangan konstitusional Pemohon yang harus memenuhi beberapa syarat.
11
Berkenaan dengan hal tersebut, izinkanlah Pemohon akan menguraikan secara umum mengenai kewenangan konstitusional yang melekat pada Badan Pemeriksaan Keuangan tersebut. Kewenangan konstitusional Badan Pemeriksaan Keuangan telah dikemukakan oleh Undang-undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 telah secara jelas menyebutkan bahwa di dalam Pasal 23E ayat (1) pada Bab VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan itu dinyatakan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, diadakan suatu Badan Pemeriksaan Keuangan yang bebas dan mandiri. Lembaga Badan Pemeriksa Keuangan menyampaikan hasil pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Hal tersebut juga telah dikemukakan dan tercantum secara tegas dalam Pasal 23E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Hasil pemeriksaan tersebut juga akan ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan yang mempunyai tugas pengawasan terhadap Pemerintah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini pun secara tegas tercantum dalam Pasal 23E ayat (3). Hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undangundang yang hendak diuji. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kewenangan kepada Pemohon untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kewenangan konstitusional Pemohon telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 34 ayat (2a) huruf B Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 karena adanya persyaratan untuk memaksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam kaitannya dengan memperoleh data perpajakan wajib pajak yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan keuangan negara dimaksud. Badan Pemeriksa Keuangan harus mendapat penetapan Menteri Keuangan lebih dahulu khususnya pejabat atau tenaga yang akan memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara. Tindakan dan atau keadaan sedemikian telah menimbulkan ketidakpastian dan atau halangan bagi Pemohon dalam menjalankan hak dan atau kewenangannya sehingga merugikan Pemohon. Karena hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara oleh BPK akan ditindaklanjuti dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah yang harus diserahkan kepada DPR atau DPRD secara tepat waktu, akurat, dan profesional. Selain itu, Presiden dalam menyampaikan rancangan undangundang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK. Kerugian yang dimaksud menurut Pemohon telah bersifat spesifik, khusus, dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 telah membatasi hak dan atau kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan melalui norma yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf B (...)
12
27.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Satu menit lagi ya! Satu menit lagi, nanti langsung disilakan pada ahli yang (...)
28.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M. Pada Pasal 34 ayat (2) huruf B di atas memperlihatkan bahwa kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara tidak hanya dimiliki oleh lembaga negara yaitu BPK tapi juga dimiliki oleh instansi Pemerintah. Selanjutnya penjelasan Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dikemukakan secara tegas bahwa tidak semua dan atau data dan atau keterangan dapat diberikan kepada BPK selaku lembaga negara. Saya akan langsung di bagian terakhir Pak Ketua. Jadi berdasarkan seluruh uraian yang di atas, ketentuan Pasal 34 ayat (2a) huruf B Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sepanjang menyangkut mengenai penetapan Menteri Keuangan tentang pemberian izin kepada pejabat atau ahli secara prinsip hukum tidaklah diperlukan jika yang meminta keterangan atau dokumen adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang menjalankan kewenangan konstitusionalnya untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, karena ada undang-undang yang mewajibkan pemberian seluruh keterangan atau dokumen yang diminta pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan. Berkenaan dengan bukti-bukti yang kami ajukan P12, P15, P16 dan P17, Pemohon diwajibkan untuk meminta dan mendapatkan izin dari Menteri Keuangan jika memerlukan keterangan dan atau dokumen di bidang perpajakan kendati untuk keterangan dan dokumen dimaksud ditujukan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Bukti-bukti surat a quo memperlihatkan dan menegaskan tidak adanya kepastian bahwa izin dimaksud akan diberikan. Tindakan dan keadaan demikian yang sangat menghambat Pemohon untuk menjalankan wewenang konstitusionalnya. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan khususnya Pasal 34 ayat (2a) huruf B dan penjelasannya secara aktual memberikan dan atau sangat potensial menghambat kewenangan konstitusional Pemohon dalam melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Demikianlah kira-kira Pak Ketua, beberapa hal umum yang penting yang dapat kami ajukan. Bagian-bagian lain yang juga sudah kami (tidak terdengar) di sini misalnya yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hal-hal lain berkaitan dengan pemeriksaan. Terima kasih Pak Ketua.
13
29.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan, mulai siapa yang akan diminta bicara dulu?
30.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M. Saya akan memulai dengan ahli Imam Sugema dan akan dilanjutkan oleh Faisal Basri.
31.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ke depan saja saya kira supaya lebih meyakinkan.
32.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. IMAM SUGEMA
Assalamualaikum wr. wb.
Pak Ketua dan Anggota Majelis Hakim yang kami hormati. Mohon maaf. Baiklah untuk menghemat waktu saya pikir saya akan memulai walaupun power point-nya belum ter-install dengan benar. Saya akan mencoba memaparkan bagaimana pentingnya pemeriksaan pajak baik untuk Direktorat Jenderal Pajak, wajib pajak, maupun negara dalam hal ini Negara Indonesia. Sebetulnya kalau kita sederhanakan bahwa permasalahan yang diungkap oleh Pemohon maupun Termohon, kita bisa menyederhanakan bahwa audit eksternal yang dilakukan oleh BPK yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak itu pada prinsipnya seharusnya dipandang sebagai bagian dari reformasi birokrasi yang saat ini sedang dilaksanakan oleh Pemerintah. Karena audit BPK itu sendiri dapat meningkatkan kinerja dan bisa memajukan kepentingan Direktorat Jenderal Pajak. Akan tetapi seperti yang didiskusikan minggu lalu, kalau audit ini menimbulkan ekses negatif maka banyak timbul kekhawatiran terutama dari pihak WP. Oleh karena itu menurut pandangan kami harus ada sebuah mekanisme yang biasa kami sebut sebagai Chinese wall yang tidak memungkinkan Auditor BPK untuk mengekspos data kepada publik secara sewenang-wenang atau melakukan pemerasan terhadap WP secara sewenang-wenang, tetapi harus kita uji juga apakah mekanisme yang tertuang dalam Undang-Undang Perpajakan itu sudah meliputi chinese wall ini atau tidak. Menurut hemat kami justru mekanisme terutama yang tertuang dalam Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 terutama keterangannya, justru tidak menyediakan fasilitas chinese wall ini dan bertentangan dengan prinsipprinsip chinese wall. Saya bacakan keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas wajib pajak yang bersifat umum tentang perpajakan. Pertama identitas wajib pajak yang meliputi, nama wajib pajak, NPWP, alamat wajib pajak, dan seterusnya. Informasi yang bersifat umum
14
tentang perpajakan dalam penjelasan itu meliputi penerimaan pajak secara nasional dan seterusnya. Seorang auditor apakah auditor swasta, publik maupun auditor negara pasti sudah tahu bahwa data-data seperti ini sangat tidak relevan dengan audit. Alasannya sederhana, ketika mengaudit seorang auditor lebih tertuju kepada data angka rupiah. Tetapi dalam penjelasan pasal ini tidak ada satupun terutama yang menyangkut identitas wajib pajak berkaitan dengan angka rupiah. Sebaliknya justru dengan penjelasan pasal ini, data pribadi, data identitas wajib pajak bisa terekspose kepada publik. Pada prinsipnya kalaupun dilakukan audit sebetulnya BPK bisa mengaudit segala sesuatu mengenai penerimaan pajak tanpa harus melihat nama WP-nya, itu bisa dilakukan. Tetapi yang justru ada di sini yang pertama kali disebut adalah nama WP. Yang itu tidak relevan buat audit. Karena itu kami menyimpulkan bahwa informasi yang disediakan atau keterangan yang disediakan menurut penjelasan ayat ini, pertama dia tidak relevan untuk audit pajak dan yang kedua berpotensi untuk mengekspose identitas pribadi dari wajib pajak. Dan karenanya menurut hemat kami penjelasan ini telah mengurangi kewenangan konstitusional BPK sebagai auditor general dan kedua telah mengurangi hak konstitusional dari wajib pajak yaitu hak atas milik pribadi yang berupa identitas wajib pajak. Argumen saya berikutnya, mungkin akan saya singkat saja karena waktunya relatif singkat. Sebetulnya yang ingin saya kemukakan di sini ada empat masalah utama yang harus dipecahkan melalui audit pajak. Pertama dengan self assessment wajib pajak menyerahkan data informasi kepada fiskus untuk dinilai kebenarannya dan dihitung sebetulnya kewajiban pajaknya berapa. Dalam khasanah ilmu ekonomi ini disebut sebagai asymetric information dimana saya sebagai wajib pajak lebih tahu informasi mengenai diri saya dibanding petugas pajak, dibanding fiskus. Nah, untuk memecahkan masalah seperti ini maka harus dilakukan verifikasi berlapis termasuk di dalamnya adalah verifikasi pengujian oleh BPK. Tanpa itu terdapat potensi bahwa wajib pajak akan selalu menyembunyikan informasi yang sebenarnya. Dengan pemeriksaan berlapis, berulang-ulang di satu tahap misalkan bisa berbohong, menyembunyikan informasi, di tahap lain bisa ketahuan. Kalau ini terus dijadikan sebuah dynamic game maka wajib pajak akan cenderung lebih taat karena dengan pemeriksaan berlapis, dengan verifikasi yang lebih berlapis akan berkurang peluang dia untuk bisa menyembunyikan informasi privat. Yang kedua, masalah agency problem. Kita tidak bisa mengasumsikan bahwa fiskus sebagai wali negara, agent negara bertindak untuk dan atas nama negara. Begitupun kita tidak bisa mengasumsikan bahwa Auditor BPK bisa bertindak untuk dan atas nama negara. Oleh karena itu yang lebih dipentingkan di sini adalah sistem, kita tidak bisa realize pada sebuah asumsi bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh DJP sudah benar, segala sesuatu yang dikerjakan oleh
15
BPK sudah benar, di sini peran pengetatan pengawasan. Mungkin problem berikutnya akan dibahas kemudian kalau ada waktu, tetapi intinya adalah bahwa dengan audit eksternal seperti ini sebetulnya resiko negara kemudian resiko yang dihadapi oleh wajib pajak bisa relatif berkurang. Jadi ada mutual benefit, kalau audit pajak secara eksternal oleh BPK ini efektif, ada mutual benefit bagi wajib pajak, bagi negara, bagi DJP. Oleh karena itu saya akan uraikan apa manfaatnya bagi DJP, apa manfaatnya bagi wajib pajak, dan manfaatnya bagi perekonomian. Pertama manfaatnya adalah (...) 33.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Wah jadi panjang sekali ya, bisa disingkat-singkat?
34.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. IMAM SUGEMA Berapa menit lagi Pak?
35.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ini sudah sepuluh. Tapi ini penting, tapi pendek-pendek saja.
36.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. IMAM SUGEMA Pertama adalah manfaat bagi DJP. Sebetulnya kalau kita mau jujur reformasi birokrasi yang sekarang dilakukan di Departemen Keuangan maka DJP mempunyai kepentingan agar audit pajak itu menjadi lebih efektif karena itu akan meningkatkan performance kinerja mereka. Kalau WP itu menjadi lebih taat pekerjaan mereka menjadi lebih mudah, lebih efisien sehingga mereka bisa lebih produktif dan dalam konteks yang dinamis, penerimaan negara bisa ditingkatkan. Kalau penerimaan negara bisa ditingkatkan dengan efektivitas audit ini maka sebetulnya dalam jangka panjang tax rate atau tarif pajak itu bisa diturunkan tanpa mengganggu penerimaan pajak. Nanti akan dipaparkan oleh Pak Faisal Basri bahwa kecenderungan di berbagai negara untuk mengurangi tax rate untuk tujuannya meningkatkan penerimaan pajak. Hanya saja satu syaratnya adalah compliance (ketaatan) dari dua pihak, yaitu fiskus dan wajib pajak. Dan itu hanya memungkinkan terjadi kalau pengawasan lebih diperketat. Oleh karena itu dari sisi perekonomian ini menjadi bagian yang sangat strategis supaya Indonesia kelak bisa sejajar dengan negara-negara lain yang bisa memberikan subsidi kepada orang miskin, yang bisa memberikan sekolah dan fasilitas kesehatan yang lebih layak bagi semua. Oleh karena itu kami menyimpulkan bahwa audit pajak sepanjang itu tidak menimbulkan ekses negatif maka akan menguntungkan bagi tiga pihak, perekonomian, wajib pajak, dan DJP. Sebagai penutup kami ingin mengemukakan bahwa best practices di negara-negara maju dan
16
di negara-negara lain, Chinese wall itu bukan diciptakan bukan dengan prosedur yang seperti termaktub dalam Pasal 34. Chinese wall ini dimaksudkan agar data-data mengenai WP baik data finansial maupun data pribadi itu tidak mengalir ke ranah publik. Memang chinese wall tidak bisa menutup aliran informasi dari Direktorat Jenderal Pajak ke BPK tetapi sebagai organ negara selama itu di wilayah negara di dalam domain negara tidak ada kebocoran informasi apapun dari negara kepada publik. Oleh karena itu audit pajak atas segala macam data yang tersedia di direktorat jenderal pajak tidak dengan sendirinya membocorkan informasi WP kepada publik sepanjang BPK tidak membocorkan kepada publik. 37.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, cukup?
38.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. IMAM SUGEMA Itu chinese wall-nya, terima kasih. Assalamu’alaikum wr. wb.
39.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Wa’alaikumsalam, silakan Bapak Faisal. Sesudah itu dua dari Pemerintah boleh juga menanggapi Ahli dari Pemohon. Kenapa? Sebentar, ini dulu. Satu dulu. Tolong usahakan sepuluh menit Pak Faisal ya. Oh begitu. 40.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. FAISAL BASRI, S.E Yang Mulia Bapak Ketua dan seluruh Anggota Hakim Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Pertama-tama saya merasa menghadapi keterancaman yang sama penjelasan di waktu saya menjadi saksi pemerintah untuk UndangUndang Penanaman Modal. Kalau waktu itu keterancamannya adalah kalau tidak ada Undang-Undang Penanaman Modal maka kita tidak bisa membayangkan bagaimana investasi di Indonesia akan bisa meningkat terus. Sekarang saya melihat keterancaman yang sama dan oleh karena itu saya berada pada sisi yang berlawanan dengan pemerintah. Pertama betapa pentingnya institusi dalam pembangunan dan sangat menentukan pembangunan jangka panjang dan kesejahteraan masyarakat. Negeri-negeri yang institusi politik dan ekonominya baik di masa yang lalu ternyata kaya sekarang. Dan new message of institution quality adalah business regulation, termasuk di dalamnya perpajakan.
17
Oleh karena itulah saya menganggap bagian dari upaya memperkuat institusi ini dengan cara membatalkan pasal yang dimohonkan. Perkenankan saya untuk menyampaikan satu tamsil uang di dalam perekonomian ibarat darah di dalam tubuh. Peredaran uang di dalam perekonomian ibarat peredaran darah di dalam tubuh kita. Jumlah uang harus cukup, jenisnya harus teridentifikasi dengan akurat, jika tidak akan berakibat fatal. Jika racun masuk ke dalam sistem peredaran darah bisa menyebabkan seluruh organ tubuh terganggu demikian pula jika terjadi dalam sistem peredaran uang. Kurang oksigen di dalam darah juga membuat tubuh loyo dan lemah otak, apalagi kalau kekurangan darah. Nah, kita sekarang sedang lemah otak Bapak Pimpinan. Perekonomian kita kekurangan darah antara lain disebabkan karena unsur di dalam penerimaan pajak kita yang terganggu ini dibuat oleh Bapak Bambang Subiyanto mantan Menteri Keuangan untuk menunjukkan kalau sistem peredaran darahnya beres bersih ekonomi, sehat, tapi ekonomi kita banyak bocornya. Banyak virus-virusnya dan virus-virus ini banyak antara lain teridentifikasi secara potensial dalam sumber penerimaan negara sehingga penerimaan negara menjadi tidak optimal yang salah satu pengganggunya adalah kurangnya check and balances. Ini indikasinya banyak sekali antara lain tax ratio yang relatif rendah dan tingkat korupsi yang tinggi. Inilah beberapa indikator dari lemah otaknya perekonomian kita. Pemerintah tidak bisa berperan secara efektif, tingkat keefektifan peran pemerintah hanya lebih baik dari Laos, Kamboja, dan Myanmar. Tapi kalah jauh dibandingkan dengan Vietnam sekalipun dan dengan Cina apalagi, dengan Thailand, Malaysia dan Singapura. Lemah otak kedua kelihatan dari general final consumption yang tidak beranjak lebih dari sepuluh tahun terakhir hanya sembilan persen saja. Sehingga kita tidak bisa membeli persenjataan yang baru, tidak bisa membangun irigasi baik yang mengakibatkan sektor pertanian kita hancur dan kita tidak bisa mempertahankan tumpah darah kita sendiri. Public investment juga sangat rendah, masih relatif bahkan kalau dibandingkan dengan negara lain rendahnya akan sangat kelihatan, akan sangat mencolok. Sementara itu kita serba tertinggal dalam pembangunan manusia terutama pendidikan dan kesehatan dan infrastruktur dasar, semualah bisa dikatakan makin banyak orang mati karena jalan-jalan banyak yang bolong. Perkembangan public investment di semua tingkat pemerintahan masih relatif sangat berfluktuasi, ini juga tidak baik berfluktuasi karena kalau ada apa-apa dialokasikan ke mana dulu? Ke tempat yang lain dulu. Ini sekedar menunjukkan Indonesia bahwa peranan expenditure on infrastructure-nya bukan naik tapi turun. Bandingkan dengan Thailand yang mencapai 15.4%, kita hanya 2,7% rasanya kita cuma lebih baik dari Kamboja lagi-lagi, sangat ironis. Inilah indikasi lemah otak dan telmi selalu ekonomi kita. Ini electrification ratio nomor sebelas dari dua belas negara, hanya 53%. Cina 99% Bapak Ketua, kita hanya 53%. Kemudian kita juga gagal untuk mengurangi kemiskinan. Dalam sepuluh tahun
18
terakhir kemiskinan praktis jalan di tempat sekitar 16-17% dan sangat memilukan kalau saya melihat data upaya kita memerangi kemiskinan praktis kalah jauh dibandingkan dengan Laos sekalipun. Yang di atas itu Laos ini kemiskinan yang amat teramat sangat absolut, hanya kurang dari satu dolar satu hari, itu Laos tadinya di atas sekali dan sekarang hampir menyamai Indonesia, Indonesia yang merah sangat jalan di tempat. Ini untuk yang satu dolar tadi, ini yang untuk dua dolar juga ternyata kita gagal mengurangi kemiskinan bukan karena kebijakannya tidak efektif barangkali tapi sedemikian sangat kecil program untuk kemiskinan dibandingkan dengan tantangan yang kita hadapi. Tantangan terhadap kemiskinan cukup jauh lebih berat dibandingkan dengan yang lalu-lalu karena memang jumlah orang miskinnya kian hari kian sedikit, yang sedikit itu makin susah untuk diselesaikan. Oleh karena itulah untuk melihat kegagalan dalam mengatasi kemiskinan ini antara lain juga karena kita kurang darah dan lemah otak tadi dan insya Allah kalau perpajakan kita kian baik check and balances kian baik saya membayangkan saya membayar pajaknya tidak seperti sekarang 35% Bapak Ketua, tapi hanya 10% saja, syukursyukur 2,5% seperti zakat dan tren di dunia ini semua seperti itu Albania terakhir flat rate .hanya 10% dan ini hanya dan ternyata dengan dikuranginya tingkat pajak penerimaan pajak naik. Seperti di Rusia misalnya, akibat dari flat rate dan 13% Rusia setiap tahun menikmati peningkatan penerimaan pajak di atas 20%, ini hanya bisa kalau fondasi check and balances-nya beres sehingga rakyat mau membayar pajak dengan baik tapi jelas juga sanksi-sanksinya, kira-kira itulah yang bisa saya sampaikan sebagai pokok-pokok kesaksian saya sebagai ahli,
assalamu’alaikum wr. wb.
41.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Wa’alaikumsalam.
Baik, sekarang saya persilakan dari Pemerintah. 42.
PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Terima kasih Pimpinan. Pertama saya tentu sebagai sesama ekonom dan saya boleh mengatakan saya juga ahli. Ada beberapa hal yang saya anggap dalam hal ini saya kembalikan kepada koridor kita berperkara di sini. Ini adalah masalah yang tidak sebetulnya memperkarakan mengenai suatu governance dari atau conduct tingkah laku daripada Direktorat Jenderal Pajak atau bahkan aparat pajak itu sendiri dan kami tidak di dalam posisi untuk melakukan defense terhadap governance. Perkara di Mahkamah Konstitusi adalah perkara bagaimana suatu pasal atau undang-undang dianggap memiliki perbedaan atau dalam hal
19
ini berlawanan dengan masalah Konstitusi dan oleh karena itu tentu dalam hal ini kami ingin menekankan kembali pernyataan yang kami sampaikan kepada Majelis Hakim dan Pimpinan yang telah kami sampaikan pada keterangan minggu lalu yaitu persoalannya adalah bukan pada akses. Saya ingin beberapa hal yang ingin saya luruskan dari pernyataan Pemohon maupun staf ahli, dianggap bahwa selama ini Direktorat Jenderal Pajak tidak diaudit, jelas diaudit kami menyampaikan. Dianggap seolah-olah selama ini bahwa Direktorat Jenderal Pajak adalah suatu institusi yang sama sekali tidak diakses oleh eksternal auditor, semua teori yang disampaikan tadi kami memahami sekali dan oleh karena itu reformasi birokrasi yang berhubungan dengan penyakit apakah yang berhubungan dengan kinerja, tingkah laku, mindset, kultur itu adalah domain pemerintah untuk memperbaiki melalui reformasi birokrasi itu adalah out of question menurut saya. Tapi persoalannya adalah yang diperkarakan BPK menganggap bahwa hak konstitusinya terganggu karena ada mekanisme Pasal 34 ayat (2a). Kami ingin meluruskan juga tadi yang dikatakan oleh Pemohon bahwa berbagai permintaan BPK tidak dilayani. Untuk perhatian Majelis Hakim yang terhormat, permintaan dari BPK selama ini kepada kami adalah menggunakan Pasal 34 ayat (3) dan oleh karena itu bukan atau belum menggunakan Pasal 34 ayat (2a). Ayat (3) dalam hal ini memang untuk suatu tujuan tertentu, tanpa ada suatu tujuan tertentu tentu dalam hal ini perlu untuk kita melihat dan dalam hal ini Pemerintah tentu bekerja berdasarkan aturan karena itu exactly yang tadi dikatakan para ahli, negara ini akan menjadi benar kalau semua tahu bahwa semuanya peraturan itu dijalankan bukan atas selera pribadi dalam hal ini. Dan oleh karena itu seluruh permintaan tentu berdasarkan prosedur bukan dengan niat untuk menghalangi karena memang itu adalah sesuatu certainty yang dalam hal ini dibutuhkan oleh semua pihak, wajib pajak maupun para pelaku usaha. Kalau kita sedang berkuasa kita enak untuk melakukan interpretasi, tapi saya merefleksikan kalau saya menjadi rakyat biasa. Buat mereka yang menjadi pelindung utama kita adalah aturan dan itulah esensi kita melakukan governance maupun mereformasi birokrasi. Kalau dikatakan bahwa dalam hal ini adanya check and balance saya rasa Konstitusi maupun seluruh aturan perundang-undangan sangat memberikan suatu check and balance. Suatu revolusi pengelolaan keuangan negara terjadi di Republik ini. Kalau kita mau memperlebar perkaranya menjadi hal yang tidak relevan untuk hakim karena banyak sekali pernyataan yang menurut saya adalah spekulasi, hipotesa, maupun probabilita dicampur aduk. Saya akan katakan Undang-Undang 17 mengenai Keuangan Negara Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 1 mengenai Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 mengenai Pelaporan dan Pertanggungjawaban, semuanya merupakan suatu mekanisme check and balance yang dikatakan oleh pihak Pemohon yang sangat komplit didesain untuk tidak hanya mengelola APBN hanya
20
sekedar merupakan alat apropriasi atau penjatahan tapi dia sampai kepada detail yang sangat-sangat meticulous, sangat-sangat rinci mengenai bagaimana pengelolaan keuangan negara itu harus dikelola, digunakan, dan dipertanggungjawabkan. Bahkan melalui tiga undangundang inilah kemudian Undang-Undang BPK kita melakukan perbaikan untuk bisa melaksanakan seperti yang diamanatkan oleh Konstitusi, yaitu menjalankan efektif auditor bisa secara penuh. Jadi dalam hal ini barangkali saya mohon untuk melihat persoalan ini bukan pada masalah governance, bahwa negara ini membutuhkan tax ratio besar. Kalau kami bisa mengingatkan kepada Majelis Hakim dan pimpinan yang terhormat yang kami sanpaikan dalam keterangan pemerintah kemarin semua adalah negara-negara yang dianggap lebih civilized dan lebih maju. Amerika Serikat, Inggris, Perancis, New Zealand, Kanada, Australia, Anda mau menyebutkan tax ratio-nya? Mereka tax ratio-nya pasti lebih tinggi dari Indonesia dan negara yang disebut Laos atau Myanmar, tapi apakah itu ada hubungannya dengan akses BPK? Mungkin ada dan mereka memang ada tetapi diatur persis seperti yang kita lakukan di Pasal 30 (...) 43.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M. Bapak Ketua, apakah Pihak Terkait ingin mengajukan pertanyaan atau membuat?
44.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Biar dahulu ini pengantar saja nanti bisa ditanggapi
45.
PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) (...)
46.
Saya mengajukan pertanyaan dengan introduksi yang panjang
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Coba diperpendek Ibu, bisa diperpendek. Nanti supaya dua ahli yang akan diminta keterangan.....
47.
PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Introduksi dari pertanyaan saya penting sekaligus untuk meluruskan logika kita di dalam hal ini. Saya ingin mengatakan saya tidak meng-argue mengenai pentingnya tadi yang disebut landasan teori bahwa di dalam konteks perpajakan ada asymetric information dan
21
adanya principle agent problem. Menurut saya dalam hal ini teorinya benar, solusinya tidak selalu benar. Kalau disebutkan dalam hal ini adalah check and balance tidak ada, saya katakan ada. Saya tanyakan kepada dua ahli ini apalagi Bapak Faisal yang mengatakan sebagai ahli institusi. Di dalam pengalaman Indonesia dan banyak negara berkembang apakah lebih banyak institusi yang ikut nimbrung di dalam suatu prosedur itu dianggap akan lebih efisien atau tidak? Kalau persoalannya governance dan lificus [sic!] apakah selalu dalam hal ini solusinya adalah suatu external intervention atau penegakan disiplin di dalam? Saya mau menanyakan dari sisi tadi keahlian mengenai hal itu. Saya tidak akan ber-argue mengenai apa yang disebut tamsil darah di dalam perekonomian. Kalau darah itu apakah dianggap darah harus melalui pemerintahan? Kalau uang itu berkeliaran di perekonomian langsung dinikmati oleh masyarakat malah tidak kita collect janganjangan masyarakat lebih sejahtera, persis yang seperti disolusikan oleh ahli dalam hal ini mengatakan kalau tax ratio-nya rendah barangkali sekarang malah tidak di-collect sama sekali karena masuk ke sektor informal itu dari darah yang sudah langsung dinikmati masyarakat. Jadi jangan berteori bahwa darahnya harus melalui APBN, jangan-jangan kalau di APBN kita semua malah worry mengenai dikorupsi, bahkan tidak akan sampai kepada masyarakat lagi. Kalau biarkan berkeliaran di masyarakat malah benar, jadi saya akan me-review apa yang disebutkan tadi seolah-olah mengatakan bahwa solusinya semuanya bahwa kita perlu memperbaiki saya sampaikan hubungan tax ratio yang disampaikan oleh Bapak-Bapak Ahli ini dengan yang disebut compliance dan dalam hal ini kemudian jump to the conclusion mengenai peranan dari eksternal auditor apakah ada studi yang menunjukkan bahwa peranan dari auditor eksternal akan menaikkan tax ratio di suatu negara? Saya tanya dulu mengenai hal itu, apakah ada korelasi yang direct dan langsung? Dan saya ingin tanya kepada Bapak Iman yang menggunakan asymetric information dan yang menggunakan principle agent. Apakah prinsipal againt dan asymetric information solusinya adalah di dalam konteks hubungan antara fiskus dengan wajib pajak dalam hal ini koreksinya adalah ada intervensi dari luar? Kalau memang itu bagaimana proof-nya atau buktinya di dalam empirisnya baik itu studi antar negara ataukah spesifik di dalam konteks Indonesia? Buat kami itu penting sekali untuk meluruskan seluruh hipotesa, spekulasi, dan probabilita yang tadi disampaikan oleh para Ahli Bapak, karena itu akan meluruskan. Terima kasih. 48.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Ok jadi nanti akan dijawab tapi sekarang kita serahkan dulu dua orang dari Pemerintah, siapa Ibu yang akan diminta?
22
49.
PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Pemerintah yang akan kami sampaikan pertama adalah Bapak Billy Yudono karena kita bicara mengenai itu dan yang kedua Bapak Soedarjono beliau berdua adalah apa yang tahu mengenai BPK dan pekerjaan audit yang sedang kita perkarakan ini.
50.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Saya persilakan berdua nanti boleh nanti ada tanggapan sekaligus juga menjawab dari Ibu Menteri tadi, ya silakan usahakan sepuluh menit Pak ya!
51.
AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. SATRIO BUDIHARDJO JOEDONO
Assalamua’alaikum wr. wb.
Yang Mulia Bapak Ketua dan para Hakim yang terhormat, Menteri yang terhormat, Anggota BPK, Saudara-Saudara sekalian yang saya hormati. Izinkan saya Pak langsung kepada persoalan. Ini adalah BPK lawan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Jadi saya mau membicarakan pertama mengenai BPK lalu apa yang dirasa memberatkan, merugikan dari pasal itu oleh BPK. Pertama mengenai BPK, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23E ayat (1) memang tadi disebutkan dikatakan bahwa untuk mengelola dan memeriksa keuangan negara diadakan suatu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. Apa arti bebas dan mandiri? Bebas dan mandiri arti hukum Pak dijelaskan oleh Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 yang mengatakan bahwa penentuan objek pemeriksaan, perencanaan, dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, dan penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh badan pemeriksaan keuangan. Jadi di sini dikatakan bahwa secara prosedural bebas dan mandiri itu BPK tidak bisa dipengaruhi atau dihalangi oleh siapapun. Kemudian ada pasal lain, undang-undang lain mengenai lingkup dimana BPK itu bebas dan mandiri, yaitu Pasal 3 ayat (1) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang mengatakan bahwa pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Jadi BPK itu bebas dan mandiri di dalam bidang keuangan negara, bukan keuangan saya, bukan keuangan pribadi Bapak
23
Hakim, keuangan negara. Jadi uang saya dan uang negara itu beda Bapak, ini perlu dipahami dulu seolah-olah ada kesan bahwa BPK itu mau masuk ke keuangan pribadi orang. Sekarang kita masuk ke Pasal 34, ada tiga pasal, Pasal 1, Pasal 2A butir A, Pasal 2A butir B. Badan Pemeriksa Keuangan tidak berdalil bahwa kewenangan konstitusionalnya dan atau bahwa dia dibuat tidak memiliki dan tidak diberi kebebasan dan kemandirian dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara oleh Pasal 1, ini Pasal 1 menurut BPK it’s okay. Pasal 1 mengatakan apa? Bahwa setiap pejabat dilarang memberitahukan pada pihak lain termasuk BPK segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Kemudian yang dimaksud dengan pasal itu adalah setiap pejabat—dalam penjelasan disebutkan, setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain SPT, laporan keuangan, dan lain-lain sehingga yang rahasia pribadi wajib pajak ini tidak boleh diberitahukan kepada siapapun ini tidak ada keberatan dari BPK. Pasal 2, Pasal 2 juga tidak ada keberatan dari BPK. Pasal ini mengatakan bahwa larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal, tapi ayat. Di Pasal 34 ayat (2) itu tidak juga dilawan oleh BPK. Bunyinya adalah, “larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak”. Pasal 2 tidak ada keberatan. Pasal (2a), butir a, “dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan”, no problem, tidak ada masalah. Yang menjadi keberatan BPK adalah Pasal 34 ayat (2a) butir B yang mengatakan bahwa menteri keuangan, eh pengecualian atas larangan yang dimaksudkan tadi hanya diberikan oleh Menteri Keuangan. Sehingga yang didalilkan oleh BPK adalah yang merugikan kewenangan konstitusionalnya adalah beberapa perkataan dalam ayat (2a) butir B yaitu frasa “ditetapkan Menteri Keuangan untuk”, dan frasa, “atau instansi pemerintah”. Sehingga kalau itu dihilangkan maka Pasal 34 ayat (2a) huruf B akan berbunyi, “dikecualikan dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dan ayat (2) adalah pejabat atau tenaga ahli yang memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam keuangan negara”, yaitu BPK. Berarti kalau frasa-frasa yang tadi itu dihilangkan maka setiap pejabat perpajakan yang diminta keterangan oleh BPK otomatis dikecualikan dari larangan tadi. Dengan demikian konsisten dengan itu BPK mohon agar penjelasan Pasal 34 ayat (2a) yang tadi disebutkan tadi itu dihapuskan penjelasan Pasal 34 ayat (2a) yang bisa diberikan hanya keterangan umum. Dengan demikian maka kalau Bapak-Bapak mengabulkan permintaan BPK maka memang tidak ada hambatan bagi
24
BPK untuk masuk ke dalam SPT Bapak-Bapak. Sekarang apa yang bisa menghambat? Bidangnya Pak, bidang BPK adalah keuangan negara, bukan keuangan saya. Billy Joedono sebagai pembayar pajak berkeberatan kalau Billy Joedono sebagai Ketua BPK melihat lampiran satu, lampiran dua, dan lampiran tiga SPT, itu keuangan saya bukan keuangan negara. Keuangan negara itu adalah yang saya setor, yang saya masukkan ke dalam SSP, di dalam SSP itu ada nama saya, nomor saya, berapa yang saya setor, KKP saya. Jadi perlu dibedakan antara bebas dan mandiri di dalam keuangan negara yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan bebas dan mandiri dalam keuangan pribadi saya. Keuangan pribadi saya itu adalah milik pribadi saya Pak, milik pribadi saya itu dilindungi Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar, satu. Kedua, apabila saya diperiksa nanti bisa diperiksa oleh pejabat pajak dan pejabat BPK maka timbul ketidakpastian hukum, siapa yang benar? Kalau BPK setuju dengan SPT saya, sementara pejabat pajak tidak. Siapa yang lebih benar? Padahal kepastian hukum itu dilindungi Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar. Jadi ini kita menghadapi masalah hak asasi saya sebagai pembayar pajak yang sebenarnya tidak benar, kalau dilanggar oleh kebebasan dan kemandirian BPK di dalam bidang keuangan negara. BPK tidak bebas dan mandiri dalam keuangan saya. Rahasia saya. Kemudian timbul apa perlu BPK masuk dalam SPT dan keuangan saya? Tidak perlu Pak, yang bisa diketahui oleh BPK nama dikaitkan dengan jumlah uang itu adalah SSP—Surat Setoran Pajak yang memuat nama wajib pajak, NPWP-nya, nama kantor pelayanan pajak, sehingga kalau diketahui nama tadi SSP-nya dan dikumpulkan semua SSP-nya dari semua wajib pajak maka akan diketahui berapa jumlah pajak yang seharusnya masuk, itu yang menjadi objek pemeriksaan BPK, bukan darimana asalnya. Jadi objek pemeriksaan pajak bukan harta dan rahasia saya. Objek pemeriksaan BPK adalah jumlah pajak yang disetor oleh wajib pajak yang bisa diketahui dari surat setoran pajak yang harus disetor, diisi oleh semua wajib pajak. Saya sebagai wajib pajak mengisi dan menyetor SSP kurang bayar. Bank dimana saya ada deposito memotong pajak saya dan mengisi SSP mengenai potongan pajak saya, deposito saya. Jadi akan diketahui dari semua SSP, semua wajib pajak yang masuk. Dan BPK kerjanya adalah memeriksa pengelolaannya, tanggung jawabnya kemana larinya uang itu. Apakah semua uang dari jumlah SSP itu larinya ke kantor perbendaharaan negara, itu yang harus diperiksa oleh BPK. Bukan kekayaan saya, bukan rahasia pribadi saya. Dengan demikian Pak, saya memang mengaudit kantor pajak itu menjengkelkan karena angkanya mesti tidak sama, bingung BPK itu. Anak buah saya dulu mengeluh, sekarang tidak. Hanya cara menyelesaikannya bukan tidak masuk ke dalam rahasia wajib pajak, tidak usah masuk ke dalam kekayaan pribadi wajib pajak. Periksa saja SSP, apa semua wajib pajak mengisi SSP? Semua orang yang menerima dan mengelola keuangan negara menurut undang-undang adalah
25
bendahara yang wajib membuat laporan kepada BPK Undang-Undang Nomor 17, periksa saja semua bendaharawan, periksa saja semua wajib pajak, termasuk bank-bank, apakah benar bahwa pajak deposito saya atau pajak rekening giro saya yang dipotong itu masuk tidak ke kas negara oleh bank-bank saya? Itu yang perlu diperiksa itu yang perlu diperiksa apakah cashflow aliran kas dari wajib pajak ke kantor perbendaharaan negara itu jalan dengan lancar atau tidak? Terima kasih Pak Hakim. 52.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih. Berikutnya silakan, Pak Darjono?
53.
AHLI DARI PEMERINTAH : Drs. SOEDARJONO Yang Mulia Bapak Ketua dan para Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Ibu Menteri serta para Anggota BPK dan Saudara-Saudara sekalian. Assalamu'alaikum wr. wb., salam sejahtera bagi Anda semua. Pada kesempatan ini saya bersama Kanaka Puradiredja diminta oleh Direktur Jenderal Pajak selaku Kuasa Substitusi Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan di depan Majelis ini. Memenuhi permintaan tersebut dengan ini kami sampaikan pandangan dan pendapat kami sebagai berikut: Umum 1.Pada umumnya audit atas suatu entitas terdiri dari dua jenis yaitu: a) audit umum (General Audit) atau dikenal dengan audit atas laporan keuangan, dan b) audit dengan tujuan khusus. Audit Umum dimaksudkan untuk memberikan pendapat atas kewajaran penyajian laporan keuangan suatu entitas secara keseluruhan. Sedangkan audit dengan tujuan khusus dapat berupa audit kinerja, pemeriksaan mendalam (investigasi) atas suatu aspek tertentu, audit atas ketaatan (compliance) terhadap suatu perjanjian atau suatu peraturan tertentu, atau tujuan-tujuan khusus lainnya. 2.Laporan yang dihasilkan dari General Audit berupa pendapat independen atas kewajaran penyajian laporan keuangan, sesuai dengan kesimpulan berdasarkan bukti-bukti audit yang diperolehnya. 3. Setelah melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan, auditor independen akan memberikan pendapat profesionalnya yang berupa salah satu dari empat pendapat sebagai berikut: a. Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion); yang berarti bahwa laporan keuangan tidak mengandung salah saji yang material.
26
b. Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion); yang berarti bahwa Laporan Keuangan tidak mengandung salah saji yang material, kecuali untuk hal-hal tertentu yang disebutkan (yang dikualifikasi) dalam laporan auditor independen. c. Tidak Wajar (Adverse Opinion); yang berarti Laporan Keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum (Generally Accepted Accounting Principles). d. Menolak Memberikan Pendapat (Disclaimer Opinion); yang berarti auditor menolak memberikan pendapat atas kewajaran penyajian laporan keuangan, karena tidak memiliki cukup bukti audit yang memungkinkan auditor untuk mengambil kesimpulan. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara 4.Sebagaimana lazimnya audit harus dilandasi/berpedoman pada Standar Audit. Demikian juga BPK, dalam melakukan auditnya BPK berpegang pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia tahun 2007. 5.Dalam Lampiran I Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No. 01 tahun 2007 tanggal 7 Maret 2007 "Pendahuluan Standar Pemeriksaan" halaman 13 Pemeriksaan Keuangan, paragraf 14 menyatakan: Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan keuangan vanq bertujuan memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi komprehensif selain prinsip yang berlaku umum di Indonesia. 6.Untuk memperoleh keyakinan tentang kondisi laporan keuangan, maka harus diperoleh bukti audit yanq kompeten sebagaimana diharuskan oleh Pernyataan Standar Pemeriksaan 02 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan paragraf 3C (hal. 35 Standar Pemeriksaan Keuangan Negara BPK). 7.Dalam melaksanakan tugasnya Pemeriksa harus memiliki sikap untuk melayani kepentingan publik, menghargai dan memelihara kepercayaan publik dan mempertahankan profesionalisme. (Standar Pemeriksaan Keuangan Negara BPK hal. 16 paragraf 20). 8.Tanggung jawab pemeriksa lainnya adalah pemeriksa harus bersikap jujur dan terbuka kepada entitas yang diperiksa dan para pengguna laporan hasil pemeriksaan dalam melaksanakan pemeriksaannya denqan tetap memperhatikan batasan kerahasiaan yang dimuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
27
Kerahasiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. 9.
Pasal 34 undang-undang tersebut di atas mengatur tentang kewajiban setiap pejabat untuk tidak memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Informasi keadaan ekonomi wajib pajak yang termuat dalam SPT adalah milik pribadi wajib pajak. Oleh karena itu pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang mengelola informasi tersebut harus menjaga kerahasiaan informasi tersebut. Hal ini lebih diperkuat oleh Pasal 41 undang-undang termaksud dengan sanksi denda bagi pejabat yang melanggar. 10. Namun demikian, perahasiaan tersebut butir 9, tidaklah mutlak. Dalam hal ada alasan yang dibenarkan hukum, seperti pejabat tersebut bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan, atau pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara, atau untuk kepentingan negara, maka perahasiaan tersebut dikecualikan. 11. Pasal 34 undang-undang tersebut di atas pada hemat kami tidak dimaksudkan untuk menghalangi pihak-pihak yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara. Pasal ini lebih bersifat pengaturan agar pemberian informasi dilakukan oleh pihak/pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh Menteri Keuangan dan apabila terjadi kebocoran informasi maka pertanggungjawabannya dapat dilokalisir. 12. Butir 11 juga menghormati kewajiban pemeriksa BPK sebagaimana seperti tersebut pada butir 8 di atas yaitu kewajiban juga memperhatikan perahasiaan undang-undang. Pemahaman atas Hal Yang Dimohonkan Peninjauan Kembali 13. Berdasarkan pemahaman kami, BPK mempersoalkan adanya pembatasan dalam menjalankan tugas auditnya, khususnya dalam memeriksa kewajaran Penerimaan Pajak yang dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah. Sebagai konsekuensinya, BPK memberikan opini disclaimer (menolak memberikan pendapat) atas kewajaran Laporan Keuangan Pemerintah yang diauditnya. 14. Kami memahami bahwa pembatasan ruang lingkup pemeriksaan dapat berakibat pemberian opini disclaimer oleh auditor independen, apabila auditor tidak menemukan cara lain untuk mengumpulkan bukti audit yang diperlukannya.
28
15. Menurut pemahaman kami, Penerimaan Pajak yang dibukukan sebagai penerimaan negara dan yang kemudian dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah, adalah uang yang telah disetorkan oleh Wajib Pajak kepada negara. Pembayaran tersebut dilakukan melalui bank-bank persepsi atau kantor-kantor pos yang kemudian dibukukan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). 16. Penyetoran Pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana disebut pada butir 15 di atas, menggunakan suatu dokumen yang disebut Surat Setoran Pajak (SSP), yang merupakan bukti adanya penerimaan negara yang berasal dari pajak. Pendapat Kami 17. Berdasarkan hal-hal yang kami uraikan pada butir 15 dan 16 di atas, apabila auditor berencana untuk memvalidasi angka penerimaan negara yang berasal dari pajak ke dokumen-dokumen pendukungnya untuk memperoleh bukti audit yang cukup, auditor seharusnya dapat mengarahkan pemeriksaannya pada SSP—Surat Setoran Pajak. Jika hal ini dilakukan, maka ketidaktersediaan dokumen pendukung sebagai dasar dari pemberian opini disclaimer, pada hemat kami menjadi kurang beralasan. 18. Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, pada hemat kami tidak perlu diubah, karena tidak menghalangi pelaksanaan pemeriksaan BPK. Yang perlu dilakukan adalah pengaturan prosedur sehingga ketentuan pasal tersebut di atas dipenuhi, baik formal maupun jiwanya. 19. Semua pejabat, pemeriksa, dan para pihak yang memperoleh informasi tentang wajib pajak yang diatur dalam Pasal 34 tersebut di atas terikat pada kewajiban perahasiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 tersebut beserta sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 41 undang-undang dimaksud. Demikian pendapat kami, terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
54.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, sudah dua. Saya rasa sebaiknya kita selesaikan bagaimana? Tiga lagi dari pemerintah baru nanti ditanggapi oleh ada pertanyaan tadi, sebab kalau sekarang langsung ditanggapi pertanyaan yang tadi bisa jadi lama ya? Kita selesaikan dulu yang tiga nanti yang tiga lagi dari Pemerintah begitu saya rasa. Silakan siapa dari Pemohon? Pak Hadjon?
29
55.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. PHILIPUS. M. HADJON Terima kasih Pak Kalau saya lihat layarnya ke sini Majelisnya tidak melihat.
56.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kita bisa lihat. Kita punya empat mata.
57.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. PHILIPUS. M. HADJON Bisa lihat Pak? Jadi sudah saya siapkan tertulis Pak, bisa minta tolong untuk juga pihak pemerintah.
58.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Petugas, silakan!
59.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. PHILIPUS. M. HADJON Hakim dulu!
60.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Atau kalau mau berdiri juga boleh.
61.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. PHILIPUS. M. HADJON Tidak Pak, duduk saja. Baiklah, saya hanya menyoroti penjelasan Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Dari presenter sebelumnya juga sudah memaparkan atau menayangkan penjelasan Pasal 34 ayat (2a) tersebut dan saya pun sudah mengutip kembali pasal tersebut. Saya menyoroti pasal itu dalam kaitan isu sentralnya apakah penjelasan tersebut konstitusional sesuai dengan fungsi Mahkamah ini menguji konstitusionalitas dari undang-undang. Dalam rangka itulah empat pertanyaan yang saya ajukan. Pertanyaan pertama, apakah penjelasan Pasal 34 ayat (2a) a quo mengikat BPK dalam melakukan fungsi pemeriksaan keuangan negara? Pertanyaan kedua, apakah dalam melaksanakan wewenang memeriksa keuangan negara BPK dapat mengabaikan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK? Kenapa saya kaitkan dengan Pasal 6? Karena apa? Pasal tersebut dan juga dengan Pasal 9 itu adalah penjabaran dari hakekat kemandirian dan kebebasan BPK di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
30
Yang ketiga, apakah ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 dapat dibatasi oleh penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007? Dan yang terakhir yang merupakan kunci dari pertanyaan yang berkaitan dengan isu tadi apakah penjelasan Pasal 34 ayat (2a) tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Baiklah saya mulai dengan pertanyaan pertama, dalam menganalisis pertanyaan pertama hendaklah kita berpegang pada hakekat kewenangan BPK. Hakekat kewenangan BPK berdasarkan ketentuan Pasal 23E Undang-Undang Dasar itu adalah kewenangan atribusi, kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Oleh karena itulah kewenangan dalam melaksanakan tugas tadi dijabarkan dalam undang-undang terkait, utamanya adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, di samping tentunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam kaitan itu perlu kita perhatikan, apakah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dapat diartikan sebagai lex specialis terhadap Undang-Undang BPK dan Undang-Undang tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Saya melihat bahwa itu bukan lex specialis dan justru penjelasan tersebut itu bertentangan dengan prinsip kekuasaan atau wewenang BPK yang bebas dan mandiri. Pertanyaan kedua tadi, kembali pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang BPK, apakah itu imperatif? Saya katakan itu imperatif, karena apa? Itu adalah penjabaran dari wewenang atribusi Undang-Undang Dasar. Hal yang ketiga, berkaitan dengan penjelasan. Apakah ketentuan Pasal 9 dari Undang-Undang BPK dapat dibatasai oleh penjelasan suatu undang-undang. Perlu kita cermati Pasal 9 Undang-Undang BPK, dalam ayat (1) dikatakan, “BPK berwenang menentukan objek pemeriksaan dan dengan penjelasan BPK terikat pada penjelasan hanya apa yang boleh diberikan, padahal di Pasal 9 BPK menentukan objek pemeriksaan”. B. meminta keterangan atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, jadi ini perlu dicermati dengan baik sehingga di sini kita ada dua sisi yang kita perhatikan, apakah penjelasan itu norma? BPK pernah membatalkan penjelasan, sorry Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan penjelasan berkaitan dengan Undang-Undang Korupsi. Saya kira ini terulang kembali, maaf saya para pihak bukan partisipan sebagai ahli, teori umum yang diterima dan ditegakkan oleh Mahkamah Konstitusi aturan itu berisi norma, penjelasan tidak berisi norma ini yang harus kita perhatikan penjelasan itu sekedar interpretasi otentik. Tapi tentunya interpretasi tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada di dalam pasal. Pertanyaan kedua, dalam kaitan dengan ratio legis Pasal 34 ayat (2a) jadi pasalnya ini adalah menghormati rahasia wajib pajak. Dalam kaitan itu perlu juga kita perhatikan, apa hakekat pemeriksaan keuangan
31
negara oleh BPK? Sekali lagi Pak Billy sudah mengemukakan bahwa yang diperiksa itu adalah keuangan negara. Kalau kita bicara dari sudut pajak, yang diperiksa itu adalah fiskusnya yang melaksanakan pemungutan itu bukan wajib pajaknya. Dan tujuan pemeriksaan itu adalah untuk mencegah kerugian negara. Ruang lingkup pemeriksaan tadi juga sudah dijelaskan oleh ahlinya ada tiga pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Kalau ratio legis dari pasal tadi melindungi rahasia wajib pajak, hal itu sebetulnya juga sudah diatur di dalam Undang-Undang BPK sendiri Pasal 9 ayat (2), ”dokumen yang diminta oleh BPK itu hanya digunakan untuk pemeriksaan”. Dan pelanggaran terhadap hal itu sudah diancam dengan ketentuan pidana di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, jadi Pasal 24, 25, dan 26. Jadi persoalannya bukan BPK itu memasuki wilayah wajib pajak, sebab BPK pun wajib menghormati rahasia wajib pajak. Dengan tiga pertanyaan tadi sampai kepada pertanyaan penutup yang merupakan intinya apakah penjelasan itu tidak bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar? Saya mengatakan penjelasan Pasal 23E ayat (1) undang-undang a quo ini bertentangan dengan hakekat BPK yang bebas dan mandiri berdasarkan ketentuan Pasal 23E ayat (1) UndangUndang Dasar. Atas dasar demikian saya menyimpulkan bahwa penjelasan tersebut inkonstitusional. Sekian Majelis, terima kasih. 62.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Lanjut yang kedua. Termin yang kedua ini siapa? Dr. Denny? Silakan.
63.
AHLI DARI PEMOHON : DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D Terima kasih Ketua dan yang terhormat sidang Majelis Mahkamah Konstitusi. Saya menyiapkan power point dan saya beri judul Konstitusionalitas Pemeriksaan Pajak oleh BPK. Karena menurut saya memang akhirnya pertanyaan dasarnya apakah memang pasal-pasal atau frasa-frasa yang diajukan oleh Pemohon bertentangan dengan Konstitusi atau tidak? Tentu saja keterangan saya dan jawaban-jawaban bagian dari presentasi tidak dapat dipisahkan sebagai satu kesatuan dan saya mendasarinya dari berbagai sisi penafsiran, tidak hanya gramatikal sejarah atau komparatif tapi memang banyak sekali caranya. Dan kalau gramatikal sajapun memang tidak cukup jika ditafsirkan sudah ada perdebatan, ada pendapat yang mengatakan demikian. Ada enam topik bahasan yang akan saya sampaikan dan akan saya tutup dengan kesimpulan. Yang pertama tentang kedudukan hukum.
32
Straight to the point saya tidak perlu menjelaskan, saya pikir Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang mengatakan salah satu Pemohon adalah lembaga negara sudah jelas dipenuhi oleh BPK. Bagaimana dengan kerugian konstitusional? Saya pikir harus dilihat sebagai potensi karena undang-undang yang sedang diuji memang baru berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008. Putusan Mahkamah Konstitusi mengatakan potensi kerugian itu menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Saya melihat meskipun ada perubahan undangundang tapi pada prinsipnya kalau kita bandingkan dua undang-undang ini normanya tidak terlalu berbeda, hampir sama. Dan perjalanan sidang ini sendiri dari risalah yang saya baca, saya melihat jawab menjawab sidang sebelumnya menurut saya menunjukkan memang ada kesamaan posisi, standing position-nya dan ini menunjukkan ada potensi tetap sulitnya upaya untuk melakukan audit pajak oleh BPK. Kewenangan konstitusional BPK dipersoalkan saya pikir bahasa Pasal 23E itu sangat jelas bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, ini harus dibaca sebagai Pasal 23E. Kalau dikatakan harusnya kalau berwenang itu BPK berwenang tidak selalu demikian. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilihan Pimpinan BPK misalnya itu memberikan standing kepada DPD walaupun yang sedang diperiksa adalah Pasal 23F dengan memperhatikan pertimbangan DPD, tidak ada kata-kata berwenang di situ. Saya pikir Putusan Mahkamah Konstitusi tentang kewenangan ini ditafsirkan tidak secara literal atau restriktif tapi memang ditafsirkan metodenya dengan ekstensif dan Putusan Mahkamah Konstitusi sendiri dengan sangat jelas mengatakan dalam sengketa kewenangan lembaga negara, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 8 bahwa BPK itu adalah lembaga negara yang kewenangan konstitusionalnya dapat dipersengketakan. Jadi pertanyaan tentang apakah BPK mempunyai kewenangan konstitusional yang diperdebatkan saya pikir terjawab dengan sangat jelas salah satunya oleh Peraturan Mahkamah Konstitusi sendiri. Isu kedua, apakah pemeriksaan keuangan negara di luar BPK bertentangan dengan Konstitusi atau tidak? Saya ingin menjawab tentang frasa “atau instansi pemerintah”. Bahasa Pasal 23E ayat (1) dengan jelas mengatakan ”satu badan pemeriksa keuangan.” Instansi pemerintah di situ kalau dimaknai disambungkan dengan pemeriksaan keuangan negara menjadi berpotensi melanggar kata satu ini. Yang sudah sangat jelas Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan tidak dikatakan sebagai badan pemeriksaan salah satunya karena maksud supaya makna satu BPK ini tidak dilanggar. Jadi instansi pemerintah atau satu instansi pemerintah itu memang bertentangan dengan penafsiran literal, gramatikal, dan restriktif atau dia juga dapat bertentangan dengan penafsiran sejarah undang-undang atau original intent. Coba kita lihat, pada saat Panitia Ad hoc I mengajukan usul perubahan ini, tanggal 21 Oktober 2001 itu kalimatnya adalah “suatu” dan pasal ini hanya berubah setelah disahkan menjadi perubahan ketiga 33
hanya satu kata yang diganti dalam ayat ini. Dari kata suatu menjadi kata satu, hanya itu yang diubah dan disahkan menjadi perubahan ketiga, mengapa demikian? Risalah rapat sebagai original intent mengatakan, Fahmi Idris misalnya dalam Rapat Komisi A, “saya mengusulkan agar dia, dia di sini adalah BPK, menjadi lembaga satusatunya bagi pemeriksa keuangan negara”. Selanjutnya dia mengatakan, “intinya adalah mari kita jadikan BPK menjadi satu-satunya lembaga, menjadi koridor pertama bagi pencegahan penyalahgunaan keuangan negara”. Darus Siska dalam rapat yang sama mengatakan, “BPK itu harus menjadi satu-satunya lembaga keuangan”, terus dia mengatakan, “BPKP, Itwilprop, Irjen, dan seterusnya merupakan pemeriksaan dalam objek yang sama mengganggu efektivitas kerja”. Arif Mudatsir punya pendapat yang sama, “BPK menjadi satu-satunya badan”. Jadi original intent-nya memang mengatakan BPK itu satu. Pada saat instansi pemerintah itu masuk ke situ ini bisa diinterpretasikan sebagai melanggar prinsip satu BPK itu. Isu ketiga tentang apakah BPK berwenang memeriksa pajak? Saya pikir isu ini sudah terjawab dan saya akan lewati. Sangat jelas bahwa pajak adalah keuangan negara dan keuangan negara itu merupakan domain BPK untuk memeriksanya. Isu keempat, pembatasan sedikit saya sampaikan di beberapa negara sebagai ilustrasi saya ambil dari website yang sudah terpampang di situ, di Swedia kalau bicara informasi, di situ dikatakan all form of anykind information bisa diakses atau di paling bawah all record, document, and report of the tax officer are available, semua dapat diakses tanpa pembatasan. Belanda, Jerman, bisa dilihat, waktu yang sempit saya lewati. Yang kelima, isunya tentang saya ingin mengargumentasikan pembatasan pemeriksaan pajak oleh Menteri Keuangan itu bertentangan dengan Konstitusi. Di sini saya bicara tentang frasa ditetapkan Menteri Keuangan. Saya pikir ini memang ada disharmoni antara Undang-Undang Pajak sebagai pelaksanaan Pasal 23A ayat (1) dengan Undang-Undang BPK sebagai pelaksanaan Pasal 23. Disharmoni ini memang menjadi persoalan. Dan akhirnya saya menyimpulkan penetapan oleh Menteri Keuangan itu bertentangan dengan Konstitusi karena paling tidak enam hal, ada enam argumen yang bisa dipaparkan. Pertama, bertentangan dengan prinsip bebas dan mandiri. Kalau kita baca, bebas dan mandiri itu hanya disematkan pada BPK. Komisi Pemilihan Umum itu kata-katanya hanya mandiri. Komisi Yudisial itu kata-katanya mandiri. Kekuasaan kehakiman itu kata-katanya merdeka, bank sentral itu independensi. Jadi kata-kata bebas dan mandiri itu punya BPK semestinya lebih bebas dan lebih mandiri daripada KPU dan daripada Komisi Yudisial. Apa makna bebas dan mandiri? Original intent kalau membaca risalah rapat ataupun memang bisa dari penjelasan BPK sebelum perubahan hampir sama, bebas dan mandiri di sini dimaknai bebas dari pengaruh Pemerintah dan lembaga negara lainnya. Ini original intent yang disampaikan oleh Bapak Harun Kamil. Penetapan
34
Menteri Keuangan tentang pemeriksaan keuangan negara oleh BPK, itu dapat diinterpretasikan menyebabkan BPK kedudukannya tidak bebas dari pengaruh Pemerintah. Argumentasi ketiga, penetapan Menteri Keuangan itu bertentangan dengan Konstitusi karena ada benturan kepentingan. Sederhananya adalah bisakah orang yang diaudit membatasi yang mengaudit? Menteri Keuangan itu bendahara negara, dia representasi yang utama mengolah keuangan negara, pajak ada di dalam situ. Kemudian pada saat ingin dinilai, diperiksa oleh lembaga yang diberi kewenangan konstitusional untuk memeriksa keuangan negara, dia mengatakan jangan. Saya yang menetapkan bisa atau tidak. Bisakah auditee membatasi auditor? Bisakah objek pemeriksa keuangan negara dibatasi oleh pemeriksa keuangan negara? Menurut saya, bertentangan dengan Konstitusi juga kalau dilihat dengan sejarah interpretasi secara sosio historis. Pasal 23E yang ada sekarang itu sejarah historisnya penguatan BPK. Maka ada bab tersendiri, ada penegasan bebas dan mandiri, ada BPK di provinsi-provinsi. Dan itu ditegaskan dalam panduan MPR mengatakan keuangan negara harus dilakukan secara optimal dan seterusnya. Yang keempat, kenapa bertentangan dengan Konstitusi? Karena dapat dimaknai menimbulkan perbuatan—ini bahasa teorinya Bu, jadi bahasa teori yang saya gunakan penguasa yang sewenang-wenang. Ada dalam buku Prof. Mu’san, kalau ada tiga kriteria di sini suatu perbuatan penguasa memang berdasarkan undang-undang, boleh tapi dalam membuatnya itu bertentangan dengan kepentingan umum atau merugikan pihak lain dalam hal ini BPK, maka itu bisa diartikan sebagai perbuatan penguasa yang sewenang-wenang. Saya membaca permohonan dan di situ dikatakan ada surat tidak memberikan izin, tapi baru 237 hari dikeluarkan dan surat tidak memberikan izin 204 hari kemudian baru dikeluarkan, ini bisa dimaknai sebagai salah satu yang sesuai dengan perbuatan sewenang-wenang itu. Argumentasi kelima, kenapa penetapan Menteri Keuangan itu bertentangan dengan Konstitusi? Karena dia kalau pun ada, jika pun dia sebagai prosedur, semestinya kewenangan ketetapan itu berasal dari kewenangan yang terikat, bukan kewenangan yang bebas. Ada dua jenis kewenangan dari sifatnya, kewenangan yang terikat dan kewenangan yang bebas. Menteri Keuangan dalam sekarang terlihat dalam 2006-2007 menjadikan kewenangan penetapan itu sebagai kewenangan yang bebas. Dan ini bertentangan karena dan kalau pun ada dia harusnya hanya kewenangan yang terbatas/terikat. Terakhir, menurut saya bertentangan dengan Konstitusi karena memang prosedur tidak menjelaskan, undang-undang tidak menjelaskan pembatasannya bagaimana? Dan dalam banyak putusan di Mahkamah Agung Amerika Serikat tentang sensor, sensor boleh kalau tidak jelas prosedur sensornya maka dia bertentangan dengan Konstitusi. Pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial boleh, tapi kalau tidak jelas
35
prosedurnya, dia melanggar prinsip independensi kekuasaan kehakiman. Prosedur akses informasi pajak di Amerika Serikat misalnya sebagai perbandingan, di sana BPK-nya Government Accountability Office-nya itu ada di bawah parlemen untuk memeriksa pajak. Tidak independen sebagaimana BPK di kita. Dan untuk dapat akses dia memang disetujui oleh joint committee in taxation-nya, harus ada persetujuan dua pertiga. Kalau tidak disetuju baru 30 hari kemudian, itu di Amerika Serikat yang BPK-nya tidak mandiri. Yang harus mengatakan boleh atau tidak adalah parlemennya, bukan menteri keuangannya. Apalagi di kita, yang BPKnya lebih mandiri kenapa tidak? Justru BPK yang bisa menentukan penetapannya ada di Menteri Keuangan, itu problem menurut saya. Ada ide bagaimana kalau prosedur itu dijelaskan dalam PP atau MoU? Ini tidak bisa dilakukan, karena yang bertentangan adalah undangundangnya. Saya beri contoh misalnya tadi sudah dijelaskan tentang penjelasan. Penjelasan Pasal 34 ini ada yang tidak terbaca itu, ini tadi diuraikan panjang lebar bahwa dikatakan Pasal 34 itu nama pokok wajib pajak. Saya baca dalam keterangan Pemerintah halaman 136 itu dikatakan bahwa yang bisa digunakan dokumennya apabila ingin mengaudit adalah Pak Billy mengatakan surat setoran pajak, salah satu yang dibutuhkan. Tapi dalam penjelasan itu tidak ada. Kalau Pak Billy tadi mengatakan misalnya ambil saja surat setoran pajak untuk memeriksa. Di dalam penjelasan surat setoran pajak itu tidak ada sebagai satu dokumen yang bisa diberikan. Supaya lebih jelas ini tidak terbaca karena hurufnya putih, saya tadi salah mewarnai, pada undangundang sebelumnya, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 itu penjelasan Pasal 34 ayat (2)-nya mengatakan antara lain informasi yang bisa diberikan itu antara lain, sehingga tidak tertutup kemungkinannya. Setelah diubah kata antara lain itu tidak ada dan justru kemudian limitatif, yang kalau dilihat dari keterangan Pemerintah justru apa yang disampaikan keterangan Pemerintah itu yang ingin diberikan tidak dapat diberikan Pemerintah karena penjelasan Pasal 34 ayat (2)-nya tidak memungkinkan dibatasi. Jadi Pemerintah sendiri menurut keterangannya justru ingin memberikan tapi Pasal 34 ayat (2) penjelasannya tidak memungkinkan itu. Sehingga kesimpulan saya, saya sampai pada terakhir paparan saya, pertama tentu saja BPK mempunyai kedudukan hukum. Kedua, audit pajak adalah memang kewenangan konstitusional BPK dan penetapan Menteri Keuangan itu bertentangan dengan Konstitusi karena ada pertentangan Konstitusi Pasal 34 ini karena beberapa prinsip. Saya lompat langsung ke prinsip-prinsipnya. Prinsip pertama, melanggar satu BPK, itu instansi Pemerintah. Prinsip kedua, melanggar norma Konstitusi BPK yang bebas dan mandiri karena kemudian untuk memeriksa tidak boleh di bawah Pemerintah tapi kemudian ada ketetapan Menteri Keuangan. Prinsip yang ketiga, kewenangan konstitusional BPK untuk memeriksa pengelolaan tanggung
36
jawab keuangan negara paling tidak dari (tahun) 2006-2007 tidak dapat dilakukan karena adanya klausul penetapan dari Menteri Keuangan. Dan kalau dikaitkan dengan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar, maka prinsip terbuka, bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat juga tidak terpenuhi. Saya pikir itu paparan saya untuk menegaskan kenapa UndangUndang Pajak dalam hal instansi pemerintah dan dalam hal penetapan oleh menteri keuangan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Assalamu’alaikum wr. wb.
64.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Wa’alaikumsalam. Satu lagi, terakhir? 65.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M. Pak Ketua saya usulkan sekarang yang dari pemerintah supaya kita bisa mendengarkan (...)
66.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oh, jadi dua-dua? Baik, silakan Pemerintah! 67.
PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Kami mengundang Pak Hakim Garuda Nusantara dan kemudian Pak Profesor Gunadi.
68.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan!
69.
AHLI DARI PEMERINTAH : ABDUL HAKIM GARUDA NUSANTARA, S.H., LL.M (.........tidak memencet mic) Keterangan tertulis, tapi tidak akan kami bacakan semuanya. Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Sebagaimana kita ketahui amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 memuat suatu daftar hak asasi manusia yang lebih lengkap dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen. Tentu saja penuangan suatu daftar panjang HAM ke Undang-Undang Dasar 1945 terang dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan masyarakat (civil society) dalam hubungannya dengan negara. Dengan demikian dapat diwujudkan suatu hubungan yang simetris antara negara
37
dengan masyarakat (state and society). Dalam tatanan hubungan yang simteris antara masyarakat dan negara itulah terbuka peluang dan kesempatan bagi bekerjanya sistem politik yang demokratis, dan dengan demikian terbuka kemungkinan dan peluang yang lebih besar bagi perlindungan hak asasi manusia. Karena itu, setiap upaya dari lembaga negara, apakah itu pemerintah, badan legislatif, atau badan yudikatif atau lainnya yang akan menipiskan atau menggerus perlindungan HAM yang tertuang dalam Konstitusi, harus diwaspadai sebagai suatu ancaman terhadap demokrasi dan perlindungan HAM dalam konteks negara hukum Indonesia. Bapak Ketua dan para Anggota Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat, Kalau kita bicara isu hak asasi manusia di sini, sesungguhnya yang dimaksudkan adalah hak atas properti, karena itu saya akan melompat ke halaman sembilan. Hak atas properti sebagai hak asasi manusia ini adalah suatu hal yang sudah lama. Abad 17 yang lalu John Locke sudah mengatakan itu dan sekarang sudah menjadi suatu norma yang bersifat universal bahwa hak atas properti itu adalah suatu hak yang universal. Baru-baru ini Republik Rakyat Cina yang komunis itu mengamandemen konstitusinya hanya untuk memberi tempat menyatakan hak atas properti itu sebagai hak asasi manusia. Tentu saja hak atas properti ini bisa diterobos, bisa dikurangi karena dia bukan non derogable rights demi kepentingan umum, tetapi atas tiga prinsip. Pertama, penerobosan atau penyimpangan itu harus berdasarkan atas hukum. Kedua, tidak semenang-menang. Ketiga, harus proporsional. Bapak Ketua yang mulia, yang mulia para Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Hak milik para wajib pajak yang bersifat konfidensial, seperti Surat Pemberitahuan Pajak, Surat Ketetapan Pajak (SKP), Laporan Keuangan dan daftar harta miliknya merupakan suatu hak yang bersifat asasi. Namun demi kepentingan umum, semisal kepentingan perpajakan hak milik atas informasi konfidensial itu dapat diterobos oleh petugas pajak. Dalam hal itu informasi konfidensial itu dipinjam-serahkan atau difidusiakan kepada Kantor Pelayanan Pajak guna sebagai dasar untuk penetapan kewajiban pajak yang akurat, benar, dan adil. Namun pada sisi yang lain petugas pajak sebagai otoritas publik (negara) diwajibkan untuk melindungi keselamatan dan kerahasiaan hak milik atas informasi konfidensial para wajib pajak yang berada di bawah kekuasaannya dari kemungkinan disalahgunakan oleh petugas pajak atau pihak lain. Hak milik wajib pajak berupa informasi konfidensial itu dapat pula dikategorikan sebagai ’rahasia dagang’ yang berarti di bawah UndangUndang Rahasia Dagang (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000) wajib dilindungi, di situ saya kutipkan pengertian rahasia dagang dan seterusnya. Itu berarti pengungkapan (disclosure) informasi itu, tanpa
38
persetujuan pemiliknya merupakan bentuk perbuatan melawan hukum yang mengundang tuntutan pidana dan perdata bagi para pelakunya. Jadi kalaupun menteri keuangan memberikan penetapan itu SPT bisa diberikan tapi kalau wajib pajak itu keberatan dia bisa menchallenge itu keputusan ke pengadilan tata usaha negara. Saya sebagai wajib pajak, saya keberatan properti saya dibuka oleh pemerintah. Yang Mulia dan para Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Dalam rangka adanya suatu keseimbangan, yaitu antara perlindungan hak asasi wajib pajak dan kepentingan umum, yakni kepentingan pemeriksaan, penyidikan dan pengadilan, setiap pengungkapan (disclosure) informasi konfidensial milik wajib pajak harus melalui prosedur yang ditetapkan oleh undang-undang. Inilah prosedur hukum yang menjaga titik keseimbangan antara pada satu sisi kewajiban negara untuk melindungi hak asasi para wajib pajak dan kepentingan umum, yaitu pemeriksaan dan penegakan hukum perpajakan. Titik keseimbangan ini dijaga oleh apa yang dalam hukum asasi manusia disebut sebagai ’due process of law’. Yang berarti suatu pengesampingan hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas perlindungan harta benda berupa informasi konfidensial hanya dapat dilakukan berdasarkan prosedur hukum yang ditetapkan oleh undang-undang. Due process of law ini dalam negara hukum mengemban fungsi ganda, yaitu, untuk mencegah kesewenang-wenangan kekuasaan, dan fungsi yang lain, yaitu memberikan kepastian hukum. Dari perspektif ini pemberian akses kepada BPK atas informasi-informasi konfidensial milik wajib pajak, tanpa melalui prosedur hukum, yaitu penetapan atau lebih tegas lagi persetujuan atau izin oleh pemerintah qq Menteri Keuangan kepada para pejabat perpajakan dan tenaga ahli yang ditugaskan, terang benderang merupakan pelanggaran asas due process of law dan berpotensi menimbulkan bahaya ganda (double jeopardy) bagi para wajib pajak. Double jeopardy berarti wajib pajak pada satu sisi menghadapi pemeriksaan oleh petugas kantor pajak, dengan segala resikonya, dan pada sisi yang lain wajib pajak terancam menghadapi pemeriksaan oleh BPK dengan segala resikonya. Keadaan bahaya ganda atau double jeopardy yang dapat mengancam wajib pajak itu jelas dapat menimbulkan dampak buruk bagi HAM wajib pajak, yang dapat berupa represi, ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum. Yang Mulia Ketua dan para Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Dari perspektif hak asasi manusia, sesungguhnya Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007 telah sesuai dengan Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan, ”perlindungan, pemajuan,
39
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Dengan demikian, Pasal 34 ayat (2a) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah sebuah prosedur hukum yang melayani dua kepentingan, yaitu perlindungan HAM para wajib pajak dan kepentingan pemeriksaan oleh, antara lain BPK. Di situ frasa....”yang ditetapkan oleh menteri keuangan...”, merupakan prosedur hukum yang mencerminkan implementasi kewajiban negara untuk melindungi HAM para wajib pajak, dan pada saat yang sama mencerminkan pula tugas pemerintah untuk melayani kepentingan umum, yakni institusi negara dalam melakukan pemeriksaan pajak, di mana menteri keuangan menetapkan pejabat dan tenaga ahli untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara, termasuk BPK atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara. Sejalan dengan itu, frasa, ”memberikan keterangan atau pemerintah”, harus dipandang sebagai tugas pelayanan kepentingan umum. Karena pemeriksaan oleh pemerintah merefleksikan kesadaran pemerintah akan kewajibannya untuk mengontrol secara internal jajaran aparaturnya sendiri dan langkah ini merupakan pelaksanaan prinsip good governance. Suatu penyelenggaraan pemerintah yang didasarkan pada the principle of good governance akan memungkinkannya untuk melayani kepentingan masyarakat secara lebih efektif dan efisien. Masih dalam semangat yang sama, yaitu memenuhi kewajiban hukum negara terutama pemerintah untuk melindungi hak asasi manusia wajib pajak dan tugas melayani kepentingan umum, antara lain pemeriksaan dalam rangka penegakan hukum perpajakan, maka Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) undang-undang a quo harus dipandang sebagai sebuah eksplanasi tentang informasi apa saja yang dapat dibuka kepada pihak pemeriksa, ini justru harus dinilai sebagai sikap keterbukaan dari pihak pemerintah. Terima kasih. 70.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih Bapak Hakim. Silakan, dilanjutkan.
71.
AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. GUNADI Bapak Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi yang kami hormati, Bapak-Bapak para Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati, Ibu Menteri Keuangan beserta staf dan Bapak yang mewakili Pemohon,
40
Keterangan saya ada sekitar lima belas halaman. Namun karena keterbatasan waktu kami tidak akan bacakan semuanya, hanya kami bacakan atau kami sampaikan yang saya anggap penting saja. Tapi kami mohon agar semua itu merupakan keterangan yang lengkap dari saya. Sejak tahun 1984 dalam sistem self assesment ini rohnya adalah kepercayaan, jadi mutual respect sama itikad baik atau good faith. Alasan daripada sistem self assesment yang pertama adalah meningkatkan kepatuhan wajib pajak oleh pemberdayaan mereka sendiri yaitu empowering tax payer dengan menjadikan mereka sebagai subjek bukan lagi objek. Kemudian yang kedua mempercepat penetapan pajak oleh mereka sendiri, yang ketiga adalah mempermurah biaya kepatuhan, dan keempat mempermudah pemungutan dan pembayaran pajak. Dalam sistem self assesment ini kepada wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan memperhitungkan dan melaporkan jumlah pajak yang dibayar. Mekanisme check and balance itu diatur sedemikian rapi dalam Undang-Undang KUP yaitu di Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) dan Pasal 13 ayat (4). Di Pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa setiap wajib pajak wajib membayar pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang disampaikan di SPT itu dianggap sesuai dengan peraturan perundangan perpajakan, kecuali terbukti lain. Jadi untuk mengadakan cek dan ricek atau check and balances itu sesuai dengan ayat (3) itu harus ada bukti, jadi tidak dengan sekedar prasangka atau dugaan melakukan cek dan ricek. Untuk mendapatkan bukti ini kepada Dirjen Pajak di dalam Undang-Undang KUP di Pasal 35A diberikan suatu pengaturan bahwa para pihak yang terkait dengan perpajakan diminta untuk menyampaikan informasi perpajakan. Kalau itu kurang, Dirjen Pajak dapat meminta lagi kepada pihak-pihak terkait. Dari bukti-bukti ini kalau ternyata bahwa SPT yang berisi laporan wajib pajak tentang pembayaran wajib pajak tidak benar itu Dirjen pajak dapat melakukan peengeluaran Surat Penetapan Pajak dengan prosedur pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 29. Bapak Ibu sekalian yang kami hormati, bahwa di dalam sistem self assesment backbone-nya adalah voluntary compliance yaitu kepatuhan sukarela. Untuk menunjukkan suatu kepatuhan sukarela ini kepada wajib pajak selain dipercaya tadi juga harus ada suatu perlindungan terhadap kerahasiaan, yaitu tentang apa-apa yang disampaikan oleh wajib pajak. Kerahasiaan atas informasi keuangan ini merupakan hak wajib pajak yang di berbagai negara dicantumkan dalam suatu, misalnya di Inggris tax payer charter. Kemudian di Kanada sebagai declaration of tax payer’s right, di Perancis Charter du Contribuable dan di New Zealand Statement of principles, sedangkan di banyak negara dicantumkan di dalam undang-undang pajaknya. Kerahasiaan wajib pajak ini juga kadang-kadang sering dicampuradukkan dengan rahasia jabatan (professional secrecy) dari pejabat pajak nampaknya bukanlah bersifat privilege atau istimewa karena sudah merupakan hal yang biasa dan lazim berlaku dalam sistem
41
perpajakan. Financial secrecy dengan berbagai unsurnya di Amerika Serikat dianggap sebagai hak asasi yang harus dilindungi dari campur tangan negara atau orang lain. Secrecy tersebut berkaitan erat dengan kebebasan individu yang harus dilindungi oleh suatu negara yang menganut sistem yang demokratis. Perlindungan terutama diberikan terhadap kemungkinan adanya campur tangan penguasa yang mempunyai kekuasaan mengakses data. Apabila tidak ada perlindungan maka akan sangat mudah bagi penguasa untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri. Kita semua ini sebetulnya juga adalah pembayar pajak, karena kami percaya bahwa semua hadirin mempunyai penghasilan jauh di atas PTKP dan ber-NPWP. Kalau hari gini belum mempunyai NPWP apa kata dunia? Karena itu rahasia wajib pajak juga rahasia kita semua yang harus dilindungi secara hukum oleh negara dalam hal ini Ditjen Pajak apabila sesuai dengan misinya Dirjen Pajak ingin menjadi model yang dapat dipercaya. Nampaknya beberapa alasan mengapa perlu adanya rahasia perpajakan termasuk: (1) sesuai dengan kelaziman dan praktik terbaik internasional, (2) menghormati (respect) atas hubungan ’kontraktual politik’ antara negara sebagai pemegang yurisdiksi pemajakan dengan masyarakat pembayar pajak, (3) melindungi privasi wajib pajak yang merupakan suatu hak asasi manusia dari campur tangan negara dan pihak lain. (4) Melindungi hak wajib pajak dari kesewenang-wenangan penguasa dan orang lain sebagaimana yang diamanatkan Konstitusi, (5) Memberikan kepastian hukum atas hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak sebagaimana diamanatkan Konstitusi, (6) Meningkatkan kepatuhan perpajakan masyarakat pembayar pajak sebagai tulang punggung suksesnya sistem self assesment, (7) Membangun kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan kredibilitas sistem perpajakan dan administrasinya sesuai dengan visi yang diembannya. Namun perlu disadari bahwa sama dengan presumsi yang menyatakan bahwa hampir tidak ada kekuasaan absolut di suatu negara demokratis manapun, demikian pula tidak ada perlindungan mutlak atas kerahasiaan wajib pajak. Artinya bahwa dengan kualifikasi tertentu atau atas nama kepentingan tertentu terdapat pengecualian kapan informasi yang bersifat rahasia pribadi milik wajib pajak dapat diungkapkan. Rahasia perpajakan pada umumnya dapat dibuka dalam beberapa hal: (1) proses penyidikan, apabila penyidikan ingin mengetahui informasi perpajakan calon tersangka, (2) sidang pengadilan, apabila dibutuhkan saksi dari pejabat pajak atau hakim ingin mengetahui informasi perpajakan terdakwa, (3) persetujuan wajib pajak,
42
(4) kepentingan penghitungan pajak, (5) kerjasama nasional dan internasional dalam pertukaran informasi, dan (6) hal-hal tertentu lainnya sesuai dengan ketentuan dalam undangundang. Rahasia wajib pajak ini sudah ada di Indonesia sebelum zaman kemerdekaan, jadi ini tercantum dalam Pasal 44 Ordonansi Pajak Perseroan 1925. Kemudian di dalam reformasi perpajakan tahun 1983 ini disatukan di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam ketentuan sebelum reformasi tahun 1983 tidak ada kualifikasi atau ketentuan kapan rahasia perpajakan dapat diungkapkan. Setelah reformasi tahun 1983 sampai sekarang terdapat beberapa kualifikasi pengungkapan kerahasiaan, yaitu apabila: (1) diperlukan keterangan saksi atau ahli dalam sidang pengadilan, (2) diperlukan keterangan oleh lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara, (3) untuk kepentingan negara, (4) untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan. Bapak Ketua Majelis yang kami hormati Kami ingin membacakan analisis kami tentang keseluruhan Pasal 34 karena ini saya anggap penting, tentang bunyi pasalnya dan penjelasannya kami tidak bacakan. Menurut pemahaman kami analisis pengaturan dalam keenam ayat dari Pasal 34 tersebut kira-kira adalah sebagai berikut, kalau ayat (1) dan (2) menyuratkan aturan pokok (main rule) tentang professional secrecy (larangan jabatan untuk pejabat dan tenaga ahli) dan tax secrecy (kerahasiaan wajib pajak), maka ayat (2a), (3), dan (4) merupakan kualifikasi atau pengecualian (exception clause) terhadap aturan pokok dan ayat (5) merupakan pembatasan dan penegasan atas ketentuan pada ayat (4). Dalam rangka menyelaraskan dengan kebiasaan praktik internasional, melindungi kebebasan individu dalam negara demokratis, melindungi hak asasi, hak milik dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat wajib pajak sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi, ayat (1) dan (2) melarang pejabat dan tenaga ahli untuk memberitahukan kepada pihak lain ’segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan peraturan perundangundangan perpajakan’ yang dilarang untuk diberitahukan tersebut menurut Penjelasan ayat (1) disebut dengan ’kerahasiaan wajib pajak’. Kerahasiaan Wajib Pajak termasuk SPT dan sebagainya sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan ayat (1), dan keterangan yang berupa identitas wajib pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan ayat (2a). Kerahasiaan wajib pajak ini semula adalah merupakan masalah privat
43
(hak pribadi), tetapi karena telah dititipkan kepada pemerintah (memasuki ranah publik) maka dianggap sebagai hak asasi yang sudah ada sejak lahir. Karena sudah memasuki ranah publik maka cara mempertahankan hak wajib pajak atas perlindungan kerahasiaan tersebut dilakukan melalui oleh hukum pidana dengan delik aduan. Selaras dengan kaidah tersebut, maka menurut ketentuan Pasal 41 Undang-Undang KUP kepada pejabat dan tenaga ahli yang karena kealpaannya atau kesengajaannya telah menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban merahasiakan kerahasiaan wajib pajak diancam dengan sanksi pidana, sesuai dengan kelaziman kerahasiaan wajib pajak juga bukanlah sesuatu yang mutlak namun dalam kondisi tertentu dapat diungkapkan, yaitu apabila: (1) menjadi saksi atau ahli dalam sidang pengadilan (ayat (2a) huruf a), (2) memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara (ayat (2a) huruf b), (3) untuk kepentingan negara (ayat 3), (4) untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan (ayat (4) dan (5). Memberitahukan kerahasiaan wajib pajak kepada pihak lain (baik karena alpa atau sengaja pada dasarnya adalah suatu kesalahan yang diancam dengan pidana badan (kurungan atau penjara) dan pidana denda sesuai dengan Pasal 41 KUP. Namun agar terpenuhinya keperluan kesaksian di pengadilan, pemeriksaan di bidang keuangan negara, kepentingan negara, dan kepentingan pemeriksaan di pengadilan. Undang-Undang KUP mengecualikan dari tuntutan pidana dimaksud atas ’pelanggaran’ pengungkapan rahasia yang dilakukan oleh pejabat atau tenaga ahli (yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak) dalam rangka melaksanakan undang-undang atau menjalankan perintah jabatan oleh pejabat yang berwenang sesuai Pasal 51 (1) KUHP. Pintu pengecualian untuk dapat mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak ini untuk mudahnya kami kelompokkan menjadi empat yaitu: (1) pintu kesaksian (ayat (2a) huruf a), (2) pintu pemberian keterangan kepada pejabat pemeriksa dalam bidang keuangan negara (ayat (2a) huruf b), (3) pintu kepentingan negara (ayat (3)), dan (4) pintu kepentingan pemeriksaan di pengadilan (ayat (4) dan 95)). Apa yang disebut dengan kerahasiaan wajib pajak ini diuraikan dalam penjelasan ayat (1) dan ayat (2a). Sebelum memberikan penjelasan tentang seberapa lebar pintu satu dan dua dapat dibuka, sebaiknya kita lihat dulu penjelasan ayat (2a). Menurut pemahaman kami penjelasan ayat (2a) secara tersurat menguraikan istilah ’keterangan’. Karena istilah ini hanya ada pada ayat (2a) huruf b, nampaknya uraian dimaksud ditujukan untuk menjelaskan ketentuan huruf b ketimbang huruf a. Profesor van Raad dan Victor Tulonji menyatakan beberapa premis dalam menyusun ketentuan perpajakan
44
termasuk (1) kejelasan (clarity) atau understandability dan (2) kemudahan penerapan (simplicity of operation) atau sering disebut efficiency of obligation agar jelas dan gamblang tentang apa yang dimaksud dengan istilah ’keterangan’ dalam ayat (2a) dan mudah dilaksanakan maka dalam Penjelasan dirumuskan tentang istilah ’keterangan’ sebagai identitas wajib pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Selanjutnya untuk mempermudah pelaksanaan pemberian keterangan oleh pejabat dan tenaga ahli maka istilah identitas wajib pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan diberikan pengertian dalam bentuk listing approach. Sehingga dengan demikian di dalam penjelasan bisa kita lihat antara lain adalah penerimaan pajak per kanwil, per KPP, per jenis, per sektor dan sebagainya. Jadi sekali lagi diberikan penjelasan tentang penerimaan pajak per kanwil, per KPP, per jenis, per sektor usaha dan sebagainya. Sehingga dengan demikian mempermudah para pihak yang ingin memeriksa penerimaan pajak. Pendekatan daftar atau listing approach demikian dalam pelaksanaannya lebih mudah dari pendekatan definisi lainnya. Misalnya ada pendekatan definisi secara konseptual, tautalogis, eksemplaris, atau daftar negatif. Pendefinisian dengan listing approach ini ternyata juga dipakai oleh undang-undang lain, misalnya—mohon maaf Bapak ketua Majelis, penjelasan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kemudian Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Bertitik tolak dari pemahaman di atas, dalam rangka menegakkan keadilan seadil-adilnya karena menyangkut hak asasi (Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945) maka agar sesuai dengan fakta kesaksian pintu satu, yaitu ayat (2a) huruf a secara otomatis terbuka dan memberikan kebebasan pada pejabat dan tenaga ahli untuk memberikan kesaksian dan pendapat keahliannya. Pintu dua yaitu ayat (2a) huruf b, ini walaupun juga sama dengan pintu satu otomatis terbuka, namun daun pintu hanya selebar kerahasiaan wajib pajak yang berupa keterangan dalam bentuk identitas wajib pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan seperti dielaborasi dalam penjelasan. Untuk terlaksananya pemberian keterangan dimaksud, karena pejabat pajak itu jumlahnya puluhan ribu, saya kira lebih dari tiga puluh ribu, apalagi ditambah dengan tenaga ahli, maka Menteri Keuangan sebagai wakil negara, pemegang dan pelaksana yurisdiksi perpajakan serta pejabat berwenang menetapkan pejabat atau tenaga ahli dimana sebagai personal in charge atau pelayan yang harus memberikan pelayanan. Sekali lagi, Menteri Keuangan menetapkan pejabat atau tenaga ahli mana sebagai personal in charge atau sebagai pelayan yang memberikan pelayanan. Bukankah peraturan dibuat untuk menertibkan ketertiban? Kalau tidak ada penetapan demikian maka aturan menjadi tidak jelas dan bisa semrawut tentang siapa yang harus melayani? Bisa
45
jadi semua pejabat akan menghindar dari perbuatan yang berpotensi salah dapat diadukan dan diancam dengan sanksi pidana ini. Berbeda dengan pintu satu dan dua yang terbuka otomatis, untuk membuka pintu 3 ayat (3) dan ayat (4), pejabat dan tenaga ahli memerlukan suatu prosedur berupa izin tertulis dari pemegang yurisdiksi pemajakan yang diemban oleh Menteri Keuangan sebagai pejabat yang berwenang. Pintu tiga atau ayat (3) terbuka untuk berbagai pihak yang berurusan dengan kepentingan negara. Misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka kerja sama dengan instansi pemerintah lainnya. Karena istilah kepentingan negara dijelaskan secara eksemplaris dengan kata misalnya, berarti pengertian kepentingan negara tidak hanya tiga unsur itu saja. Kerahasiaan wajib pajak yang dapat diberikan dan diperlihatkan lewat pintu tiga ini adalah yang sebagaimana diuraikan dalam penjelasan ayat (1) yaitu termasuk SPT dan sebagainya. Kepada para peminat keterangan dan bukti, untuk kepentingan negara, harus melalui suatu prosedur. Harus melalui suatu prosedur yang memungkinkan terbitnya izin tertulis Menteri Keuangan kepada pejabat ahli atau tenaga ahli. Mengapa pelayan di pintu tiga dan empat ini perlu mendapat izin dari Menteri Keuangan? Paling kurang ada dua alasan: 1. Sesuai dengan Paal 51 KUHP untuk melepaskan dari sanksi pidana diperlukan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang. 2. memberikan hak kepada Menteri Keuangan, berdasar pertimbangan tertentu, memungkinkan untuk lebih fokus pemberian izin kepada hal-hal yangdipandang perlu saja. Prosedural perizinan demikian adalah sudah lazim berlaku di berbagai negara, misalnya di Amerika (Internal Revenue Code section 6103) dan di Netherland. Akhirnya pintu empat yaitu ayat (4) dan (5) terbuka untuk kepentingan pengadilan (pemeriksaaan) dalam perkara pidana atau perdata dan dapat dibuka oleh pejabat dan tenaga ahli berdasar izin tertulis Menteri Keuangan atas permintaan hakim ketua sidang. Pintu empat dapat terbuka seluas keterangan perpajakan (rahasia perpajakan) tersangka, sehubungan dengan perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan. Bapak Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi serta hadirin sekalian yang kami hormati. Berdiri di depan empat pintu, pengungkapan kerahasiaan Wajib Pajak tersebut di muka menurut pemahaman kami pejabat lembaga negara yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara sudah jelas tanpa ragu-ragu secara otomatis dan bebas mandiri dapat masuk pintu dua ayat (2a) huruf b dilayani oleh pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk mendapatkan keterangan yang berupa identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Apabila keterangan
46
yang didapat dari pintu dua (ayat (2a) huruf b) tersebut dirasa kurang cukup, walaupun sudah mempergunakan teknik dan prosedur pemeriksaan alternatif semaksimal mungkin dan masih menginginkan mendapat pengungkapan tentang kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan ayat (1), karena menurut hemat kami pemeriksaan, pengelolaan, dan tanggung jawab tentang keuangan negara juga masih dalam rangka kepentingan negara, pejabat lembaga negara yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara dapat masuk lewat pintu tiga (ayat (3)) yang dilayani oleh pejabat dan atau tenaga ahli yang mendapat izin tertulis Menteri Keuangan. Masuk lewat pintu tiga ayat (3) rasanya lebih elegan dan terhormat sesuai dengan undang-undang, ikut menegakkan tertib hukum, melindungi hak milik individu, menjamin kepastian hukum, mewujudkan kebebasan individu dalam sistem negara yang demokratis, menghindari kesewenang-wenangan terhadap wajib pajak yang adalah rakyat dan kita semua yang ada di sini, menegakkan kehormatan, harkat, dan martabat perpajakan Indonesia dalam tatanan yang sama dengan negara-negara pemungut pajak lainnya dan menegakkan integritas, kredibilitas dan trustworthiness sistem perpajakan kita di hadapan masyarakat pembayar pajak. Menurut ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP, Direktorat Jenderal Pajak merupakan pejabat yang berwenang melakukan pemeriksaan pajak. Dalam penjelasan ayat itu disebutkan bahwa pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan antara lain dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan (SPT). Dengan demikian, kegiatan penelusuran kebenaran SPT sudah dapat dianggap merupakan pemeriksaan pajak yang menurut ketentuan Pasal 29 ayat (1) UndangUndang KUP kewenangannya hanya ada pada Dirjen Pajak. Oleh karena itu, apabila para pemeriksa lembaga keuangan ingin ikut berperan serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak, para pejabat lembaga yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara dimungkinkan untuk dapat ditunjuk menjadi tenaga ahli oleh Dirjen Pajak atas kuasa yang tersirat dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2). Sehingga dengan demikian mereka dapat melakukan pemeriksaan pajak dengan penelusuran kebenaran SPT. Sebagai ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak mereka juga terikat dengan ketentuan rahasia jabatan dan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang KUP. Demikian keterangan yang dapat kami sampaikan, atas perhatian Yang Mulia Bapak Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi serta hadirin sekalian kami haturkan terima kasih. 72.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih.
47
Jadi sekarang sudah pukul 11.40 Saudara-Saudara masih ada dua lagi ya, apa kita mau teruskan masing-masing lima menit? Begitu? Siapa lagi dari Pemohon, silakan nanti satu dari Pemerintah, silakan. 73.
AHLI DARI PEMOHON : AHMADI HADISUBROTO Ketua Majelis yang saya hormati, dan para Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, Bapak-Bapak dan Ibu dari Pemerintah, dan juga dari BPK, serta para ahli.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Keberadaan saya siang ini di Majelis ini merupakan suatu tugas yang luar biasa berat buat saya. Karena saya berada di antara temanteman sendiri, senior saya sendiri Bapak Darjono, dan juga kolega ayah saya sendiri (almarhum) yang kita semua sebetulnya berada dalam satu lingkup keluarga ataupun profesi yang berdekatan. Kehidupan profesional saya juga tergantung dari Ibu Menteri Keuangan, karena izin praktik saya beliau yang menerbitkan. Namun dari berbagai pembahasan atau mungkin saya bisa sampaikan saya tergerak untuk mulai melibatkan diri di sini ketika saya kaget membaca berita di koran mengenai liputan Sidang Mahkamah, ini yang pertama. Saya melihat bahwa berbagai komentar-komentar, berbagai argumentasi yang dikemukakan kok sepertinya ada yang hilang. Yang paling basic-nya tidak tersinggung dan kemudian kita semua lari kepada masalah-masalah formal. Saya ingin mencoba juga hari ini kita lihat demikian dan ada di sana-sini juga timbul nuansa-nuansa kecurigaan yang seharusnya tidak kita lakukan, sebab kalau memang ada kekhawatiran akan ada yang menyimpang di sinilah tempatnya kita untuk membuat pagar-pagarnya bukan kemudian kita menghindar dari sana. Senior saya yang saya sangat hormati Bapak Billy Yudono sangat tepat sekali dan juga tadi Pak Soedarjono yang bersama-sama dengan Pak Kanaka, Pak Sudaryono adalah penasihat di Ikatan Akuntan Indonesia, Pak Kanaka adalah Ketua Majelis Kehormatan di Ikatan Akuntan Indonesia, saya tidak berani untuk bertentangan dengan mereka. Tetapi kebetulan saya sependapat kita tidak punya masalah di dalam audit laporan keuangan Pak. Itu jelas tadi Pak Billy sudah mengatakan gunakanlah SSP, SSP itu dokumen negara bisa diperiksa, itu bukan dokumen wajib pajak selesai untuk laporan keuangan Pak. Saya meminta dari teman-teman di BPK saya mau lihat Anda punya audit prosedur saya teliti tidak ada minta SPT di sini untuk audit laporan keuangan. Kalau kemudian mereka minta itu berarti di lapangan ada yang masih harus diluruskan dalam pedomannya tidak diminta. Jadi SSP audit laporan keuangan tetapi yang saya lihat Pak Billy tidak menyinggung tentang audit kinerja. Pak Soedarjono juga tidak menyinggung soal audit kinerja, tapi kok ada nuansa seperti khawatir bahwa BPK masuk memeriksa wajib pajak. Saya ingin mengingatkan kita semua kebetulan juga mewakili Kadin itu adalah rekan-rekan yang ahli dalam bidang konsep perpajakan mungkin mereka bisa meng-confirm,
48
pertama tidak ada kewenangan BPK untuk memanggil, meminta data, meminta keterangan dari wajib pajak dimanapun tidak ada sama sekali, tidak ada di dokumen apapun. Tidak ada kewenangan BPK untuk menerbitkan surat ketetapan pajak, tidak ada satu undang-undangpun yang memberi kewenangan kepada mereka. Kemudian apabila terhadap SPT yang diberi wajib pajak telah diterbitkan surat ketetapan pajak tidak ada yang bisa mengubahnya lagi kecuali hanya dua hal, pertama ada salah ketik, salah hitung, dilakukan pembetulan SPT oleh fiskus. Kedua kalau ada data baru oleh fiskus juga, jadi BPK tidak bisa apa-apa di sini Pak. Tidak punya kewenangan, tidak bisa memaksakan untuk mengubah SPT, saya bingung kenapa dari tadi bicaranya mengenai kekhawatiran mengenai rahasia dan sebagainya seolah-olah wajib pajak nanti akan menjadi sangat ketakutan, seolaholah kemudian nanti investasi akan terganggu. Ini semua tadi benar tidak ini semua ada? Benar tidak itu semua dilindungi? BPK tidak bisa kemana-mana, yang bisa mereka lakukan adalah melakukan audit kinerjanya dan kemudian itu adalah kaitan mengenai pejabat, tidak sama sekali masuk kepada wajib pajak, tidak bisa dan kalau mereka mencoba untuk itu saya juga akan nomor satu berdiri di sini untuk mengatakan Anda tidak punya kewenangan untuk itu. Jangan coba-coba masuk ke sana, tapi di sisi lain saya melihat ada kecenderungan juga seolah-olah SPT wajib pajak itu dengan mengatakan ini sebagai property right dan sebagainya dibuat seolaholah menjadi suatu benda yang sedemikian sakralnya Pak sehingga harus ditempatkan di ruangan yang gelap karena dipandang saja tidak boleh, ini yang saya lihat Pak dengan segala macam teorinya. Property right itu sendiri kalau dipakai orang hanya untuk tujuan pribadi yang punya right-nya itu tidak masalah. Tapi kalau dipakai untuk keuntungan dia itu baru kemudian timbul kasus, kita banyak memperoleh software yang jelas-jelas dikatakan sepanjang Anda pakai untuk diri Anda pribadi tidak masalah. Oleh karena itu saya cuma minta Pak marilah kita lihat masalah ini dalam proporsinya yang diinginkan oleh teman-teman dari BPK berilah mereka kebebasan yang terbatas tentunya dalam batas kewenangan yang dipunyai, janganlah mereka kalau mau masuk menunggu dulu surat izin keluar atau tidak. Betul memang harus ada prosedur, betul memang menteri keuangan harus menentukan siapa yang berwenang tapi kewenangan itukan bisa ditetapkan di depan, karena sebetulnya kewenangan itukan harus diberikan kepada ex officio pejabat bukan kepada orang perorang, sehingga dari depan sudah bisa diberikan. Kalau demikian rasanya tidak ada masalah. Jadi kalau kita melihat situasinya Pak persoalannya adalah asal muasalnya perlu saya lihat ada keyakinan bagi teman-teman di Direktorat Jenderal Pajak dan di pemerintah dan saya sangat berterima kasih di sini perlindungan maksimal terhadap wajib pajak senang saya mendengarnya, tapi kemudian sampai batas mana kita harus melindungi ini? BPK mencoba
49
masuk kelihatannya hanya bisa melalui Pasal 34 kebentur, timbullah di sini. Kemudian dibawa embel-embelnya lagi muncul kekhawatiran yang barangkali memang terjadi akibat adanya akses-akses yang dimana pun terjadi, mungkin ada petugas kita yang barangkali over acting kemudian minta ke mana dan juga memaksa dan sebagainya, nah inilah yang harusnya kita bereskan tapi hak yang krusial tadi itu jangan kita batasi dan jangan kita bawa isunya sedemikian sakralnya bahwa kalau SPT itu adalah property right kalau cuma sekedar dilihat atau diambil angkanya di dalam rangka pengecekan apakah wajib pajak dirugikan? Apakah wajib pajak kemudian menjadi telanjang? Tidak menurut saya. Ini yang mungkin saya bisa sampaikan terima kasih.
Assalamu’alaikum wr. wb.
74.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Okey sudah tiga ya? Terakhir dulu baru setelah itu, oh ya pemerintah dulu setelah itu siapa?
75.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.Hum (KASUBDIT PENDAMPINGAN PERSIDANGAN DEP. HUKUM DAN HAM) Izin Yang Mulia, pemerintah tadi Pak Kanaka dengan Pak Soedarjono itu keterangannya sudah digabung menjadi satu, jadi izinkan kalau Ketua mengizinkan waktu beliau itu di-change Ibu Menteri Keuangan untuk memberikan penjelasannya, terima kasih.
76.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan Ibu Menteri, setelah itu nanti Pemohon dengan ahli yang tadi ditanya (....)
77.
PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Terima kasih Pimpinan. Supaya momentumnya tidak hilang yang dikatakan oleh ahli terakhir Pak Ahmadi Hadisubroto itu exactly yang selama ini operasional. Jadi kami juga sebetulnya kalau berbicara tidak memahami kami juga tidak memahami kenapa menjadi masalah? Karena seperti yang dikatakan Pak Gunadi pintunya bahkan specially design for BPK Pasal 34 ayat (2a) itu adalah at the request of BPK untuk mendapat, makanya disebut 2a itu Pasalnya 34, 1, 2 terus ada sisipan 2a tiba-tiba tadinya originally adalah 1, 2, 3, 4, 5. Jadi kita juga sebetulnya tidak tahu dalam hal ini BPK masih merasa kewenangan untuk mengaudit segala seperti yang dijelaskan oleh ahli terakhir itu semuanya adalah tidak dihalangi.
50
Kami ingin kembali mengatakan bahwa kalau kita berbicara kekisruhan antar undang-undang, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 dalam hal ini mengenai pemeriksaan dan pelaporan, di situ jelas disebutkan BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawas intern pemerintah. Jadi yang disebut frasa mengenai tadi instansi pemerintah lain di-recognize dan bahkan BPK sebetulnya dapat memanfaatkan yang disebut hasil pemeriksaan inten aparat pengawas pemerintah. Salah satu penyebab mengapa kita dianggap disclaimer itu karena BPK mengatakan sistem pengendalian intern pemerintah dianggap belum mengikuti. Jadi malah kita mau membangun sesuai apa spirit pengelolaan keuangan negara sesuai dengan rambu-rambu yang memang bertebaran di beberapa undang-undang. Tetapi mungkin kita mencoba mengharmoniskan mungkin dengan beberapa kekurangan terhadap keharmonisan secara, tadi saya tidak tahu disebut literal, gramatikal, atau kalimat segala macam. Tapi yang kita laksanakan secara empiris, faktual adalah mencoba untuk melayani keseluruhan kepentingan. Tadi juga kami ingin menyampaikan dan menanyakan atau mempertegas juga, ”Menteri Keuangan dalam hal ini menetapkan”. Bukan dalam hal ini untuk memberikan atau menetapkan pejabat BPK itu boleh atau tidak boleh. Kami tidak berwenang, BPK secara institusi bebas dan mandiri, bahkan disebutkan satu-satunya yang ada dua kalimat, bebas dan mandiri. Kita tidak berhubungan untuk mengatakan BPK boleh atau tidak boleh. Menteri Keuangan sebagai pengelola keuangan negara, atasan tertinggi adalah memberi izin kepada pejabat kami, bawahan saya, bukan kepada BPK, itu adalah amanat Pasal 34 ayat (2a) dan ayat (3) serta ayat (4). Dalam hal ini menurut saya interpretasi itu penting, bukan intervensi. Kami membolehkan, itu adalah pasal yang meng-allow memperbolehkan bahkan itu yang disebut kalimat pintu terbuka. Jadi prosedur adalah ada, jadi dalam hal ini kami ingin menyampaikan bahwa apa yang kita lakukan secara faktual di dalam mencoba menjaga hubungan kerja yang harmonis dalam hal ini misi untuk membuat balancing antara dua hal yang disebutkan ahli kami Pak Hakim Garuda Nusantara, yaitu balancing antara menjaga properti atau hak property right dari wajib pajak. Versus keinginan untuk melayani publik, kita coba harmoniskan termasuk dalam hal ini untuk memenuhi fungsi dari BPK sebagai institusi eksternal auditor, satu, tapi itu tidak meng-eliminate internal auditor di dalam instansi institusi dimana saja. Setiap institusi yang ingin menegakkan good governance memiliki internal auditor. Itu tidak memiliki competing dan contesting satu internal auditor yang disebutkan di Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu Pemerintah ingin menegaskan karena saya sangat, merupakan murid yang paling baik dari Pak Jimly dari awal mengatakan perkara ini adalah perkara mengenai ayat. Kami merasa tidak diadili, kami menjalankan fungsi, kalau melebar kemana-mana ini juga bukan masalah berhubungan dengan instansi atau personal atau
51
pejabat siapapun. Tapi kami pure ingin menjalankan seluruh fungsifungsi itu dalam hal menjaga amanat Konstitusi yaitu menjaga wajib pajak dari sisi kerahasiaan dan hak asasinya dan menjaga kepentingan publik. Saya rasa para ahli yang disampaikan oleh Pemohon sebetulnya dalam hati sangat setuju dengan saya. Jadi saya sangat senang dengan seluruh pandangan para ahli itu karena makin menegaskan posisi bahwa Pasal 34 ayat (2a) sebetulnya tidak melanggar Konstitusi, justru dia memberikan pintu bagi BPK untuk mendapatkan prosedur yang cukup otomatis dan akses untuk dapat menjalankan fungsi auditor eksternalnya. Itu yang bisa kami tambahkan (…) 78.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Mungkin bisa ditambah sedikit tadi yang terakhir tadi. Bagaimana kalau izin itu di depan? Jangan di belakang, sehingga izin itu sekaligus misalnya ada penugasan. Inikan rutin ini pemeriksaan keuangan.
79.
PEMERINTAH : DR. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Kami punya PMK Nomor 510 adalah exactly apa yang dikatakan Pak Ahmadi Hadisubroto, jadi kami sudah lari jauh banget Pak Hakim (…)
80.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sudah di depan?
81.
PEMERINTAH : DR. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Sudah sangat di depan, bahkan sudah loncat dalam hal ini.
82.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sebentar, jadi boleh nanti PMK-nya dikirimkan juga karena samasama PMK ini. Di Mahkamah Konstitusi juga ada PMK—Peraturan Mahkamah Konstitusi.
83.
PEMERINTAH : DR. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Dalam bukti yang dalam dua belas koper itu ada Pak Hakim.
52
84.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oh ada ya? Baik, satu koper pun belum dibuka ini.
Saya silakan Pemohon bagaimana mengaturnya termasuk tadi barangkali tadi ahli yang tadi ditanya yang perlu memberikan jawaban, silakan. 85.
KUASA HUKUM PEMOHON : HENDAR RISTIAWAN Terima kasih Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Kalau kita misalkan bahwa tadi sudah disampaikan oleh Pak Ahmadi. Memang ini kelihatanya ada black box yang belum terbuka ini. Yang disampaikan oleh para ahli dari Pemerintah walaupun di awalnya menyatakan bahwa ada tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, tetapi ujung-ujungnya yang dijelaskan adalah hanya pemeriksaan keuangan yang tujuannya untuk memberikan opini. Dan itupun, baik pemerintah, baik ahli yang diajukan tadi juga setuju bahwa untuk melakukan pemeriksaan keuangan itu BPK bisa memperoleh data-data surat setoran pajak. Sebagai satu ilustrasi barangkali perlu kami sampaikan, pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan atas laporan tentang pemeriksaan keuangan pemerintah salah satu tujuannya adalah untuk menguji kewajaran penerimaan pajak yang dilaporkan di dalam laporan realisasi anggaran pemerintah. Termasuk di dalamnya adalah menguji apakah piutang pajak yang disajikan dalam neraca pemerintah itu juga wajar jumlah yang disajikannya. Secara sederhana pengujian itu dilakukan, misalkan diakui bahwa penerimaan pajak di laporan realisasi anggaran pemerintah itu katakanlah 400 miliar, tentunya BPK memerlukan buku yang mencatat jumlah 400 miliar tersebut. Sebagai contoh, empat triliun, ini hanya sebagai ilustrasi saja. Kemudian dari buku, setelah dicocokkan oke, yang dicantumkan dalam laporan betul, sama dengan buku tentunya BPK secara sampling memerlukan buktibukti pembukuan antara lain adalah surat setoran pajak tersebut. Pertanyaannya adalah apakah surat setoran pajak yang diperlukan untuk audit laporan keuangan yang diperlukan itu diperbolehkan kepada BPK menurut penjelasan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan? Pemohon berpendapat bahwa penjelasan pasal tersebut tidak memungkinkan Pemerintah untuk memberikan surat setoran pajak. Ini pemeriksaan laporan keuangan terhadap akun penerimaan pajak. Kemudian untuk menguji piutang pajak termasuk katakanlah restitusi, salah satu munculnya hak negara terhadap wajib pajak atau piutang pajak itu adalah karena diterbitkannya surat ketetapan pajak yang tadi disebutkan oleh Pak Gunadi bahwa terbitnya ini karena adanya data baru sehingga fiskus menerbitkan ketetapan pajak dalam sistem self assessment ini.
53
Nah untuk menguji kewajaran angka yang ada di neraca ini setelah melihat pembukuannya terhadap jumlah piutang pajak itu tentunya kita memerlukan bukti pembukuannya. Bukti pembukuan ini adalah ketetapan pajak ataupun ketetapan pajak kurang bayar dan sebagainya. Pertanyaannya adalah apakah data-data ini menurut penjelasan Pasal 34 ayat (2a) itu bisa diberikan oleh petugas pajak kepada auditor? Jawaban Pemohon atau pendapat Pemohon, itu tidak mungkin bisa diberikan. Artinya sebetulnya antara Pemerintah, antara ahli, dengan antara Pemohon sepakat bahwa untuk kegiatan audit diperlukan data-data itu. Persoalannya adalah undang-undang melarang kepada petugas pajak untuk memberikan data-data yang diperlukan untuk kegiatan audit. Mohon izin (...) 86.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Bagaimana ini sudah pukul 12.00? Jadi berarti nanti yang ahli untuk mengomentari kembali nanti saja setelah jeda. Biar kita selesaikan dulu ini tapi jangan juga terlalu molor, silakan
87.
KUASA HUKUM PEMOHON : HENDAR RISTIAWAN Tadi telah kami sampaikan bahwa di awal penjelasan para ahli yang terhormat itu menjelaskan tentang jenis-jenis pemeriksaan BPK, tetapi pada akhir hanya menjelaskan tentang jenis pemeriksaan keuangan dan pada akhir juga menjelaskan seolah-olah pemeriksaan BPK itu hanya untuk melihat SPT, surat pemberitahuan pajak tahunan itu. Dalam jenis pemeriksaan kinerja saya mengambil contoh bahwa menurut suatu prosedur audit yang ada di BPK itu BPK perlu melakukan audit terhadap kinerja penagihan piutang pajak. Untuk melihat kinerja penagihan piutang pajak yang dilakukan oleh Pemerintah tentunya BPK kembali kepada bukti-bukti ketetapan pajak kurang bayar atau ketetapan pajak tambahan dan sebagainya. Bagaimana petugas pajak melakukan pemeriksaan yang kemudian menghasilkan ketetapan pajak kurang bayar, dinilai apakah betul hitung-hitungan di ketetapan pajak kurang bayar ini sudah sesuai dengan yang seharusnya? Jadi BPK hanya melihat pada dokumen hasil kerja petugas pajak di dalam melakukan pengawasan terhadap wajib pajak. Kalau kemudian kita lihat Majelis Hakim yang mulia, surat pemberitahuan pajak, ini pertanyaannya adalah apakah data-data misalkan yang di huruf “a” ini penghasilan kena pajak yang digunakan sebagai dasar menghitung pajak, itu merupakan data yang diklasifikasi sebagai data pribadi? Bukankah di dalam data mengenai penghasilan kena pajak ini ada hak negara untuk memungut pajak yang seharusnya bisa diperiksa oleh BPK, apakah hak negara itu telah betul-betul telah dilaksanakan oleh petugas pajak? Kemudian ada data mengenai PPh terhutang, ini ada juga hak negara yang perlu diyakini kewajarannya. Inilah yang saya maksud black box itu yang
54
seolah-olah ini tadi oleh Pak Ahmadi dikatakan sebagai satu barang yang sakral yang tidak boleh disentuh sama sekali bahkan dilihat, tetapi kalau kita kemudian melihat data-data yang diperlukan oleh audit itu hanya data seperti ini, apakah juga tidak dibolehkan? Kita kembali kepada tugas BPK yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang di dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dikatakan bahwa keuangan negara itu termasuk juga hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Sehingga dimana ada hak dan negara yang dapat dinilai dengan uang itu merupakan lingkup pemeriksaan BPK. Mungkin ini Majelis Hakim yang mulia, yang dapat kami sampaikan sebagai pengantar, terima kasih. 88.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Tapi mumpung masih hangat saya tanya yang tadi yang terakhir itu. Apakah izin Menteri Keuangan itu, di depan atau di belakang setiap kasus? Kalau di depan berarti ada penugasan pada petugas untuk melayani kebutuhan pemeriksa, apa itu memang begitu dalam praktik?
89.
KUASA HUKUM PEMOHON : HENDAR RISTIAWAN Tadi sudah dikatakan sebetulnya oleh Ibu Menteri bahwa izin-izin yang selama ini ditempuh oleh BPK itu menggunakan konstruksi Pasal 34 ayat (3) dan ini juga nanti pertanyaan untuk Prof. Gunadi yang dikatakan bahwa untuk bisa membantu Pemerintah maka pemeriksa bisa ditunjuk sebagai ahli. Ini satu pendapat yang menarik untuk kemudian bisa saya tanyakan nanti. Penggunaan Pasal 34 ayat (3) ini sebetulnya harus dilihat dari asbabul nuzul-nya kenapa kok BPK menempuh cara seperti itu? Karena pada waktu BPK melakukan pemeriksaan terhadap petugas pajak petugas pajak ini kemudian mengatakan bahwa belum mendapat izin dari Menteri Keuangan untuk memberikan data-data. Di lain pihak BPK dibatasi oleh waktu di dalam melakukan kegiatan pemeriksaan, selama dua bulan di dalam pemeriksaan laporan keuangan. Untuk mempercepat inilah kemudian BPK meminta kepada menteri keuangan untuk mengizinkan petugasnya memberikan data kepada BPK. Seperti bukti yang telah kami sampaikan kepada Majelis Mahkamah Konstitusi bahwa dari permohonan-permohonan izin ini rata-rata memerlukan waktu antara 197-200 sekian hari dan jawabannya sebagian besar tidak diizinkan, kami memahami kenapa? Karena memang pintu yang tadi dikatakan diberikan melalui Pasal 34 ayat (2a) ini terlalu sempit untuk bisa melakukan audit laporan keuangan, audit kinerja, dan audit dengan tujuan tertentu. Demikian Majelis, terima kasih.
55
90.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oke, Ibu menteri tetapi nanti ahli ya, termasuk Pak Hakim nanti
ya sesudah jeda. Ibu menteri, silakan. 91.
PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Tadi disampaikan (...)
92.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Saya usul begini Pak, karena dari kami ini ada beberapa pendapat yang ingin disampaikan, jadi usul saya diselesaikan dulu selain dari kolega saya ada dua, tiga pendapat lain yang ingin disampaikan, jadi sudah ada pembagiannya.
93.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Maksud saya begitu.
94.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Tidak, tidak Pak. Ada saya pikir limit waktunya juga harus diberikan yang sama dengan kami Pak Ketua, jadi jangan diberi kebebasan yang terlalu pada pihak lain tanpa membandingkan, jadi usul saya (...)
95.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Apa itu?
96.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Istirahat silakan tapi nanti selesai istirahat berikan kami juga kesempatan.
97.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Betul-betul. Ok, nanti jadi begitu istirahat nanti Saudara Pemohon lagi yang duluan bicara ya? Kita sebelum jeda ini Ibu menteri sudah tunjuk tangan dari tadi bagaimana Ibu menteri?
56
98.
PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Sebetulnya bukan privilege atau kebebasan tapi karena supaya alurnya tidak terputus Pemohon dalam hal ini. Jadi tadi disebutkan SSP dokumen ini yang dimintakan. Sebetulnya kalau memahami betul konstruksi di dalam pengelolaan keuangan negara dokumen SSP para Hakim yang terhormat, itu tidak masuk di dalam Pasal 34 ayat (1) restriksi itu, beliau-beliau mendapatkan karena dia ada di dalam Dirjen Perbendaharaan yang tidak subjek ke pasal itu. Jadi tidak lagi relevan mengenai bahwa dia merupakan dokumen yang harus mengikuti Pasal 34 ayat (1), (2) dan harus dikecualikan. BPK bisa memeriksa kepatuhan itu dengan melihat dan oleh karena itu di dalam keterangan Pemerintah kami menceritakan mengenai bagaimana pengadministrasian dari masuknya uang negara dikelola dari mulai bank persepsi seluruh dokumen ada di dalam Dirjen Perbendaharaan dimana di dalam hal itu BPK bahkan tanpa minta izinpun memang akan memeriksa. Untuk record kepada para Hakim yang terhormat, selama ini BPK belum pernah meminta kepada kami SSP. Jadi sebetulnya yang kita perkarakan apa sebetulnya dalam hal ini? Kalau memang BPK melakukan dan ingin melaksanakan seluruh hak konstitusinya, seluruh perundang-undangan akses informasi ada dan memang bisa didapatkan. Saya tidak melihat bahwa perkara ini adalah perkara yang memang dianggap fundamental yang disebut itu secara potensial menurut penalaran yang wajar akan menghalangi tugas dari BPK secara konstitusional. Setiap kali argumen muncul kami akan bisa menyampaikan bahwa secara realita faktual BPK tidak mendapatkan halangan apapun untuk mengaudit Dirjen Pajak atau seluruh pengelolaan keuangan negara, ini kami tegaskan. Terima kasih.
99.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Jadi kita istirahat dulu walaupun saya tahu ini sudah banyak yang mau ngacung, karena penting. Semuanya kok kiri kanan ini benar semua ini bagaimana ini? Oke, jadi nanti kita masuk pukul dua tepat tentu nanti Pemohon lebih dulu saya beri kesempatan. Baik dengan demikian sidang kita skors sampai pukul dua. KETUK PALU 2X
Assalamu’alaikum wr. wb. SIDANG DISKORS PUKUL 12.12 WIB
57
SKORSING DICABUT PUKUL 14.00 WIB
100. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik Saudara-Saudara, skorsing saya cabut. KETUK PALU 2X
Assalamu’alaikum wr. wb.
Selamat sore, salam sejahtera. Dan dengan ini sidang kita buka kembali saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum seperti sidang tadi pagi. Kita lanjutkan dengan memberi kesempatan kepada Pemohon untuk menyampaikan dulu tambahan catatan yang tersisa dari tadi pagi, saya silakan. 101. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Terima kasih Bapak Ketua Untuk membuat ini lebih efisien saya ada tiga orang yang akan memberikan tanggapan tapi waktunya sangat lama supaya efisien dimulai Pak Hendar langsung tadi atas pernyataan Ibu Menteri, terus nanti Bapak Novi kemudian baru saya yang terakhir mungkin tidak terlalu lama waktunya silakan Pak Hendar. 102. KUASA HUKUM PEMOHON : HENDAR RISTIAWAN Terima kasih. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Bukan maksud Pemohon untuk membawa persoalan ini kepada masalah teknis karena memang dari awal yang diajukan oleh Pemohon adalah ini masalah undang-undang, tetapi menanggapi apa yang disampaikan oleh Ibu Menteri tadi untuk memperjelas. Jadi kalau tadi Pemohon mencoba memperjelas bahwa ada dokumen-dokumen yang menurut undang-undang itu tidak bisa diberikan dengan mengambil suatu ilustrasi bahwa pemeriksaan atas laporan keuangan itu harus melihat pembukuan-pembukuan itu kemudian pada buku pembukuannya antara lain adalah SSP yang tadi dijelaskan oleh Ibu Menteri bahwa itu bisa diperoleh dari perbendaharaan. Tetapi di dalam praktik bahwa pembayaran pajak oleh wajib pajak itu dilakukan melalui bank persepsi dan bank persepsi ini bisa lintas KPP (Kantor Pelayanan Pajak) sehingga untuk menguji dokumen pembukuan dengan pembukuan yang ada di kantor pelayanan pajak kalau mendasarkan dokumen yang ada di perbendaharaan dokumen yang di perbendaharaan itu diklasifikasikan
58
per bank persepsi sedangkan yang dibutuhkan Dirjen Pajak adalah dokumen pembukuan per KPP, itu satu ilustrasi. Ilustrasi kedua bahwa di dalam angka penerimaan yang dicantumkan di dalam laporan keuangan pemerintah itu di dalamnya juga ada angka restitusi, pengembalian pajak. Angka restitusi ini dokumen pembukuannya antara lain adalah surat ketetapan pajak lebih bayar yang dibuat oleh fiskus berdasarkan SPT lebih bayar yang diajukan oleh wajib pajak, dokumen-dokumen seperti ketetapan pajak lebih bayar ini sebagai satu bukti untuk menilai kewajaran angka penerimaan menurut penjelasan Pasal 34 ayat (2a) itu tidak bisa diberikan. Itu tambahan penjelasan, terima kasih Majelis. 103. KUASA HUKUM PEMOHON : NOVY.G.A PALENKAHU Majelis Konstitusi yang kami hormati Menambahkan juga mungkin kalau bisa ditampilkan yang ada di notebook ini data yang ada di notebook kalau bisa ditampilkan, kami menyampaikan kami berterima kasih sekali kepada Pemerintah karena Pemerintah secara jernih telah melihat dalam pemeriksaan BPK RI terhadap laporan keuangan pusat dokumen apa saja yang dibutuhkan. Dalam bukti yang kami sampaikan kepada Majelis Konstitusi tambahan bukti 12, kami menyampaikan surat permohonan permintaan data transaksi penerimaan dan piutang pajak dalam rangka pemeriksaan keuangan Departemen Keuangan tahun 2006 oleh BPK RI kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia. Di situ kami menuliskan data yang kami perlukan adalah di sini permintaan data transaksi penerimaan pajak tahun 2006 beserta dokumen pendukung, kami ulangi beserta dokumen pendukung dan data piutang pajak posisi pertanggal 31 Desember 2006 yang dirinci per wajib pajak beserta dokumen transaksi dan pendukungnya. Kalau kita lihat di halaman 136 dan 137 yang disampaikan oleh pemerintah waktu itu Prof Dr. Madiasmo, di sini menyampaikan dokumen-dokumen yang dibutuhkan tersebut. Yang pada paragraf atas di situ dikatakan kalau untuk penerimaan perpajakan adalah SSP Surat Setoran biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan, surat tanda terima setoran, surat setoran pabean cukai dan pajak, dan bukti pembukuan serta dokumen piutang berupa dokumen yang mencatat saldo awal perubahan dan saldo akhir piutang pajak yang didukung surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat bagian pajak, surat keputusan keberatan, dan sebagainya SSP, surat putusan penghapusan pajak, hingga bukti pemindahbukuan ini kalau terkait piutang pajak adalah terkait dengan individu wajib pajak karena yang namanya piutang pajak kalau dihapuskan perindividu wajib pajak, maka itu dokumen permintaan kamipun demikian. Dan ini permintaan kami tidak diberikan izin, kembali kami coba sandingkan juga antara tadi sudah dijelaskan oleh Bapak
59
Denny permintaan tersebut kami sandingkan dengan penjelasan dalam ketentuan. Dalam penjelasan ketentuan tersebut kalau di sini bisa dilihat, penjelasan ketentuan tersebut kembali penjelasan Pasal 34 ayat (2a) di sini kembali yang disebutkan di sini adalah diidentifikasi wajib pajak yang umum tidak ada nilai di sini. Jadi kalau secara individu terkait wajib pajak kalau kita mau bicarakan piutang pajak itu kita tidak bisa protes demikian juga kalau penerimaan itu yang muncul di sini adalah kalau kita lihat di Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) ini adalah terkait penerimaan pajak secara nasional per Kanwil dan Per KPP, ini juga mungkin sedikit nanti pertanyaan kepada para Ahli Bapak Gunadi mungkin Ahli Pajak, apakah semua dokumen pencatatan yang dimintakan atau yang disetujui juga oleh Pemerintah untuk diberikan kepada BPK dalam rangka audit laporan keuangan pusat itu sama dengan yang ada di penjelasan ayat (2)? Menurut hemat kami tidak sama karena jelas sekali disebut nama dokumennya dan sebagainya. Demikian tambahan dari saya, terima kasih. 104. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Bagian yang terakhir Bapak Ketua, tadi kami mencermati sungguh-sungguh jawaban Ibu Menteri dengan secara umum menyatakan tidak ada masalah dan sudah diatur di depan, itu ada satu Peraturan Mahkamah Konstitusi yang disebut tadi pasal Menteri keuangan sorry tadi Peraturan Menteri Keuangan, hampir sama MK dengan MK Peraturan Menteri Keuangan 510 Pak Ketua dan saya baca Peraturan Menteri Keuangan ini di dalam poin keduanya sebenarnya ada pembatasan yang sama dengan apa yang diatur di undang-undang di situ disebutkan terhadap pejabat atau tenaga ahli di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama, di diktum pertama menyebutkan siapa-siapa saja, agar tetap menjaga kerahasiaan keterangan sesuai dengan peraturan perundangan perpajakan jadi balik lagi kembali kepada Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan penjelasan. Yang lainnya adalah soal hak asasi manusia. Yang paling menarik dari hak asasi manusia disebutkan oleh Ahli bahwa ada hak yang disebut non derogable dan derogable right. Sebenarnya hak itu kendatipun disebut non derogable right itu bisa diterobos. Pak Abdul Hakim—hakim tanpa SK ini, asal ada tiga syarat berdasarkan hukum; tidak sewenang-wenang dan proporsional. Tiga syarat yang disebutsebut, sebenarnya Undang-Undang BPK itu sudah mencoba membangun suatu balance di situ, tadikan ada syaratnya kendatipun bisa diterobos tapi juga harus diatur bagaimana ada keseimbangan antar kepentingan umum dan wajib pajak. Di dalam Undang-Undang BPK Pasal 9 Pak Ketua kewenangan itu berasal dari kewenangan atribusi dari Konstitusi. Pasal 9 ayat (1) huruf b Undang-Undang tentang Pengelolaan Keuangan Negara itu di situ disebutkan dengan tegas kewenangan-kewenangannya tetapi juga ada aturan lain yang menyatakan di dalam Pasal 36 kalau sampai
60
ada petugas dari BPK menyalahgunakan kewenangan-kewenangan itu maka dia akan dihukum. Jadi ada asas perlindungan, ada keseimbangan bahkan kalau dibandingkan tadi disebut-sebut Pasal 41 KUP di dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 itu ancaman hukumannya hanya satu, dua tahun tapi di dalam Undang-Undang BPK ancaman hukumannya sampai lima tahun, barangsiapa yang menyebarluaskan informasi yang digunakan untuk kepentingan pemeriksaan. Jadi ada perlindungan yang sungguh-sungguh, tidak betul kalau kemudian Undang-Undang BPK tidak memberikan perlindungan. Yang juga menarik untuk dikemukakan adalah kalau Wajib pajak, tadi sudah dikemukakan oleh bapak Ahmadi memberikan SPT kepada Dirjen Pajak ada hak negara di situ dan BPK itu juga lembaga negara, mengapa kalau pemeriksaan dilakukan oleh wajib pajak mengenai self assessment tadi, informasi mengenai self assessment tadi oleh Ahli Imam mengatakan perlu ada cek di situ. Kenapa kemudian ada ketakutan ketika BPK melakukan pemeriksaan? Ahli Ahmadi juga menjelaskan adalah sebenarnya ketakutannya yang mana? Yang diperiksa itukan adalah apaapa yang ada dan tidak untuk disebarluaskan. Yang diperiksa itu adalah untuk mewujudkan Pasal 23 ayat (1), pemeriksaan keuangan yang transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tapikan pertanyaan dasarnya adalah apakah dengan memberikan informasi seperti yang disebutkan di dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b kewenangan yang dimiliki oleh BPK bisa dilakukan secara optimal? Kalau ada ketakutan pelanggaran hak asasi manusia, ternyata tadi Ahli sudah mengatakan tidak ada yang perlu dilanggar hak asasi manusia di situ. Jadi ada kesan membangkit-bangkitkan (terputus-putus) HAM Anda dilanggar oleh BPK, ini mungkin yang kami akan ajukan atau kami sudahkan sampai di sini dan kalau tidak keberatan Pak Ketua kita akan mulai dengan memberikan kesempatan kepada Ahli berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang tadi sudah ditanyakan oleh pihak terkait, ada dua ahli kami yang tadi ditanyakan. 105. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan. 106. AHLI DARI PEMOHON : Dr. FAISAL BASRI, S.E, M.A. Terima Kasih yang mulia. Saya ingin satu hal yang terpenting dari tanggapan pemerintah tadi terkait dengan institusi. Dikatakan oleh Pemerintah bahwa tidak ada jaminan keadaan semakin baik kalau institusi semakin banyak. Pemahaman institusi pemerintah dengan pemahaman institusi standar ternyata berbeda. Yang kami maksud institusi di sini adalah seperangkat nilai, norma, peraturan mulai dari Undang-Undang Dasar sampai dengan undang-undang dan peraturan yang lainnya ataupun aturan-aturan yang
61
tidak tertulis, itulah yang disebut dalam buku apapun sebagai institusi. Jadi harus dibedakan institusi dengan agensi. Pemerintah mengartikan instititusi tadi sebagai agensi dan agensinya adalah BPK. Mengapa kita perlu concern dengan institusi? Saya sepenuhnya meyakini dan tidak ada keraguan sama sekali komitmen Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak untuk mereformasi DJP—Direktorat Jenderal Pajak, sama sekali tidak ada keraguan tentang itu tapi terkesankan apa yang menjadi janji pemerintah yang disampaikan oleh Saudari Menteri Keuangan lebih sebagai komitmen individu. Menteri Keuangan bisa berganti-ganti, Dirjen Pajak bisa bergantiganti, tapi aparat pajak yang ada sekitar 30.000 itu banyak orang mengatakan separuhnya itu tidak benar. Inilah saya rasa birokrasi perpajakan tidak bisa sekedar diperbaiki dengan komitmen individu dan oleh karena itu harus dikunci dengan perbaikan institusi dan perbaikan institusi yang paling mendasar yang menjamin kepastian bahwa reformasi di perpajakan itu akan berkelanjutan adalah dengan mencabut pasal yang dimohonkan itu, itu yang paling prinsip pertama. Kemudian yang kedua, mungkin tanpa mengecilkan arti permasalahan ini tidak ada perdebatan ideologis di sini seperti yang saya hadapi dan sedemikian sangat berat saya hadapi waktu undang-undang investasi. Jadi kalau kembali ke persoalan yang terkait dengan Konstitusi rasanya sidang ini bisa terakhir ini, tidak perlu ada sidang lagi, karena apa? Karena sudah jelas kendala utamanya adalah frasa dua frasa dan penjelasannya itu dihapus kemudian solusi selanjutnya kita bangun sistem prosedur agar BPK bisa melakukan tugas konstitusinya yang memungkinkan penerimaan negara bisa optimal, wajib pajak bisa dilindungi, dan reformasi birokrasi juga bisa berjalan lebih banyak kesamaannya daripada perbedaannya kalau saya lihat di antara para pihak ini dan oleh karena itu mudah-mudahan dan saya tidak melihat ada perspektif musuh-lawan, rasanya tidak ada. Jadi pihak pemerintah kelihatannya terlalu melihat persoalan ini sebagai sesuatu yang sedemikian bertolak belakang. Saya pribadi tidak membela pemerintah tidak membela BPK, dua-duanya sama-sama state agency jadi sebaik-baiknya untuk kemajuan bangsa ini dan untuk membuktikan bahwa dengan dicabutnya ketentuan yang dimohonkan oleh BPK berarti dengan dicabutnya itu sebetulnya membantu pemerintah, membantu Menteri Keuangan, dan membantu Dirjen Pajak di dalam upaya yang sungguh-sungguh mereformasi Direktorat Jenderal Pajak. Terima kasih. 107. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Satu lagi siapa? Bapak Imam silakan.
62
108. AHLI DARI PEMOHON : Dr. IMAN SUGEMA Terima kasih Bapak Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi Pertama saya ingin berkomentar bahwa sebagaimana ditanyakan oleh Menteri Keuangan dan dinyatakan juga bahwa pendapat kami cenderung melebar ke arah reform governance dan kemudian dampaknya terhadap perekonomian. Saya pikir itu hanya sebuah landasan yang berpikir kami dan anehnya justru Ibu Menteri tadi bertanya untuk hal-hal yang menurut dia tidak penting, yaitu menyangkut bagaimana apakah ada evidence apakah information asymetric dan juga principle agent problem kalau itu di-solve akan menciptakan governance, kemudian tax ratio akan meningkat. To make it straight begitu ya, saya justru ingin lebih menekankan kembali bahwa kita setuju dengan Menteri Keuangan, kita lebih fokus kepada masalah apakah Chinese wall atau protection kepada wajib pajak itu sudah ada belum di Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tersebut? Menurut hemat kami justru ini counter productive terutama Pasal 34 ayat (2a) itu karena justru itu mengekspose data individual dan itu tidak relevan sama sekali untuk pemeriksaan basic standing kami dan itu dilandasi oleh tadi yang saya kemukakan bahwa asymmetric information me-required atau mensyaratkan kalau ingin governance-nya bagus, kalau memang ingin penerimaan pajak itu sesuai dengan apa yang diharapkan maka pemeriksaannya harus berlapis. Referensinya banyak dan mungkin tidak pada tempatnya saya untuk memberikan kuliah di depan sidang yang terpelajar ini, tetapi basic understanding-nya adalah bahwa eksternal audit bisa meng-improve performance, kinerja bagi DJP. Itu yang hendak kita kemukakan dan itu tidak dimungkinkan kalau kita masih mengacu Pasal 34. Yang kedua, best practices yang sepengetahuan kami ada di berbagai negara yang dilakukan misalkan Swedia, Belanda, Jerman hampir tidak ada kemiripan dengan yang ada dalam Pasal 34 itu. Jadi apa yang dikatakan Termohon itu berbeda dengan best practices yang melandasi tax audit di berbagai negara. Oleh karena itu untuk keamanan dan protection bagi wajib pajak sebaiknya mungkin kita mempertimbangkan kembali apa yang termaktub dalam Pasal 34 itu. Best practices yang sebetulnya misalkan di Australia, even tanpa mengetahui nama WP sekalipun bisa dilakukan audit pajak sebagaimana saya kemukakan tadi. Kalaupun nama WP segala macam alamat itu ditutup itu bisa dilakukan. Bisa dibuat prosedur seperti itu, tapi itu tidak memungkinkan karena justru yang disebut pertama adalah nama WP, itu basic argument kita. Jadi by definition perlindungan terhadap wajib pajak menjadi terbuka. Oleh karena itu kalau chinese wall ini ingin diciptakan maka basisnya adalah pemeriksaan keuangan, informasi keuangan, tidak peduli bagi BPK itu untuk memeriksa namanya siapa, tidak peduli. Dan karena memang mereka tidak akan diperbolehkan untuk berhubungan langsung dengan WP. Oleh karena itu yang dilakukan di berbagai negara seperti misalkan Australia, itu data
63
mengenai WP itu dirahasiakan dalam arti dia hanya boleh diakses di ruang tertentu, diperiksa. Kalaupun bisa dikopi itu harus dengan prosedur yang relatif ketat. Ini landasan kami. Terima kasih Pak. 109. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik cukup, cukup ya. Sekarang kita dengar ahli dari pihak pemerintah yang tadi juga ditanya oleh Pemohon kalau tidak salah beberapa orang tadi, Pak Hakim, Pak Hakim beneran ini, silakan. 110. AHLI DARI PEMERINTAH : ABDUL HAKIM GARUDA NUSANTARA, S.H., LL.M Terima kasih, Bapak Ketua. 111. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ini baru saksi ya, silakan. 112. AHLI DARI PEMERINTAH : ABDUL HAKIM GARUDA NUSANTARA, S.H., LL.M Iya terima kasih, jadi saya yang diberi kesempatan untuk memberikan keterangan ahli, ingin mengembalikan pada pokok soalnya. Bahwa permohonan ini, permohonan uji terhadap pasal a quo tadi, Pasal 34, ini entah disadari atau tidak ini memang mau tidak mau tak terhindarkan menyentuh isu hak asasi manusia, jadi tak terelakkan bahwa masalah hak asasi manusia ini menjadi isu utama dalam pengujian ini, tak terelakkan mohon maaf kalau (....) 113. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Tolong dipencet Pak, supaya masuk risalahnya. 114. AHLI DARI PEMERINTAH : ABDUL HAKIM GARUDA NUSANTARA, S.H., LL.M Yang terakhir sebelum sidang diskors itu, saya menangkap ada suatu kalimat bahwa BPK ini perlu memperoleh keterangan-keterangan dokumen sehingga bisa menguji, bisa menilai apakah ketetapan tentang ketetapan pajak yang menjadi wajib dibayar oleh wajib pajak itu, akurat, tepat atau tidak? Nah, ini kalau benar demikian yang diinginkan oleh BPK, maka lalu BPK itu telah menjadi institusi pajak. Padahal kita tahu di dalam tatanan hukum di Indonesia, kalau—ini dari segi wajib pajak, kalau wajib pajak melihat bahwa jumlah yang ditetapkan oleh kantor
64
pajak itu tidak layak, itu pengujiannya sudah ada tempatnya, di pengadilan pajak. Itulah kontrol, itulah check and balances. Ini sangat penting saya kemukakan dari sisi kepentingan warga negara, yaitu wajib pajak. Karena itu Bapak Ketua, penetapan persetujuan Menteri Keuangan terhadap para pejabatnya atau tenaga ahli yang ditugaskan untuk memberikan informasi kepada BPK itu tidak bisa permanen, tidak bisa. Sebab berdasarkan hukum hak asasi manusia, kita bisa merujuk pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia, kita bisa merujuk pada Pasal 28. Saya atau kita sebagai wajib pajak ketika data itupun, walaupun sudah kita fidusiakan, mau dibuka, mau diserahkan dipinjamkan oleh pemerintah ke pihak lain, saya boleh keberatan. Saya bisa challenge itu keputusan di depan peradilan tata usaha negara, itu milik saya. Jadi tidak bisa ditetapkan secara permanen di depan, karena kalau ditetapkan secara permanen di depan maka tidak ada lagi urgensi dari pasal-pasal tentang kewajiban penjagaan rahasia wajib pajak yang ditetapkan di dalam Pasal 34 ayat yang terdahulu, mohon ini dilihat begitu. Jadi memang, ini satu yang sangat fundamental, kenapa saya yang mantan Ketua Komnas HAM merelakan diri untuk memberikan testimony seperti ini karena ini soal yang fundamental, jadi bukan persoalan sekedar teknis, frasa. Jadi seperti tadi Pak Ahmadi bilang kita tidak akan menyentuh wajib pajak, masak tidak percaya sih, kira-kira begitu. Kalau kita berbicara tentang kekuasaan soalnya bukan personal reliant tapi begitu power itu diberikan maka saya sebagai wajib pajak, kita sebagai wajib pajak akan menghadapi dua kekuasaan, institusi kekuasaan. Itulah yang saya katakan tadi double jeopardy, bahaya ganda, resiko ganda. Kami sebagai wajib pajak akan diperiksa oleh kantor pajak dengan segala resikonya dan kemungkinankemungkinannya, nanti kami juga akan bisa diperiksa oleh BPK dengan segala resiko dan kemungkinan-kemungkinannya. Ini di dalam prinsip hak asasi tidak boleh, tidak boleh itu double jeopardy karena itu akan ada ketidakpastian hukum dan terbuka peluang untuk pelanggaran hak asasi manusia. Ini mohon dipertimbangkan, jadi soalnya bukan saya tidak percaya sama teman-teman BPK bahwa akan menyalahgunakannya, saya percaya. Tapi kita bicara tentang sebuah struktur kekuasaan dengan segala karakternya. Jadi ini persoalan yang dipertaruhkan di sini itu adalah due process of law mencegah kesewenang-wenangan dan kepastian hukum. Kalau memang maunya BPK itu menjalankan fungsi memeriksa akurasi ketepatan ketetapan pajak, ya kalau begitu fungsi dia sudah berbeda. Karena kontrol itu, check and balances menggunakan kalimat kuasa hukum BPK itu sudah ada, itulah pengadilan pajak. Demikian Bapak Hakim.
65
115. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Pak.
Satu lagi tadi? Ahli yang sudah ditanya-tanya tadi. Ah, silakan
116. AHLI DARI PEMERINTAH : Drs. KANAKA PURADIREDJA Terima kasih Bapak Ketua dan Anggota Majelis yang kami hormati. Saya hanya ingin menanggapi yang disampaikan oleh BapakBapak dari Pemohon tadi salah seorangnya. Yang menyatakan bahwa kita memang ada beberapa jenis audit, tetapi yang ditanggapi cuma satu. Memang yang menjadi fokus kami adalah karena ada anggapan bahwa BPK itu tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup sehingga terpaksa harus memberikan disclaimer opinion. Karena itulah kami mengatakan bahwa sebetulnya bukti-bukti cukup tersedia yaitu dalam bentuk jika itu adalah penerimaan pajak itu adalah surat setoran pajak salah satunya. Kemudian tagihan-tagihan pajak itu bisa dilihat di SKP kurang bayar, ataupun surat tagihan pajak, dan lain-lain dokumen. Jadi ini memang sorotan kami sebetulnya ditujukan lebih kepada pernyataan bahwa tidak cukupnya bukti audit. Jadi bukti audit itu sebetulnya cukup tersedia, tanpa harus masuk ke dalam SPT. Kemudian memang dalam hal audit itu sudah biasa Pak, barangkali Bapak-Bapak tidak ada pengalaman menjadi auditor, biasa auditor itu di mana saja, itu akan kulo nuwon dulu Pak pada yang punya rumah. Itu kita minta bantuan mereka dalam mencarikan bukti-bukti dan biasanya ada counter part-nya jadi itu adalah hal yang biasa Pak, yang menurut pendapat kami, bahwa dia tidak menerobos begitu adalah hal yang wajar menurut pendapat kami, karena itu ada aturannya Pak, karena itu memasuki rumah orang lain. Terima kasih. 117. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Bagaimana, siapa? Yang di depan dulu baru setelah itu yang di belakang. 118. AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. GUNADI Terima kasih Pak Ketua Majelis. Kami ingin memberikan penjelasan bahwa sistem pajak kita adalah self assessment. Jadi pola pikir self assessment itu adalah kita percaya pada masyarakat wajib pajak, tidak ada prasangka, tidak ada su’uzhon, dan sebagainya. Jadi yang disampaikan dalam SPT itu kita percaya bahwa itu adalah SPT yang diisi dengan benar, lengkap, dan jelas. Dan kemudian untuk menguji bahwa pajaknya tidak benar, tidak
66
wajar, itu ada prosedurnya. Yaitu kita harus mendapatkan bukti sesuai dengan Pasal 12 ayat (3). Jadi dengan bukti itu kita bisa menunjukkan kepada wajib pajak, bahwa SPT itu tidak benar. Tidak hanya sekedar prasangka. Kalau misalnya pihak luar dia ada bukti, silakan. Bukti itu sesuai mekanisme dapat disampaikan kepada Dirjen Pajak untuk pengujian. Jadi ini dalam self assessment itu pendekatan yang kita pakai adalah persuasif edukatif, jadi saling percaya dan pelayanan prima, jadi secara service oriented dan business friendly. Jadi kalau ada pemeriksaan oleh pajak dan pemeriksaan oleh pihak lain, ini mengesankan pemeriksaan yang bertubi-tubi, itu bukan filosofi dari self assessment, jadi kita harus percaya. Kemudian yang kedua yang ingin kami sampaikan, bahwa salah satu prinsip pemajakan, menurut Adam Smith adalah certainty, kepastian hukum. Jadi kalau sudah diberikan suatu SKP misalnya atau apa namanya, kemudian ada pihak lain yang ikut nimbrung di dalam pemeriksaan dan menentukan jumlah pajaknya, inikan berarti tidak ada certainty, jadi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip universal tentang pajak. Ini tidak ada certainty, jadi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip universal. Kemudian yang ketiga tadi tentang SKP ini kita harus hati-hati, karena itukan tidak ada di dalam penjelasan ayat (2a). Di ayat (2a) ini ada penerimaan pajak secara nasional, penrimaan pajak per Kanwil, per KPP, penerimaan pajak per jenis pajak, penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha. Ini saya kira sudah, rasanya menurut saya sudah cukup banyak penerimaan pajak bermacam-macam. Kemudian ada juga tunggakan pajak per Kanwil dan per kantor pelayanan pajak. Pak Ketua untuk memberikan suatu pendapat apakah SKP itu termasuk dalam rahasia di ayat (aa) atau ayat (1), ini belum ada suatu test case, kalau di rahasia bank sudah menghasilkan seorang doktor, sebetulnya rahasia pajak ini bisa juga dibuat suatu disertasi, suatu doktor lagi untuk rahasia pajak. Di sana kasusnya terjadi di Amerika, bahwa bank yang memberikan keterangan bahwa ada rekening suatu nasabah negatif jumlahnya ini dipersalahkan sehingga dituntut di pengadilan, sebagai pembocoran rahasia bank dan pencemaran nama baik. Ini ternyata banknya dikalahkan. Tadi ada ancaman dari Pak sebelah, bahwa mungkin akan dituntut lewat TUN. Ini jadi sesuatu yang beresiko, mungkin salah satu terobosan barangkali kalau misalnya, ini pendapat pribadi saya, pendapat pribadi saja, kalau misalnya untuk tidak mencemarkan nama baik dan tidak merahasiakan si A, si B, si C, si D masih punya utang pajak, ini barangkali ya, kalau dicari jalan tengah mungkin namanya itu di tipe-X begitu saja barangkali mungkin, ya ini jadi pendapat pribadi saja, itu tidak akan dituntut oleh Pak Hakim seperti tadi itu. Jadi sebagi suatu apa, jembatan barangkali. Saya kira demikian Pak Ketua, yang perlu kami sampaikan, terima kasih.
67
119. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Terakhir, silakan. 120. PIHAK TERKAIT : (KADIN) Terima Kasih Pak Ketua. Kami dari Kadin (...) 121. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Ah Kadin belum ngomong dari tadi, kami kasih kesempatan. 122. PIHAK TERKAIT : (KADIN) Kami ingin mengomentari Pak Ahmadi Hadisubroto. Pak Ahmadi mengatakan kurang lebih yang tadi diulang oleh Pak Bambang. Kenapa ada ketakutan kalau BPK memeriksa SPT? Lalu Pak Bambang menambahi ada kesan membangkit-bangkitkan ketakutan wajib pajak. Ini kami benar-benar ketakutan bukan terbangkit-bangkit. Kalau diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak kami tidak terlalu khawatir karena Direktorat Jenderal Pajak harus merahasiakan data-data kami. Tapi kalau pemeriksaan itu dilakukan oleh BPK, BPK barangkali dari nomor kedua yang sudah disebut oleh Pak Hakim yang beneran tadi itu pemeriksaan dua kali, melelahkan. Tapi yang lebih kami khawatirkan, BPK itu laporannya ke DPR dan kalau laporan sudah ke DPR masuk surat kabar artinya rahasia perusahaan itu dibongkar di seluruh dunia. Inikan perusahaan bisa mati Pak, jadi itu kekhawatiran kami terutama. Jadi kami mengharapkan sebagai pengusaha, ada kepastian hukum, sehingga bisa berusaha dengan tenanglah. Jadi bukan membangkit-bangkitkan ketakutan, memang kami sudah ketakutan sekarang ini, terima kasih. 123. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Jadi sudah sampai ke DPR masuk website lagi. Itu yang sering diomongkan. Bagaimana Pak BPK? Pemohon Prinsipal? Barangkali ada perlu disampaikan. Soal yang terakhir ini sebelum kita dengar saksi. 124. KUASA HUKUM PEMOHON : HENDAR RISTIAWAN Terima kasih Yang Mulia. Jadi kembali, tugas BPK itu memeriksa pengelolaan keuangan negara dan tanggung jawab keuangan negara, dalam konteks pemeriksaan pajak tugas BPK adalah memeriksa penerimaan pajak, kinerja pendapatan pajak, dan laporan keuangan yang terkait dengan pajak. BPK tidak terkait data-data misalkan bagaimana ongkos produksi,
68
bagaimana kemudian formulasi satu produksi di wajib pajak, bukan itu. Dan kalau tadi disampaikan oleh Pak Hakim Garuda Nusantara, bahwa BPK seolah-olah akan memeriksa kebenaran SKP. Dalam konteks ini yang tadi disampaikan adalah di dalam penerimaan pajak itu ada bagian restitusi, dimana restitusi itu bukti pembukuannya adalah ketetapan pajak lebih bayar. Dokumen ini adalah dokumen adalah yang dibuat oleh fiskus yang dasar pembuatannya adalah berdasarkan SPT lebih bayar. SPT lebih bayar ini pun hanya yang terkait dengan kewajiban pajak atau hak pajak dimana di dalamnya juga ada hutang pajak yang harus diperhitungkan di dalam pemberian restitusi. Jadi BPK tidak memeriksa wajib pajak, tidak memeriksa keuangan wajib pajak, tidak. Tetapi dalam konteks adalah penerimaan pajak, jadi mungkin kalau tadi disampaikan bahwa ada mekanisme peradilan pajak itu disediakan manakala ada keberatan dari wajib pajak, maka wajib pajak kemudian bisa mengajukan keberatannya kepada peradilan pajak, kalau ada sengketa pajak. Tetapi dalam konteks pemeriksaan ini tidak terkait ke sana tetapi Undang-Undang Dasar. Kalau juga disampaikan oleh Pak Gunadi bahwa datanya bisa di-tipe ex dan sebagainya itu persoalan praktik yang dimohonkan oleh Pemohon adalah ada undang-undang yang kemudian dianggap oleh Pemohon tidak mendukung kewenangan konstitusional Pemohon. Bahwa kemudian setelah ketentuan pasal itu dicabut, Pemerintah itu akan membuat satu prosedur internal, sekali lagi prosedur internal seperti halnya yang berlaku di Australia itu practice statement itu tentang tata cara pemberian data dan dokumen kepada BPK-nya bahwa harus diberikan dalam satu ruang tertutup, it’s okay tetapi jangan dibatasi dokumennya, informasinya, bahwa dokumennya tidak boleh dibawa ke luar ruangan, silakan. Bahwa nama wajib pajak ditutup, silakan. Tetapi jangan dilimitasi di dalam undang-undangnya, itu tambahan. Terima kasih Majelis. 125. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Pak Ketua ada ahli dari kami yang ingin menanggapi Pak Ahmadi sudah beberapa kali disebut, 126. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oh iya tadi disebut-sebut. Setelah itu Ibu Menteri, silakan Pak
Ahmadi
127. AHLI DARI PEMOHON : Drs. AHMADI HADISUBROTO, M.Sc Terima kasih Bapak Ketua ini kelihatannya kita masih kembali lagi ada salah persepsi. Saya yakin barangkali rekan saya Pak Pri, Pak Ali
69
Said paham betul bahwa di dalam KUP itu sendiri ada perlindungan bahwa (...) 128. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Pak karena Bapak di belakang duduknya apa tidak bisa berdiri saja? 129. AHLI DARI PEMOHON : Drs. AHMADI HADISUBROTO, M.Sc Oke Pak. 130. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Biar lebih meyakinkan sekaligus botaknya juga lebih kelihatan, silakan. Dipencet Pak. 131. AHLI DARI PEMOHON : Drs. AHMADI HADISUBROTO, M.Sc Tentunya bukan cuma saya saja, Pak Ali Said, Pak Pri paham betul bahwa di dalam KUP ada perlindungan bahwa sekali sudah dikeluarkan SKP tidak bisa lagi diganggu gugat kewajiban pajaknya si wajib pajak sepanjang tidak ada data baru. Dengan demikian kalau kita lihat juga di dalam KUP itu ataupun di Undang-Undang BPK sendiri tidak ada kewenangan BPK untuk memeriksa pajak, sehingga memang mereka tidak bisa masuk. Jadi bukan masalah tidak ada keinginan atau bukan, aturan kita sendiri sudah memang memblokir kalau ada keinginan BPK untuk masuk. Ini saya katakan kalau begitu kenapa kita mesti khawatir? Karena memang tidak ada jalan, tidak ada pintu untuk mereka masuk memeriksa. Apa yang akan dilakukan sepengetahuan saya adalah dalam rangka menguji kinerja aparat, bukan menguji wajib pajaknya. Jadi kalau sampai masuk kepada dokumen wajib pajak dalam rangka menguji kinerja aparatnya. Oleh karena itu saya berani mengatakan wajib pajak tidak perlu khawatir karena tidak ada jalan bagi BPK untuk memeriksanya. Kalau sampai BPK masuk itu sudah merupakan pelanggaran kewenangan justru hukumannya lebih berat daripada aparat berdasarkan UndangUndang BPK. Masalah tadi dari rekan saya Pak Kanaka memang Pak kalau untuk audit laporan keuangan sepanjang pernyataan SSP itu nanti di lapangan betul-betul diberikan seharusnya tidak ada masalah, sepanjang untuk audit laporan keuangan asal SSP itu diberikan. Cuma masalahnya yang dikaitkan dengan ketentuan sekarang ini undangundangnya itu bisa mengakibatkan diinterpretasikan itu tidak boleh diberikan ini yang dipersoalkan oleh teman-teman. Kita semua sepakat dokumen yang kita butuhkan apa, dua belah pihak setuju dokumennya yang itu tinggal sekarang mohon bantuan diuji Bapak-Bapak dari hakim
70
konstitusi yang terhormat apakah pasal tersebut memungkinkan kesepakatan mereka berdua ini dijalankan. Terima kasih Bapak Ketua 132. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Kayak-nya sudah kelihatan ini titik temunya ya, bagaimana Ibu
Menteri?
133. PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Sebelum perkara ini juga sebenarnya sudah ada titik temu Pak, ada yang membuat menjadi tidak bertemu. Tapi saya hanya ingin karena ini sudah menjadi prosedur dan menjadi kasus formal tentu retorika tadi menarik dan meyakinkan atau mungkin ingin supaya tidak muncul ketakutan. Namun jelas Pemohon secara formal mengatakan di dalam permohonannya bahwa data dokumen yang diperlukan kami tuliskan di dalam keterangan Pemerintah halaman 144, “seluruh data dan informasi yang dilaporkan oleh wajib pajak kepada petugas pajak termasuk tidak terbatas pada hal yang berhubungan dengan pembayaran dan atau penyetoran pajak ke kas negara sebagai realisasi dari kewajiban pajak menurut ketentuan yang berlaku”, ini formal ditulis. Seluruh data dan informasi hasil olahan petugas pajak baik yang berasal dari wajib pajak maupun pihak ketiga, akses seluruh data dan informasi perpajakan yang tersimpan dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak, seluruh data dan informasi tentang penyimpanan penerimaan pajak sebelum disetor ke kas negara. Jadi Bapak hakim yang terhormat di luar retorika secara oral tadi sebetulnya permohonan jelas memang mau masuk ke data wajib pajak dan tidak berarti data wajib pajak mereka secara fisik ketemu wajib pajak kalau di sini. Bahwa BPK melakukan eksaminasi terhadap dokumen-dokumen itu sudah masuk di dalam pemeriksaan wajib pajak. Kalau dalam hal ini memang ada complain mengenai governance, conduct (tingkah laku) dari aparat pajak, Undang-Undang Pajak memberikan rambu-rambu bagaimana kami harus mendisiplinkan. Jadi ini bukan pernyataan atau masalah dukungan atau tidak mendukung reformasi perpajakan, tidak Pak Hakim. Bapak-Bapak ahli tadi mengatakan bahwa mereka tidak meragukan komitmen saya atau Pak Darmin dan bahkan agak dipisahkan antara Sri Mulyani secara individual dan sebagai Menteri Keuangan. Saya datang ke sini bukan sebagai Sri Mulyani saya menteri keuangan. Saya melakukan reformasi bukan sebagai pengajar di Universitas Indonesia, saya menteri keuangan official lembaga. Semuanya tertata secara official karena mengatur negara dan meng-govern berdasarkan aturan dan bukan selera pribadi. Jadi dalam hal ini Bapak Hakim yang terhormat, kami sebetulnya sudah
71
memikirkan secara sangat serius karena pada dasarnya seluruh seri Undang-Undang Nomor 17, Undang-Undang Nomor 1, 15, UndangUndang BPK dan segala sesuatu yang berhubungan dengan even Undang-Undang KUP memang tujuannya adalah membuat Indonesia penuh dengan transparancy, check and balances mechanism, spirit itu adalah jiwa hati kita semua dan kita mencoba untuk menjelaskan atau memperbaikinya. Jadi kalau berbagai retorika mengenai masalah bagaimana kita memperbaiki Republik Indonesia yang kita cintai ini dengan berbagai style, cara, dan pendekatan itu kita bisa debatkan di dalam forum seminar Pak. Tapi kalau kita bicara masalah mengenai bagaimana mengatur setiap kewenangan lembaga do don’t, apa yang boleh dan tidak boleh, itu menurut saya tidak lagi selera pribadi. Itu adalah koridor undang-undang dimana kita semua terdapat dalam Undang-Undang Dasar yang kita cintai. Jadi menurut saya Bapak Hakim yang terhormat, saya rasa kalau dari sisi jiwa kita tidak mempertentangkan. Kami juga dalam posisi untuk mengatakan bahwa kami ketakutan atau hal-hal tadi yang menurut saya kalau di dalam menurut berbagai film-film yang saya lihat kalau di dalam pengadilan saya bisa mengatakan objection. Tapi saya rasa tidak. Kami di dalam hal ini kenapa Pemerintah serius? Kenapa kami membacakan seluruh 149 halaman, 12 koper? Ini bukan karena kami ketakutan dan ingin melindungi aparat pajak yang corrupt, tidak. Ini adalah masalah esensial mengenai bagaimana kita menjalankan suatu undang-undang dengan suatu kepercayaan ini adalah governance atau yang disebut institusi dalam definisi yang besar oleh Pak Faisal tadi. Saya tidak bicara institusi dalam konteks lembaga BPK atau Departemen Keuangan atau Dirjen Pajak. Ini adalah it’s the whole institution, yaitu value, aturan yang mengatur kita semua dalam menjalankan fungsi. Umpamanya kita complain mengenai tingkah laku dari suatu pengadilan, hakim yang tidak adil, apakah kemudian obat mujarabnya BPK harus masuk? Tidak. Kita complain mengenai aparat pajak yang corrupt, apakah artinya kemudian, jadi antara konstruksi mengenai persoalan dengan seluruh argumen yang ingin di-support-nya dengan solusi yang, menurut saya ada gap yang sangat besar. Dan kita dipaksa untuk mempercayai seolah-olah BPK menjadi satu-satunya solusi governance terhadap keseluruhan masalah Republik Indonesia yang mungkin masih banyak yang belum kita puas. Itukan sama persis dengan pidato awal saya yang mengatakan nanti jangan-jangan lalu lintas macet juga gara-gara BPK tidak mengaudit, sampai kepada Pak polisi. Sama seperti kita juga dipaksa percaya jika kita sakit ada buah merah dari Papua yang bisa menyelesaikan semua persoalan. Jadi dalam hal ini Bapak Hakim, saya kembali, kami mengikuti prosedur pernyataan dari sisi karena kasus ini sekarang masuk di dalam Mahkamah Konstitusi. Kami berusaha secara sangat serius berdasarkan seluruh runtutan logika, argumen, maupun evidence yang diberikan oleh Pemohon. Dan kami menyampaikan secara
72
keseluruhan bukan karena kita ingin melindungi suatu governance yang jelek. Tapi lebih karena kami ingin menekankan esensi dari UndangUndang Dasar kita mengenai wajib pajak adalah insan manusia Indonesia yang memiliki hak asasi. Tetapi kita juga memiliki berbagai hal yang menurut kami adalah merupakan tugas mengelola negara dengan misi-misi yang harus diembannya. Seluruh harmoni inilah yang kita lakukan. Tidak berarti bahwa seluruh komunikasi, cara, ikhtiar, yang kita lakukan dengan BPK selama ini tidak kita lakukan. Kita melakukan sampai pada titik dimana kita juga bingung kenapa harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Jadi oleh karena itu, Bapak Hakim yang kami muliakan dan kami hormati, ini untuk memberikan suatu balancing terhadap persepsi. Karena nampaknya saya yang khawatir, persepsi yang di-drive di dalam konteks kasus ini seolah-olah kita punya esprite de corps untuk melindungi suatu praktik yang tidak baik, sama sekali tidak. Kalau ada persoalan governance itu adalah tugas kami untuk memperbaiki. Di situ ada internal auditor, ada sistem displin internal, ada mekanisme check and balances, check and balances within organisasi, yang memang harus dan merupakan tugas kita untuk memperbaiki. Kembali kepada permohonan Pemohon yang ditulis secara eksplisit, walaupun tadi secara retoris tadi nampaknya ingin di-tone down, tetapi Pak Hakim sekalian adalah akan menggunakan berdasarkan permohonan secara formal yang dituliskan oleh Pemohon di situ jelas, saya tidak tahu tadi seolah-olah ditone down dan kita tidak akan masuk, it is masuk ke dalam ranah privacy. Dan oleh karena itu memang disebutkan kalau masalah ketidakpercayaan kita juga melihat bagaimana check and balances dan audit masih bisa kita lakukan tanpa harus merasa adanya suatu halangan. Dan itu kita dalam hal ini 100%, 1.000% menyetujuinya Pak Hakim. Kami tidak ada persoalan mengenai hal itu. Jadi jangan dikonstruksikan masalah ini seolah-olah kami memberikan halangan kepada BPK dalam bentuk apapun terhadap fungsi untuk mengaudit Dirjen Pajak. Dan saya tekankan sekali lagi, Direktorat Jenderal Pajak selama ini sudah dan terus-menerus diaudit BPK. Jadi tidak benar mengatakan seolah-olah Dirjen Pajak adalah institusi yang out of touch dari BPK. Itu penekanan yang ingin kami berikan. Dan mungkin satu hal, saya tidak tahu karena saya bukan ahli hukum, tapi Bapak-Bapak Hakim yang terhormat adalah ahli hukum. Kalau saya lihat di Undang-Undang Nomor 15 banyak di dalam pasalpasal pelaksanaan pemeriksaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Di situ banyak nuansa mengatakan, Pasal 7 “dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan.” Dalam Pasal 8, “dalam melaksanakan tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) BPK dapat mempertimbangkan informasi dari Pemerintah, Bank Sentral, dan masyarakat.” Kenapa dong pasal-pasal hal itu tidak
73
dianggap mengintervensi terhadap bebas dan mandiri? Padahal ini ada pasal-pasal mengenai governance untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara, juga ada governance-nya, ada do-dont’s-nya tapi itu tidak diinterpretasikan sebagai, kenapa di-single out untuk Pasal 34 ayat (2a) saja? Jadi dalam hal ini kalau kita cari-cari semua pasal Pak Hakim, banyak sekali pasal-pasal yang mengatur BPK tapi itu tidak diinterpretasikan mempengaruhi bebas dan mandiri, tetapi khusus pasal ini interpretasinya dibuat menjadi khusus dalam konteks Pemohon. Nah, ini mohon juga dilihat dalam konteks ini. Artinya, kalau BPK diatur undang-undang untuk menjalankan fungsi pemeriksaannya, itu tidak berarti bahwa BPK dikurangi kemampuan untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara secara bebas dan mandiri, kalau saya menggunakan kalimat itu dari para Pemohon. Demikan Bapak Hakim, terima kasih. 134. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, jadi bukti terakhir. Saksi-saksi kita dengarkan. Barangkali ada fakta-fakta dan keterangan belum kita dengar. Ahli sudah habis semua ya? Saksi ada dua orang yang diajukan pemerintah. Pemohon ada saksi juga? 135. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Tadi pagi akan di (...) 136. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Siapa yang belum? 137. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Pak Frans Limahelu. Sebenarnya ada satu lagi, Dr. Rudi Satrio, tapi beliau (...) 138. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oh, jadi Pak Rudy Satrio, tidak sabar dia. Kalau begitu kita dengar dua orang saksi dan satu orang ahli. 139. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Apa tidak sebaiknya ahli diselesaikan? Karena kami tidak punya ahli, saksi fakta.
74
140. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Boleh, sama saja bukan? Sepuluh menit, sepuluh menit. Bagaimana ahli dulu kita dengar ya? Satu, kemudian baru (...) 141. PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Tadi disebutkan bahwa pagi hari ini kita lima-lima dulu dan kemudian saksi. Jadi kalau Bapak mau menambah ahli, ya nanti Pemerintah cari tambah dua ahli lagi. Masih banyak ahli di luar yang belum. Tapi untuk fairness dari traffic hari ini Pak Ketua sudah mengatakan lima dulu, lima dulu. 142. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oke, kita dengar saksi dulu. Tapi ahli karena sudah dari Surabaya,
ini jauh. Sudah disumpah juga, jadi kita harus dengarkan juga. Tapi kita dahulukan saksi. Tidak apa-apa Pak? Silakan berdua belum diambil sumpah. Apa dua-duanya agama sama? Silakan. Agamanya Islam? Katolik? Katolik. Kalau begitu petugas silakan! Pak Hakim Maruarar silakan. 143. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Ikuti Pak ya, “saya berjanji akan menerangkan yang sebenarnya, tidak lain daripada yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya”. 144. SAKSI SELURUHNYA : (RHENALD KASALI, Ph.D., FREDERIK TUMBUAN (KRISTEN)) Saya berjanji akan menerangkan yang sebenarnya, tidak lain daripada yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya. 145. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan. Siapa duluan saya persilakan. Oh berdasarkan usia? Silakan. 146. SAKSI DARI PEMERINTAH : FREDERIK TUMBUAN Yang Mulia Bapak Ketua Majelis, Bapak-Bapak Anggota Hakim Majelis Mahkamah Konstitusi. Saya diminta oleh Dirjen Pajak mewakili Menteri Keuangan untuk memberi keterangan dan ini saya berikan selaku wajib pajak yang berprofesi advokat hingga sedikit banyak mengetahui tentang hukum.
75
Izinkan saya membacakan apa yang telah coba kemukakan di sini. Butir satu, agar dapat dengan baik dan benar menilai apakah suatu ketentuan dalam Undang-Undang KUP yaitu Pasal 34 ayat (2a) huruf b berikut penjelasan atas ayat (2a) bertentangan dengan ketentuan Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 perlu disimak ratio legis atau maksud dan tujuan diundangkannya Undang-Undang KUP (...) 147. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Pak Ketua, mohon maaf, Pak? 148. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya 149. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Saksi ini saksi fakta atau ahli? 150. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, ya atau biar saja dulu nanti saya memberi anu (...) 151. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M
Ndak biar jelas dulu Pak kalau memang ahli ya tunda dulu begitu, sumpahnya itu juga beda Pak. 152. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oke cukup, cukup. Jadi begini itu di pengadilan, di sini terutama kita bedakan antara ahli dan saksi, kalau di pengadilan biasa disebut saksi ahli, ada kata saksinya, saksi ahli dan saksi. Kalau di sini tidak, saksi dan ahli. Bedanya adalah kalau ahli orang diminta berdasarkan pendidikannya, berdasarkan pengalamannya diminta keterangan berdasarkan pengetahuannya atau keahliannya, itu jadi lebih bebas. Tapi kalau saksi itu keterangan faktual mengenai apa yang dilihatnya sendiri, didengarnya sendiri, dialaminya sendiri, begitu. Dan dua-duanya sebagai alat bukti yang mengikat, tapi biasanya sekali lagi, ini pengalaman sudah lima tahun ya, semua saksi yang bicara dalam sidang Mahkamah Konstitusi selalu menyampaikan pendapatnya. Jadi biasanya saya tidak menghalang-halanginya lagi, ya sudah biar sajalah mau ngomong apa, nanti kami yang menilai yang relevan kami nilai hanya yang faktual saja begitu. Jadi yang pendapatnya tidak apa-apa biarkan sajalah itu untuk memberi catatan saja, tapi nanti yang akan kita nilai beliau ini sebagai wajib pajak sesuai dengan sumpah tadi dalam profesi sebagai advokat. 76
Nah apa itu pengalaman-pengalamannya itu yang kita ambil, sedangkan pendapat keterangan keahlian kita ambil dari para ahli jadi silakan terus saja. Silakan Pak 153. SAKSI DARI PEMERINTAH : FREDERIK TUMBUAN Terima kasih Bapak Ketua. Adapun ratio legis Undang-Undang KUP dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan kepada wajib pajak dan untuk lebih memberikan kepastian hukum. Berdasarkan maksud dan tujuan diundangkannya Undang-Undang KUP ini sesungguhnya Pasal 34 secara taat asas melaksanakan amanat Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar yang menjamin kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di muka hukum bagi setiap wajib pajak, setiap orang. Jaminan kepastian hukum yang adil atau rechtszekerheid dan perlakuan yang sama di muka hukum rechtsgelijkheid atau equality before the law merupakan conditio sine qua non atau syarat mutlak bagi terwujudnya Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Dua, sesungguhnya menyimak ketentuan Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (2), Pasal 34 ayat (3), Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang KUP maka kesimpulan yang tak terelakkan adalah bahwa ketentuanketentuan dalam pasal-pasal tersebut merupakan perwujudan konsisten dan pelaksanaan secara taat asas dari Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan (5), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945. Tiga, pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (2a), Pasal 34 ayat (3), dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang KUP yang mempersyaratkan perlunya ketetapan dan atau perlunya pemberian izin tertulis terlebih dahulu dari Menteri Keuangan bagi pejabat dan atau tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah konsekuensi logis dan dari ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) juncto Pasal 41 Undang-Undang KUP. Sungguh tidak berdasarkan nalar yang sehat di satu pihak menerima ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (3), dan Pasal 34 ayat (4) namun di lain pihak menolak serta mengingkari kewenangan Menteri Keuangan untuk menetapkan pejabat atau tenaga ahli serta untuk memberi izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli tersebut sebelum mereka boleh memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang wajib pajak yang ada pada mereka kepada pihak lain. Kewenangan tersebut mutlak perlu untuk terlaksananya keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang bersangkutan, baik dia itu pejabat pajak, tenaga ahli, maupun wajib pajak itu sendiri yang dengan itikad baik dalam keyakinan perlindungan kerahasiaan yang wajib dipegang teguh oleh pejabat dan atau tenaga ahli telah mempercayakan milik pribadi wajib pajak kepada Menteri Keuangan casa quo Dirjen Pajak
77
mengenai data dan informasi milik pribadi wajib pajak dalam rangka mentaati peraturan perundang-undangan perpajakan. Empat, mengabulkan permohonan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK sebagaimana termuat dalam permohonan pengujian Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan penjelasan terhadap Pasal 23E ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 akan secara tak terelakkan berakibat melahirkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak yang niscaya akan menyirnakan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan hal mana dijamin oleh Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945. Adapun alasan dan argumen hukum bahwa Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan penjelasan mengingkari dan bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, menurut hemat kami tidak benar. Apabila diperhatikan bahwa kebebasan dan kemandirian BPK adalah kebebasan dan kemandirian dalam kerangka negara hukum. Di dalam mana perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi adalah tanggung jawab negara terutama Pemerintah sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Memperhatikan bahwa BPK adalah lembaga negara bagian dari negara maka menurut pendapat kami BPK ikut bertanggung jawab atas terlaksananya hak asasi wajib pajak sebagaimana tadi kita temukan dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar. Kesimpulan nomor 5, berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hanya apabila hak asasi setiap orang termasuk wajib pajak tentunya sebagaimana diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 secara taat asas, dihayati, dan dilaksanakan oleh tiap pejabat negara dan pejabat pemerintahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku akan dapat terwujud tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang adil dan beradab sebagaimana diamanatkan oleh sila kedua Pancasila dan akan terlaksana negara hukum secara nyata atau rectstaat in materiel sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Terima kasih Bapak Ketua. 154. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik selanjutnya, Pak Rhenald Kasali 155. SAKSI DARI PEMERINTAH : RHENALD KASALI Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi, Saya tidak sedang memberikan seminar maka saya tidak perlu laptop dan tidak perlu layar di sana, jadi langsung saja. Saya kira ada tiga hal yang membawa saya ke sini. Yang pertama saya ini mewakili wajib pajak. Saya kira wajib pajak akan berbeda kalau Bapak-Bapak menjadi orang seperti saya menjadi sorotan publik
78
barangkali. Kalau hanya sebagai pengamat saya kira mungkin orang pajak takut dengan pengamat tapi kalau sudah berubah menjadi bintang iklan ceritanya akan lain, kita akan kejar-kejaran untuk diperiksa pajak. Jadi saya akan memberikan kesaksian dari pengalaman saya bagaimana saya diperiksa pajak. Yang kedua saya kira saya datang ke sini juga karena saya melihat ini ada janji perubahan, jadi ini bidang yang sangat saya gemari saat ini adalah perubahan. Tetapi ketika kita bicara perubahan kita harus ingat bahwa tidak semua perubahan itu akan membawa keberhasilan dan namun tanpa perubahan tidak akan ada pembaharuan, sudah pasti. Namun ketika kita melakukan perubahan kita harus selalu melihat hal-hal apa saja yang boleh kita ubah dan sebaiknya jangan diubah, hal apa saja yang sebaiknya jangan diubah yaitu hal yang akan merugikan warga negara itu sendiri. Yang ketiga alasan saya datang ke sini juga saya kira juga adalah karena kebetulan saya undangannya dari Dirjen Pajak kemungkinan besar saya adalah pihak yang paling sering diminta oleh Dirjen Pajak untuk memberikan kuliah tentang perubahan dan kantor pajak ini sudah beberapakali menggunakan ilmu saya, jadi mungkin bukan dari Mahkamah, bukan dari BPK, karena belum tertarik dengan perubahan. Bapak Ibu sekalian, pertama-tama perkenankan saya memperkenalkan diri saya dalam forum (sidang) ini. Saya adalah seorang wajib pajak yang memiliki NPWP sejak tahun 1989 dan sejak itu aktif membayar pajak, memenuhi kewajiban saya sebagai warga negara. Semula saya hanya memiliki penghasilan tunggal sebagai Pegawai Negeri Sipil di Universitas Indonesia, sehingga pajak yang dibayarkan hanyalah berupa pajak penghasilan yang langsung dipotong oleh lembaga tempat saya bekerja. Namun untuk memenuhi asas self assessment, dengan sukarela saya meminta NPWP dan setiap akhir periode satu tahun, saya wajib mengisi SPT dan melaporkan susunan penghasilan dan kekayaan saya selama satu tahun tersebut. Selanjutnya, saya memperoleh penghasilan-penghasilan lain waktu berkembang. Di luar gaji saya punya income lain baik berupa honorarium sebagai pembicara, honorarium mengajar/menguji, royalti buku sebagai penulis, gaji sebagai komisaris asuransi kesehatan, dan sebagainya. Dengan sumber penghasilan yang berbeda-beda itu, maka adalah kewajiban bagi saya untuk menyimpan segala dokumen dan melaporkannya kepada kantor pajak. Pelaporan itu sendiri sesungguhnya berkonsekuensi adanya pembayaran tambahan kepada negara karena dari dua hal, yaitu (1) adanya penghasilan yang belum dipotong pajak, dan (2) pergeseran income brackets karena besarnya pengenaan pajak yang bersifat progresif. Sebagai pemikir yang sering diundang oleh media massa maka dan terlebih setelah saya menjadi bintang iklan maka pekerjaan orangorang seperti saya otomatis menimbulkan perhatian petugas pajak, ini terus terang tidak nyaman ini. Dan oleh karena itu pula wajar bila tokoh-
79
tokoh publik yang sering muncul di media massa, apakah dia akademisi, pakar (ahli), seniman (selebritis), seminaris (pembicara-pembicara publik), pengusaha, motivator, akan menjadi sasaran pemeriksaan pajak. Sebagai wajib pajak, saya sendiri telah mengalami pemeriksaan pajak sebanyak dua kali, sejak saya memiliki NPWP itupun enam tahun saya sekolah di Amerika. Jadi mungkin kalau saya di sini mungkin saya diperiksa empat lima kali dan setiap kali pemeriksaan tentu ada hal-hal yang kadang agak mengganggu "kenyamanan" kami. "Kenyamanan" sebagai warga negara yang mempersiapkan hari tuanya dengan menabung, membeli asset dan sebagainya, yang dalam banyak hal adalah bersifat "rahasia" dan "pribadi" tiba-tiba harus dibuka karena semua diminta dokumen-dokumennya bahkan mereka mau melihat lebih detail lagi dan ditunjukkan kepada petugas pemeriksa. Data-data rahasia itu dapat berupa identitas pribadi dan keluarga, tempat tinggal, tabungan, portofolio, aset (surat-surat berharga), properti, hutang, warisan, hibah, dan harta-harta bergerak atau tidak bergerak lainnya. Namun demikian, di hadapan petugas—nah ini yang menarik perkembangan terbaru, kami selalu ditunjukkan kitab UndangUndang Perpajakan yang salah satu pasalnya menandaskan bahwa segala identitas dan informasi itu akan dijaga kerahasiaannya. Bahkan petugas pajak tidak dapat menyerahkan begitu saja data pribadi kami kepada pihak lain., itu ditunjukkan. Hati kami lega, walaupun selalu ada rasa was-was, karena selain data-data itu bersifat pribadi, informasi yang kami berikan bisa menjadi sangat berguna bagi pihak-pihak tertentu yang mempunyai itikad yang kurang baik sebab sudah menjadi pengetahuan umum, kekayaan yang meningkat akan selalu menjadi incaran para penjahat dan pemeras. Belum lagi data-data lain yang bersifat "bisnis" yang dapat dipakai oleh para "pesaing" usaha maupun "pemasar" belakangan yang dapat mengganggu privacy. Ini jelas terasa sekali belakangan ini. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi, Dalam kehidupan yang demikian, sudah pasti sebagai warga negara, kami butuh perlindungan dan penjagaan dari negara termasuk dari BPK darimana kami butuh perlindungan. Bagi para pembayar pajak, pemberian informasi kepada pihak yang berwajib selalu didasarkan pemikiran bahwa data-data itu tidak akan diserahkan begitu saja kepada pihak lain tanpa ada persetujuan dari pemiliknya dan tanpa ada pengawasan dari pihak yang bertanggung jawab. Sehari-hari kami menyadari betul, kehidupan pribadi kami sebagai tokoh publik telah menjadi perhatian masyarakat. Tetapi kami juga menjadi sasaran kegiatan bisnis (pemasaran) dan tentu saja tekanan-tekanan lain yang tidak selalu menyenangkan. Maka tidak mengherankan, bila semakin sedikit pihak yang mengetahui dokumen-dokumen pribadi kami, akan menjadi lebih baik. Kepercayaan publik bahwa kita memerlukan transparansi dalam berbagai bentuk kehidupan tentu saja harus dipahami bahwa transparansi bukan berarti harus telanjang, sehingga
80
segala bentuk yang menjadi bagian kehidupan yang sangat pribadi pun harus dapat dilihat oleh publik. Ingat Bapak Ibu sekalian kita tidak bicara undang-undang atau ketentuan ini hanya satu hari ke depan, kita hidup di era digital segala sesuatu itu begitu mudah di-copy disebarkan. Kalau kita bicara digital itu era yang penuh kecepatan tidak dapat dikendalikan, tidak dapat dihapus bahkan era itu era meng-entertain informasi dan timbul cybercrime. Undang Undang Dasar 1945 pada dasarnya menjamin hak-hak kami, yang menyangkut hak-hak asasi warga negara Republik Indonesia. Saya masih ingat betul betapa kerahasiaan pribadi seseorang itu menjadi sangat vital. Dalam sejarah tercatat sejumlah kejadian yang memilukan ketika data mengenai identitas dan kekayaan seseorang beredar luas, serta disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Di Amerika Serikat sendiri, beberapa negara boleh disebutkan beberapa kejadian-kejadian seingat saya dari pengetahuan yang pernah saya baca di era Perang Dunia Ke-2, Biro Pusat Statistik Amerika bahkan pernah menolak permintaan badan intelijennya untuk mendapatkan data-data mengenai warga keturunan Jepang. Semua itu dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa responden dalam survey akan memberikan data-datanya kalau kerahasiaan mereka dijamin. Bisa dibayangkan apa jadinya bila Biro Pusat Statistik Amerika pada saat itu membiarkan data itu dapat diakses oleh pihak-pihak lain yang dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian kami selaku wajib pajak selalu mengharapkan kesetiaan bagi negara untuk melindungi warganya dan mencegah data-data pribadi yang kami titipkan agar tidak diserahkan begitu saja kepada pihak lain yang tidak berkepentingan. Ada solusi lain yang mungkin kita bisa tawarkan sebagai wajib pajak kalau tidak ingin Ketua BPK minta izin dari Menteri Keuangan ada baiknya minta izin kepada kami sebagai wajib pajak dan saya kira ini saatnya kalau memang seperti kami akan membentuk asosiasi wajib pajak untuk melindungi kepentingan wajib pajak. Selain masalah privacy, sebagai Wajib Pajak kami juga membutuhkan kepastian hukum. Perekonomian Indonesia yang berubah-ubah, mendorong warga negaranya untuk menabung dan mempersiapkan anak-anaknya agar bisa bersekolah dengan baik. Saya kira ini impian kita semua, kita inginkan agar generasi kita ke depan generasi keturunan kita lebih baik lagi kehidupan dan pendidikannya. Maka dalam keadaan yang demikian saya kira semua sudah mengetahui bahwa salah satu bidang yang saat ini adalah perencanaan keuangan. Perencanaan keuangan menjadi sangat penting dalam kehidupan modern yang terutama menghadapi situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Sebagai Wajib Pajak yang sudah dua kali mengalami pemeriksaan, saya menemukan bahwa setiap kali saya mengalami pemeriksaan, selalu saja ditemui posisi "kurang bayar" yang mengakibatkan Wajib Pajak harus memecahkan tabungan untuk memenuhi kewajibannya, ini adalah realita yang kami hadapi. Pemeriksaan seperti ini, sekali tengah diputuskan, kami harapkan
81
bersifat final karena bila tidak akan sangat mengganggu perencanaan keuangan keluarga. Bapak Ibu sekalian memang betul bahwa kalau kita diperiksa berkali-kali mungkin kita akan membayar beberapa kali lagi bisa meningkat, tetapi harap diingat ini sebagai seorang yang berpengetahuan ilmu saya dan ilmu perilaku saya menemukan di lapangan wajib pajak juga semakin pintar mengetahui bahwa dia diperiksa dan kalau diperiksa itu dikenakan sekitar 20-40% lagi kurang bayar, maka wajib pajakpun mengambil posisi menyediakan cadangan jadi tidak diberikan bayaran penuh sehingga ini menjauhkan dari prinsip self assessment yang prinsipnya kami dipercaya kami memberikan cadangan. Jadi kalau pemeriksaan dipersepsikan akan beberapa kali maka wajib pajakpun akan mengambil posisi yang demikian. Jadi tidak mengherankan mudah untuk diramalkan dari kacamata—lagi-lagi ini pendapat pribadi saya bahwa dapat diramalkan penerimaan pajak negarapun juga dari wajib pajak pribadi akan mengalami penurunan karena cadangan diambil dari dana yang sudah direncanakan atau dibayar. Meski belum memenuhi rasa keadilan, sistem yang sudah ada, dalam beberapa tahun belakangan ini haruslah diakui telah berkembang dan mengalami kemajuan yang pesat. Saya adalah orang yang menyaksikan itu semua. Petugas-petugas pajak yang jauh lebih profesional dan jujur mulai dapat kami temui, bahkan dapat mengajarkan hal-hal yang bersifat positif, mungkin juga ini subjektif karena mereka juga khawatir bertemu dengan kami tapi rasanya di masa lalu sulit kami temui orang-orang seperti itu. Kemajuan dan proses transformasi yang diajarkan di kantor-kantor pajak kami rasakan semakin membaik. Dalam hal adanya keberatan (yang selalu kami ajukan, karena selain memberatkan dan ada keengganan manusiawi) bagi kami sebagai wajib pajak kami juga dapat menemukan jalan formal yang legal sehingga lebih mendorong kepastian berusaha dan perencanaan keuangan atau investasi untuk pendidikan anak-anak dan hari tua kami. Ada satu hal juga yang ingin saya sampaikan bahwa saya menyaksikan sendiri suatu kejadian, saya kira beberapa teman yang hadir di sini juga tahu persis ketika saya menjadi panitia seleksi Pimpinan KPK. Beberapa calon pesertanya adalah teman-teman dari BPK walaupun mereka datang sendiri, tapi ada satu hal yang menarik maka ini menyangkut data pribadi. Salah satu peserta, rekaman itu ada di kantor Menpan, saya kira semua tertulis di sana. Salah satu peserta mengatakan kekecewaannya karena ada laporan yang sudah ditemukan di lapangan ternyata tidak diteruskan ke atasannya dan pada waktu kami kejar apa yang Anda lakukan? Kalau Anda mau jadi Pimpinan KPK apa yang Anda lakukan? Pada saat itu Anda mengalami seperti itu Anda lakukan apa? Dia menjawab ya, kalau tidak bisa diutus ke sana dan pimpinan tidak
82
meneruskan kami serahkan teman-teman di LSM. Ini tentu saja sangat mengkhawatirkan bagi kami. Pak Ketua maupun Majelis Hakim yang saya muliakan Atas dasar itu, keinginan pihak lain yang hendak memeriksa kembali Wajib Pajak, terkecuali bila yang bersangkutan terlibat masalah hukum, ada fakta-fakta yang merugikan negara saya sendiri sebagai wajib pajak menyarankan hendaknya itu dihindarkan. Mari kita berpikir yang luas lebih besar pada kepentingan kita sebagai warga negara dan untuk kehidupan yang lebih baik. Hendaknya kita selalu bisa membedakan yang mana yang menjadi hak warga negara dan mana yang telah menjadi hak negara. Intervensi yang berlebihan terhadap hak warga negara hanya akan menimbulkan rasa tidak percaya dan ini menimbulkan dampak cost bagi negara yang justru memberatkan wajib pajak karena bebannya semua kembali pada kami sendiri dan pada akhirnya dapat merugikan negara itu sendiri. Bagaimana kalau nyatanya data ini menyebar juga dan harus dijalankan? Sebagai warga negara tentunya kita akan tetap patuh, namun harap dipertimbangkan bahwa kemungkinan akan semakin sedikit orang yang menginginkan memiliki NPWP dan barangkali mereka yang memiliki NPWP pun tidak akan menyerahkan data yang lengkap . Demikianlah pandangan-pandangan dan keterangan kami sebagai wajib pajak. Dan bila hal ini menyinggung perasaan sejumlah pihak dari hati saya yang paling dalam saya mohon maaf yang sebesar-besarnya ini tidak lain adalah untuk kehidupan kita untuk perubahan yang lebih baik di negara kita. Demikian Bapak Ibu sekalian, semoga Majelis Hakim Konstitusi dapat mengambil keputusan dengan jernih dan berpihak kepada Konstitusi. Terima kasih. 156. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik terima kasih, ketahuan ini Pak Rhenald ini banyak duitnya rupanya ya, baik yang terakhir ahli terakhir saya persilakan Pak Frans Limahelu. 157. AHLI DARI PEMOHON : Prof. FRANS LIMAHELU, S.H., LL.M. Pak Ketua yang terhormat dan Majelis Mahkamah Konstitusi Saya coba membuat beberapa tulisan dan sesudah mengikuti pembicaraan yang begitu ramai, saya baru berpikir sangat berbeda jauh bagi seorang legislative drafter ngomong dengan orang yang traditional litigation lawyer itu yang memecah tiap-tiap kalimat yang oleh seorang legislator drafter itu dianggap utuh, itu yang pertama. Bukan hanya pasalnya juga undang-undangnya sehingga pada waktu teman-teman saya minta hadir itu maka saya hanya bisa mengatakan saya seorang yang mempunyai latar belakang legislative drafting dan legislative
83
drafting untuk suatu Undang-Undang Dasar 1945 sangat berbeda dengan legislative drafting untuk suatu undang-undang sampai kepada satu keputusan menteri. Pertanyaan yang pertama mengapa BPK dibentuk? Itu yang menurut saya jadi justru menjadi pertanyaan yang utama, itu ada pada perubahan yang keberapa pada tahun 2000 dan keadaan negara kita pada saat itu dalam krisis moneter dan dalam keadaan itu juga banyak yang menikmati keuangan negara oleh orang-orang yang bisa menggunakannya dengan baik. Tapi tidak terjemahkan sehingga negara kita terpuruk dengan hutang-hutang yang begitu besar, sehingga oleh karena itu maka BPK dibentuk. Dari sisi demikian maka BPK itu memang dibentuk untuk menyelamatkan keuangan negara, itu yang pertama dan itu ditulis pada Pasal 23E dari Undang-Undang Dasar 1945 kita. Akibat dari pada jatuhnya keuangan negara kita maka BPK dibentuk, untuk apa? Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara kita. Itu yang menjadi hal utama, memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, itu yang dikatakan bahwa UndangUndang Dasar kita hanya memberikan hal-hal yang fundamental, yaitu memeriksa di dalam memeriksa ini dia mempunyai kewenangan dia ingin membentuk suatu procedure dia ingin membentuk suatu tata cara untuk pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, itu yang diharapkan maka itulah yang dikeluarkan oleh undang-undang yang lebih lanjut. Sehingga Pasal 23E, F, G itu merupakan satu rangkaian di dalam legislative drafting itu ada satu holistik istilahnya satu yang lengkap tidak saja dari pasal tersebut yaitu Pasal 23E itu adalah juga holistik tidak lagi kita tadi yang sudah dihantarkan pada interpretasi yang macam-macam, itu traditional litigation lawyers, sama sekali tidak ada pada mereka yang legislative drafting lawyers, sehingga kalau sudah selesai dengan memeriksa hasil pemeriksaannya harus diserahkan kepada siapa? Itu sudah tegas tidak bisa ke LSM. Kalau diberikan pada LSM berarti kita keliru memilih orang menjadi anggota BPK, siapa yang memilih anggota BPK itu perlu dipertanyakan kembali. Kemudian hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan atau badan sesuai dengan undang-undang sehingga Pasal 23E itu sudah sangat membatasi pekerjaan dari BPK dan inilah governance yang fundamental. Mari kita mulai dari sini bahwa BPK itu adalah satu-satunya lembaga negara yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan dan kemudian yang terakhir itu yang dari Pasal 23G ayat (2) maka dibentuklah undang-undang untuk mengatur lebih lanjut. Di sini mulai timbul masalahnya dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Seperti yang saya katakan tadi kalau sudah bicara soal undang-undang maka itu perlu cara yang lebih rinci. Saya ambil contoh, di dalam keterangan Pemerintah tentang hak asasi di dalam Undang-Undang tentang KUP ini, di dalam dasar mengingat tidak ada pasal Undang-Undang Dasar tentang hak asasi tapi 84
saya mengerti kenapa itu timbul, itulah pekerjaan lawyer, itulah kelebihan lawyer, litigation lawyer memasukkannya. Seharusnya ini sudah masuk pada KUP. Demikian juga menuju pada BPK, di dalam KUP pun di dalam dasar mengingat tidak men-sight Pasal 23E dari Konstitusi kita. Dengan kata lain baik HAM maupun BPK adalah excluded kalau ngomong according to the words, according to what is written di sini sudah harus mulai tidak bisa tidak, itu pekerjaan legislative drafter yang dia lupa membandingkan, memeriksa undang-undang yang lain. Itu akibatnya maka BPK tidak bisa masuk, dia tidak punya landasan hukum untuk KUP sehingga kalau dibantahkan Pasal 34 itu akibat dari tidak ada landasan hukum BPK masuk apalagi sudah ngomong soal minta izin, bagaimana saya mau minta izin kalau saya di sinipun saya tidak dikasih masuk di sini? Out of question, sehingga kalau mau diubah ubahnyapun sejauh di sini, dasar mengingatnya, dasar hukumnya itu yang untuk legislative drafter itu yang penting don’t go to the strings, to the straw, jangan pergi pada hal-hal yang detil tapi let’s start from the beginning. Yang terakhir itu soal penjelasan yang dirinci lebih luas sekali, saya pikir penjelasan namanya saja sudah penjelasan. Kalau di Amerika itu dikatakan itu legislative history. Legislative history bicara pada saat itu mau dibuat, tidak menambahkan apa yang ada tertulis di dalam batang tubuh. Kalau sudah jelas, ya cukup jelas, period. Karena itu susunan kalimat di dalam bahasa hukum sudah jelas tidak ada istilah yang dipermasalahkan. Justru di sini timbul dalam perjalanan ada wajib pajak ada informasi umum yang sama sekali tidak ada di dalam KUP. Jadi kembali lagi legislative drafter kita apa saya tidak tahu mengapa tidak bisa mengusulkan. Kemungkinan besar pada waktu pembicaraan di DPR itu timbul masalah, ada force yang kuat untuk memasukkan ini, tetapi initially awal mula dari seorang legislative drafter ia harus mempertahankan apa yang dia perjuangkan tapi DPR bisa menentukan lain dari seorang legislative drafter. Secara legislative drafting dalam bahasa Belanda itu namanya memorie van toetlichting bukan memory dalam bahasa Inggris. Toetlichting adalah penjelasan, memorie itu keterangan. Menulis memorie itu m-e-mo-r-i-e, kalau bahasa Inggris bukan “ie” tapi “y”, itu sangat berbeda. Di dalam memorie van toetlichting itu hanya penjelasan untuk menjelaskan batang tubuh dari undang-undang saja dan ini yang ketinggalan pada waktu seorang legislative drafting menghadapi 500 anggota atau 50 anggota DPR mempertahankan ini, sehingga hasilnya adalah hasil DPR dan bukan lagi hasil dari seorang legislative drafter sehingg Pak Ketua dan Hakim Majelis yang terhormat, sehingga tidak heran BPK minta itu diubah, ditolak. Menurut saya salah satu kerjaan dari legislative drafter itu why can’t we negotiate? Kita sama-sama ingin menyelamatkan negara cuma caranya tidak sama, jadi soal cara sehingga bagaimana supaya tidak ada losing face. Problem kita losing face dari kedua belah pihak. Itu yang kami harapkan bahwa di dalam tangan Majelis Mahkamah Konstitusi bagaimana bisa mempertahankan
85
dua lembaga negara kita yang sangat kita hormati dan kita cintai untuk menyelamatkan keuangan negara kita, sehingga baik BPK bisa melanjutkan tugasnya dengan sempurna tidak kehilangan muka demikian juga dari Menteri Keuangan bisa meneruskan pekerjaannya tanpa kehilangan muka, terima kasih. 158. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih. Nanti sesudah sidang ini selesai, perkara selesai diputuskan tinggal para ahli yang diajukan Pemohon ini diundang oleh Pemerintah untuk memikirkan bagaimana concern Pemerintah itu supaya Anda berpikir dari perspektif sana. Sebaliknya ahli yang diajukan oleh Pemerintah diundang saja oleh BPK supaya masing-masing bisa melihat dari dua segi, sama-sama untuk kepentingan negara. Saya rasa sudah semua perspektif sudah kami dengar tinggal saya rasa sudah cukup ini pemeriksaannya, tapi beberapa Hakim ini masih mau tanya masih ada yang kurang jelas begitu, saya harus beri kesempatan karena yang akan memutus sembilan orang ini. Jangan sampai tidak cukup informasi yang mereka terima, walaupun yang tertulis sudah banyak, berkoper-koper. Ada dua belas koper dan BPK juga silakan berapa koper lagi? Silakan dari sebelah kanan siapa yang mau tanya? Pak Hakim Harjono dulu, dua menit saja jangan panjang-panjang. 159. HAKIM KONSTITUSI : Dr. HARJONO, S.H., M.CL. Terima kasih Bapak Ketua. Saya ingin suatu konfirmasi berkaitan dengan persoalan pembuktian, kepada BPK. Kalau kita tarik persoalannya adalah berawal dari Pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945. Di situ disebutkan, ”untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.” Kata memeriksa ini menjadi kata kunci, oleh karena itu kemudian diundangkanlah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pada undang-undang itu ada ketentuan Pasal 4, di dalam ketentuan Pasal 4 itu menentukan lingkup pemeriksaan. Pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pada saat tadi pihak BPK menyatakan apa yang diminta sebetulnya adalah melaksanakan pemeriksaan kinerja, maka menimbulkan suatu persoalan tadi. Di dalam Pasal 4 itu kemudian dilengkapi pada pasal berikutnya, Pasal 5. Pasal 5 ayat (2), “standar pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah”. Jadi ada yang disebut sebagai standar pemeriksaan. Konfirmasi saja, apakah BPK sudah menyerahkan standar pemeriksaan keuangan ini sebagai bukti dalam persidangan?
86
Terima kasih. 160. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Standar pemeriksaan kinerja, maksudnya? Keuangan dan kinerja, dua-duanya, ada ya? Yang kedua! 161. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Terima kasih Pak Ketua. Saya hanya bertanya, satu kepada BPK, satu kepada saksi, satu kepada ahli. Kepada BPK pertanyaan saya apakah di dalam pengumuman hasil laporan keuangan maupun kinerja tersebut ada disebutkan nama wajib pajak di dalam laporan itu, apakah dalam laporan yang disampaikan kepada DPR atau yang dimuat dalam media yang lain? Kepada Pak Kasali, saya tadi sudah mendengar pengalaman Bapak sebagai wajib pajak tetapi dalam pengalaman Bapak sebagai wajib pajak, apakah ada juga wajib pajak yang tidak jujur? Dan kalau tidak jujur kira-kira misalnya negara yang memiliki hak atas pajak yang benar. Apakah boleh melakukan semacam pemeriksaan antara kewajiban yang sebenarnya dan kewajiban yang tidak sebenarnya yang dilakukan oleh petugas pajak. Apakah itu menurut Bapak sesuatu yang wajar saja untuk mencegah bahwa ketidakjujuran itu juga merupakan hal yang merugikan kepentingan negara. Terakhir kepada Pak Hakim, kesan saya hari ini tampaknya HAM itu agak berbeda dengan tampilan yang disajikan seolah-olah sesuatu yang sangat mutlak betul, bahkan lebih kepada hanya hak privat atau lebih privacy betul, bahkan di dalam masa persidangan pertama hak wajib pajak itu bisa disamakan dengan hak pasien yang kerahasiaannya sedemikian rupa. Tetapi dalam hubungan kenegaraan seperti ini dimana meletakkan keseimbangan antara hak kerahasiaan wajib pajak dengan hak negara yang juga berkepentingan untuk memeriksa kinerja daripada petugas pajak yang menetapkan pajak yang saya katakan tadi, ada kemungkinan bahwa itu adalah hasil dari sesuatu ketidakjujuran. Pak Hakim tadi menyinggung peradilan pajak, mungkin sudah ada comment sedikit apakah itu bukan perlindungan terhadap hak wajib pajak tetapi bukan perlindungan terhadap hak negara untuk memeriksa kebenaran pembayaran pajak. Terima kasih Pak. 162.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Jadi dua golongan kanan, dua dulu golongan kiri, dicatat dulu baru nanti dijawab. Silakan dua lagi, Pak Palguna?
87
163. HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Terima kasih Pak Ketua. Saya mau tanya Pak Billy ini, Prof. Billy Joedono. Kalau kita baca Undang-Undang BPK yang mengikuti turunan ketentuan Undang-Undang Dasar yaitu bahwa tugasnya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Lalu di Undang-Undang BPK disebutkan di sini, ”dengan demikian pemeriksaan itu meliputi pemeriksaan pengelolaan dan pemeriksaan tanggung jawab”. Lalu di sini dijelaskan pemeriksaan mengenai ini yang berkait yang disebut tanggung jawab keuangan negara adalah kewajiban pemerintah dan lembaga negara lain untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, efektif, dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Yang hendak saya tanyakan adalah menurut pengalaman Pak Billy waktu di BPK maupun berdasarkan keahlian Bapak mungkin perbandingan ke negara-negara lain tatkala BPK atau state auditor memeriksa kedua bidang itu, apakah pengelolaan maupun tanggung jawab. Apakah dia misalnya di negara lain memang dia harus memasuki sampai ke data wajib pajak? Misalnya kalau ada. Sebab yang kita bicarakan di sini kita tidak menguji UndangUndang BPK, kita menguji Undang-Undang Perpajakan. Dari situ saya ingin mendapatkan standar sebenarnya apa yang dimaksud dengan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara yang harus diperiksa oleh BPK itu? Ini saya yang mau tanyakan keahlian kepada Pak Billy. Terima kasih Pak Ketua. 164. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Terakhir, Pak Hakim Natabaya? 165. HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA, S.H., LL.M. Saya mau bertanya kepada Pemerintah. Pasal 23E itu mengatakan, ”untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bersifat bebas dan mandiri”. Dari pasal ini kita dapat merujuk apa yang dimaksud pengelolaan dan tanggung jawab negara dan keuangan negara. Di dalam masalah ini kata keuangan negara itu muncul di dalam Pasal 23 ayat (1) pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu sudah diatur mengenai ketentuan mengenai keuangan negara dan juga sudah diberikan pengertian mengenai pengelolaan. Di dalam pengertian pengelolaan dalam Undang-Undang Nomor 15 jelas dikatakan, “pengelolaan keuangan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara”. Jadi di sini ditujukan kepada pejabat. Di dalam Undang-Undang mengenai Keuangan Negara, siapa yang merupakan pemegang kekuasaan
88
pengelolaan keuangan negara? Yaitu Presiden dan Menteri Keuangan adalah sebagai kuasa dari Presiden sebagai pengelola di bidang khusus fiskal. Sekarang kita lihat kepada undang-undang yang diuji. Pertanyaannya adalah apakah Undang-Undang KUP ini adalah merupakan pelaksanaan daripada pemegang kekuasaan pengelolaan itu? Artinya penguasaan di dalam bidang fiskal. Dengan demikian ini adalah merupakan kewenangan dari Pemerintah c.q. Menteri Keuangan. Pertanyaannya adalah sekarang saya mau minta penjelasan, walaupun sudah dijelaskan sebelumnya, Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (2) jelas ini adalah suatu larangan kepada setiap pejabat. Dan larangan ini berlaku juga ayat (2)-nya terhadap tenaga ahli, betul ya Ibu? Ayat (2a)nya adalah pengecualian terhadap ayat (1), dikecualikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah, “pejabat tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan”. Berarti ini kalau dia melakukan perbuatan seperti diatur ayat (1) itu tidak kena. Begitu juga pada (2a), b, pejabat dan atau tenaga ahli yang ditetapkan kepada pejabat Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan, artinya saya akan bertanya kepada Pemerintah. Apakah yang dilakukan/dipersoalkan oleh Pemohon ini terkait kepada orang BPK, sebab di sini pejabat atau tenaga ahli yang ada di atas yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan kepada pejabat lembaga ahli atau pemerintah yang berwenang melakukan pengecualian. Jadi hanya Menteri Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk mengecualikan pejabat atau tenaga ahli itu. Sekarang ayat (3). Ayat (3) ini memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan izin kepada pejabat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud ayat (2) supaya memberikan keterangan, jadi berlainan. Di sini Menteri Keuangan memberikan izin apabila pejabat atau tenaga ahli itu untuk memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti. Pertanyaannya adalah apakah Pemerintah dalam hal ini Presiden c.q. Menteri Keuangan di dalam rangka melaksanakan pengelolaan keuangan negara, terkait dengan Pasal 23 mengenai ketentuan pajak yang diatur dalam undangundang, apakah ketentuan ini sudah sesuai dengan ketentuan tersebut? Tidak ke luar daripada koridor mengenai kewenangan daripada BPK. Ada satu lagi kepada Pemohon. Pemohon mengatakan bahwa BPK itu menurut Pasal 23 mempunyai kewenangan. Tapi kalau kita baca dengan teliti, tidak ada mengenai kewenangan dari BPK. Kewenangan dari BPK baru muncul di dalam Undang-Undang BPK. Di dalam UndangUndang BPK dikatakan demikian, “dalam melaksanakan tugasnya BPK berwenang”. Artinya undang-undang tidak mengatur mengenai kewenangan BPK, Undang-Undang Dasar. Undang-undang yang mengatur kewenangan ini jelas, dalam melaksanakan tugasnya BPK berwenang. Jadi dimana letaknya menurut Pemohon bahwa Pemohon
89
mempunyai legal standing menurut Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa hak dan kewenangan itu harus diatur di dalam undang-undang? 166. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, untuk menjawab ini barangkali saya atur begini ya, jadi tadi yang ditanya Pak Abdul Hakim, kemudian Pak Rhenald Kasali kalau tidak salah, Pak Billy Joedono, sesudah itu saya persilakan Pemohon, kemudian Pemerintah. Karena ini saya harapkan akan merupakan kesempatan terakhir dan rasanya sidang kita ini cukup ya, tidak perlu diadakan sidang selanjutnya seperti yang juga diharapkan oleh Pak Faisal Basri tadi, betul bicara begitu? Betul ya, saya rasa cukup, karena itu dimanfaatkan sekaligus untuk menyampaikan konklusi saja, konklusi sementara sambil nanti konklusi secara tertulis tentu kita beri kesempatan untuk di susun dengan sebaik-baiknya. Tapi sekarang sambil menjawab pertanyaan sekaligus juga menyampaikan konklusi. Bagaimana Pak Bambang? 167. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Pak Ketua, kami masih ada saksi yang dari, maaf Ahli yang dari Belanda dan Australia. Dan seperti sidang sebelumnya Bapak sudah memberikan hint atau sign bahwa ahli itu bisa diperiksa. Jadi memang ahli yang sekarang ini sudah cukup, tapi ahli yang kami usulkan nama juga sudah disebut bahkan surat kami sudah masuk ke (…) 168. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Itukan kita tentukan sidang yang lalu itu kita tentukan hari ini atas permintaan Pemohon bukan? 169. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Betul Pak, tapi di situ ada sejumlah ahli dan Bapak mengatakan ahli yang dari dalam yang akan diperiksa. Dan surat itu sudah disampaikan sejak dua minggu yang lalu, jadi sejak awal sidang sudah kami sebut nama-namanya. 170. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, ya, waduh ini bagaimana ya. Semestinya kita tegas ini, tapi menyangkut orang lain, betul ini sudah dikirim surat? Maksudnya kesediaan yang bersangkutan itu, karena negara lain ini, kepastiannya bagaimana?
90
171. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Yang sudah confirm itu dari Belanda Ms. Stewfeling dan dari Australia Bapak Steve Chapman. 172. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sebenarnya kalau belum pasti betul ya, sudah cukup ini ahli-ahli kita ini sudah cukup hebat-hebat semua ini, iya bukan. Coba dipertimbangkan, begini saja, kita tutup dulu sidang ini, nanti (...) 173. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Saya usul begini Pak. Sambil proses yang tadi sedang diusulkan berjalan dulu, sambil kami mendiskusikan dengan teman-teman supaya sidangnya tidak terpotong, tadi harus ada jawaban dari ahli di sini (...) 174. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, kalau begitu konklusinya seandainya kita putuskan sidang ini terakhir, konklusinya tertulis saja. Tapi seandainya memang sudah kadung begitu kita pertimbangkan juga hubungan baik kita dengan BPK, ini BPK dari Belanda dan Australia? Baik, jadi saya kira begitu dijawab saja dulu sekarang dan yang terakhir nanti saya persilakan Pemerintah nanti untuk kelanjutan apakah perlu sidang lagi atau tidak kita tentukan belakangan. Begitu ya, bagaimana mulai dari Pak Abdul Hakim dulu? 175. AHLI DARI PEMERINTAH : ABDUL HAKIM GARUDA NUSANTARA, S.H., LL.M. Terima kasih. Bapak Ketua atas pertanyaan dari Bapak Hakim Konstitusi Siahaan. Jadi kalau berbicara mengenai hak asasi wajib pajak dalam kasus yang kita bicarakan sekarang ini hak atas perlindungan, hak perlindungan atas harta benda kekayaan yang dimilikinya itulah property yang dalam konteks ini adalah informasi konfidensial sebagai suatu property. Hak asasi ini memang bukan termasuk dalam kategori non derogable right, jadi hak ini selalu bisa diatur, dikontrol, dikendalikan dan dibatasi penikmatannya, tetapi harus didasari dengan undang-undang. Ada tiga syarat untuk membatasi itu, satu berdasarkan hukum, tidak sewenang-wenang, dan proporsional. Sebenarnya Pasal 34 ayat (2a) huruf b yang dimohonkan oleh Pemohon itu adalah sudah mengambil posisi persis seperti itu di tengah, pada satu sisi pemerintah dalam hal ini
91
Menteri Keuangan dibebani suatu kewajiban oleh Konstitusi untuk melindungi hak asasi manusia yang dalam hal ini adalah hak asasi wajib pajak, pada sisi yang lain ada kebutuhan untuk melayani kepentingan umum yaitu pemeriksaan, penyidikan, dan seterusnya. Jadi Pasal 34 ayat (2a) huruf b dalam perspektif hak asasi dia itu memang itulah due process of law itulah yang menjaga keseimbangan itu. Persoalan yang kedua yang dikemukakan oleh Pak Maruarar tadi, bagaimana kalau ada aparat yang menyimpang dalam proses ini? Siapa yang mengontrol? Kontrolnya bagaimana? Itu satu isu yang berbeda karena justru untuk mengontrol tadi, maka harus dibuka itu oleh Pemerintah memberikan akses kepada eksternal audit untuk memeriksa, tetapi itu tidak bisa menjadi suatu yang dituangkan dalam suatu putusan yang berlaku untuk semua itu harus on case by case bases. Seorang wajib pajak yang sudah menjadi tersangka, itu jelas dia tidak mempunyai dasar untuk berkeberatan kalau informasinya di-disclosure, tidak ada dasar, tetapi wajib pajak yang tidak dalam tahap itu dia punya hak untuk berkeberatan. Jadi dalam hal ini bagaimana kalau misalnya BPK aksesnya ditutup oleh eksekutif, ini persoalan yang harus ditangani on case by case bases. Bisa saja BPK bisa mengambil legal action ke pengadilan bahwa akses dia untuk melakukan audit itu secara tidak sah ditutup oleh eksekutif. Jangan lupa BPK itu bukan badan yudisial, dia juga bukan badan eksekutif, dia itu lembaga negara yang tugasnya memeriksa. Jadi saya rasa problem yang dikemukakan oleh Pak Hakim Maruarar Siahaan tadi itu problem yang bisa muncul dalam level kasus-kasus, yang pemecahannya memang dalam sistem negara hukum bisa saja pihak institusi yang dirugikan atau dicegah untuk melaksanakan tugasnya oleh institusi negara yang lain, itu ke pengadilan. Saya rasa itu terbuka jalan untuk ke sana, sehingga saya tidak melihat ada sesuatu yang salah di dalam undang-undang ini tetapi kita melihat ini ada kasus-kasus seperti itu yang selalu bisa diselesaikan on case by case bases. Jadi kita harus membedakan betul antara prinsip hukum ketentuan-ketentuan yang telah menuangkan secara tepat prinsip-prinsip itu dengan kasus-kasus, kasus beberapa kali kalau ini betul, quote non ada hambatan-hambatan seperti itu ya kita selesaikan kasus-kasus, selama bisa diselesaikan lewat out court settlement kenapa tidak? Tapi persoalannya memang menjadi sulit kalau misalnya salah satu pihak atau dua pihak itu sudah apriori sudah menjadi sangat tidak percayanya kepada institusi yang lain ini memang sulit, ini sebuah sikap yang banyak kita jumpai pihak berbeda dengan yang kepentingan yang begitu punya prasangka kurang baik terhadap yang lain, akhirnya memaksakan diri pergi ke pengadilan walaupun sebenarnya dasar untuk ke pengadilan belum tentu kuat. Jadi menurut saya itu kasus dan saya melihatnya itu kasus dan kasus itu harus bisa diselesaikan tapi tidak berarti harus mengubah aturan dasarnya, itu terima kasih Pak Ketua.
92
176. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Pak Rhenald? 177. SAKSI DARI PEMERINTAH : RHENALD KASALI, Ph.D. Baik, Majelis Hakim yang saya hormati, sebelumnya saya mohon izin setelah ini meninggalkan tempat karena saya harus mengajar di luar kota, besok pagi kalau diperkenankan tentunya saya mohon izin setelah ini. Saya akan jawab yang pertama apakah betul banyak wajib banyak yang tidak jujur? Saya kira secara manusiawi manusia itu sudah kalau kita pernah belajar tentang ilmu pajak, dikasih tahu bahwa secara manusiawi pada dasarnya manusia itu memang enggan bayar pajak. Apalagi kalau kita lihat bahwa yang kita terima di negara ini jalanannya seperti ini dan sebagainya pasti ada rasanya apa yang kita berikan dengan yang kita terima itu tidak sama, semakin itu ada dorongan. Tetapi saya kira jangan berprasangka bahwa semua orang itu seperti itu. Kalau kita berbicara dari segi korporasi dari pengalaman saya berinteraksi saya kira banyak yang juga mengalami, semakin ter-manage dengan baik perusahaan itu tentu saja akan semakin patuh terhadap pajak, apalagi kalau mereka yang larinya ke brand image-nya bagus, karena ini menyangkut reputation, jadi mereka akan stick ke sana. Dari pengalaman saya semakin terkelola secara profesional mereka pasti sudah potong pajak kita memberi tahu dan sebagainya, jadi mereka sangat patuh terhadap hal itu walaupun tidak jaminan bahwa semuanya seperti itu, pasti case by case kita akan temukan. Boleh atau tidak ada pihak lain yang memeriksa? Begitu pertanyaannya Pak yang kedua. Saya kira kalau boleh tidak boleh, ini Bapak-Bapak lebih tahu ini masalah hukum tapi barangkali dari saya sebagai wajib pajak saya melihatnya begini, sejak tahun 1984 kita menganut asas self assessment itu artinya kita semakin dipercaya dan saya kira ini semakin mahal. Alangkah indahnya Indonesia itu dengan landasan hukum yang kuat kita itu menjadi semakin trusted country begitu, negara yang mendapat high trust society. Kalau kita semakin bergeser distrusted itu pemeriksaannya pasti akan semakin banyak; si A periksa, si A tidak dipercaya, si B periksa. Si B periksa, si B tidak dipercaya dan Si C periksa, jadi semakin banyak yang periksa itu cerminan kita kurang percaya sebetulnya, tetapi saya kira sebuah state yang modern itu akan lari ke high trust society. Jadi kalau self assessment itu pada dasarnya menurut hemat kami adalah mendidik wajib pajak agar menjadi bisa lebih dipercaya, kalau dia salah ada teguran. Dengan adanya teguran dia diminta untuk memperbaiki, jadi bukan official state, dimana kita kembali ke zaman dulu dimana zaman dulu petugas pajak yang datang ke toko-toko, ke rumah, ke kantor ditentukan pajaknya dari pihak state tadi dari negara yang menentuan, kantor pajak yang menentukan. Saya kira itu ada cost
93
tersendiri, bayangkan kalau semua orang didatangi seperti itu. Saya kira prinsip pengumpulan pajak itu adalah jangan sampai biaya pengumpulan dan pemeriksaannya lebih besar dari lebih besar dari yang berhasil dikumpulkan. Saya kira saya sebagai wajib pajak juga akan menolak hal itu. Lantas prinsip apa yang bisa diberikan? Saya kira yang pertama tidak menjadi masalah siapa yang memeriksa asalkan yang memeriksa itu bertanggung jawab, ada yang bertanggung jawab dan kalau ada apaapa, there must be someone to be blame and responsible for that,, buat wajib pajak tidak jadi masalah yang penting bertanggung jawab dan kalau ada apa-apa kita bisa tahu orangnya ini dan dia harus bertanggung jawab sehingga bisa dicegah hal-hal lain, harus ada kepastian sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan kita tahu transparan, saya kira indahnya seperti tadi dalam pernyataan saya tadi yang paling indah itu pemeriksaan seminimal mungkin, artinya kita dipercaya sebagai warga negara, terima kasih. 178. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, Pak Billy? 179. AHLI DARI PEMERINTAH : Dr. SATRIO BUDIHADJO JOEDONO Terima kasih Pak Ketua dan Pak Hakim. Tadi pertanyaannya adalah mengenai pengelolaan dan tanggung jawab negara. Secara umum Pak, semua pemerintah dan semua badan itu bekerja atas dasar rencana, apa yang mau dicapai dan rencana itu memerlukan uang. Jadi suatu rencana kegiatan lazimnya diterjemahkan menjadi kebutuhan uang, yaitu menjadi anggaran, begitu anggaran itu diterima maka kepada setiap pimpinan kantor sebagai pengguna anggaran diletakkan tanggung jawab untuk pengelolaan anggaran, pengelolaan keuangan negara karena ini menyangkut keuangan negara maka setiap menteri dan pimpinan lembaga/kantor itu menjadi ditugaskan sebagai pengguna anggaran dan karena itu bertanggung jawab atas penggunaan, pengelolaan uang-uang negara yang dipercayakan kepada kantornya dan pemeriksaan mengenai pengelolaan ini meliputi misalnya pengadaan barang, apakah dilakukan pengadaan barang itu dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku? Apakah ada tendernya? Apakah ada dokumen tendernya? Apakah prosedur tendernya itu diikuti? Ini adalah contoh mengenai memeriksa pengelolaan anggaran, pada akhir tahun perlu ada pemeriksaan perbandingan antara apa yang direncanakan dan apa yang dicapai. Itu diwujudkan dalam laporan keuangan yang dalam perundang-undangan itu mencakup realisasi anggaran, apakah yang ada tercapai pada akhir pelaporan memang sesuai dengan apa yang direncanakan? Ada laporan arus kas, apakah uang diterima dan dikeluarkan sesuai dengan peraturan? Dan ada neraca, yaitu hasil akhir dari pelaksanaan anggaran
94
ditambah kepada apa yang sudah ada sebelumnya sehingga diketahui kekayaan negara yang ada dikuasai oleh kantor yang dipimpin oleh menteri atau oleh pimpinan kantor yang menjadi pengguna anggaran, jadi ini pengelolaan dan tanggung jawab. Tadi dijelaskan mengenai tiga jenis pemeriksaan, satu adalah pemeriksaan keuangan yaitu bermaksud untuk apakah uang yang direncanakan dan dianggarkan memang digunakan sesuai tata cara penggunaannya, berbentuk dalam laporan arus kas, laporan neraca, dan realisasi anggaran. Itu diperiksa apakah saya punya definisi yang sederhana mengenai audit Pak. Audit itu adalah memastikan apakah yang dilaporkan sesuai dengan apa yang kenyataannya dan kemudian apakah yang menjadi kenyataan sesuai dengan apa yang seharusnya, itu laporan kinerja dan ada laporan pemeriksaan ketiga, dengan tujuan khusus kalau ada perbedaan, ini apakah karena kesalahan atau kesengajaan? Lalu kita periksa yang bersangkutan itu khusus untuk menemukan apakah ada unsur kejahatan, unsur penipuan dan kalau ada kita laporkan kepada yang berwajib untuk dijadikan bahan untuk penyidikan, penyelidikan, dan seterusnya. Tadi telah menggambarkan data-data yang diperlukan untuk memeriksa penerimaan, itu sebagai contoh dari pemeriksaan kinerja. Misalnya Pak, saya punya acount di bank. Setiap bulan saya dapat bunga giro dipotong pajak, kemudian saya punya deposito, setiap bulan saya dikasih bunga deposito dipotong pajak. Sekarang menjadi pertanyaan, Menteri Keuangan semestinya tahu berapa deposito yang beredar selama tahun itu. Kemudian dihitung 20%, sehingga semestinya ada deposito sekian, ada bunga deposito sekian, memang harus rinci Pak karena deposito macam-macam ada satu bulan, ada tiga bulan, ada enam bulan, ada satu tahun ada yang on call, datanya memang tidak gampang rumit ini, tetapi kalau datanya ada bisa ditentukan. Pada tahun ini ada deposito sekian tahun, ada satu tahun, ada enam bulan, tiga bulan, satu bulan, jumlah masing-masing sekian triliun. Bank yang menerimanya bank apa saja, semestinya 20% dari itu adalah bunga deposito, masuk tidak itu dari bank-bank itu deposito? Itu namanya mengecek kinerja. Untuk itu ada juga pajak, berapa? Untuk menentukan apakah penerimaan pajak itu sesuai dengan yang seharusnya, tadi ditayangkan beberapa jenis dokumen. Bagi saya itu gampang saja, BPK bicara dengan Dirjen Pajak ini program audit saya, mari kita bicarakan. Kemudian kita bicarakan bukti-bukti dokumen yang diperlukan, terus dibedakan ini dokumen privat, ini dokumen publik. Kalau ada dokumen privat yang tidak bisa diberikan dibicarakan apa penggantinya dan sebetulnya masalah itu semestinya tidak sampai kepada Mahkamah Konstitusi. Kemudian ini membawa saya kepada pertanyaan yang satunya lagi apakah untuk pemeriksaan yang dilakukan BPK perlu dimasuki keterangan pribadi dari wajib pajak. Saya pikir lebih baik kita coba menghindari dulu Pak, kita coba untuk semaksimal mungkin melakukan program audit dengan data-data publik yang ada. Memang
95
ada masalah, oh itu dilarang oleh penjelasan Pasal (2a) itukan rasanya bisa dibicarakan dengan para pejabat. Itukan ada peraturan pelaksanaan. Sehingga dengan demikian bisa disepakati dokumendokumen apa saja yang mana publik, yang mana privat. Kemudian, oh ya program auditnya disetujui, dokumen-dokumennya bisa disampaikan, terus bekerja. Memang banyak masalah-masalah yang ruwet, misalnya tapi masalah yang ruwet itu bagi saya itu tidak perlu mendorong kita untuk serta merta mencari penyelesaiannya kepada Ayat (1) Pasal 34. Apakah Bapak masih ada pertanyaan lain? Barangkali kita (…) 180. HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. (suara terputus-putus) 181. AHLI DARI PEMERINTAH : Dr. SATRIO BUDIHADJO JOEDONO Itu berbeda-beda Pak, berbeda-beda Pak. 182. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Mungkin nanti saja barangkali itu ya, kalau memang jadi itu, itu saja saya rasa. 183. AHLI DARI PEMERINTAH : Dr. SATRIO BUDIHADJO JOEDONO Ya, tadi ada saksi-saksi yang berbeda-beda, ada yang sangat ketat, ada yang membolehkan tetapi dalam situasi yang sangat ketat, sehingga yang penting bagi saya Pak adalah bahwa rahasia pribadi itu yang ditakutkan oleh wajib pajak ada dua, rahasia pribadi menjadi bagian dari pengetahuan publik lewat laporan. Kedua, yang dikatakan oleh Pak Hakim, diadili dua kali oleh pejabat yang berbeda untuk perkara yang sama, itu yang dikatakan oleh Pak Hakim. Sehingga apabila kita bisa menemukan cara untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan kinerja dengan data-data publik termasuk yang bisa dipublikasikan oleh pajak, apakah surat ketetapan pajak itu, itu dokumen publik atau dokumen privat Pak Darmin? 184. PEMERINTAH : DARMIN NASUTION (DIRJEN PAJAK) Ketetapan pajak dibuat oleh petugas pemeriksa pajak, bukan dibuat oleh wajib pajak. 185. AHLI DARI PEMERINTAH : Dr. SATRIO BUDIHADJO JOEDONO Tapi itu dokumen publik?
96
186. PEMERINTAH : DARMIN NASUTION (DIRJEN PAJAK) Dia lebih ke dokumen publik. 187. AHLI DARI PEMERINTAH : Dr. SATRIO BUDIHADJO JOEDONO Bisa disediakan kepada, jadi inikan kita bicara begitu bisa itu Pak, kok sampai ke Mahkamah Konstitusi? Saya sedih itu. Terima kasih Pak. 188. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oke, saya kira mungkin kalau tidak ada forum ini mungkin belum keluar juga kalimat begini, iya bukan? Baik, jadi Saudara-Saudara sekalian saya kira cukup keterangan ahli maupun keterangan saksi atas nama nama Mahkamah ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para ahli dan para saksi semua. Semua di-record dan semua nanti akan kami tulis, kami baca, dan juga itu jadi milik publik juga bisa dibaca oleh semua pihak nanti dan bertanya? Iya, ya barangkali nanti jadi sakit pulang, ya boleh-boleh tetapi jangan panjang-panjang ya? 189. AHLI DARI PEMOHON : Dr. FAISAL BASRI, S.E., M.A Ya, inikan proses, pembuatan undang-undang di DPR, mungkin 2/3 yang membuatnya DPR, tetapi setiap sidang DPR-nya keluar masuk, keluar masuk. Kalau kita begini terus bernegara melakukan kesalahan yang sama, kesalahan lagi, kesalahan lagi. Dan ini jadi tempat sampah untuk bersihkan dalam kerja mereka begitu. Concern saya saja. 190. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oke, baik. Jadi tadi kita pun nanti akan meminta, keterangan
tertulis yang resmi sudah mereka sampaikan dalam sidang. Dan tertulis juga sudah, cuma risalah yang belum. Jadi saya sudah beri tahu, risalah juga akan kita minta, yang tadi disebut memorie van toetlichting segala tadi, jadi begitu juga perlu juga ketahui perdebatan pasal ini waktu dia dirumuskan. Tetapi saya ingin mengakhiri ini dengan sekali lagi mengucapkan terima kasih. Terakhir nanti tentu saya beri kesempatan kepada Pemohon dulu sesudah itu Pemerintah, tetapi saya ingin sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada Ahli dan Saksi. Jadi kami Hakim Konstitusi ini tidak perlu ahli ekonomi, tidak perlu menjadi ahli akuntansi, apalagi auditing. Tetapi kita mengandalkan keterangan Anda semua. Jadi mana nanti bisa saja ada perbedaan, kita lihat nanti mana yang lebih benar, mana yang lebih benar kaitannya dengan Konstitusi. Dan kalau dua-duanya seperti benar, mana yang paling tepat kaitannya dengan Undang-Undang Dasar begitu saja, tetapi
97
terlepas dari itu semua mudah-mudahan ini jadi tidak sia-sia ini sidang ini, sehingga nanti mendorong juga untuk solusi di dalam sesudahnya. Apa lagi? 191. AHLI DARI PEMOHON : ABDUL HAKIM GARUDA USANTARA, S.H., LL.M. Surat ketetapan pajak itu memang dibuat oleh pejabat publik, tetapi surat ketetapan pajak itu keputusan kepada individu tertentu. Jadi itu bukan dokumen publik, itu informasi milik pribadi wajib pajak walaupun dikeluarkan oleh pejabat publik. Seperti saya punya KTP itu ditandatangani oleh pejabat publik, tetapi itu bukan dokumen publik. Terima kasih. 192. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Jadi itu pendapatnya Ahli, nanti kita nilai apa benar begitu. Jadi sekarang saya persilakan Saudara Pemohon dan selanjutnya nanti Pemerintah mudah-mudahan ini tidak terlalu lama dan ini belum kesimpulan kalaupun nanti akan ada, tolong Saudara Pemohon mengajukan surat saja dulu khusus untuk ahli yang dari luar negeri itu. 193. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Terima kasih Pak Ketua. 194. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan. 195. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Saya mau menjawab pertanyaan dari Hakim Konstitusi tadi 196. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Iya ini sekalian menjawab pertanyaan dan sekaligus catatan terakhir. Silakan. 197. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Terima kasih Pak. Mengenai kewenangan, ada tiga alasan yang sebenarnya yang bisa diajukan. Yang pertama di dalam Konstitusi ada kewenangan yang dirumuskan secara eksplisit, misalnya saja MPR berwenang mengubah
98
dan menetapkan undang-undang. Mahkamah Agung berwenang mengadili, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili, Komisi Yudisial berwenang mengusulkan. Jadi ada yang secara eksplisit sudah clear, tetapi ada juga pengaturan kewenangan yang dirumuskan tidak secara eksplisit, misalnya saja MPR melantik Presiden, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan. Nah, kewenangan itu menurut kami Pak Hakim itu muncul dari situ tetapi tidak dengan penjelasan yang eksplisit, jadi ada di Konstitusi. Yang kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-I/2003 itu membuat satu definisi apa yang disebut dengan lembaga negara, yaitu satu lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang. Di situ ditegaskan yaitu, MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan BPK, jadi putusan itu menyatakan seperti itu. Yang kedua, lembaga negara yang kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar melainkan oleh undang-undang, itu yang kedua. Yang ketiga, sebenarnya yang di bagian terakhir mengenai kewenangan ada pertanyaan ada pemikiran yang ekstensif dimana predikat aktif yang mendampingi organ Konstitusi dapat dimaknai sebagai kewenangan konstitusional. Jadi itu kira-kira latar belakang munculnya kewenangan dan tentu saja karena kewenangan itu karena normanya belum selesai dan dirumuskan itu di dalam Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan, itu pertanyaan mengenai kewenangan. Pertanyaan yang lainnya akan dijawab oleh rekan saya. 198. KUASA HUKUM PEMOHON : HENDAR RISTIAWAN Bapak Ketua, menjawab pertanyaan apakah di dalam hasil pemeriksaan yang diumumkan BPK di website itu memuat nama wajib pajak? Sebelum menjawab pertanyaan ini barangkali ada hal yang ingin Pemohon sampaikan, bahwa kewajiban mempublikasikan hasil pemeriksaan BPK adalah kewajiban yang dibebankan oleh undangundang, itu yang pertama. Tetapi kedua undang-undang juga kemudian memberikan sanksi atau ancaman sanksi di dalam Pasal 25 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 bagi pemeriksa atau anggota BPK yang memanfaatkan data dan informasi yang diperoleh dari hasil pemeriksaan melampaui kewenangannya, itu diancam dengan pidana. Demikian juga di dalam standar pemeriksaan keuangan negara itu sudah diberlakukan dengan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 dan diundangkan di dalam Lembaran Negara itu juga ada ketentuan bahwa dimuat di dalam standar pelaporan pemeriksaan. Di dalam standar laporan pemeriksaan dikatakan bahwa BPK tidak boleh mengungkapkan informasi rahasia yang dilarang oleh undang-undang, demikian yang dapat kami sampaikan. Terima kasih.
99
199. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Tadi disebutkan oleh Pak Ketua, apa kesimpulan umum dari semua proses ini walaupun nanti kami usulkan ada waktu untuk merumuskan itu secara tertulis mungkin minggu depan dan kami tidak perlu ada sidang tetapi rumusannya ditulis dengan cukup baik meliputi seluruh proses yang sudah dijalankan, jadi tidak ditutup dengan pernyataan sekarang ini, tapi secara umum saya ingin mengatakan bahwa kami berketetapan dan setelah melihat proses persidangan ini mudah-mudahan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan dari Pemohon seluruhnya dan menyatakan BPK dapat melakukan pemeriksaan penerimaan perpajakan serta dapat mengakses data dokumen, keterangan data, dan keterangan yang sesuai seperti UndangUndang BPK dan Undang-Undang mengenai Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan menyatakan sebagian isi Pasal 34 ayat (2a) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 juncto 28 Tahun 2007 sepanjang menyangkut frasa ditetapkan Menteri Keuangan untuk bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) Undangundang Dasar 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta menyatakan sebagian isi Pasal 34 ayat (2a) huruf b UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sepanjang menyangkut frasa “atau instansi pemerintah” bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta bagian lain dari petitum permohonan kami. Terima kasih Bapak Ketua. 200. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, yang terakhir Ibu Menteri, menjawab pertanyaan sekaligus catatan akhir. 201. PEMERINTAH : Dr. SRI MULYANI INDRAWATI (MENTERI KEUANGAN) Jadi pertanyaan Pak Hakim mengenai kewenangan Menteri Keuangan mungkin akan saya mulai dan sekaligus juga menyampaikan beberapa hal. Bahwa kewenangan Menteri Keuangan yang ditentukan di dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 untuk memberikan izin pengecualian kepada pejabat pajak dan tenaga ahli, itu bisa dilihat di dalam konteks dua hal. Tentu dalam hal ini saya akan mulai dengan bahwa fakta di dalam Undang-Undang mengenai Keuangan Negara menyebutkan bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara dipegang oleh Presiden dan dalam hal ini kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan adalah atribusi atau diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Menteri Keuangan dalam hal ini sebetulnya merupakan salah satu
100
yang mendapat pendelegasian dari pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara yaitu dalam hal pengelolaan fiskal karena pada hal yang sama kuasa Presiden tersebut untuk mengelola keuangan negara juga di delegasikan kepada yang lainnya, yaitu menteri atau pimpinan lembaga lain di dalam hal penggunaan anggaran dan kepada gubernur, bupati, walikota di dalam pengelolaan keuangan daerah. Jadi Menteri Keuangan kedudukannya adalah karena sebagai pengelolaan fiskal. Di dalam hal ini konteks Menteri Keuangan adalah karena memiliki atau mendapatkan pendelegasian kekuasaan pengelolaan keuangan negara dalam hal pengelolaan fiskal. Yang kedua adalah Menteri Keuangan adalah pejabat atau atasan dari pejabat yang tadi disebutkan di dalam Pasal 34 ayat (1) yaitu yang berwenang memberikan perintah jabatan kepada pejabat pajak atau staf ahli, tenaga ahli pajak yang berada di lingkungan Departemen Keuangan. Jadi kami ingin mengulangi sekali lagi bahwa bukan Menteri Keuangan memberikan izin atau tidak memberikan izin kepada BPK untuk mengakses tetapi adalah memberikan perintah atau kewenangan kepada yang diberikan kepada pejabat di bawah Departemen Keuangan yang merupakan di bawah tanggung jawabnya untuk memberikan informasi yang seharusnya dirahasiakan. Kami ingin sedikit mengelaborasi mengenai fungsi Menteri Keuangan dan scope keuangan negara ini karena nampaknya saya sangat yakin kepada para Hakim memahami secara sangat baik mengenai seluk-beluk Konstitusi, namun keuangan negara juga dalam hal ini mungkin perlu dari sedikit pengalaman maupun apa yang kita hadapi. Di dalam Undang-Undang Nomor 17 Menteri Keuangan di dalam mengelola fiskal sebetulnya bukan tidak terbatas juga, di situ disebutkan pengelolaan fiskal adalah menyusun kebijakan fiskal di dalam kerangka ekonomi makro, menyusun Rancangan APBN, dan Rancangan Perubahan APBN, menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, kenapa kami menyebutkan APBN berkali-kali? Karena kami ingin menyampaikan nanti ke dalam susunan argumen yang ingin kami sampaikan terhadap concern dari BPK yang menurut saya dari spirit kami tidak ada perbedaan sama sekali keinginan untuk mengelola keuangan negara yang harus dipertanggungjawabkan dengan baik, itu kami tidak ada sama sekali ada perbedaan dengan Pemohon. Jadi tadi Menteri Keuangan adalah mengelola fiskal adalah menyusun kebijakan fiskal dan menyusun APBN, membuat laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban APBN, dan melaksanakan tugas lain di bidang pengelolaan. Penyusunan dan penetapan APBN ini ada di dalam Bab III Pasal 11 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara, kenapa kami sebutkan sekali lagi mengenai APBN? Karena di sini disebutkan Pasal 11, “APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun”, wujud pengelolaan. Kita bicara tentang pengelolaan
101
interpretasikan segala macam di itu jelas ada, wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang. Itu definisi keuangan negara yang kemudian di-define lebih clear lagi, lebih spesifik lagi, dan ditetapkan di dalam undang-undang. APBN itu sendiri terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan, tiga kelompok hal. Dalam kasus hari ini adalah BPK nampaknya melihat kepada pendapatan negara sudah betul atau tidak? Mari kita lihat bagaimana menetapkan yang disebut target pendapatan negara. Pada saat kami menyusun APBN kami membuat estimasi yang tadi disebutkan Pasal 1 merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan di dalam undang-undang dan merupakan wujud dari kebijakan fiskal di dalam kerangka ekonomi makro. Jadi kalau kita menetapkan target penerimaan negara bukan lihat awan dan bulan terus dapat angka terus di-pleg number di dalam APBN, itu merupakan estimasi dari keseluruhan dari kerangka ekonomi makro untuk kemudian menyusun angka itu, itupun angka kemudian akan dikuliti dan dibuka satu-satu oleh DPR untuk menetapkan apakah target itu bisa dipertanggungjawabkan baik secara politik, hukum, maupun dari sisi faktual ekonomi. Berapa penerimaan potensi pajak yang seharusnya di Republik ini dan kenapa hanya segitu yang ditaruh di dalam APBN? Ini untuk memberikan penjelasan seolah-olah di Indonesia kita selalu mengatakan uang begitu banyak segala macam ada, kok tidak bisa di-collect dalam bentuk pajak. Bahkan di dalam menetapkan yang disebut target penerimaan pajak kami rinci dan yang disebut penerimaan negara itu sebetulnya bukan hanya pajak, penerimaan negara atau pendapatan negara terdiri dari penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Yang hari ini zoom lebih kecil lagi adalah mengenai penerimaan pajak, yang ingin dikejar mengenai apakah yang ditetapkan di dalam target penerimaan pajak dan yang akhirnya kita bisa collect adalah sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang baik seperti yang kita perkarakan pada hari ini. Undang-Undang tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yaitu Undang-Undang Nomor 15 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang kemudian menjadi mandat bagi BPK untuk melaksanakan yang disebut tanggung jawab konstitusinya juga memberikan suatu pendefinisian yang begitu sangat spesifik mengenai apa-apa yang sebetulnya disebut pengelolaan dan pertanggungjawaban dari pengelolaan keuangan negara. Kami ingin mengulang sekali lagi karena ini adalah penutup sebelum tadi yang disebutkan oleh Bapak Pimpinan Hakim, apa yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di dalam sidang minggu lalu. BPK dalam hal ini disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Penjelasan Umum dalam hal pelaksanaan pemeriksaan. Di situ juga sangat spesifik disebutkan, “BPK memilki kebebasan dan kemandirian dalam tiga tahap pemeriksaan, yaitu
102
perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kita mulai lagi, kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan objek yang akan diperiksa kecuali di situ dituliskan secara eksplisit kecuali pemeriksaan yang objeknya telah diatur sendiri di dalam undang-undang atau pemeriksaan berdasarkan pemeriksaan khusus lembaga perwakilan. Jadi kalau kita ingin menginterpretasikan bebas dan mandiri bukannya tanpa rambu-rambu, jelas di sini semua undangundang yang merupakan tiga paket Undang-Undang Keuangan Negara telah dipikirkan secara sangat detail mengenai scope keuangan negara apa-apa yang harus dikelola dan bagaimana mempertanggungjawabkannya dan memeriksanya dan itupun tetap dengan pernyataan bahwa ada bidang-bidang di dalam keuangan negara yang diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu, itu juga dihormati bukan karena semuanya memang tidak mungkin masuk di dalam Undang-Undang Nomor 17, Undang-Undang 1 mengenai Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 mengenai Pertanggungjawaban Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab. Jadi dalam hal ini para Hakim yang kami muliakan, tentu kami sebetulnya menyesalkan bahwa kami harus banyak sekali mengalokasikan tenaga dan waktu untuk melakukan atau menghadapi kasus ini, karena sebetulnya seperti yang dikatakan oleh Bapak Billy dan yang lain kami tidak melihat suatu constraint yang substansial baik legal maupun dari sisi praktik faktual mengenai kendala BPK melakukan fungsi pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Semuanya telah tersusun secara cukup detail dan rapi. Mungkin tidak 100% sempurna, tapi jelas pada saat menyusun dari mulai UndangUndang Nomor 17 mengenai Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 mengenai Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 mengenai Pemeriksaan, dan Undang-Undang BPK sendiri itu semua didesain untuk memungkinkan BPK melakukan fungsinya secara baik, secara tadi yang disebut bebas mandiri. Saya ingin menyampaikan lagi bahwa tadi ditanyakan mengenai praktik negara karena ini juga Pemohon nampaknya ingin membawa BPK dari negara lain ke sini walaupun kami boleh berkomentar ini kita bicara tentang undang-undang kita terhadap Konstitusi kita tentunya menurut saya walaupun ada gunanya untuk pengetahuan tidak relevan di dalam mengadili kasus ini, bahkan untuk tidak memberikan persepsi bahwa kami menutup praktik di negara lain. Di dalam keterangan Pemerintah halaman 53 sampai 83, 30 halaman kami tuliskan di situ praktik di Inggris, Amerika, Kanada, Australia, Perancis, New Zealand. Kemarin Bapak Ketua Hakim memuji kami bisa berbahasa Inggris dan Perancis yang bagus hanya untuk menunjukkan bahwa praktik itu ada hak yang tadi disampaikan apakah BPK di negara lain bisa masuk? Bisa, untuk alasan yang spesifik. Bukan hanya untuk rutin tapi itupun juga dengan rambu-rambu yang jelas tergantung dari konstitusi masing-masing negara itu. Di sini kami merasakan juga sebetulnya itu sudah jelas, spirit
103
itu ditangkap dan diterjemahkan di dalam segala peraturan perundangundangan bahkan Pasal 34 ayat (2a) sebetulnya yang kami sebutkan tadi merupakan specially design, pintu yang didesain khusus untuk BPK. Kalau tadi disebutkan pintunya terlalu kecil, masih bisa menggunakan Pasal 34 ayat (3) karena pintunya ada empat. BPK tidak selalu dan secara rutin kalau dibutuhkan untuk membuat pemeriksaan sesuai dengan, pemeriksaan juga tidak asal memeriksa karena juga ada rambu-rambu apa yang boleh dan apa yang seharusnya diperiksa. Jangan karena kita merasa punya kewenangan memeriksa keuangan negara kemudian menginterpretasikan secara tidak terbatas, itu sudah dibuat Pasal 34 ayat (2a) yang sebetulnya untuk memberikan pintu otomatis yang kita spirit-nya Bapak Hakim yang terhormat kami dengan Bapak-Bapak auditor yang di depan ini sebetulnya dari sisi meeting of mind, chemistry, bahkan mekanisme sudah sering bertemu dan kita sebetulnya sudah merintis untuk memberikan akses itu sehingga memang betul apa yang dikatakan oleh Bapak Faisal, oleh Bapak Billy tadi kenapa dong kita harus berada di sini? Itu juga pertanyaan kita, namun kalau katakanlah itu praktik di negara lain masuk kepada data yang disebut wajib pajak memang dibolehkan masing-masing punya rambu-rambunya, di sinipun kami juga mengatakan ada ramburambunya. Sekali lagi tidak dengan spirit untuk menghalang-halangi fungsi kewenangan dan tugas BPK melakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara tapi adalah rambu-rambu yang menurut kita adalah pantas karena asas kepantasan dan keadilan ditulis di dalam sini, pantas untuk dibuat karena memang seharusnya ada rambu-rambu itu. Kita tidak ingin ini bukan menjadi negara yang tidak ada aturan dan oleh karena itu Bapak Majelis Hakim dan pimpinan yang sangat kami muliakan, sebetulnya dalam hal ini kami juga merasakan bahwa sebetulnya kasus ini tidak perlu terjadi dan karena ini juga tidak ingin saya mengatakan bahwa tadi ada salah satu ahli yang mengatakan ini persoalannya adalah losing face atau tidak, tidak sama sekali. Sebagai proses edukasi ini sangat baik untuk kita semua, bagi kami, bagi BPK, dan masyarakat secara luas. Siapapun dan apapun keputusannya Majelis Hakim yang terhormat dia adalah buah dari suatu proses pembelajaran yang luar biasa penting sekali dan berguna bagi masyarakat. Saya tidak melihat ini siapapun yang menang dan kalah akan merupakan suatu embarrassment karena ini bukan skandal dan ini bukan untuk mempermalukan satu pihak dengan yang lainnya. Jadi kami menganggap dan mohon sekali Majelis Hakim jangan di dalam nanti memutuskan ada perasaan waduh salah satu akan dipermalukan, sama sekali tidak. Ini adalah proses pembelajaran kita mengurus negara secara terbuka, transparan dengan spirit yang sebetulnya sama, namun banyak sekali rambu-rambu yang memang sering harus kita luruskan dan harmoniskan. Karena saya tidak ingin di dalam konteks untuk menetapkan siapapun nanti yang dianggap Majelis Hakim di dalam posisi
104
yang menurut Konstitusi adalah yang paling benar, itu perasaan bahwa salah satu dimenangkan atau dikalahkan. Namun dengan kata seperti itu kami tetap menganggap bahwa sebetulnya permohonan Pemohon yang telah dibacakan secara formal dan diulangi sekali lagi oleh Pemohon tadi, menurut kami tidak cukup kuat untuk dikabulkan dan oleh karena itu kami mohon kepada Majelis Hakim yang terhormat untuk menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima. Saya tidak membacakan yang bahasa Belandanya yang susah itu Bapak Hakim karena tahu, artinya spirit ini dilihat di dalam seluruh jiwa pembahasan ini Pasal 34 ayat (2a) justru tidak menghalangi dia adalah enabling dia memberikan justru keleluasaan akses itu. Bahwa dia perlu diberikan rambu-rambu iya karena kita mengatur seluruhnya adalah berhubungan dengan kepentingan berbagai pihak. Dalam hal ini Menteri Keuangan di dalam memberikan izin kepada pejabatnya bukan merupakan halangan bagi BPK tapi merupakan terjemahan sekali lagi bahwa Menteri Keuangan sebagai pihak yang mendapatkan mandat atau pemberian kewenangan yang diteruskan dari Presiden untuk mengelola fiskal termasuk di dalamnya APBN, penerimaan negara, dan dalam hal ini berarti seluruh proses untuk mengumpulkan penerimaan negara adalah pihak yang memang berwenang dan Menteri Keuangan adalah pimpinan dari pejabat atau atasan dari pejabat yang memang memiliki kewenangan oleh undang-undang untuk mendapatkan akses informasi wajib pajak tersebut Di dalam konteks inilah sebetulnya saya ingin mengatakan bahwa seluruh undang-undang ini adalah memberikan kepastian hukum. Sebagai bagian yang terakhir Bapak Pimpinan dan Majelis Hakim yang terhormat, kasus ini telah menimbulkan ketidakpastian yang cukup besar dan sebetulnya ongkos ekonomi maupun ongkos ketidakpastian termasuk mungkin berbagai trauma dan persepsi yang salah ini juga dianggap sebagai biaya dari memperkarakan kasus ini. Saya benar-benar memohon kepada Majelis Hakim dan Pimpinan yang sangat mulia bahwa mendapatkan keputusan yang seadil-adilnya bukan untuk memenangkan atau mengalahkan satu pihak, tapi ini di dalam konteks besarnya menciptakan kepastian hukum yang merupakan esensi sangat besar di dalam pengelolaan seluruh perekonomian tapi juga di dalam kepastian mengelola dan menjalankan fungsi-fungsi dari ketatanegaraan yang ada. Kami mengharapkan untuk mendapatkan juga keputusan yang tidak terlalu lama dan kami mengharap ini adalah sidang yang terakhir karena tadi disebutkan oleh Pimpinan telah mendengar banyak sekali pihak, Ahli, Saksi yang cukup dan kita tentu mengharapkan ada keputusan yang cukup segera karena ketidakpastian ini menimbulkan banyak sekali implikasi yang barangkali tidak kita sadari baik di lingkungan Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak
105
sendiri maupun di BPK dan bahkan secara luas ke seluruh pelaku ekonomi. Oleh karena itu sebagai kata penutup sekali lagi atas seluruh kebijaksanaan dan seluruh hal yang selama ini Majelis Hakim telah mendengarkan dengan sangat sabar, seluruh upaya dari kami untuk menyampaikan segala argumentasi fakta, bukti, maupun berbagai adalah sebetulnya untuk yang terbaik bagi negara kita. Kami tidak sama sekali untuk menutup-nutupi berbagai hal yang memang masih harus disempurnakan di dalam pengelolaan keuangan negara itu sendiri. Terima kasih, wassalamu’alaikum wr. wb. 202. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Wa’alaikumsalam
Baik, saya ingin pastikan, begini kepada Pemohon ya, kalau mungkin lebih bijaksana sidang ini kita selesai sekarang. Jadi kalau misalnya ahli dari luar negeri kita perlukan bagaimana kalau kita minta keterangan tertulis saja? Itu barangkali jalan keluarnya lagi pula kiranya masalah inikan lebih baik kita selesaikan di antara kita, berbeda halnya kalau perkara yang lalu mengenai pidana mati, itu isu universal. Karena itu memang banyak sekali ahli dari barat sampai timur kita panggil sini termasuk tele conference di sini juga punya fasilitas tele conference dan di Mahkamah Konstitusi itu juga sudah menerapkan tele conference serat optik sebagai alat bukti, tidak seperti di pengadilan biasa jadi kita bisa lakukan itu. hanya mengingat ini masalah dalam negeri kita begitu ya rasanya kurang elok kita mengundang orang luar itu apalagi bukan ahli dalam arti dia independen dia adalah pejabat dari negara lain, jadi ya sudahlah kita bikin tertulis saja bagaimana kalau misalnya meskipun secara aturan ini hak Pemohon tapi saya rasa baik juga kalau kita selesaikan saja di sini, ini sidang terakhir, ini sudah banyak sekali ini, ini sudah mumet juga ini mendengarnya. Benar semua ini, perlu kami cerna semua ini. Jadi bagaimana Saudara Pemohon? 203. KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., LL.M Bapak Ketua, terima kasih. Setelah mendengar memperhatikan dan kami juga mendiskusikan dan mempertimbangkan berbagai hal kami menyetujui usul dari Bapak Ketua untuk menutup sidang kali ini dalam konteks pemeriksaan saksisaksi, baik ahli maupun saksi maksud kami itu. Jadi kami menyetujui dan mudah-mudahan kalau tokh memang diperlukan keterangan ahli maka kami akan meminta beliau membuat keterangan ahli itu sebagai bagian dari mungkin dilampirkan sebagai bagian kesimpulan Bapak, jadi itu yang dapat kami informasikan.
106
204. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, jadi disetujui ya? Ini bijaksana ini Pemohon. Jadi kalau begitu Pemerintah harus bijaksana juga. Jadi saya rasa kalau nanti jadi sesudah sidang ini sambil menunggu putusan saya rasa baik juga untuk diteruskan pertemuan-pertemuan dalam rangka MoU yang distop oleh Dirjen Pajak karena menunggu Putusan Mahkamah Konstitusi dulu, begitu. Benar juga itu logikanya jadi ngapain diteruskan berunding kalau ada perkara? Jadi kalau perkara ini misalnya menunggu putusan barangkali masih dua minggu, tiga minggu lagi. Mengingat ini masalahnya penting, apakah nanti putusannya mengabulkan atau putusannya menolak, sama saja tetap harus berunding juga teknisnya bagaimana untuk follow up-nya jadi kami juga misalnya memerlukan apa sebetulnya tambahan alat bukti yang mungkin bisa ditambahkan di dalam kesimpulan konklusi dari Pemohon, apa saja sih idealnya yang ingin dilakukan oleh BPK yang seharusnya dikerjakan oleh Depkeu atau Dirjen Pajak apa saja itu yang ideal? Rinci saja yang mau dikerjakan idealnya apa dan seharusnya dilakukan oleh Bapak Darmin Nasution itu apa saja supaya kita juga mengerti detailnya. Sebaliknya juga Departemen Keuangan dalam hal ini Dirjen Pajak demikian yang dikerjakan Dirjen Pajak sekarang apa yang maunya dilakukan BPK itu apa saja supaya klop ini sesuai dengan ketentuan undang-undang. Bahwa nanti putusannya mengabulkan dan dengan demikian mencoret frasa penjelasan dan sebagainya ataupun nanti menolak sehingga ketentuan undang-undangnya tetap seperti ini, itu soal nanti. Tapi bahwa BPK dengan Departemen Keuangan dalam hal ini Dirjen Pajak tetap harus mengadakan perundingan, meneruskan apa yang sudah disepakati karena dua-duanya buktinya adalah sama-sama ingin memperbaiki. Boleh jadi baik di BPK barangkali di tingkat pimpinan sudah sama pikirannya tapi di bawah mungkin belum. Begitu juga di Departemen Keuangan, Dirjen Pajak pimpinannya sudah ok tapi mungkin di level pelaksananya tidak seindah apa yang dibayangkan. Jadi saya rasa hal-hal seperti ini bisa diteruskan dibicarakan, tidak usah menunggu Putusan Mahkamah Konstitusi Bapak Bapak Darmin. Apalagi Pemohon juga sudah sangat bijaksana ini tidak meneruskan ahli yang dari luar negeri. Saya kira demikian Saudara-Saudara sekalian, dengan demikian sidang ini saya tutup sampai sidang berikutnya yaitu pembacaan putusan dengan terlebih dahulu kami menunggu konklusi dari Pemohon dua minggu, dua minggu ya cukup? Dan Pemerintah juga kalau mau mempergunakan waktu dua minggu menyampaikan tambahan keterangan tertulis boleh tambah satu koper lagi kalau masih ada dan selanjutnya baru nanti kami akan bersidang mengadakan rapat untuk membuat atau menentukan putusan atas perkara ini.
107
Demikian Saudara-Saudara Sidang Mahkamah Konstitusi atas perkara ini saya nyatakan ditutup.
Assalamu’alaikum wr. wb.
KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 17.00 WIB
108