IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 005/PUUIV/2006 TERHADAP KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL
JURNAL
Oleh :
MUHAMMAD RIDWAN NPM : 0910005600061
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TAMANSISWA PADANG 2015 0
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 005/PUUIV/2006 TERHADAP KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL Oleh (Muhammad Ridwan, NPM.091000560006, Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Padang, 59 Halaman) ABSTRAK Komisi Yudisial merupakan salah satu Lembaga Tinggi Negara yang bersifat Mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pada satuannya Komisi Yudisial sendiri merupakan bagian dari proyeksi dari pemerintah pusat didalam melakukan pengawasan terhadap kelangsungan peradilan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun pembentukan Komisi Yudisial ini didasari adanya penyimpangan prilaku dari para Hakim yang nakal didalam pelaksanan tugas yang semestinya para hakim menjunjung tinggi rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia disertai hakikat hukum itu sendiri “The Rule of Law” artinya “Semua manusia sama dimata hukum” tanpa adanya perbedaan status dan ekstabilitas didalam bernegara yang menjunjung tinggi Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Permasalahannya terletak pada implikasi putusan Mahkamah Konstitusi NOMOR 005/PUU-IV/2006 terhadap kewenangan Komisi Yudisial, serta kendala-kendala yang dihadapi didalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Sebagai dasar hukum peraturannya adalah Undangundang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUUIV/2006 terhadap Kewenangan Komisi Yudisial, untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Kewenangan Komisi Yudisial dan bagaimana mengatasinya. Berkaitan dengan itu, pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dengan data pendukungnya berupa data primer dan data skunder. Dari hasil penilaian dan pendalaman terhadap data-data yang telah ada, bahwa Implikasi Putusan Nomor 005/PUUIV/2006 terhadap Kewenangan Komisi Yudisial tidak perlu dilakukan dengan maksud untuk memberikan kesinambungan diantara Lembaga-Lembaga Negara supaya satu sama lain antar lembaga tersebut bisa dilakukan dengan pengawasan yang normal tanpa adanya prilaku politik yang ikut serta didalamnya. Oleh sebab itu akan terjadi misi balas dendam diantara satu sama lain antara Lembagalembaga Negara, yang mana mereka memiliki satu kepentingan yang akan menjadi visi dan misi untuk menjatuhkan satu sama lainnya antar Lembaga Negara.
i
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paham negara hukum berakar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Paham negara hukum sebetulnya merupakan konsep yang sudah lama menjadi bahan diskusi para ahli. Plato mengemukakan konsep nomoi yang diangap sebagai cikal bakal pemikiran tentang negara hukum. Sedangkan Aristoteles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkan dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terikat pada polis. Bagi Aristoteles yang memerintah negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaan yang menentukan baik buruknya suatu hokum.1 Pada intinya negara hukum adalah negara dimana tindakan pemerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan sewenangwenang dari pemerintah (penguasa) dan tindakan rakyat yang dilakukan menurut kehendak sendiri.2 R. Soepomo memberikan pengertian terhadap negara hukum sebagai negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula dimuat didalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi : “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat).” Disamping itu, ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum yang juga dimuat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945: “pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutuisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Prinsip ini mengandung makna ada pembagian kekuasaan negara dan pembatasan kekuasaan (tidak Absolut dengan kekuasaan tidak terbatas). Selain itu, salah satu prinsip negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyeleggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.3 Sejak dikeluarkan Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 yang memerintahkan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto (Orde Baru), praktis Undang-Undang Dasar 1945 belum pernah diubah untuk disempurnakan. Undang-Undang Dasar 1945 yang “disakralkan” oleh Rezim Orde Baru runtuh akibat “derasnya” arus reformasi. Stuktur ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat UndangUndang Dasar 1945 berubah secara siknifikan, bahkan dalam batas tertentu sangat “radikal ”. Perubahan ini meliputi semua cabang kekuasaan legislatif (Legislative power/pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (Eksekutif power/pelaksana undang-undang), maupun kekuasaan yudikatif (Judicial power/kekuasaan kehakiman). Tujuan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut adalah
1
Sirajuddin Zulkarnain, 2006, Menuju Peradilan Yang Bersih Dan Berwibawa, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik, Indonesia. 2 Sobirin Malian, 2001, Gagasan perlunya konstitusi baru pengganti UUD 1945 , UII Press, Yogyakarta. 3 Ni'matul Huda, 2005, Otonomi Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hlm 239
1
menyempurnakan atau melengkapi aturan dasar sebelumnya (Undang-Undang Dasar 1945 pra amandemen) yang dirasakan masih jauh dari sempurna. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, paling tidak terdapat empat perubahan penting dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen. Pertama, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka ditegaskan dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, yang sebelumnya hanya disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Mahkamah Agung dan badan kehakiman yang lain tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman yang ada karena ada Mahkamah Konstitusi yang berkedudukan setingkat dengan Mahkamah Agung dan berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keempat, adanya kewenangan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Konstitusi untuk melakukan “Judicial Review” undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, serta memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum (PEMILU). Hal ini bukan saja ditunjukkan oleh membengkaknya jumlah pasal dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi juga ditunjukkan oleh adanya dua lembaga baru didalam struktur cabang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Kedua lembaga tersebut secara umum dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Yang menjadi fokus utama penulisan ini adalah amanat dalam Pasal 24B perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 tentang pembentukan lembaga baru bernama Komisi Yudisial. Keberadaan Komisi Yudisial diharapkan dapat menjadi salah satu mitra kerja Mahkamah Agung untuk terus melakukan upaya-upaya dalam rangka reformasi badan peradilan. Sebagai lembaga yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi, Komisi Yudisial memiliki legitimasi sangat kuat dalam struktur ketatanegaraan. Sebagai pengontrol dan pengimbang kekuasaan dalam prinsip “check and balance” antar lembaga negara, Komisi Yudisial diharapkan juga mampu menjamin terciptanya perekrutan hakim agung yang berpegang teguh pada nilainilai moralitas sebagai seorang hakim yang harus memiliki wibawa dan kepribadian tidak tercela, jujur serta menjunjung tinggi profesionalisme. Apabila dilihat dari wewenang Komisi Yudisial yang diatur dalam Pasal 24B ayat (1), yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini ada dua persoalan mendasar yang mengakibatkan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak terealisasi dengan baik, yaitu buruknya perekrutan hakim, dan kurang atau
2
tidak efektifnya lembaga yang mempunyai tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Putusan Mahkamah Konstitusi atas pengajuan pemohon pengujian materiil Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial oleh 31 hakim agung melalui putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 pada tanggal 16 Agustus 2006 yang mencabut kewenangan Komisi Yudisial dalam pengawasan terhadap hakim mengejutkan sebagian masyarakat bahkan sebagian menganggap putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut kontroversial. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pasal 34 ayat (3), yang berbunyi, ”Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang”, UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan dicabutnya kewenangan tersebut, Komisi Yudisial sekarang seperti “sebuah pistol tanpa peluru.” Berdasarkan latar belakang masalah dan maksud dibentuknya Komisi Yudisial di Indonesia maka penulis tertarik untuk mengadakan suatu penulisan mengenai Komisi Yudisial mengingat Komisi Yudisial merupakan lembaga baru yang belum ada dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sebelumnya. Terlepas dari benar-salahnya putusan Mahkamah Konstitusi tentang pencabutan kewenangan Komisi Yudisial dalam pengawasan terhadap hakim tersebut, ada baiknya kita kaji masalah tersebut dari berbagai sudut pandang, teori dan aturan yang berlaku. Agar ditemukan suatu jalan tengah dari masalah tersebut, dan tidak menggangu jalannya reformasi hukum dan peradilan yang sedang berjalan di Indonesia. Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penulisan dengan judul : “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 005/PUU-IV/2006 TERHADAP KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL” B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUUIV/2006 terhadap kewenangan Komisi Yudisial ? 2. Apa saja kendala yang dihadapi dalam Impikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 terhadap kewenangan Komisi Yudisial dan bagaimana mengatasinya ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 terhadap Kewenangan Komisi Yudisial.
3
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam Implikasi Putusan Mahkamah Kostitusi terhadap Kewenangan Komisi Yudisial dan bagaimana mengatasinya. D. Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi Manfaat dalam penelitian yang dilakukan adalah: 1. Manfaat Teoritis. a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum tatanegara. b. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat c. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis 2. Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia terutama di bidang hokum konsitusi. E. Metode Penelitian Metode penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dikaitkan dengan permasalahan yang dibahas dengan melihat apa yang ada dalam norma atau perundang-undangan. Sehingga penulisan ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Pendekatan Masalah Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian terhadap bahan hukum dan memberikan arti penting pada langkahlangkah penelitian atau pembuktian atau kerangka pengujian untuk memastikan suatu kebenaran.4 Sumber data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, sebagai berikut: 1. Bahan hukum terdiri dari, yaitu: a. Bahan Hukum Primer yaitu mempelajari peraturan perundangundangan tentang Mahkamah Konstitusi, Hakim serta Komisi yudisial dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan permasalahan yaitu: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial (3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 Tentang Pencabutan Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Terhadap Hakim b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu mempelajari berbagai literatur (bukubuku, makalah, laporan penelitian, jurnal) yang berkaitan dengan masalah Kewenangan Komisi Yudisial. 2. Teknik Pengumpulan data 4
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, Hlm 21.
4
3.
Studi dokumen adalah dengan melakukan pengambilan objek dokumendokumen hasil monitoring atau objek surat dan kliping Koran yang relevan dengan penelitian ini. Tempat studi dokumen yang dimaksud penulis yaitu perpustakaan Daerah Sumatera Barat dan perpustakaan Universitas Taman Siswa. Pengolahan dan Analisis Data Mengumpulkan data dengan mengadakan pencatatan yang diambil dari dokumen, buku laporan dan buku catatan lainnya yang berhubungan dengan materi yang ditulis.Pengolahan data yang diperoleh untuk kemudian diolah lebih lanjut secara kualitatif dan dirumuskan secara sistematis dan dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam norma atau perundang-undangan setelah itu dikaitkan dengan pokok-pokok permasalahan dalam penulisan ini.
II.
KAJIAN PUSTAKA A. HAKIM Lembaga peradilan di Indonesia dari tahun ke tahun mulai menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Sebagai salah satu dari lembaga peradilan, hakim saat ini juga mendapat sorotan yang relatif tinggi dari masyarakat dan media. Secara yuridis, hakim merupakan bagian integral dari sistem supremasi hukum. Tanpa adanya hakim yang memiliki integritas, sikap dan perilaku yang baik dalam lembaga peradilan, maka jargon-jargon good government dan good governance yang selama ini digembar-gemborkan oleh banyak pihak tidak akan dapat terealisasi, hanya sebatas “mimpi” semata. Secara normatif menurut Pasal 1 ayat (5) UU Komisi Yudisial No. 22 Tahun 2004 yang dimaksud dengan hakim adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. sedangkan secara etimologi atau secara umum, Bambang Waluyo, S.H. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa.5 Melihat dari pengertian hakim yang dijabarkan oleh Bambang Waluyo, S.H maka bisa diketahui bahwa yang dimaksud hakim olehnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang tercantum dalam UU No.22 Tahun 2004, bukankah hakim agung, hakim yang berada dibawah peradilan, dan juga hakim konstitusi itu juga merupakan organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan 5
Bambang Waluyo, S.H. Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Sinar Grafika Edisi 1 Cet. 1. Jakarta 1992. hal 11 6
Al. Wisnu Broto, 1997, Hakim Dan Peradilan Di Indonesia (dalam beberapa aspek kajian), Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogykarta, Yogyakarta, Hlm 2.
5
kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu dapat ditegakkan. Hal ini senada juga dengan apa yang diungkap kan oleh Al. Wisnu Broto, pendapatnya ialah, yang dimaksud dengan Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan secara abstrak, Bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.6 Kalau kita perbandingkan dari keduanya, secara normatif hakim merupakan institusi yang mempunyai kekuasaan kehakiman, yang mencakup Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya sampai ke Mahkamah Konstitusi. Sedangkan penjelasan tentang hakim secara umum, hakim haruslah seseorang yang mempunyai tanggung jawab, integritas, dan kemampuan untuk berbuat adil dalam membuat keputusan. Pada dasarnya pengertian hakim, apabila kata tersebut ditafsirkan secara generik maka dapat diartikan bahwa hakim adalah seluruh hakim disemua jenis dan tingkatan peradilan yaitu Hakim Agung, hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung dan Hakim Konstitusi. Pada dasarnya hakim dapat diartikan sebagai orang yang bertugas untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, menghukum orang yang berbuat salah dan membenarkan orang yang benar. Begitu pentingnya profesi hakim, sampai-sampai ruang lingkup tugasnya harus dibuatkan undang-undang. Tengok saja, dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan disesuaikan lagi melalui UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Kemudian, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Komisi Yudisial, dan peraturan perundangan lainnya. Bahkan, dalam menjalankan tugasnya diruang sidang, hakim terikat aturan hukum, seperti hal nya pada Pasal 158 KUHAP yang mengisyaratkan: Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan disidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa. Begitupun dalam menilai alat bukti, UU telah dengan tegas mengingatkan hakim untuk bertindak arif lagi bijaksana (Pasal 188 ayat (3) KUHAP). Tak hanya itu saja, hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum, demikian bunyi Pasal 32 UU No. 4/2004. Profesi hakim merupakan profesi hukum, karena pada hakekatnya merupakan pelayanan kepada manusia dan masyarakat dibidang hukum. Oleh karenanya hakim dituntut memiliki moralitas dan tanggung jawab yang tinggi, yang kesemuanya dituangkan dalam prinsip prinsip dasar kode etik hakim, antara lain: 1. Prinsip kebebasan. Prinsip ini memuat kebebasan peradilan adalah suatu prasyarat terhadap aturan hukum dan suatu jaminan mendasar atas suatu persidangan yang adil. Oleh karena itu, seorang Hakim harus menegakkan dan memberi contoh mengenai kebebasan peradilan baik dalam aspek perorangan maupun aspek kelembagaan.
6
2. Prinsip Ketidakberpihakan. Prinsip ini sangatlah penting untuk pelaksanaan secara tepat dari peradilan. Hal ini tidak hanya berlaku terhadap keputusan itu sendiri tetapi juga terhadap proses dalam mana keputusan itu dibuatan. 3. Prinsip Integritas. Prinsip integritas sangat penting untuk pelaksanaan peradilan secara tepat mutu pengemban profesi 4. Prinsip Kesopanan. Kesopanan dan citra dari kesopananitu sendiri sangat penting dalam pelaksanaan segala kegiatan seorang Hakim. 5. Prinsip Kesetaraan. Prinsip ini memastikan kesetaraan perlakuan terhadap semua orang dihadapan pengadilan sangatlah penting guna pelaksanaan peradilan sebagaimana mestinya. 6. Prinsip Kompetensi dan Ketaatan. Prinsip kompetensi dan ketaatan adalah prasyarat terhadap pelaksanaan peradilan sebagaimana mestinya.(Disiplin F. Manao, SH, Hakim sebagai pilihan profesi, artikel, ditulis untuk workshop pembekalan profesi hukum, diselenggarakan IKA PERMAHI (Ikatan Alumni Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia), Jakarta, 19 Juli 2003. Disiplin F. Manao, seorang Hakim, juga pengurus IKA PERMAHI) Kedudukan hakim telah diberikan tempat pada konstitusi Negara kita. Dalam amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; Ayat (2): Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Keberadaan suatu pedoman etika dan perilaku hakim sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah (UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Pasal 1 ayat 5). Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. (UU Kekuasaan Kehakiman No. 35 th 1999 Pasal 27 ayat 1). Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat – sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh. 1 (UU Kekuasaan Kehakiman No. 35 th 1999 Pasal 27 ayat 2). Dalam hal ini sifat – sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Demi mendukung kelancaran tugas – tugas yang amat mulia yang dilakukan oleh hakim, maka diperlukan adanya suatu kemandirian bagi hakim. Asas kemandirian hakim dalam menangani suatu perkara juga di anut oleh Indonesia, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 24 UUD 1945 yang dalam penjelasannya
7
disebutkan “Kekuasaan hakim ialah kekuasaan yang merdeka” artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubungan dengan itu maka harus diadakan jaminan dalam undang – undang tentang kedudukan para hakim. Dalam penafsiran Undang-undang dasar 1945 Bab IX pasal 24 menyebutkan : 1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkung peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi. 3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang Banyaknya kasus – kasus penyalahgunaan wewenang oleh hakim serta pejabat peradilan lain yang banyak dipublikasikan oleh berbagai media akhir – akhir ini 30 menjadi cerminan dari lemahnya integritas moral dan perilaku hakim serta pegawai lembaga peradilan. Keadaan ini tidak saja terjadi dilingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tetapi juga telah terjadi dilingkungan Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang tertinggi, sehingga menimbulkan sebuah pandangan bahwa lembaga peradilan sebagai suatu sistem dianggap sudah tidak bersih dan kurang berwibawa. B. Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan peran MK penting dalam mengharmoniskan hubungan antar lembaga negara yang sering berbenturan. Untuk menjamin akuntabilitas putusannya, hakim MK perlu dilengkapi kelompok ahli yang berfungsi memberikan wawasan dan pertimbangan bagi MK. Banyaknya lembaga negara baru yang muncul pasca reformasi menimbulkan konflik antar lembaga yang mengganggu penyelenggaraan negara. Konflik antar lembaga negara sebenarnya dapat diarahkan menjadi sesuatu yang konstruktif bagi perkembangan demokrasi pada masa depan7. Makamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga yang berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. Dan mengenai susunan MK menurut UU RI No. 24 Tahun 2003 Pasal 4 Ayat 1, 2, 3, 4, 5 Tentang Susunan MK yang berbunyi : Makamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. 1. Susunan Makamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi 2. Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.
7
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, 2006, “Resume Berita Mengenai Mahkamah Konstitusi”, http://www.republika.com/artikel/html Selasa,20 Desember, Jakarta.
8
3. Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Makamah Konstitusi terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat pemilihan ketua dan wakil Ketua Makamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya. 4. Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Makamah Konstitusi. Mengenai kewenangan Makamah Konstitusi dalam hal mengadili putusannya bersifat final pada tingkat pertama dan terakhir, untuk menguji undang-undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, kemudian memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan atau diatur oleh UUD Negara Indonesia Tahun 1945, membubarkan partai politik dan memutuskan perselisihan. Aturan mengenai wewenang dan tanggung jawab MK terdapat dalam UU No. 24 Tahun 2003 BAB III Tentang Kekuasaan Makamah Konstitusi Pasal 10 yang menyatakan : 1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa : a. Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang. c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan guna mendukung pelaksanaan wewenang MK sebagaimana dimaksud pasal 10 MK Berhak memanggil pejabat Negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Sesuai Pasal 11 UU No. 24 Tahun 2003 yang menyatakan : “Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang
9
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan”. Sedangkan mengenai tanggung jawab MK diatur dalam Pasal 12, 13 ayat 1 dan 2 mengenai tanggung jawab dan akuntabilitas yang menyatakan : Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih. (Pasal 12 UU No. 24 Tahun 2003). Dan Pasal 13 ayat 1 dan 2 yang berbunyi : 1. Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara terbuka mengenai: a. Permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus; b. Pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya. 2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi. C. KOMISI YUDISIAL Pengertian Komisi Yudisial Fungsi Kewenangan dan Undang Undang Sebagaimana telah diperintahkan UUD 1945 hasil amandemen, khususnya Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B, Pasal 25, maka perlu dibentuk lembaga negara baru bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Lembaga Negara baru ini bernama Komisi Yudisial, yang dibentuk berdasarkan UU Komisi Yudisial. Mengenai kewenangan Komisi Yudisial, Pasal 13 UUKY menentukan : a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Sedangkan tugas Komisi Yudisial ditentukan Pasal 14 ayat (1) UUKY, yaitu: a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; c. Menetapkan calon Hakim Agung; dan d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR Disamping itu, Komisi Yudisial juga bertugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim (Pasal 20 UUKY). Dalam melaksanakan kewenangannya menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (Pasal 21 UUKY). Penjatuhan sanksi ini diajukan kepada Mahkamah Agung untuk hakim agung dan kepada Mahkamah Konstitusi untuk hakim konstitusi. Bagaimana pengawasan itu dilakukan. Sesuai Pasal 22 ayat (1), maka Komisi Yudisial: 1. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim; 2. meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; 3. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
10
memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan 5. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR. Sedangkan Pasal 22 ayat (2) menegaskan, bahwa dalam melaksanakan pengawasannya, Komisi Yudisial wajib: 1. Menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 2. Menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Yang dimaksud dengan mentaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini misalnya tidak memperlakukan semena-mena terhadap hakim yang dipanggil untuk memperoleh keterangan atau tidak memperlakukan hakim seolah-olah tersangka atau terdakwa. Hal ini untuk menjaga hak dan martabat hakim yang bersangkutan. Pelaksanaan tugas Komisi Yudisial tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 22 ayat (3). Itu artinya, hakim tetap diberikan kemandirian dalam melaksanakan tugasnya. Hanya saja, manakala hakim akan diperiksa Komisi Yudisial, maka Pasal 22 ayat (4) menegaskan: “Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima. Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban tersebut, Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta Pasal 22 ayat (5). Apabila badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka pimpinan badan peradilan atau hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang kepegawaian (Pasal 22 ayat (6). Semua keterangan dan data ini bersifat rahasia (Pasal 22 ayat 7). Di dalam Pasal 23 ayat (1) UUKY ditegaskan mengenai usul penjatuhan sanksi yang dapat diberikan Komisi Yudisial kepada hakim sesuai dengan tingkat pelanggarannya, yaitu: 1. Teguran tertulis; 2. Pemberhentian sementara; atau 3. Pemberhentian. Usul pemberhentian sanksi teguran tertulis ini disertai alasan kesalahannya, bersifat mengikat, disampaikan Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi Pasal 23 ayat (2). Sedangkan usul penjatuhan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian ini diserahkan Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi Pasal 23 ayat (3). Untuk hakim yang dijatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim Pasal 23 ayat (4). Dalam hal pembelaan ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada presiden paling lambat 14 hari sejak pembelaan ditolak oleh Majelis Kehormatan Pasal 23 ayat (5). Keputusan Presiden 4.
11
mengenai pemberhentian hakim, ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 hari sejak presiden menerima usul Mahkamah Agung Pasal 23 ayat (6). Selain tugas pengawasan, Komisi Yudisial juga dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim Pasal 24 ayat (1). Harus diakui, dilahirkannya lembaga Komisi Yudisial ini tidak lain akibat dari banyaknya penyimpangan perilaku hakim, bahkan sampai-sampai memunculkan istilah mafia peradilan, sementara system yang ada untuk membersihkan penyimpangan penyimpangan hakim, misalnya suap dan korupsi dinilai tidak mampu menembus dinding korps hakim. Boleh jadi, jika saja hakim dinegeri ini banyak yang berperilaku bersih, tak perlu dibentuk Komisi Yudisial. Sekelompok orang yang ditunjuk dan atau diberi wewenang oleh pemerintah untuk menjalankan suatu tugas tertentu yang berhubungan dengan lembaga hukumatau lembaga yudikatif. Latar Belakang Lahirnya Komisi Yudisial dan Kedudukannya Dalam Susunan Ketatanegaraan Indonesia. Kedudukan Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan di Indonesia adalah termasuk kedalam lembaga tinggi Negara setingkat presiden dan bukan lembaga pemerintahan bersifat khusus atau lembaga khusus yang bersifat independent yang dalam istilah lain disebut lembaga Negara mandiri (state auxiliaries institution).dengan demikian status kelembagaan Komisi Yudisial tidak sama dengan, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komnas HAM, Komnas perempuan, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Hukum Nasional, Komisi Kebenaran dan Rekosiliasi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Konstitusi, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Komisi Perlindungan Anak, karena ada alasan sebagai berikut: 1. Kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 24B 2. Komisi Yudisial secara tegas dan tanpa keraguan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, karena pengaturan ada dalam BAB IX kekuasaan kehakiman yang terdapat dalam UUD 1945. Yang jelas kedudukan Komisi Yudisial disini sebagai lembaga Negara, yakni lembaga yang kewenangannya ditentukan oleh UUD, dimana Komisi Yudisial itu sendiri dalam Pasal 24b ayat (1) dan (2) dalam hubungannya dengan lembaga Negara yang lain seperti MK, MA, Presisen, MPR, DPR itu sejajar. Pola hubungan yang ada diantara lembaga – lembaga ini yakni pola hubungan fungsional dan bukan structural. III. PEMBAHASAN A. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 Terhadap Kewenangan Komisi Yudisial 1. Resistensi Hakim Agung Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, calon hakim agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden. Kemudian, Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
12
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Menindaklanjuti hasil hasil perubahan UUD 1945, pada tanggal 13 Agustus 2004 Presiden mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU No 22/2004). Sesuai dengan Pasal 24B UUD Ayat (1) 1945, Pasal 13 UU No 24/2004 menyatakan Komisi Yudisial mempunyai wewenang: (a) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan (b) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Elaborasi lebih jauh penggunaan kedua kewenangan KY dapat dibaca dalam Pasal 14-25 UU No 22/2004. Pada tahap awal pembentukan KY mendapat sambutan positif dari kalangan Mahkamah Agung. Buktinya: dalam Sambutan Rakernas MA, Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Kelas IA Seluruh Indonesia di Denpasar, Bali 19-22 September 2005, Ketua MA Bagir Manan mengatakan: “Sekarang kita mempunyai KY yang saya yakin akan lebih memperkuat upaya membenahi tingkah laku tidak terpuji dari hakim. Meskipun KY tidak berwenang meneliti dan memeriksa putusan hakim dan tindakan-tindakan teknis yustisial lainnya, tetapi kewenangan yang ada disertai kerjasama yang erat dengan MA, akan sangat memberdayakan (empowering) usaha kita menghapus secara tuntas perbuatan tercela para hakim atau petugas pengadilan lainnya. Saya berjanji akan memanfaatkan semaksimal mungkin temuan KY mengenai perbuatan tidak terpuji para hakim dan lain-lain pejabat pengadilan“. Namun ketengangan mulai muncul ketika KY merespon kejanggalan yang terjadi dalam kasus sengketa penetapan hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok. Sebagaimana diketahui, Pengadilan Tinggi Jawa Barat membatalkan hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok.8 Karena menilai terjadi kejanggalan dalam penyelesaian kasus Depok, KY memeriksa hakim yang menangani kasus sengketa hasil pemilihan Walikota Depok. Kemudian, KY merekomendasikan kepada MA untuk pemberhentian sementara selama satu tahun Ketua PT Jawa Barat Nana Juwana. Dalam rekomendasi itu, KY memberikan tenggat waktu satu bulan supaya MA memberikan tanggapan atas rekomendasi KY.9 Tidak hanya pada kasus Depok, KY menenggarai terjadi misconduct dalam putusan illegal logging Potianak10 dan vonis kasus dugaan korupsi dana perumahan DPRD Banten11. Bahkan dalam kasus Edwar C.W. Neloe KY juga memeriksa anggota
8
Beragam pandangan tentang kisruh sengketa hasil pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok dapat dibaca dalam Denny Indrayana, Saldi Isra dll, (2005), Kepala Daerah Pilihan Hakim: Membongkar Kontroversi Pilkada Depok, Harakatuna Publishing, Bandung. 9 www.wikiplodia.com.Kompas 08/09-2005 di unduh tanggal 23 Agustus 2015 10 Dalam kasus ini, salah seorang anggota KY, Irawadi Joenoes menyatakan: ”Kita akan segera memanggil hakimnya dan saya sudah meminta berkas perkaranya. Kita sangat menyesalkan perkara ini bebas” (Sinar Harapan, 29/10-2005). 11 Dalam kasus ini, Irawadi Joenoes, menyatakan bahwa Hakim telah bertindak tidak profesional karena memvonis kurang dari ketentuan minimum yang terdapat dalam undangundang (Republika, 02/12-2005).
13
dan ketua majelis hakim perkara tersebut karena memutus Neloe dengan putusan bebas.12 Sepak-terjang KY dalam melakukan pengawasan mendapat perlawana terbuka dari kalangan hakim. Puncak dari itu semua, mayoritas Hakim Agung (31 orang) mengajukan permohonan hak menguji materiil pasal-pasal tentang Hakim Agung (dan juga Hakim Konstitusi), serta pasal-pasal pelaksanaan pengawasan KY kepada hakim. Sumber pokok yang menjadi keberatan ke-31 orang Hakim Agung adalah menyangkut kata makna “Hakim” frasa “mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” yang terdapat dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945. Berikut ini pasal-pasal yang didalilkan oleh 31 orang Hakim Agung bertentangan dengan UUD 1945. 1. Pasal 1 angka 5 UU KY Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Pasal 20 UU KY Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, KY mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. 3. Pasal 22 ayat (1) huruf e UU KY Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial (5) membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR. 4. Pasal 22 ayat (4) UU KY Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta. 5. Pasal 23 Ayat (2) UU KY
Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. 13
12
Lihat Putusan MK No 005/PUU-IV/2006, hal. 187-188. Pasal 23 ayat (1) huruf a menyatakan, sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, usul penjatuhan sanksi terhadap hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dapat berupa teguran tertulis. 13
14
6. Pasal 23 Ayat (3) 7. Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c14 diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. 8. Pasal 23 Ayat (5) Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim. 9. Pasal 24 Ayat (1) Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. 10. Pasal 25 Ayat (3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sah apabila rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) orang Anggota Komisi Yudisial, kecuali keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi dengan dihadiri seluruh anggota Komisi Yudisial. 11. Pasal 25 Ayat (4) Dalam hal terjadi penundaan 3 (tiga) kali berturut-turut atas keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian hakim agung dan/atau hakim Mahkamah Konstitusi maka keputusan dianggap sah apabila dihadiri oleh 5 (lima) orang anggota. 2. Putusan Mahkamah Konstitusi Membaca permohonan yang diajukan oleh pemohon, MK mempunyai wewenang untuk memeriksa permohonan tersebut. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahhwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Karena Pemohon mengajukan permohonan untuk menguji UU No 22/2004 (dan UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) terhadap UUD 1945, maka permohonan tersebut berada dalam lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun ada beberapa poin penting yang harus dibahas dan didiskusikan lebih lanjut. a. Asas seorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa). Sebagai salah satu asas dalam hukum acara, MK tidak boleh menyimpanginya. Artinya, alasan bahwa berpekara di MK tidak sama dengan berperkara di pengadilan biasa, tidak dijadikan argumentasi untuk mengabaikan prinsip nemo judex idoneus in propria causa. Sampai saat ini, MK sudah beberapa kali menggunakan argumentasi bahwa berpekara di MK tidak sama dengan 14
Pasal 23 ayat (1) huruf a dan b menyatakan, sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, usul penjatuhan sanksi terhadap hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dapat berupa (b) pemberhentian sementara, dan (c) pemberhentian.
15
berperkara di pengadilan biasa, namun belum ada argumentasi yang dapat menjelaskan hal ini secara tuntas. Dalam kasus yang sedang kita bahas ini, MA berupaya “menarik” MK sebagai pihak yang dirugikan kepentingan konstitusionalnya oleh UU No 22/ 2004. Celakanya, sadar atau tidak, MK terjebak membangun argumentasi untuk tidak masuk dalam ranah pengawasan KY. Secara universal, asas hanya dapat disimpangi kalau ditentukan secara tertulis. Di luar itu, penyimpangan tidak diperbolehkan. Secara normatif, Pasal 29 ayat (5) dan (6) UU No 4/2004 menyatakan: (1) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara. (2) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan. b. legal standing. Membaca permohonan Pemohon, sulit untuk mencarikan dalil bahwa Pemohon tidak mempunyai legal standing. Pasal 51 Ayat (1) UU No 22/2003 tentang MK menyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Namun kalau dibaca dengan teliti Putusan No. 005/PUU-IV/2006 akan diketahi bahwa salah seorang hakim konstitusi menolak legal standing Pemohon terutama yang menyangkut sepanjang hakim konstitusi. Penolakan salah seorang Hakim Konstitusi dapat dibaca dalam Putusan MK (hal. 157) yang menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing, legitima persona standi in judicio) untuk mengajukan permohonan a quo, dengan seorang Hakim Konstitusi berpendapat lain bahwa, sepanjang menyangkut ketentuan yang berkaitan dengan Hakim Konstitusi, para Pemohon tidak mempunyai legal standing karena tidak ada kerugian hak atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik yang dialami oleh para Pemohon, selaku Hakim Agung, sebagai akibat dari berlakunya ketentuan yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi dan Hakim Konstitusi dalam UUKY.” Pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan: mengapa tidak dimunculkan nama dan argumentasi hakim konstitusi yang tidak menerima legal standing tersebut. Tidak hanya itu, sekalipun hakim yang bersangkutan hanya menolak legal standing pemohon sepanjang menyangkut hakim konstitusi, itu berarti dia menolak legal standing secara keseluruhan. Dalam proses beracara, lazimya tidak dikenal pemisahan legal standing.15 Artinya, kalau hakim konstitusi yang menolak 15
Kelaziman ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Bapak Sahlan Said, mantan hakim yang menjadi salah seorang eksaminator dalam Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 26-27 September 2006.
16
legal standing tersebut konsisten maka komposisi putusan hakim No. 005/PUUIV/2006 adalah 8:1 bukan 9:0. c. hakim konstitusi tidak masuk dalam pengertian hakim. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Tambah lagi, dalam risalah amandemen UUD 1945, tidak pernah disebutkan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim. Artinya, dengan tidak dibahas dan disebutkan bahwa Hakim Konstitusi masuk dalam ranah pengawasan KY tidak berarti bahwa Hakim Konstitusi dapat ditafsirkan tidak masuk dalam wilayah pengawasan KY. Dalam hal ini menarik menyimak pendapat Rifqi S. Assegaf berikut ini: “Dengan menggunakan penafsiran historis, penulis sepakat dengan putusan MK bahwa tidak maksud dan tujuan dari penyusun UUD 1945 menjadikan Hakim Konstitusi sebagai obyek pengawasan KY. Namun penggunaan metode panfsiran historis an sich dalam Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 dapat diperdebatkan karena tidak ada ancaman atau konstitusional yang terlanggar jika Hakim Konstitusi diawasi oleh KY. Bahkan mengingat pentingnya prinsip akuntabilitas dalam negara hukum yang demokratis sebagai penyeimbang prinsip independensi peradilan (yang diartikan sebagai diperlukannya lembaga pengawas, termasuk pengawas eksternal terhadap hakim), maka sewajarnya MK menggunakan penafsiran teleologis dalam memutus hal ini.”16 Dengan penjelasan itu, Rifqi S. Assegaf mengajukan fakta lain bahwa sebenarnya dalam Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 alasan serta metode teleologis ini pula yang dipakai MK saat memutus bahwa Hakim Agung dapat menjadi obyek pengawasan KY.17 Lalu, tambah Rifqi, mengapa MK memilih metode penafsiran lain saat menilai dapat tidaknya KY mengawasi Hakim Konstitusi.18 Alasan ini juga yang digunakan untuk membangun argumen tambahan Majelis Eksaminasi Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa dengan menghindari pengawasan KY, Hakim Konstitusi dapat dikatakan anti akuntabilitas.19 d. checks and balances lembaga negara.
16
Rifqi S. Assegaf, (2006), Putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materiil UU KY: Momentum Penguatan Gerakan Anti ”Mafia Peradilan”, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September 2006, hal. 5. 17 Ibid., hal. 6 18 Ibid. 19 Lihat hasil Eksaminasi Putusan No 006/PUU-IV/2006 yang diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 26-27 September 2006, hal. 5.
17
Sejak selesainya Perubahan UUD 1945 Generasi Pertama (1999-2002), pembedaan lembaga-lembaga negara tidak lagi didasarkan kepada pembagian hierarkis berupa lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Setelah perubahan, lembaga-lembaga negara dibedakan sesuai dengan fungsi dan kewenangan konstitusional masing-masing. Namun, pertimbangan hukum Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 kembali “menghidupkan” pola hubungan antarlembaga negara yang hierarkis. Misalnya, dalam halaman 178-179 Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 secara eksplisit dinyatakan: “...menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembagalembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembagalembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “checks and balances”. Dengan demikian, prinsip “checks and balances” itu terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Dalam separation of powers, pembagian secara kaku atas tiga cabang kekuasaan menjadi benar adanya, sedangkan dalam checks and balances pembagian seperti itu bukan menjadi hal yang mutlak.20 Oleh karenanya, ada pernyataan agak “berbahaya” bagi diskursus ilmu hukum bila interpretasi MK ini dijadikan patokan dalam kontekstualisasi prinsip checks and balances di Indonesia. Dikatakan “berbahaya” karena pertimbangan itu menyempitkan pemahaman cheks and balances pada teks konstitusi, bukan pada prinsipprinsip.21 Dalam hal ini, John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff menjelaskan bahwa memang ada tiga pendekatan yang digunakan untuk memahami tempat dan hubungan lembaga-lembaga negara, yaitu: 22 20
Zainal Arifin Mochtar, (2006), Hikayat ’Lupa’ di Putusan MK, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September 2006, hal. 4. 21 Bivitri Susanti, (2006), Hakim atau Legislator: Menyoal Putusan MK tentang UndangUndang Komisi Yudisial, , makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September 2006, hal. 2. 22 John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, (1994), Modern Constitutional Theory, West Publishing Co, hal. 296-297.
18
(1) “separation of powers”, (2) “separation of functions”, dan (3) “checks and balances”. Terkait dengan pendekatan tersebut, Peter L. Strauss (1984) dalam tulisannya “The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and Fourth Branch” menjelaskan bahwa unlike the separation of powers, the checks and balances idea does not suppose a radical division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out among them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the conditions in which the intended struggle at the apex may continue.23 e. Independensi kekuasaan kehakiman. Prinsip ini termasuk salah satu poin yang cukup luas dipaparkan dalam Putusan No 005/PUU-IV/2006. Pemaparan itu dapat dipahami karena kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar peradilan. Sehingga Hakim dalam memutus perkara hanya demi kadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.24 Dalam pandangan Hakim Agung Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah menyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka.25 Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting dalam negara demokrasi. Shimon Shetreet dalam Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi independence of the judiciary menjadi empat hal yaitu substantive independence (independensi dalam memutus perkara), personal independence [misalnya adanya jaminan masa kerja dan jabatan (term of office and tenure)], internal independence (misalnya independensi dari atasan dan rekan kerja) dan collective independence (misalnya adanya partisipal pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan budget pengadilan).26 Erhard Blankenburg mengatakan bahwa independensi peradilan dapat diuji melalui dua hal, yaitu ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity).27 Imparsialitas terlihat pada 23 24
Zainal Arifin Mochtar, (2006), Hikayat ,hal. 4. Bandingkan dengan Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI,
hal 7. 25
Artidjo Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta. 26 Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia. 27 A. Muhammad Asrun, (2004), Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta.
19
gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan faktafakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara. Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara. Karenanya, hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi imparsialitas.28 f. makna bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kemudian, Pasal 56 Ayat (3) UU MK menyatakan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pertanyaannya: apakah yang dimaksudkan dengan bertentangan dengan UUD? Pertanyaan tersebut begitu penting untuk dikaji dan dijelaskan secara tepat karena beberapa pasal-pasal dalam undang-undang (termasuk UU KY) yang lebih bersifat menjelaskan atau mengelaborasi lebih jauh pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 dinyatakan bertentangan dengan UUD oleh MK. 3. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terlepas dari berbagai catatan di atas, masalah lain yang perlu dikaji lebih lanjut yaitu implikasi Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 terhadap reformasi kekuasaan kekuasaan kehakiman. Setidaknya, ada tiga implikasi yang perlu dicatatan khusus. a. judicial corruption Salah satu kekawatiran banyak kalangan yang concern terhadap dunia peradilan adalah Putusan MK tersebut akan semakin menyuburkan praktik korupsi dalam proses peradilan (judicial corruption). Dalam bahasa Denny Indrayana, Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 akan menumbuh-kembangkan praktik mafia peradilan.29 Bahkan, muncul juga penilaian bahwa hakim konstitusi tidak jauh berbeda dengan hakim lain (hakim konstitusi juga hakim).30 Kasus yang sampai ke pengadilan, pola permainan uang bisa jauh lebih rumit. Kerumitan muncul karena pihak yang terkait dengan penanganan perkara di pengadilan lebih banyak dibandingkan dengan di tingkat penyidikan seperti pengacara, jaksa, panitera dan hakim. Biasanya, peran pihak ketiga lebih praktis dan aman dilakukan oleh panitera. Inisiatif mempertemukan atau menyambungkan komunikasi antara hakim dan pengacara bisa datang dari hakim sendiri, bisa pula dari pengacara terdakwa, namun tidak tertutup kemungkinkan berasal dari penitera sendiri. Tidak hanya itu, peran panitera dalam suatu perkara begitu luar biasanya sampai menyebabkan para pengacara tidak perlu bekerja susah-susah. Misalnya, dari informasi mereka yang biasa berpraktik di pengadilan atau para pemantau 28
Ibid. Denny Indrayana, (2006), Mahkamah Mafia Peradilan, dalam Kompas, Jakarta, hal.6. 30 Saldi Isra, (2006), Hakim Konstitusi Juga Hakim, dalam Kompas, Jakarta, hal.6. 29
20
peradilan, panitera kerap membuatkan jawaban-jawaban untuk proses persidangan bagi para pengacara. b. kekosongan hukum (di tingkat undang-undang) mengenai pelaksanaan fungsi pengawasan KY. Implikasi lain dari Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 munculnya kekosongan hukum mengenai pelaksanaan pengawasan hakim oleh KY. Dengan kejadian ini, pengawasan hakim kembali mengandalkan pengawasan internal. Padahal, selama ini, pengawasan internal dianggap tidak optimal dalam mengawasi praktik menyimpang hakim. Pada halaman 201 Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 dinyatakan: “Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan tugas KY, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku hakim, UUKY segera harus disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana mestinya. c. menguatnya krisis kepercayaan kepada MK. Dampak lain, timbulnya krisis kepercayaan publik kepada MK. Banyak kalangan menilai, dalam beberapa waktu terakhir, mulai kelihatan putusan semakin menjauhi gagasan pembaruan hukum. Salah satu putusan MK yang mendapat sorotan tajam adalah pernyataan tidak punya kekuatan mengikat sebagian penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam bahasa yang agak sinis, Teten Masduki mengatakan bahwa mulai terlihat kecenderungan MK “membunuh anak-anak reformasi”. d. menguatnya wacana untuk meninjau ulang kewenangan MK. Wacana ini dikembangkan oleh sebagian anggota DPR. Berdasarkan hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (2005), banyak catatan atau ketidaksukaan yang nyata dari anggota DPR. Argumentasi yang dikembangkan sebagian anggota DPR tersebut: “bagaimana mungkin putusan sembilan orang bisa mengalahkan produk 550 orang?” Meski hampir tidak mungkin mengurangi kewenangan MK di tingkat undang-undang, menguatnya wacana ini di kalangan legislator harus tetap dijadikan catatan tersendiri. B. Kendala Yang Dihadapi Dalam Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 terhadap Kewenangan Komisi Yudisial dan bagaimana mengatasinya. 1. Kendala Yang Dihadapi Dalam Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 terhadap Kewenangan Komisi Yudisial adalah terdapat pada Kewenangan Konstitusi Yudisial Sedangkan tujuan pembentukan Komisi Yudisial, sebagaimana pula dikemukakan oleh A. Ahsin Thohari yaitu sebagai berikut: a) Dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. b) Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin
21
kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah. c) Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal baik yang menyangkut rekrutmen dan monitoring hakim agung serta pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman. 2. Dibentuknya Komisi Yudisial adalah untuk menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. 3. Cara mengatasi Kendala Yang Dihadapi Dalam Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 terhadap Kewenangan Komisi Yudisial adalah: a) Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekrutmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri atau bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan hakim yang ada. b) Kehadiran lembaga Negara baru semacam Komisi Yudisial di Negara lain merupakan hal yang jamak.31 Bahkan dibeberapa Negara yang menganut demokrasi modern, keberadaan Komisi Yudisial merupakan sebuah trend tersendiri. c) Pengalihan kewenangan pembinaan aspek administrasi, keuangan dan organisasi dari Departemen ke Mahkamah Agung sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan sistem tersebut dianggap belum tahu akan mampu menyelesaikan permasalahan secara tuntas. d) Mahkamah Agung memberikan beberapa hal yang mendukung akan alasan-alasan tersebut yaitu: 1) Penyatuan atap tanpa perubahan sistem lainnya misalnya rekrutmen, mutasi, promosi dan pengawasan terhadap hakim berpotensi monopoli kekuasaan kehakiman (oleh MA) 2) Adanya kekhawatiran MA belum tentu mampu menjalankan tugas barunya karena MA sendiri memiliki banyak kelemahan organisasional yang sampai saat ini upaya perbaikannya masih dilakukan. e) KY tetap mempunyai basis konstitusional untuk berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
31
Beragam pandangan tentang kisruh sengketa hasil pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok dapat dibaca dalam Denny Indrayana, Saldi Isra dll, 2005, Kepala Daerah Pilihan Hakim: Membongkar Kontroversi Pilkada Depok, Harakatuna Publishing, Bandung.
22
IV. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 terhadap kewenangan Komisi Yudisial adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 005/PUU-IV/2006 merupakan putusan terhadap perkara permohonan pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) yang diajukan oleh 31 Hakim Agung pada Mahkamah Agung (MA). Dasar dari permohonan ini adalah dengan berlakunya UU KY, hak dan kewenangan para Hakim Agung tersebut dirugikan. Kewenangan para Hakim Agung yang dirugikan adalah tentang batasan hakim yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 bahwa definisi hakim menurut UU KY mencakup semua hakim, termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, Pasal 34 ayat (3) UU KK mengenai pengawasan KY yang melingkupi Hakim Agung. Usul penjatuhan sanksi dan penghargaan yang diatur dalam ketentuan, Pasal 21 terkait wewenang KY untuk mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan MA dan/atau MK. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5) terkait usul penjatuhan sanksi yang bersifat mengikat dan apabila pembelaan hakim ditolak, maka usul pemberhentiannya diajukan oleh MA dan/atau MK kepada Presiden. 2. Dari kendala yang dihadapi dalam Impikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 terhadap kewenangan Komisi Yudisial dan bagaimana mengatasinya adalah terdapat dalam Kewenangan Konstitusi Yudisial dalam menjaga kekuasaan kehakiman meliputi pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung masih tersisa, sedangkan roh Komisi Yudisial berupa kewenangan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim dianulir dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2006 dengan No. 005/PUU-IV/2006. Peranan pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung meliputi pendaftaran, penyeleksian, penetapan dan pengajuan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat tetap diakui. B. Saran 1. Diharapkan di masa yang akan datang ada perbaikan secara menyeluruh dalam sistem peradilan. Yaitu perlunya Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden melakukan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas undang-undang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. 2. Mengingat semakin sedikit beban, tugas dan cakupan yang diberikan untuk melakukan peran tersebut di atas, diharapkan anggota Komisi Yudisial yang terdiri dari anggota yang potensial, berkualitas, energik dan berpengalaman dapat menfokuskan diri dalam penyeleksian hakim agung.
23
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU A. Muhammad Asrun, (2004), Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta. Al. Wisnu Broto, 1997, Hakim Dan Peradilan Di Indonesia (dalam beberapa aspek kajian), Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogykarta, , Yogyakarta. Artidjo
Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.
Bambang Waluyo, S.H. Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Sinar Grafika Edisi 1 Cet. 1. Jakarta 1992. Bivitri Susanti, (2006), Hakim atau Legislator: Menyoal Putusan MK tentang Undang-Undang Komisi Yudisial, , makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September 2006 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, (1994), Modern Constitutional Theory, West Publishing Co Ni'matul Huda, 2005, Otonomi Daerah, Pustaka Pelajar, Hlm 239 Yogyakarta. Ni’matul Huda, 2011, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta. Rifqi S. Assegaf, (2006), Putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materiil UU KY: Momentum Penguatan Gerakan Anti ”Mafia Peradilan”, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUUIV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September 2006 Sirajuddin Zulkarnain, 2006, Menuju Peradilan Yang Bersih Dan Berwibawa, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik, Indonesia.
24
Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sobirin Malian, 2001, Gagasan perlunya konstitusi baru pengganti UUD 1945 , UII Press, Yogyakarta. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta. Zainal Arifin Mochtar, (2006), Hikayat ’Lupa’ di Putusan MK, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUUIV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September 2006 Zainal Arifin Mochtar, (2006), Hikayat B. PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 Tentang Pencabutan Kewenangan komisi Yudisial Dalam Pengawasan Terhadap Hakim C. SUMBER LAINNYA Bandingkan dengan Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI Beragam pandangan tentang kisruh sengketa hasil pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok dapat dibaca dalam Denny Indrayana, Saldi Isra dll, (2005), Kepala Daerah Pilihan Hakim: Membongkar Kontroversi Pilkada Depok, Harakatuna Publishing, Bandung. Dalam kasus ini, salah seorang anggota KY, Irawadi Joenoes menyatakan: ”Kita akan segera memanggil hakimnya dan saya sudah meminta berkas perkaranya. Kita sangat menyesalkan perkara ini bebas” (Sinar Harapan, 29/10-2005).
25
Dalam kasus ini, Irawadi Joenoes, menyatakan bahwa Hakim telah bertindak tidak profesional karena memvonis kurang dari ketentuan minimum yang terdapat dalam undang-undang (Republika, 02/12-2005). Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, 2006, “Resume Berita Mengenai Mahkamah Konstitusi”, http://www.republika.com/artikel/html Selasa,20 Desember, Jakarta. Denny Indrayana, (2006), Mahkamah Mafia Peradilan, dalam Kompas, Jakarta Kelaziman ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Bapak Sahlan Said, mantan hakim yang menjadi salah seorang eksaminator dalam Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 26-27 September 2006. Lihat Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 Lihat hasil Eksaminasi Putusan No 006/PUU-IV/2006 yang diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 26-27 September 2006 Saldi Isra, (2006), Hakim Konstitusi Juga Hakim, dalam Kompas, Jakarta Pasal 23 ayat (1) huruf a menyatakan, sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, usul penjatuhan sanksi terhadap hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dapat berupa teguran tertulis. Pasal 23 ayat (1) huruf a dan b menyatakan, sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, usul penjatuhan sanksi terhadap hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dapat berupa (b) pemberhentian sementara, dan (c) pemberhentian. www.wikiplodia.com.Kompas 08/09-2005 di unduh tanggal 23 Agustus 2015.
26