RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 25 September 2015 II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil: -
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial; dan
-
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: -
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
-
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) Pemohon adalah perseorangan warga Indonesia dan juga sebagai Anggota Komisi Yudisial, merasa pasal yang dimohonkan pengujian menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak konstitusional Pemohon.
1
V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Norma materiil yaitu: 1. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat ditangkap atau ditahan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau tindak pidana kejahatan keamanan negara. 2. Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau; b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup, disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Negara Indonesia adalah negara hukum. 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Pasal 10 UU 22/2004 dan Pasal 17 UU 14/1985 bertentangan dengan UU 12/2011 karena materi muatan pasal-pasal a quo tidak mengandung asas “g. keadilan”, “h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,” “i. ketertiban dan kepastian hukum” sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU 12/2011; 2
2. Bahwa
“persetujuan
Presiden”
sebelum
memeriksa
pejabat
negara
diperlukan dalam rangka melindungi harkat, martabat dan wibawa pejabat negara dan lembaga negara agar diperlakukan secara hati-hati, cermat, tidak sembrono dan tidak sewenang-wenang. Ketentuan tentang “prosedur ijin” ini menggantikan forum privilegiatum yang diatur dalam Pasal 106 UUDS 1960 (atau Pasal 148 Konstitusi RIS), karena sejak 1 Juli 1959 konstitusi Indonesia tidak lagi berdasarkan UUDS 1960 tetapi kembali kepada UUD 1945 dan dalam UUD 1945 tidak dikenal ketentuan forum privilegiatum . 3. Bahwa “persetujuan Presiden” juga diperlukan dalam hal pemeriksaan kepolisian yang dilakukan terhadap pejabat negara lainnya yaitu Hakim Konstitusi, Anggota BPK, Anggota DPR, Pimpinan dan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia sebagaimana telah diatur dalam undang-undang. Oleh karenanya adanya “persetujuan Presiden” juga sangat diperlukan dalam hal dilakukannya tindakan kepolisian terhadap Anggota Komisi Yudisial dan Hakim Agung; 4. Tidak adanya frasa “persetujuan Presiden” bagi pemeriksaan pejabat negara, termasuk bagi “Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial” dan “Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung”, oleh kepolisian terbukti telah membuat ketidakpastian hukum kepada Pemohon, karena ketentuan pasal a quo terbukti mengganggu pelaksanaan tugas sebagai Komisioner Yudisial; 5. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU 22/2004 dan Pasal 17 ayat (1) UU 14/1985 tidak memenuhi syarat pembentukan peraturan perundang-undang yang baik karena membuahkan ketidakpastian hukum dan diskriminasi perlakuan antar pejabat terkait “izin Presiden”. VII. PETITUM 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau setidak-tidaknya menyatakan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik 3
Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden ...” dimaknai sebagai “Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat dipanggil, dimintai keterangan, penyidikan, ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden ...” 3. Menyatakan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa “Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden” tidak dimaknai sebagai “Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat dipanggil, dimintai keterangan, penyidikan, ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden ...” 4. Menyatakan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau setidak-tidaknya menyatakan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapatkan persetujuan Presiden…” dimaknai sebagai “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat dipanggil, dimintai keterangan, penyidikan ditangkap atau ditahan hanya atas
perintah Jaksa Agung setelah mendapatkan
persetujuan Presiden…” 5. Menyatakan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang frasa “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas
perintah Jaksa Agung
setelah mendapatkan persetujuan Presiden…” tidak dimaknai sebagai “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat dipanggil, dimintai keterangan, penyidikan ditangkap atau ditahan 4
hanya atas
perintah Jaksa Agung setelah mendapatkan persetujuan
Presiden…” 6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
5