2. Tinjauan Pustaka 2.1 Kitin Sejarah penemuan kitin diawali pada tahun 1811 ketika H. Braconnot, seorang berkebangsaan Perancis mengisolasi suatu senyawa yang tahan-alkali dari sejenis jamur. Senyawa tersebut dinamainya fungine. Senyawa temuan H. Braconnot ini ternyata adalah kitin yang bercampur dengan poliglikan. Kemudian, pada tahun 1823 A. Odier (Perancis) mengisolasi suatu senyawa yang tidak larut dari suatu jenis serangga dan diberi nama “chitin”. Nama kitin berasal dari bahasa Yunani “chiton” yang berarti mantel atau lapisan luar[9]. Kitin merupakan biopolimer dengan kelimpahan yang terbesar di bumi setelah selulosa[8]. Secara struktural kitin sama seperti selulosa, hanya saja merupakan polisakarida amino yang memiliki gugus asetamida pada karbon nomor 2 (lihat Gambar 2. 1). Adanya gugus amino ini memberikan karakteristik yang unik bagi kitin seperti fungsi biologi yang khas dan memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi modifikasi. Kitin diperkirakan memiliki potensi yang lebih banyak dibandingkan selulosa. Sifat-sifat spesifik kitin antara lain dapat mengalami biodegradasi, biocompatible, dan memiliki bioaktifitas tertentu. Sifat-sifat inilah yang membuat kitin menarik tidak hanya sebagai sumber yang berlimpah melainkan juga merupakan jenis material fungsional yang baru[3].
Gambar 2. 1. Struktur molekul selulosa (atas) dan kitin (bawah)[3] Kitin terdapat pada beragam spesies, mulai dari jamur hingga hewan tingkat rendah. Kerangka atau kulit Arthropoda (eksoskeleton) merupakan sumber kitin yang paling mudah dijumpai. Kerangka atau kulit ini mengandung 20–50% kitin. Apabila ditinjau dari sudut pandang praktis, kulit crustacean seperti kepiting dan udang yang merupakan limbah dari
industri makanan laut dapat dijadikan sebagai sumber untuk produksi komersial kitin. Sumber lain yang dapat digunakan dalam produksi kitin adalah rajungan, udang karang, serangga, kijing, tiram, ubur-ubur, alga, dan jamur. Cumi-cumi juga mengandung kitin, khususnya yang diklasifikasikan sebagai β-kitin. Material ini berbeda dari α-kitin yang terdapat pada kulit crustacean ditinjau dari struktur kristalnya. β-kitin memiliki gaya-gaya intermolekular yang lebih lemah dan merupakan suatu material yang menarik karena memiliki karakteristik yang berbeda dengan α-kitin. Dinding sel beberapa jenis jamur seperti Zygomycetes, mengandung kitosan. Namun, secara praktis kitosan akan lebih mudah diperoleh melalui proses deasetilasi kitin. α-kitin yang diproduksi secara komersial dari kepiting dan udang mengandung kalsium karbonat dan protein sebagai komponen utama lainnya. Selain itu, pada kitin yang diisolasi dari kepiting dan udang juga mengandung pigmen (zat warna) dalam jumlah yang sedikit dan diasumsikan memiliki rantai samping polipeptida yang terikat secara kovalen pada beberapa gugus amino C-2 melalui ikatan amida. Kitin merupakan molekul yang stabil terhadap asam dan basa dibandingkan komponen-komponen lainnya dan tidak larut dalam pelarut yang biasa digunakan. Berdasarkan fakta tersebut, kitin dapat diisolasi sebagai residu setelah dekomposisi molekul-molekul lain dengan asam atau basa. Proses isolasi kitin diawali dengan pencucian kulit dan perlakuan dengan asam klorida pada temperatur ruang untuk menghilangkan kalsium karbonat. Kulit yang telah mengalami dekalsifikasi kemudian dipanaskan dalam 1–2 mol/L natrium hidroksida pada kisaran suhu 100oC untuk mendekomposisi protein dan pigmen. Kitin yang diperoleh selain memiliki gugus asetamida juga memiliki beberapa gugus amino bebas. β-kitin dapat diisolasi dari cumi-cumi dengan perlakuan yang lebih sederhana, karena cumicumi secara eksklusif terdiri dari kitin dan protein dengan logam garam dalam jumlah yang sangat sedikit. Selain itu, susunan molekular β-kitin kurang rapat bila dibandingkan dengan α-kitin, sehingga β-kitin dapat diisolasi dalam suasana yang lebih ‘lembut’[3].
2.1.1
Struktur Kitin dalam Keadaan Padat
Pada umumnya, berdasarkan struktur kristal, kitin dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk yaitu α- dan β-kitin. Kedua bentuk tersebut dapat dibedakan melalui spektroskopi infra merah dan spektroskopi NMR keadaan padat (solid-state NMR spectroscopy) yang dipadukan dengan difraksi sinar-X. Struktur kristal yang ketiga, yaitu γ-kitin juga telah
5
digambarkan, akan tetapi melalui analisis lebih lanjut ternyata γ-kitin diketahui hanya merupakan variasi dari jenis α-kitin. α-kitin memiliki kelimpahan yang jauh lebih banyak. Kitin jenis ini terdapat pada dinding sel jamur dan yeast, tendon dan cangkang lobster dan kepiting, kulit udang, dan pada kutikula serangga. α-kitin juga diproduksi oleh sejumlah organisme laut. Contoh organisme laut yang menghasilkan kitin adalah keong, Sagitta, dan ganggang laut Phaeocytis. α-kitin yang bersifat eksotik ini telah menaik perhatian untuk studi struktural karena memiliki kristalinitas dan kemurnian yang tinggi (α-kitin disintesis dengan adanya pigmen, protein, dan kalsit). Secara sistematik, α-kitin dihasilkan melalui proses rekristalisasi dari larutan, biosintesis in vitro, dan polimerisasi enzimatik. Kitin jenis lainnya yaitu β-kitin, memiliki kelimpahan yang lebih sedikit. Biasanya kitin jenis ini ditemukan bergabung dengan protein pada cumi-cumi. β-kitin juga ditemukan pada chaetae aprodit dan pada lorica yang dihasilkan oleh sejumlah ganggang atau protozoa. βkitin dalam keadaan murni terutama sekali ditemukan dalam keadaan monokristalin yang disekresikan oleh Thalassiosira fluviatilis. Namun berbeda dengan α-kitin, β-kitin tidak mungkin diperoleh dari larutan atau biosintesis in vitro. Melalui analisis struktur diketahui bahwa dalam α-kitin molekul kitin bergabung dalam suatu model antiparalel sehingga memungkinkan terjadinya ikatan hidrogen intermolekular. Pada β-kitin, molekul kitin bergabung dalam model paralel akibat gaya intermolekular yang lebih lemah. β-kitin yang diperoleh dari cumi-cumi memiliki struktur semikristalin sedangkan dari tabung (tube) Tevnia jerichonana (organisme laut dalam) diperoleh β-kitin dengan struktur yang hampir kristalin secara sempurna. β-kitin memiliki beberapa sifat yang berbeda dengan α-kitin seperti afinitas yang tinggi terhadap pelarut dan reaktivitas yang tinggi. Pelarutan atau proses swelling akan menyebabkan terjadinya perubahan stuktur dari β-kitin menjadi αkitin, tetapi tidak dari α- menjadi β-kitin. Kitosan juga merupakan suatu kristalin, namun strukturnya berbeda dengan α- maupun βkitin sebagaimana telah dibuktikan dengan pola difraksi sinar-X. Struktur kristal kitosan telah diketahui baik untuk bentuk anhidrat maupun bentuk hidratnya[8].
2.1.2
Kelarutan Kitin
Kitin yang terdapat secara alami telah terdeasetliasi sebagian. Meskipun demikian, baik αmaupun β-kitin tidak dapat larut dalam semua pelarut yang biasa digunakan akibat kuatnya ikatan hidrogen yang terbentuk secara intramolekular. Ketidaklarutan inilah yang menjadi 6
permasalahan utama bagi pengembangan penggunaan kitin. Oleh karena masalah kelarutan, informasi yang berkaitan dengan sifat fisik kitin dalam larutan menjadi terbatas. Berdasarkan studi yang telah dilakukan mengenai parameter kelarutan kitin, diketahui bahwa kitin membentuk kompleks dengan LiCl melalui gugus asetil karbonil. Kompleks ini dapat larut dalam N,N-dimetilasetamida dan N-metil-2-pirolidon[8]. Selain itu, kitin juga diketahui dapat larut dalam heksafloroaseton. Penelitian yang terbaru menemukan bahwa sistem pelarut metanol dengan kalsium klorida dihidrat yang juga merupakan pelarut nilon dapat digunakan sebagai pelarut kitin. Pada sistem pelarut ini α-kitin memiliki kelarutan yang lebih baik dibandingkan β-kitin. Tidak seperti α-kitin, β-kitin dapat larut dalam asam format. β-kitin dapat difabrikasi menjadi kertas dan kain bukan tenun (non-woven sheet). Kitin yang terdeasetilasi sebagian, yaitu sekitar 50% dapat larut sebagian dalam air pada kondisi temperatur ruang menghasilkan gel transparan. Kelarutan ini akan sempurna apabila sampel diperlakukan dengan pada kondisi temperatur di bawah 0oC[9].
2.1.3
Spektroskopi Infamerah Kitin
Sejumlah studi telah dilakukan berkaitan dengan deskripsi dan interpretasi spektrum inframerah kitin. Spektrum inframerah α- dan β-kitin ditunjukkan pada Gambar 2. 2. Oleh karena kristalinitas sampel yang tinggi, spektrum memberikan puncak serapan yang sangat tajam. Daerah vibrasi ulur gugus C=O dari amida berada pada daerah bilangan gelombang 1600 dan 1500 cm-1. Daerah bilangan gelombang ini menjadi menarik karena dapat membedakan α- dan β-kitin. Untuk α-kitin, puncak amida I mengalami pembelahan pada 1656 dan 1621 cm-1, sedangkan pada β-kitin puncak serapan pada bilangan gelombang 1626 cm-1 tidak mengalami pembelahan. Untuk puncak amida II bagi kedua alomorf terdapat pada bilangan gelombang 1556 cm-1 untuk α-kitin dan 1560 cm-1 untuk β-kitin. Terdapatnya dua puncak serapan amida I pada α-kitin merupakan suatu objek yang masih diperdebatkan. Puncak pada 1656 cm-1 yang juga terdapat pada poliamida dan protein merupakan puncak yang umum bagi serapan vibrasi ulur C=O yang memiliki ikatan hidrogen dengan N–H dalam rantai (intra). Sedangkan puncak serapan pada 1621 cm-1 yang tidak terdapat pada poliamida dan protein dihipotesiskan disebabkan oleh ikatan hidrogen yang spesifik dari C=O dengan gugus hidroksimetil yang tedapat pada residu kitin selanjutnya pada rantai yang sama. Kemungkinan lainnya bagi puncak pada bilangan gelombang 1621 cm-1 adalah puncak gabungan atau akibat terdapatnya bentuk enol dari amida. Tidak adanya definisi yang jelas
7
mengenai struktur molekul α-kitin dan ikatan hidrogen antar rantai menyebabkan tidak dapatnya diberikan definsi yang pasti bagi puncak tersebut[8].
Gambar 2. 2. Spektrum inframerah (a) α-kitin, dan (b) β-kitin[8]
2.1.4
Aplikasi Kitin
Kitin memiliki tingkat toksisitas yang rendah, bersifat inert pada saluran pencernaan makanan mamalia, dan dapat mengalami biodegradasi akibat tersedianya kitinase secara luas pada bakteri, jamur, tumbuhan dan sistem pencernaan beberapa jenis hewan. Lysozyme yang terdapat pada putih telur, daun ara, dan papaya diketahui dapat mendegradasi kitin dan dinding sel bakteri. Proses hidrolisis kitin dipengaruhi oleh derajat deasetilasi kitin. Kitin dan 6-O-karboksimetilkitin dapat mengaktifkan makrofag peritoneal in vivo, menekan pertumbuhan sel tumor pada tikus, dan berperan sebagai stimulan dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri Escheria coli. Kitin juga diketahui dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Kitin telah banyak digunakan untuk imobilisasi enzim. Proses imobilisasi enzim pada kitosan terjadi melalui proses pencangkokkan (grafting). Akibat sifat biodegradabilitas, tidak beracun, tidak bereaksi secara fisiologis, antibakteri, hidrofil, dapat membentuk gel, dan memiliki afinitas terhadap protein, aplikasi kitosan telah dikembangkan lebih luas, yaitu sebagai biosensor. Material yang berbahan dasar kitosan juga digunakan dalam pengolahan limbah industri. Kitin dapat diproses untuk membentuk film ataupun serat. Serat kitin dapat membentuk poliblend dengan selulosa atau sutera. Regenerasi serat turunan kitin digunakan sebagai bahan pengikat dalam proses pembuatan kertas sehingga dihasilkan kertas dengan kekuatan tarik yang lebih baik.
8
Disamping pemanfaatan kitin dalam bidang-bidang tersebut di atas, aplikasi film dan serat kitin terutama dalam bidang medis dan farmasi, yaitu sebagai pembungkus luka, dan mengontrol waktu penguraian obat. Kitin juga digunakan sebagai pengantar obat, material pengisi tulang berupa komposit hidroksiapatit-kitin-kitosan yang membentuk perekat dalam pengobatan kerusakan tulang[8].
2.2 Kitosan Kitosan merupakan polisakarida yang mengandung lebih dari 5.000 unit glukosamin dan asetilglukosamin dengan berat molekul lebih dari satu juta Dalton. Pada keadaan padatan, kitosan merupakan polimer semikristalin. Struktur molekul kitosan dapat dilihat pada Gambar 2. 3.
Gambar 2. 3. Struktur molekul kitosan[3] Kitosan diperoleh melalui proses deasetilasi kitin dengan 40–50% larutan alkali pada 120– 150oC dalam kondisi yang heterogen. Larutan alkali yang paling sering digunakan adalah natrium hidroksida. Persamaan reaksi yang terjadi pada proses deasetilasi kitin direpresentasikan pada Gambar 2. 4. Derajat N-asetilasi dari kitosan yang diperoleh pada umumnya berada diantara 0,05–0,30. Deasetilasi sempurna dapat diperoleh dengan melakukan pengolahan dengan alkali secara berulang[9].
Gambar 2. 4. Persamaan reaksi deastilasi kitin [3] Ketika derajat deasetilasi kitin mencapai 50% (bergantung pada sumber kitin), kitin menjadi larut dalam media yang asam. Pelarutan terjadi akibat protonasi gugus fungsi –NH2 yang terikat dengan karbon nomor 2 pada unit ulang D-glukosamin. Hal ini mengakibatkan polisakarida tersebut (kitosan) menjadi suatu polielektolit dalam media asam. Oleh karena sifat polikationik ini kitosan banyak diaplikasikan sebagai flokulan untuk mempeoleh kembali protein dan juga dalam penanganan polusi khususnya polusi air[8].
9
Beberapa jamur mengandung kitosan yang diperkirakan terbentuk akibat adanya enzim kitindeasetilase. Kitosan dapat diisolasi dari dinding sel jamur[3, 9]. Prosedur untuk mempeoleh kitosan dari jamur ini lebih
mahal bila dibandingkan dengan prosedur deastilasi
konvensional kitin. Akan tetapi, isolasi kitosan dari jamur ini tetap menjadi penting terutama untuk di kemudian hari mengingat tidak adanya perlakuan dengan suatu basa kuat. Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri seperti sebagai agen penstabil lemak dan penstabil rasa dalam industri makanan, bahan aditif untuk shampoo dan kosmetik, bahan antibakteri, imobilisasi bakteri, absorban untuk menghilangkan logam berat dan pemurnian air. Tabel 2. 1 memberikan beberapa aplikasi kitosan dalam berbagai bidang kehidupan. Tabel 2. 1. Aplilkasi kitosan dalam berbagai bidang kehidupan[8] Bidang Agrikultur
Aplikasi Mekanisme pertahanan pada tumbuhan Stimulan pertumbuhan tanaman Pelapis benih Mengatur waktu penguaraian pupuk dan nutrien ke tanah
Pengolahan limbah dan air
Flokulan dalam penjernihan air (air minum, kolam renang) Menghilangkan ion logam Mengurangi penggunaan polimer sintetik Mengurangi bau
Makanan dan minuman
Serat diet Pengikat lipid (mengurangi kolesterol) Bahan pengawet Bahan pengental dan penstabil saus Lapisan pelindung, antijamur, dan antibakteri untuk buahbuahan
Kosmetik dan kecantikan
Menjaga kelembaban kulit Mengatasi jerawat Melembutkan rambut Perawatan mulut (pasta gigi, permen karet)
Biofarmasi
Imunologi, antitumor Hemostatik dan antikoagulan Bakteriostatik, penyembuhan luka
10
2.2.1
Kelarutan Kitosan
Polimer dengan derajat deasetilasi yang tinggi telah digunakan untuk kepentingan pengembangan metode karakterisasi. Sifat-sifat kitosan tidak hanya bergantung pada besarnya derajat deasetilasi melainkan juga pada distribusi gugus –NH2 sepanjang rantai kitosan. Pengujian peranan protonasi kitosan dalam larutan asam asetat atau asam klorida terhadap kelarutan menunjukkan bahwa derajat ionisasi kitosan bergantung pada pH dan pKa asam yang digunakan. Pada larutan HCl dengan pH 4,5–5, kitosan dengan berat molekul rendah memiliki nilai derajat ionisasi rata-rata 0,5. Kelarutan kitosan juga dipengaruhi oleh konsentrasi ionik, dan efek salting-out ketika digunakan asam yang berlebih. Kitosan akan mulai larut pada pH di bawah 6. Kelarutan kitosan biasanya diuji dengan melarutkannya dalam 1% asam asetat. Jumlah asam yang dibutuhkan bergantung pada jumlah kitosan yang akan dilarutkan. Agar kitosan dapat larut, konsentrasi proton yang dibutuhkan setidaknya sama dengan konsentrasi unit –NH2 yang terdapat dalam kitosan. Dalam pelarutan kitosan, hal penting yang harus dipertimbangkan adalah ikatan hidrogen antar-rantai termasuk ikatan hidrogen yang ditimbulkan oleh gugus hidroksil. Kitosan akan menjadi tidak larut dalam media asam apabila memiliki derajat asetilasi lebih besar dari 60%. Pada pH netral, kitosan berderajat asetilasi 50% diketahui dapat larut dalam air[8].
2.2.2
Pembentukan Kompleks Kitosan dengan Logam
Kitosan diketahui memiliki kemampuan pengkompleks yang baik akibat adanya gugus –NH2 yang memiliki interaksi spesisfik dengan logam. Beberapa penelitian berpusat pada pembentukan
kompleks
untuk
kepentingan
pengolahan
limbah
cair.
Mekanisme
pembentukan kompleks dengan tembaga pada pH lebih dari 5 telah diajukan berdasarkan data sinar-X film kitosan–tembaga. Saat ini, mekanisme pembentukan kompleks dengan tembaga dalam larutan telah dipelajari kembali dan diajukan dua jenis kompleks yang berbeda. Khelat yang terbentuk bergantung pada pH, kandungan tembaga, dan keadaan fisik kitosan (bubuk, gel, serat, film). Khelat yang baik ditunjukkan oleh kitin dengan derajat deasetilasi yang lebih tinggi. Selain itu, khelat yang terbentuk juga dipengaruhi oleh distribusi gugus –NH2 dan derajat polimerisasi oligo-kitosan. Kompleks mulai terbentuk ketika derajat polimerisasi kitosan lebih besar dari 6, sedangkan jumlah maksimum tembaga yang dapat diserap adalah 0,5 mol/ mol –NH2. Ketika pH berada pada nilai antara 5 dan 5,8,
11
bentuk kompleks yang terbentuk adalah [Cu (–NH2)2](OH)2.H2O. Akan tetapi, ketika pH lebih dari 6 bentuk kompleks yang terbentuk adalah [Cu (–NH2)2](OH)2. Jenis kation (logam) yang diserap mempengaruhi mekanisme interaksi kitosan dengan logam. Tingkat afinitas kitosan (lihat Gambar 2. 5) terhadap kation dapat diurutkan sebagai: Cu2+ >> Hg2+ > Zn2+ > Cd2+ > Ni2+ > Co2+~Ca2+, dimana anion bagi logam yang digunakan adalah klorida[8].
Gambar 2. 5. Selektivitas ionik kitosan: jumlah (mol) kation divalen yang dapat terserap per 1g film kitosan[8] Pengaruh anion yang digunakan juga telah dipelajari secara terpisah dan diketahui bahwa adanya ion sulfat akan meningkatkan fiksasi butiran kitosan yang mengalami pengembungan (swelling). Penelitian mengenai penyerapan logam oleh kitosan juga telah dilakukan dengan menggunakan bubuk kitosan yang dimasukkan ke dalam suatu kolom dan digunakan untuk menyerap ion merkuri. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa kondisi fisik kitosan juga mempengaruhi penyerapan dan kinetika retensi. Selain dengan ion tembaga, bentuk kompleks kitosan dengan besi (III) juga telah diketahui. Pada kompleks yang diperoleh tersebut, satu molekul besi (III) berkoordinasi dengan dua residu kitosan, tiga molekul air, dan satu ion klorida (sampel besi yang digunakan adalah ferat klorida). Rumus kimia bagi kompleks tersebut adalah [Fe(H2O)3(Glu)2Cl]Cl2.H2O dengan Glu merupakan glukosamin[8].
2.3 Karakterisasi Kitin dan Kitosan 2.3.1
Analisis Gugus Fungsi
Inti-inti atom yang terikat melalui ikatan kovalen mengalami vibrasi atau osilasi. Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap akan menyebabkan kenaikan
12
amplitudo getaran atom-atom yang terikat sehingga molekul akan berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi. Besarnya energi yang diabsorpsi oleh suatu jenis ikatan tertentu bergantung pada jenis getaran dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, jenis ikatan yang berlainan (C–H, C–C, C–O, dan sebagainya) akan menyerap radiasi inframerah pada bilangan gelombang (frekuensi) yang berlainan pula. Suatu ikatan dalam sebuah molekul dapat mengalami berbagai macam osilasi sehingga suatu ikatan tertentu dapat menyerap energi pada lebih dari satu daerah bilangan gelombang. Misalnya suatu ikatan O–H menyerap energi pada daerah bilangan gelombang 3330 cm-1 yang menyebabkan kenaikan vibrasi ulur ikatan O–H tersebut. Akan tetapi, ikatan O–H juga menyerap energi pada bilangan gelombang 1250 cm-1 yang menyebabkan kenaikan vibrasi tekuk. Besarnya energi yang diserap oleh tiap ikatan juga beraneka ragam. Hal ini terjadi sebagian disebabkan oleh perubahan momen ikatan ketika energi diserap. Ikatan non-polar seperti C–H atau C–C akan menyebabkan absorpsi lemah, sedangkan ikatan polar seperti C=O, akan memberikan serapan yang lebih kuat. Pita-pita dalam sebuah spektrum inframerah dapat dikelompokkan menurut intensitasnya, yaitu kuat (s, strong), sedang (m, medium), dan lemah (w, weak). Suatu pita lemah yang bertumpang tindih dengan suatu pita kuat disebut sebagai bahu (sh, shoulder). Banyaknya gugus-gugus identik dalam sebuah molekul akan mengubah kuat realtif pita absorbans dalam suatu spektrum. Misalnya, suatu gugus tunggal dalam sebuah molekul menghasilkan absorpsi yang cukup kuat, sedangkan absorpsi suatu gugus CH tunggal relatif lemah. Akan tetapi, jika suatu senyawa memiliki banyak ikatan CH, maka efek gabungan absorpsi CH ini akan menghasilkan suatu puncak yang bersifat medium atau bahkan kuat. Hal ini sesuai dengan Hukum Lambert-Beer, yaitu absorbans berbanding lurus dengan konsentrasi. Oleh karena itulah, spektroskopi inframerah juga dapat digunakan dalam analisis kuantitatif. Pada spektrum inframerah, daerah antara 1400–4000 cm-1 merupakan daerah yang berfungsi untuk identifikasi gugus fungsi dan disebabkan oleh vibrasi ulur ikatan. Untuk daerah bilangan gelombang di bawah 1400 cm-1, absorpsi disebabkan oleh vibrasi ulur maupun tekuk. Daerah bilangan gelombang di bawah 1400 cm-1 disebut sebagai daerah sidikjari dan setiap senyawa organik memberikan serapan yang khas pada daerah ini[10].
13
2.3.2
Penentuan Derajat Deasetilasi
Kitosan dapat dikarakterisasi berdasarkan kualitas, bentuk fisik, dan sifat-sifat instrinsik (kemurnian, berat molekul, viskositas, dan derajat deasetilasi). Kualitas dan sifat-sifat kitosan dapat bervariasi akibat pengaruh faktor-faktor tertentu selama proses produksi yang kemudian dapat mempengaruhi karakteristik produk akhir. Kitosan secara komersial tersedia dari berbagai macam produsen dengan tingkat kemurnian, berat molekul, dan derajat deasetilasi yang bervariasi. Derajat deasetilasi merupakan salah satu karakteristik kimia yang penting karena mempengaruhi performa kitosan dalam beragam aplikasinya. Derajat deasetilasi yang memiliki arti fisis sebagai kandungan gugus amino bebasdalam suatu polisakarida dapat digunakan untuk membedakan kitin dengan kitosan. Proses deasetilasi merupakan suatu proses hidrolisis gugus asetamida dari molekul kitin. Terdapat beberapa metode untuk meningkatkan atau menurunkan derajat deasetilasi. Sebagai contoh, peningkatan temperatur dan kekuatan larutan basa dapat meningkatkan jumlah gugus asetamida yang terhidrolisis. Karena derajat deasetilasi sangat tergantung terutama dari metode pemurnian dan kondisi reaksi, merupakan suatu hal yang penting untuk melakukan karakterisasi kitosan dengan menentukan derajat deasetilasi. Terdapat beberapa metode yang telah dilaporkan untuk menentukan derajat deasetilasi kitosan. Diantara metode yang telah dilaporkan tersebut adalah uji ninhidrin, titrasi potensiometri linier, spektroskopi IR-dekat, spektroskopi resonansi magnet inti (NMR), titirimetri hidrogen bromida, spektroskopi inframerah, dan spektroskopi UV turunan pertama. Beberapa diantara metode tersebut memiliki keterbatasan seperti metode yang rumit, lebih mahal untuk keperluan analisis secara rutin (spektroskopi NMR), atau merusak sampel (uji ninhidrin). Dalam penelitian ini, metode penentuan derajat deastilasi yang digunakan adalah metode analisis spektoskopi inframerah. Pada metode ini, spektrum sampel kitosan diperoleh dengan menggunakan instrumen inframerah dengan interval frekuensi 4000–400 cm-1. Derajat deasetilasi (DD) kitosan ditentukan dengan menggunakan dua baseline yang berbeda (lihat Gambar 2. 6), yaitu baseline (a) yang diajukan oleh Domszy dan Roberts, dan baseline (b) yang diajukan oleh Baxter, dkk.
14
Gambar 2. 6. Metode pengambilan baseline spektrum IR kitin dan kitosan untuk penentuan derajat deasetilasi Persamaan matematika untuk menentukan besarnya DD dengan menggunakan baseline (a) ditunjukkan oleh persamaan (2. 1): ⎡⎛ A DD = 100 − ⎢⎜⎜ 1655 ⎣⎢⎝ A 3450
⎞ 100 ⎤ ⎟⎟ × ⎥ ⎠ 1,33 ⎦⎥
(2.1)
dengan A1655 dan A3450 adalah absorbans pada bilangan gelombang 1655 cm-1 yang merupakan serapan puncak amida I dan 3450 cm-1 yang merupakan serapan gugus hidroksil. Serapan puncak amida I menunjukkan kandungan gugus N-asetil sedangkan serapan gugus hidroksil merupakan standar dalam. Faktor 1,33 merupakan perbandingan A1655 terhadap A3450 untuk kitosan yang mengandung nitrogen terasetilasi sempurna. Diasumsikan nilai perbandingan ini sama dengan nol untuk kitosan yang terdeasetilasi sempurna dan terdapat hubungan yang linier antara kandungan gugus N-asetil dan absorbans puncak amida I. Untuk penentuan derajat deasetilasi menggunakan baseline (b) yang diajukan oleh Baxter dkk, digunakan persamaan (2. 2): ⎡⎛ A DD = 100 − ⎢⎜⎜ 1655 ⎢⎣⎝ A 3450
⎤ ⎞ ⎟⎟ × 115⎥ ⎥⎦ ⎠
(2.2)
Lebih lanjut, absorbans puncak amida dan hidroksil direpresentasikan oleh persamaan matematika sederhana sebagaimana yang telah diajukan oleh Sabnis dan Block, yaitu:
15
log (DF1 / DE ) = (A 1655 )
(2.3)
log (AC / AB) = (A 3450 )
(2.4)
dengan DF1 (untuk baseline ‘a’) atau DF2 (untuk baseline ‘b’), DE, AC, dan AB menggambarkan tinggi absolut puncak serapan gugus-gugus fungsi pada masing-masing bilangan gelombang yang berkaitan (lihat Gambar 2. 7)[11].
Gambar 2. 7. Penentuan absorbans gugus C=O amida dan O-H[11]
2.3.3
Spektroskopi Serapan Atom (SSA)
Spektrofotometri serapan atom memanfaatkan suatu fenomena bahwa atom-atom menyerap radiasi pada panjang gelombang tertentu. Dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom, logam-logam dalam sampel air dapat dianalisis. Spektrofotometer serapan atom (Gambar 2. 8) terdiri dari empat bagian utama yaitu sumber sinar berupa lampu katoda berongga, atomizer untuk menghasilkan atom-atom logam, monokromator untuk menentukan panjang gelombang yang digunakan pada analisis logam target, dan detektor untuk mengubah cahaya menjadi sinyal listrik.
16
Gambar 2. 8. Skema alat SSA Lampu katoda berongga sebagai sumber sinar terdiri dari katoda berongga dan anoda yang tertutup dalam silinder gelas (kuarsa) dan diisi gas argon atau neon pada tekanan sekitar 10 Torr. Katoda terbuat dari logam atau alloy logam yang akan diukur sehingga cahaya yang dipancarkan akan memiliki panjang gelombang yang sama dengan atom-atom dalam sampel. Pengukuran sampel logam dengan SSA hanya dapat digunakan untuk “atom-atom bebas”. “Atom bebas” merupakan atom yang tidak beikatan dengan atom-atom lain. Akan tetapi, dalam sampel atom yang akan diukur tidak berada dalam keadaan bebasnya melainkan dalam bentuk molekul. Untuk itu, molekul tesebut harus dipecah menjadi atom bebas melalui suatu proses yang disebut atomisasi. Metode atomisasi yang paling seing digunakan adalah pemutusan dengan menggunakan panas. Pada metode ini sampel dipanaskan pada suhu tinggi sehingga molekul akan dikonversi menjadi atom-atom bebasnya. Metode seperti ini diklasifikasikan sebagai metode pembakaran. Metode atomisasi yang lain adalah atomisasi elektrotermal menggunakan tungku pembakaran listrik. Perbandingan kedua metode atomisasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. 2[13]. Tabel 2. 2. Perbandingan metode atomisasi pembakaran dan atomisasi elektrotermal[13] Atomisasi pembakaran
Atomisasi elektrotermal
Sensitivitas
Tingkat ppm dalam larutan
Tingkat ppb dalam larutan
Volume sampel
+ 1 mL/ analisis
5–50 μL/ analisis
Efisiensi pengatoman
+ 10%
> 90%
Efek matriks
Kecil
Besar
Waktu analisis
10–30 detik/ sample
2–5 menit/ sampel
17