II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PATI Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di alam selain selulosa, lignin, pektin, khitin, dan lain-lain. Pati berfungsi sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan yang terdapat di berbagai bagian antara lain di dalam biji buah (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong, kentang), dan pada batang (aren dan sagu). Bentuk pati digunakan
untuk
menyimpan
glukosa
dalam
proses
metabolisme
(Tjokroadikoesoemo, 1986). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Tiap jenis pati mempunyai sifat yang tidak sama. Hal ini dipengaruhi oleh panjang rantai karbonnya serta perbandingan antara molekul yang lurus dan bercabang. Komponen penyusun pati ada tiga, yaitu : amilosa, amilopektin dan bahan antara (seperti protein dan lemak). Bahan antara tersebut biasanya terdapat dalam jumlah 5-10% dari berat total (Banks dan Greenwood, 1975). Berat molekul pati bervariasi tergantung pada kelarutan dan sumber patinya (Hart, 1990). Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang relatif larut dalam air disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut air disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-glikosidik, seperti terlihat pada Gambar 1. Panjang rantai lurus tersebut berkisar antara 2502000 unit D-glukosa. Molekul amilosa tidak semua sama ukurannya, tergantung pada sumber pati dan tingkat kematangannya. Berat molekul amilosa dipengaruhi oleh panjang rantai polimer, sedangkan panjang rantai polimer dipengaruhi oleh sumber pati (Fennema, 1976). Secara umum molekul amilosa dari umbi akar mempunyai rantai yang lebih panjang dan berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan molekul amilosa yang berasal dari serealia.
Gambar 1. Struktur rantai molekul amilosa
Struktur kimia amilopektin pada dasarnya sama seperti amilosa yang terdiri dari rantai pendek α-(1,4)-glikosidik dalam jumlah besar. Perbedaannya, amilopektin mempunyai tingkat percabangan yang tinggi dan bobot molekul yang besar dengan ikatan α-(1,6)-glikosidik pada percabangannya (dapat dilihat pada Gambar 2). Tiap cabang mengandung 20-25 unit D-glukosa. Adanya rantai cabang membuat amilopektin memiliki ikatan yang lebih kuat daripada amilosa sehingga struktur molekulnya lebih stabil. Karena itu amilopektin kurang larut dalam air dan cenderung bersifat lengket (Winarno, 1995).
Gambar 2. Struktur rantai molekul amilopektin Menurut Flach (1993) amilopektin mempunyai ukuran yang lebih besar daripada amilosa karena bentuknya lebih rapat dan padat, tetapi mempunyai kekentalan yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa struktur amilopektin lebih kompak bila terdapat dalam larutan. Tabel 1 di bawah ini menyajikan perbandingan karakteristik amilosa dan amilopektin pada pati. Tabel 1. Perbandingan Sifat Amilosa dan Amilopektin Karakteristik
Amilosa
Amilopektin
Struktur umum
Linear
Bercabang
Ikatan
α-1,4
α-1,4 dan α-1,6
Panjang rantai rata-rata
~103
20-25
3
Derajat polimerisasi
~10
104-105
Kompleks dengan iod
Biru (λ=650 nm)
Ungu-coklat (λ=550 nm)
Produk hidrolisis dengan Maltotriosa, glukosa, α-amilase maltosa, oligosakarida Pembentukan lapisan film kuat Sumber : Pomeranz (1991)
Gula pereduksi (sedikit), oligosakarida (dominan) rapuh
Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa. Menurut Stoddard (1999), butiran pati mengandung amilosa berkisar antara 1530% dan amilopektin sekitar 70-85%. Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati. Jika kadar amilosa tinggi, maka pati akan bersifat kering, kurang lekat, dan cenderung higroskopis. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin juga akan berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Pati dengan kadar amilosa rendah akan mempunyai suhu gelatinisasi tinggi. Amilopektin bergabung dengan rantai lurus amilosa membentuk daerah kristalin. Hasil dari penggabungan ini melalui ikatan hidrogen menyebabkan granula pati tidak larut dalam air dingin. Perbandingan sifat dan rasio amilosa/amilopektin pada beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Sifat Beberapa Jenis Pati Jenis pati
Sagu
Bentuk granula
Ukuran granula (µ µm) 20-60
Amilosa/Amilopektin (% ratio) 27/73
Kisaran suhu gelatinisasi 60-72
3-8
17/83
61-78
5-25
26/74
62-74
15-100
24/76
56-69
Beras
Elips agak terpotong poligonal
Jagung
Poligonal
Kentang
Bundar
Tapioka
Oval
5-35
17/83
52-64
Gandum
Elips
2-35
25/75
52-64
16-25
18/82
58-74
Ubi Jalar Poligonal Sumber : Knight (1969)
Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Pembengkakan dan penyerapan air oleh granula pati dapat mencapai kadar 30%. Peningkatan volume granula pada selang suhu 55oC - 65oC masih memungkinkan granula kembali pada kondisi semula. Apabila terjadi pembengkakan luar biasa dan granula pati tidak dapat kembali ke keadaan semula, maka perubahan ini disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi dan besarnya berbedabeda tergantung pada jenis pati dan konsentrasinya (Winarno, 1995). Pati dapat dijadikan bahan dasar dalam pembuatan plastik. Pati merupakan biopolimer karbohidrat yang dapat terdegradasi secara mudah di alam dan bersifat
dapat diperbaharui. Penelitian tentang pati sebagai bahan baku plastik telah dilakukan mulai dari penggunaan pati alami, pati termodifikasi, dan pati termoplastis untuk ditambahkan baik pada biodegradable plastic dan nondegradable plastic. Pemilihan proses didasarkan pada produk akhir yang ingin dicapai (Fabunmi et al., 2007). Starch-based plastic digunakan dalam produksi bioplastik karena keuntungannya yaitu harga murah, jumlah berlipat, dan dapat diperbaharui (Vilpoux dan Averous, 2006).
B. UBI KAYU Ubi kayu merupakan sumber daya alam lokal Indonesia yang juga dikenal dengan nama ketela pohon atau singkong. Ubi kayu memiliki nama botani Manihot esculenta Crantz tetapi lebih dikenal dengan nama Manihot utilissima. Tanaman ini termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi
Angiospermae,
kelas
Dicotyledonae, famili Euphorbiaceae,
genus Manihot, dan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas (Rukmana, 1997). Ubi kayu dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 0-1500 meter dari permukaan laut di daerah tropis dan subtropis (Yamaguchi,1983). Umumnya tanaman ubi kayu akan membentuk umbi setelah berumur 5-6 bulan dan akan mencapai umur panen optimum setelah 11 bulan sejak masa tanam (Wijandi,1980). Komposisi kimia ubi kayu disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Kimia Ubi Kayu (per 100 g bahan) Komponen Kalori (kkal)
Jumlah 146,00
Protein (gram)
0,80
Lemak (gram)
0,30
Karbohidrat (gram)
34,70
Air (gram)
62,50
Sumber : Departemen Kesehatan (1992) Ubi
kayu
lingkungan
merupakan
tanaman
yang
mempunyai
daya
adaptasi
yang sangat luas sehingga dapat tumbuh dengan baik di
Indonesia. Sebagai hasil pertanian sekunder, produksi ubi kayu lebih tinggi
dibandingkan dengan jagung dan ubi jalar yang juga berperan sebagai hasil pertanian sekunder. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Produksi Beberapa Hasil Pertanian Sekunder di Indonesia Produksi (Ton) Tahun
Ubi kayu
Jagung
Ubi jalar
2003
18.523.810
10.886.442
1.991.478
2004
19.424.707
11.225.243
1.901.802
2005
19.196.849
11.736.977
1.799.775
Sumber: Departemen Pertanian (2005) Apabila dilihat secara lebih komprehensif, produksi ubi kayu Indonesia cukup besar dibanding negara-negara lain. Laporan United Nation Industrial Development Organization (UNIDO) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil ubi kayu terbesar kedua di Asia setelah Thailand, sementara di dunia menempati urutan kelima setelah Nigeria, Brazil, Thailand, dan Kongo. Representasi tersebut menunjukkan potensi besar ubi kayu untuk dimanfaatkan menjadi produk olahan lain, baik pangan maupun nonpangan. Sejauh ini pemanfaatan ubi kayu sebesar 54,2% digunakan untuk pangan dan sisanya sebesar 19,7% untuk bahan baku industri seperti tapioka, pakan ternak (1,8%) dan industri nonpangan lainnya (8,5%), serta diekspor (15,8%). Hasil ikutan ubi kayu yang banyak digunakan sebagai pakan ternak adalah onggok dan gaplek afkir. Salah satu pemanfaatan ubi kayu yang belum banyak dilakukan adalah dengan memprosesnya menjadi bahan baku biodegradable plastic.
1.
Tapioka Tapioka dihasilkan dari akar tanaman ubi kayu (Manihot utilissima).
Kandungan pati ubi kayu ini dipengaruhi oleh umur tanaman, varietas, keadaan tanah, dan iklim tempat penanaman ubi kayu. Menurut Swinkels (1985), akar tanaman ubi kayu mengandung sekitar 15%-30% pati dan 50%-70% air. Komposisi kimia tapioka dapat diamati pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Kimia Tapioka (% berat) Komponen
Jumlah (%)
Air
9,0 – 18,0
Protein
0,3 – 1,0
Lemak
0,1 – 0,4
Abu
0,1 – 0,8
Pati, serat, dan lain-lain
81 – 89
Sumber : Swinkels (1985) Granula tapioka berwarna putih dengan ukuran diameter bervariasi. Rentang granula terkecil bervariasi dari 5-15 µm, untuk granula berukuran sedang antara 15-25 µm, sedangkan granula terbesar bervariasi dari 25-35 µm (Whistler et al., 1984). Granula ini berbentuk mangkuk (cup) dan sangat kompak, tetapi selama pengolahan granula tersebut akan pecah menjadi komponen-komponen yang tidak teratur bentuknya (Swinkels, 1985). Bentuk dan ukuran granula pati tapioka dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Granula tapioka dengan perbesaran 1000 kali (http://www.scielo.br/scielo.php) Menurut Balagopalan et al. (1988), beberapa karakteristik tapioka di antaranya adalah sebagai berikut. • Bila proses pembuatannya tepat, tapioka berwarna putih. Berkurangnya tingkat keputihan akan mempengaruhi kualitas dan harga. • pH normal tapioka adalah 6,3 sampai 6,5. Standar pH tapioka bervariasi. The Indian Standard Institution (ISI) mengizinkan kisaran pH antara 4,7-7 untuk pati yang digunakan untuk pangan, sedangkan Tapioca Institute lebih ketat dengan menetapkan standar sebesar 4,5-6,5.
• Ukuran granula tapioka adalah 5-40 µm. • Suhu gelatinisasi tapioka berkisar antara 58,5°C sampai 70oC. • Tapioka tidak beraroma sehingga dapat digunakan untuk berbagai keperluan, diantaranya kosmetik dan makanan. • Tapioka tidak berasa. Tidak adanya rasa dan after taste (seperti pada jagung) membuat tapioka cocok digunakan pada produk seperti pudding dan pie. • Saat dimasak, tapioka akan menjadi pasta yang jernih sehingga cocok untuk dikombinasikan dengan berbagai pewarna. • Perbandingan kadar amilopekin dan amilosa pada tapioka sekitar 80:20 menyebabkan tapioka memiliki titik viskositas yang tinggi yang sangat berguna untuk berbagai aplikasi. Mutu tapioka di Indonesia dibedakan menjadi mutu I, II, dan III. Persyaratan mutu tersebut ditentukan berdasarkan SNI 01-3451-1994, seperti yang disajikan pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Persyaratan Mutu Tapioka Menurut SNI 01-3451-1994 Jenis Uji Kadar air Kadar abu Serat dan benda asing Derajat putih (BaSO4 = 100%) Derajat asam Cemaran logam - Timbal - Tembaga - Seng - Raksa - Arsen Cemaran mikroba - Angka lempeng total - E. coli - Kapang
Satuan % % %
Mutu I Maks. 15,0 Maks. 0,6 Maks. 0,6
Persyaratan Mutu II Maks. 15,0 Maks. 0,6 Maks. 0,6
Mutu III Maks. 15,0 Maks. 0,6 Maks. 0,6
%
Min. 94,5
Min. 92,0
< 92,0
ml NaOH 1N/100 g
Maks. 3,0
Maks. 3,0
Maks. 3,0
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05 Maks. 0,5
Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05 Maks. 0,5
Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05 Maks. 0,5
koloni/g
Maks. 1,0x106
Maks. 1,0x106
Maks. 1,0x106
koloni/g koloni/g
Maks. 1,0x104
Maks. 1,0x104
Maks. 1,0x104
Salah satu yang penting pula dalam menentukan mutu tapioka adalah kehalusan tepung. Tapioka yang bermutu baik tidak menggumpal dan memiliki kehalusan baik. Salah satu institusi yang mensyaratkan kehalusan tapioka adalah The Tapioca Institute of America (TIA) yang membagi mutu tapioka menjadi tiga kelas berdasarkan tingkat kehalusan, yaitu mutu A (99% lolos ayakan 140 mesh), mutu B (99% lolos ayakan 80 mesh), dan mutu C (95% lolos ayakan 60 mesh) (Radley, 1976).
2.
Onggok Onggok adalah limbah yang dihasilkan pada pengolahan ubi kayu menjadi
tapioka, berupa limbah padat utama setelah pengepresan. Jumlah onggok mencapai 19,7% dari total produksi ubi kayu nasional. Komponen penting dalam onggok adalah pati dan serat kasar, sedangkan lemak dan protein terdapat dalam jumlah kecil. Komposisi kimia onggok tapioka disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi Onggok Tapioka Jumlaha)
Jumlahb)
16,86
13,39
Abu (%b/k)
8,50
4,90
Serat kasar (%b/k)
8,14
11,02
Lemak (%)
0,25
0,15
Protein (%)
0,42
0,58
62,97
68,79
Komponen Air (%)
Pati (%) Sumber :
a) b)
Tjiptadi (1982) Anonim (1984)
Keragaman komposisi kimia onggok sangat bergantung pada varietas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, efisiensi proses ekstraksi pati, serta penanganan onggok. Hal ini menyebabkan hasil analisis proksimat menunjukkan hasil yang berbeda-beda (Anonim, 1984). Onggok tahan relatif lama dalam keadan kering. Dalam keadaan basah onggok mudah sekali ditumbuhi kapang dan terjadi pembusukan. Sebagai hasil samping pengolahan tapioka yang umumnya masih dilakukan secara tradisional, onggok masih memiliki kandungan pati dan serat yang tinggi. Pemanfaatan
onggok masih terbatas dan umumnya digunakan sebagai makanan ternak. Onggok juga dapat digunakan sebagai substrat untuk produksi selulase, amilase, amiloglukosidase, dan angkak (Jenie dan Fachda, 1991).
C. PATI TERMOPLASTIS Pemanfaatan pati sebagai bahan baku plastik dapat diproses dalam bentuk pati alami, pati modifikasi maupun pati termoplastis. Pemilihan proses atas pati didasarkan pada bentuk akhir yang ingin dicapai. Hasil penelitian Ishiaku et al. (2007) menunjukkan bahwa pati termoplastis lebih sesuai untuk produk yang memiliki sifat elastis, sedangkan pati alami diaplikasikan pada produk-produk yang bersifat plastis. Hal ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Averous et al. (2000) dimana pati termoplastis cenderung memiliki rubbery behaviour, sedangkan pati alami lebih bersifat glassy behaviour. Pati termoplastis dihasilkan melalui pemrosesan pada suhu dan gesekan tinggi sehingga pati bersifat termoplastis dan bisa dicetak. Selama proses termoplastis, air akan masuk ke dalam pati dan bahan pemlastis akan berperan sangat signifikan. Bahan pemlastis akan membentuk ikatan hidrogen dengan pati sehingga terjadi reaksi antara gugus hidroksi dan molekul pati yang membuat pati menjadi lebih plastis. Dalam kondisi normal, air yang ditambahkan 10-20% dan secara opsional dapat ditambahkan pelarut dan bahan aditif yang lain (Morawietz, 2006). Bahan pemlastis berupa gliserol digunakan pada proses ekstrusi dengan suhu 120oC akan menurunkan transisi gelas pati (Kalambur dan Rizvi, 2006). Pembentukan pati termoplastis dipengaruhi oleh kondisi proses dan formulasi bahan yang digunakan. Pati termoplastis memiliki kelebihan untuk sifat modulus young, dimana adanya bahan pemlastis dan destrukturisasi granular menyebabkan pati termoplastis lebih tahan terhadap deformasi. Deformasi hanya akan terjadi di sepanjang matriks dimana tegangan (stress) diberikan, sehingga kerusakan permanen bisa diminimalkan (Ishiaku et al., 2002). Pati termoplastis memiliki keunggulan dalam hal kemudahan proses, morfologi akhir yang lebih baik dan penyebaran partikel yang lebih merata dengan adanya proses destrukturisasi. Namun demikian, memungkinkan terjadinya migrasi bahan pemlastis dan rekristalisasi berlebih akan memberikan sifat rapuh (Huneault dan Li, 2007).
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan pati termoplastis yaitu (Morawietz, 2006) : - parameter proses : kecepatan ulir, laju alir bahan dalam ektruder, suhu dan profil ekstruder, geometri ekstruder, dan jenis pelletizer. - parameter formulasi : jenis pati, konsentrasi air, konsentrasi dan jenis plasticizer, serta konsentrasi dan jenis aditif.
D. BAHAN PEMLASTIS : GLISEROL Bahan pemlastis memegang peranan penting dalam pembuatan pati termoplastis. Zat pemlastis dalam konsep sederhana dapat didefinisikan sebagai pelarut organik dengan titik didih yang tinggi atau suatu padatan dengan titik leleh rendah. Apabila ditambahkan ke dalam resin yang kaku dan atau keras seperti karet atau plastik, maka akumulasi gaya intramolekuler pada rantai panjang akan menurun sehingga kelenturan (flexibility), kelunakan (softness), dan pemanjangan (elongation) bertambah (Mellan, 1963). Pada umumnya bahan yang bersifat kaku disebabkan karena suhu transisi gelasnya (Tg) di atas suhu ruang dan struktur molekul bahan yang sangat kristalin (Wade, 1991). Efek penambahan pemlastis dapat mengurangi kristalinitas polimer dan menurunkan suhu transisi gelas. Namun demikian, adanya bahan pemlastis dapat berpengaruh negatif terhadap sifat mekanis plastik, yakni memberikan sifat soft dan weak (Kalambur dan Rizvi, 2006). Mekanisme pemlastis dalam meningkatkan fleksibilitas bahan dikarenakan pemlastis yang memiliki bobot molekul rendah dapat menaikkan volume bebas polimer sehingga terbentuk ruangan yang lebih luas untuk meningkatkan gerak segmental yang panjang dari molekul-molekul polimer (Stevens, 2007). Prinsip dasar kerja suatu zat pemlastis adalah berinteraksi dengan rantai polimer
dalam
tingkat
molekul
sehingga
menyebabkan
peningkatan
viskoelastisitas polimer. Interaksi tingkat molekul tersebut dijelaskan oleh Darusman et al. (1999) dapat berupa gaya van der Waals, yaitu gaya tarikan lemah antara molekul dalam senyawa akibat adanya dwikutub-dwikutub terinduksi, ataupun karena adanya ikatan hidrogen yaitu gaya tarik elektrostatik antara atom O, N, dan F. Interaksi tersebut menimbulkan peningkatan mobilitas
molekul dari rantai polimer dan menyebabkan turunnya suhu transisi gelas (Tg). Menurut Hammer (1971), suatu polimer dengan Tg yang rendah (memiliki lebih banyak rantai elastis) memiliki tingkat kekakuan yang lebih kecil sehingga lebih mudah untuk diproses. Sebaliknya, jika polimer memiliki Tg yang tinggi dan viskositas lelehan yang tinggi pula, kemudahan proses didapatkan dengan tanpa perubahan yang berarti pada kekakuan rantai polimer. Faktor yang berpengaruh dalam pemilihan bahan pemlastis di antaranya struktur molekul, polaritas, kualitas produk yang diinginkan, sifat, dan biaya. Pertimbangan pemilihan pemlastis yang lain adalah faktor penguapan bahan yang berdampak pada keamanan proses dan stabilitas film selama penguapan. Umumnya bahan pemlastis diperlukan dalam edible film dari polisakarida dan protein. Bahan pemlastis merupakan bahan dengan berat molekul kecil sehingga dapat bergabung dengan matriks protein dan dan polisakarida untuk meningkatkan sifat
fleksibilitas
dan
kemampuan
membentuk
film.
Bahan
pemlastis
meningkatkan volume bebas atau mobilitas molekul primer dengan mengurangi ikatan hidrogen antar rantai polimer. Komposisi, ukuran, dan bentuk dari bahan pemlastis mempengaruhi kemampuannya untuk mengganggu ikatan rantai hidrogen, termasuk juga kemampuannya untuk mengikat air ke dalam sistem protein yang mengandung plasticizer tersebut (Sothornvit dan Krochta, 2000). Penggunaan pemlastis seperti gliserol lebih unggul karena tidak ada gliserol yang menguap dalam proses dibandingkan dengan dietilena glikol monometil eter (DEGME), etilena glikol (EG), dietilena glikol (DEG), trietilena glikol (TEG), dan tetraetilena glikol (TEEG). Hal ini disebabkan titik didih gliserol cukup tinggi (290°C) jika dibandingkan dengan DEGME, EG, DEG, TEG dan juga tidak ada interaksi antara gliserol dan molekul protein (bahan baku pembuatan film) (Noureddini et al., 1998). Gliserol sebaiknya digunakan pada konsentrasi 20% karena jika berlebihan, film akan lengket. Gliserol cukup sesuai digunakan sebagai pemlastis pada pembuatan plastik berbasis pati. Tabel 8 berikut menyajikan beberapa karakteristik gliserol.
Tabel 8. Karakteristik Gliserol
Sifat Rumus Molekul
C3H5(OH)3
Massa Molar
92,09382 g/mol
Densitas
1,261 g/cm3
Titik Cair
18°C (64,4°F
Titik Didih
290°C (554°F)
Viskositas
1,5 cP
Sumber : en.wikipedia.org
Gliserol adalah rantai alkohol trihidrik dengan susunan molekul C3H8O3. Nama gliserol diartikan sebagai bahan kimia murni, namun dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama gliserin. Dalam kondisi yang murni, gliserol tidak berbau, tidak berwarna, dan berbentuk cairan kental dengan rasa manis. Gliserol bersifat larut dengan sempurna di dalam air dan alkohol (memiliki kelarutan tinggi yaitu 71 g/100 g air pada suhu 25°C, serta dapat terlarut dalam pelarut tertentu (misalnya eter, etil asetat, dan dioxane), namun bersifat tidak larut dalam hidrokarbon. Massa jenis gliserol adalah 1,23 g/cm3 (Igoe dan Hui, 1994). Struktur molekul gliserol dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur molekul gliserol
Gliserol berfungsi sebagai penyerap air, pembentuk kristal, dan zat pemlastis. Gliserol didapatkan dengan cara sintetis maupun diperoleh dari hasil samping pembuatan sabun dan produksi oleokimia yang menggunakan minyak dan lemak alami sebagai bahan bakunya. Teori kimia menyatakan bahwa dalam satu molekul
lemak terkandung gliserol dan tiga molekul asam lemak. Pada umumnya lemak mengandung kurang lebih 11% gliserol di dalamnya. Ada dua prosedur dalam memproduksi gliserol gliserol dari lemak yaitu metode saponifikasi dan transesterifikasi (Tovbin et al., 1976). Proses saponifikasi dan
transesterifikasi tersebut akan menghasilkan senyawa gliserol mentah yang masih banyak mengandung bahan pengotor seperti sisa katalis dan asam lemak bebas. Penggunaan gliserol mentah secara langsung dapat menimbulkan terjadinya proses dekomposisi, polimerisasi, dan masalah lainnya, sehingga penggunaan gliserol secara langsung tanpa melakukan pre-treatment terlebih dahulu pada proses karbonasi akan menghasilkan komposisi produk yang tidak stabil dan daya konversi yang rendah (Noureddini et al., 1998).
E. BIODEGRADABLE PLASTIC Secara umum, kemasan biodegradable diartikan sebagai film kemasan yang dapat didaur ulang dan dihancurkan secara alami. Istilah biodegradable diartikan sebagai kemampuan komponen-komponen molekuler dari suatu meterial untuk dipecah menjadi moleku-molekul yang lebih kecil oleh mikroorganisme hidup sehingga zat karbon yang terkandung dalam material tersebut akhirnya dapat dikembalikan ke biosfer (Gould et al., 1990). Pranamuda (2001) menyatakan bahwa biodegradable plastic adalah plastik yang dapat digunakan layaknya plastik konvensional namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Plastik berbasis pati dapat digolongkan dalam jenis biodegradable plastic. Plastik berbasis pati didefinisikan sebagai plastik berbahan baku pati dengan penggunaan berkisar 10-90%, yang dapat berasal dari sumber pati-patian seperti jagung,
gandum,
dan
kentang.
Peningkatan
pati
akan
meningkatkan
biodegradabilitas dari polimer. Dalam pembuatan plastik berbasis pati sering dicampur dengan jenis polimer lain seperti poliester alifatik dan polivinil alkohol untuk meningkatkan performa dan kebutuhan aplikasi produk (Nolan-ITU, 2002). Beberapa kategori polimer berbasis pati diantaranya : - Produk-produk pati termoplastis (thermoplastic starch) - Campuran pati dengan poliester alifatik sintetik - Campuran pati dengan poliester PBS/PBSA - Campuran pati dengan PVOH
Potensi penggunaan pati sebagai bioplastik berkisar 85–90% dari pasar bioplastik yang ada, termasuk polimer asam laktat yang diproduksi melalui fermentasi pati. Di antara bioplastik tersebut digunakan pati alami dan modifikasinya dalam bentuk campuran dengan polimer sintetik (Vilpoux dan Averous, 2006). Keuntungan dari penggunaan pati dalam memproduksi bioplastik adalah harga murah, jumlah berlimpah dan dapat diperbaruhi. Namun pembuatan film dari 100% pati sulit untuk diproses saat kondisi mencair (melting) (Nolan ITU, 2002) sehingga perlu dilakukan pencampuran dengan polimer sintetis untuk memperbaiki sifat fisiknya. Menurut Otey et al. (1987), pati yang sering digunakan sebagai bahan campuran polimer adalah granula pati alami atau granula pati yang telah dimodifikasi secara kimiawi untuk meningkatkan kesesuaian granula dengan matriks polimer sintetis yang digunakan. Semakin kecil campuran konsentrasi pati, akan memberikan pengaruh yang semakin rendah pula terhadap biodegradabilitas plastik. Produksi biodegradable plastic berbasiskan pati dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu : - Mencampur pati dengan plastik konvensional (PE atau PP) dalam jumlah kecil (10-20%), - Mencampur pati dengan turunan hasil samping minyak bumi seperti PCL, dalam komposisi yang sama (50%), atau - Menggunakan proses ekstrusi untuk mencampur pati dengan bahan-bahan seperti protein kedelai, gliserol, alginat, lignin dan sebagainya sebagai bahan pemlastis (plasticizer) (Flieger et al., 2003).
F. HIGH DENSITY POLYETHYLENE (HDPE) Plastik dibagi menjadi dua klasifikasi utama berdasarkan pertimbangan ekonomis dan kegunaannya, yakni plastik komoditi dan plastik teknik. Plastik komoditi pada prinsipnya terdiri dari empat jenis polimer yakni polipropilen (PP), polietilen (PE), polivinil klorida (PVC) dan polistirena (PS). Plastik teknik dalam aplikasinya bersaing dengan logam, keramik dan gelas (Stevens, 2007).
Polietilen merupakan polimer yang paling banyak digunakan sebagai plastik kemasan (kantong plastik belanja) dengan produksi tahunan sekitar 80 juta metrik
ton. PE dibuat melalui polimerisasi gas etilen, yang dapat diperoleh dengan memberi hidrogen gas pertoleum pada pemecahan minyak (nafta), gas alam, atau asetilen. Strultur molekul PE disajikan pada Gambar 5 berikut.
Gambar 5. Struktur molekul polietilen
Proses polimerisasi PE digolongkan dalam tekanan tinggi, medium dan rendah, yang akan menghasilkan tiga jenis produk yang berbeda, yaitu : - PE massa jenis rendah (LDPE-Low Density Polyethylene) dengan massa jenis 0,910-0,926 g/cm3, dihasilkan melalui proses tekanan tinggi. Paling banyak
digunakan sebagai kantong, mudah dikelim dan murah. - PE massa jenis medium (MDPE-Medium Density Polyethylene) dengan
massa jenis 0,926-0,940 g/cm3, lebih kaku dari LDPE dan memiliki suhu leleh lebih tinggi daripada LDPE. - PE massa jenis tinggi (HDPE-High Density Polyethylene) dengan massa jenis 0,940-0,965 g/cm3, paling kaku diantara ketiganya, tahan terhadap suhu tinggi
digunakan untuk pengemasan produk yang harus (120°C) sehingga dapat digunakan mengalami sterilisasi. Dihasilkan pada proses dengan suhu dan tekanan rendah.
Pada polietilen jenis low density terdapat sedikit cabang pada rantai antara molekulnya yang menyebabkan plastik ini memiliki densitas yang rendah, sedangkan high density mempunyai jumlah rantai cabang yang lebih sedikit
dibandingkan dengan jenis low density. Dengan demikian, high density memiliki sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram dan lebih tahan terhadap suhu tinggi (120°C/248°F untuk periode singkat, 110°C/230°F untuk periode lama). Ikatan
hidrogen antarmolekul juga berperan dalam menentukan titik leleh plastik (Harper, 1975). Berat molekul dan struktur polimer, bercabang atau linier turut berpengaruh terhadap titik leleh. Plastik LDPE LDPE dan HDPE memiliki titik leleh
yang berbeda selisih ± 25°F (Sidney dan Dubois, 1977). Perbandingan sifat LDPE, MDPE, dan HDPE secara rinci disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Perbandingan Sifat LDPE, MDPE, dan HDPE Sifat
LDPE
MDPE
HDPE
Massa jenis (g/cm3)
0,92
0,93-0,94
0,95-0,96
Kristalinitas (%)
65
75
85-95
Titik cair (°C)
105
118
124-127
Kekuatan tarik (Kgf/cm2)
144
175
245-235
Elongasi (%)
500
300
100
Kekuatan impak (Izod ditactic)
42
21
17
Sumber : Surdia dan Saito (1985) Sifat-sifat PE secara umum dapat disajikan sebagai berikut : - Hubungan dengan massa jenis Polimerisasi PE yang berbeda akan menghasilkan struktur molekul yang berbeda pula. HDPE memiliki cabang yang sedikit dan merupakan rantai lurus, sehingga massa jenisnya besar, mampu mengkristal dengan baik dan memiliki kristalinitas yang tinggi. Kristalinitas yang baik akan mempunyai gaya antar molekul kuat, sehingga memiliki kekuatan mekanik dan titik lunak yang tinggi. - Hubungan dengan berat molekul Material dengan sifat kristalinitas yang sama, memiliki karakteristik mekanik dan kemampuan proses yang berbeda. Kondisi ini dipengaruhi oleh berat molekul. Berat molekul kecil akan memiliki sifat mencair lebih baik, namun ketahanan akan zat pelarut dan kekuatannya menurun. - Sifat-sifat listrik PE merupakan senyawa nonpolar dengan sifat listrik yang baik sehingga dimanfaatkan sebagai bahan isolasi untuk radar, TV dan berbagai alat komunikasi. - Sifat-sifat kimia PE stabil terhadap beberapa sifat kimia kecuali dengan kalida dan oksida kuat. PE larut dalam hidrokarbon aromatik dan larutan hidrokarbon terklorinasi
diatas suhu 70°C, tetapi tidak ada pelarut yang bisa melarutkan PE secara sempurna pada suhu biasa. - Permeabilitas gas PE sangat sukar ditembus air, tetapi mempunyai permeabilitas cukup tinggi terhadap CO2, pelarut organik, parfum dan sebaginya. HDPE bersifat kurang permeabel dibandingkan LDPE. - Kemampuan olah PE mudah diolah dan dapat dicetak dengan penekanan, injeksi, ekstrusi peniupan dan dengan hampa udara, namun penyusutannya cukup tinggi (Surdia dan Saito, 1985). HDPE sebagai salah satu plastik komoditi digunakan secara luas dalam produk dan kemasan seperti botol susu, botol deterjen, margarin, tubs, kontainer sampah, dan pipa air (Harper, 1975) serta botol kosmetik, botol obat, botol minuman, botol susu yang berwarna putih susu, tupperware, galon air minum, kursi lipat, jerigen, pelumas, dan lain-lain (Sidney dan Dubois, 1977). Walaupun demikian,
Sidney
dan
Dubois
(1977)
menambahkan,
HDPE
hanya
direkomendasikan untuk sekali pakai karena pelepasan senyawa SbO3 (Antimon trioksida) terus meningkat seiring waktu. Bahan HDPE bila ditekan tidak kembali ke bentuk semula. Contoh aplikasi HDPE sebagai bahan kemasan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Contoh produk kemasan HDPE yang beredar di pasar
G. BAHAN ADITIF Penambahan bahan aditif terhadap plastik campuran memberikan pengaruh positif karena pati bersifat polar dan hidrofilik, sedangkan polietilen bersifat hidrofobik dan nonpolar dimana penggabungan kedua bahan tersebut tanpa
adanya aditif tertentu akan menghasilkan produk yang tidak kompak dan mempunyai sifat mekanik yang jelek. Menurut Rabek (1980), kompatibilitas hasil campuran menggambarkan kekuatan interaksi yang terjadi antara rantai-rantai polimer sehingga membentuk campuran yang homogen atau mendekati homogen. Semakin kompatibel suatu bahan hasil pencampuran, maka bahan tersebut akan semakin homogen. Kekompetibelan bahan hasil pencampuran dapat terlihat dengan cara membuat film tipis dari lelehan bahan plastik campuran. Bercak-bercak dan warna buram pada film menunjukkan hasil pencampuran yang terbentuk tidak kompatibel. Bahan aditif berfungsi untuk memperbaiki sifat-sifat plastik. Bahan aditif yang digunakan merupakan bahan dengan berat molekul rendah, maksudnya adalah mempunyai sifat pemlastis, antioksidan, antiblok, antistatis, pelumas, penyerap sinar ultraviolet, bahan pengisi, dan bahan penguat.
1.
Compatibilizer (Maleat Anhidrida/MA) Pati dan polimer hidrokarbon merupakan dua bahan yang tidak dapat bercampur sempurna (immiscible). Proses kompatibilisasi diperlukan untuk campuran pati-polimer hidrokarbon, khususnya pada pencampuran pati dalam jumlah yang tinggi. Penambahan fase minor lebih dari 20% (b/b) menyebabkan matriks mengalami deformasi menjadi material yang rapuh. Dalam proses ini, gugus fungsi yang sudah ada maupun yang baru terbentuk pada pati dan polimer hidrokarbon akan direaksikan untuk membentuk ikatan kovalen antara kedua bahan tersebut. Reaksi ini dapat terjadi dengan penambahan compatibilizer dalam jumlah sedikit untuk membentuk sifat kompatibel dan membentuk matriks kamba (Kalambur et al., 2006). Compatibilizer merupakan senyawa spesifik yang dapat digunakan untuk memadukan polimer yang tidak kompatibel menjadi campuran yang stabil melalui ikatan intramolekuler (Mehta dan Jain, 2007). Compatibilizer yang digunakan dalam penelitian ini adalah maleat anhidrida (MA). Maleat anhidrida (cis-butenadioat anhidrida, anhidrida toksilat, dihidro2,5-dioksofuran) adalah sebuah senyawa organik dengan rumus kimia C4H2O3. Struktur molekul senyawa ini disajikan pada Gambar 7. Dalam
keadaan murninya, MA tidak berwarna atau berwarna putih padat dengan bau yang tajam. Karakteristik kimia maleat anhidrida dapat dilihat pada Tabel 10.
Gambar 7. Struktur molekul maleat anhidrida Maleat anhidrida secara tradisional diproduksi dari oksidasi benzena atau senyawa aromatik lainnya. Sampai dengan tahun 2006, hanya beberapa pabrik yang masih menggunakan benzena. Oleh karena kenaikan harga benzena, kebanyakan pabrik menggunakan n-butana sebagai stok umpan dengan reaksi sebagai berikut : 2 CH3CH2CH2CH3 + 7 O2 → 2 C2H2(CO)2O + 8 H2O
Terdapat banyak reaksi kimia yang dapat dilakukan oleh maleat anhidrida: •
Hidrolisis, menghasilkan asam maleat, cis-HO2CCH=CHCO2H. Dengan alkohol, menghasilkan setengah ester, cis-HO2CCH=CHCO2CH3.
•
Maleat anhidrida merupakan dienofil dalam reaksi Diels-Alder.
•
Maleat anhidrida (MA) adalah ligan yang baik baik untuk kompleks logam bervalensi rendah, misalnya Pt(PPh3)2(MA) dan Fe(CO)4(MA).
Tabel 10. Karakteristik Kimia Maleat Anhidrida Sifat
Keterangan
Rumus molekul
C4H2O3
Massa molar
98,06 g/mol
Penampilan
kristal putih
Densitas
1,314 g/cm3
Titik leleh
60°C, 333 K, 140°F
Titik didih
202°C, 475 K, 396°F
Kelarutan dalam air
202°C, 475 K, 396°F
Berlaku pada suhu dan tekanan standar (25°C, 100kPa) Sumber : Steven (2007)
Maleat anhidrida sebagai compatibilizer berperan melalui sebuah proses reaktif, misalnya teknik grafting atau melalui ikatan hidrogen berbasiskan polaritas material. Compatibilizer juga berfungsi seperti surfaktan yang mampu menstabilkan campuran air-minyak dalam satu atau dua komponen utama dalam campuran. Fungsi lainnya dalam campuran polimer yaitu memperbaiki adhesivitas antarfase (Steven, 2007). Prinsip kerja maleat anhidrida merupakan kombinasi dari mekanisme berikut : mengikatkan bahan compatibilizer tersebut pada satu komponen campuran melalui grafting kimiawi dan membentuk polymeric tail yang larut dalam komponen lain. Compatibilizer bisa melakukan penetrasi pada kedua fase dari campuran yang immicible, dengan mengasumsikan segmen A dari blok kopolimer atau grafting identik dengan polimer A dan segmen B identik dengan polimer B. Dalam kondisi ini diduga akan terjadi penetrasi segmen A terhadap polimer A dan segmen B terhadap polimer B. Setelah stabil, akan terbentuk daerah penyebaran yang lebih merata karena adanya penurunan energi permukaan dan semakin kuatnya ikatan permukaan melalui pembentukan ikatan kovalen pada fase-fase terpisah (Mehta dan Jain, 2007).
2.
Inisiator (Dikumil Peroksida/DCP) Gaylord dan Metha (1982) mengemukakan beberapa jenis inisiator yaitu dikumil peroksida (DCP), tert-Butyl Peroxy Benzoat, Benzoyl Peroxide (BP), dan Dimethyl Formamide (DMF). Kemudian Bremner dan Rudin (1993) menambahkan bahwa peroksida organik memiliki peranan penting sebagai inisiator dari mekanisme degradasi radikal bebas dalam polietilen untuk memodifikasi struktur dan sifat polimer. Satu dari sekian banyak peroksida yang terkenal yaitu dikumil peroksida yang sangat efektif dalam mengintroduksi cabang rantai panjang menjadi linear polietilen. Pada konsentrasi rendah, dikumil peroksida mampu dengan baik mengubah distribusi berat molekuler, sedangkan pada konsentrasi tinggi menyebabkan terjadinya ikatan silang polietilen. DCP memiliki karakteristik seperti dapat bertahan pada suhu tinggi (180°C), memiliki sensitivitas oksigen yang rendah dibandingkan dengan
peroxide group carboxyl, serta sensitif terhadap asam. Tensile strength, breaking elongation, dan modulus young dari komposit meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi radikal inisiator, yaitu DCP yang optimal (Febrianto, 1999).
H. SIFAT PLASTIK KOMPOSIT Menurut Knapczyk dan Simon (1992), pengujian yang penting dari suatu bahan polimer antara lain densitas, titik leleh (Tm), glass transition temperature (Tg), reologi, konduktivitas, kekuatan tarik, permeabilitas gas, ketahanan terhadap reaksi kimia, dan sebagainya. 1.
Sifat Mekanik Sifat mekanik suatu bahan berhubungan erat dengan struktur kimianya, terutama struktur molekulnya. Struktur molekul yang mempengaruhi sifat mekanik suatu bahan meliputi bentuk molekul, kekompakan molekul, kristalinitas, kekuatan ikatan molekul, dan gaya antarmolekul (Allcock dan Lampe, 1981). Sifat mekanik sangat diperlukan peranannya dalam melindungi produk dari faktor-faktor mekanis seperti tekanan fisik (jatuh dan gesekan), adanya getaran, serta benturan antara bahan dengan alat atau wadah selama penyimpanan/distribusinya. Sifat mekanik ini tergantung pada jenis bahan pembentuknya, terutama sifat kohesinya. Sifat ini merupakan hasil kemampuan polimer untuk membentuk ikatan-ikatan molekul yang kuat dan kokoh (Gontard dan Guilbert, 1992). Kuat tarik merupakan salah satu sifat mekanik dari bahan. Kekuatan tarik menggambarkan ketegangan maksimum spesimen untuk menahan gaya yang diberikan (Billmeyer, 1984). Stevens (2007) menambahkan bahwa kuat tarik merupakan ukuran besarnya beban atau gaya yang dapat ditahan sebelum suatu contoh rusak atau putus. Kekuatan tarik timbul sebagai reaksi dari ikatan polimer antara atom-atom atau ikatan sekunder antara rantai polimer terhadap gaya luar yang diberikan (Van, 1991). Kekuatan tarik diukur dengan menarik polimer pada dimensi yang seragam.
Pengujian kuat tarik akan menghasilkan kurva tegangan-regangan tegangan-regangan untuk (stress-strain). Informasi yang diperoleh dari kurva teganganpolimer adalah kekuatan tarik saat putus (ultimate strength) dan perpanjangan saat putus (elongation at break) dari bahan (Billmeyer, 1971). Kuat tarik
dapat dipengaruhi oleh bahan pemlastis yang ditambahkan dalam proses pembuatan film, sedangkan perpanjangan putus adalah perubahan panjang maksimum yang dialami dialami plastik pada saat pengujian kuat tarik. Perpanjangan tarik (ε, elongation) adalah perubahan panjang contoh yang dihasilkan oleh ukuran tertentu panjang spesimen akibat gaya yang diberikan
(Billmeyer, 1984). Suatu kurva tegangan-regangan yang umum untuk bahan termoplastik memperlihatkan tegangan tarik dan perpanjangan putus, yaitu
pada mulanya tinggi sampai mencapai suatu titik hingga plastik tersebut terdeformasi. Sebelum titik deformasi tersebut, perpanjangan masih dapat balik dan setelah sampai pada titik yield, perpanjangan tidak dapat balik yang selanjutnya sampel tersebut patah pada titik break. Gambar 8 di bawah ini menyajikan kurva tegangan-regangan pada plastik dan empat tipe material polimer. Perpanjangan pada deformasi Keras dan rapuh Perpanjangan saat putus
Keras dan kuat
Tegangan deformasi
regangan
Kekuatan tarik saat putus
tegangan
tegangan
Keras dan liat Lunak dan liat
regangan
Gambar 8. a) Kurva tegangan-regangan (stress-strain) plastik dan b) Kurva stress-strain untuk empat tipe material polimer (http://www.nrccnrc.gc.ca) Berdasarkan Gambar 8 di atas, pada kurva tegangan-regangan plastik (Gambar 8a), elastisitas akan terus meningkat dari titik nol nol hingga mencapai suatu titik hingga plastik mengalami deformasi. Sebelum mencapai titik deformasi tersebut, plastik masih mempunyai kemampuan untuk kembali ke bentuk asalnya. Namun, Namun, apabila telah mencapai titik deformasi, maka plastik
tersebut telah mencapai kondisi yield (maksimum) perpanjangan hingga pada akhirnya plastik akan patah pada titik break. Titik awal dimulainya grafik elastisitas hingga mencapai titik break dinamakan sebagai perpanjangan pada patah. Gambar 8b menunjukkan grafik tegangan-regangan untuk empat tipe material polimer. Karakteristik sifat stress-strain beberapa polimer disajikan pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Karakteristik Sifat Stress-Strain Beberapa Polimer Tipe bahan polimer Contoh dan katakteristik bahan polimer
keras & rapuh PS, PMMA, Phenolics Tinggi
keras & kuat Rigid PVC, PS polyblends Tinggi
keras & liat PE, PTFE
Tinggi
lunak & liat Flexible PVC, Rubbers Rendah
-
Tinggi
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Elongation at Rendah Sedang Break Keterangan : PS = polystyrene; PMMA = poly(methyl methacrylate); PVC = poly(vinyl chloride); PE = polyethylene; PTFE = polytetrafluoroethylene. Sumber : http://www.nrc-cnrc.gc.ca
Tinggi
Tinggi
Modulus Yield Stress Ultimate Strength
2.
Sifat Termal Analisis termal mengacu pada ASTM D-3418 yang menyediakan metode untuk mengukur transisi dari morfologi atau perubahan kimia dalam suatu polimer pada saat dipanaskan atau didinginkan melalui perubahan suhu yang spesifik. Perubahan dalam kapasitas panas, aliran panas, dan suhu menentukan transisi tersebut. Differential Scanning Calorimetry (DSC) digunakan untuk membantu mengidentifikasikan polimer tertentu yang spesifik, polimer alloys, dan polimer yang telah diberi aditif tertentu yang ketiganya mempunyai transisi termal. Reaksi kimia yang disebabkan oleh transisi tertentu telah diukur dengan teknik utama ini, seperti reaksi oksidasi,
resin termoseting yang dibarukan, dan dekomposisi termal. Metode ini dapat diaplikasikan pada polimer dalam bentuk granula atau bentuk lainnya di mana dapat dilakukan preparasi pemotongan pada spesimen tersebut. Sifat termal yang dianalisis adalah suhu pelelehan (melting point, Tm) dan suhu transisi gelas (glass transition temperature, Tg). Tg dan Tm merupakan sifat termal yang penting untuk dianalisis guna mengetahui kemampuan proses suatu polimer. Menurut Allcock dan Lampe (1981), Tg merupakan suhu peralihan dari bentuk kaca ke karet (rubber) untuk polimer amorf atau pealihan dari kaca ke termoplastik untuk polimer kristalin, sedangkan Tm merupakan suhu dimana polimer berubah bentuk menjadi cair (liquid). DSC mengukur sejumlah energi (panas) yang diserap atau dilepaskan oleh suatu sampel ketika dipanaskan, didinginkan, atau didiamkan pada suhu konstan.
3.
Biodegradabilitas Biodegradasi
adalah
penurunan
sifat-sifat
dikarenakan
aksi
mikroorganisme alam seperti bakteri dan fungi. Biasanya disebabkan adanya serangan kimia oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme sehingga dapat menyebabkan pemutusan rantai polimer (Alger, 1990). Menurut ASTM D-5488-84d,
biodegradable
berarti
mampu
diurai
menjadi
gas
karbondioksida, metana, air, inorganic compounds atau biomassa dimana mekanisme yang utama adalah karena aktivitas enzim yang dihasilkan oleh suatu organisme. Di dalam tanah terdapat berbagai macam komponen organik, anorganik, dan mikroorganisme. Mikroorganisme memiliki peranan penting dalam penguraian semua material organik termasuk biopolimer. Mikroorganisme yang mempunyai peranan dalam perombakan bahan-bahan organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana antara lain bakteri, fungi, dan aktinomisetes (Schnabel, 1981). Biodegradabilitas plastik tergantung pada struktur kimia materialnya dan konstitusi dari produk akhirnya, bukan hanya bahan baku untuk pembuatannya. Oleh karena itu plastik biodegradabel dapat berbasis bahan
alami maupun resin sintetis. Plastik biodegradabel alami terutama berasal dari sumber daya terbarukan (misalnya pati). Plastik biodegradabel sintetis berasal dari sumber daya tak terbarukan, yaitu minyak bumi (NIRR, 2006). Pengujian biodegradasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan metode penguburan tanah dan degradasi mikrobial dengan mikroorganisme. Biodegradasi dalam lingkungan dapat dideskripsikan dengan persamaan kimia seperti berikut (Mark, 1985) : Polimer + O2
CO2 + H2O + biomassa + residu