BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Eugenol Eugenol merupakan komponen penyusun utama minyak daun cengkeh. Eugenol merupakan zat yang berwujud cair pada suhu kamar, berwarna kuning pucat atau tidak berwarna, dengan titik didih 225°C, titik leleh –9,2 sampai –9.1°C, indeks bias 1,541 dan berat jenis 1,066 g/ml (Sastromidjojo, 1981). Eugenol memiliki nama-nama lain seperti 2-metoksi-4-(2-propenil)fenol, 4-alil-2-metoksifenol, alilguikol, asam eugenat dan asam kariofilat. Eugenol memiliki rumus molekul C10H12O2 dengan komposisi C = 74,44%; H = 7,37% dan O = 17,49% serta memiliki massa molekul relatif 164,20 g/mol. Eugenol bersifat asam, pada suhu kamar berwujud cairan, tidak berwarna atau agak kekuningan dan menjadi agak gelap jika dibiarkan di udara terbuka, mudah terbakar dan berbau tajam. Jika terkena kulit seperti terbakar, mempunyai rasa pedas dan sedikit larut dalam air serta larut baik dalam alkohol, kloroform dan eter. (Howard dan Meylan, 1997). Eugenol sering digunakan dalam densitry (ilmu kedokteran gigi) sebagai analgesic dan antiseptic. Derivat eugenol banyak digunakan untuk perfumery dan flavoring, sering juga digunakan sebagai alat penstabil dan antioksidan untuk plastik dan karet. Eugenol mempunyai struktur seperti pada Gambar 1 (http://www.chemicalland21.com). OH OCH3
CH2
H2C C H
Gambar 1. Struktur eugenol
6
7
Struktur tersebut memperlihatkan bahwa eugenol memiliki gugus hidroksi, metoksi dan alil. Adanya ketiga gugus ini memungkinkan eugenol sebagai bahan dasar sintesis berbagai senyawa lain, misalnya sintesis vanilin untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan, kosmetik dan cat. Eugenol dapat diperoleh melalui isolasi minyak daun cengkeh dengan cara ekstraksi menggunakan NaOH, dengan ditambahkan larutan basa, maka eugenol akan membentuk garam eugenolat yang dapat dipisahkan dari komponen lain. Pengambilan kembali eugenol dapat dilakukan dengan penambahan larutan asam yang akan mengubah garam natrium eugenolat menjadi eugenol (Sastrohamidjojo, 1981). Reaksi tersebut seperti reaksi yang tercantum pada Gambar 2. OH
ONa OCH3
(a)
OCH3
+ NaOH
H 2C C H
+ H2O
H2C
CH2
C H
eugenol
CH2
natrium eugenolat
ONa
OH OCH3
(b)
OCH3
+ HCl
H2C C H
CH2
natrium eugenolat
+ NaCl
H2C C H
CH2
eugenol
Gambar 2. (a) Reaksi Pembentukan Na-Eugenolat oleh Basa Kuat, NaOH dan (b) Pelepasan Kembali Na oleh Penambahan Asam Kuat, HCl.
8
2. Metode Sintesis Eter Williamson Sintesis eter Williamson merupakan metode pembuatan eter yang paling yang paling serba bisa untuk mensintesis eter. Prinsip metode ini adalah suatu reaksi substitusi nukleofilik SN2 antara alkil halida dengan suatu alkoksida atau fenoksida yang membentuk ikatan karbon-oksigen dari eter. Reaksi umum pembuatan eter adalah seperti yang terlihat pada Gambar 3 (McMurry, John., 1994).
R
O-
+ R
R'
X
pereaksi
O
R
X
keadaan transisi
R'
O
-
R + X
produk inversi
Gambar 3. Reaksi Umum Pembuatan Eter
Keberhasilan sintesis eter menggunakan metode ini dipengaruhi oleh sifat dari substrat yang digunakan. Sintesis paling berhasil adalah apabila menggunakan substrat yang reaktif untuk reaksi substitusi SN2, yaitu: metil halida atau alkyl halida primer. Sedangkan penggunaan alkil halida sekunder atau tersier kurang berhasil karena cenderung bereaksi dengan basa alkoksida secara eliminasi daripada substitusi (Solomon, 1994). Menurut Cram dan Hammond (1964) untuk membuat alkoksida dari alkoholnya biasanya digunakan pereaksi logam natrium atau natrium hidrida. Apabila digunakan suatu alkohol aromatik misalnya fenol atau turunannya, alkoksidanya dapat dibuat cukup dengan penambahan larutan natrium hidroksida atau kalium hidroksida.
3. Polimer dan Kopolimer Polimer merupakan molekul besar yang terbentuk dari unit-unit berulang sederhana. Nama polimer diturunkan dari bahasa Yunani Poly yang berarti “banyak”, dan mer yang berarti “bagian”. Makromolekul merupakan istilah yang sinomin dengan polimer. Polimer disintesis dari molekul-molekul sederhana yang
9
disebut monomer (“bagian tunggal”) (Stevens, 2001). Polimer dapat diperoleh secara alamiah maupun secara sintetis. Contoh polimer alami yang telah banyak kita kenal adalah pati, selulosa dan glikogen. Sedangkan untuk polimer sintetis kita mengenal adanya Poly Vinil Chlorida (PVC), Poly Vinil Alcohol (PVA), nilon, polimetil metakrilat (perpeks) dan poly(tetrafluoroetena) yang lebih dikenal dengan teflon (Cowd, 1991). Menurut Dr. W. H. Carothers, seorang ahli kimia di Amerika Serikat, polimerisasi dikelompokkan menjadi dua golongan, yakni polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi. Polimerisasi adisi melibatkan reaksi rantai dan secara khusus pada senyawa-senyawa yang mempunyai ikatan rangkap, seperti misalnya etena dan turunan-turunannya. Penyebab reaksi rantai tersebut bisa berupa radikal bebas
atau
ion.
Sedangkan
pada
polimerisasi
kondensasi
melibatkan
penggabungan molekul-molekul kecil, menghasilkan molekul besar melalui reaksi kondensasi diikuti dengan penyingkiran molekul kecil, seperti air. Baik polimer bercabang maupun polimer sambung-silang dapat terbentuk melalui polimerisasi adisi ataupun kondensasi (Cowd, 1991). Polimer yang paling sederhana adalah homopolimer yang mempunyai struktur sama pada kesatuan berulang. Kopolimer merupakan polimer yang terbuat dari dua atau lebih monomer yang berbeda sehingga memungkinkan diperoleh struktur yang beragam. Dalam kopolimer tersebut kadang-kadang sifat yang baik dari tiap homopolimer dapat digabungkan atau dipertahankan dan itu merupakan keuntungan dari reaksi kopolimerisasi. Diagram homopolimer dan kopolimer dapat dilihat pada Gambar 4. nA → A – A –A – A – A – A ≡ A(A)n-2A monomer
Homopolimer
nA + Nb → A – B – A – B – A – B – A – B ≡ A(B – A)n-1B Kopolimer Gambar 4. Susunan Homopolimer dan Kopolimer (Stanley, et al., 1988)
10
Berdasarkan struktur urutan kesatuan berulang monomer 1 (A) terhadap yang lain (B) sepanjang satu rantai polimer, maka kopolimer dapat dikelompokkan menjadi 4 macam: a. Kopolimer Acak Kopolimer ini mempunyai struktur yang terbentuk dari sejumlah kesatuan berulang yang berbeda dan tersusun secara acak dalam rantai polimer. ----A-B-B-A-A-B-A-B-A-B---b. Kopolimer Berselang-seling Kopolimer ini tersusun oleh beberapa kesatuan berulang yang berbeda berselang-selang dalam rantai polimer. ----A-B-A-B-A-B-A-B-A-B---c. Kopolimer Blok Kopolimer blok terdiri dari kelompok suatu kesatuan berulang berselangseling dengan kelompok kesatuan berulang lainnya dalam rantai polimer. ----A-A-A-B-B-B-A-A-A-B-B-B---d. Kopolimer Cangkuk Kopolimer cangkuk tersusun oleh satu macam kesatuan berulang membuat cabang pada rantai tulang punggung (backbone) lurus yang mengandung hanya satu macam kesatuan berulang.
B B ----A-A-A-A-A-A-A-A-A---B B
(Cowd, 1991)
Polimer-polimer juga bisa digambarkan sebagai linier, bercabang dan jaringan (network), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
11
Gambar 5. Representasi dari jenis-jenis polimer: (a) linier, (b) bercabang dan (c) jaringan Polimer linier tidak memiliki cabang (contohnya adalah gugus fenil dalam polistirena). Sebaliknya kopolimer-kopolimer cangkuk merupakan contoh dari polimer-polimer yang mempunyai cabang-cabang, tetapi tidak semua polimer bercabang merupakan polimer cangkuk (contohnya adalah polietilena bermassa jenis rendah). Beberapa tipe polimer bercabang yang lebih khas ditunjukkan pada Gambar 6. Polimer bintang mengandung tiga atau lebih rantai polimer yang berasal dari unit struktur pusat. Polimer sisir mengandung rantai-rantai pendek (yang bisa sama panjang atau tidak sama panjang) dan strukturnya berkaitan dengan kopolimer-kopolimer cangkuk. Polimer tangga terbentuk dari strukturstruktur cincin yang tergabung secara-teratur. Sedangkan dalam polimer setengah tangga atau polimer jenjang terbentuk dari satuan-satuan siklik yang terikat dengan unit-unit rantai terbuka (Stevens, 2001).
Gambar 6. Representasi dari polimer-polimer (a) bintang, (b) sisir, (c) tangga, dan (c) setengah tangga (atau jenjang).
12
4. Polimerisasi dan Kopolimerisasi Ionik Kopolimerisasi merupakan proses polimerisasi yang menghasilkan kopolimer, pada proses kopolimerisasi inilah memungkinkan sintesis berbagai polimer dengan sifat yang berbeda dari monomer yang terbatas. Menurut Ellias (1991), pada polimerisasi ionik kopolimer blok cenderung terbentuk hal ini disebabkan adanya perbedaan nukleofilitas maupun elektrofilitasnya. Polimerisasi dapat berlangsung dengan mekanisme yang tidak melibatkan radikal bebas, dikenal dengan sebutan polimerisasi ionik. Pada polimerisasi ionik pembawa rantai dapat berupa ion karbonium (polimerisasi kation) atau karbanion (polimerisasi anion) (Stevens, 2001).
a. Polimerisasi Kationik Monomer yang mengandung ikatan rangkap C=C hampir semua dapat mengalami polimerisasi radikal, tetapi hanya monomer yang memiliki gugus substitusi pelepas elektron yang dapat mengalami polimerisasi kationik (Cowd, 1991). Dalam polimerisasi kationik pembawa rantainya adalah ion karbonium. Polimerisasi kationik meliputi tahap inisiasi, propagasi dan terminasi. 1) Tahap Inisiasi Tahap inisiasi merupakan tahap pengaktifan. Inisiasi ditimbulkan oleh adisi elektrofil ke molekul monomer (Gambar 7). E+ + CH2 = CR2 → ECH2C+R2 Gambar 7. Adisi elektrofil ke molekul monomer (Stevens, 2001)
Pada tahap ini mengikuti hukum Markovnikov yaitu kestabilan karbonium yang terbentuk yang menentukan reaktivitas monomer. Inisiator yang
menyebabkan
diantaranya adalah:
polimerisasi
dalam
reaksi
polimerisasi
kationik
13
a) Asam Brownsted (Donor Proton) Tahap inisiasi dapat dilakukan dengan penambahan suatu asam Brownsted, dimana asam Brownsted akan menginisiasi polimerisasi kationik dengan memprotonasi ikatan rangkap. Metodenya bergantung pada penggunaan asam yang cukup kuat dengan konsentrasi yang sesuai agar terjadi protonasi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. HA + RR’C=CH2 → RR’+C(A)CH3 Gambar 8. Inisiasi oleh asam Brownsted (Odian, 1991)
b) Asam Lewis Berbagai asam Lewis juga digunakan untuk menginisiasi polimerisasi kationik, secara umum pada temperatur rendah dengan pembentukan polimer dengan berat molekul tinggi dan hasil yang tinggi (Odian, 1991). Beberapa asam Lewis mengalami autuionisasi, reaksinya dapat dilihat pada Gambar 9. (AlCl4)- + (AlCl2)+
2AlCl3 2I2 2TiCl4
I+ + I 3 (TiCl3)+ + (TiCl5)-
Gambar 9. Reaksi autoionisasi asam Lewis
Asam Lewis jarang bisa efektif ketika sendirian, ia memerlukan hadirnya ko-katalis seperti air, asam trikloroasetat, alkil halogenida, eter atau monomer itu sendiri. Dengan ko-katalis ini asam Lewis membentuk senyawa terdisosiasi, reaksi dissosiasinya dapat dilihat pada Gambar 10. BF3 + H2O AlCl3 + RCl
H+(BF3OH)AlCl4- R+
Gambar 10. Reaksi dissosiasi asam Lewis (Stevens, 2001)
14
Kation yang dihasilkan dari reaksi ditambahkan ke monomer dan memulai reaksi polimerisasi, seperti yang ditunjukkan Gambar 11 (Ellias, 1997). CH2 +
H (BF3OH)
-
CH3
CH2 +
+
-
H BF3OH
C
X
+
C
Y
X
X
Y
BF3OH-
C Y
Gambar 11. Inisiasi oleh kation hasil disosiasi
c) Inisiator lain yang bisa menimbulkan polimerisasi kationik diantaranya adalah senyawa-senyawa yang mampu terionkan seperti trifenilmetil halida, tropilium halida dan yodium (Stevens, 2001).
2) Tahap Propagasi Tahap propagasi merupakan tahap perpanjangan rantai. Dalam tahap propagasi ini berlangsung adisi monomer pada ion karbonium yang telah dihasilkan pada tahap inisiasi. Reaksi propagasi diantaranya berlangsung seperti ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13 (Ellias, 1997). X
X
+
H3C
-
C
A
+
H2C
Y
X
C
H3C
X
C
Y
+
C H2
C
Y
-
A
Y
Gambar 12. Reaksi Propagasi X H3C
X
C Y
C H2
X
C x
C H2
C+
Y
Y
X A-
+ H2C
C Y
X H3C
C
X C H2
X
C x+1
Y
C H2
Y
C+
A-
Y
Gambar 13. Bentuk umum reaksi propagasi
Pada tahap propagasi dapat pula terjadi polimerisasi isomerisasi apabila
monomernya
intramolekulnya.
memungkinkan
terjadinya
penataan
ulang
15
3) Tahap Terminasi Tahap terminasi merupakan tahap berakhirnya proses polimerisasi. Tahap ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan reaksi transfer maupun reaksi terminasi. a) Reaksi terminasi spontan (1) Melalui rekombinasi anion-kation Reaksi terminasi spontan melalui reaksi rekombinasi kation-anion terjadi dengan pembentukan terminal ester. Contoh rekombinasi kation-anion ditunjukkan oleh Gambar 14. H C H2
C+
H CF3
+ COO
C H2
R
C
O
R
C
CF3
O
Gambar 14. Rekombinasi anion-kation
(2) Melalui reaksi pemisahan anion Sedangkan reaksi terminasi melalui reaksi pemisahan anion terjadi melalui serangan ion karbonium kepada ion lawan yang paling lemah. Contoh pemisahan anion ditunjukkan oleh Gambar 15. C H2
C+
+ H(BF3OH)-
C H2
R
H C
OH + BF3
R
Gambar 15. Pemisahan anion (Rempp and Merrill, 1991)
b) Reaksi transfer (1) Transfer proton ke monomer Reaksi terminasi melalui reaksi transfer proton ke monomer ditunjukkan oleh Gambar 16.
16
H C H
+
C HA
-
+ H 2C
CH
C H
CH
R
R
+ H 3C
+
C HA
-
R
R
Gambar 16. Transfer proton Contoh tersebut melibatkan transfer proton β dari karbokation ke monomer dengan pembentukan terminal tak jenuh dalam molekul polimer (Odian, 1991). (2) Transfer ion hidrida ke monomer Reaksi terminasi melalui reaksi transfer ion hidrida ditunjukkan oleh Gambar 17. C H2
+
-
C HA
+ H2C
CH
C H2
+
H2C
R
R
R
CH2
+ -
C A R
Gambar 17. Transfer ion hidrida
(3) Pengusiran proton Reaksi terminasi melalui reaksi pengusiran proton ditunjukkan oleh Gambar 18. CH3
CH3 C H2
+ -
C A CH3
C H2
C
+
H+A-
CH2
Gambar 18. Pengusiran proton (Rempp and Merrill, 1991)
(4) Transfer anion Menurut Rempp and Merrill (1991), substansi tertentu dapat bereaksi dengan ion karbonium pada ujung rantai untuk menghasilkan spesies kationik dengan reaktifitas lebih rendah dan sering menyebabkan berhentinya pertumbuhan rantai. Reagen yang sangat nukleofilik seperti air, alkohol, amonia dan amida sering digunakan secara
17
berlebihan untuk menghentikan polimerisasi kationik. Ini sering digunakan setelah perubahan selesai untuk menonaktifkan koinisiator. Terminasi dengan reagen ini melibatkan transfer anion –OH, –OR, atau RCOO- ke karbokation (Odian, 1991).
b. Polimerisasi Anionik Monomer CH2 = CHX dapat mengalami polimerisasi anoin. Pada polimerisasi anion bertindak yang sebagai pembawa rantai adalah ion karbanion. Monomer yang mengandung substituen elektronegatif, misalnya propenitril (akrilonitril), metil 2-metil propenoat (metil metakrilat), dan bahkan feniletena (stirena), tergolong yang dapat mengalami polimerisasi anionik. Seperti halnya dengan pada polimerisasi kation, reaksi polimerisasi anion paling baik berlangsung pada suhu rendah. Katalis yang dapat dipakai meliputi logam alkali, alkil, aril dan amida logam alkali. Salah satu penerapan paling awal dari polimerisasi ini dalam dunia industri adalah pada pembuatan karet sintetik dengan katalis logam alkali (Cowd, 1991).
5. Penentuan Berat Molekul Perbandingan antara viskositas larutan polimer terhadap viskositas pelarut murni dapat dipakai untuk menentukan massa molekul nisbi polimer. Metode viskositas ini mempunyai kelebihan daripada metode lain, yakni lebih cepat dan murah serta perhitungan hasilnya lebih sederhana. Metode yang biasa dipakai untuk mengukur viskositas pelarut dan larutan polimer adalah penggunaan viskometer Ostwald atau viskometer Ubbelohde (Gambar 19). Pengukuran berat molekul relatif dengan metode viskometer ini pada dasarnya dilakukan dengan mengukur waktu yang diperlukan pelarut dan larutan polimer untuk mengalir antara dua tanda, m1 dan m2. Dalam viskometer Ostwald (Gambar 19.a), volum cairan harus dibuat tetap karena ketika cairan mengalir ke bawah melalui pipa kapiler A, ia harus mendorong cairan naik ke B. Sehingga jika volum cairan berbeda maka massa cairan yang didorong menaiki tabung B akan berubah pula, dan menghasilkan waktu alir yang tak konsisten. Pada
18
viskometer Ubbelohde (Gambar 19.b), pengukuran tidak bergantung pada volum cairan yang dipakai, karena viskometer dirancang untuk bekerja dengan cairan mengalir melalui kapiler tanpa cairan dibawahnya. Waktu alir diukur untuk pelarut dan untuk larutan polimer pada berbagai konsentrasi (Cowd, 1991).
Gambar 19. Viskometer kapiler (a) Ostwald dan (b) Ubbelohde
Nilai viskositas dapat dirumuskan berdasarkan persamaan HagenPoiseville (Persamaan (1))
η=
π Pr 4 t 8Vl
................................................................................... (1)
19
dimana:
η
= viskositas
P
= tekanan tetes sepanjang kapiler
r
= jari-jari kapiler
t
= waktu alir cairan
V
= volume cairan yang diukur
l
= panjang kapiler (Sime, Rodney. J., 1990) Jika faktor koreksi energi kinetik diabaikan, viskositas relatif dari suatu
larutan didefinisikan sebagai perbandingan antara viskositas larutan dengan pelarut murninya.
ηr =
t η = ................................................................................. (2) ηo to
dimana: ηr
= viskositas relatif
η
= viskositas polimer terlarut
ηo
= viskositas pelarut murni
t
= waktu alir polimer terlarut dari m1 – m2
to
= waktu alir pelarut murni dari m1 – m2 Viskositas relatif tersebut nilainya selalu lebih besar daripada satu, karena
keberadaan polimer terlarut yang selalu meningkatkan viskositas. Berdasarkan viskositas relatif, dapat ditemukan harga viskositas spesifik, ηsp, sebagai kenaikan fraksional dalam viskositas yang disebabkan oleh keberadaan polimer terlarut dalam pelarut, seperti yang ditunjukkan dalam persamaan (3).
η sp =
η − ηo t − t0 = = ηr – 1 ........................................................ (3) ηo t0
dimana ηsp
= viskositas spesifik (Cowd, 1991)
20
Viskositas spesifik dan viskositas relatif tidak berdimensi, nilainya tergantung pada konsentrasi polimer dalam larutan, mereka naik sebanding dengan naiknya konsentrasi. Oleh karena itu untuk menghilangkan efek konsentrasi, viskositas spesifik tersebut dibagi dengan konsentrasi dan diekstrapolasikan ke konsentasi nol untuk memperoleh konsentrasi intrinsik, [η]i. Harga kuantitas ηsp/C dimana C adalah konsentrasi polimer (g/cm3), sering disebut sebagai viskositas spesifik tereduksi yang merupakan ukuran kapasitas spesifik dari polimer untuk meningkatkan viskositas relatif. Sedangkan viskositas intriksik, [η]i, didefinisikan sebagai limit dari viskositas tereduksi pada konsentrasi mendekati nol, dan dinyatakan pada persamaan (4).
lim C →0
η sp C
= [η ]i ............................................................................... (4)
secara matematis dapat ditulis sebagai
η sp C
= [η ]i + k '[η ]i C .................................................................... (5) 2
dimana [η]i
= viskositas intrinsik
k’
= konstanta
dengan melihat persamaan 4 dan 5, memberikan petunjuk bahwa viskositas intrinsik [η]i dapat diperoleh dengan mengekstrapolasikan dari data eksperimen dari viskositas tereduksi (ηsp/C), ke konsentrasi nol (Stevens, 2001). Massa molekul nisbi dari suatu polimer dapat ditentukan dengan persamaan Mark dan Houwink (persamaan (6)) yang mengkaitkan viskositas intrinsik [η]i pada massa molekul nisbi (M). [η]i = KMia ................................................................................... (6) atau Log [η]i = log K + a log Mi ........................................................... (7) dimana [η]i
= viskositas intrinsik
Mi
= berat molekul relatif polimer
21
K
= konstanta khas untuk sistem polimer-pelarut tertentu
a
= konstanta khas untuk bentuk polimer terlarut dalam suatu pelarut (0
polimer yang mempunyai massa molekul nisbi berbeda, dan harga molekul nisbi ini diukur dengan menggunakan metode mutlak, seperti osmometri atau hamburan sinar (Allcock, 1981).
6. Titrasi Potensiometri Sebagian besar metode analitik didasarkan pada sifat-sifat elektokimia. Potensiometri merupakan salah satu metode elektrokimia yang menerapkan persamaan Nerst sebagai dasar dari metode. Persamaan Nerst menyatakan hubungan antara potensial elektroda dengan rasio aktivitas bentuk oksidasi dengan reduksi yang ditulis sebagai berikut:
E = EO +
RT aoks In nF a red
................................................................ (8)
dimana E° = Potensial Elektroda Standar R
= Konstanta gas yang besarnya 8,314 JK-1mol-1
T
= Suhu (°K)
n
= jumlah elaktron dari oksidasi reduksi
F
= Konstanta Faraday yang besarnya 96,485 C
In
= natural logaritma = 2,303 log
Pada suhu 25oC, persamaan tersebut menjadi:
E = EO +
0,0591 [oks] log ............................................................ (9) n [red ] (Skoog, Douglas A., et al., 1996)
Atau secara umum reaksi redoks dari sel kimia dapat ditulis sebagai berikut: aA + bB dan mempunyai rumus:
cC + dD
22
E sel = E o sel +
[a c .a d ] 0,0591 log Ca Db ............................................... (10) n [a A .a B ]
Dalam analisis potensiometri digunakan dua buah elektroda yaitu elektroda pembanding dan elektroda indikator. Dimana elektroda pembanding merupakan elektroda yang telah diketahui potensial selnya dan memiliki harga tetap, berupa elaktroda kalomel atau elektroda Ag/AgCl. Sedangkan elektroda indikator merupakan elaktroda yang nilai potensial selnya bergantung pada aktivitas ion yang akan ditentukan, berupa elektroda logam, elektroda gelas atau elektroda membran. Analisis potensiometri dapat dilakukan dengan dua cara yang pertama adalah pengukuran potensiometri secara langsung untuk menentukan aktivitas suatu macam zat dalam suatu campuran yang berkesinambungan. Yang kedua adalah titrasi potensiometri untuk mengetahui titik ekivalen suatu titrasi. Pengukuran secara potensiometri adalah menarik, karena cepat, tidak mahal, mudah dibuat otomatik dan tidak merusak sampel. Dalam suatu titrasi potensiometri, titik akhir ditentukan dengan menentukan volume yang menyebabkan suatu perubahan potensial relatif besar apabila titran ditambahkan. Gambar 19. menunjukkan cara-cara penggambaran data titrasi secara potensiometri dengan menggunakan elektroda gelas sebagai elektroda indikator, dimana v adalah menunjukkan titik akhir titrasi. +
∆E 0 ∆v 2
∆E ∆v
E
2
– v (a)
v (b)
v (c)
Gambar 20. Cara-cara penggambaran data titrasi secara potensiometri (Underwood, 1981)
7. Spektroskopi Infra Merah Atom-atom dalam suatu molekul tidak diam, melainkan bervibrasi (bergetar). Ikatan kimia yang menghubungkan dua atom dapat dimisalkan sebagai
23
dua bola yang dihubungkan oleh suatu pegas. Bila radiasi infra merah dilewatkan melalui suatu sampel, maka molekul-molekulnya dapat mengabsorbsi energi dan terjadilah transisi diantara tingkat vibrasi dasar (ground state) dan tingkat vibrasi tereksitasi (excited state). Pengabsorbsian energi dalam berbagai frekuensi dapat dideteksi oleh spektrometer infra merah, yang memplotkan jumlah radiasi infra merah yang diteruskan melalui cuplikan sebagai fungsi frekuensi (atau panjang gelombang) radiasi. Plot tersebut disebut spektrum infra merah yang akan memberikan informasi penting tentang gugus fungsional suatu molekul. (Sumar H., 1994). Polimer memiliki ikatan dari berbagai gugus fungsi, misalnya C-C, C=C, C=O, N-H dan sebagainya yang masing-masing mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda. Spektra IR bahan polimer dapat dipengaruhi oleh adanya tumpang tindih pita (band overlapping), perbedaan struktur kristalin-amorf polimer, perbedaan konfigurasi satuan monomer dalam rantai monomer, terbentuknya ikatan hidrogen dan antaraksi antar molekul dalam polimer-polimer campuran (poliblend dan kopolimer graft). Daerah pengamatan spektra IR berkisar 650-1250 cm-1 yang terbagi menjadi IR jauh (650 – 10 cm-1), IR (10 – 4000 cm-1) dan IR dekat (4000 – 12500 cm-1). IR jauh berkaitan dengan energi rotasi, sedangkan IR dan IR dekat berkaitan dengan energi vibrasi-rotas molekul. Untuk polimer, daerah pengamatan meliputi IR jauh dan IR (Stevens, 2001). Serapan dari beberapa gugus fungsi adalah sebagai berikut: a. Karbon-Karbon dan Karbon-Hidrogen Ikatan antara karbon sp3(ikatan tunggal C – C) mengakibatkan adanya pita resapan yang lemah dalam spektrum IR. Ikatan antara karbon sp2 (C=C) seringkali menunjukkan absorpsi karakteristik yang beragam kuatnya pada daerah sekitar 1600-1700 cm-1 (Fessenden, Ralp J., 1986). Untuk alkena alifatik tak terkonjugasi biasanya mempunyai serapan lemah-sedang disekitar 1667-1640 cm-1. Sedangkan untuk alkena aromatik biasanya serapan berada di daerah sekitar 1560-1650 cm-1, bergantung dari ukuran cincinnya (Silverstein, 1991). Menurut Sudjadi (1985) serapan kharakteristik aromatik trisubstitusi
24
berada dalam daerah 700-900 cm-1 (untuk aromatik trisubstusi 1,2,3) dan dalam daerah 800-900 cm-1 (untuk aromatik trisubstitusi 1,2,4). Ikatan karbon sp (C≡C) menunjukkan serapan yang lebih lemah tetapi sangat karakteristik pada daerah 2100-2250 cm-1. Hampir semua senyawa organik mempunyai ikatan CH. Serapan yang disebabkan oleh ikatan CH nampak pada kira-kira 2800-3300 cm-1. Lebih rincinya 2800-3000 cm-1 untuk CH sp3; 3000-3300 cm-1 untuk CH sp2 dan ~3300 cm-1 untuk CH sp (Fessenden, Ralp J., 1986). b. Alkohol dan Amina Alkohol dan amina menunjukkan absorpsi uluran OH dan NH yang jelas pada 3000-3700 cm-1, disebelah kiri absorpsi CH. Bila terdapat dua hidrogen pada suatu nitrogen amina (-NH2), absorbsi akan nampak sebagai puncak kembar. Jika terdapat hanya satu H, maka hanya akan ada satu puncak tunggal. Sedangkan serapan OH akan muncul sebagai pita lebar pada kira-kira 3300 cm-1. Bila ikatan hidrogen kurang ekstensif, maka akan nampak puncak OH yang lebih runcing dan kurang intensif (Fessenden, Ralp J., 1986). c. Eter Eter mempunyai suatu pita uluran C-O yang terletak dalam daerah 1050-1260 cm-1. karena oksigen bersifat elektronegatif, uluran akan menyebabkan perubahan besar dalam momen ikatan; oleh karena itu, resapan C-O biasanya kuat. Alkohol, eter dan dan senyawa yang mengandung ikatan tunggal C-O juga akan menunjukkan absorbsi yang sama (Fessenden, Ralp J., 1986). d. Senyawa karbonil Salah satu pita dalam spektrum IR yang paling terbedakan adalah pita yang disebabkan oleh vibrasi uluran karbonil. Pita ini merupakan puncak yang kuat yang dijumpai dalam daerah 1640-1820 cm-1. Gugus karbonil merupakan bagian dari sejumlah gugus fungsional. Posisi absorbsi C=O untuk aldehid, keton, asam karboksilat dan ester dicantumkan pada Tabel 1.
25
Tabel 1. Vibrasi Uluran untuk beberapa senyawa karbonil Posisi absorpsi (cm-1)
Tipe senyawa Aldehid, RCOH
1720-1740
Keton, RCOR’
1705-1750
Asam karboksilat, RCOOH
1700-1725
Ester, RCOOR’
1735-1750 (Fessenden, J Ralp., 1986)
Asam Karboksilat, menunjukkan serapan C=O yang khas dan juga menunjukkan pita O-H yang sangat terbedakan (distinctive) yang dimulai pada daerah sekitar 3300 cm-1 dan miring ke dalam pita absorpsi CH alifalitik. Ikatan OH yang distinctive tersebut disebabkan karena OH karboksilat membentuk dimer berdasarkan ikatan hidrogen. Dalam spektrum asam-asam karboksilat, dua buah pita yang ditimbulkan oleh uluran CO dan tekukan OH juga
dapat
muncul
didaerah
sekitar
1320-1210
cm-1
dan
sekitar
1440-1395 cm-1 (Silverstein, 1991). Ester, menunjukkan adanya pita karbonil yang khas dan suatu pita C-O pada daerah sidik jari 1110-1300 cm-1 yang kadang-kadang sulit ditandai. Namun pita C-O ini kuat dan dalam beberapa hal dapat digunakan untuk membedakan antara ester dengan keton (Fessenden, J Ralp., 1986). 8. Spektroskopi 1H NMR Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti (RMI) atau yang lebih dikenal dengan NMR (Nuclear Magnetic Resonance) mempelajari molekul senyawa organik untuk memperoleh gambaran perbedaan sifat magnit dari berbagai inti yang ada dan untuk menduga letak inti tersebut dalam molekul. Dari NMR akan diduga ada berapa banyak jenis lingkungan hidrogen yang ada dalam molekul, dan juga jumlah atom hidrogen yang ada pada atom karbon tetangga (Sudjadi, 1985). Spektroskopi NMR ini didasarkan pada pengukuran absorbsi radiasi elektromagnetik pada daerah frekuensi radio 4-600MHz atau panjang gelombang 75-0,5m, oleh partikel (inti atom) yang berputar di dalam medan magnet. Inti
26
atom yang dapat dideteksi oleh spektroskopi NMR adalah inti atom yang mempunyai muatan/massa ganjil dan mempunyai bilangan kuantum spin ½, yaitu inti 1H,
11
B, 13C, 19F dan 31P. Dari kelima inti atom terpenting adalah inti proton,
dikarenakan jumlahnya yang melimpah di alam dan semua senyawa organik dan beberapa senyawa anorganik mempunyai inti proton (1H) (Sumar H., 1994). Dalam spektroskopi 1H NMR dikenal istilah terperisai (shielded) dan tak terperisai (dishielded). Jika medan imbasan sekitar proton relatif kuat, maka medan akan melawan Ho dengan lebih kuat dan diperluas dengan medan terapan yang lebih besar agar proton beresonansi, dalam hal ini proton dikatakan terperisai (shielded). Dan sebaliknya jika medan imbasan disekitar proton lemah, maka medan terapan yang digunakan agar proton beresonansi juga lemah, dan proton dikatakan tak terperisai (dishielded) (Fessenden, Ralp J., 1986). Istilah terperisai dan tak terperisai merupakan istilah relatif terhadap senyawa baku yaitu tetrametilsilana (TMS), (CH3)4Si. Selisih antara posisi absorbsi TMS dan posisi absorbsi suatu proton disebut geseran kimia. TMS sangat cocok digunakan sebagai senyawa baku dikarenakan TMS mempunyai duabelas proton yang setara sehingga memberikan puncak tunggal; TMS merupakan cairan yang mudah menguap, yang dapat ditambahkan sedikit pada larutan sampel dalam CCl4 atau CDCl3 yang jika perlu dapat diambil kembali dengan menguapkan perlarutnya; karena Si bersifat elektropositif terhadap senyawa karbon, maka proton-proton pada hampir semua senyawa organik melakukan resonansi pada medan yang lebih rendah daripada proton TMS (sehingga dengan menetapkan vTMS = 0, maka resonansi proton mempunyai tanda sama); TMS bersifat inert, tidak larut dalam air maupun D2O (Sudjadi, 1985). Adanya atom elektronegatif menyebabkan berkurangnya rapatan elektron disekitar sebuah proton oleh adanya efek induktif. Proton tersebut akan tak terperisai dan menyerap dibawah medan. Dalam senyawa aromatik, alkena dan aldehida, sebuah proton yang terikat pada karbon sp2 akan tak terperisai oleh efekefek anisotropik dan menyerap lebih jauh dibawah medan. Posisi relatif absorbsi ditunjukkan pada Gambar 21. Dan nilai pergeseran kimia relatif ditunjukkan pada Tabel 2.
27
H Aromatik
H karboksil
H Alkena
H Aldehid
8
7
6
5
H Alkana
4 3
2
1 0
Gambar 21. Posisi Relatif Absorbsi Proton dalam Spektrum 1H NMR
Tabel 2. Geseran Kimia Khas pada Spektra NMR Gugus
Nilai δ (ppm)
Proton pada kabon sp3 RCH3
0.8-1.2
R2CH2
1.1-1.5
R3CH
~1.5
ArCH3
2.2-2.5
R2NCH3
2.2-2.6
R2CHOR
3.2-4.3
R2CHCl
3.5-3.7
R2CHCR=CR2
~1.7
RCOCH2R
2.0-2.7
Proton pada karbon sp atau sp2 R2C=CHR
4.9-5.9
ArH
6.0-8.0
RCHO
9.4-10.4
RC≡CH
2.3-2.9
Proton pada N atau O R2NH
2-4
ROH
1-6
ArOH
6-8
RCOOH
10.12 (Fessenden, Ralp J., 1986)
28
9. Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS) Gas Chromatography-Mass Spectroscopy atau yang lebih dikenal dengan GC-MS merupakan suatu instrumen gabungan dari GC (Gas Chromatography) dan MS (Mass Spectroscopy). Instrumen GC memungkinkan untuk memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran yang tidak mungkin dipisahkan dengan cara-cara lain. Karena sensitivitasnya yang tinggi maka hanya diperlukan sejumlah kecil cuplikan (mikroliter). Pemisahan komponen-komponen dari cuplikan terjadi diantara gas pengangkut dan fasa cair (Sastrohamidjojo, 2002). Metode spektroskopi massa didasarkan pada pengubahan komponen cuplikan menjadi ion-ion gas dan memisahkannya berdasarkan perbandingan massa terhadap muatan (m/z). Bila suatu molekul berbentuk gas disinari oleh elektron berenergi tinggi di dalam sistem hampa maka akan terjadi ionisasi, ion molekul terbentuk dan ion molekul yang tidak stabil pecah menjadi ion-ion yang lebih kecil (Sumar, 1994). Lepasnya elektron dari molekul menghasilkan radikal kation dan proses ini didapat dinyatakan sebagai M
M+•
Ion molekular M+• biasanya terurai lagi menjadi sepasang pecahan atau fragmen yang dapat berupa radikal dan ion atau molekul yang lebih kecil dan radikal kation. M
M1+ + M2• atau M1+• + M2
Ion molekular, ion-ion pecahan dan ion-ion radikal pecahan dipisahkan oleh pembelokkan dalam medan magnet yang dapat berubah sesuai dengan massa dan muatan mereka, dan menimbulkan arus ion pada kolektor yang sebanding dengan limpahan relatif mereka (Peasock, 1976). Spektrum massa yang diperoleh merupakan grafik dari perbandingan massa terhadap muatan (m/z) dan intensitas. Di dalam spektrum massa dapat dilihat spektrum-spektrum yang menunjukkan massa dari gugus molekul, puncak ion molekul (M), puncak utama (base peak) dan puncak-puncak isotop. Puncak ion molekul (M) terjadi pada suatu massa yang sesuai dengan berat molekul dari molekul netralnya. Sedangkan puncak dengan intensitas terbesar merupakan base peak, kerapkali ditandai dengan tinggi 100 (Sumar, 1994).
29
10. Differential Thermal Analysis (DTA) Analisis thermal didefinisikan sebagai pengukuran sifat fisika dan kimia dari material sebagai fungsi dari temperatur. Dalam prakteknya analisis termal ini meliputi entalphi, kapasitas panas, massa dan koefisien ekspansi termal. Differential Thermal Analysis (DTA) mengukur perbedaan temperatur (T) antara sampel dan material pembanding inert sebagai fungsi temperatur, oleh karena itu DTA mendeteksi perubahan pada kandungan panasnya. Pada DTA panas yang diabsorbsi dan dipancarkan oleh sistem kimia diselidiki dengan mengukur perbedaan temperatur antara sistem dan senyawa pembanding inert (seperti alumina, alumunium, platina, silicon carbida) jika temperatur keduanya dinaikkan dengan kecepatan yang sama dan konstan. Panas yang ditambahkan kemudian dicatat dan perubahan ini sebagai konsekuensi dari proses yang terjadi pada sampel yaitu eksotermis atau endotermis. Hasil yang diperoleh dari DTA akan ditampilkan dalam bentuk kurva yang ideal seperti pada Gambar 22 (Dodd, 1987).
Eksotermis + ∆T Endotermis
Gambar 22. Kurva Ideal DTA Pada kondisi AT > 0, terjadi proses eksotermis yang disebabkan karena pada reaksi eksotermis, temperatur sampel lebih besar dari temperatur material pembanding. Demikian juga sebaliknya yang terjadi pada proses endotermis. Fenomena-fenomena yang muncul sebagai efek reaksi eksotermis dan endotermis dapat dilihat pada Tabel 3.
30
Tabel 3. Beberapa Efek Reaksi Eksotermis dan Endotermis Fenomena
Kondisi Eksotermis
Endotermis
Adsorbsi
x
-
Desorpsi
-
x
Transisi Kristal
x
x
Kristalisasi
x
-
Pelelehan
-
x
Penguapan
-
x
Penyubliman
-
x
Degradasi Oksidasi
x
-
Oksidasi dalam Gas
x
-
Reduksi dala Gas
-
x
Dekomposisi
x
x
Dehidrasi
-
x
Desolvasi
-
x
Kemisorpsi
x
-
Reaksi Redoks
x
x
Reaksi Fasa Padat
x
x
Peristiwa Fisika
Peristiwa Kimia
(Dodd, 1987) Salah satu sifat terpenting dalam keadaan amorfus polimer adalah sifat polimer selama transisinya dari padat ke cair. Ketika suatu gelas amorfus dipanaskan, energi kinetik molekulnya bertambah, namun gerakannya masih dibatasi sampai vibrasi dan rotasi daerah pendek sepanjang polimer tersebut masih mampu mempertahankan struktur gelasnya. Ketika suhu dinaikkan lagi maka akan muncul satu batas dimana terjadi suatu perubahan yang jelas, dimana polimer
31
akan melepaskan sifat gelasnya dan berubah menjadi cairan yang kental. Suhu saat fenomena ini berlangsung dinamakan transisi gelas (Tg). Jika pemanasan terus dilanjutkan, polimer tersebut akhirnya akan melepaskan sifat-sifat elastomernya dan melebur menjadi cairan yang bisa mengalir. Secara umum kurva DTA untuk polimer ditampilkan pada Gambar 23 (Stevens, 2001).
Eksotermis + ∆T -
Initial baseline Shifthed baseline
Endotermis Gambar 23 . Kurva DTA untuk polimer
B. Kerangka Pemikiran Eugenol dilihat dari strukturnya mempunyai tiga gugus fungsional yaitu gugus alil, metoksi dan hidroksi sehingga eugenol dapat diubah menjadi turunannya. Untuk dapat dimanfaatkan sebagai ligan maka dibuat turunan eugenol yang mengandung gugus karboksilat, asam eugenoksi asetat. Asam eugenoksi asetat disintesis melalui reaksi eterifikasi Williamson dengan mereaksikan eugenol dengan NaOH dan asam kloroasetat. Monomer asam eugenoksi asetat dan eugenol dapat dikopolimerisasikan secara kationik, karena keduanya mempunyai ikatan rangkap gugus alil yang merupakan gugus aktif untuk reaksi kopolimerisasi kationik membentuk Kopoli(eugenol-asam eugenoksi asetat). Sintesis Kopoli(eugenol-asam eugenoksi asetat) dilakukan dengan berbagai perbandingan jumlah mol monomer yang ditambahkan. Dalam penelitian ini akan dipelajari perbandingan mol monomer yang ditambahkan apakah akan menghasilkan kopolimer dengan perbandingan jumlah OHfenolik dan COOH yang sebanding. Analisis struktur monomer asam eugenoksi asetat dilakukan dengan menggunakan spektroskopi FTIR, 1H NMR dan GC-MS. Sedangkan analisis
32
struktur
dari
Kopoli(eugenol-asam
eugenoksi
asetat)
dilakukan
dengan
1
menggunakan spektroskopi FTIR, H NMR. Karakterisasi Kopoli(eugenol-asam eugenoksi asetat) dilakukan dengan menggunakan DTA dan penentuan berat molekul relatifnya dilakukan dengan metode viskometri Ostwald.
C. Hipotesis Berdasarkan penelusuran literatur, penelitian sebelumnya, landasan teori dan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan dimuka, maka disusun hipotesis sebagai berikut: 1. Monomer asam eugenoksi asetat dapat disintesis melalui reaksi eterifikasi eugenol dengan pereaksi NaOH dan asam kloroasetat. 2. Kopoli(eugenol-asam eugenoksi asetat) dapat disintesis melalui reaksi kopolimerisasi antara eugenol dan asam eugenoksi asetat secara kationik dengan katalis BF3O(C2H5)2. 3. Perbandingan jumlah mol eugenol dan asam eugenoksi asetat yang direaksikan akan memberikan perbandingan jumlah OHfenolik dan COOH yang sebanding pada Kopoli(eugenol-asam eugenoksi asetat) yang dihasilkan.