2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) Sistematika ikan patin (Pangasius hypopthalmus) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostaroiphysi
Sub-ordo
: Siluroidea
Famili
: Pangasidae
Genus
: Pangasius
Spesies
: Pangasius hypopthalmus
Gambar 1. Ikan patin (Pangasius hypopthalmus) (Sumber : DKP DIY 2008)
Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya mencapai 120 cm. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak diujung kepala agak sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan cat fish. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Susanto dan Amri 1997). Ikan yang biasanya ditemukan di sungai-sungai besar ini jenisnya relatif banyak dan sampai saat ini dikenal sekitar 13 jenis. Pada saat
masih berukuran kecil (5-12 cm), ikan patin dapat digunakan sebagai ikan hias pada akuarium. Tubuhnya terlihat seperti ikan lele, warnanya perak mengkilat dan gerakannya lincah.
Ketika ukurannya lebih besar postur tubuhnya besar
menyerupai ikan hiu walaupun ikan patin tergolong ikan yang cukup jinak dan mudah pemeliharaanya. Ikan patin banyak ditemukan di sungai dan danau karena ikan ini merupakan ikan yang hidup di perairan umum (Khairuman dan Suhendra 2002). Sirip punggung (dorsal) mempunyai jari-jari keras yang berubah menjadi patil bergerigi di sebelah belakangnya, jari-jari lunak sirip punggung berjumlah 6-7 buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemah yang berukuran kecil sekali dan sering disebut adipose fin, sirip ekornya (caudal) membentuk cagak dan bentuknya simetris. Sirip duburnya (anal) yang panjang terdiri dari 30-33 jari lunak, sedangkan sirip perutnya (ventral) memiliki 8-9 jari-jari lunak, sirip dada (pectoral) memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil (Susanto dan Amri 1997). Ikan patin bersifat nokturnal (melakukan aktivitas di malam hari) sebagaimana umumnya ikan catfish lainnya. Selain itu, patin suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai habitat hidupnya. Hal yang membedakan patin dengan ikan catfish pada umumnya yaitu sifat patin yang termasuk omnivora atau golongan ikan pemakan segala. Makanan ikan ini antara lain ikan-ikan kecil lainnya, cacing, detritus, serangga, biji-bijian, udang-udangan kecil dan moluska (Susanto dan Amri 1996). 2.2 Tulang Ikan Menurut Moeljanto (1979), limbah perikanan adalah ikan yang terbuang, tercecer, dan sisa olahan yang pada suatu saat tertentu belum dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Limbah perikanan selalu terjadi dalam proses penangkapan, penanganan, pengangkutan, pengolahan, dan distribusi serta pemasaran limbah. Limbah perikanan dikelompokkan berdasarkan jenisnya yaitu: (a) Hasil sampingan, berupa ikan mentah utuh yang merupakan hasil ikutan dari usaha penangkapan; (b) Limbah pengolahan, yang terdiri atas campuran kepala, isi perut, kulit, tulang, sirip, dan lain-lain; (c) Limbah surplus, berupa ikan utuh, potongan atau hancuran sisa pengolahan dan pemasaran.
Dalam industri
perikanan, limbah yang paling utama antara lain kepala, bagian isi perut, ekor, sirip, tulang, dan lain-lain yang biasanya dibuat pada pembuatan fillet ikan (Govindan 1985). Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain dalam jumlah kecil adalah natrium, magnesium, dan flour (Winarno 2000). Menurut Mulia (2004), tulang ikan mengandung kurang lebih 36% kalsium, 17% fosfor, dan 0,8% magnesium. 2.3 Tepung Tulang Tepung tulang merupakan sumber kalsium dan fosfor yang baik akan tetapi protein dalam tepung tulang yang dikukus mutunya sangat rendah karena kandungan gelatinnya tinggi (Anggorodi 1985). Sebagaimana ikan lainnya patin merupakan bahan pangan yang baik karena mengandung zat gizi utama yang dikandung adalah protein, lemak, mineral, dan vitamin. Tepung tulang dapat diperoleh melalui tiga proses (Anggorodi 1985), yaitu : 1. Pengukusan. Tulang dikukus kemudian dikeringkan dan digiling untuk menghasilkan tepung tulang ikan. 2. Pemasakan dengan uap dibawah tekanan. Tulang dimasak dengan tekanan kemudian diarangkan dalam bejana tertutup sehingga didapat tulang dalam bentuk remah dan dapat digiling menjadi tepung. 3. Abu tulang yang diperoleh dari pembakaran tulang. Proses pembuatan tepung tulang dimulai dengan : limbah ikan berupa tulang dicuci dengan air sampai bersih. Kemudian direbus selama 30 menit pada suhu 100°C. Setelah tulang direbus dimasukkan ke dalam autoklaf selama 4560 menit pada suhu 121°C sampai tulang menjadi lunak.
Selanjutnya
dilakukan penggilingan I dengan blender, pengovenan selama 17 jam pada suhu 70°C kemudian penggilingan II sampai halus.
Dilanjutkan dengan
pengayakan sehingga menjadi tepung tulang ikan. 2.4. Cone Cone es krim merupakan tempat es krim yang dapat dimakan bersama-sama dengan es krim. Bentuk umum cone es krim adalah kerucut seperti corong, diameter antara 3,9 cm – 4 cm, tebal antara 0,6 – 0,7 cm, tinggi rata-rata 11 cm, dengan berat 5 gram – 7 gram, berwarna putih kecoklatan. Cone es krim
pertama diciptakan sekitar tahun 1904. Ketika pameran di St. Louis. Berawal dari seorang pedagang es krim yang mengajak kerjasama seorang pedagang wafer untuk membuat wafer sebagai tempat es krim (Muzakki 2009). Cone merupakan biskuit yang termasuk kedalam klasifikasi dari wafer. Wafer adalah makanan ringan (snack food) yang memiliki kadar air rendah dengan tekstur renyah terbuat dari campuran tepung, shortening (lemak), gula, air, dan sebagian kecil leavening agent (yeast, soda, ammonium bikarbonat). Wafer dapat dijadikan makanan camilan karena dapat menambah energi.
Sebelum
ditemukan cone, es krim dinikmati dengan gelas kecil atau dibungkus dengan kertas yang disebut “hokey pokey”. Pembeli akan menghabiskan es krim dalam gelas, kemudian mengembalikan gelas tadi ke penjual.
Gelas ini kemudian
dipakai lagi untuk pembeli berikut. Cara ini menimbulkan masalah sanitasi yang serius. Seringkali si penjaja es krim tak punya cukup waktu untuk mencuci gelas bekas pakai tadi akibat antrean pembeli, khususnya di musim panas. Es krim cone juga dikenal sebagai “toot” yang berasal dari kata Italia “tutti” atau “semua.” Artinya, penikmat es krim dipaksa menghabiskan “semuanya,” es krim plus cone-nya (Anonima 2008).
Gambar 2. Cone es krim 2.5 Sagu Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang paling produktif. Tabungan karbohidrat di hutan sagu Indonesia mencapai 5 juta ton pati kering per tahun, setara dengan 3 juta kiloliter bioetanol. Potensi sagu (Metroxylon sagu Rottb.) sebagai sumber bahan pangan dan bahan industri telah disadari sejak tahun 1970-an, namun sampai sekarang pengembangan tanaman sagu di Indonesia
masih jalan di tempat. Sagu merupakan tanaman asli Indonesia (Sumaryono 2007). Kandungan terbesar dalam sagu adalah karbohidrat (88% dari berat kering). Pada suhu yang tinggi, dihasilkan sagu yang tidak baik mutunya, karena terjadi pencoklatan jika dilakukan penyimpanan. Pati sagu banyak dimanfaatkan sebagai ramuan dan untuk berbagai variasi makanan seperti sup, kue, puding dan saos untuk makanan pembuka (Haryanto dan Philipus 1992).
Pati sagu
mengandung amilosa 27%, amilopektin 73%. Perbandingan ini mempengaruhi sifat dan derajat gelatiniasi pati. Semakin besar kandungan amilosa, maka pati akan bersifat kering dan kurang kuat. Suhu gelatinisasi berkisar antara 64,3oC sampai 82,3oC. Karena itu bila pati dipanaskan dengan air panas yang cukup tinggi, maka butiran pati akan menyerap air dan ukurannya membesar (US Wheat Associates 1981).
Pati digunakan di industri makanan untuk berbagai aplikasi
seperti thickener, penstabil koloid, dan gelling agent (Zarguili et al. 2005). Komposisi kimia tepung sagu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi kimia tepung sagu dalam 100 gram bahan. Komponen Kalori (kal) Air (%) Protein (%) Karbohidrat (%) Serat kasar (%) Kalsium (mg) Besi (mg) Lemak, karoten, thiamin, dan vitamin C
Kadar (%) 285 27 0.2 71 0.3 30 0.7 sangat sedikit
Sumber : Elly et al. 1985
2.6 Tepung terigu Terigu adalah tepung/bubuk halus yang berasal dari biji gandum, dan digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mi dan roti. Kata terigu dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Portugis trigo yang berarti gandum. Tepung terigu mengandung banyak zat pati, yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air. Tepung terigu juga mengandung protein dalam bentuk gluten, yang berperan dalam menentukan kekenyalan makanan yang terbuat dari bahan terigu. Menurut Matz (1978), tepung merupakan komponen pembentuk struktur dan
pengikat serta membentuk cita rasa. Tingginya kandungan protein dari tepung yang digunakan akan menyebabkan tekstur yang keras dan penampakan yang kasar. Tepung terigu yang secara umum dapat dibagi 3 yaitu (Rustandi 2009): 1.
Tepung jenis hard (kandungan protein 12 % - 14 %)
2.
Tepung jenis medium (kandungan protein 10,5 % - 11,5 %)
3.
Tepung jenis soft (kandungan protein 8 % - 9 %) Ketiga jenis tepung yang ada dibedakan atas kandungan protein yang
dimiliki oleh tepung terigu, dimana protein disini juga menentukan kandungan gluten yang ada pada tepung terigu, dan hanya tepung terigu yang memiliki gluten. Kualitas protein serta gluten ditentukan oleh kualitas jenis gandum yang diimpor serta varitasnya, akan sangat mempengaruhi kualitas tepung terigu. Yang dimaksudkan dengan gluten adalah suatu zat yang ada pada tepung terigu yang bersifat kenyal dan elastis, semakin tinggi kualitas proteinnya maka semakin bagus kualitas glutennya, semakin rendah proteinnya maka semakin sedikit glutennya (Rustandi 2009).
2.7 Lesitin Emulsifier adalah senyawa yang membentuk pembentukan emulsi dan menstabilkan emulsi. Senyawa pengemulsi ini penting dalam pembuatan biskuit, karena memperbaiki bentuk adonan sehingga memudahkan penanganan dan dihasilkan tekstur biskuit yang renyah. Menurut Matz (1978), lesitin dalam adonan biskuit dapat menambah efek shortening dari lemak, dan akan meningkatkan kecenderungan lemak menutupi atau menyebar di antara sejumlah kecil partikel gula yang basah, tepung dan sebagainya yang jika tidak akan menolak adanya lemak. Dengan adanya efek emulsifikasi lesitin membuat adonan yang manis terlihat lebih kering. Selain itu lesitin juga akan mempercepat dispersi lemak dan meratakan komponenkomponen dalam adonan, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengadonan dapat diperpendek. Lesitin memiliki rasio pemisahan fase yang kecil dan paling mudah didispersikan kembali (Nasrul et al. 2007). Lesitin (phospatidil kolin) dengan komponen utamanya kolin, adalah zat gizi penting yang ditemukan secara luas pada berbagai pangan dan tersedia
sebagai suplemen.
Kolin telah lama dikenal sebagai zat gizi esensial bagi
sejumlah spesies hewan dan akhir-akhir ini terbukti esensial juga pada manusia. Lesitin secara komersil bisa diperoleh dengan kemurnian tinggi untuk aditif pangan dan tujuan medis (Hartoyo 2007). Lesitin
sayuran
mengandung
fosfatidilkolin,
fosfatidiletanolamin,
fosfatidilserin, fosfatidilinositol yang diperoleh dari minyak biji seperti kacang kedelai, dan daging buah bunga matahari (Nieuwenhuyzen dan Mabel 2008). Lesitin dan phospolipid lain mengandung komponen hidrofobik dan hidrofilik yang digunakan sebagai sifat fungsional dalam pengolahan pangan. Lesitin dapat digunakan sebagai emulsifier, fat replacer, mixing/blending aid, release agent. Sebagai food ingredient, lesitin termasuk GRAS (Generally Recognized as Safe).
Lesitin banyak digunakan untuk produk baking, keju,
chewing gum, coklat, frosting, infant formula, margarin, susu bubuk, non dairy cream, salad dressing dan sebagainya. Lesitin komersial yang digunakan dalam suplemen gizi umumnya merupakan campuran phospatidil kolin dan phospolipid lain yang diekstrak dari kedelai. Lesitin dan kolin dapat ditemukan pada berbagai bahan pangan, biasanya bahan pangan yang kaya lesitin atau kolin juga kaya akan kolesterol dan lemaknya tinggi seperti telur, daging, organ/jeroan. Sedangkan pada buah, sayur dan padi-padian relatif kecil jumlahnya (Hartoyo 2007).
2.8 Soda kue Soda kue adalah salah satu zat buffer yang banyak terdapat di Indonesia dengan harga yang relatif murah, nama lainnya adalah sodium bikarbonat. Bahan ini terdiri dari NaHCO3 dan tepung. Ada dua macam soda kue berdasarkan kecepatan kelarutannya dalam air, yaitu soda kue dengan aktivitas cepat (aktivitas tinggi) dan soda kue dengan aktivitas lambat (aktivitas ganda). Perbedaan antara keduanya adalah pada mudah tidaknya komponen asam atau pembentuk asam larut dalam air dingin (Winarno 2000). Soda kue adalah bahan pengaerasi yang terbuat dari campuran zat pereaksi asam dengan natrium karbonat (Na2CO3) dengan atau tanpa penambahan pati (pengisi). Bahan pengaerasi yang baik untuk kue adalah ammonium karbonat, yang mudah terurai menjadi NH3 dan CO2 serta tidak meninggalkan padatan.
Fungsi bahan pengaerasi adalah untuk membuat adonan menjadi ringan dan porous.
2.9 Garam dapur (NaCl) Garam dipergunakan manusia sebagai salah satu metode pengawetan pangan yang pertama dan masih dipergunakan secara luas untuk mengawetkan berbagai macam makanan. Penggunaan garam dianjurkan tidak terlalu banyak karena akan menyebabkan terjadinya penggumpalan/salting out dan rasa produk menjadi asin (Buckle et al. 1985). Menurut Kaplan (1971), peranan garam dalam pembuatan kue adalah untuk menguatkan flavor dan menambah struktur. Matz (1978) menyebutkan bahwa sebagian besar formula kue menggunakan satu persen garam atau kurang.
2.10 Air Air merupakan komponen yang tidak kalah pentingnya dalam pembuatan adonan karena fungsinya sebagai pelarut bahan-bahan dan pembentuk tekstur produk.
Di samping sebagai pelarut, air juga berfungsi sebagai pembentuk
gluten dan gelatin pada tahap pengolahan dengan panas. Air sangat berpengaruh pada kepadatan adonan. Air juga dapat mengembangkan protein dalam tepung yang bertindak menahan gas dari baking powder (US Wheat Associates 1981). Air memungkinkan terbentuknya gluten terigu yang proteinnya dalam bentuk glutenin dan gliadin, jika ditambahkan air maka akan membentuk gluten. Air juga berperan mengontrol suhu adonan, pemanasan atau pendinginan adonan. Air dalam adonan melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan secara seragam. Air membasahi serta mengembangkan pati sehingga dapat dicerna dan memungkinkan terjadinya kegiatan enzim. Air digunakan sebagai median dan katalis reaksi yang terjadi dalam adonan.
Perbedaan berat jenis air dan lemak menyebabkan dalam adonan
keduanya tidak bias berbaur.
Oleh karena itu diperlukan emulsifier yang
berfungsi menjaga agar butiran lemak tetap tersuspensi di dalam air (Winarno 1997).
2.11 Kalsium Kalsium merupakan unsur kelima dan kation terbanyak di dalam tubuh, yaitu 1,5-2% dari seluruh tubuh. Lebih dari 99% kalsium terdapat di dalam tulang rawan dan gigi, sisanya di dalam cairan tubuh dan jaringan lunak. Di dalam tulang perbandingan antara kalsium dan fosfor hampir selalu tetap yaitu 2 : 1. Tulang tidak saja berfungsi sebagai komponen struktur ataupun komponen penunjang tubuh tetapi merupakan jaringan fisiologis utama bagi pengadaan kalsium untuk control homeostatik (Nasoetion et al. 1995). Tulang merupakan salah satu jenis limbah industri pengolahan patin yang banyak mengandung kalsium, terutama tulang patin mengandung kalsium sebesar 25,5% berdasarkan berat total abu. Kalsium merupakan unsur terbanyak kelima dan kation terbanyak di dalam tubuh manusia, terdapat dalam jumlah 1,5-2% dari keseluruhan berat tubuh. Lebih dari 99 % kalsium terdapat dalam tulang (Karyadi 1988). Kalsium tersebar luas di dalam tubuh, di dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler kalsium memegang peranan penting dalam mengatur fungsi sel, seperti transmisis saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, dan menjaga permeabilitas membran sel. Kalsium mengatur pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan (Almatsier 2001). Suplemen kalsium dari tepung tulang ikan banyak digunakan dalam bahan pangan. Pada pembuatan spaghetti, hamburger, curry, dan stew digunakan 0,5 gr tepung tulang sebagai aditif. Tabel 2. Daftar kebutuhan kalsium (mg/hari) Golongan Kebutuhan Umur C(mg)/hari 1 1-9 500 10-15 700 2 16-19 600 Pria 20-45 500 46-59 800 ≥60 500 3 Wanita 20-45 500 46-59 600 ≥60 500 400 Hamil 4 400 Menyusui Sumber : Soekarti dan Kartono (2004) No
Kalsium pada tubuh paling banyak terdapat pada tulang dengan jumlah lebih dari 99%. Kebutuhan tubuh akan kalsium dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung kalsium (Karyadi dan Muhilal 1996). Kebutuhan kalsium setiap orang berbeda-beda. Kalsium dibutuhkan untuk orang yang hidup di daerah tropis agar dapat mempertahankan status kalsiumnya dengan hanya mengkonsumsi 200-400 mg perkapita perhari. Hal ini disebabkan oleh adanya sinar matahari yang dapat membantu pembentukan vitamin D yang selanjutnya membantu meningkatkan metabolisme kalsium.
Di Amerika
kebutuhan kalsium bagi orang dewasa adalah 800 mg perkapita perhari. Konsumsi kalsium hendaknya tidak melebihi 2500 mg sehari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal (Almatsier 2001). Defisiensi kalsium dapat menyebabkan pertumbuhan tulang dan gigi buruk, koagulasi darah terhambat, kehilangan denyut usus, peradangan mukosa serta hypertrofi kelenjar paratinoid. Penyebab hal ini adalah pemasukan dan ketersedian makanan yang rendah, ketidakseimbangan hormon paratinoid, serta akibat gangguan penyerapan yang kronis. Kadar fosfor yang berlebihan akan menghambat ketersediaan kalsium.
Keadaan ini dapat menjadi salah satu
penyebab defisiensi kalsium. Kekurangan kalsium dapat meningkatkan resiko osteoporosis pada orang dewasa yaitu gangguan yang menyebabkan penerunan secara bertahap jumlah dan kekuatan jaringan tulang. Penurunan itu disebabkan oleh terjadinya demineralisasi yaitu tubuh yang kurang kalsium akan mengambil simpanan kalsium yang ada pada tulang dan gigi (Soekarti dan Martono 2004). Perhatian pada pencegahan terhadap osteoporosis yaitu dengan cara fortifikasi makanan terutama di negara United States dan Canada (Louise et al. 2003). Pada masa pertumbuhan, kekurangan kalsium dapat menyebabkan pengurangan pada masa dan kekerasan tulang yang sedang dibentuk. Sebagian besar bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan kadar kalsiumnya rendah, kecuali tepung alfalfa. Jadi, tepung ikan, tetelan daging dan tulang, tepung tulang, pelengkap kalsium fosfat dan kulit kerang merupakan bahan makanan utama yang dapat pula menyediakan kalsium untuk hewan ternak (Anggorodi 1985)
Kebanyakan kalsium dalam bahan nabati tidak dapat digunakan dengan baik karena berikatan dengan oksalat yang dapat membentuk garam yang tidak larut dengan air (Linder 1992). Kalsium yang dapat diserap oleh tubuh adalah yang terdapat dalam bentuk senyawa kalsium klorida, kalsium glukonat, dan kalsium karbonat. Kalsium fosfat merupakan sumber mineral yang memiliki nilai biologis yang sangat baik sebagai sumber kalsium dan fosfor. Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau tri-kalsium fosfat (Lovell 1989).
Bentuk
kompleks ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar 60-70%. Ekstraksi kalsium dari tulang ikan dapat dilakukan dengan menggunakan metode yang telah dilakukan di Jepang. Tulang ikan yang sudah dibersihkan dan sisa-sisa daging yang melekat kemudian dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil kemudian dicuci. Deproteinasi dilakukan dengan menggunakan alkali lemah. Setelah itu tulang dicuci dan disterilisasi, dikeringkan dan ditepungkan secara mekanik.