KARAKTERISTIK MINYAK IKAN DARI LIMBAH PENGOLAHAN FILET IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus) DAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal)
EMA HASTARINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Patin Jambal (Pangasius djambal) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012
Ema Hastarini F 261070081
ABSTRACT EMA HASTARINI. Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Patin Jambal (Pangasius djambal). Under the direction of DEDI FARDIAZ, HARI EKO IRIANTO and SLAMET BUDIJANTO.
Patin (Pangasius sp) which is the common name is catfish, has been wellknown as a highly economic freshwater fish in Indonesia. Its high lipid content considered as source of unsaturated fatty acids including omega-3 which brings advantages for human health. This research project aims to obtain physicochemical characteristics of the purified oil derived from the waste of Siam (Pangasius hypothalamus) and Jambal (Pangasius djambal) catfish fillet production, particularly on its fatty acids and glycerides profile. The project had been done in stages including raw material (waste from catfish fillet processing) characterization, oil extraction, oil purification, and purified oil characterization. Fish oil extraction is conducted by using a modified wet rendering method. During the catfish fillet processing, besides of getting the flesh-fillet as the main product, it remains also the other parts of fish (waste) that can be classified into 6 components i.e. head, spin-fin, skin, belly flap, trimmed flesh, and viscera. The head, belly flap, and viscera are considered to be the potential parts using for raw material in fish oil production that could yield the crude oil of 9.84%, 28.52%, and 20.34%, respectively derived from Siam, while 9,54%, 25,60% dan 30,05% derived from Jambal catfish. Fatty acids profile derived from both Siam and Jambal catfish showed that the palmitic and oleic acids are the major components. The percentage of long chain unsaturated fatty acid showed a higher amount of the total lipid, that were 53.24%, 54.38%, 52.74% respectively derived from head, belly flap, and viscera of Siam, and 62.70%, 62.92%, 61.97% derived from Jambal catfish. Even though only in small amount, Omega-3 fatty acids i.e. linoleic, EPA and DHA were detected in this experiment from both species. The typical result of FTIR spectrum profile were obtained. Nevertheless, in the range of 3050 – 2800 cm-1 representing the unsaturated fatty acids, FTIR absorbance on Jambal catfish showed a bigger and more sharply spectrum. Glycerides profile resulted 19 types of TAG in both spesies. According to the standard, 11 types of TGA were identified, which are OLO, PLO, PLP, OOO, POO, POP, PPP, SOO, POS, PPS and LaPP/MMP, respectively based on ECN and retention time. Hydrolysis using lipase enzyme from mold Thermomyces lanuginosa could specifically hydrolyze the position of sn-1 and sn-3 of TAG into DAG and MAG. DSC results demonstrated the 3 zones of melting point of Siam catfish oil, i.e range of (-30) – (-16) C, range of (-16) – 25 C, and range of 25 – 46 C. While in Jambal catfish oil, it was earlier detected, i.e. at -34 C at the range up to 40 C. Key words : Pangasius hypopthalmus, Pangasius djambal, extraction, fish oil, fatty acids profile, glycerides profile.
RINGKASAN EMA HASTARINI. Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Patin Jambal (Pangasius djambal) dibawah bimbingan DEDI FARDIAZ, HARI EKO IRIANTO dan SLAMET BUDIJANTO. Ikan Patin memiliki kandungan lemak yang tinggi dan merupakan sumber asam lemak tidak jenuh termasuk asam lemak omega 3 yang memiliki fungsi positif bagi kesehatan manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan ekstraksi, memurnikan dan mengkarakterisasi minyak ikan dari limbah pengolahan fillet ikan patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Jambal (Pangasius djambal) terutama mengenai profil asam lemak dan profil gliserida pada minyak ikan patin. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang meliputi karakterisasi bahan baku limbah filet ikan patin, ekstraksi minyak ikan, pemurnian minyak ikan dan karakterisasi minyak ikan murni. Ekstraksi minyak ikan yang digunakan menggunakan metode wet rendering (Sathivel et al. 2008 yang dimodifikasi). Tahap pemurnian minyak yang dilakukan adalah proses pemucatan yang dikombinasikan dengan pemanasan dan pengadukan. Setelah melalui tahap pemurnian, minyak ikan patin murni yang didapatkan kemudian disimpan didalam botol gelap dan disimpan pada suhu -18 ºC hingga dianalisa. Pada proses pengolahan filet ikan patin, selain daging filet sebagai hasil utama, didapatkan bagian tubuh lainnya sebagai sisa ataupun limbah sebanyak enam (6) bagian. Keenam bagian limbah tersebut meliputi kepala, tulang-ekor (bagian tulang badan yang bersambungan dengan ekor), kulit, daging belly flap (daging pada bagian perut), daging sisa trimming (daging sisa perapian filet) dan isi perut. Kadar lemak bagian – bagian tubuh ikan patin berkisar antara 2.72% hingga 35.32%. Bagian yang terendah kadar lemaknya adalah daging fillet skinless yaitu 2.72% untuk ikan patin Siam dan 2.89% untuk Jambal dan bagian yang tertinggi yaitu daging belly flap sebesar 36.21% untuk patin Siam dan 36.50% untuk patin Jambal. Bagian limbah yang didapatkan digunakan sebagai bahan baku kemudian diekstraksi minyaknya menggunakan metode wet rendering yang dimodifikasi. Bagian kepala, daging belly flap dan isi perut merupakan bagian yang potensial digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak ikan dengan rendemen minyak ikan kasar yang dihasilkan berturut – turut sebesar 9,84%, 28,52% dan 20,34% untuk ikan patin Siam dan 9,54%, 25,60% dan 30,05% untuk ikan patin Jambal. Profil asam lemak minyak limbah ikan patin baik jenis Siam maupun Jambal menunjukkan bahwa asam lemak dominan adalah asam palmitat dan oleat. Persentase kelompok asam lemak tak jenuh rantai panjang memiliki jumlah yang lebih tinggi secara total keseluruhan yaitu sebesar 53.24%, 54.38%, 52.74%dan 62.70%, 62.92%, 61.97% berturut – turut untuk ikan patin jenis Siam dan Jambal bagian kepala, daging belly flap dan isi perut. Asam lemak omega 3 yaitu linolenat, EPA dan DHA terdeteksi pada penelitian ini baik minyak ikan dari limbah ikan Patin jenis Siam maupun Jambal. Kandungan asam lemak omega 3 minyak ikan dari limbah pengolahan filet ikan patin Siam lebih rendah dibandingkan dengan dari ikan patin Jambal yaitu 53.24%, 54.38%, 52.74%dan 3.35%, 3.15%, 2.95% berturut – turut untuk ikan patin jenis Siam dan Jambal bagian kepala, daging belly flap dan isi perut.
Hasil analisa angka asam lemak bebas yang menyatakan kerusakan awal minyak terdeteksi sangat rendah pada minyak ikan patin baik Siam maupun Jambal pada semua perlakuan yaitu berkisar antara 0.22 – 0.84%. Hal ini menunjukkan bahwa minyak ikan patin yang dihasilkan masih memiliki mutu yang bagus. Berkaitan pula dengan masih rendahnya angka peroksida yang didapatkan yang menunjukkan nilai maksimal sebesar 3.93 meq/kg untuk minyak ikan patin Siam pada bagian isi perut dan 7.77 meq/kg untuk minyak ikan patin Jambal juga pada bagian isi perut. Berdasarkan standar minyak ikan yang ditetapkan International Association of Fish Meal Manufacturers untuk angka peroksida sebesar 3-20 meq/kg dan kadar asam lemak bebas dibawah 7% sehingga minyak ikan patin murni yang dihasilkan masih masuk dalam standar minyak ikan yang ditetapkan. Angka iod dari minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam pada semua perlakuan dikarenakan kandungan asam lemak tidak jenuh dari minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan minyak ikan patin Siam. Profil spektra FTIR minyak ikan patin Siam dan yang berasal dari minyak ikan patin Jambal, khususnya pada wilayah 3050 – 2800 cm-1 penyerapan FTIR pada minyak ikan patin Jambal lebih besar dan tajam. Spektra pada wilayah tersebut menggambarkan adanya kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak ikan patin Siam maupun Jambal. Sistem NARP-HPLC dalam penelitian ini menggunakan HPLC fase terbalik (reversed-phase) dengan kolom C-18, panjang 25 cm dan diameter 4.6 mm, dengan fase bergerak campuran aseton-asetonitril (85:15) dengan kecepatan elusi 0.8 ml per menit dan detektor RID, beberapa jenis TGA dalam minyak ikan patin Siam dan Jambal dapat dipisahkan dengan baik. Profil gliserida menghasilkan 19 jenis TAG baik pada minyak ikan limbah patin Siam maupun Jambal. Berdasarkan standar, dapat diidentifikasi sebanyak 11 jenis TGA, berturut-turut menurut ECN dan waktu retensinya adalah OLO, PLO, PLP, OOO, POO, POP, PPP, SOO, POS, PPS dan LaPP/MMP. Hidrolisis menggunakan enzim lipase yang diperoleh dari kapang Thermomyces lanuginosa mampu menghidrolisis secara spesifik posisi sn-1 dan sn-3 dari TAG menjadi DAG dan MAG. Pola hidrolisis yang terjadi hampir sama di antara minyak ikan patin Siam dan Jambal, namun setelah hidrolisis 48 jam, pada minyak ikan patin Jambal masih tersisa sejumlah kecil OLO, PLO, POO dan POP. Hasil Analisa DSC menunjukkan bahwa terdapat tiga zona titik pencairan minyak pada patin Siam yaitu – 30 sampai – 16 oC, kisaran suhu – 16 sampai 25 o C, dan kisaran suhu 15 sampai 46 oC. Sedangkan pada patin Jambal, titik cair terdeteksi lebih awal yaitu pada suhu -34 oC dengan kisaran suhu sampai dengan 40 oC. Kata kunci : Pangasius hypopthalmus, Pangasius djambal, ekstraksi, minyak ikan, profil asam lemak, profil gliserida
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK MINYAK IKAN DARI LIMBAH PENGOLAHAN FILET IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus) DAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal)
EMA HASTARINI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :
Dr. Nancy Dewi Yuliana, MSc Dr. Wini Trilaksani, MSc
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:
Prof. Dr. Rosmawaty Peranginangin, MS Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc
Judul Disertasi
:
Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Patin Jambal (Pangasius djambal)
Nama
:
Ema Hastarini
NRP
:
F 261070081
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto, M.Sc
Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr.
Anggota
Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Pangan
Dr. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc Tanggal Ujian : 13 Agustus 2012
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktoral pada Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, MSc selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, arahan, dukungan dan semangat selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan dukungan bagi pelaksanaan penelitian 3. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr selaku anggota komisi pembimbing yang juga telah membimbing dan mengarahkan bagi pelaksanaan penelitian 4. Ibu Dr. Nancy Dewi Yuliana, MSc dan Dr. Wini Trilaksani, MSc selaku penguji luar komisi pada sidang tertutup atas masukan dan sarannya 5. Ibu Dr. Rosmawaty Peranginangin, MS dan bapak Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc selaku penguji luar komisi pada sidang terbuka atas saran, masukkan dan kritikan yang membangun demi sempurnanya karya ilmiah ini 5. Kepala Badan Litbang Kelautan dan Perikanan atas beasiswa yang telah diberikan 6. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Biotek Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP) yang telah memberikan ijin untuk melanjutkan program studi Doktoral 7. Teman – teman dan sahabat – sahabatku.. Yeni, Diah Ayu, Yanti, Devi, Ida, Didi, Wawan, Bakti atas persahabatan yang luar biasa, kebersamaan dan dorongan semangat serta bantuannya selama penelitian berlangsung 8. Kakelti dan rekan-rekan di Kelti Pengolahan Produk, Lab pengolahan dan sensori (pak Sahid, Hasta, Ika dan pak Yayat), Lab. Kimia (Indra dan pak Iim) dan Lab. Bioteknologi (Maya, Asri, Gintung) BBPP4KP atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian. 7. Teman - teman IPN IPB: Mba Rini, Pak Mursalin, Arif, Inneke, bu Elvira, mbak Wulan, pak Rahman atas bantuan, dan kerjasamanya. 8. Ayahanda Suwardi (alm) dan ibunda Wiryatmi, atas kasih sayang, dorongan moril dan materiil, pengorbanan dan kesabarannya dalam mendukung penulis menyelesaikan pendidikan serta ibu mertua yang senantiasa mendoakan penulis demi kelancaran dalam menempuh pendidikan ini. 9. Kakak – kakak tersayang di Jakarta, Semarang dan Yogya serta Makassar yang senantiasa memberikan support tak henti – hentinya dan doa demi keberhasilan penulis menyelesaikan karya ilmiah ini 10. Semua pihak yang telah membantu dalam melaksanakan pendidikan dan penelitian ini semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal. Secara khusus dan terimakasih yang sedalam-dalamnya tak lupa penulis haturkan kepada suami tercinta Gusran Wasirnur dan ananda tersayang Rajendra Gama Khosyirio atas kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, motivasi dan hiburannya dalam menemani penulis menyelesaikan pendidikan ini. Bogor, Juli 2012 Ema Hastarini
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 20 Agustus 1973 dari Ayah Suwardi (alm) dan Ibu Wiryatmi yang merupakan anak kedelapan dari delapan bersaudara. Tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan S-1 pada Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan S-2 ke Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada melalui program beasiswa URGE, Dikti. Penulis melanjutkan studi program Doktoral pada tahun 2007 di Program Studi Ilmu Pangan, Departemen ITP, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui program beasiswa Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak tahun 2002 sampai sekarang sebagai peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan-Balitbang KPKementrian Kelautan Perikanan dan bergabung dengan kelompok peneliti bidang pengolahan produk Kelautan dan Perikanan. Peneliti telah melakukan beberapa penelitian di bidang pengolahan produk
antara lain kandungan asam lemak
omega 3 pada makro dan mikroalga, diversifikasi produk udang dan ikan air tawar, pengembangan teknologi pengolahan filet dan produk – produk berbasis surimi dan saat ini sedang melakukan penelitian dengan topik karakteristik minyak ikan dari limbah pengolahan filet ikan patin. Publikasi penelitian yang terkait penelitian disertasi dengan judul Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Jambal (Pangasius djambal) telah diterima di jurnal Agritech, Universitas Gadjah Mada dan akan diterbitkan pada bulan November 2012.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................................ 1 Tujuan ......................................................................................................... 3 Manfaat ....................................................................................................... 4 Hipotesis ...................................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin (Pangasius sp) ............................................................................ 5 Potensi dan Produksi Ikan Patin (Pangasius sp) ......................................... 7 Teknologi Pengolahan Ikan Patin (Pangasius sp) ...................................... 10 Lemak dan Minyak ..................................................................................... 12 Minyak Ikan .............................................................................................. 13 Pemurnian Minyak Ikan ............................................................................. 14 Karakterisasi Minyak Ikan ......................................................................... 16 Asam Lemak .............................................................................................. 18 Asam Lemak Omega 3 .............................................................................. 20 Komposisi dan Distribusi Asam Lemak pada Trigliserida ........................... 22 Peranan dan Manfaat Nutrisi Lemak berdasarkan Komposisi Asam Lemak ........................................................................... 24 Manfaat Minyak Ikan dalam Bidang Pangan dan Kesehatan ..................... 25 Aplikasi Minyak Ikan pada Produk Pangan ............................................... 27
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat .................................................................................... 28 Bahan ........................................................................................................ 28 Alat
.................................................................................................. 28
METODE ................................................................................................... 28 Tahap I: Karakterisasi Bahan Baku Limbah Fillet Ikan Patin ...................... 29
Tahap II: Ekstraksi Minyak Ikan ................................................................. 30 Tahap III. Pemurnian Minyak Ikan.............................................................. 32 Tahap IV: Karakterisasi Minyak Ikan Patin Murni ....................................... 32 PROSEDUR ANALISIS ............................................................................. 33 Kadar lemak .............................................................................................. 33 Kadar iodine .............................................................................................. 33 Angka Asam ............................................................................................ 34 Bilangan penyabunan ................................................................................ 34 Bilangan Peroksida .................................................................................... 34 Profil asam lemak ..................................................................................... 35 Analisa gugus fungsi……………………………………………………………36 Penentuan Profil Gliserida............................................................................37 Warna............................................................................................................37 Viskositas......................................................................................................38 Titik leleh (Melting Point) dengan alat DSC ................................................ 38 Analisis Data .............................................................................................. 38
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Bahan Baku Ikan Patin ..............................................................39 Proses Pemfiletan Ikan Patin .....................................................................41 Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin ...........................................................43 Kadar Lemak Limbah Ikan Patin ................................................................46 Profil Asam Lemak Minyak Limbah Ikan Patin ...........................................47 Pemurnian Minyak Ikan Patin ....................................................................52 Karakteristik Minyak Ikan Patin ..................................................................53 Karakteristik Kimia Minyak Ikan Patin ........................................................54 Profil Asam Lemak Minyak Ikan Patin ................................................55 Profil Spektra FTIR Minyak Ikan Patin ................................................57 Profil Gliserida Minyak Ikan Patin ........................................................60 Pola Hidrolisis TAG Minyak Ikan Patin ................................................63 Karakteristik Fisik Minyak Ikan Patin ...........................................................65 Warna Minyak Ikan Patin ....................................................................65 Viskositas Minyak Ikan Patin ...............................................................66 Karakteristik Termal Minyak Ikan Patin ......................................................67
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 72 Simpulan.................................................................................................... 72 Saran ......................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 74
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas Utama ........................... 8
2.
Kandungan Lemak, Protein dan Kadar Air bagian-bagian Limbah catfish ......................................................................................................... 12
3.
Profil dan Komposisi Asam Lemak Catfish dari bagian – bagian limbah yang berbeda .................................................................................. 19
4.
Perbandingan Profil Asam Lemak Isi perut Catfish dengan Daging Fillet Beberapa Jenis Ikan Lainnya ............................................................. 20
5.
Jumlah Maksimum Penggunaan Ingredien Pangan Omega pure ............... 26
6.
Bagian – bagian Tubuh Ikan Patin .............................................................. 44
7.
Kadar Lemak Bagian – bagian Tubuh Ikan Patin Siam dan Jambal ............ 47
8.
Profil Asam Lemak dari Bagian – bagian Tubuh Ikan Patin Siam dan Jambal ................................................................................................. 49
9.
Rendemen Minyak Ikan Patin Murni ........................................................... 53
10. Hasil Analisa Kimia Minyak Ikan Patin Murni .............................................. 54 11. Profil Asam Lemak Minyak Ikan Patin Siam dan Jambal Murni ................... 56 12. Korelasi pola FTIR minyak ikan Patin Siam dan Jambal dibandingkan dengan Minyak Ikan MaxEPA (Jun, 2009) ................................................. 59 13. Jenis TAG yang Teridentifikasi...................................................... ............... 62 14. Pola Hidrolisis TAG Minyak Ikan Patin oleh Lipase (Lipozyme TL IM) setelah Hidrolisis selama 12, 18, dan 48 jam pada Inkubasi Suhu 55 oC .......................................................................................................... 64 15. Hasil Analisa Warna Minyak Ikan Patin ....................................................... 65 16. Viskositas Minyak Ikan Patin Murni ............................................................. 67 17. Perbandingan Minyak Ikan Patin dari bagian isi perut berdasarkan nilai viskositas, angka iod dan kandungan asam lemak tidak jenuh ............ 67
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Salah Satu Jenis Ikan Patin (Ikan Patin Siam) .............................................. 5
2.
Peta Sebaran Ikan Patin di Indonesia ........................................................... 9
3.
Persentase Rendemen Ikan Patin (Pangasius sp) ...................................... 11
4.
Trigliserida .................................................................................................. 13
5.
Hasil Analisa Melting Point menggunakan alat DSC dari Catfish Visceral Oil ................................................................................................. 16
6.
Tipikal Termogam DSC untuk (a) Asam Palmitat dan (b) DHA ................... 17
7.
Struktur EPA dan DHA................................................................................ 20
8.
Struktur Trigliserida ..................................................................................... 23
9.
Tahapan Umum Penelitian ......................................................................... 29
10. Diagam alir proses ekstraksi minyak ikan patin ........................................... 31 11. Bahan Baku Ikan Patin (a) Siam (b) Jambal ............................................... 39 12. Proses Pemfiletan Ikan Patin ...................................................................... 42 13. Ektraksi minyak Ikan Patin pada Suhu 70 ºC .............................................. 48 14. Rendemen Minyak Ikan Kasar Ikan Patin Siam dan Ikan Patin Jambal ....... 51 15. Pemurnian Minyak Ikan Patin ..................................................................... 52 16. Profil spektra FTIR minyak Ikan Patin Siam ................................................ 58 17. Profil spectra FTIR minyak Ikan Patin Jambal ............................................ 58 18. Profil TAG utama dalam minyak ikan patin Siam dan Jambal ................... 61 19. Contoh Kromatogram Minyak Ikan Patin Siam setelah Hidrolisis dengan lipase (Lipozyme, TL IM) selama 12 jam pada Suhu 55 oC ............ 63 20. Profil Termogram DSC Minyak Ikan Patin Siam .......................................... 68 21. Profil Termogram DSC Minyak Ikan Patin Jambal ....................................... 70 22. Perbedaan Pola Karakteristik Termal Minyak Bagian Limbah Ikan Patin, yaitu Bagian (A) kepala (B) bagian belly flap, dan (C) isi perut....... .................................................................................................... 71
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian Kepala.................................................................................................80 2. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian Daging Belly Flap.................................................................................81 3. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian isi perut................................................................................................82 4. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Jambal Bagian Kepala................................................................................................83 5. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian Daging Belly Flap...............................................................................84 6. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian Isi Perut..............................................................................................85 7. Analisa Statistik Kadar Lemak Ikan patin Siam dan Jambal..........................86 8. Analisa Statistik Rendemen Minyak Murni dan Hasil Analisa Kimia Minyak Ikan Patin Siam dan Jambal...................................................89
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan patin termasuk komoditas ikan yang banyak diminati dan produksinya mengalami peningkatan secara signifikan selama beberapa tahun terakhir, yaitu pada tahun 2004 produksinya adalah sebesar 23.962 ton dan meningkat menjadi 51.000 ton pada tahun 2008 kemudian pada tahun 2010 produksi budidaya ikan patin mencapai 147.888 ton (Pusdatin KKP 2011). Produksi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun ini menjadikan ikan patin sebagai produk hasil perikanan yang potensial untuk dikembangkan. Di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan ikan patin lokal (Pangasius sp). Salah satu jenis varietas ikan patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan adalah ikan patin jambal (Pangasius djambal) (Djarijah 2001). Ikan Patin adalah salah satu ikan air tawar yang sangat populer dikonsumsi di seluruh dunia. Negara-negara besar seperti Amerika, Inggis, dan Prancis memerlukan 500 ton ikan patin sebagai bahan makanan sehari-hari. Di negara tersebut, patin biasanya diolah menjadi makanan yang cukup digemari masyarakat setempat karena dagingnya yang putih dan gurih. Selama ini untuk memenuhi permintaan ekspor di dunia hanya dipenuhi dari pasokan produksi budidaya ikan patin di Vietnam yang memasoknya dalam bentuk filet. Setiap tahun Vietnam memproduksi 1 juta ton ikan patin dengan kemampuan memasok pasar dunia 250.000 ton diantaranya ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Permintaan pasar Eropa terus meningkat sampai saat ini (Pusdatin KKP, 2011). Ikan Patin memiliki kandungan lemak yang tinggi dan merupakan sumber asam lemak tidak jenuh yang sangat baik, termasuk asam lemak omega 3 yang memiliki fungsi positif bagi kesehatan manusia. Asam lemak omega-3 seperti asam eikosa pentaenoat (C20:5) dan asam dokosa heksaenoat (C22:6) umumnya terdapat dalam minyak atau lemak ikan. Keuntungan mengkonsumsi asam lemak omega-3 adalah adanya tendensi dapat menurunkan kadar kolesterol dan lemak dalam darah sehingga tidak terjadi penimbunan pada dinding pembuluh darah (Pak 2005). Ikan Patin di Indonesia sebagian besar dijual dalam bentuk produk filet segar ataupun beku selain dijual sebagai ikan utuh. Rendemen daging ikan pada
2
proses pengolahan filet umumnya mencapai sekitar 45%, sedangkan bagian lainnya termasuk isi perut, lemak abdomen, tulang, kulit dan hasil pengeratan atau trimming sebesar 55% belum dimanfaatkan secara optimal (Sathivel et al. 2002). Pada umumnya yang dikonsumsi adalah bagian daging ikan patin, tetapi sesungguhnya keseluruhan tubuh ikan termasuk isi perut dapat dimanfaatkan untuk industri manufaktur pembuatan produk pasta atau ekstraksi minyak ikan untuk meningkatkan nilai tambah produk. Proses pengolahan ikan umumnya menghasilkan limbah hingga lebih dari 50% dari keseluruhan berat ikan yang diolah. Limbah dari proses pengolahan ikan biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan pakan ikan, selain minyak (Zuta et al. 2003). Pada pengolahan ikan patin ada juga bagian-bagian yang umumnya terbuang seperti timbunan lemak abdomen yang terdapat di bagian perut patin serta organ dalam tubuh ikan seperti hati, saluran pencernaan, insang dan telur. Bagian-bagian yang terbuang tersebut hanya digunakan untuk bahan pembuatan pakan ikan, sehingga masih diperlukan pengembangan pemanfaatan isi perut ikan patin termasuk didalamnya lemak abdomen untuk meningkatkan nilai tambah produk. Menurut Hwang et al. (2004), isi perut ikan lele termasuk didalamnya seperti saluran pencernaan, hati, empedu dan deposit lemak pada abdomen lemak merupakan sumber lemak yang potensial untuk dikembangkan dengan kandungan omega 3 yang tinggi. Kandungan lemak dan komposisi asam lemak dari ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya (1) lingkungan tempat hidupnya (2) spesies (3) jaringan tubuh (4) makanan (Hadiwiyoto 1993). Umumnya lemak disimpan di dalam tubuh ikan untuk keperluan saat migrasi yang lama dan untuk membangun kelenjar- kelenjar tertentu. Sebagai contoh ikan hiu mengandung minyak hati sampai 80% dari lemak total dalam bentuk squalene. Deposit lemak pada ikan patin cenderung disimpan di bagian perut (abdomen) dengan berat sekitar 7% dari berat total tubuh ikan. Depot lemak sendiri umumnya ditemukan di sepanjang struktur daging ikan dengan kandungan yang bervariasi antar species (Ratna 1998). Beberapa penelitian sebelumnya seperti Hwang et al. (2004) melaporkan bahwa isi perut ikan lele mengandung lebih banyak lemak dan asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA) dibandingkan dengan dagingnya. Sathivel et al. (2002) menganalisa komposisi asam lemak minyak kasar yang diekstraksi dari isi perut ikan lele dengan berat sekitar 14% dari berat tubuhnya. Hasil ekstraksinya
3
menunjukkan bahwa total asam lemak tidak jenuh dari minyak isi perut ikan lele sekitar 26.13% sedangkan dari daging filetnya sekitar 25.93%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bagian tubuh yang berbeda akan memberikan karakteristik yang berbeda pula ditinjau dari profil dan komposisi asam lemaknya. Hasil-hasil penelitian di atas menjadi dasar bagi penelitian ini dimana bagian-bagian limbah yang didapatkan dari proses pengolahan filet ikan patin dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Limbah ikan patin yang didapatkan dari proses pengolahan filet selama ini dimanfaatkan hanya untuk bahan baku pakan ikan, yaitu bagian kepala, tulang, dan kulit. Harga jual limbah patin itu berkisar Rp 1.000 per kg. Harga yang sangat rendah untuk limbah ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemanfaatan limbah ikan patin menjadi produk yang dapat dimakan dan memiliki kandungan nutrisi yang tinggi. Dengan menerapkan teknologi pangan yang kita miliki, peluang tersebut dapat dimanfaatkan, tidak hanya ikan diolah dalam bentuk filet tetapi juga dalam bentuk produk olahan ikan patin lainnya. Demikian pula limbah yang selama ini terbuang seperti kepala, kulit, tulang dan isi perut yang sebenarnya masih banyak mengandung protein dan lemak, diharapkan bisa menghasilkan produk yang bernilai tambah dari limbah tersebut untuk meningkatkan pendapatan. Limbah ikan patin akan diekstrak menjadi minyak ikan patin dan diproses lebih lanjut untuk kemudian dikarakterisasi sebagai dasar bagi pengembangan produk pangan maupun ingredien pangan. Penelitian profil dan komposisi asam lemak dari beberapa limbah ikan telah banyak dilakukan (Sathivel et al. 2002; Hwang et al. 2004), namun untuk jenis – jenis ikan patin yang ada di Indonesia belum dilakukan, baik untuk ikan patin jenis Siam maupun jenis Jambal yang merupakan dua jenis ikan patin terbanyak dikonsumsi di Indonesia. Penelitian mengenai profil gliserida dari minyak limbah ikan patin juga belum dilakukan hingga saat ini. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data karakteristik fisiko-kimia minyak yang telah dimurnikan dari minyak hasil ekstraksi limbah pengolahan filet ikan patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan patin Jambal (Pangasius djambal).
4
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai karakteristik minyak yang diperoleh dari limbah hasil pengolahan filet ikan patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan patin Jambal (Pangasius djambal) sebagai dasar pengembangannya menjadi produk ingredien pangan.
Hipotesis
Minyak ikan yang diekstrak dari dua jenis ikan patin (patin Siam dan patin Jambal) dan bagian limbah yang berbeda akan memberikan karakteristik fisikokimia yang berbeda
5
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Patin (Pangasius sp) Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru – biruan. Kepala ikan relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan catfish. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut pendek yang berfungsi sebagai alat peraba (Susanto dan Amri 1998).
Gambar 1 Salah Satu Jenis Ikan Patin (Ikan Patin Siam)
Menurut Saanin (1984) klasifikasi dan identifikasi ikan patin adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Sub Ordo
: Siluroidea
Famili
: Pangasidae
Genus
: Pangasius
Species
: Pangasius pangasius
Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang cukup dikenal di Indonesia, serta memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Ikan patin banyak
6
dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk olahan baik segar maupun asap. Produk olahan ikan patin segar pada umumnya adalah pempek, nugget, bakso, otak – otak dan produk olahan perikanan lainnya. Daging ikan patin memiliki kandungan kalori dan protein yang cukup tinggi, rasa dagingnya khas, enak dan gurih. Ikan patin dinilai lebih aman untuk kesehatan karena kadar kolesterolnya rendah dibandingkan dengan daging ternak. Protein daging ikan patin cukup tinggi yaitu 16.58%. Dalam bahasa Inggris catfish populer sebagai ikan lele atau ikan patin alias ikan kucing lantaran mempunyai "kumis". Jenis-jenis ikan patin menurut Khairuman dan Sudenda (2002) antara lain:
1. Patin lokal dengan nama ilmiah Pangasius spp. Salah satu jenis populer yang berpeluang menjadi komoditas ekspor adalah patin jambal (Pangasius djambal Bleeker) yang hidup di sungai-sungai besar di Indonesia. Jenis lain adalah patin kunyit yang hidup di sungai-sungai besar di Riau. 2. Pangasius polyuranodo (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan rios, riu, lancang), Pangasius micronemus (wakal, rius caring), Pangasius nasutus (pedado) dan Pangasius nieuwenbuissii (ikan lawang) yang penyebarannya hanya di Kalimantan Timur. 3. Pangasius bocourti yang terdapat di perairan umum di Vietnam dan merupakan komoditas ekspor ke Amerika Serikat, Eropa dan beberapa negara Asia. 4. Patin siam dengan nama latin Pangasius hypopthalmus adalah patin bangkok atau lele bangkok karena asalnya dari Bangkok (Thailand)
Ikan patin (pangasius pangasius) masih memiliki hubungan kekerabatan dengan ikan patin siam (Pangasius sutchi) yang berkembang dan tersebar di kawasan Asia Tenggara. Dalam klasifikasi biologi, ikan patin termasuk Ordo Ostariophysi, Familia Pangasidae dan Genus Pangasius (Djarijah 2001). Ikan Patin jambal (Pangasius djambal) termasuk kedalam kelompok Ikan lele yang berukuran besar, dimana kelompok Pangasius ini terdiri dari 19 species yang tersebar mulai dari daratan India, Indocina, Burma, Malaysia dan Indonesia (Khairuman dan Sudenda 2002). Di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan ikan patin lokal (Pangasius sp). Salah satu jenis varietas ikan
7
patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan adalah ikan patin jambal (Pangasius djambal) (Djarijah 2001). Patin jambal adalah salah satu dari kelompok pangasius yang banyak terdapat di sungai, danau dan perairan umum lainnya di Indonesia dan banyak di jumpai di daerah Jambi, Riau dan Kalimantan. Dari hasil evaluasi di lapangan menunjukan bahwa ikan ini mempunyai karakter yang menguntungkan untuk budidaya dan bisa mencapai ukuran yang lebih besar dari 20 kg bobot badan namun ketersediannya masih bergantung dari hasil tangkapan di alam. Dengan keberhasilan Balai Budidaya Air Tawar Jambi dalam produksi massal benihnya sejak 2002, maka terbuka peluang usaha pembesarannya. Sehingga budidaya patin jambal dapat dijadikan arternatif komoditi air tawar untuk di masa mendatang. Ikan patin merupakan salah satu komoditi ikan air tawar yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan serta memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin (Pangasius sp) ini mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Beberapa keunggulan ikan patin seperti tempat pemeliharaan tidak memerlukan air yang mengalir dan hanya dalam waktu pemeliharaan 6 bulan dapat mencapai panjang 35 – 40 cm (Djarijah 2001). Potensi dan Produksi Ikan Patin (Pangasius sp) Menurut Thuy (2002) Ikan patin merupakan komoditi perikanan budidaya terbesar di sungai Mekong, Vietnam. Dimana ikan patin memiliki nama pasaran “pangasius‟. Produk ikan patin di Vietnam dikenal dengan nama “Tra” untuk ikan patin jenis Pangasius hypopthalmus dan “Basa” untuk ikan patin jenis Pangasius bocourti. Pada awalnya ikan patin jenis Pangasius bocourti yang dipasarkan terlebih dahulu, dengan daging berwarna putih dan kandungan lemak yang lebih tinggi. Namun seiring dengan perkembangan waktu, ikan patin jenis Pangasius hypopthalmus mulai dibudidayakan lebih intensif karena membutuhkan waktu budidaya
yang
lebih
pendek
dibandingkan
jenis
Pangasius
bocourti.
Perkembangan dari juvenil hingga ukuran panen untuk jenis Pangasius hypopthalmus hanya memerlukan waktu sekitar 6 bulan. Ikan jenis ini pun lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang oksigen. Hingga kini kebutuhan ikan patin dalam negeri belum terpenuhi. Produksi ikan patin pada tahun 2004 mencapai 23.962 ton menjadi 51.000 ton pada tahun 2008. Impor patin setiap tahun rata – rata 1000 ton. Setiap tahun Vietnam
8
memproduksi 1 juta ton ikan patin dengan kemampuan memasok pasar dunia 250.000 ton diantaranya ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Permintaan pasar Eropa terus meningkat. Saat ini sekitar 25 persen pangsa pasar di Eropa membutuhkan ikan patin (Pusdatin KKP 2011). Semangat mengembangkan budidaya ikan patin di tanah air terganjal lemahnya daya saing. Hal ini terjadi akibat harga pakan ikan yang mahal karena sebagian masih impor sehingga harga filet yang dihasilkan menjadi tinggi. Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan ikan dalam negeri dan luar negeri, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama 5 (lima) tahun terakhir terus mendorong pengembangan usaha budidaya ikan karena kegiatan penangkapan ikan harus dikendalikan, karena banyak kawasan laut yang dalam kondisi lebih tangkap. Dalam rangka mendukung pengembangan budidaya ikan, KKP
telah
menerapkan
kebijakan
Pengembangan
Kawasan
Komoditas
Unggulan. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk memacu budidaya ikan 10 (sepuluh) komoditas unggulan termasuk didalamnya ikan patin (Ferinaldy 2009). Data produksi ikan patin tampak pada Tabel 1, dimana pada tahun 2005 sebesar 32.575 ton kemudian meningkat setiap tahunnya hingga mencapai 147.888 ton pada tahun 2010. Tabel 1 Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas Utama (Ton)* Rincian Patin
2005
2006
2007
2008
2009
32,575
31,490
36,260
51,000
75,000
2010 147,888
* = Data Produksi Ditjen Budidaya KKP (Pusdatin KKP 2011) Menurut data statistik dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011, produksi budidaya ikan patin semakin meningkat dari tahun ke tahun. Selama kurang waktu 2007-2009 kenaikan rata-rata produksi komoditas patin selalu di atas 50% per tahun. KKP optimistis produksi patin Indonesia mampu mencapai 1,8 juta ton pada 2014 sehingga menjadikan ikan patin sebagai produk hasil perikanan yang potensial untuk dikembangkan. Dalam rangka memanfaatkan lahan gambut yang banyak terdapat di Kalimantan, KKP melalui Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Mandiangin membuka instalasi untuk dimanfaatkan sebagai area pengembangan budidaya ikan patin. Keberhasilan panen ikan patin di lahan gambut menunjukkan bahwa uji coba kegiatan budidaya ikan dapat dilakukan di area-area yang tidak dapat
9
dimanfaatkan bahkan cenderung menimbulkan masalah, seperti halnya lahan gambut sejuta hektare di Kalimantan dan lahan tadah hujan di Gunung Kidul. Berdasarkan data dari KKP, produksi patin selalu meningkat dari tahun ke tahun, hal ini masih bisa ditingkatkan karena potensi lahan budidaya patin masih sangat luas,yaitu; berupa perairan umum (sungai, danau, waduk, rawa) serta perkolaman. Budidaya patin ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan secara massal. Setidaknya propaganda itu cukup berhasil menyulut semangat warga untuk membudidayakan ikan yang juga dikenal sebagai ikan lele tersebut. Budidaya patin pun mulai marak dikembangkan terutama di daerah-daerah yang kaya akan sungai.
Gambar 2 Peta Sebaran Ikan Patin di Indonesia
Pengembangan patin di Kabupaten Kampar, Riau, tak cukup sampai di budidaya saja, tapi juga akan dikembangkan sampai ke pengolahannya. Sebuah perusahaan patungan yang melibatkan Pemerintah provinsi Riau, Pemerintah kabupaten Kampar dan pihak swasta bersiap membangun pengolahan ikan patin untuk
ekspor. Pada
penyelenggaraan
Catfish
day
2009
di
Jogjakarta
tersimpulkan, pengembangan budidaya patin di Indonesia masih berorientasi pada produksi secara kuantitas, tetapi sama sekali belum menyentuh masalah pengembangan produk, apalagi mengembangkan sisi nilai produk yang tak mudah diukur (intangible) seperti pencitraan produk dan strategi promosi. Hal ini
10
menjadi perhatian dalam proses pengembangan dan peningkatan nilai tambah produk dari ikan patin.
Teknologi Pengolahan Ikan Patin (Pangasius sp) Dalam dunia perikanan, ikan patin dikenal sebagai komoditas yang memiliki prospek cerah. Daging ikan patin memiliki karakteristik rasa yang sangat khas sehingga digemari masyarakat. Penyebaran konsumen penggemar daging ikan patin ini tidak terbatas di Indonesia saja tetapi juga sudah sampai ke negara – negara Eropa, Amerika dan negara – negara Asia sehingga ikan patin ini berpeluang untuk diekspor. Selama ini untuk memenuhi permintaan ekspor di dunia hanya dipenuhi dari pasokan produksi budidaya ikan patin di Vietnam yang memasoknya dalam bentuk filet. Ikan patin merupakan salah satu ikan air tawar unggulan dan sudah mulai dibudidayakan dalam skala besar baik untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun ekspor. Ikan patin untuk ekspor biasanya diolah dalam bentuk filet, baik ”frozen filet” maupun ”breaded filet”. Masalah utama yang sering dihadapi dalam pengolahan filet ikan patin adalah bau lumpur, ”drip loss” dan ”oxidative rancidity” diikuti dengan perubahan warna filet menjadi kekuningan. Beberapa masalah teknis ini perlu mendapat perhatian dalam pengembangan riset mengenai ikan patin ini. Selain itu, ikan patin merupakan ikan yang berlemak tinggi. Kadar lemak yang tinggi dalam tubuh ikan patin menyebabkan daging ikan ini mudah sekali mengalami reaksi oksidasi. Ikan patin yang biasa dikonsumsi memiliki berat sekitar 500 g hingga 1 kg. Bagian – bagian tubuh ikan patin yang biasanya dimanfaatkan konsumen terbagi
menjadi
memanfaatkannya.
beberapa
bagian
Rendemen
sesuai
merupakan
dengan bagian
tujuan tubuh
dan yang
cara dapat
dimanfaatkan. Rendemen juga merupakan suatu parameter yang paling penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa bagian tubuh ikan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan (Hadiwiyoto, 1993). Rendemen daging ikan sangat bervariasi tergantung pada jenis ikan, bentuk tubuh dan umur ikan (Suzuki 1981). Pada Gambar 3 disajikan gambaran mengenai jumlah atau porsi pemanfaatan ikan patin per bagian tubuh berdasarkan data yang terdapat pada
11
Laboratorium Benih Ikan dan Laboratorium Lapangan Perikanan, Departemen Teknologi Manajemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor tahun 2003.
Gambar 3 Persentase Rendemen Ikan Patin (Pangasius sp).
Bagian tubuh ikan seperti kulit, kepala, sirip, tulang dan isi perut disebut dengan inedible portion atau bagian tubuh ikan yang tidak dapat dimakan, sementara dagingnya adalah edible portion atau bagian tubuh yang dapat dimakan (Zaitzev et al. 1969). Bagian tubuh yang tidak dapat dimakan tersebut umumnya
dinamakan
limbah
hasil
pengolahan
perikanan
dimana
pemanfaatannya masih sebatas sebagai pakan ikan ataupun hewan ternak lainnya. Dengan menerapkan teknologi pangan yang kita miliki, peluang tersebut dapat dimanfaatkan,
ikan
tidak hanya diolah dalam bentuk filet tetapi juga
dalam bentuk produk olahan ikan patin lainnya. Demikian pula limbah yang selama ini terbuang seperti kepala, kulit, tulang dan isi perut yang sebenarnya masih banyak mengandung protein dan lemak, diharapkan bisa menghasilkan produk yang bernilai tambah dari limbah tersebut untuk meningkatkan nilai ekonomis. Pada pengolahan filet ikan patin terdapat limbah yang selama ini terbuang ataupun hanya dimanfaatkan sebatas sebagai bahan baku pakan ikan
12
dengan nilai jual yang rendah. Limbah tersebut meliputi kepala, tulang, ekor, belly flap (daging bagian perut), daging sisa trimming (pengeratan/perapian filet) dan isi perut (viscera) yang mengandung lemak abdomen sangat banyak. Limbah dari proses pengolahan filet ikan patin ini dapat dikembangkan menjadi produk yang bernilai tambah terutama dari bagian lemak yang kemungkinan mengandung asam – asam lemak yang berguna bagi kesehatan. Bagian – bagian limbah ikan lele juga memiliki kandungan nutrisi yang tinggi seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan Lemak, Protein dan Air Bagian-bagian Limbah Ikan Lele
Bagian-bagian limbah ikan lele Isi perut Saluran pencernaan Hati Gallbladder Lemak simpanan perut Daging filet
Kadar Lemak (%)
Kadar Protein (%)
Kadar air (%)
33.6 5.8
14.7 13.4
50.1 79.5
8.8 0.3 90.7
11.4 2.6 1.3
74.9 88.9 8
9
14.4
74.4
13.5
71.2
Daging belly flap 14.7 Sumber : Sathivel et al. (2002)
Lemak dan Minyak Lemak dan minyak merupakan senyawaan trigliserida dari gliserol. Dalam pembentukannya, trigliserida merupakan hasil proses kondensasi satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak (umumnya ketiga asam lemak tersebut berbeda –beda), yang membentuk satu molekul trigliserida dan satu molekul air . Bila R1=R2=R3 , maka trigliserida yang terbentuk disebut trigliserida sederhana (simple triglyceride), sedangkan bila R1, R2,R3, berbeda, maka disebut trigliserida campuran (mixed triglyceride). Lemak dan minyak terdiri dari trigliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Trigliserida dapat berwujud padat atau cair tergantung komposisi asam lemak penyusunnya. Lemak dan minyak tidak berbeda dalam bentuk umum trigliseridanya dan hanya berbeda
13
dalam bentuk wujudnya (Ketaren 1986). Struktur trigliserida adalah sebagai berikut:
Gambar 4 Trigliserida (Ketaren 1986) Minyak-minyak dan lemak merupakan bagian dari lipida yang didalamnya larut vitamin-vitamin A,D,E dan K. Sebagai sumber asam lemak essential, merupakan sumber energi yang tinggi. Minyak, lemak berperanan dalam pembentukan susunan didalam memperbaiki penampilan dan memberikan cita rasa (Giese, 1996). Minyak dan lemak menghasilkan energi yang lebih tinggi dari pada karbohidrat dan protein. Minyak Ikan Minyak ikan merupakan komponen lemak dalam jaringan tubuh ikan yang telah diekstraksi dalam bentuk minyak. Minyak ikan mempunyai jenis asam lemak yang lebih beragam dibandingkan dengan jenis minyak yang lain, dengan kandungan asam lemak omega 3 yaitu EPA dan DHA yang umum dijumpai pada minyak ikan (Estiasih 2009). Proses untuk mendapatkan minyak ikan dengan kualitas yang baik ada 2 tahap penting yang harus diperhatikan yaitu proses ekstraksi minyak dan proses pemurnian minyak. Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Pemurnian (refining) adalah suatu proses yang bertujuan untuk menghilangkan rasa dan bau yang tidak enak, warna tidak menarik dan untuk memperpanjang umur simpan sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam industri (Ketaren 1986). Menurut Estiasih (2009), untuk menjadikan minyak ikan kasar yang dihasilkan layak konsumsi maka perlu dilakukan pemurnian. Pemurnian ini perlu dilakukan karena minyak atau lemak yang dihasilkan dalam proses
14
ekstraksi umumnya mengandung kotoran yang ikut terekstraksi dan kotoran tersebut dapat menimbulkan kerusakan yang mengakibatkan kualitas minyak yang dihasilkan akan menurun. Minyak ikan yang diperoleh sebagai hasil samping dari pengolahan tepung ikan dan ikan kaleng sering mengandung banyak kotoran. Kotoran pada minyak ikan dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu pertama adalah kotoran yang tidak larut dalam minyak (kotoran fisik, air dan protein), kedua adalah kotoran yang berbentuk suspensi koloid dalam minyak (fosfatida dan karbohidrat) dan ketiga adalah kotoran yang terlarut dalam minyak, yaitu asam lemak bebas, pigmen, mono dan digliserida, senyawa hasil oksidasi, logam dan bahan-bahan yang tak tersabunkan (Irianto 2002). Minyak ikan tersebut dapat ditingkatkan mutunya agar layak dikonsumsi manusia dengan memurnikannya dengan beberapa macam metode. Penelitian mengenai pemanfaatan limbah hasil pengolahan ikan Salmon untuk minyak telah dilakukan oleh Wu et al. (2008), dimana diketahui ikan Salmon banyak mengandung asam lemak omega 3 yang sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Penelitian Sathivel et al. (2009) adalah membandingkan sifat fisika dan kimia minyak ikan lele dari proses ekstraksi yang berbeda. Sebagian besar minyak dari ikan lele terdapat pada isi perutnya, dimana mengandung sekitar 33% lipid. Limbah ikan lele terutama isi perutnya dapat digunakan untuk menghasilkan minyak ikan yang bisa dikonversi menjadi edible oil ataupun produk biodiesel. Pemurnian Minyak Ikan Pemurnian minyak ikan dilakukan untuk menghilangkan komponen yang tidak dikehendaki ataupun pengotor karena mengakibatkan efek yang merugikan bagi kualitas minyak secara keseluruhan (Estiasih 2009). Proses pemurnian minyak ikan dapat dilakukan dengan mengikuti tahapan proses penghilangan gum, penghilangan asam lemak bebas, pemucatan, dan deodorisasi ataupun memilih diantaranya untuk kemudian dikombinasikan agar mendapatkan hasil yang terbaik. Berikut ini adalah penjelasan mengenai tahapan proses pemurnian tersebut. Penghilangan gum merupakan proses pemisahan getah dan lender yang terdiri dari fosfatida, protein, residu karbohidrat, air, dan resin tanpa mengurangi jumlah
15
asam lemak bebas dalam minyak. Penghilangan gum dilakukan dengan penambahan NaCl 8% kedalam minyak ikan pada suhu 60 ºC selama 15 menit. Larutan NaCl yang ditambahkan sebanyak 40% dari volume minyak yang dimurnikan dan selama degumming dilakukan pengadukan. Penghilangan asam lemak bebas adalah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (soap stock). Netralisasi dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH 1N ke dalam minyak yang sudah mengalami proses degumming. Larutan NaOH 1N ditambahkan dalam minyak ikan pada suhu 60 ºC selama 15 menit. Jumlah NaOH yang ditambahkan ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
%NaOH = %FFA x 0,142
Selanjutnya minyak yang telah dinetralkan dibiarkan beberapa saat supaya terjadi pemisahan sabun yang terbentuk. Lapisan sabun berada pada lapisan bawah dan lapisan minyak pada bagian atas. Kemudian sabun tersebut diambil. Untuk menghilangkan sabun-sabun yang masih tersisa, pada minyak ikan ditambahkan air panas sambil diaduk dan kemudian dibiarkan supaya terjadi pemisahan minyak dan air. Setelah itu air yang terpisah dibuang. Pemucatan ialah suatu proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan atau memucatkan warna yang tidak disukai (Windsor dan Barlow 1981). Pemucatan dilakukan dengan penambahan adsorben, umumnya dilakukan dalam ketel yang dilengkapi dengan pipa uap dan alat penghampa udara. Minyak dipanaskan pada suhu 105 ºC selama 1 jam. Adsorben ditambahkan saat minyak mencapai suhu 70-80 ºC sebanyak 1-1,5% dari berat minyak. Selain warna, diserap pula suspensi koloid dan hasil degradasi minyak seperti peroksida. Deodorisasi adalah suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan bau dan rasa yang tidak enak dalam minyak. Prinsip proses deodorasi, yaitu penyulingan minyak dengan uap panas pada tekanan atmosfer
16
atau pada keadaan hampa. Proses deodorasi dilakukan dengan cara memompa minyak ke dalam ketelen deodorasi. Kemudian minyak tersebut dipanaskan pada suhu 200-250 ºC pada tekanan 1 atmosfer dan selanjutnya pada tekanan rendah (kurang lebih 10 mmHg), sambil dialiri uap panas selama 4-6 jam untuk mengangkut senyawa yang dapat menguap. Setelah proses deodorisasi selesai, minyak ikan kemudian didinginkan sehingga suhu menjadi kurang lebih 84 ºC dan selanjutnya minyak ikan dikeluarkan Karakterisasi Minyak Ikan Menurut Bimbo (1998), minyak ikan yang akan dikonsumsi harus memenuhi standar food gade. Standar tersebut berdasarkan pada karakteristik minyak ikan yang dihasilkan, disesuaikan dengan metode pengolahan dan sumber minyak ikan itu berasal. Beberapa hal yang mempengaruhi kualitas minyak ikan yang dihasilkan adalah jenis ikan apakah liar atau budidaya, musim saat ikan ditangkap ataupun umur ikan. Analisa minyak ikan lele menggunakan alat DSC (Differensial Scanning Calorimetry) disajikan pada Gambar 5 yang merupakan hasil penelitian dari Sathivel et al. (2008). Termogram yang dihasilkan merupakan hasil analisa titik cair dari minyak isi perut ikan lele.
Gambar 5
Hasil Analisa Melting Point menggunakan alat DSC dari minyak visera ikan lele (Sathivel et al. 2008) (A,B,C,D,E,F adalah puncak-puncak titik cair)
17
Berdasarkan penelitian Sathivel et al. (2008), melting point dari minyak isi perut ikan lele berkisar antara -46.2 – 21.2 ºC untuk minyak kasarnya. Tren titik cair dari minyak ikan isi perut lele ini menggambarkan kandungan asam lemaknya, dimana memiliki total kandungan asam lemak tidak jenuh diatas 68%. Titik cair yang memiliki nilai negatif berkaitan dengan kandungan asam lemak tidak jenuhnya. Sedangkan untuk hasil analisa DSC asam lemak Palmitat dan DHA pada Gambar 6.
Gambar 6 Tipikal Termogam DSC untuk (a) Asam Palmitat dan (b) DHA (Sathivel et al. 2008)
Termogram pada gambar diatas merupakan puncak titik cair dari asam lemak palmitat dan DHA, dimana alat DSC dipanaskan dari suhu -75 hingga 120 ºC. Puncak titik cair ini sangat tajam, menggambarkan hanya satu asam lemak yang dianalisa, dibandingkan dengan termogram pada Gambar 5 yang menggambarkan Trigliserida dengan kandungan asam lemak yang bervariasi sehingga puncak titik cairnya berbentuk landai dan tidak tajam (Sathivel et al. 2008),
18
Asam Lemak Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di antara atom-atom karbon penyusunnya. Semakin panjang rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut. Asam lemak jenuh bersifat lebih stabil daripada asam lemak tak jenuh. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah bereaksi dengan oksigen (mudah teroksidasi). Asam lemak, bersama-sama dengan gliserol, merupakan penyusun utama minyak nabati atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipida pada makhluk hidup. Asam lemak ini mudah dijumpai dalam minyak masak (goreng), margarin, atau lemak hewan dan menentukan nilai gizinya. Secara alami, asam lemak bisa berbentuk bebas (karena lemak yang terhidrolisis) maupun terikat sebagai gliserida. Sejumlah studi menunjukkan bahwa profil asam lemak sangat bergantung pada komposisi lemak pada makanan yang dikonsumsi ikan (Sargent et al. 1995). Penelitian Waagbo et al. (1993) mengenai pemberian pakan ikan Salmon dengan 3 tingkat kandungan omega 3 yang berbeda memberikan hasil bahwa terjadi kenaikan pada kandungan asam lemak omega 3 dari ikan Salmon tersebut. Penelitian mengenai profil dan komposisi asam lemak pada daging filet ikan lele dan bagian – bagian limbah ikan lele yaitu isi perut, saluran pencernaan, hati, gallbladder, lemak simpanan perut dan daging belly flap telah dilakukan Sathivel et al. (2002) dengan hasil tampak pada Tabel 3. Pada hasil penelitian tersebut tampak bahwa minyak yang didapatkan dari masing – masing bagian limbah ikan lele dan daging filetnya menunjukkan profil dan komposisi asam lemak yang berbeda. Hal ini menjadi dasar bagi penelitian lebih lanjut bahwa bagian – bagian limbah yang berbeda sangat berpengaruh terhadap minyak ikan yang dihasilkan terutama dalam profil asam lemaknya.
19
Tabel 3 Profil dan Komposisi Asam Lemak Ikan Lele dari Bagian – bagian Limbah yang Berbeda (mg/g) Asam Lemak
Isi perut
Saluran pencernaan
Hati
Empedu
Lemak simpanan
Filet
C14:0 9.5 1.4 C16:0 76.2 43.2 C16:1 10.9 3.7 C18:0 32.9 10.9 C18:1 145.7 62.0 C18:2 73.1 1.5 C18:3 7.5 17.3 C20:0 1.9 0.6 C20:1 11.9 1.9 C20:2 3.5 1.3 C22:4 4.5 3.0 C22:6 4.2 3.6 Jenuh 121.0 56.2 Tak 261.3 94.7 jenuh Sumber : Sathivel et al (2002)
0.3 7.2 1.1 6.7 12.2 2.8 0.3 0.2 1.0 0.2 6.4 4.0 14.4 28.0
0.3 5.3 1.3 13.9 3.1 0.4 0.2 0.5 0.9 2.1 2.8 9.2 25.0 79.4
5.2 33.9 5.1 13.1 52.7 29.5 4.3 0.9 4.6 2.2 1.9 1.8 53.0 102.1
6.8 70.4 14.0 29.7 149.5 65.6 6.0 1.5 7.9 2.3 4.7 9.3 108.4 259.3
Daging belly flap 10.4 83.6 10.8 35.6 175.7 81.2 8.3 1.9 10.9 3.6 6.4 10.7 131.5 307.5
Perbedaan jenis ikan juga sangat mempengaruhi profil asam lemak dari minyak ikan yang dihasilkan seperti tampak pada Tabel 4 yang menunjukkan hasil penelitian dari Sathivel et al (2002). Hasil penelitian Sathivel menunjukkan bahwa total PUFA dari isi perut ikan lele lebih tinggi dibandingkan dari daging filetnya, demikian pula dari ikan salmon dan tuna sedangkan asam lemak omega 3 (C18:3 dan C22:6) yang terdeteksi dari isi perut ikan lele adalah sebesar 12.4% dari total PUFA. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa limbah dari ikan lele yang berupa isi perut merupakan sumber potensial untuk dibuat menjadi minyak ikan yang kemudian dapat dimurnikan menjadi edible oil. Minyak ikan yang didapatkan dari isi perut ikan lele juga bisa dimanfaatkan sebagai flavor untuk pangan dan dapat dijadikan pangan fungsional (Prinyawiwatkul et al. 2002).
20
Tabel 4 Perbandingan Profil Asam Lemak Isi perut Ikan lele dengan Daging Filet Beberapa Jenis Ikan Lainnya (g/100g) Asam lemak (g/100g bahan)
Ikan lele liar
Jenuh C14:0 0.06 C16:0 0.44 C18:0 1.5 Tak jenuh tunggal C16:1 0.18 C18:1 0.59 C20:1 0.02 Tak jenuh jamak C18:2 0.10 C18:3 0.07 C20:4 0.15 C22:6 0.23 Omega 3 0.30 Sumber : Sathivel et al. (2002)
Ikan lele budidaya
Salmon budidaya
Tuna Sirip biru
Isi perut Ikan lele
0.09 1.23 0.35
0.49 1.30 0.28
0.14 0.81 0.31
0.42 3.35 1.44
0.28 3.17 0.07
0.67 1.78 1.19
0.16 0.92 0.28
0.48 6.40 0.55
0.88 0.10 0.09 0.21 0.31
0.59 0.09 1.15 1.29 1.38
0.05 0.00 0.04 0.89 0.89
3.21 0.33 0.20 0.18 0.51
Asam Lemak Omega 3
Asam lemak omega-3 adalah asam lemak poli tak jenuh yang mempunyai ikatan rangkap banyak, ikatan rangkap pertama terletak pada atom karbon ketiga dari gugus metil. Ikatan ketiga dari ikatan rangkap sebelumnya. Gugus metil adalah gugus terakhir dari rantai asam lemak. Contoh asam lemak omega-3 adalah asam lemak eikosapentaenoat EPA (C 20: 5, ω-3), dan asam lemak dokosaheksaenoat DHA (C 22: 6, ω-3). Struktur Omega-3 EPA dan DHA adalah sebagai berikut:
Gambar 7 Struktur EPA dan DHA ( http://www.psr.org )
21
Asam lemak Omega-3 EPA sangat bermanfaat untuk kesehatan diantaranya mengurangi resiko penyakit jantung dan menghambat penyempitan pembuluh darah. Selain itu, Omega-3 juga berkhasiat untuk memperbaiki tekanan darah pada penderita hipertensi serta penyakit diabetes. Sedangkan DHA merupakan komponen yang penting untuk pertumbuhan otak, pertumbuhan retina mata (penglihatan) yang baik serta pembentukan saraf-saraf yang baik. Kekurangan asam lemak Omega-3 dapat mengakibatkan gangguan saraf dan penglihatan. Pada bayi kekurangan asam lemak Omega-3 dapat mengakibatkan proses pembentukan sel neuronnya terhambat sehingga bayi bisa cacat, kualitasnya rendah serta proses tumbuh kembang sel otak tidak normal atau di bawah optimal (Almatsier 2003). Asam lemak rantai panjang omega-3 yang ditemukan pada minyak ikan bisa
dimanfaatkan
untuk
mengurangi
resiko
penyakit
jantung,
stroke,
menlarutkan kolesterol dalam darah dan mempertahankan kinerja dari otak dan sistem syaraf. Pada temuan lain juga dijumpai bahwa suplementasi minyak ikan dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi resiko penyumbatan pembuluh darah dan dapat mengurangi tekanan jantung yang tidak beraturan (Wang et al., 2004). Pada minyak ikan dan hewan laut, PUFA dalam konsentrasi tinggi ditemukan di posisi sn-2 dan sebagian di posisi sn-3, asam miristat, palmitat dan palmitoleat di posisi sn-3, asam oleat dan MUFA terutama di posisi sn-1 dengan kecendrungan semakin panjang rantainya akan terdapat pada posisi sn-3 (Christie 1989). Jumlah PUFA (polyunsaturated fatty acids) yang optimum untuk dikonsumsi adalah 6-10 % dari total energi yang dibutuhkan setiap hari. Kekurangan PUFA dapat menyebabkan risiko terkena kanker, menurunkan kekebalan tubuh, meningkatkan risiko arteriosklerosis, meningkatkan jumlah peroksida sehingga mempercepat proses penuaan dan meningkatkan risiko terkena batu empedu (Nurjanah 2002). Ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat tinggi sehingga oksidasi lemak sangat mungkin terjadi selama proses pengolahan. Menurut Nair dan Gopakumar (1978) kandungan asam eikosapentanoat (EPA) ikan lele air tawar, air laut dan air payau adalah 3.78%, 5.54% dan 4.36% sedangkan kandungan asam dokosaheksanoat (DHA) masing – masing adalah 0.28%, 4.83% dan 1.59%.
22
Asam lemak omega-3 yang dikenal dengan asam eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA) merupakan asam lemak tidak jenuh tinggi (Polyunsaturated Fatty Acid /PUFA) yang banyak terdapat dalam minyak ikan. Pada
orang
dewasa
EPA
dan
DHA
berperanan
dalam
pencegahan
atherosklerosis, pertumbuhan tumor, thrombosis, hipergliseridemia dan tekanan darah tinggi. Asam lemak omega-3 dan omega-6 bermanfaat bagi kesehatan, yaitu dapat mencegah penyakit jantung, hipertensi dan radang sendi, serta DHA penting untuk perkembangan otak (Pak 2005). Asam lemak omega 3 (EPA dan DHA) secara alami dapat diperoleh dari lemak ikan terutama ikan laut, tetapi tidak menutup kemungkinan juga terdapat pada lemak ikan air tawar. Kedua asam lemak ini tidak dapat disintesis oleh tubuh ikan tetapi disintesis oleh plankton yang merupakan pakan utama dari ikan (Hadipranoto 2005). Pada umumnya komposisi asam lemak dari minyak ikan bervariasi tergantung dari kebiasaan makan, kondisi lingkungan, umur, kematangan gonad dan species (Haliloglu et al. 2004).
Komposisi dan Distribusi Asam Lemak pada Trigliserida
Minyak dan lemak merupakan trigliserida dimana tiga asam lemak diesterkan pada gliserol. Lemak dan minyak dalam makanan normal terdiri dari trigliserida rantai panjang (Long Chain Triglycerides/LCT) dengan panjang rantai asam lemak dari 14 atom C ke atas, trigliserida rantai sedang (Medium Chain Triglyserides /MCT) dengan panjang rantai asam lemak dari 8-12 atom C, dan trigliserida rantai pendek (Short Chain Triglyserides/SCT) dengan panjang rantai asam lemak lebih kecil dari 8 (Gunstone dan Norris 1983). Minyak dan lemak dari sumber tertentu mempunyai ciri khas yang berbeda dari sumber lainnya dimana tergantung pada komposisi dan distribusi asam lemak pada molekul trigliseridanya. Komposisi termasuk panjang rantai, kejenuhan dan ketidak jenuhan serta distribusi asam lemak pada molekul gliserol akan sangat mempengaruhi sifat-sifat lemak dan minyak baik fisik maupun kimia serta metabolismenya (Kritchevsky 1995). Suatu lemak tertentu biasanya mengandung campuran dari trigliserida yang berbeda panjang dan derajat ketidakjenuhan asam-asam lemaknya. Disamping adanya komposisi asam lemak yang spesifik untuk setiap sumber lemak dan minyak, juga terdapat perbedaan distribusi posisi asam-asam lemak
23
dalam molekul gliserol pada triasilgliserolnya. Untuk menggambarkan distribusi asam lemak dalam molekul triasilgliserol, setiap atom karbon dalam molekul gliserol diberi nomor -1, -2 dan -3 atau α,β dan α . Posisi setiap asam lemak dalam molekul gliserol dinyatakan sesuai dengan tempatnya. Karena gliserol mengandung dua gugus hidroksil primer, dua asam lemak yang berbeda akan dapat diesterkan pada masing-masing posisi tersebut. Kemudian pusat asimetri terbentuk dan trigliserida yang terbentuk dari digliserida ini akan menunjukkan bentuk enentiomorpik. Posisi asam lemak dalam triasilgliserol dinyatakan dengan penomoran spesifik (Stereospesicific numbering /sn) yaitu sn-1, sn-2, sn-3 dimana pusatnya adalah gugus hidroksil sekunder yang selalu menunjukkan posisi 2, sedangkan atom karbon C-1 dan C-3 berada pada posisi 1 dan 3 (Gambar 8).
Gambar 8 Struktur Trigliserida (Christie 1987; Gunstone dan Norris 1983)
Distribusi posisi asam-asam lemak ini dapat diketahui dengan melakukan hidrolisis asam-asam lemak pada posisi sn-1 dan sn-3 oleh lipase pankreatik sehingga tinggal 2-monoasilgliserol yang dapat diisolasi dan ditransesterifikasi untuk penentuan asam lemaknya pada posisi sn-2 dengan kromatografi gas. Untuk penentuan asam lemak pada posisi sn-1 dan sn-3 dilakukan hidrolisis triasilgliserol dengan reagen Gignard (EtMgBr) sehingga dihasilkan diasilgliserol (isomer sn-1,2 dan sn-2,3). Diasilgliserol disintesa hingga menjadi fosfolipid yang kemudian dihidrolisis dengan fosfolipase A yang spesifik terhadap 1,2diasilgliserofosfatida hingga menghasilkan lisofosfotida yang mengandung asam lemak pada posisi sn-1. Selanjutnya dilakukan transesterifikasi untuk penentuan
24
asam lemak pada posisi sn-1 dengan kromatografi gas. Asam lemak pada posisi sn-3 ditentukan dengan menganalisa 2,3-diasilgliserofosfatida (Christie 1987). Peranan dan Manfaat Nutrisi Lemak berdasarkan Komposisi Asam Lemak
Susunan lemak adalah trigliserida yang terdapat campuran dari asamasam lemak dengan rantai pendek, sedang dan panjang yang terikat pada molekul gliserol dibuat untuk pemakaian khusus. Susunan lemak banyak dikembangkan untuk pemakaian dalam bidang produksi pangan dan kesehatan (Haumann 1997). Dari segi nutrisi, komposisi dan distribusi asam-asam lemak dalam molekul gliserol sangat mempengaruhi pencernaan, penyerapan dan transportasi di dalam tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam lemak jenuh rantai panjang sangat sedikit diserap dari saluran pencernaan bila dibandingkan dengan asam-asam lemak tak jenuh atau asam lemak dengan rantai yang lebih pendek. Trigliserida di dalam tubuh manusia hanya terhidrolisa oleh enzim pankreas pada posisi C1 dan C3 sedangkan C2 tetap dalam bentuk esternya. Ester yang masih terikat dengan gliserol pada posisi C2 biar bagaimanapun panjang rantainya tetap dapat diserap oleh tubuh sebagai sumber energi, sedangkan asam lemak bebas hasil hidrolisa pada posisi C1 dan C3 apabila berantai panjang sulit terabsorbsi oleh tubuh (Juliati 2002). Variasi profil asam lemak pada minyak ikan akan mempengaruhi nilai gizi seperti halnya sifat organoleptik dan tekstur ikan (Palmeri; Turchini dan De Silva 2007). Lemak dan minyak memegang peranan penting dalam penentuan sifat fungsional dan cita rasa (flavor) produk-produk pangan. Peranan lemak dan minyak dalam bahan pangan anatara lain adalah merupakan komponen pembawa flavor
dengan perbedaan titik leleh yang akan menentukan
kelembutan, sifat pembentukan krim dan rasa dalam mulut dan juga dalam pembentukan struktur remah dari roti. Disamping sifat fungsionalnya, lemak dan minyak mempunyai aspek gizi yang penting seperti telah disebutkan yaitu sebagai sumber energi (9 kkal/gam) ; sumber dan pembawa asam lemak essensial dan vitamin A,D,E dan K ; prekursor dari prostaglandin, senyawa seperti hormon yang mengatur berbagai fungsi fisiologis dan juga penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tubuh (Giese 1996).
25
Trigliserida juga banyak diubah menjadi monogliserida dan digliserida, karena baik monogliserida dan digliserida luas penggunaannya sebagai bahan pengemulsi. Oleh karena itu trigliserida melalui reaksi transesterifikasi dengan gliserol diubah menjadi monogliserida dan digliserida dengan bantuan katalis seperti natrium metoksida dan basa Lewis lainnya. Hanya saja proses ini menghasilkan campuran yang terdiri atas 40 - 80% monogliserida, 30 - 40% digliserida, 5 - 10% trigliserida, 0,2 - 9% asam lemak bebas dan 4 - 8% gliserol. Untuk mendapatkan monogliserida yang murni yang akan digunakan dalam bahan makanan, farmasi dan kosmetika maka harus dilakukan destilasi molekuler. Dalam hubungan untuk meningkatkan perolehan hasil monogliserida maka dilakukan reaksi bertingkat secara transesterifikasi dengan gliserol yang kemudian diikuti dengan reaksi interesterifikasi dengan metil ester asam lemak, sehingga monogliserida yang diperoleh dapat mencapai 60 - 70% (Juliati 2002).
Manfaat Minyak Ikan dalam Bidang Pangan dan Kesehatan
Minyak ikan mempunyai nilai manfaat kesehatan, pengobatan dan gizi. Dengan demikian, minyak ikan dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri farmasi dan pangan. Minyak ikan dapat diolah menjadi kapsul konsentrat asam lemak omega 3 dengan teknik mikroenkapsulasi atau minyak ikan dapat diproses menjadi
tepung
minyak
ikan
yang
memudahkan
dalam
penanganan,
penyimpanan dan pemanfaatannya. Pemanfaatan minyak ikan dalam industri pangan
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
menggantikan
fungsi
minyak
industri/lemak hewani dan memperkaya nilai gizi makanan dalam rangka mendapatkan makanan sehat. Minyak ikan dikembangkan pemakaiannya pada produk margarine, table spread, hard fat, shortening, pastry fat, adonan biskuit dan emulsi untuk roti, adonan roti, minyak goreng, emulsifier, fish spread, mayonaise, salami dan sosis (Irianto 1995). Minyak ikan merupakan minyak yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh paling tinggi dibandingkan dengan jenis minyak lainnya. Ditinjau dari segi kesehatan, hal ini sangat menguntungkan terutama kandungan asam lemak omega 3 nya. Minyak ikan pada umumnya merupakan sumber asam lemak omega 3. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan untuk mengkonsumsi minyak ikan rata – rata 200 – 500 mg per minggu (Caceres et al. 2008).
26
Minyak ikan dengan merk dagang “Omega pure‟ telah dikenal luas di pasaran Amerika dimana memiliki karakteristik sebagai berikut : kaya asam lemak EPA dan DHA; tidak memiliki bau dan rasa; memiliki kestabilan oksidatif, dapat diaplikasikan secara luas pada bidang pangan (Tabel 5). Tabel 5 Jumlah maksimum penggunaan ingredien pangan Omega pure
Kategori Produk-produk bakery Produk-produk keju Permen karet Condiments Produk-produk permen Produk-produk analog Produk-produk telur Lemak dan Minyak Produk-produk perikanan Produk-produk kering beku Puding dan gelatin Saus dan saus gavis Permen Selai dan jelly Produk-produk daging Produk-produk susu Minuman-minuman non alkohol Produk-produk kacang Pasta Produk-produk berbasis protein Poultry Products Jus buah Jus sayuran Snack Foods Permen lunak Sup campuran Gula alternatif Sirup, topping dan saus manis Sumber: www.omegapure.com
Jumlah maksimum (%) minyak Menhaden murni dalam pangan yang diijinkan 5% 5% 3% 5% 5% 5% 5% 12% 5% 5% 1% 5% 10% 7% 5% 5% 5% 5% 2% 5% 3% 1% 1% 5% 4% 3% 10% 5%
Saat ini konsentrat asam lemak omega 3 dalam bentuk kapsul banyak digunakan sebagai suplemen makanan. Sebagian besar sumber asam lemak omega 3 tersebut berasal dari ikan laut seperti lemuru ataupun tuna, sedangkan yang berasal dari sumber ikan air tawar masih jarang ditemukan. Berdasarkan
27
hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap minyak ikan yang bersumber dari ikan air tawar seperti ikan mujahir, ditemukan pula kandungan asam lemak omega 3 didalamnya, walaupun jumlahnya tidak setinggi seperti pada ikan air laut (Setha 1997). Hal ini menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya terhadap minyak ikan yang bersumber dari ikan air tawar, karena selain dapat dimanfaatkan sebagai suplemen makanan, diharapkan minyak yang dihasilkan dapat menjadi ingredien pangan yang bisa diaplikasikan secara luas pada industri pangan, terutama untuk produk – produk pangan emulsi. Aplikasi Minyak Ikan pada Produk Pangan Ingredien pangan didefinisikan sebagai bahan tambahan pangan yang dapat dikonsumsi secara langsung maupun tidak langsung dimana bentuknya dapat berupa padat, cair, atau gas. Ingedien pangan dapat berasal dari sintetis atau secara alami. Ingredien pangan sering digunakan karena mempunyai komponen aktif yang dapat digunakan sesuai kebutuhan. Ingredien pangan biasanya tidak tahan lama atau mudah rusak, khususnya dari bahan alami sehingga dibutuhkan teknologi yang dapat menghasilkan ingredien dengan kualitas yang lebih baik. Sampai saat ini aplikasi minyak ikan sebagai ingredian pangan belum banyak dijumpai. Minyak ikan (khususnya yang mengandung omega 3 (EPA, DHA, ALA) atau omega 6 (AA) lebih banyak dikomersialisasikan sebagai produk suplemen ataupun di bidang farmasi. Umumnya asam lemak tersebut difortifikasi pada dairy foods (susu, keju ataupun yogurt) sebagai pangan fungsional (Martini et al. 2009).
28
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai dengan
bulan Mei 2012 di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Balitbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jl. Petamburan VI, Slipi Jakarta dan Laboratorium Technopark di Institut Pertanian Bogor.
Bahan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah pengolahan filet ikan patin (Pangasius sp). Limbah tersebut didapatkan dari 2 (dua) jenis ikan patin yaitu patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan patin jambal (Pangasius djambal) ukuran konsumsi dengan berat ±450-500 g. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis meliputi larutan Wijs, asam asetat, kloroform, metanol, KI, KCl, Petroleum eter, Natrium thiosulfat, asam sulfat pekat, larutan NaCl jenuh, heksan, NaOH, katalis BF3, standar asam lemak, CaCl2, HCl, dietil eter dan lain - lain. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan gelas seperti labu erlenmeyer, corong pemisah, batang pengaduk, beker glass dan lain – lain. Alat lainnya yaitu, penangas air, waterbath shaker, sentrifuge, GC (Gas Chromatography) (Shimadzu Co.Japan), Brookfield viscometer, Chromameter Minolta CR-300, DSC (Differensial Scanning Calorimetry) tipe 821 Mettler Toledo, FTIR (Fourier Transform Infrarred) model IRPrestige-21 (Shimadzu Co.Japan), HPLC fase terbalik (Reversed Phase High Performance Liquid Chomatography) dengan detektor Refractive Index (RID) (Shimadzu Co.Japan). METODE Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang meliputi karakterisasi bahan baku limbah filet ikan patin, ekstraksi minyak ikan, pemurnian minyak ikan dan karakterisasi minyak ikan murni. Diagram alir pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.
29
Ikan Patin
Tahap I
Proses Pemfiletan
Bagian – bagian Tubuh Ikan Patin
Tahap II
Analisis : Kadar lemak Profil asam lemak
Ekstraksi Minyak Ikan Tahap IV Minyak Ikan Kasar
Tahap III
Pemurnian
Minyak Ikan Murni
Analisis : Fisik (titik leleh, warna, viskositas) Kimia (angka asam, angka peroksida, bilangan iod, bilangan penyabunan, FTIR) Profil dan komposisi asam lemak Profil Gliserida
Gambar 9 Tahapan Umum Penelitian
Tahap I: Karakterisasi Bahan Baku Limbah Filet Ikan Patin Karakterisasi bahan baku dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data mengenai kadar lemak dan profil asam lemak dari bagian – bagian limbah filet ikan patin yang meliputi kepala, isi perut dan daging belly flap (bagian perut). Tahap ini diawali dengan proses pengolahan filet ikan patin yang dilakukan dengan standar proses mengikuti standar pabrik pengolahan filet ikan. Tahapan proses filet meliputi penimbangan, pencucian, pemfiletan, penyiangan, pengeratan/perapian filet (trimming), pelepasan kulit, pencucian, penimbangan. Hasil proses pengolahan filet ikan patin berupa daging filet ikan patin yang pada umumnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk olahan ikan patin ataupun diproses beku sebagai produk filet skinless. Hasil penyiangan berupa limbah yang meliputi kepala, kulit, tulang-ekor, daging belly flap, daging sisa pengeratan/perapian dan isi perut.
30
Pengamatan dilakukan terhadap yield yang didapatkan pada proses filet ini dengan melakukan perhitungan nilai rendemen daging filet dan masing – masing bagian limbah ikan patin yang didapatkan. Limbah kemudian ditimbang dan dilakukan pencucian hingga bersih dari kotoran yang menempel. Setelah dicuci kemudian limbah ditiriskan dan ditimbang kembali sehingga siap digunakan sebagai bahan baku dalam ekstraksi minyak ikan patin. Parameter yang diukur adalah kadar lemak dari masing – masing bagian tubuh ikan patin yang didapatkan.
Tahap II: Ekstraksi Minyak Ikan Pada tahap ini dilakukan proses ekstraksi minyak ikan patin (Gambar 10) dengan metode yang digunakan adalah metode Sathivel et al. (2008) yang dimodifikasi. Proses ekstraksi minyak ikan menggunakan 2 macam perlakuan yaitu jenis ikan patin yang digunakan (2 jenis ikan patin) dan bagian – bagian limbah hasil karakterisasi tahap awal. Ekstraksi minyak ikan dilakukan dari masing – masing limbah yang telah dicuci dan ditiriskan. Limbah dilumatkan kemudian ditambah air dengan perbandingan 1 : 3 (limbah : air) dan direbus pada suhu sekitar 70 ºC selama 30 menit. Setelah dilakukan perebusan, limbah disaring dengan kain hingga didapatkan yield berupa cairan. Cairan yang didapatkan masih dalam bentuk emulsi yaitu campuran antara minyak, air dan padatan, sehingga dilakukan proses pemisahan untuk memisahkan minyak dari bahan – bahan lainnya. Padatan yang didapat dari hasil penyaringan di press, kemudian cairan yang didapatkan dicampurkan dalam proses pemisahan. Proses pemisahan dilakukan menggunakan corong pisah hingga minyak dengan air terpisah sempurna. Hasil yang didapatkan berupa minyak ikan patin kasar. Minyak ikan patin kasar yang didapatkan disimpan didalam botol berwarna gelap dan selanjutnya dilakukan tahap pemurnian untuk mendapatkan minyak ikan patin murni.
31
Limbah Ikan Patin
Pencucian
Pelumatan
Pencampuran dengan air (1 : 3)
Pemanasan (suhu 70 ºC; 15 menit)
Penyaringan
Pengepresan padatan
Pemisahan minyak dengan corong pisah
Minyak Ikan Patin Kasar
Gambar 10 Diagam Alir Proses Ekstraksi Minyak Ikan Patin Metode Sathivel et al. 2008 yang dimodifikasi
32
Tahap III. Pemurnian Minyak Ikan Minyak ikan patin kasar yang diperoleh kemudian diproses lebih lanjut untuk mendapatkan minyak ikan patin murni. Tahapan pemurnian pada minyak yang dilakukan adalah sebagai berikut : minyak ikan kasar ditempatkan didalam wadah alat pemurnian yang dirangkaikan dengan saringan vakum, dipanaskan hingga mencapai suhu 60ºC kemudian ditambahkan adsorben sebanyak 1% dari berat minyak yang dimurnikan. Proses pemurnian dilanjutkan hingga mencapai
suhu
80ºC,
selama
30
menit.
Selanjutnya
minyak
disaring
menggunakan penyaring vakum dan berat minyak yang dihasilkan ditimbang sebagai rendemen minyak minyak ikan patin murni. Setelah melalui tahap pemurnian, minyak ikan patin murni yang didapatkan kemudian disimpan didalam botol gelap dan disimpan pada suhu -18 ºC hingga digunakan untuk tahap selanjutnya. Tahap IV: Karakterisasi Minyak Ikan Patin Murni Pada tahap penelitian ini dilakukan karakterisasi minyak ikan patin murni untuk mengetahui sifat – sifat minyak yang dihasilkan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi : profil dan komposisi asam lemak, penentuan posisi asam lemak dalam trigliserida (profil gliserida) serta sifat – sifat minyak secara kimia dan fisik. 1. Profil dan komposisi asam lemak Analisa profil dan komposisi asam lemak dilakukan terhadap masing – masing minyak ikan patin murni yang dihasilkan dengan menggunakan alat Gas Chromatogaphy (GC). Tahapan analisa yang dilakukan adalah proses metilasi dan identifikasi asam lemak dari minyak. 2. Profil Gliserida Minyak Ikan Analisa profil gliserida dilakukan untuk mengetahui posisi asam lemak dalam trigliserida (sn-1, sn-2 dan sn-3) dengan tahapan analisa yang diawali dengan reaksi hidrolisis secara enzimatis kemudian dirangkaikan dengan analisa profil gliseridanya menggunakan HPLC fase terbalik. 3. Sifat – sifat minyak secara fisik dan kimia Analisa sifat minyak secara kimia dengan melakukan analisa angka asam,
angka
peroksida,
bilangan
iod,
bilangan
penyabunan
menggunakan metode AOAC (2000); sifat fisik minyak yaitu melakukan analisa warna dengan Chromameter, titik cair dengan menggunakan alat
33
DSC (Differential Scanning Calorimetry),
viskositas menggunakan
viscometer dan analisa gugus fungsional menggunakan alat FTIR PROSEDUR ANALISIS a. Kadar lemak (AOAC 2006) Sebanyak 2 gram contoh dikeringkan dalam oven (105ºC) terlebih dahulu selama kurang lebih 2 jam diatas kertas saring bebas lemak. Selanjutnya contoh yang sudah kering dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam labu soxhlet (labu sochlet sebelumnya dikeringkan dalam oven, dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang). Dimasukkan pelarut petroleum eter kemudian dilakukan reflux selama 6 jam. Lalu labu berisi hasil reflux dipanaskan dalam oven dengan suhu 1050C hingga menguap.
Setelah itu didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus : Kadar lemak (%) =
berat lemak x 100% berat sampel
b. Kadar iodine (AOAC 2006) Angka Iod adalah jumlah gam iod yang dapat diikat oleh 100 gam lemak atau minyak. Untuk mengetahui angka iod menimbang kurang lebih 0,1 g minyak hasil ekstraksi dalam botol timbang, kemudian dipindahkan pada erlenmeyer 300 ml dengan menambahkan eter sebanyak 3 ml, lalu ditambah 20 ml larutan iodine monoklorida (reagent wijs), tutup dan kocok selama 1 menit. Setelah itu ditambah larutan KI 10% sebanyak 10 ml dan ditambah aquades sebanyak 50 ml. Kemudian dititrasi dengan larutan standar thio-sulfat 0,1 N sampai warna kuning muda, lalu diberi larutan amilum 1% sebanyak 1-2 ml kemudian dititrasi lagi hingga warna biru hilang. Dilakukan juga terhadap blanko. ml titrasi (blanko – sampel) Perhitungan =
x N Thio x 12,691 Berat sampel (g)
34
c. Angka Asam (AOAC 2006) Angka asam adalah banyaknya miligram KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas dalam 1 gram minyak atau lemak. Untuk mengetahui angka asam minyak/lemak sebanyak ± 5 g masukkan dalam erlenmeyer dan ditambah 50 mL alkohol netral 95% kemudian dipanaskan dalam penangas air sambil diaduk dan ditutup pendingin balik. Alkohol berfungsi untuk melarutkan asam lemak. Setelah didinginkan kemudian dititrasi dengan KOH 0,1 N menggunakan indikator PP sampai tepat berwarna merah jambu.
ml KOH x N KOH x BM KOH Perhitungan = Berat sampel (g) d. Bilangan penyabunan (AOCS 2005) Angka penyabunan adalah banyaknya miligram KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gram minyak atau lemak. Untuk mengetahui angka penyabunan minyak yang telah diekstraksi seperti di atas + 2 g ditimbang dalam botol timbang kemudian pindahkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 25 ml KOH 0,5 N dalam alkohol serta beberapa butir batu didih. Setelah ditutup dengan pendingin balik, dididihkan dengan hati-hati selama 1 jam sehingga minyak dan KOH bercampur homogen. Setelah dingin ditambahkan beberapa tetes indikator PP dan titrasi kelebihan KOH dengan larutan standar 0,5 N HCl sampai menjadi tidak berwarna. Hal ini dilakukan terhadap blanko (titrasi tanpa menggunakan sampel). 28,05 x (titrasi blanko – titrasi sampel) Perhitungan = Berat sampel (g) e. Bilangan Peroksida (AOCS 2005) Contoh ditimbang sebanyak 5 ± 0.005 g dalam erlenmeyer 250 ml bertutup dan tambahkan 30 ml larutan asam asetat : kloroform (3 : 2). Erlenmeyer dikocok hingga bahan semua terlarut. Kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh dan didiamkan di tempat gelap selama 1 menit dengan kadang kala mengocoknya. Ditambahkan aquades sebanyak 30 ml kemudian dititrasi
35
dengan Na2S2O3 0,1N sampai warna kuning hampir hilang. Ditambahkan 0,5 ml larutan pati 1% dan lanjutkan titrasi sampai warna biru tepat menghilang. Bilangan peroksida dinyatakan dalam nilai equivalen dari peroksida dalam setiap 100 g contoh.
ml Na2S2O3 x N Thio x 1000 Bilangan peroksida = Berat contoh (g)
f. Profil asam lemak (AOAC 2006) Analisis profil dan komposisi asam lemak terdiri dari 2 tahap yaitu tahap metilasi dan identifikasi. Tahap metilasi adalah sebagai berikut : Sebanyak kurang lebih 20 – 40 mg minyak ikan ditimbang dan ditambahkan 1 ml NaOH 0.5 N dalam Metanol kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 2 ml BF3 20% panaskan lagi selama 2 menit. Ditambahkan 5 ml heptana dan didihkan selama 1 menit. Ditambahkan larutan NaCl jenuh untuk menguapkan larutan heptana hingga leher tabung. Selanjutnya 1 ml lapisan heptana dipindahkan dengan bantuan pipet tetes kedalam tabung kemudian ditambahkan ± 0.1 g Na2SO4 anhidrat untuk menghilangkan air, biarkan 15 menit. Fasa cair selanjutnya diinjeksikan ke kromatografi gas. Tahap identifikasi asam lemak dilakukan dengan cara menginjeksikan 1 µl methyl ester pada kromatogafi gas (GC) dengan spesifikasi sebagai berikut : Kolom
: Cyanopropil methyl sil (capilary coloumn)
Dimensi kolom
: p=60 m, diameter dalam= 0.25 mm, 0.25 µm film thickness
Suhu Kolom
: Suhu terprogam yaitu 125 ºC (suhu awal) selama 5 menit,
kemudian
dinaikkan
dengan
kecepatan
10 ºC /menit sampai 185 ºC. Selanjutnya dinaikkan dengan kecepatan
5 ºC/menit sampai suhu 205 ºC
dipertahankan selama 10 menit dan dinaikkan kembali dengan kecepatan 3 ºC/menit sampai suhu 225 ºC dipertahankan selama 7 menit. Detektor
:
FID
Suhu detektor :
240 ºC
Suhu injektor :
220 ºC
36
Gas pembawa : Helium 30 ml/menit Gas pembakar : Hidrogen (40 ml/menit) dan udara (400 ml/menit)
Untuk identifikasi asam lemak dalam sampel dilakukan dengan mencocokkan waktu retensi peak asam lemak sampel dengan waktu retensi peak standar FAME murni yang terdiri dari : C4:0, C6:0, C8:0, C10:0, C11:0, C12:0, C13:0, C14:0, C14:1, C15:0, C15:1, C16:0, C16:1, C17:0, C17:1, C18:0, C18:1n9t, C18:1n9c, C18:2n6t, C18:2n6c, 18:3n3, 18:3n6, C20:0, C20:1, C20:2, C20:3n6, C20:3n3, C20:4n6, C20:5n3, C21:0, C22:0, C22:1n9, C22:2, C22:6n3, C23:0, C24:0 dan C24:1.
Untuk menghitung jumlah asam lemak jenuh maupun tidak jenuh dilakukan dengan dua tahap yaitu: Membandingkan waktu retensi (RT) asam lemak yang terdapat dalam sampel dengan waktu retensi asam lemak dalam standar eksternal. Menghitung asam lemak yang teridentifikasi dalam sampel (% b/b) dengan rumus sebagai berikut : Ax/As x C standar x V contoh/100 x 100% Gram contoh
Di mana : V contoh Cs Ax As
= volume contoh = Konsentrasi standar = Luas puncak komponen x = Luas puncak standar
g. Analisa Gugus Fungsi Gugus fungsi dalam komponen ditentukan secara spektroskopi FTIR Prinsip FTIR adalah identifikasi gugus fungsi sampel berdasarkan penyerapan gelombang infra merah vibrasi rotasi. Besarnya energi vibrasi dan vibrasi rotasi bersifat khas untuk tiap jenis ikatan. Sistem pengukuran yang digunakan adalah Diffuse Reflectance Spectroscopy (DRS). Bubuk KBr sebanyak 200 mg ditambahkan dengan sampel minyak dan dihomogenasi. Campuran dimasukkan kedalam tempat sampel dan di analisis pada panjang gelombang 400 – 5000 cm-1
37
h. Penentuan Profil Gliserida (Jennings dan Akoh, 2001)
Penentuan profil gliserida dilakukan melalui tahap (1) Hidrolisis secara enzimatis (2) Analisa profil gliserida menggunakan reversed phase HPLC
(1) Hidrolisis secara enzimatis Pertama-tama dibuat campuran yang terdiri dari minyak ikan 1 ml, 1 ml bufer tris (hidroksimetil) aminomethane 1.0 M, pH 8, 0.2 ml larutan kalsium klorida 2.2 % dan enzim lipase dari kapang Thermomyces lanuginosa spesifik 1,3 sebanyak 10% dari berat minyak. Campuran tersebut kemudian diinkubasikan didalam waterbath shaker pada suhu 55 ºC selama 12,18 dan 48 jam. Pada akhir waktu hidrolisis, ditambahkan
etanol sebanyak 1 ml dan larutan asam hidroklorida
sebanyak 1 ml. Ekstraksi lemak dilakukan dengan menggunakan dietil eter sebanyak 1 ml. Campuran kemudian divortex dan disentrifuge pada suhu 5 ºC dengan kecepatan 2185 g selama 15 menit.
(2) Profil gliserida menggunakan sistem NARP-HPLC (non aqueous reversedphase HPLC) Larutan dari tahap persiapan sampel diinjeksikan 20 μL ke dalam HPLC dengan menggunakan syringe. HPLC yang digunakan memiliki tipe pompa isokratik dengan laju aliran fase bergerak yang terdiri dari aseton: asetonitril (85:15 v/v). Kolom yang digunakan adalah dua kolom C-18. Waktu retensi dari pelarut dan puncak trigliserida, juga persentase dari tiap trigliserida. Spesifikasi alat HPLC yang digunakan adalah: Pump Hewlett Packard Series 1100, Detector RID Agilent Technologies 1100 Series, Injector Rheodyne 20 μL, Column C-18 phase; ZORBAX Eclipse XDB (4,6 x 250 mm), Mobile phase aseton : asetonitril = 85 : 15, dan kecepatan elusi 0.8 ml/min (isokratik). i. Warna Pengukuran warna minyak dilakukan menggunakan alat Chromameter Minolta CR 300.
Sampel minyak diteteskan pada tempat sampel pada alat
kemudian ditutup dan alat dijalankan. Notasi – notasi yang muncul dari hasil pengukuran yaitu L*, a* dan b*. Notasi L* menyatakan nilai kecerahan dengan kisaran angka dari 0 – 100 (paling cerah). Notasi a* menyatakan warna
38
kehijauan (positif) dan kemerahan (negatif). Notasi b* menyatakan warna kuning (positif) dan biru (negatif). j. Viskositas Pengukuran viskositas dilakukan dengan alat viscometer Brookfield. Sampel minyak yang telah disimpan beku dithawing terlebih dahulu dengan cara botol minyak direndam air di sekelilingnya dan dipanaskan diatas penangas air pada suhu 30 ºC hingga minyak mencair sempurna. Minyak kemudian diukur viskositasnya menggunakan spindel 1 dengan kecepatan 30 rpm. k. Titik leleh (Melting Point) dengan alat DSC (Sathivel et al. 2008) Minyak ditimbang sebanyak 0.5 – 1 mg dan diletakkan dalam pan sampel aluminium (crucible) pada alat DSC. Pan aluminium kosong diletakkan sebagai referensi. Penentuan titik leleh minyak dilakukan dengan cara mengatur suhu pemanasan -75 ºC hingga 125 ºC dengan kenaikan suhu sebesar 5 ºC/menit. ANALISIS DATA Rancangan percobaan yang digunakan pada proses ekstraksi minyak ikan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan perlakuan dua macam jenis ikan patin yaitu patin siam dan patin jambal serta bagian - bagian limbah ikan patin. Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Analisis data untuk karakteristik minyak ikan dilakukan menggunakan analisis sidik ragam. Jika hasil analisis berbeda nyata, dilanjutkan uji lanjut menggunakan Wilayah Ganda Duncan.
39
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Bahan Baku Ikan Patin Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan patin yang dikenal dengan sebutan catfish. Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru – biruan. Kepala ikan relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan catfish (Djarijah, 2001). Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut pendek yang berfungsi sebagai alat peraba (Susanto dan Amri, 1998). Kedua jenis ikan patin yang digunakan sebagai bahan baku pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.
(A)
(B)
Gambar 11 Bahan Baku Ikan Patin (A) Siam (Pangasius hypopthalmus) dan (B) Jambal (Pangasius djambal)
40
Perbedaan antara ikan patin Siam dan Jambal terletak pada warna punggungnya dimana ikan patin jenis Jambal memiliki warna abu – abu keperakan sedangkan ikan patin Siam cenderung kebiruan. Bagian kepala ikan patin jambal berbentuk padat, membulat sedangkan ikan patin siam cenderung pipih memanjang. Ekor ikan patin Siam pendek dan membulat sedangkan ikan patin jambal lebih runcing dan memanjang. Ikan patin termasuk golongan omnivora yang masuk dalam keluarga Genus Pangasius. Ikan Patin Siam merupakan ikan introduksi dari Thailand yang sudah berhasil di budidayakan sebagai ikan konsumsi di Indonesia. Kolam – kolam budidaya ikan patin Siam tersebar di sepanjang daerah Parung dan Jawa Barat juga di daerah Sumatera dan Kalimantan. Daging filet ikan patin Siam berwarna kuning kemerahan sehingga menimbulkan permasalahan pada saat masuk industri pengolahan filet skala ekspor karena para importir umumnya mendapatkan
daging
filet
patin
yang
berwarna
putih
dari
Vietnam.
Permasalahan ini sebenarnya teratasi dengan mulai dikembangkannya ikan patin Jambal (Pangasius djambal). Ikan patin Jambal merupakan ikan patin lokal Indonesia yang telah mulai dikembangkan sejak beberapa tahun terakhir ini, berkaitan dengan dagingnya yang berwarna lebih putih dan rasa yang lebih gurih karena kandungan lemaknya yang tinggi. Kelemahan dari ikan patin Jambal ini adalah sifatnya yang rentan terhadap kondisi budidaya sehingga bersifat tidak stabil dan mempengaruhi hasil produksi budidaya. Pada penelitian ini, ikan patin Siam didapatkan dari kolam budidaya di daerah Parung, Bogor. Ikan patin Siam diberikan pakan buatan jenis pelet dengan kandungan lemak berkisar 3-5%. Tahap pemanenan dilakukan menggunakan jala yang diletakkan di sekeliling kolam untuk menjaga ikan patin tidak melompat keluar kolam. Ikan patin ditangkap dalam keadaan hidup dan dimasukkan kedalam blong – blong plastik yang berisi air dan telah didesain terbuka di bagian atas sehingga masih terdapat udara terbuka. Blong ikan kemudian diangkut menggunakan mobil pick up terbuka dengan bagian atas ditutup jaring secara keseluruhan sehingga menghindari terjadinya loncatan ikan patin selama transportasi. Waktu yang dibutuhkan dari kolam hingga sampai laboratorium sekitar 2 jam perjalanan. Setelah sampai di tempat, ikan patin dimasukkan kedalam bak – bak penampungan yang telah disiapkan kemudian dibiarkan semalam dalam keadaan diberok (dipuasakan). Hal ini dilakukan untuk
41
mengembalikan kondisi ikan agar stabil setelah melalui transportasi dalam keadaan hidup. Proses pemfiletan dilakukan pada keesokan harinya. Ikan patin Jambal didapatkan dari kolam budidaya Balai Budidaya Air Tawar dan Payau, Kelautan dan Perikanan di Sukamandi, Jawa Barat. Pada umumnya ikan patin Jambal hanya dapat dibudidayakan di sekitar luar pulau Jawa seperti Palembang, Jambi, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat yang merupakan habitat aslinya. Ikan patin Jambal yang dibudidayakan di Sukamandi ini merupakan hasil dari pembenihan induk ikan patin Jambal yang didapatkan dari habitat aslinya di daerah Sumatera. Kondisi budidaya terkontrol dengan baik disesuaikan dengan kondisi budidaya yang dibutuhkan ikan patin Jambal. Jenis pakan buatan yang diberikan untuk ikan patin Jambal adalah bentuk pelet dengan pemberian dilakukan sebanyak dua kali sehari (pagi dan sore hari). Pakan buatan yang diberikan mengandung kadar lemak sebesar 6-8%, sedikit lebih tinggi dibandingkan kadar lemak pakan ikan patin Siam. Pemanenan ikan patin Jambal dari kolam budidaya menggunakan jala yang dibentangkan di pinggir kolam kemudian ikan patin dimasukkan kedalamnya untuk selanjutnya dikumpulkan. Ikan patin Jambal dimasukkan kedalam air es untuk shock terapi suhu dingin sehingga ikan mati dan dimasukkan ke dalam coolbox yang diisi es dengan perbandingan ikan : es adalah 1 : 3. Ikan patin Jambal diangkut ke Jakarta menggunakan kendaraan tertutup dengan waktu tempuh selama 3-4 jam perjalanan. Setelah sampai di laboratorium, langsung dilakukan proses pemfiletan ikan patin Jambal. Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan patin ukuran konsumsi yang berukuran 450 – 550 g per ekornya baik jenis Siam maupun Jambal.
Proses Pemfiletan Ikan Patin Ikan patin sebagai bahan baku penelitian ini difilet untuk mendapatkan hasil berupa daging filet dan sisanya yang tidak dapat dimakan berupa limbah. Proses pengolahan filet ikan patin dilakukan melalui beberapa tahapan yang meliputi penimbangan, pencucian, pemfiletan, penyiangan, perapian/pengeratan filet (trimming), pelepasan kulit, pencucian, penimbangan. Proses pemfiletan ikan patin dapat dilihat pada Gambar 12.
42
(A)
(B) Gambar 12 Proses Pemfiletan Ikan Patin (A) Penyayatan awal daging ikan dan (B) Pemotongan filet. Ikan patin yang telah dimatikan dengan menggunakan es diproses filet menggunakan pisau filet dan kondisi pemfiletan dipertahankan dalam kondisi suhu dingin untuk menghindari terjadinya kemunduran mutu ikan. Ikan patin disayat dari bagian ekor kemudian menyusuri sepanjang tulang badan hingga pangkal leher. Daging filet yang dihasilkan masih menyambung dengan daging bagian belly flap sehingga harus dirapikan untuk mendapatkan daging filet yang berbentuk seragam dan memenuhi kualitas bentuk filet skala industri.
Hasil
perapian daging filet setelah bagian daging belly flap dipotong disebut dengan daging sisa trimming. Daging filet yang didapatkan kemudian dicuci, ditiriskan dan dikelompokkan untuk kemudian dikemas dalam plastik vakum hingga
43
digunakan. Bagian – bagian tubuh ikan patin lainnya yang didapatkan pada saat proses
pengolahan
filet
selain
daging
filet,
dikategorikan
limbah
dan
dikelompokkan masing – masing sehingga mudah dalam penanganannya. Hasil proses pengolahan fillet ikan patin berupa daging fillet ikan patin dengan yield sebesar 32.69% dan 31.10% berturut – turut untuk patin Siam dan Jambal. Yield didapatkan dari berat filet yang didapatkan dibagi dengan berat ikan awal. Besarnya rendemen ini bervariasi tergantung pada jenis ikan dan bentuk filet yang diinginkan pada saat diproses. Hasil penelitian Sathivel (2002) mendapatkan yield fillet catfish sebesar 45%. Daging filet sebagai yield yang didapatkan pada proses pengolahan filet ikan patin pada umumnya diproses beku sebagai produk fillet skinless yang kemudian diekspor atau dijual lokal, akan tetapi terkadang juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk olahan ikan patin seperti bakso, nugget, otak – otak dan sosis. Daging filet skinless merupakan bagian terbesar dari ikan patin. Pada umumnya daging filet ini digunakan sebagai bahan baku produk – produk olahan ataupun dikonsumsi dalam keadaan fresh ataupun frozen. Pada industri pengolahan patin, daging filet skinless ini merupakan produk ekspor yang pada umumnya dikemas dalam kemasan individual vacuum packed (IVP) kemudian disimpan beku. Industri pengolahan filet patin semakin meningkat di Indonesia dengan terbentuknya 75 unit usaha yang terdiri dari 13 usaha skala besar dan sisanya adalah pengolahan ikan asap, abon, keripik kulit patin dan olahan lainnya. Beberapa unit pengolahan patin fillet di Indonesia di antaranya adalah di Jambi, Karawang, Purwakarta, Tulung Agung, Banjar dan Riau (Kap 2012). Semakin meningkatnya industri pengolahan ikan patin ini harus dibarengi pula dengan teknologi
pemanfaatan
limbah
yang
dihasilkan
sehingga
akan
mendapatkan produk yang memiliki nilai tambah tinggi.
Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin Pada proses pengolahan filet ikan patin, selain daging filet sebagai hasil utama, didapatkan bagian tubuh lainnya sebagai sisa ataupun limbah sebanyak enam (6) bagian. Keenam bagian limbah tersebut meliputi kepala, tulang-ekor (bagian tulang badan yang bersambungan dengan ekor), kulit, daging belly flap (daging pada bagian perut), daging sisa trimming (daging sisa pengeratan filet) dan isi perut. Pada Tabel 6 dapat dilihat bagian - bagian tubuh patin pada saat
44
proses pengolahan filet dengan persentase yield yang didapatkan masing – masing bagian berdasarkan perhitungan per berat ikan awal. Tabel 6 Bagian – bagian tubuh ikan patin Yield (%) No
Bagian tubuh Ikan Patin Patin Siam
Patin Jambal
1.
Daging Filet skinless
32.69±0.30
31.10±0.41
2.
Kepala
23.05±0.17
26.16±0.10
3.
Tulang-ekor
15.06±0.15
14.38±0.22
4.
Daging belly flap
6.98±0.05
7.67±0.36
5.
Daging sisa trimming
5.28±0.61
5.83±0.90
6.
Kulit
6.14±0.12
5.12±0.27
7.
Isi perut
10.8±0.16
9.74±0.11
45
Limbah yang dihasilkan secara keseluruhan dari proses pengolahan filet ikan patin ini sebesar 67.31% dan 68.9% berturut – turut untuk ikan patin Siam dan Jambal, jumlah yang relatif cukup besar dalam kategori limbah, walaupun beberapa bagian masih bisa dimanfaatkan dagingnya seperti daging sisa trimming dan daging belly flap untuk keperluan pembuatan produk olahan lokal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sathivel et al. (2002) yang mendapatkan hasil bahwa bagian selebihnya dari
proses
pengolahan fillet yaitu termasuk isi perut, lemak abdomen, tulang, kulit dan hasil perapian (trimming) sebesar 55% belum dimanfaatkan secara optimal. Bagian terbesar yang kedua setelah daging filet adalah bagian kepala yaitu sebesar 23.05% dan 26.16% berturut – turut untuk jenis Siam dan Jambal. Tampak pada Gambar 11. bagian kepala ikan patin Siam berbentuk lebih kecil dan memanjang dibandingkan dengan ikan patin Jambal. Pada umumnya bagian kepala ini merupakan limbah yang terbuang bersama dengan bagian tubuh lainnya seperti daging belly flap (daging bagian perut), tulang-ekor, kulit dan isi perut. Hasil pengeratan daging filet pada umumnya didapatkan pada saat membentuk daging filet yang seragam bentuknya sehingga didapatkan sisa daging yang disebut dengan daging sisa trimming. Daging sisa trimming ini merupakan limbah akan tetapi terkadang masih digunakan sebagai bahan baku produk – produk olahan ikan untuk konsumsi lokal. Menurut Zaitzev et al. 1969, bagian tubuh yang tidak dapat dimakan umumnya dinamakan limbah hasil pengolahan perikanan dimana pemanfaatannya masih sebatas sebagai pakan ikan ataupun hewan ternak lainnya. Proses pengolahan ikan umumnya menghasilkan limbah hingga diatas 50% dari keseluruhan berat ikan yang diolah (Zuta et al. 2003). Besarnya prosentase limbah yang dihasilkan tidak ditunjang dengan pemanfaatan yang maksimal sehingga limbah proses pengolahan filet ikan patin tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Pada beberapa perusahaan pengolahan filet, limbah dijual pada pengumpul dengan harga seribu rupiah per kilo, harga yang sangat rendah mengingat potensi limbah yang besar untuk dimanfaatkan dalam bidang pangan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fiori et al. (2012) terhadap limbah hasil pengolahan filet ikan Rainbow Trout yang meliputi kepala, sirip-tulang dan isi perut dimana kesemua bagian limbah tersebut dapat dijadikan sebagai sumber potensial asam lemak omega 3 yaitu
46
berkisar 6.0% hingga 8.7% serta merupakan sumber alternatif asam lemak tak jenuh yang berkisar antara 72.6% hingga 75.3%. Limbah hasil proses pengolahan filet ikan patin kemudian ditimbang dan dilakukan pencucian hingga bersih dari kotoran yang menempel. Setelah dicuci kemudian limbah ditiriskan dan dikemas vakum sehingga siap digunakan sebagai bahan baku dalam ekstraksi minyak ikan patin setelah dilakukan analisa kadar lemaknya. Kadar Lemak Limbah Ikan Patin Kadar lemak dari bagian – bagian tubuh ikan patin baik jenis Siam maupun Jambal tampak pada Tabel 7. Analisa kadar lemak ini dilakukan menggunakan metode soxhlet sebanyak 3 kali ulangan. Masing – masing bagian tubuh ikan patin baik daging filet maupun limbahnya memiliki kandungan lemak yang bervariasi, dimana bagian yang berdekatan dengan bagian perut umumnya memiliki kadar lemak yang lebih besar terkait dengan jaringan penimbunan lemak di bagian adiposa ikan patin. Bagian isi perut yang berkisar 10% dari total ikan patin memiliki kadar lemak yang tinggi bahkan mencapai 35.32% untuk ikan patin Jambal. Hal ini dikarenakan ikan patin memiliki bagian lemak abdomen yang tersimpan di bagian isi perut sehingga menyumbang kadar lemak yang cukup tinggi untuk bagian tersebut. Kadar lemak bagian isi perut ikan patin Siam dan Jambal berbeda sangat nyata hal ini dikarenakan perbedaan dalam konsumsi pakan yang diberikan. Pada ikan patin Siam, pakan yang diberikan mengandung lemak sebesar 3-5% berdasarkan komposisi pakannya, sedangkan pakan ikan patin Jambal mengandung kadar lemak sebesar 6-8% yang ditunjang dari ingredien tepung ikan yang menyusunnya. Menurut penelitian Hwang et al. (2004), bagian isi perut catfish termasuk didalamnya seperti saluran pencernaan, hati, empedu dan lemak simpanan (lemak abdomen) merupakan sumber lemak yang potensial dengan kandungan omega 3 yang tinggi.
47
Tabel 7 Kadar lemak bagian – bagian tubuh ikan patin Siam dan Jambal Bagian tubuh Daging Filet skinless Kepala Tulang-ekor Daging belly flap Daging sisa trimming Kulit Isi perut
Kadar Lemak (%) Patin Siam Patin Jambal a a 2.72±0.09 2.89±0.19 a b 11.20±0.66 10.85±0.12 a b 13.10±0.6 11.90±0.63 b b 36.21±0.59 36.50±0.31 a b 6.63±0.50 10.75±0.98 a b 7.90±1.03 6.61±0.84 26.51±0.55
a
35.32±0.65
b
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05).
Kadar lemak bagian – bagian tubuh ikan patin berkisar antara 2.72% hingga 35.32%. Bagian yang terendah kadar lemaknya adalah daging fillet skinless yaitu 2.72% untuk ikan patin Siam dan 2.89% untuk Jambal. Hal ini terkait dengan proses pengeratan pada daging fillet saat proses pemfiletan sehingga bagian berlemak yang menempel pada daging filet sudah dibuang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ho dan Paul (2009) yang mendapatkan kadar lemak daging fillet untuk ikan patin „Tra‟ (Pangasius hypopthalmus) sebesar 2.55%. Hasil penelitian Ozogul et al. (2007) terhadap beberapa jenis daging ikan air tawar mendapatkan kadar lemak berkisar 0.39% untuk ikan Zander hingga 3.21% untuk ikan lele Afrika. Bagian daging belly flap memiliki kandungan lemak yang tertinggi yaitu sebesar 36.21% untuk ikan patin Siam dan 36.50% untuk Jambal. Bagian daging belly flap ini merupakan bagian bawah dekat perut sehingga tampak membesar karena timbunan lemaknya cukup besar. Penelitian Sathivel et al. (2002) mendapatkan hasil analisa kadar lemak pada bagian isi perut ikan lele sebesar 33.6%, daging filet 9% dan daging belly flap 14.7%. Perbedaan kandungan lemak ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya adalah perbedaan spesies, jenis kelamin, habitat, geografi dan makanannya (Rasoarahona et al. 2005).
Profil Asam Lemak Minyak Limbah Ikan Patin
Analisa profil asam lemak minyak ikan patin diawali dengan proses ekstraksi minyak ikan patin jenis Siam dan Jambal. Proses ekstraksi minyak ikan yang dilakukan menggunakan metode wet rendering mengacu pada metode Sathivel et al. (2008) yang dimodifikasi. Bahan baku yang berupa daging filet
48
ikan patin dan limbahnya dilumatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan ekstraksi. Proses ekstraksi minyak ikan patin dilakukan pada suhu 70ºC selama 15 menit kemudian disaring dan dilakukan proses pemisahan menggunakan corong pisah (Gambar 13). Minyak ikan kasar yang dihasilkan dari proses ekstraksi bagian – bagian tubuh ikan patin kemudian disimpan didalam botol berwarna gelap dan disimpan pada suhu -18ºC hingga dianalisa.
(A)
(B)
Gambar 13 Ekstraksi minyak ikan patin pada suhu 70 ºC (A) dan pemisahan menggunakan corong pemisah (B). Minyak
ikan
kasar
kemudian
dianalisa
profil
asam
lemaknya
menggunakan kromatografi gas dengan standar asam lemak yang digunakan adalah mix FAME standart dari Sigma Co. Analisa profil asam lemak dilakukan dengan melalui tahapan metilasi dan identifikasi asam lemak. Metilasi dilakukan untuk menjadikan asam lemak dalam bentuk metil esternya sehingga bersifat lebih
mudah
menguap.
Identifikasi
tiap
komponen
dilakukan
dengan
membandingkan waktu retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang sama. Jenis dan jumlah asam lemak yang ada pada contoh dapat diidentifikasi dengan
membandingkan
kromatogram
asam
puncak
lemak
kromatogram
standar
yang
contoh
telah
dengan
diketahui
puncak
jenis
dan
konsentrasinya.Hasil analisa profil asam lemak dari bagian – bagian tubuh ikan patin jenis Siam dan Jambal
dengan jumlah masing – masing jumlah asam
lemak jenuh (Saturated fatty acid, SFA), asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated fatty acid, MUFA) dan asam lemak tak jenuh jamak (Polyunsaturated fatty acid, PUFA) ditunjukkan pada Tabel 8.
49
Tabel 8 Profil asam lemak dari bagian – bagian tubuh ikan patin Siam dan Jambal Jenis patin Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal
Asam Lemak
C14:0 (miristat) C16:0 (palmitat) C18:0 (stearat) C20:0 (arakhidat) ∑ SFA C16:1 (palmitoleat) C18:1 (oleat) C20:1 (eikosanoat) C24:1 (nervonat) ∑ MUFA C18:2 (linoleat) C18:3 (linolenat) C20:2 (eikosadienoat) C20:3 (homo-glinolenat) C20:4 (arakidonat) C20:5 (eikosapentaenoat) C22:6 (dokosaheksaenoat) ∑ PUFA Omega 3
*satuan (% relatif)
4.83 1.56 34.44 30.04 9.60 8.40 0.20 0.18 49.07 40.19 3.13 1.92 34.27 32.96 0.85 0.60 0.03 0.04 38.28 35.52 8.39 17.22 0.84 1.26 0.51 0.71 0.61 0.79 0.83 0.72 0.43 0.78 1.04 2.82 12.65 24.29 2.31
belly flap 5.04 1.58 35.15 29.57 9.22 8.50 0.19 0.17 49.60 39.81 2.88 1.91 34.09 34.23 0.86 0.61 0.03 0.04 37.86 36.78 8.75 16.93 0.77 1.27 0.49 0.70 0.53 0.72 0.56 0.59 0.43 0.72 1.02 2.47 12.54 23.41 2.21
4.86
4.46
Isi perut 5.42 1.64 33.50 31.01 10.03 8.98 0.17 0.18 49.12 41.80 3.16 1.90 35.85 33.59 0.82 0.57 0.03 0.04 39.85 36.11 7.75 16.04 0.65 1.17 0.42 0.66 0.50 0.70 0.53 0.60 0.34 0.67 0.83 2.24 11.02 22.09 1.82
Kepala
4.09
fillet 4.91 2.05 35.36 32.34 9.33 9.22 0.20 0.19 49.81 43.80 2.77 1.97 33.97 33.27 0.88 0.61 0.03 0.05 37.65 35.90 8.76 14.81 0.76 1.10 0.52 0.69 0.54 0.63 0.55 0.57 0.40 0.63 1.02 1.86 12.55 20.29 2.18
sisa trimming 4.56 1.51 34.88 29.98 9.21 8.92 0.19 0.18 48.84 40.59 2.48 1.86 34.75 34.24 0.86 0.59 0.03 0.04 38.12 36.74 9.30 16.23 0.80 1.20 0.48 0.68 0.51 0.73 0.55 0.61 0.41 0.70 0.99 2.53 13.04 22.67 2.20
Tulangekor 4.80 1.54 35.52 29.86 9.18 8.70 0.21 0.17 49.72 40.27 2.65 1.88 33.95 33.53 0.86 0.59 0.03 0.03 37.49 36.03 9.37 16.56 0.33 1.22 0.47 0.70 0.57 0.75 0.58 0.72 0.43 0.77 1.03 2.97 12.79 23.70 1.79
Kulit 5.18 1.45 35.12 29.84 9.65 9.16 0.20 0.18 50.16 40.63 2.79 1.82 34.31 34.72 0.86 0.61 0.03 0.04 38.00 37.19 8.54 15.91 0.28 1.24 0.48 0.68 0.53 0.67 0.60 0.56 0.40 0.68 1.01 2.43 11.85 22.18 1.69
3.60
4.43
4.96
3.80
50
Profil asam lemak dari minyak ikan patin Siam menunjukkan hasil bahwa terdapat tren yang sama untuk semua bagian – bagian tubuh, hanya berbeda secara kuantifikasinya. Asam lemak yang mendominasi untuk semua perlakuan yaitu asam lemak palmitat dan oleat yang besarnya berkisar antara 33.95% hingga 35.85%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sathivel et al. (2003) pada minyak isi perut ikan lele dimana asam lemak dominan yang diperoleh yaitu jenis palmitat dan oleat. Pada minyak ikan patin Siam kandungan asam lemak palmitat dan oleat lebih tinggi dibandingkan dengan Jambal. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Wibawa et al. (2006) yang mendapatkan asam lemak penyusun ekstrak minyak ikan Kembung didominasi oleh asam stearat (22.19%), oleat (21.99%), palmitat (20.16%), palmitoleat (19.96%) dan miristat (17.86%). Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Thammapat et al. (2010) yang mendapatkan hasil bahwa asam lemak oleat mendominasi pada semua bagian tubuh Asian catfish yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu kepala, badan dan ekor. Sedangkan kandungan asam lemak omega 3 nya relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan ikan air laut yaitu hanya berkisar antara 1.63% hingga 1.95% pada semua bagian tubuh ikan. Asam lemak omega 3 yang meliputi linolenat, EPA dan DHA terdeteksi untuk semua perlakuan dengan jumlah berkisar antara 1.69% hingga 4.96% dari total keseluruhan asam lemak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa minyak ikan patin Jambal memiliki kandungan asam lemak omega 3 yang lebih tinggi dibandingkan minyak ikan patin Siam pada semua bagian tubuh. Hal ini berkaitan dengan jenis pakan yang dikonsumsi berbeda secara jenis dan kualitasnya. Kandungan asam lemak omega 3 pada ikan bervariasi berdasarkan jenis, musim, habitat, pakan dan beberapa faktor lainnya. Penelitian Ozogul et al. (2007) memberikan hasil bahwa komposisi asam lemak ikan dipengaruhi oleh kandungan PUFA (asam lemak tak jenuh rantai panjang) dari pakan yang diberikan. Asam lemak tak jenuh rantai panjang yang dikenal dengan omega 3 pada minyak ikan terutama EPA dan DHA, memiliki fungsi bagi kesehatan tubuh, EPA merupakan prekusor prostaglandin, thromboxanes dan leukotrienes sedang DHA merupakan komponen pada membran phospholipid sel otak dan retina sehingga sangat essensial bagi tubuh (Zhong et al. 2007). Minyak ikan mengandung PUFA seperti EPA (C20:5 n-3), DHA (C22:6 n-3) dan asam
51
arakidonat (C20:4 n-6) yang tidak dapat disintesis oleh tubuh ikan tetapi kebutuhannya sangat essensial bagi tubuh (Alasalvar et al. 2002; Kolanowski & Laufenberg, 2006). Minyak ikan kasar yang dihasilkan dari proses ekstraksi minyak ikan dihitung rendemennya dengan menghitung perbandingan antara minyak ikan yang didapatkan dengan berat bahan baku yang digunakan pada masing – masing perlakuan. Rendemen minyak ikan patin kasar yang didapatkan baik untuk jenis ikan patin Siam maupun Jambal dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan rendemen minyak ikan kasar yang dihasilkan menunjukkan bahwa terdapat tiga bagian tubuh ikan patin yang potensial sebagai bahan baku minyak ikan yaitu bagian kepala, daging belly flap dan isi perut, masing – masing sebesar 9.84%; 28.52% dan 20.34% untuk jenis ikan patin siam dan 9.54%; 25.60% dan 30.05% untuk jenis ikan patin jambal. Bagian tubuh ikan patin lainnya memiliki rendemen yang kecil dalam menghasilkan minyak ikan kasar terutama bagian daging filet yaitu sebesar 1.98% untuk Siam dan 1.02% untuk Jambal.
Gambar 14 Rendemen minyak ikan kasar ikan patin Siam dan Jambal
52
Berdasarkan data rendemen yang didapatkan dan dikaitkan dengan yield bagian tubuh ikan patin (Tabel 6) serta kandungan lemaknya (Tabel 7) maka bagian yang potensial untuk dilanjutkan pada tahapan pemurnian minyak ikan patin adalah bagian kepala, daging belly flap dan isi perut. Pemurnian Minyak Ikan Patin Minyak ikan patin kasar yang diperoleh memiliki warna kuning keruh dan berbau sedikit amis terutama yang diekstrak dari bagian isi perut (Gambar 15 A). Hal ini disebabkan karena minyak ikan patin kasar masih mengandung beberapa komponen pengotor yang tidak dikehendaki seperti asam lemak bebas, produk hasik oksidasi, fosfatida, logam dan sebagainya yang dapat mempengaruhi warna dan aroma minyak. Untuk menjadikan minyak ikan yang dihasilkan layak konsumsi maka komponen yang tidak dikehendaki tersebut harus dihilangkan dengan cara dilakukan tahap pemurnian. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti penghilangan gum (degumming), penghilangan asam lemak bebas (refining), pemucatan (bleaching), penghilangan aroma (deodorisasi) ataupun kombinasi diantaranya. Pada penelitian ini, proses pemurnian yang dilakukan adalah proses pemucatan yang dikombinasikan dengan pemanasan dan pengadukan (Gambar 15 ).
(A)
(B)
(C) Gambar 15 Pemurnian minyak ikan patin (A) Alat pemurnian (B) Alat penyaring vakum (C) Minyak ikan patin murni
53
Minyak ikan patin kasar dimurnikan dalam satu rangkaian proses menggunakan alat pemurnian yang disambungkan dengan alat penyaring vakum. Tabel 9 menunjukkan bahwa rendemen minyak ikan murni pada masing – masing bagian tubuh berbeda nyata (P<0.05). Minyak ikan patin murni yang dihasilkan berkurang sekitar 8.14% - 17.45% dari berat minyak awal. Hal ini disebabkan karena adanya tahapan proses pemanasan, pengadukan hingga penyaringan vakum yang memungkinkan terjadinya kehilangan berat minyak. Selain itu, karena proses pemurnian ini menghilangkan komponen – komponen pengotor yang sebelumnya terdapat pada minyak ikan patin kasar, maka terjadi penurunan berat minyak dibandingkan minyak awal. Tabel 9 Rendemen Minyak Ikan Patin Murni Jenis Ikan Patin
Rendemen Minyak Ikan Patin Murni (%) Kepala
Daging belly flap
Isi perut
Patin Siam
85.42±0.65a
88.65±0.96b
91.86±1.29c
Patin Jambal
82.55±1.04a
85.35±0.63b
89.20±0.38c
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05).
Proses pemurnian ini meliputi tahapan proses pemanasan, penambahan adsorben dan penyaringan vakum Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan adsorben (bentonit) sebesar 1% dari berat minyak pada saat suhu mencapai 55 – 60 ºC kemudian pemanasan dilanjutkan hingga mencapai suhu 80ºC selama 30 menit. Penambahan adsorben ini adalah selain untuk memperbaiki warna minyak juga berperan mengurangi komponen minor lainnya seperti aroma, logam berat, produk hasil oksidasi lemak seperti peroksida, aldehid dan keton, asam lemak bebas, juga dapat mengurangi kadar fosfatida dalam minyak ikan (Estiasih 2009). Setelah proses pemucatan selesai, minyak ikan disaring vakum untuk memisahkan adsorben dari minyak sehingga didapatkan minyak ikan patin murni dengan warna yang jernih. Karakteristik Minyak Ikan Patin Karakterisasi minyak ikan patin murni dilakukan untuk mengetahui sifat – sifat minyak yang dihasilkan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi : sifat – sifat
54
minyak secara kimia, profil dan komposisi asam lemak, penentuan posisi asam lemak dalam trigliserida (profil gliserida) serta sifat – sifat minyak secara fisik. Karakteristik Kimia Minyak Ikan Patin Minyak ikan patin dari bagian kepala, daging belly flap dan isi perut baik jenis Siam maupun Jambal kemudian dianalisa secara kimia yang meliputi angka asam lemak bebas, angka peroksida, bilangan iod dan bilangan penyabunan (Tabel 10). Analisa ini dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Angka asam lemak bebas yang menyatakan kerusakan awal minyak terdeteksi sangat rendah pada minyak ikan patin baik Siam maupun Jambal pada semua perlakuan yaitu berkisar antara 0.22 – 0.84%. Hal ini menunjukkan bahwa minyak ikan patin yang dihasilkan masih memiliki mutu yang bagus. Berkaitan pula dengan masih rendahnya angka peroksida yang didapatkan yang menunjukkan nilai maksimal sebesar 3.93 meq/kg untuk minyak ikan patin Siam pada bagian isi perut dan 7.77 meq/kg untuk minyak ikan patin Jambal juga pada bagian isi perut. Menurut Bimbo (1998) standar minyak ikan yang ditetapkan International Association of Fish Meal Manufacturers untuk angka peroksida sebesar 3-20 meq/kg dan kadar asam lemak bebas dibawah 7%. Berdasarkan hasil penelitian, minyak ikan patin murni yang dihasilkan masih masuk dalam standar minyak ikan yang ditetapkan untuk semua perlakuan dari jenis patin Siam maupun Jambal.
Tabel 10 Hasil Analisa Kimia Minyak Ikan Patin Murni Ikan Patin
Patin Siam
Patin Jambal
Parameter
Bagian tubuh Kepala
Daging belly flap
Isi perut
Angka asam lemak bebas (%)
0.22±0.02
0.26±0.04
0.61±0.08
Angka peroksida (meq/kg)
2.19±0.54
2.88±0.10
3.93±0.19
Bilangan Iod
104.82±0.21
124.16±2.42
86.82±0.46
Bilangan penyabunan
143.05±0.71
143.74±1.41
144.66±0.39
Angka asam lemak bebas (%)
0.55±0.02
0.32±0.01
0.84±0.05
Angka peroksida (meq/kg)
6.82±0.53
5.89±0.53
7.77±0.51
Bilangan Iod
136.49±0.62
153.13±0.73
103.18±3.48
Bilangan penyabunan
161.95±1.18
160.22±0.38
163.13±0.75
55
Analisa angka iod dilakukan untuk menentukan derajat ketidakjenuhan asam lemak penyusun minyak ikan patin. Prinsip angka iod adalah adisi iod terhadap asam lemak tidak jenuh membentuk senyawa yang jenuh. Banyaknya iod yang diikat menunjukkan banyaknya ikatan rangkap yang terdapat didalam minyak. Pada penelitian ini dihasilkan angka iod dari minyak ikan patin Siam lebih rendah dibandingkan dengan minyak ikan patin Jambal pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan asam lemak tidak jenuh dari minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan minyak ikan patin Siam. Pada Tabel 8 mengenai profil asam lemak minyak ikan patin Jambal terbukti memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam.
Profil Asam Lemak Minyak Ikan Patin Murni Profil asam lemak minyak ikan patin murni dari bagian kepala, daging belly flap dan isi perut dianalisa menggunakan alat kromatografi gas Shimadzu dengan detektor FID. Profil asam lemak dari minyak ikan patin murni dari jenis Siam dan Jambal dengan jumlah masing – masing jumlah asam lemak jenuh (Saturated fatty acid, SFA), asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated fatty acid, MUFA) dan asam lemak tak jenuh jamak (Polyunsaturated fatty acid, PUFA) ditunjukkan pada Tabel 11. Profil asam lemak dari minyak ikan patin Siam menunjukkan hasil bahwa terdapat tren yang sama untuk semua perlakuan, hanya berbeda secara kuantifikasinya. Asam lemak yang mendominasi untuk semua perlakuan yaitu asam lemak palmitat dan oleat yang besarnya berkisar antara 25.78% hingga 39.15%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sathivel et al. (2003) pada catfish viscera oil dimana asam lemak dominan yang diperoleh yaitu jenis palmitat dan oleat. Asam lemak linoleat pada minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan pada minyak ikan patin Siam pada semua perlakuan baik dari bagian kepala, daging belly flap maupun isi perut yaitu berturut – turut sebesar 16.24%, 16.11% dan 15.56%. Sedangkan kandungan asam lemak linoleat (C18:2) yang merupakan omega-6 dari minyak jeroan/kepala ikan lele dumbo pada hasil penelitian Kaban dan Daniel (2005) adalah sebesar 8.68 %.
56
Tabel 11 Profil Asam Lemak Minyak Ikan Patin Siam dan Jambal Murni Asam Lemak
Kepala
Daging belly flap
Isi perut
Siam
Jambal
Siam
Jambal
Siam
Jambal
C14:0 (miristat)
4.23
1.60
4.07
1.59
4.69
1.67
C16:0 (palmitat)
34.61
26.11
33.08
25.78
34.19
26.48
C18:0 (stearat)
7.61
9.39
8.24
9.52
8.12
9.69
C20:0 (aracidat)
0.31
0.19
0.22
0.19
0.26
0.20
∑ SFA
46.76
37.30
45.62
37.08
47.26
38.03
C16:1 (palmitoleat)
1.12
1.73
2.64
1.70
2.99
1.72
C18:1 (oleat)
33.64
38.41
32.83
39.15
35.97
38.89
C20:1 (eikosanoat)
0.81
0.82
0.85
0.84
0.75
0.82
C24:1 (nervonat)
0.03
0.04
0.03
0.04
0.03
0.03
∑ MUFA
35.60
41.00
36.35
41.73
39.74
41.46
C18:2 (linoleat)
12.81
16.24
13.61
16.11
10.18
15.56
C18:3 (linolenat)
0.88
1.27
0.73
1.30
0.49
1.24
C20:2 (eikosadienoat)
0.68
0.65
0.44
0.63
0.53
0.64
C20:3 (homo-g-linolenat)
0.97
0.77
1.06
0.72
0.55
0.72
C20:4 (aracidonat)
0.89
0.69
0.81
0.58
0.29
0.63
C20:5 (eikosapentaenoat)
0.45
0.41
0.46
0.39
0.17
0.37
C22:6 (dokosaheksaenoat)
0.95
1.66
0.92
1.46
0.79
1.34
∑ PUFA
17.65
21.70
18.03
21.19
13.00
20.51
Jenuh
46.76
37.30
45.62
37.08
47.26
38.03
Tak Jenuh
53.24
62.70
54.38
62.92
52.74
61.97
Omega 3
2.28
3.35
2.11
3.15
1.45
2.95
*satuan (% relatif)
Profil asam lemak dari minyak ikan patin Jambal memiliki trend yang serupa dengan profil asam lemak dari minyak ikan patin Siam, hanya terdapat perbedaan secara kuantifikasi. Asam lemak dominan adalah palmitat dan oleat untuk semua jenis perlakuan. Asam lemak omega 3 yang meliputi linolenat, EPA dan DHA mendapatkan hasil dengan jumlah berkisar antara 1.45% hingga 3.35% dari total keseluruhan asam lemak untuk semua perlakuan. Kandungan asam lemak omega 3 pada minyak ikan patin patin ini mengalami sedikit penurunan setelah melalui tahap pemurnian, hal ini disebabkan karena terjadi proses
57
pemanasan selama pemurnian sehingga menurunkan kandungan omega 3 nya. Pada minyak ikan patin Jambal, kandungan asam lemak omega 3 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam dimana berkisar antara 2.95% hingga 3.35% dari total keseluruhan asam lemak. Hasil penelitian Elizabeth (1997) mengenai profil asam lemak minyak ikan Tuna adalah bahwa distribusi asam lemaknya sangat bervariasi karena kandungan asam lemaknya yang beragam dan kandungan asam lemak tidak jenuhnya lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Komposisi asam lemak pada minyak ikan tuna adalah asam lemak miristat (14:0) 1.82%, palmitat (C16:0) 9.78%, stearat (C18:0) 3.18%, oleat (C18:1) 6.36%, linoleat (C18:2) 0.68%, linolenat (C18:3) 0.37%, EPA (C20:5) 2.40% dan DHA (C22:6) 12.23%. Perbedaan kandungan asam lemak omega 3 ini kemungkinan berasal dari jenis pakan yang diberikan. Penelitian Ozogul et al. (2007) memberikan hasil bahwa komposisi asam lemak ikan dipengaruhi oleh kandungan PUFA (asam lemak tak jenuh rantai panjang) dari pakan yang diberikan.
Profil Spektra FTIR Minyak Ikan Patin Spetrum FTIR yang diperoleh dari minyak ikan patin dalam penelitian ini, memberikan informasi yang unik tentang trigliserida yang dikandungnya, termasuk tentang ketidakjenuhan dari gugusan asil dan panjang rantainya. Umumnya perbedaan spektra utama secara nyata terlihat pada wilayah bilangan gelombang (wavenumber) 3050 – 2800 cm-1 terkait dengan vibrasi stretching dari ikatan rangkap cis olefin =C-H (sekitar 3010 cm-1) dan vibrasi simetrik dan asimetrik metilen (2950 – 2845 cm-1) serta pada wilayah 1120 – 1000 cm-1 sebagai akibat dari vibrasi stretching gugusan –C-O ester turunan alkohol primer dan sekunder (Maurer, 2012). Spektra FTIR minyak ikan patin Siam maupun Jambal yang diperoleh dari penelitian ini masing-masing ditunjukkan pada Gambar 16 dan Gambar 17. Setiap gambar menunjukkan 3 profil spektra FTIR minyak ikan patin yang berasal dari bagian kepala, belly flap, dan isi perut. Profil spektra FTIR minyak ikan patin yang diperoleh ketiga bagian tubuh ikan patin tersebut umumnya sama baik pada minyak ikan patin Siam maupun Jambal. Namun, jika dibandingkan antara profil FTIR minyak ikan patin Siam dengan yang berasal dari minyak ikan patin Jambal, ada perbedaan dalam ketajaman penyerapan FTIR. Khususnya
58
pada wilayah 3050 – 2800 cm-1 penyerapan FTIR pada minyak ikan patin Jambal lebih besar dan tajam.
a b c
Gambar 16. Profil spektra FTIR minyak ikan Patin Siam.
a b c
Gambar 17. Profil spektra FTIR minyak ikan Patin Jambal Ket gambar 16 dan 17. a=kepala; b=daging belly flap; c=isi perut
Untuk melihat kesamaan dan perbedaan profil spektra FTIR dari minyak ikan patin Siam dan Jambal telah dibuat Tabel 12 yang menunjukkan serapan
59
pada bilangan gelombang tertentu. Selanjutnya data tersebut dibandingkan dengan dengan profil FTIR dari produk suplemen minyak ikan MaxEPA yang dilaporkan oleh Jun (2009). Adanya kandungan EPA (C20:5)dan DHA (C22:6) pada produk MaxEPA ditunjukkan dengan penyerapan pada bilangan gelombang 3012.27 cm-1. Meskipun minyak patin Siam maupun Jambal mengandung EPA dan DHA (Tabel 11), tetapi jumlahnya tidak cukup besar untuk bisa keluar dalam profil spektra FTIR.
Tabel 12 Korelasi pola FTIR minyak ikan Patin Siam, dan Jambal dibandingkan dengan minyak ikan MaxEPA (Jun 2009)
-1
Wavenumber (cm ) Siam Jambal Jun (2009) 3468.01 3471.87 3012.27
Karakteristik serapan infra merah =C-H (ikatan rangkap jamak seperti C20:5 dan C22:6)
3005.10
3005.10
=C-H (ikatan rangkap tunggal seperti C18:1)
2935.66 2858.51 2731.20 2677.20 2152.56 2025.26 1751.36 1654.92 1465.90 1415.75 1377.17 1242.10 1176.58 1099.43 1033.85 968.27 921.97 875.68 844.82 721.38 582.50 459.06
2924.09 2850.79 2731.20 2677.20 2152.56 2029.11 1743.65 1658.78 1465.90
2921.63 2852.20
-C-H (gugusan CH2) -C-H (gugusan CH2dan CH3 )
1743.33
-C=O (ester)
1457.92
-C-H (CH2)
1377.17 1238.30 1165.00 1099.43 1033.85 968.27 914.26 894.97 871.82 721.38 586.36 451.34
1376.93
-C-H (CH3)
1145.51 1097.30
-C-O -C-O
914.09
=C-H
719.318 586.25 455.12
- (CH2)n,
60
Pada kedua profil spektra FTIR minyak ikan patin Siam dan Jambal terlihat dengan jelas penyerapan tajam pada bilangan gelombang sekitar 1750 cm-1 yang menunjukkan adanya penyeraan oleh gugusan –C=O dari ester asam lemaknya. Data ini diperkuat dengan adanya penyerapan pada wilayah bilangan gelombang 1120 – 1000 cm-1karena gugusan –C-O. Dengan data spektra FTIR ini maka minyak ikan patin baik jenis Siam maupun Jambal mempunyai profil FTIR spesifik yang menjadi karakteristik utamanya.
Profil Gliserida Minyak Ikan Patin Penggunaan sistem NARP-HPLC (non-aqueous reversed-phase highperformance liquid chromatography) telah umum digunakan untuk pemisahan sampel lipida alami yang kompleks. Pada prinsipnya waktu retensi dalam sistem NARP-HPLC naik dengan naiknya ECN (equivalent carbon number).
ECN
adalah jumlah karbon total (CN) dalam semua rantai asil dikurangi dua kali jumlah ikatan rangkap (ECN = CN-2db). Sistem NARP-HPLC dalam penelitian ini menggunakan HPLC fase terbalik (reversed-phase) dengan kolom C-18, panjang 25 cm dan diameter 4.6 mm, dengan fase bergerak campuran asetonasetonitril (85:15). Dengan kecepatan elusi 0.8 ml per menit dan detektor RID, beberapa jenis TAG dalam minyak ikan patin Siam dan Jambal dapat dipisahkan dengan baik. Dengan kondisi NARP-HPLC yang digunakan dapat dipisahkan sebanyak 19 jenis TAG baik dari minyak ikan patin Siam maupun Jambal sebagaimana ditunjukkan pada kromatogram Gambar 18. Dengan keterbatasan standar TGA yang ada, dapat diidentifikasi sebanyak 11 jenis TAG, berturut-turut menurut ECN dan waktu retensinya OLO, PLO, PLP, OOO, POO, POP, PPP, SOO, POS, PPS dan LaPP/MMP. Dengan singkatan O untuk oleat, L untuk linoleat, P untuk palmitat, S untuk stearat, La untuk linoleat dan M untuk miristat terlihat bahwa posisi sn-2 dari TAG cenderung lebih banyak diduduki oleh asam lemak oleat. Hal ini sesuai dengan kandungan asam lemak oleat yang tertinggi yang terdapat dalam minyak ikan patin Siam maupun Jambal, seperti terlihat pada Tabel 8. Demikian juga asam lemak palmitat sebagai asam lemak kedua tertinggi sesudah oleat cenderung banyak menduduki posisi sn-1 atau sn-3.
61
Gambar 18 Profil TAG utama dalam minyak ikan patin Siam (atas) dan Jambal (bawah).
Secara umum, kedua minyak ikan patin Siam maupun Jambal memiliki trend kromatogram yang serupa, dengan 19 puncak kromatogram terdeteksi. Perbedaan antara patin Siam dengan Jambal terdapat pada persentase puncak area terutama pada puncak - puncak nomor 8 dan 9 dimana TAG yang terdeteksi adalah kombinasi asam lemak palmitat, oleat dan linoleat berdasarkan nilai ECN dan standar yang dimiliki. Persentase puncak area dari minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan dengan patin Siam. Hasil ini diperkuat dengan hasil analisa asam lemak minyak ikan patin murni dari bagian isi perut (Tabel 11) dimana jumlah asam lemak palmitat, oleat dan linoleat untuk Siam dan Jambal berturut – turut adalah 34.19%, 35.97%, 10.18% dan 26.48%, 38.89%, 15.56%.
62
Tabel 13 di bawah menunjukkan TAG yang teridentifikasi beserta ECN dan persentasenya dalam minyak ikan patin Siam maupun Jambal. Ada satu jenis TAG yang membedakan minyak ikan patin Jambal dari Siam adalah kandungan PLO minyak ikan patin Jambal yang sekitar tiga kali lebih besar.
Tabel 13 Jenis TAG yang Teridentifikasi. No Puncak
TGA
ECN*
% Siam
Jambal
1
MML/LaOM
42
1.03
1.1
2
MMM/LaPM
42
1.83
1.5
3
LMO/LaOO
44
3.95
4.3
4
tt
44
1.81
1.3
5
MPL/LaOP/MMO
44
1.44
3.5
6
tt
44
2.17
2.5
7
LaPP/MMP
44
5.25
2.5
8
OLO
46
8.37
7.1
9
PLO
46
4.97
13.1
10
tt
46
2.88
2.1
11
PLP
46
5.92
5.1
12
tt
48
3.73
2.2
13
OOO
48
6.98
6.1
14
POO
48
15.77
17.2
15
POP
48
13.32
13.0
16
PPP
48
5.38
3.2
17
SOO
50
5.12
4.2
18
POS
50
6.91
7.3
19
PPS
50
3.17
2.6
* ECN = CN-2db (ECN = Equivalent Carbon Number, CN = Carbon Number, db = double bond) tt = tidak teridentifikasi
63
Pola Hidrolisis TAG Minyak Ikan Patin Pola hidrolisis oleh enzim lipase terhadap TAG minyak ikan patin telah dipelajari dalam penelitian ini dengan menggunakan enzim lipase amobil komersial spesisik 1,3 (Lipozyme TL IM).
Enzim lipase yang diperoleh dari
kapang Thermomyces lanuginosa ini mampu menghidrolisis secara spesifk posisi sn-1 dan sn-3 dari TAG.
Dengan menggunakan konsentrasi lipase
sebanyak 10% dan inkubasi optimum pada suhu 55 oC seperti yang disarankan oleh Huei (2003), telah dapat dihidrolisis TAG menjadi DAG dan MAG yang kemudian dapat dipisahkan dengan sistem NARP-HPLC. Hidrolisis TAG oleh lipase ini dilakukan selama 12, 18, dan 48 jam inkubasi pada suhu 55 oC. Contoh kromatogram pemisahan produk hidrolisis TAG dari minyak ikan patin Siam ditunjukkan pada Gambar 19.
8.272
RID1 A, Refractive Index Signal (24-05-12\S-180000.D) nRIU
80000
38.749
36.797
35.149
32.540
31.895
30.302
31.008
28.946
25.642
15.053 15.529 15.854
12.842 13.190 13.579 13.818
11.386 11.681 12.034
9.902 10.229 10.479
7.717
9.301
20000
6.898 7.238 7.440
40000
8.436
60000
0 10
15
20
25
30
35
min
Gambar 19 Contoh kromatogram minyak ikan patin Siam setelah hidrolisis dengan lipase (Lipozyme, TL IM) selama 12 jam pada suhu 55 oC Pada kromatogram terlihat bahwa komponen TAG terpisah setelah elusi 20
menit
pada
sistem
NARP-HPLC
yang
digunakan.
Puncak-puncak
kromatogram yang keluar dari kolom kurang dari 20 menit kemungkinan besar adalah komponen DAG dan MAG. Sedangkan yang keluar lebih cepat, yaitu kurang dari 8 menit kemungkinan besar adalah MAG. Dari kromatogram tersebut di atas dapat dibuktikan bahwa telah terjadi hidrolisis pada TAG minyak ikan patin oleh lipase setelah inkubasi 12 jam pada suhu 55 oC, yaitu kandungan TAG turun dan kandungan DAG dan MAG naik. Tabel 14 menunjukkan dengan lebih jelas bagaimana hidrolisis telah terjadi dengan turunnya kandungan TAG dan naiknya kandungan MAG. Secara gradual kandungan MAG meningkat setelah
64
hidrolisis selama 12, 18 dan 48 jam sejalan dengan menghilangnya kandungan TAG. Meskipun pola hidrolisis hampir sama di antara minyak ikan patin Siam dan Jambal, namun setelah hidrolisis 48 jam, pada minyak ikan patin Jambal masih tersisa sejumlah kecil OLO, PLO, POO, dan POP. Tabel 14 Pola hidrolisis TAG minyak ikan patin oleh lipase (Lipozyme TL IM) setelah hidrolisis selama 12, 18, dan 48 jam pada inkubasi suhu 55 oC.
No Peak
i ii iii iv v vi 1 2 3 4 5 6 7
TAG
MAG MAG MAG
Patin Siam
Patin Jambal
TAG Awal (%)
TAG, MAG dan DAG Setelah hidrolisis 12 jam (%)
TAG, MAG dan DAG Setelah hidrolisis 18 jam (%)
TAG, MAG dan DAG Setelah hidrolisis 48 jam (%)
1.03 1.83 3.95 1.81 1.44 2.17 5.25
9.25 12.62 10.83 3.02 2.39 1.86 TT* TT* TT* TT* TT* TT* TT*
11.53 17.08 12.60 3.82 3.23 4.46 TT* TT* TT* TT* TT* TT* TT*
13.02 27.32 21.08 7.11 4.24 4.76 TT* TT* TT* TT* TT* TT* TT*
8.37 4.97
TT* TT*
TT* TT*
TAG Awal (%)
TAG, MAG dan DAG Setelah hidrolisis 18 jam (%)
TAG, MAG dan DAG Setelah hidrolisis 48 jam (%)
1.1 1.5 4.3 1.3 3.5 2.5 2.5
TAG, MAG dan DAG Setelah hidrolisis 12 jam (%) 4.24 9.60 4.80 2.05 1.58 4.22 TT* TT* 2.79 TT* 2.43 1.70 TT*
7.52 16.53 7.16 2.90 2.78 7.63 TT* TT* TT* TT* TT* TT* TT*
12.29 36.82 4.65 3.01 TT* TT* TT* TT* TT* TT* TT*
TT* TT*
7.1 13.1
5.6 11.06
4.48 8.33
3.11 4.19
8 9
LaPP/ MMP OLO PLO
10 11 12 13 14 15 16 17
PLP OOO POO POP PPP SOO
2.88 5.92 3.73 6.98 15.77 13.32 5.38 5.12
TT* TT* TT* TT* 5.0 2.9 3.5 4.1
TT* TT* TT* 1.9 0.8 TT* 0.9 1.1
TT* TT* TT* TT* TT* TT* TT* TT*
2.1 5.1 2.2 6.1 17.2 13.0 3.2 4.2
1.75 4.02 TT* 5.2 15.43 11.43 TT* 3.46
TT* 3.06 TT* 3.64 10.65 7.69 TT* TT*
TT* TT* TT* TT* 5.26 4.63 TT* TT*
18 19
POS PPS
6.91 3.17
9.5 7.9
1.3 1.4
TT* TT*
7.3 2.6
6.53 TT*
4.40 TT*
TT* TT*
* TT = tidak terdeteksi
65
Kemampuan hidrolisis TAG oleh lipase telah dimanfaatkan oleh Jennings dan Akoh (2001) untuk memodifikasi minyak ikan agar mengandung asam kaprat (C10:0) sebagai asam lemak berantai medium (MCFA). Dengan menggunakan biokatalis lipase amobil IM60 yang berasal dari Rhizomucor miehei, telah dapat diikatkan asam kaprat pada TAG sehingga diperoleh TAG berantai asam lemak berantai medium (MCT). Dalam metabolisme tubuh, MCT dibakar dengan cepat menjadi energi dan tidak ditimbun dalam jaringan adipose (Megremis, 1991). Mengingat minyak ikan patin mengandung juga EPA dan DHA dalam jumlah terbatas, maka proses-proses modifikasi dengan memasukkan asam-asam lemak yang bermanfaat dapat meningkatkan daya guna minyak ikan patin sebagai ingredien pangan maupun suplemen.
Karakteristik Fisik Minyak Ikan Patin
Warna Minyak Ikan Patin Minyak ikan patin yang dihasilkan dianalisa warnanya menggunakan instrumen fisik (Chromameter Minolta CR 300). Sistem notasi warna dicirikan dengan tiga parameter warna yang dinyatakan dengan notasi L*, a* dan b*. Nilai L* menyatakan kecerahan (kisaran nilai 0=hitam dan 100=putih), +a* menyatakan warna kemerahan dan –a* menyatakan warna kehijauan, +b* menyatakan warna kuning dan –b* menyatakan warna biru. Hasil analisa warna minyak ikan patin dari bagian kepala, daging belly flap dan isi perut yang telah dimurnikan tampak pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil Analisa Warna Minyak Ikan Patin Minyak ikan murni Siam
Jambal
Bagian limbah
L*
a*
b*
Kepala
68.70
-3.00
39.40
Belly flap
69.80
-7.70
41.54
Isi perut
52.50
-1.32
38.40
Kepala
65.96
-4.22
33.72
Belly flap
66.96
-5.12
39.73
Isi perut
60.18
-0.05
26.65
66
Berdasarkan hasil analisa warna yang dilakukan menunjukkan bahwa minyak ikan patin yang diekstrak dari bagian daging belly flap memiliki nilai kecerahan tertinggi dan intensitas warna kuning yang paling tinggi baik dari patin jenis Siam maupun Jambal. Hal ini disebabkan karena bagian daging belly flap masih banyak mengandung daging yang berwarna putih kekuningan sehingga warna minyak yang dihasilkan menjadi kuning jernih sedangkan bagian kepala banyak terdapat tulang dan bagian isi perut mengandung jeroan serta limpa, usus yang penuh dengan kotoran sehingga warna minyak yang dihasilkan pun menjadi lebih keruh (cenderung lebih kemerahan). Secara keseluruhan, warna minyak ikan yang dihasilkan berwarna kuning jernih hingga sedikit kuning gelap pada semua perlakuan dengan urutan bagian yang berwarna kuning jernih adalah bagian daging belly flap>kepala>isi perut. Nilai kecerahan yang tinggi ini disebabkan karena minyak ikan limbah patin telah melalui tahapan proses pemurnian yang merupakan proses pemucatan dengan menggunakan adsorben. Selama proses pemucatan, adsorben akan menyerap zat warna, air, mineral dan bahan – bahan tak tersabunkan sehingga warna dari minyak yang dihasilkan menjadi lebih jernih. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sathivel et al. (2003) yang menganalisa warna minyak ikan dari isi perut ikan lele didapatkan bahwa minyak ikan seluruh perlakuan memiliki nilai a* negatif yang mengindikasikan warna ke arah kehijauan dan nilai b* positif yang mengindikasikan warna kuning.
Viskositas Minyak Ikan Patin Analisa viskositas minyak ikan patin dilakukan dengan menggunakan viskometer. Hasil analisa viskositas ditunjukkan pada Tabel 16. Minyak ikan patin Jambal memiliki nilai viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam pada semua perlakuan. Semakin tinggi kandungan asam lemak tidak jenuh dalam minyak maka akan semakin cair. Hal ini sejalan dengan hasil analisa asam lemak pada Tabel 11. yang menunjukkan bahwa patin Jambal memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dari patin Siam sehingga nilai viskositas yang didapatkan lebih rendah pada semua perlakuan.
67
Tabel 16 Viskositas Minyak Ikan Patin Murni Bagian limbah Kepala Daging belly flap Isi perut
Viskositas (mPa.s) Siam 72.00±0.21 69.20±0.29 70.50±0.12
Jambal 56.50±0.29 53.80±0.15 58.00±0.52
Perbandingan antara minyak patin Siam dan Jambal dari bagian isi perut berdasarkan viskositas, angka Iod dan derajad ketidakjenuhan asam lemak tampak pada Tabel 17. Minyak ikan patin Siam memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak ikan patin Jambal. Hal ini berkaitan dengan kandungan asam lemak tidak jenuh dari minyak ikan patin Siam yang lebih rendah dibandingkan dengan Jambal sehingga minyak menjadi lebih kental. Tabel 17 Perbandingan Minyak Ikan Patin dari Bagian Isi Perut Berdasarkan Nilai Viskositas, Bilangan Iod dan Kandungan Asam Lemak Tidak Jenuh Bagian limbah Viskositas Bilangan Iod Asam lemak tidak jenuh
Minyak ikan patin Siam 70.50 86.82 52.74%
Jambal 58.00 103.18 61.97%
Derajad ketidakjenuhan minyak dinyatakan sebagai bilangan Iod dimana semakin besar nilainya maka semakin tinggi ketidakjenuhan minyak tersebut. Pada minyak ikan patin Jambal dari bagian isi perut tampak bahwa nilai bilangan Iod lebih besar dibandingkan dengan patin Siam yaitu sebesar 103.18, hal ini menunjukkan bahwa derajat ketidakjenuhan minyak ikan patin Jambal jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Siam. Karakteristik Termal Minyak Ikan Patin Karakteristik termal suatu minyak atau lemak, khususnya titik cair sangat penting untuk mempelajari pola kristalisasi atau pencairan karena perubahan suhu. Sebagai contoh, pola kristalisasi lemak kakao sudah sejak lama dilakukan dengan menggunakan DSC untuk melihat fraksi-fraksi yang cair pada suhu rendah maupun tinggi. Nassu dan Goncalves (1999) menggunakan berbagai
68
jenis minyak dan lemak nabati dengan berbagai profil asam lemak yang berbeda untuk mempelajari pola pencairannya termasuk suhu pada saat proses pencairan dimulainya (onset temperature), suhu puncak, dan titik cair. Metode yang sama diterapkan dalam penelitian ini dengan mempelajari karakteristik termal atau pola pencairan minyak ikan patin dari suhu - 75 oC sampai suhu 125 oC. Karakteristik termal minyak patin Siam yang digambarkan sebagai profil DSC ditunjukkan pada Gambar 20.
Gambar 20 Profil Termogram DSC Minyak Ikan Patin Siam.
Dari termogram DSC terlihat bahwa ada tiga kisaran zona pencairan minyak yang terdeteksi, adalah pada kisaran suhu – 30 oC sampai – 16 oC, kisaran suhu – 16 oC sampai 25 oC dan kisaran suhu 25 oC sampai dengan 46 oC. Puncak-puncak titik cair dari ketiga zona itu adalah berturut-turut pada suhu – 23.61 oC, 8.15 oC, dan 37.72 oC. Terbentuknya tiga zona titik cair tersebut menggambarkan bahwa terdapat keragaman pada asam – asam lemak penyusun TAG dalam minyak ikan patin, dimana asam lemak tidak jenuh akan mencair terlebih dahulu kemudian disusul oleh asam lemak jenuh hingga mencair pada suhu tinggi. Menurut Sathivel et al (2008) terdapat hubungan antara struktur kimia asam
69
lemak dengan titik cairnya, dimana titik cair asam lemak jenuh akan semakin meningkat dengan meningkatnya panjang rantai. Sedangkan untuk asam lemak tidak jenuh, semakin meningkat ikatan rangkap asam lemak maka akan semakin rendah titik cairnya. Pada Gambar 6. tampak bahwa hasil penelitian Sathivel et al. (2008) titik cair untuk DHA adalah pada suhu -47.4 oC, tetapi pada penelitian ini tidak terdeteksi pada suhu tersebut kemungkinan karena jumlah DHA yang relatif kecil. Puncak titik cair pertama pada suhu – 23.61 oC kemungkinan karena adanya asam-asam lemak tidak jenuh yang terikat pada TAG (triasilgliseril). Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 11, sekitar 52% asam lemak dari TAG adalah asam lemak tidak jenuh untuk minyak ikan patin Siam, sedangkan untuk minyak ikan patin Jambal kandungan asam lemak tidak jenuhnya sekitar 61%. Menurut Sathivel et al. (2009), titik – titik cair yang berkisar antara – 4 oC sampai -21 oC berhubungan dengan adanya kandungan asam lemak linoleat (C18:2) dan linolenat (C18:3). Perbedaan utama antara karakteristik termogram minyak ikan patin Siam dan Jambal adalah pada patin Jambal pencairan minyak terdeteksi lebih awal yaitu pada suhu -34 oC dengan kisaran suhu sampai dengan 42 oC, seperti terlihat pada termogram Gambar 21 di bawah ini. Hal ini berkaitan dengan kandungan asam lemak tidak jenuh minyak patin Jambal yang lebih tinggi dibandingkan
dengan
patin
Siam
sehingga
menurunkan
titik
cairnya.
Berdasarkan Tabel 10. tampak bahwa bilangan Iod minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan patin Siam dimana menunjukkan besarnya kandungan asam lemak tidak jenuh yang dimiliki.
70
Gambar 21 Profil Termogram DSC Minyak Ikan Patin Jambal.
Jika ditinjau lebih spesifik, ternyata ada sedikit perbedaan pola karakteristik termal minyak yang diperoleh dari bagian kepala dibandingkan dengan yang diperoleh dari bagian belly flap dan bagian isi perut. Minyak yang diperoleh dari bagian kepala mencair seluruhnya pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak yang diperoleh dari kedua bagian lainnya, seperti ditunjukkan dengan garis vertikal pada Gambar 22. Sesungguhnya komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh di antara ketiga bagian ikan patin Siam ini tidak berbeda. Dengan demikian mungkin saja perbedaan karakteristik termal ini karena perbedaan posisi asam lemak dalam trigliseridanya.
71
(A)
(B)
(C)
Gambar 22 Perbedaan Pola Karakteristik Termal Minyak Bagian Limbah Ikan Patin, yaitu bagian (A) kepala (B) bagian belly flap, dan (C) isi perut. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sathivel et al. (2008) dimana titik cair dari minyak viscera ikan lele berkisar antara -46.2 ºC sampai 21.2 ºC. Perbedaan pada titik awal titik cair minyak berkaitan dengan kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dari minyak viscera ikan lele yaitu berkisar diatas 68%. Titik cair minyak ikan patin yang bernilai negatif berkaitan dengan karakteristik asam lemak ikan patin yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh lebih besar dibandingkan asam lemak jenuhnya. Penelitian Sathivel et al. (2005) mengenai titik cair dari minyak ikan Salmon red dan pink mendapatkan hasil bahwa titik cair diawali lebih rendah lagi yaitu pada -69.6 ºC – (-0.36 ºC) dan -64.7 ºC – (20.8 ºC). Nilai negatif pada titik cair ini berhubungan dengan kandungan asam lemak tidak jenuhnya.
72
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN Profil asam lemak minyak limbah ikan patin baik jenis Siam maupun Jambal menunjukkan bahwa asam lemak dominan adalah asam palmitat dan oleat. Persentase kelompok asam lemak tak jenuh rantai panjang memiliki jumlah yang lebih tinggi secara total keseluruhan yaitu sebesar 53.24%, 54.38%, 52.74% dan 62.70%, 62.92%, 61.97% berturut – turut untuk ikan patin jenis Siam dan Jambal bagian kepala, daging belly flap dan isi perut. Asam lemak omega 3 yaitu linolenat, EPA dan DHA terdeteksi pada penelitian ini baik minyak ikan dari limbah ikan Patin jenis Siam maupun Jambal. Kandungan asam lemak omega 3 minyak ikan dari limbah pengolahan filet ikan patin Siam lebih rendah dibandingkan dengan dari ikan patin Jambal yaitu 2.28%, 2.11%, 1.45% dan 3.35%, 3.15%, 2.95% berturut – turut untuk ikan patin jenis Siam dan Jambal bagian kepala, daging belly flap dan isi perut. Profil spektra FTIR minyak ikan patin yang diperoleh dari bagian kepala, belly flap, dan isi perut umumnya sama, namun ada perbedaan dalam ketajaman penyerapan FTIR khususnya pada wilayah 3050 – 2800 cm-1 dimana pada minyak ikan patin Jambal lebih besar dan tajam karena terkait dengan kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak ikan patin Jambal yang relatif lebih besar dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam. Profil gliserida menghasilkan 19 jenis TAG baik pada minyak ikan limbah patin Siam maupun Jambal. Berdasarkan standar, dapat diidentifikasi sebanyak 11 jenis TGA, berturut-turut menurut ECN dan waktu retensinya adalah OLO, PLO, PLP, OOO, POO, POP, PPP, SOO, POS, PPS dan LaPP/MMP. Hidrolisis menggunakan enzim lipase yang diperoleh dari kapang Thermomyces lanuginosa mampu menghidrolisis secara spesifik posisi sn-1 dan sn-3 dari TAG menjadi DAG dan MAG. Pola hidrolisis hampir sama di antara minyak ikan patin Siam dan Jambal, namun setelah hidrolisis 48 jam, pada minyak ikan patin Jambal masih tersisa sejumlah kecil OLO, PLO, POO, dan POP. Hasil Analisa DSC menunjukkan bahwa terdapat tiga zona titik pencairan minyak pada patin Siam yaitu – 30 sampai – 16 oC, kisaran suhu – 16 sampai 25 oC, dan kisaran suhu 25 sampai 46 oC. Sedangkan pada patin Jambal, titik cair terdeteksi lebih awal yaitu pada suhu -34 oC dengan kisaran suhu sampai dengan 42 oC.
73
SARAN Pada penelitian ini telah didapatkan profil gliserida minyak ikan patin Siam maupun Jambal hasil hidrolisis menggunakan enzim Lipase, untuk melengkapinya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi fraksi MAG dan DAG dari minyak ikan patin tersebut dan mengidentifikasi asam lemak pada posisi sn-2 Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam penelitian ini maka perlu dilakukan modifikasi minyak ikan patin Siam maupun Jambal untuk lebih berdaya guna dari segi gizi, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan esterifikasi. Sebagai contoh, dapat dilakukan modifikasi TAG agar mengandung asam kaprat (C10:0) sebagai asam lemak berantai medium (MCFA) dimana dalam metabolisme tubuh, TAG berantai asam lemak medium dibakar dengan cepat menjadi energi dan tidak ditimbun dalam jaringan adipose. Proses modifikasi ini hendaknya dilakukan dengan tetap mempertahankan kandungan asam lemak omega 3 terutama EPA dan DHA yang terdapat didalam minyak ikan patin
74
DAFTAR PUSTAKA
Alasalvar C, Taylor KDA, Oksüz A, Shahidi F, Alexis M. 2002. Comparison of freshness quality of cultured and wild sea bass (Dicentrarchus labrax). J Food Science. 67: 3220-3226. Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta AOCS. 2005. Official methods and recommended practices of the AOCS, 5th edition 2nd printing. American Oil Chemist‟ Society. AOAC-Association of Official Analytical Chemistry. 2006. Edisi revisi. Edisi 18 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemistry, Inc. Washington DC. Bimbo AP. 1998. Guidelines for characterizing food-gade fish oil. INFORM. International News on Fats, Oils and Related Material. Vol 9,number 5.pp 473 – 483. Caceres E, Garcia ML, Selgas MD. 2008. Effect of pre-emulsified fish oil – as source of PUFA n-3- on microstructure and sensory properties of mortadella, a Spanish bologna-type sausage. Journal of Meat Science (80) 183-193. Christie WW. 1987. A Stable silver - loaded column for the separation of lipids by high performance liquid chromatrogaphy, J High Resol. Chromatog. Chromatog. Commun. 10: 148-150 Christie WW dan Breckenridge GHM. 1989. Separation of cis and trans Isomers of unsaturated fatty acids by high-performance liquids chromatogaphy in the silver ion mode, J Chromatog. 4(39:261-269) Djarijah. 2001. Budidaya ikan patin. Penerbit Kanisius. Jakarta. Elizabeth, J. 1997. Studi Inkoporasi Enzimatik EPA dan DHA pada Trigliserida Mnyak Ikan Tuna dan Crude Palm Oil. Disertasi. IPB. Bogor. Estiasih T. 2009. Minyak ikan. Teknologi dan penerapannya untuk pangan dan kesehatan. Edisi pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta Ferinaldy. 2009. Produksi perikanan budidaya menurut komoditas utama (20052009). http://en.wordpress.com/tag/data-perikanan/ Fiori L, Solana M, Tosi P, Manfrini M, Strim C, Guella G. 2012. Lipid profiles of oil from Trout (Oncorhynchus mykiss) heads, spines and viscera: Trout byproducts as a possible source of omega-3 lipids?. Food Chemistry. Article in Press. Giese J. 1996. Antioxidants: tools for preventing lipid oxidation. Food Technology. 50 : 73-81.
75
Gunstone FD dan Norris 1993. Fatty acid and lipid chemistry. The Lipid Handbook 2nd edition. Chapman & Hall. London. Hadipranoto N. 2005. Study on the thermal stability of EPA and DHA in mujahir (Oreochromis mossambicus) fish oil. Indonesian Journal of Chemistry. Vol 5. No 2. Department of Chemistry. Gajah Mada University. Yogyakarta. Hadiwiyoto. 1993. Teknologi pengolahan hasil perikanan. Liberty. Yogayakarta. Haliloglu H, Bayir A, Sirkecioglu AN, Aras NM, Atamanalap M. 2004. Comparison of fatty acid composition in some tissues of rainbow trout (Oncorhyncus mykiss) living in seawater and freshwater. J Food Chemistry, 86: 55-59. Haumann BF. 1997. Nutritional aspects of n-3 fatty acids. INFORM 8. 428-447. Ho BT dan Paul BR. 2009. Fatty acid profile of Tra Catfish (Pangasius hypophthalmus) compared to Atlantic Salmon (Salmo solar) and Asian Seabass (Lates calcarifer). International Food Research Journal 16: 501506 (2009) Huei KW, Lin SW, Yoo CK. 2003. Structural modification of palm stearin by enzymatic interesterfikasi-the selection of lipases. Di dalam: Palm Oil: The Power-House for The Global Oils & Fats Economy. Proceedings of the PIPOC 2003 International Palm Oil Congress; Malaysia, 24- 28 August 2003. Malaysia: Malaysian Palm Oil Board. Hwang KT, Kim JE, Kang SG, Jung ST, Park HJ, Welleer CL. 2004. Fatty acid composition and oxidation of lipids in Korean catfish. J American Oil Chem. Soc. 81 : 123-127. Irianto HE. 1995. Pemanfaatan minyak ikan untuk industri farmasi, pangan, pakan dan non-pangan. Warta Perikanan Laut. Vol 2. No.1. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Jennings BH dan Akoh CC. 2001. Lipase catalyzed modification of fish oil to incorporate capric acid. Food Chemistry 72: 273-278. www.elsevier.com/locate/foodchem Juliati BT. 2002. Ester asam lemak. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jurusan Kimia. Universitas Sumatera Utara. USU digital library. Jun Z. 2009. Analysis and characterization of consumer products by FTIR, raman, chemometrics and two dimensional ATR-FTIR correlation spectroscopy. Dissertation. Rutgers, the State University f new Jersey. New brunswick, New Jersey. http://mss3.libraries.rutgers.edu Kaban J dan Daniel. 2005. Sintesis n-6 etil ester asam lemak dari beberapa minyak ikan air tawar. Jurnal Komunikasi Penelitian. Vol 17 (2) Kap. 2012. KKP dorong pengembangan filet patin. Politik Indonesia. (disadur tanggal 17 juni 2012).
76
Ketaren. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta Khairuman dan Sudenda D .2002. Budidaya Patin Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta Kolanowski W, Laufenberg G. 2006. Enrichment of food products with polyunsaturated fatty acids by fish oil addition. European Food Research Technology, 222: 472-477 Kritchevsky D et al. 2000. Influence of conjugated linoleic acid (CLA) on establishment and progression of atherosclerosis in rabbits. J of the American College of Nutrition vol 19 (4) : 472S-477S Martini S, Thurgood JE, Brothersen C, Ward R, McMahon DJ. 2009. J. Dairy Science, 92:1876–1884 Maurer NE, Sakoda BH, Pascual-Chagman G, Rodriguez-Saona LE. 2012. Characterization and authentication of a novel vegetable source of omega-3fatty acids, sacha inchi (Plukenetia volubilis L.) oil. Food Chemistry 134: 1173–1180. Megremis CJ. 1991. Medium chain triglycerides: a nonconventional fat. Food Technology 45: 108-110. Nair PGV dan Gopakumar. 1978. Fatty acid compotitions of 15 species of fish from tropical water. J Food Science. Vol 43, 24: 1162-1164. Nassu RT dan Goncalves LAG. 1999. Determination of melting point of vegetable oils and fats by differential scanning calorimetry (DSC) technique. Grasas y Aceites. Vol.50. Fsc.1 (1999): 16-22. http://grasasyaceites.revistas.csic.es Nurdjanah. 2002. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor, Bogor Ozogul Y, Ozogul F, Alagoz S. 2007. Fatty acid profiles and fat contents of commercially important seawater and freshwater fish species of turkey : A comparative study. Food Chemistry 103 (217-223). Pak SC. 2005. Stability and quality of fish oil during typical domestic application. Wonsan University of Fisheries. Kangwon Province. Korea. Palmeri G, Turchini GM, De Silva SS. 2007. Lipid characterisation and distribution in the fillet of the farmed Australian native fish, Murray cod (Maccullochella peelii peelii). Food Chemistry (102). 796-807. Prinyawiwatkul W, Suvanich V, Harrison RW, King JM, Sathivel S, Pacheco K, Rout S, Nadarajah K, Sonti S. 2002. Value-Added from Crawfish and Catfish. Louisiana Agriculture. Fall issue. 20-21(2002). Pusdatin KKP. 2011. Produksi perikanan budidaya patin. Kelautan dan Perikanan. http://www.kkp.go.id/index.php
77
Rasoarahona JRE, Barnathan G, Bianchini J, Gaydou EM. 2005. Influence of season on the lipid content and fatty acid profiles of three tilapia species (Oreochromis niloticus, O. Macrochir and Tilapia rendalli) from Madagascar. Food Chemistry. 91 : 683-694. Ratna. 1998. Ekstraksi dan Analisis Lemak dalam Daging Ikan. Paradigma, Vol. II No.1, 35-43. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Penerbit Bina Cipta. Jakarta. Sargent JR, Bell MV, Henderson RJ, Tocher DR. 1995. Origins and function of n3 polyunsaturated fatty acids in marine organism. In Phospholipid: Characterization, metabolism and novel biological applications (ed. Ceve G, Paltauf F) 248-258. AOCS Press. Champaign. Illinois. Sathivel S, Yin H, Prinyawiwatkul W, King JM, Xu Z. 2002. Economical methods to extract and purify catfish oil. Published Article in the Louisiana Agiculture, LSU AgCenter, Department of Food Science. Baton Rouge La. Sathivel S, Prinyawiwatkul W, Gimm CC, King JM, Lloyd S. 2002. Fatty acid composition of crude oil recovered from catfish viscera. J American Oil Chem. Soc. 79 : 989-992. Sathivel S, Prinyawiwatkul W, Gimm CC, King JM, Lloyd S. 2003. Oil production from catfish viscera. J American Oil Chem. Soc. 80 : 377-382. Sathivel S, Prinyawiwatkul W, Negulescu JI, King JM. 2008. Determination of Melting Points, Spesific Heat Capacity and Enthalphy of Catfish Visceral Oil During the Purification Process. J of American Oil Chem Soc. 85:291296. Sathivel S, Yin H, Prinyawiwatkul W dan King JM. 2009. Comparison of chemical and physical properties of fish oils prepared from different extracting processes. J of food Science vol.74 no.2 : E70-76. Setha B. 1997. Isolasi Asam Lemak Omega 3 dari Limbah Minyak Hasil Penepungan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Blkr): Pengaruh Rasio Urea/Minyak dan Lama Kristalisasi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Vol 2. Hal 10 – 13. Univesitas Pattimura. Ambon. Susanto dan Amri K. 1998. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. Applied Science. Japan. Thammapat P, Raviyan P, Siriamornpun S. 2010. Proximate and Fatty Acids Composition of The Muscles and Viscera of Asian Catfish (Pangasius bocourti). Food Chemistry 122 (223-227).
78
Thuy NT, Loc NT, Linberg JE, Ogle B. 2002. Survey of the production, processing and nutritive value of catfish by-product meals in the Mekong Delta of Vietnam. Publish in Louisiana Agiculture. Waagbo R, Sandnes K, Torrisen OJ, Sandvin A, Lie O. 1993. Chemical and sensory evaluation of fillets from Atlantic Salmon (Salmo salar) fed three levels of n-3 polyunsaturated dfatty acids at two levels of vitamin E. J Food Chemistry, 46: 361-366. Wang C, Chung M, Lichtenstrein A, Balk E, Kupelnick B, Devine D, Lawrence A, Lau J. 2004. Effect of Omega-3 Fatty Acids on Cardiovascular Disease. Agency for Healthcare and Quality Pub. No. 04-E009-2. Wibawa PJ, Listiyorini D dan Fachriyah E. 2006. Penentuan komposisi asam lemak ekstrak minyak ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) dengan GCMS dan uji toksisitasnya menggunakan metode Bslt. Jurnal Sains & Matematika (JSM) Volume14, Nomor 4. Hal 169-174 Windsor dan Barlow S. 1981. Introduction to fishery by product. Fishing news Books Ltd. Surrey. England. Wu TH dan Bechtel PJ. 2008. Salmon by-product storage and oil extraction. Journal of Food Chemistry 111:868-871. Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V. 1969. Fish Curing and Processing. Mir Publisher. Moscow. Zhong Y, Madhujithn T, Mahfouz N, Shahidi. 2007. Compositional characteristics of muscle and visceral oil from steelhead trout and their oxidaive stability. Food Chemistry. 104 : 602-608. Zuta CP, Simpson BK, Chan HM, Philips L. 2003. Concentrating PUFA from mackerel processing waste. J American Oil Chem. Soc. 80 : 933-936.
79
LAMPIRAN
80
Lampiran 1. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian Kepala
81
Lampiran 2. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian Daging Belly Flap
82
Lampiran 3. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian Isi Perut
83
Lampiran 4. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Jambal Bagian Kepala
84
Lampiran 5. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Jambal Bagian Daging Belly Flap
85
Lampiran 6. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Jambal Bagian Isi Perut
86
Lampiran 7. Analisa Statistik Kadar Lemak Ikan patin Siam dan Jambal Data Kadar Lemak Ikan Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Bagian Tubuh FS FS FS KP KP KP TE TE TE BE BE BE TR TR TR KU KU KU VS VS VS FS FS FS KP KP KP TE TE TE BE BE BE TR TR TR KU KU KU VS VS VS
1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 6 6 6 7 7 7 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 6 6 6 7 7 7
Kadar Lemak 2.63 2.8 2.73 11.8 10.5 11.3 12.65 13.8 12.85 36.8 35.62 36.21 6.5 6.21 7.18 7.52 7.11 9.07 25.88 26.92 26.73 2.82 2.75 3.1 10.82 10.75 10.98 11.23 11.98 12.49 36.25 36.41 36.84 10.26 10.11 11.88 6.28 5.98 7.57 35.21 36.02 34.73
Ln Kadar Lemak 0.97 1.03 1 2.47 2.35 2.42 2.54 2.62 2.55 3.61 3.57 3.59 1.87 1.83 1.97 2.02 1.96 2.2 3.25 3.29 3.29 1.04 1.01 1.13 2.38 2.37 2.4 2.42 2.48 2.52 3.59 3.59 3.61 2.33 2.31 2.47 1.84 1.79 2.02 3.56 3.58 3.55
FS= filet, KP= kepala, TE= tulang-ekor, BE= daging belly flap, TR= daging trimming, KU= kulit, VS= isi perut
87
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Kadar_Lemak
Ln_Lemak
42
42
15.6493
2.4387
12.11672
.83048
N Normal Parameters(a,b)
Mean
Most Extreme Differences
Absolute
.282
.136
Positive
.282
.136
Negative
-.157
-.123
Kolmogorov-Smirnov Z
1.826
.879
Asymp. Sig. (2-tailed)
.003
.423
Std. Deviation
a Test distribution is Normal.
Hasilnya untuk data kadar lemak adalah berbeda secara signifikan terhadap model kurva distribusi data normal (p = 0.003 < dari batas 0.05). Data di transformasi menggunakan fungsi Ln dan hasil mengujian menunjukkan pola distribusi data tidak berbeda secara signifikan terhadap kurva normal (p = 0.423 > dari batas 0.05).
Dependent Variable: Ln_Lemak
Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
Mean Square
df
F
Sig.
28.157(a)
13
2.166
506.040
.000
249.780
1
249.780
58356.95 4
.000
.061
1
.061
14.176
.001
Bagian_Tubuh
27.616
6
4.603
1075.356
.000
Ikan * Bagian_Tubuh
.480
6
.080
18.701
.000
Error
.120
28
.004
Total
278.057
42
28.277
41
Intercept Ikan
Corrected Total
a R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .994)
88
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets
Duncan Bagian_Tubu h
N
Subset
1
2
FS
6
KU
6
TR
6
KP
6
TE
6
VS
6
BE
6
Sig.
3
4
5
6
7
1
1.0301 1.9723 2.1310 2.3994 2.5237 3.4209 3.5933 1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares, The error term is Mean Square(Error) = .004. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
1.000
89
Lampiran 8. Analisa Statistik Rendemen Minyak Murni dan Hasil Analisa Kimia Minyak Ikan Patin Siam dan Jambal Data Hasil Analisa Kimia
Ikan Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Siam Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal Jambal
1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Bagian Tubuh Minyak Murni As. Lmk Bbs Peroksida IOD Penyabunan Viscositas KP1 1 84.86 0.2 1.87 104.94 143.76 72.05 KP2 1 85.26 0.23 2.81 104.58 142.34 72.15 KP3 1 86.14 0.23 1.88 104.94 143.06 71.8 BE1 2 88.21 0.26 2.81 126.9 145.16 69.35 BE2 2 87.99 0.23 2.81 123.31 142.33 69 BE3 2 89.75 0.31 2.99 122.29 143.74 69.25 VS1 3 91.56 0.69 3.75 87.09 145.11 70.65 VS2 3 90.75 0.59 3.92 86.29 144.44 70.35 VS3 3 93.27 0.54 4.13 87.09 144.44 70.5 KP1 1 84.5 0.56 6.54 136.85 162.58 56.45 KP2 1 81.35 0.54 7.43 135.78 160.59 56.55 KP3 1 81.8 0.56 6.5 136.85 162.69 56.5 BE1 2 85.2 0.31 5.56 152.28 160.38 53.7 BE2 2 86.25 0.32 6.5 153.55 159.79 53.75 BE3 2 84.6 0.32 5.61 153.55 160.49 53.95 VS1 3 89.5 0.89 7.47 104.58 163.86 58.1 VS2 3 88.75 0.79 8.36 99.21 162.36 58 VS3 3 89.35 0.82 7.47 105.75 163.16 57.9
90
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test As_Lem ak_Beba s
Peroksid a
IOD
Penyabuna n
Viscosita s
18
18
18
18
18
18
87.1717
.4661
4.9117
118. 1017
152.7933
63.3333
3.26841
.22698
2.14557
22.9 7818
9.31676
7.59634
.111
.240
.159
.205
.294
.272
.111
.240
.148
.205
.294
.255
-.099
-.128
-.159
.112
-.274
-.272
Kolmogorov-Smirnov Z
.471
1.019
.676
.868
1.246
1.155
Asymp. Sig. (2-tailed)
.980
.250
.751
.439
.090
.139
MInyak_ Murni N Normal Parameters(a,b)
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
Absolute Positive Negative
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
Dependent Variable: MInyak_Murni
Source
Type III Sum of Squares
Corrected Model
168.080(a)
5
33.616
29.832
.000
136780.190
1
136780.190
121384.5 80
.000
38.984
1
38.984
34.596
.000
Bagian_Tubuh
128.776
2
64.388
57.141
.000
Ikan * Bagian_Tubuh
.319
2
.160
.142
.869
Error
13.522
12
1.127
Total
136961.792
18
181.602
17
Intercept Ikan
Corrected Total
Mean Square
df
a R Squared = .926 (Adjusted R Squared = .895)
F
Sig.
91
Duncan N Bagian_Tubuh
Subset
1
2
KP
6
BE
6
VS
6
3
1
83.9850
Sig.
87.0000 90.5300 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.127. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Hasil uji menunjukkan bahwa rendemen minyak murni berbeda secara signifikan pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian tubuh yang berbeda menjadi 89.5% penyebab variasi data yang ada pada minyak murni. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, ke tiga bagian ikan memiliki rendemen minyak murni yang berbeda. Dependent Variable: Asam_Lemak_Bebas Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.855(a)
5
.171
97.063
.000
3.911
1
3.911
2220.571
.000
Ikan
.186
1
.186
105.644
.000
Bagian_Tubuh
.607
2
.304
172.394
.000
Ikan * Bagian_Tubuh
.061
2
.031
17.442
.000
Error
.021
12
.002
Total
4.786
18
.876
17
Intercept
Corrected Total
a R Squared = .976 (Adjusted R Squared = .966)
92
Duncan
N Bagian_Tubuh
Subset
1
2
BE
6
KP
6
VS
6
Sig.
3
1
.2917 .3867 .7200 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .002. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Hasil uji menunjukkan kadar asam lemak bebas berbeda secara signifikan pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian tubuh yang berbeda menjadi 96.6% penyebab variasi data yang ada pada kadar asam lemak bebas. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, ke tiga bagian ikan memiliki kadar asam lemak bebas yang berbeda.
93
Dependent Variable: Peroksida
Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
Mean Square
df
F
Sig.
75.941(a)
5
15.188
78.653
.000
434.240
1
434.240
2248.721
.000
66.010
1
66.010
341.834
.000
Bagian_Tubuh
7.971
2
3.986
20.639
.000
Ikan * Bagian_Tubuh
1.960
2
.980
5.076
.025
Error
2.317
12
.193
Total
512.499
18
78.259
17
Intercept Ikan
Corrected Total
a R Squared = .970 (Adjusted R Squared = .958)
Duncan
N Bagian_Tubuh
Subset
1
2
1
BE
6
4.3800
KP
6
4.5050
VS
6
Sig.
5.8500 .631
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .193. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
94
Hasil uji menunjukkan bahwa kadar peroksida berbeda secara signifikan pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian tubuh yang berbeda menjadi 95.8% penyebab variasi data yang ada pada kadar asam lemak bebas. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, BE dan KP memiliki nilai peroksida yang tidak berbeda nyata, sementara kadar pada VS berbeda secara nyata terhadap BE dan KP.
Dependent Variable: Iod
Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
8937.544(a)
5
1787.509
558.534
.000
251064.066
1
251064.066
78448.80 4
.000
Ikan
2963.730
1
2963.730
926.063
.000
Bagian_Tubuh
5773.410
2
2886.705
901.995
.000
Ikan * Bagian_Tubuh
200.403
2
100.202
31.310
.000
Error
38.404
12
3.200
Total
260040.014
18
8975.948
17
Intercept
Corrected Total
a R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .994)
Duncan
N Bagian_Tubuh
Subset
1
2
VS
6
KP
6
BE
6
Sig.
3
1
95.0017 120.6567 138.6467 1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
1.000
95
Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 3.200. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Hasil uji menunjukkan bahwa kadar Iod berbeda secara signifikan pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian tubuh yang berbeda menjadi 99.4% penyebab variasi data yang ada pada kadar Iod. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, ke tiga bagian ikan memiliki kadar Iod yang berbeda.
Dependent Variable: Penyabunan
Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1466.117(a)
5
293.223
369.760
.000
420224.449
1
420224.449
529909.9 13
.000
1449.373
1
1449.373
1827.683
.000
Bagian_Tubuh
11.739
2
5.870
7.402
.008
Ikan * Bagian_Tubuh
5.005
2
2.503
3.156
.079
Error
9.516
12
.793
Total
421700.082
18
1475.633
17
Intercept Ikan
Corrected Total
a R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .991)
96
Duncan
N Bagian_Tubuh
Subset
1
2
1
BE
6
151.9817
KP
6
152.5033
VS
6
Sig.
153.8950 .330
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .793. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Hasil uji menunjukkan bahwa kadar penyabunan berbeda secara signifikan pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian tubuh yang berbeda menjadi 99.1% penyebab variasi data yang ada pada kadar penyabunan. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, kadar penyabunan BE dan KP tidak berbeda secara nyata, namun VS berbeda secara nyata terhadap kedua bagian tersebut.
97
Dependent Variable: Viskositas
Source
Type III Sum of Squares
Corrected Model
df
Mean Square
F
Sig.
980.740(a)
5
196.148
10016.068
.000
72200.000
1
72200.000
3686808.5 11
.000
941.780
1
941.780
48090.894
.000
30.250
2
15.125
772.340
.000
8.710
2
4.355
222.383
.000
Error
.235
12
.020
Total
73180.975
18
980.975
17
Intercept Ikan Bagian_Tubuh Ikan * Bagian_Tubuh
Corrected Total
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Duncan
N Bagian_Tubuh
Subset
1
2
1
BE
6
KP
6
64.2500
VS
6
64.2500
Sig.
61.5000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .020. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
1.000
98
Hasil uji menunjukkan bahwa kadar viskositas berbeda secara signifikan pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian tubuh yang berbeda menjadi 99.99% penyebab variasi data yang ada pada kadar viscositas. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, kadar viskositas KP dan VS tidak berbeda secara nyata, namun BE berbeda secara nyata terhadap kedua bagian tersebut.