II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam adalah jenis ikan patin yang diintroduksi dari Thailand (Khairuman dan Amri, 2008; Slembrouck et al., 2005). Ikan patin siam berasal dari Sungai Mekong di Vietnam sampai ke Sungai Chao Phraya di Thailand. Ikan patin siam memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiruan. Panjang tubuh dapat mencapai 120 cm. Kepala patin siam relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala relatif di bagian bawah (Susanto dan Amri, 1998). Di sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis yang berfungsi sebagai alat pencari makan dan alat peraba pada saat berenang. Ikan patin siam mampu hidup di kualitas air yang kurang baik (Hamid et al., 2007), mampu dibudidayakan dalam kepadatan tinggi, dan termasuk ikan omnivora (Trong et al., 2002)
2.2. Transportasi Ikan Transportasi ikan adalah penempatan sementara ikan pada lingkungan yang sangat terbatas, yaitu ruang yang sempit dan kepadatan ikan yang tinggi sekali. Kondisi ini menjadikan lingkungan sangat labil dan mengalami perubahan dengan cepat dalam degradasi kualitas lingkungan/air yang mengancam kehidupan ikan. Keberhasilan mengurangi pengaruh perubahan lingkungan yang mendadak ini akan memberi kemungkinan untuk mengurangi tingkat kematian, yang berarti tercapainya tujuan transportasi (Huet, 1971). Effendi (2004) menyatakan bahwa transportasi ikan hidup adalah usaha memindahkan ikan dari suatu daerah (sentra produksi) ke daerah lain (sentra konsumsi) dengan kepadatan transportasi setinggi-tingginya dan biaya serendah-rendahnya serta ikan yang diangkut memiliki kelangsungan hidup setinggi-tingginya dan kondisi ikan sehat setelah sampai tujuan. Ada dua sistem dasar untuk transportasi ikan hidup yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup dilakukan dalam wadah yang tertutup dengan segala persyaratan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup selama transportasi telah disertakan sejak awal di dalamnya (Berka, 1986). Dalam sistem ini tidak ada
4
persinggungan antara air media transportasi dengan udara luar, kebutuhan oksigen ikan selama transportasi disediakan dengan cara memasukan oksigen murni sehingga bisa berdifusi ke dalam air media transportasi menjadi oksigen terlarut yang bisa dimanfaatkan oleh ikan, sistem ini dapat menggunakan moda angkutan udara sehingga bisa dikirim untuk jarak jauh (Effendi, 2004); sedangkan sistem terbuka dilakukan dengan mengisi wadah dengan air lalu segala kebutuhan untuk bertahan hidup selama transportasi diberikan secara berkala dari luar. Sistemsistem ini kemudian dikaji dan disesuaikan dengan permasalahan persiapan ikan untuk transportasi, jenis kendaraan dan perlengkapan, masalah kualitas dan penggantian air selama transportasi, dan pencegahan menggunakan bahan kimia selama transportasi ikan (Berka, 1986). Menurut Nemoto (1957), hal penting yang harus diperhatikan dalam transportasi ikan adalah: a. Meningkatkan suplai oksigen dengan cara mengganti udara dengan oksigen murni, meningkatkan tekanan oksigen pada wadah, dan mengurangi konsumsi oksigen rata-rata. b. Mengontrol metabolisme, dengan cara mengurangi laju buangan metabolisme dan menetralisasi atau menghilangkan hasil metabolisme. Huet (1971) menyatakan, bahwa faktor utama yang mempengaruhi transportasi ikan hidup dengan mempertimbangkan persediaan oksigen dalam alat transportasi antara lain : a. Spesies ikan: kebutuhan ikan terhadap oksigen bervariasi tergantung spesiesnya b. Umur dan ukuran ikan: ikan yang lebih kecil memiliki kebutuhan oksigen lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang lebih besar. c. Ketahanan relatif ikan: ikan yang diberi pakan alami lebih tahan dibandingkan dengan ikan yang diberi pakan buatan, serta ikan dalam kondisi yang siap memijah memiliki daya tahan yang rendah dalam transportasi. d. Suhu air: pada suhu rendah mengakibatkan kadar oksigen di dalam air lebih tinggi, karena kebutuhan oksigen akan menurun.
5
e. Lama
waktu angkut: makin pendek waktu ikan makin tinggi
kepadatannya. f. Cara angkut ikan dan lama istirahat: makin cepat transportasi dan makin baik prasarana serta waktu istirahat yang pendek, kemungkinan keberhasilan transportasi lebih besar. g. Sifat
alami
alat
pengangkut:
transportasi
dengan
wadah
kayu
menyebabkan peningkatkan suhu air lebih lamban dibanding dengan wadah logam, tetapi wadah kayu dapat mengisolasi panas dalam wadah. h. Kondisi klimatologik : hal ini berpengaruh terhadap suhu air di dalam wadah maupun kandungan oksigen terlarutnya. Pada sistem tertutup, sedikit gerakan pada kantong dapat mendukung masuknya oksigen murni atmosferik ke dalam air. Untuk jangka waktu yang lama, kantong yang berisi ikan apabila dibiarkan tanpa gerakan sama sekali akan dapat menyebabkan kematian ikan walaupun cadangan oksigen di dalam kantong masih tinggi (Berka, 1986).
2.2.1. Kemasan Transportasi yang paling sering dilakukan karena mudah dan aman untuk jarak dekat maupun jarak jauh adalah dengan menggunakan kantong plastik berukuran 40 x 60 cm yang diisi oksigen murni. Untuk transportasi jarak jauh terutama dengan menggunakan pesawat terbang, biasanya kantong plastik tersebut dimasukkan ke dalam kotak styrofoam. Pada styrofoam diletakkan es yang dibungkus dengan kantong plastik agar suhu selama transportasi rendah. (Hamid et al., 2007). Kemasan
yang
baik
dalam
transportasi
sistem
tertutup
adalah
menggunakan plastik jenis polietilen (PE) dengan ketebalan plastik 0,03 mm, karena ringan, mudah didapat, dan murah. Lebih lanjut, penggunaan kantong plastik pada transportasi jarak jauh sebaiknya diletakkan dalam kotak styrofoam untuk mengurangi kontak yang terjadi antara air di dalam kantong dengan temperatur lingkungan yang relatif panas. Garbhards (1965) menyatakan, bahwa penggunaan kantong plastik yang diletakkan pada kotak styrofoam meningkatkan kelangsungan hidup sebesar 99,9%.
6
2.2.2. Kepadatan ikan Kepadatan ikan adalah bobot ikan yang berada dalam suatu wadah pada waktu tertentu. Kepadatan ikan yang akan diangkut bergantung pada volume air, bobot ikan, spesies, ukuran ikan, lama transportasi, suplai oksigen dan suhu (Jhingran dan Pullin, 1985). Untuk kasus di BBAT Jambi transportasi benih patin siam umur 15 hari (0,75 inci) dengan waktu tempuh dibawah 2 jam, diisi 5000 ekor/kantong; sedangkan untuk jarak jauh dengan waktu tempuh 7-24 jam, diisi 2000 ekor/kantong (Hamid et al., 2007). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Nurwahit (Pedagang Benih Ikan Patin Siam, Komunikasi Pribadi, 2009), untuk pengiriman benih patin ukuran 0,75 inci selama 8-12 jam diisi 2000 ekor/kantong dengan air 2,5 liter (800 ekor/liter) dengan SR hampir selalu 100%.
2.3. Persyaratan Kualitas Air 2.3.1. Oksigen terlarut Konsumsi oksigen oleh ikan sangat bergantung pada jenis, ukuran, aktivitas ikan, toleransi terhadap stres, suhu, pH, CO2 dan amoniak (Berka, 1986; Boyd, 1990). Nugroho (2006) mengemukakan bahwa oganisme berukuran kecil mengkonsumsi oksigen lebih banyak persatuan waktu dan bobot ikan daripada yang berukuran besar. Bobot ikan dan suhu air merupakan faktor penting yang mempengaruhi konsumsi oksigen ikan dalam kaitannya dengan metabolisme selama transportasi. Ikan yang lebih berat dan yang diangkut menggunakan air yang lebih hangat memerlukan oksigen yang lebih banyak. Apabila suhu air meningkat 10°C (misalnya dari 10°C menjadi 20°C), maka konsumsi oksigen akan meningkat 2 kali lipatnya (Berka, 1986) Oksigen terlarut (DO) adalah salah satu parameter kualitas air yang penting. Kekurangan oksigen biasanya merupakan penyebab utama kematian ikan secara mendadak dan dalam jumlah besar. Mempertahankan kondisi DO dalam kisaran normal akan membantu mempertahankan kondisi ikan selama penanganan. Konsentrasi DO yang terlalu rendah menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kesehatan ikan seperti anoreksia, stres pernafasan, hipoksia jaringan, ketidaksadaran, bahkan kematian (Wedemeyer, 1996). Oksigen terlarut
7
ialah faktor tunggal utama yang berperan dalam pengepakan. Namun, oksigen yang berlimpah dalam wadah tidak selalu menunjukkan bahwa ikan-ikan dalam kondisi baik. Ikan dapat mengatur volume oksigen yang masuk tubuh mereka. Piper et al. (1986) menyatakan, bahwa oksigen terlarut di dalam media transportasi ikan harus lebih besar dari 7 mg/l dan lebih kecil dari tingkat jenuh, sebab kebutuhan oksigen akan meningkat pada saat kadar CO2 tinggi dan stres penanganan sehingga untuk persiapan disediakan dua kali kebutuhan normal. Pescod (1973) menyatakan, bahwa kandungan oksigen terlarut yang baik untuk transportasi ikan harus lebih dari 2 mg/l. Konsumsi oksigen tertinggi pada ikan terjadi 15 menit pertama dari saat transportasi.
2.3.2. Suhu Ikan bersifat poikilothermal, yaitu suhu tubuhnya mengikuti suhu lingkungannya (Boyd, 1990). Jadi, suhu mempunyai pengaruh yang nyata pada respirasi, pemasukan pakan, kecernaan, pertumbuhan dan berpengaruh terhadap metabolisme ikan. Suhu juga berakibat pada kelarutan oksigen dalam air, difusi oksigen ke insang dan kehidupan potensial bagi organisme patogen. Setiap spesies mempunyai kisaran suhu yang berbeda, maka bila terjadi perubahan di luar kisaran suhu tersebut akan membuat ikan stess bahkan bisa mengakibatkan kematian. Suhu yang lebih tinggi dari kisaran suhu optimal akan meningkatkan toksisitas dari kontaminan terlarut yang kemudian meningkatkan pertumbuhan
dari
patogen,
menurunkan
konsentrasi
oksigen
terlarut,
meningkatkan konsumsi oksigen dari peningkatan suhu tubuh, serta meningkatkan laju metabolisme. Sebaliknya suhu yang lebih rendah dari kisaran suhu optimum akan mengakibatkan respon imunitas menjadi lebih lambat, mengurangi nafsu makan, aktifitas dan pertumbuhan (Wedemeyer, 1996). Demikian juga diungkapkan oleh Effendi (2003) bahwa suhu air berpengaruh tehadap aktifitas penting terutama pernafasan, reproduksi serta laju metabolisme. Stickey (1979) menyatakan bahwa, secara umum fluktuasi suhu yang membahayakan bagi ikan ialah 5oC dalam waktu 1 jam. Jhingran dan Pullin (1985) menyatakan untuk transportasi jarak jauh dan lama (lebih dari 24 jam) oksigen harus selalu tersedia dan suhu tidak boleh melebihi 28oC, adapun suhu
8
yang ideal untuk transportasi ikan tropis adalah 20-24oC. Suhu pemeliharaan ikan patin umumnya berkisar antara 26,5-28oC untuk pembesaran (Asyari, 1992) dan 29-32oC untuk pembenihan (Slembrouck et al., 2005).
2.3.3. Derajat keasamaan (pH) Nilai pH (power of hydrogen) merupakan ukuran konsentrasi ion H+ di dalam air. Keasaman adalah kapasitas air untuk menetralkan ion-ion hidroksil (OH-). Nilai pH disebut asam bila kurang dari 7, pH 7 disebut netral dan pH di atas 7 disebut basa (Boyd, 1990). Jaringan insang merupakan target organ pertama akibat stres asam. Ketika ikan berada dalam pH rendah, peningkatan lendir akan terlihat pada permukaan insang (Boyd, 1990). Begitu juga pada pH tinggi, karena insang sangat sensitif dan berbahaya bagi mata ikan. Nugroho (2006) mengatakan bahwa batas toleransi ikan terhadap pH berkisar antara 4-11. Kriteria pH yang ideal menurut Pescod (1973) adalah 6,5-8,5.
2.3.4. Karbondioksida (CO2) CO2 dalam media transportasi merupakan hasil respirasi dan dapat mengancam kelangsungan hidup ikan. Jumlah CO2 yang terlampau banyak akan bersifat racun bagi ikan (Jhingran dan Pullin, 1985). Peningkatan CO2 akan mengurangi kemampuan hemoglobin darah untuk membawa O2 dan dibutuhkan lingkungan dengan kandungan oksigen terlarut yang lebih tinggi agar ikan dapat hidup (Royce, 1984). Kadar CO2 terlarut lebih dapat ditoleransi oleh ikan dibandingkan dengan amoniak, bahkan banyak ikan yang hidup pada air yang mengandung CO2 lebih besar dari 60 mg/l (Boyd, 1990). Kadar CO2 sebesar 50-100mg/l dapat membunuh ikan dalam waktu relatif lama. Kadar CO2 dalam air juga mempengaruhi pH air. Pada saat kandungan CO2 tinggi maka pH air rendah demikian pula sebaliknya jika CO2 rendah maka pH air tinggi (Boyd, 1990).
9
2.3.5. Amonia Ikan adalah hewan yang termasuk dalam golongan amonioletik, yaitu hewan yang mengekskresikan amonia sebagai produk akhir dari metabolisme asam amino (Nugroho, 2006). Pakan yang dimakan oleh ikan sebagian besar akan diubah menjadi daging atau jaringan tubuh, sedangkan sisanya dibuang menjadi kotoran padat (feses) dan terlarut (amonia) (Kordi dan Tancung, 2007). Sumber utama amoniak di perairan adalah ekskresi langsung amoniak oleh ikan atau hasil metabolisme ikan (Boyd, 1990). Soemirat (2005) mengklasifikasikan amonia sebagai racun yang merupakan metabolit organisme. Level racun amonia untuk pemaparan jangka pendek biasanya berkisar antara 0,6-2 mg/l pada suhu 30 oC. Di dalam air, amonia terdapat dalam 2 bentuk yaitu NH4+ atau biasa disebut ionized amonia (IA) yang kurang beracun dan NH3 atau unionized amonia (UIA) yang beracun (Kordi dan Tancung, 2007). Kedua bentuk amonia tersebut di dalam air berada dalam kesetimbangan seperti berikut : NH3 + H2O ÅÆ NH4+ + OHKeberadaan NH3 bergantung pada suhu dan pH (Boyd, 1990; Effendi, 2003; Sanusi et al., 2005). Bentuk kandungan (NH3 dan NH4+) tergantung pada konsentrasi ion hidrogen pada air. Air dengan pH rendah memiliki ion hidrogen lebih banyak sehingga bentuk NH4+ lebih dominan dimana NH4+ lebih tidak beracun dibandingkan NH3. Jika pH meningkat di atas 7,2 maka jumlah ion hidrogen akan berkurang dan mengakibatkan bentuk NH3 lebih dominan. NH3 sudah berbahaya pada konsentrasi lebih dari 0,04 mg/l, karena dapat menurunkan kapasitas darah untuk membawa oksigen sehingga jaringan akan kekurangan oksigen. Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar NH3 pada perairan tawar sebaiknya tidak melebihi 0,02 mg/l karena bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Ketika konsentrasi amoniak pada lingkungan meningkat, ekskresi amoniak pada ikan menurun sehingga kadar amoniak dalam darah dan jaringan ikan meningkat (Boyd, 1990). Di dalam wadah transportasi ekskresi amoniak penting diketahui karena akumulasi akan berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup organisme yang diangkut.
10
Jumlah amoniak yang diekskresikan juga bergantung pada sejumlah faktor seperti spesies, ukuran, makanan, dan temperatur (Boyd, 1990). Spotte (1970) mengemukakan bahwa laju metabolisme hewan air tawar yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat dibandingkan hewan yang lebih besar pada spesies yang sama. Dalam wadah transportasi laju metabolime ikan lebih cepat sampai tiga kali metabolisme rutin sehingga menyebabkan laju ekskresi hasil metabolisme selama proses transportasi meningkat pula (Frose, 1985).
2.4. Penanganan Pasca Transportasi Pelepasan ikan setelah sampai ditempat tujuan dapat menjadi tahapan yang paling kritis dalam proses transportasi ikan. Ikan berada pada tingkatan stres tertentu ketika proses transportasi. Apabila secara tiba-tiba ikan dimasukkan ke dalam air yang berbeda karakteristik atau air dengan kualitas yang lebih rendah akan meningkatkan stres pada ikan yang seringkali melampaui daya tahan ikan tersebut. Air berkualitas rendah dapat berarti air tanah yang baru saja dipompa yang memiliki kandungan oksigen yang rendah atau kandungan karbondioksida yang tinggi; sedangkan perbedaan karakteristik air maksudnya adalah perbedaan pH, suhu, atau saturasi gas antara air dalam kantong dan air yang digunakan sebagai wadah ikan setelah ikan sampai di lokasi tujuan. Kondisi pengiriman juga mempengaruhi komposisi darah dan parameter biokimia serum darah ikan. Peningkatan suhu dan penurunan rasio antara bobot ikan dengan konsentrasi air dapat meningkatkan jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin di dalam darah ikan. Hal tersebut tidak ditemukan pada temperatur yang lebih rendah dan kepadatan ikan yang lebih tinggi (Shevchenko, 1978 dalam Berka, 1986). Sisi ekonomi pada transportasi ikan merupakan hal yang penting dalam penentuan jumlah kepadatan dalam kemasan. Apabila biaya transportasi tinggi dan nilai ikan yang diangkut cenderung rendah, maka kepadatan dalam setiap unit kemasan (kantong) dapat ditingkatkan meskipun jumlah kematian ikan per kemasan diduga akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan kemasan dengan kepadatan ikan yang lebih sedikit (Berka, 1986).
11
2.5. Efisiensi Ekonomi Efisiensi ekonomi adalah analisis usaha yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kegiatan usaha mengalami keuntungan atau tidak, serta mengukur keberlanjutan usaha. Analisa usaha dalam bidang perikanan merupakan pemeriksaan keuangan untuk mengetahui keberhasilan usaha yang telah dicapai selama kegiatan usaha perikanan berlangsung. Parameter yang digunakan dalam analisis usaha adalah keuntungan, Revenue-cost ratio (R/C), break even point (BEP), harga pokok produksi (HPP), dan payback periode (PP). Break even point merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi sama dengan biaya produksi sehingga pengeluaran sama dengan pendapatan atau impas. Harga pokok produksi (HPP) digunakan untuk menentukan harga jual produk, jika ingin mendapatkan keuntungan, penjualan harus diatas HPP.