[107] Sikap Mukmin terhadap Rasulullah SAW, Istri-istri Beliau, dan Sesama Muslim Saturday, 28 September 2013 02:25
Oleh: Rokhmat S.Labib, M.E.I.
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah) (TQS al-Ahzab [33]: 6).
Di hadapan kaum Mukmin, Rasulullah SAW memiliki kedudukan istimewa. Beliau harus diutamakan dengan seluruh manusia lainnya, bahkan terhadap diri mereka sendiri. Istri-istri beliau juga memiliki kedudukan istimewa di hadapan kaum Mukmin. Semua istri beliau disebut sebagai ummahât (para ibu) bagi mereka. Ketentuan ini dengan jelas terdapat dalam ayat ini. Selain hal tersebut, ayat ini juga menjelaskan tentang hubungan sesama Muslim.
Kedudukan Nabi SAW bagi Kaum Mukmin
Allah SWT berfirman: al-Nabiyy awlâ bi al-mu`minîn min anfusihim (Nabi itu [hendaknya] lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri). Kata al-Nabiyy menunjuk kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan awlâ bi al-mu`minîn min anfusihim
1/6
[107] Sikap Mukmin terhadap Rasulullah SAW, Istri-istri Beliau, dan Sesama Muslim Saturday, 28 September 2013 02:25
berarti beliau lebih berhak bagi kaum Mukmin untuk memutuskan hukum yang beliau kehendaki atas mereka. Demikian dikatakan al-Thabari.
Menurut al-Alusi, pengertian awlâ bi al-mu`minîn adalah ahaqq wa aqrab ilayhim (lebih berhak dan lebih dekat terhadap mereka) daripada diri mereka sendiri. Bisa juga berrati, asyadd wilâyah wa nushrah (paling kuat dalam hal loyalitas dan memberikan pertolongan) pada diri mereka. Hal itu disebabkan karena Nabi SAW tidak memerintahkan mereka dan tidak meridhai mereka kecuali dalam perkara kabaikan dan kesuksesan mereka. Berbeda dengan diri mereka, yang memerintahakan keburukan sebagaimana dalam firman Allah SWT: Inna al-nafs la ammârah bi al-sû` ( karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan , TQS Yusuf [12]: 53). Dijelaskan juga, penyebutan al-awlawiyyah (prioritas, yang didahulukan) memberikan pengertian bahwa Rasulullah SAW harus diutamakan pada semua perkara; sekaligus memberitahukan kedudukan Nabi SAW lebih utama bagi mereka daripada seluruh manusia.
Dijelaskan juga oleh al-Syaukani, ayat ini mengandung makna: Beliau lebih berhak bagi mereka dalam semua urusan agama dan dunia. Beliau juga harus lebih mereka utamakan daripada diri mereka sendiri, apalagi orang lain. Maka mereka wajib mendahulukan beliau pada harta mereka yang beliau inginkan, sekalipun mereka membutuhkannya. Mereka wajib mencintai beliau melebihi kecintaan mereka terhadap diri mereka sendiri. Mereka wajib mendahulukan hukum beliau atas mereka daripada hukum mereka atas diri mereka. Apabila Nabi SAW meminta mereka untuk suatu urusan, pada saat yang sama diri mereka meminta untuk urusan lainnya, maka mereka wajib dan mendahulukan permintaan beliau dan menunda permintaan diri mereka. Mereka wajib menaati beliau melebihi ketaatan mereka terhadap diri mereka. Juga wajib mendahulukan ketaatan terhadap beliau melebihi keinginan diri mereka dan permintaan yang ada dalam benaknya.
Ditegaskan Ibnu Katsir, keharusan mendahulukan keputusan hukum Nabi SAW atas mereka daripada pilihan mereka terhadap diri mereka itu sebagaimana dalam QS al-Nisa’ [4]: 65). Dalam hadits shahih, Nabi SAW juga bersabda: Demi Dzat yang jiwaku di genggaman-Nya, tidak beriman di antara kalian hingga aku lebih dicintai daripada jiwanya, hartanya,orang tuanya, dan seluruh manusia (HR al-Bukhari, dari Anas).
2/6
[107] Sikap Mukmin terhadap Rasulullah SAW, Istri-istri Beliau, dan Sesama Muslim Saturday, 28 September 2013 02:25
Di samping hadits tersebut, menurut Ibnu Katsir juga sejalan dengan hadits shahih dari Hisyam bahwa Umar ra berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Rasulullah SAW lalu bersabda, “Tidak Umar, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Umar pun menjawab, “Wahai Rasulullah, demi Allah sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu hingga terhadap diriku sendiri.” Beliau kemudian bersabda, “Sekarang (baru benar), wahai Umar.” (HR al-Bukhari, dari Hisyam). Oleh karena itu, Allah SWT berfirman dalam ayat ini: al-Nabiyy awlâ bi al-mu`minîn min anfusihim.
Kedudukan Istri-istri Beliau
Kemudian Allah SWT berfirman: wa azwâjuhu ummahâtuhum (dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka). Kata azwâjuhu menunj uk kepada istri-istri Nabi SAW. Mereka dinyatakan sebagai ummahâtuhum. Kata ummahât merupakan bentuk jamak dari kata umm[un] (ibu). Sehingga istri-istri Nabi SAW itu dinyatakan sebagai ibu-ibu mereka, kaum Mukmin.
Maksud sebagai ibu itu adalah dalam hal haramnya mereka sebagaimana ibunya. Bahwa para istri Nabi SAW itu diharamkan dinikahi sepeninggal Rasulullah SAW sebagaimana menikahi ibu mereka. Demikian penjelasan al-Thabari. Selain haram dinikahi, kedudukan sebagai ibu itu mewajibkan untuk dihormati sebagaimana ibu mereka. Demikian dijelaskan para mufassir, seperti al-Alusi, al-Qurthubi, al-Syaukani, dan lain-lain. Sedangkan dalam perkara lainnya, seperti memandang mereka, berkhalwat, dan warisan, hukumnya sebagaimana terhadap wanita lainnya. Hukum haram untuk dinikahi tersebut tidak berlaku kepada anak-anak dan saudara perempuan para istri Nabi SAW tersebut.
3/6
[107] Sikap Mukmin terhadap Rasulullah SAW, Istri-istri Beliau, dan Sesama Muslim Saturday, 28 September 2013 02:25
Hak Waris
Allah SWT berfirman: wa ulû al-arhâm ba’dhuhum awlâ bi ba’dh fî Kitâbil-Lâh min al-mukminîn wa al-muhâjirîn (dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak [waris mewarisi] di dalam Kitab Allah daripada orang-orang Mukmin dan orang-orang Muhajirin).
Pengertian ulû al-arhâm adalah al-qarâbât (orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan). Sedangkan fî Kitâbil-Lâh bermakna fî h ukmil-Lâh (dalam hukum Allah). Demikian menurut Ibnu Katsir. Ditegaskan dalam ayat ini, orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan itu awlâ (lebih berhak) daripada kaum Mukmin yang lain dan kaum Muhajirin. Perkara yang dimaksud lebih berhak itu adalah soal waris.
Dijelaskan Ibnu Zaid, sebagaimana dikutip al-Thabari, Nabi SAW pada awal hijrah mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, mereka saling mewarisi karena itu. Maka ayat ini menasakh ketentuan tersebut.
Allah SWT berfirman: Illâ an taf’alû ilâ awliyâikum ma’rûf[an] (kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu [seagama]). Jika waris dihapuskan, lalu apa yang masih tersisa? Dalam ayat ini dijelaskan, yang masih tersisa adalah al-nashr wa al-birr wa al-shilah wa al-i h sân wa al-washiyyah (memberikan pertolongan, melakukan kebajikan, menjalin hubungan, berbuat kebaikan, dan memberikan wasiat). Demikian penjelasan Ibnu Katsir.
4/6
[107] Sikap Mukmin terhadap Rasulullah SAW, Istri-istri Beliau, dan Sesama Muslim Saturday, 28 September 2013 02:25
Ayat ini diakhiri dengan firman Allah SWT: Kâna dzâlika fî al-Kitâbi masthûr[an] (adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab [Allah]). Frasa Kâna dzâlika berarti hadzâ alh ukm (hukum tersebut). Yakni, orang-orang yang memiliki kerabat lebih berhak atas kaum Muslim lainnya. Hukum dari Allah SWT telah ditetapkan dan tertulis dalam kitab yang pertama, yang tidak berganti dan tidak berubah. Ini dinyatakan oleh Mujahid dan lainnya, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir.
Demikianlah ketentuan Islam terhadap Rasulullah SAW. Kaum Mukmin harus mendahulukan Rasulullah SAW dalam semua urusan. Termasuk dalam hukum dan sistem pemerintahan yang beliau syarihkan. Sungguh tidak layak mengaku sebagai Mukmin namun mengabaikan hukum-hukum dan sistem pemerintahan yang beliau wajibkan; dan lebih memilih hukum dan sistem pemerintahan buatan manusia, terlebih manusia-manusia kafir seperti John Lock, Montesque, Karl Marx, Adam Smith, dan lain-lain.
Demikian juga sikap kita kepada istri-istri Nabi SAW. Kita wajib memuliakan dan menghormati mereka. Tidak sebagaimana dilakukan sekolompok orang yang mengaku sebagai pengikut Ahli Bait namun gemar mencerca dan mencela istri-istri Nabi SAW seperti Aisyah ra, Hafsah ra, dan istri-istri lain-lain.
Pula terhadap sesama Muslim. Meskipun tidak lagi memiliki hubungan pewarisan sebagaimana ketentuan sebelumnya, namun kebajikan, pertolongan, wasiat, dan hubungan baik lainnya harus terus dijaga. Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa mengamalkan ayat ini. Wal-lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar: 1. Kaum Mukmin wajib mendahulukan Rasulullah SAW dalam semua urusan 2. Istri-istri Rasulullah SAW adalah ummahât al-mukminîn (ibu bagi kaum Mukmin) yang
5/6
[107] Sikap Mukmin terhadap Rasulullah SAW, Istri-istri Beliau, dan Sesama Muslim Saturday, 28 September 2013 02:25
harus dimuliakan 3. Hukum saling mewarisi sesama Muslim yang dipersaudarakan Rasulullah SAW dihapus. Namun demikian hubungan baik tetap harus dijaga.
6/6