BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah Menurut statistik PBB di tahun 1980-an, diperoleh informasi bahwa: (1) perempuan mengerjakan 2/3 pekerjaan di seluruh dunia, tetapi hanya menerima 1/10 dari penghasilan seluruh dunia, (2) dari penduduk dunia yang masih buta huruf 2/3 adalah perempuan sementara ia mendapat beban “mendidik” anak keturunannya, dan (3) perempuan di dunia hanya memiliki kurang dari 1/100 kekayaan dunia (Muniarti,2004:75). Informasi tersebut juga didukung oleh pendapat Charlton dan Sharma (dalam Moore,1998). Charlton menuliskan bahwa sekitar setengah dari kaum wanita diseluruh dunia hidup dan bertani di negara-negara yang sedang berkembang dan menghasilkan 40 sampai 80 persen dari seluruh produksi pertanian. Menurut Sharma bahwa dalam hampir setiap rumah tangga dimana kaum kaum laki-laki terlibat dalam pertanian, wanita juga memberikan sumbangan dalam kapasitas tertentu, sekalipun kaum wanita sendiri (dan memang kaum laki-laki) memandang sumbangan ini sebagai bagian dari “kerja rumah”. Menurut Laurel Bossen telah terjadi bias gender dalam kajian antropologi tradisional tentang evolusi sistem mata pencaharian hidup masyarakat tradisional. Dalam masyarakat pengumpul dan berburu, aktivitas ekonomi wanita diabaikan, wanita dipandang sebagai tanggungan laki-laki. Laki-laki selalu digambarkan sebagai pemburu dan makanan didominasi oleh daging. Wanita tinggal di tempat
Universitas Sumatera Utara
tinggalnya bersama dengan anak-anak dan laki-laki pulang membawa hasil buruan (1989:318-323). Daging bukanlah menu utama dalam masyarakat pengumpul dan berburu. Walaupun daging sedikit dikonsumsi tetapi waktu laki-laki sebagian besar digunakan untuk berburu
dan wanita mengumpulkan makanan. Hal ini
menyebabkan dikotomi seksual dalam menyumbangkan makanan yang bersumber dari tanaman dan hewan. Hasil tanaman menjadi menu utama bila hasil buruan tidak ada dan penyedianya adalah wanita bagi anak-anak dan suaminya. Laki-laki kembali berburu tanpa hasil dapat menyebabkan kelaparan bagi keluarga kecuali bila ada wanita yang menyediakan makanan. Kaum wanita di seluruh dunia terlibat dalam kerja produktif di dalam maupun di luar rumah. Ciri yang sesungguhnya dari kerja ini berbeda-beda dari satu budaya ke budaya lainnya, tetapi pada umumnya bisa digolongkan ke dalam empat kelompok: kerja pertanian, perdagangan, kerja rumah tangga, dan kerja upahan. Namun, banyak yang menganggap kerja wanita tanpa upah dan sumbangannya pada pendapatan rumah tangga diremehkan. Ada beberapa alasan penyebabnya, tetapi yang paling penting jelas berkaitan dengan defenisi tentang “kerja” itu sendiri. Kerja bukan hanya sekedar persoalan apa yang dilakukan orang karena setiap defenisi juga harus mengikutsertakan kondisi-kondisi tempat kerja itu dilakukan, dan nilai atau harga sosialnya dalam konteks budaya tertentu. Kalau kerja secara konvensional dipahami sebagai ‘kerja upahan di luar rumah’, maka nilai kerja subsistem dan domestik kaum wanita tidak diakui (Moore,1998:82).
Universitas Sumatera Utara
Pembagian nilai tergantung kepada anggapan masyarakat itu sendiri mengenai apa yang dianggap paling berharga dan pantas untuk dimiliki dalam hidupnya. Sejak kecil, setiap individu telah diresapi nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat melalui proses sosialisasi, internalisasi, dan enkulturasi. Begitu juga dengan nilai anak dalam suatu masyarakat tergantung dari budaya masyarakat itu sendiri. Anak dalam masyarakat petani di desa dianggap mempunyai nilai sosial dan ekonomi yang besar, karena dapat menambah gengsi dan hubungan sosial orang tuanya pada waktu menikahkan anak gadisnya, serta menambah penghasilan rumah tangga apabila dipekerjakan. Sikap mental yang mengganggap anak dalam rumah tangga hanya sebagai tenaga yang menguntungkan dapat menimbulkan sikap yang melupakan kebutuhan anak akan kesejahteraan dan kesehatannya dimasa yang akan datang (Koentjaraningrat,1984:36). Anak dalam kehidupan suku Nias seperti di suku-suku lainnya secara umum merupakan berkat atau rezeki yang sangat disyukuri dan dinanti-nantikan oleh sebuah keluarga yang baru terbentuk. Suku Nias menganut patrilineal dalam melihat garis keturunan sangat mendambakan kehadiran seorang anak laki-laki dalam keluarga. Seorang ibu yang melahirkan anak pertama yaitu perempuan maka kemungkinan besar keluarga tersebut akan sangat kecewa, sebab yang paling diharapkan lahir adalah anak laki-laki yang dianggap sebagai pembawa rejeki dan generasi penerus. Perempuan dianggap kurang penting, inferior, dan tidak berkompeten memegang satu jabatan (www.museum-nias.net/?p=246).
Universitas Sumatera Utara
Kekecewaan yang dialami keluarga akan lahirnya seorang anak perempuan juga dirasakan oleh suku Turkana di Kenya Bagian Selatan. Jika bayi yang lahir adalah laki-laki, tali pusatnya dipotong dengan sebilah tombak dan pesta diselenggarakan dengan menyembelih empat ekor kambing bagi perempuan yang melahirkan bayi itu. Ketika perempuan itu bangun dan keluar dari rumahnya setelah empat hari bersalin, tombak itu diambil dulu dan digunakan untuk membegal seekor lembu jantan, kemudian perempuan itu maupun suaminya memakan daging lembu sembelihan sebagai tanda bahwa sang suami kini telah memiliki seseorang untuk membantunya mengurus ternak. Tetapi jika bayinya perempuan, digunakan pisau untuk memotong tali pusar, cuma seekor kambing yang disembelih dan tidak ada pesta (Moose,1996:1). Keutamaan anak laki-laki terjadi juga di India, Pakistan dan Banglades. Perempuan lebih menyukai anak laki-laki karena anak perempuan akan meninggalkan rumah suatu hari nanti, menyedot sebagian kekayaan keluarga dalam bentuk mas kawin, sementara anak laki-laki menawarkan janji autonomi dan autoritas masa depan atas menantu perempuan serta para cucu. Perempuan yang melahirkan anak laki-laki akan diperlakukan lebih baik ketimbang perempuan yang hanya melahirkan anak perempuan dan perlakuan semacam ini berlanjut kepada anak-anaknya. Ada banyak bukti bahwa anak laki-laki disusui lebih sering dan lebih lama dibandingkan saudara perempuannya, anak laki-laki lebih sering mendapatkan perawatan dokter ketimbang anak perempuan, anak laki-laki diberi makan lebih dahulu sebelum anak perempuan, dan dididik secara lebih serius (Mosse,1996:67).
Universitas Sumatera Utara
Menurut hukum adat, bila orangtua tidak mempunyai anak sendiri, seringkali diangkat seorang anak dengan maksud untuk melanjutkan keturunan keluarga. Dengan berbagai upacara dan pemberian, serta diketahui oleh kepalakepala adat, anak yang bersangkutan dilepaskan dari keluarganya sendiri dan dimasukkan dalam keluarga orang tua yang mengangkatnya. Pengangkatan anak secara resmi berakibat bahwa kedudukan anak angkat itu seperti anak sendiri, sedangkan hubungan dengan keluarga yang sebenarnya sama sekali terputus, seringkali juga mengenai hak waris. Di samping itu terjadi pula pengangkatan anak secara tidak resmi, tanpa mengadakan pemberian atau upacara dan tidak dihadapkan kepada kepala adat, misalnya di Sulawesi dan Jawa. Biasanya yang diangkat anak saudara tetapi pengangkatan anak yang tidak resmi itu juga dianggap sebagai anak sendiri, tetapi mengenai hak waris kedudukannya berbeda dengan anak kandung. Anak angkat tidak berhak atas harta benda yang diperoleh dari orangtua angkat sebagai warisan dan masih berhak mendapat bagian dari warisan orangtua sendiri (Soewondo, 1984:137). Pada umumnya anak yang diangkat dalam keluarga suku Nias adalah anak laki-laki. Anak yang diangkat tersebut menjadi penerus keturunan keluarga yang mengangkatnya. Walaupun yang diangkat pada umumnya adalah anak laki-laki, ada kalanya anak perempuan diangkat sebagai anak. Misalnya di Bali, seharusnya anak laki-laki yang melanjutkan keturunan keluarga dan kelak menjadi kepala keluarga. Bila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan saja, maka salah satu diantaranya umumnya yang sulung, dapat diangkat sebagai sentana, dengan segala hak dan kewajiban seperti anak laki-laki yang sulung; sentana perempuan itu akan melangsungkan perkawinan ambil anak. Mengenai pengangkatan anak di
Universitas Sumatera Utara
Bali dapat diterangkan pula bahwa jika permaisuri tidak beranak, maka anak-anak dari istri-istri lain dapat diangkat sebagai anak permaisuri dan dapat melanjutkan keturunan keluarga dan kedudukan ayahnya. Bagi masyarakat Nias, umumnya yang berada di pedesaan pendidikan untuk kaum perempuan bukanlah hal yang penting. Anak perempuan banyak yang bekerja di ladang membantu orangtua dan dapat menghasilkan uang. Setelah cukup umur mereka akan dikawinkan dan berkeluarga. Prioritas pendidikan terdapat pada anak laki-laki dan khususnya anak sulung karena ia merupakan pengganti kedudukan ayahnya dan penerus keturunan. Menurut Natauli Duha anak perempuan jarang bersekolah tinggi misalnya melanjutkan sekolah di SMP/SMU, apalagi ke Perguruan Tinggi. Mereka hanya tamat Sekolah Dasar, setelah itu tinggal di rumah membantu orangtua membanting tulang mencari nafkah dan biaya pendidikan untuk saudara laki-laki. Salah satu penunjang biaya pendidikan anak laki-laki biasanya dalam keluarga menurut kebiasaan mereka adalah memelihara babi. Dalam hal ini yang ditugaskan untuk itu adalah anak perempuan. Mereka harus mengurus dan memelihara ternak babi sampai besar dan setelah besar, lalu dijual. Hasilnya akan diserahkan untuk biaya sekolah anak laki-laki. Hal ini paling menyakitkan, karena perempuan tidak menikmati hasil jerih payahnya. Akibat dari pendidikan yang rendah ini, perempuan semakin terpinggirkan dan tinggal dalam kebodohan dengan dalih kodrat (www.museum-nias.net/?p=246). Menurut Listiani (2002,47) kebanyakan keluarga jika keuangan tidak mencukupi dan sangat terbatas, dimana harus memilih dalam mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Maka pilihannya adalah kepada
Universitas Sumatera Utara
anak laki-laki, yang mendapatkan prioritas utama untuk sekolah karena anak perempuan dianggap tidak penting dan tidak layak. Laki-laki adalah kepala keluarga dan laki-laki yang memberi nafkah keluarga. Ada anggapan bahwa perempuan walau sekolah tinggi-tinggi akan tetap berada di dapur dan jika menikah nanti akan ikut dengan suami. Keadaan ini sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil yang dilakukan dalam mengambil suatu keputusan di keluarga. Berkaitan dengan prinsip keturunan garis patrilineal, maka sistem pembagian warisan mengikuti aturan tersebut. Pada masyarakat Nias, yang mendapat warisan hanyalah anak laki-laki saja, anak perempuan yang sudah menikah atau belum menikah tidak berhak mendapat warisan. Anak laki-laki yang sulung (sia’a) selalu mendapat bagian yang lebih dari saudara-saudaranya yang lain. Anak yang sulung mendapat bagian yang istimewa, karena ia akan menjadi pengganti bapaknya dan membayar hutang-hutang orang tuanya. Sesuai dengan kebiasaan di Nias, perempuan tidak boleh angkat bicara sekalipun keputusan itu merugikan dirinya sendiri. Dalam hal suami-istri, seandainya suami tidak ada di rumah sementara ada satu hal penting yang harus diputuskan saat itu juga, maka istri tidak boleh mengambil keputusan sendiri, melainkan harus menunggu suami pulang. Namun, jika ayah mertuanya ada di rumah, maka itulah yang bisa membantu
memberi keputusan. Dalam
musyawarah adat, perempuan tidak dilibatkan. Mereka hanya menunggu apa yang diputuskan oleh kaum lelaki. Bagi perempuan yang sudah menyandang status janda dan perawan tua sudah tentu mereka kurang diperhitungkan dan difungsikan dengan alasan kurang mampu apalagi bila kondisi sosial ekonomi yang tidak
Universitas Sumatera Utara
memadai. Begitu juga dengan perawan tua, dalam setiap pesta adat misalnya pesta perkawinan, maka pada saat pembagian jatah makanan urakha nama mereka tidak pernah disebutkan (www.museum-nias.net/?p=246). Grafland menuliskan (dalam Subadio dan Ihromi,1994:44) pada umumnya dalam kebanyakan bangsa, dahulu maupun sekarang wanita memiliki tempat kedua dalam masyarakat. Namun demikian bukan tidaklah dapat dipastikan bahwa dalam pergaulan masyarakat khususnya dalam keluarga, wanita itu jauh lebih rendah kedudukannya dari pria. Walaupun harus diakui bahwa dalam pergaulan umum wanita itu umumnya muncul di garis belakang, namun pengaruhnya sebenarnya jauh lebih besar daripada yang kelihatan secara nyata. Menurut Mansyur (dalam Listiani,2002:47) permasalahan gender dan kondisi ketidakadilan gender selalu juga dijumpai di lingkungan rumah tangga, bagaimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan asumsi bias gender. Oleh karena itu rumah tangga merupakan tempat strategis dalam mensosialisasikan ketidakadilan gender. Berdasarkan uraian diatas dapat dibuat kesimpulan sementara bahwa pada masyarakat etnik Nias telah terjadi ketidakadilan gender. Gender adalah perbedaan antara
laki-laki dan perempuan
dalam peran,
fungsi,
hak,
tanggungjawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Maka kesetaraan dan keadilan adalah proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Penulis ingin mendeskripsikan bias gender
Universitas Sumatera Utara
yang terjadi terhadap anak perempuan di Nias dan berusaha untuk menuliskan kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan dalam keluarganya.
I.2. Perumusan Masalah Masyarakat Nias menganut sistem patrilineal yang sangat mengutamakan anak laki-laki baik sebagai penerus keturunan, pewaris dari harta warisan, dan tumpuan harapan orang tua. Sehingga, anak perempuan tidak mendapat tempat didalamnya. Dipilihnya anak perempuan sebagai objek penelitian didasarkan atas pengamatan bahwa adanya kesenjangan nilai antara anak perempuan dan anak laki-laki. Setiap keluarga akan berusaha dan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan anak laki-laki. Secara sederhana penelitian ini dilakukan untuk melihat nilai anak perempuan dalam ekonomi keluarga karena diduga kedudukan dan peran anak perempuan lebih rendah dari pada anak laki-laki tetapi kontribusi yang mereka berikan dalam keluarga sangat besar. Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka perumusan masalah penelitian ini adalah: -
Bagaimana nilai anak dalam ekonomi keluarga Nias dari segi ekonomis, sosial dan psikologis. 1. Nilai ekonomis anak: a. Anak perempuan dan anak laki-laki sebagai sumber tenaga kerja dan penghasilan dalam keluarga. b. Anak perempuan dan anak laki-laki sebagai investasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Nilai sosial anak: a. Anak perempuan sebagai pengembang hubungan keluarga. b. Anak laki-laki sebagi penerus keturunan dan pewaris dari harta warisan. 3. Nilai psikologis anak: a. Anak perempuan dan anak laki-laki sebagai pembawa kebahagiaan. b. Anak perempuan dan anak laki-laki sebagai tumpuan harapan orangtua dan tempat bernaung di hari tua. -
Bagaimana hubungan atau akibat nilai anak dengan kontribusi yang diberikan anak dalam kegiatan ekonomi keluarga.
I.3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Desa Sisobambowo Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias. Kecamatan Mandrehe merupakan wilayah Kabupaten Nias dan penduduknya masih memegang hukum adat Nias. Menurut pengamatan penulis, di Desa Sisobambowo kehadiran seorang anak sangat diharapkan dalam keluarga. Bila dalam keluarga masih belum dikaruniai anak (terutama anak laki-laki), maka ada kecendrungan mereka akan mengangkat seorang anak yang nantinya akan dianggap sebagai anak kandung. Anak perempuan mempunyai peran dan tanggungjawab yang besar dalam lingkungan keluarganya. Anak perempuan mulai dari kecil, dewasa hingga menikah pun mereka masih tetap memberikan kontribusi kepada keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang nilai anak perempuan dalam ekonomi keluarga etnik Nias. Selain itu memberikan data-data berupa informasi tentang sebagian kebudayaan etnik Nias, karena nilai anak tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan Nias. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan dalam ilmu Antropologi khususnya dalam bidang Antropologi Gender dan juga menambah kepustakaan budaya etnik Nias.
I.5. Kerangka Teori Sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adatistiadat. Nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat. Nilai dapat berfungsi sebagai pedoman orientasi kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan. Sejak kecil manusia telah diresapi oleh berbagai nilai budaya yang hidup di dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep budaya itu telah berakar dalam alam jiwanya. Oleh karena itu, untuk mengganti nilai budaya yang telah dimiliki dengan nilai budaya lain diperlukan waktu yang lama (Koentjaraningrat,1996:7576). Menurut Parsudi Suparlan (dalam Zulkarnain,1995:12) bila berbicara mengenai nilai tentunya tidak terlepas dari hal-hal yang dianggap baik dan pantas untuk dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat yang harus sesuai dengan konsepsi budaya yang dimiliki. Nilai-nilai itu dapat dipandang sebagai realitas
Universitas Sumatera Utara
dalam tata pergaulan manusia dengan sesamanya, baik itu berupa lingkungan fisik maupun biologis. Hal ini menunjukkan bahwa nilai anak merupakan bahagian perwujudan dari konsepsi nilai budaya suatu masyarakat terhadap anak yang dapat mempengaruhi pola pemilikan anak dalam suatu keluarga. Jadi,
bila
membicarakan tentang nilai seperti nilai anak dalam suatu masyarakat, maka sekaligus harus diperhatikan dari segi konsepsi nilai budaya yang dimiliki suatu masyarakat yakni apa fungsi dan manfaat anak
terhadap orang tuanya yaitu
menyangkut kebutuhan-kebutuhan orangtua yang akan dipenuhi oleh seorang anak atau setiap anak. Kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa berupa kebutuhan ekonomis, kebutuhan sosial, dan kebutuhan psikologis yang semuanya akan mempengaruhi pola pemilikian anak pada setiap keluarga dalam suatu masyarakat. Dalam UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Kesejahteraan Anak, pengertian anak dalam pasal 1 butir (2) UU ini mempergunakan dua kriteria yang sifatnya kumulatif yaitu belum mencapai umur 21 tahun, dan belum kawin (Pusaka Indonesia.htm). Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dinyatakan bahwa yang disebut anak adalah manusia atau seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Zulkarnain menuliskan bahwa anak merupakan semua yang lahir dari seorang ibu, atau wanita sebagai hasil konsepsi antara suami isteri yang biasanya melalui suatu bentuk perkawinan yang sah menurut adat dan hukum (1995:23). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengertian anak menurut Zulkarnain. Hal ini disebabkan karena dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk memberikan deskripsi tentang kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan dari sejak kecil, dewasa, hingga menikah.
Universitas Sumatera Utara
Keluarga merupakan kelompok yang terdiri atas wanita, anak-anaknya yang belum berdiri sendiri diatas kaki sendiri, dan setidak-tidaknya seorang lakilaki dewasa, yang terikat karena hubungan perkawinan atau karena sedarah (Haviland,1985:83). Kehidupan keluarga manusia diatur oleh bermacam-macam adat-istiadat dan hukum yang ditentukan oleh kebudayaannya. Dalam kehidupan keluarga itu tiap individu berada dalam urutan kehidupan, misalnya masa bayi, penyapihan, kanak-kanak, remaja, sesudah nikah, hamil, tua dan sebagainya. Keluarga sebagai suatu kesatuan sosial terdapat kategori-kategori seperti ibu, bapak, anak, saudara, bibi, paman, nenek, kakek, kemenakan, cucu dan sebagainya. Hubungan antara kategori ini diatur oleh sejumlah norma yang melahirkan posisi dan tugas serta hak dan kewajiban tertentu bagi masing-masing anggota keluarga. Posisi dan tugas serta hak ini dinamakan sistem peran sosial. Peran sosial dalam keluarga menimbulkan hubungan-hubungan sosial tertentu, baik yang didasarkan pada pertalian darah maupun sebagai akibat pernikahan, yang dinamakan sistem kekerabatan. Sistem keturunan dapat dibagi atas tiga macam hubungan yaitu patrilineal, matrilineal dan bilineal (Mansur dkk,1988:15). Masyarakat Indonesia yang menganut paham patriarkhi khususnya di pedesaan seringkali masih ditemukan adanya anggapan bahwa perempuan tidak memiliki peran yang berarti dalam kehidupan manusia pada umumnya. Hal ini dimulai ketika perempuan dilahirkan, dilanjutkan dengan ketika anak perempuan memasuki kanak-kanak, mereka sudah mulai diperlakukan berbeda dengan teman lain yang berkelamin laki-laki. Anak perempuan sudah mulai diperkenalkan dengan permainan yang terarah kepada domestikasi, dimana anak-anak perempuan disodori permainan boneka, masak-memasak dan lain-lain. Menginjak
Universitas Sumatera Utara
remaja perempuan dijejali dengan petuah bahwa bila menjadi perempuan akan dikatakan perempuan yang baik bila dapat membuat senang suami. Masa remaja perempuan mulai diajari bagaimana mempersiapkan diri menjadi wanita yang menyenangkan secara fisik dan dipesan untuk selalu patuh dan taat pada suami. Pemahaman ini selalu terbawa hingga akhir hayat perempuan (www.yis.or.id). Perempuan memiliki semangat yang besar dalam mengupayakan kebutuhan untuk keluarganya, meski dalam kenyataan masyarakat menganggap hanya laki–laki yang menjadi kepala keluarga. Bila ada kekurangan dalam keluarga, perempuan akan berusaha menutupi kekurangan tersebut. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya perempuan memiliki semangat yang besar dalam berusaha untuk mendapatkan penghasilan bagi keluarganya. Hal tersebut secara tidak langsung akan ikut meningkatkan peredaran uang dalam suatu daerah dan pada gilirannya akan ikut meningkatkan pendapatan perkapita. Potensi-potensi tersebut belum didukung dengan peningkatan upah yang seimbang bila dibanding dengan hasilnya. Potensi tersebut adalah: semangat, tanggung jawab, tekad, ketrampilan, pengetahuan, berani berkorban, berani ambil resiko dan lain-lain. Budaya yang dibangun selama ini menempatkan perempuan pada kedudukan lapisan ke dua setelah laki-laki sehingga berdampak pula pada perlakuan dan sikap yang diberikan. Salah satu contoh adalah perempuan yang mendapat peran dalam penata laksana di dalam rumah tangga tidak mendapatkan prioritas dalam menikmati hasil yang telah dikerjakan. Dari pembagian dan kesempatan makan, perempuan mendapatkan bagian yang tidak sebanding dengan laki-laki di dalam keluarganya. Apa lagi bila keluarga tersebut dalam kondisi kekurangan, tidak mustahil bila perempuan akan mengalah untuk tidak makan
Universitas Sumatera Utara
karena lebih mengutamakan kebutuhan makan bagi suami dan anak-anaknya (www.yis.or.id). Menurut Listiani (2002:42) dalam kelompok setiap etnis akan berbeda cara yang diambil dalam memutuskan suatu keputusan dan budaya merupakan penghalang yang selalu menempatkan perempuan sebagai mahkluk yang inferior dan banyak ditemui ungkapan-ungkapan yang masih bias gender. Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Perempuan adalah mitra laki-laki. Tetapi kenyataan di lapangan, laki-laki yang lebih banyak berperan dan mendapat kesempatan pada setiap aspek kegiatan baik politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain-lain.Terlebih-lebih di daerah Nias yang masih terikat adat dan budaya serta menjunjung tinggi ideologi patriarkat yang memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada kaum lelaki. Tidak
ada
kesetaraan
dan
keadilan
dalam
peran
dan
hak-haknya
(http://www.museum-nias.net/?p=246). Collins menerapkan teori Karl Marx dan Engel dalam pola relasi sosial di keluarga yang dijadikan dasar untuk menganalisis kedudukan wanita dalam keluarga dan masyarakat. Kaum pria diibaratkan sebagai kaum borjuis dan kaum wanita sebagai kaum proletar yang tertindas, baik dalam kaitan fungsi ekonomi, seksual dan properti di dalam keluarga. Menurut paradigma konflik sosial yang bersumber dari pemikiran Marx, keluarga bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik, dimana ada anggapan bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang opresif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme atau patriarkhat (Megawangi,1999:85-91).
Universitas Sumatera Utara
Sejak dahulu kala, tujuan utama perkawinan di Nias adalah untuk meneruskan keturunan dan untuk mengadakan hubungan keluarga dengan pihak orangtua si gadis dengan seluruh kaum famili dan kerabatnya. Dalam kebudayaan manusia, perkawinan berfungsi sebagai pengatur kehidupan kelamin dan dalam kehidupan bermasyarakat manusia yaitu memberi perlindungan kepada anak-anak hasil perkawinan itu, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, tetapi juga untuk memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu (Koentjaraningrat, 1996:93). Seorang anak yang telah menikah, akan mempunyai kewajiban terhadap orang tuanya. Selain menghormati dan mematuhi orangtua, mereka akan dipelihara pada hari tua dengan segala kebutuhannya oleh anak-anaknya. Sehingga, mereka memiliki kewajiban ganda yakni kepada istri dan anak-anak dan kepada orangtuanya (Laiya, 1975:75). Dalam hal ini dapat diketahui bahwa anak laki-lakilah yang bertanggung jawab penuh terhadap orang tuanya pada hari tua. Pola pemilikan anak juga berkaitan dengan prinsip keturunan yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Misalnya suku Nias yang menganut sistem patrilineal, tentunya sangat mendambakan kelahiran anak laki-laki, dan usaha untuk itu akan selalu dilakukan, seperti dengan memproduksi anak terus-menerus atau kawin lagi dengan wanita lain atau dengan mengadopsi anak saudara lakilakinya. Keluarga yang mempunyai keinginan yang amat kuat terhadap jenis kelamin anak tertentu atau menginginkan paling tidak ada satu anak laki-laki dan
Universitas Sumatera Utara
satu anak perempuan, mungkin akhirnya mempunyai jumlah anak yang lebih tinggi daripada yang diinginkan semula. Di masyarakat acap kali adanya stigma bahwa perempuan hanya berfungsi untuk mengerjakan pekerjaan rumah semata. Sehingga dalam rumah tangga pun istri selalu dianggap hanya untuk menjalankan fungsi di dapur, di sumur dan di kasur. Akibat dari stigma ini seringkali terjadi pengabaian terhadap hak-hak perempuan, diskriminasi, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, pengekangan dalam kebebasan berpendapat dan bahkan mendapatkan perlakuanperlakuan tindak kekerasan. Dengan stigma yang berkembang di masyarakat saat ini tentu saja tidak menguntungkan bagi kaum perempuan karena selalu tersisihkan. Apabila tindakan ini terus berlangsung maka kaum perempuan akan terus pada posisi yang lemah dan mengalami keterpurukan. Masalah diskriminasi terhadap perempuan, sebenarnya Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya perlindungan dengan meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dengan UU No. 7 Tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984. Namun perlakuan diskriminasi terhadap perempuan tetap saja terus berlangsung,
apakah kondisi
ini
dipengaruhi oleh kultural
(pemberdayaanperempuanbrr.wordpress.com). Duha menuliskan tanpa disadari telah terjadi ketidaksetaraan gender dalam etnik Nias. Bila bertolak dari pengertian gender maka dari segi tata nilai sosial budaya dan adat istiadat di Nias sudah jelas bahwa semua peran, fungsi, hak dan tanggungjawab lebih di dominasi oleh laki-laki. Jika kita menoleh sejenak ke belakang di bawah tahun delapan puluhan, perempuan di Nias pada umumnya hanya diberi peran sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh anak, memasak
Universitas Sumatera Utara
untuk keluarga, bertindak atas keputusan suami dan berpendidikan sangat rendah. Pada zaman ini perempuan hanya mau mengikuti saja apa yang telah diputuskan oleh ayah/suami. Kesempatan untuk mengungkapkan pendapat tidak diberikan sama sekali. Namun demikian, oleh karena kemajuan pendidikan dan pengalaman, ada juga keluarga yang tidak hanya didominasi oleh laki-laki atau suami/ayah, tetapi jumlahnya masih sedikit (www.museum-nias.net/?p=246). Secara garis besar bentuk ketidak-adilan gender ada lima yaitu: a. Marginalisasi (peminggiran) Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Anggapan perempuan bekerja hanyalah untuk dirinya sendiri atau sebagai nafkah tambahan menyebabkan banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu strategis, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan. Juga, karena perempuan dianggap tidak punya kemampuan analitis maka perempuan hanya diserahi pekerjaan yang bersifat teknis dan rutin. b. Subordinasi (penomorduaan) Pandangan gender ternyata dapat menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Ada anggapan bahwa perempuan itu irasional, emosional sehingga tidak dapat memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Sebagai contoh, di sebuah rumah tangga masih sering kita dengar jika keuangan mereka sangat terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anak mereka, maka anak laki-laki akan mendapatkan kesempatan pertama dibandingkan anak
Universitas Sumatera Utara
perempuan. Kenyataan seperti itu sesungguhnya berangkat dari suatu ketidakadilan gender. c. Stereotipe negatif (pelabelan/pemberian cap negatif pada satu kelompok atau individu) Banyak sekali ketidakadilan terhadap perempuan yang bersumber pada anggapan yang diberikan pada mereka. Sebagai contoh, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan berstatus janda dianggap sebagai penggoda. Tidak sedikit pula masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan bersolek adalah untuk memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan anggapan ini. Sehingga, bila terjadi perkosaan masyarakat cenderung menyalahkan korban. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi dimana-mana. d. Beban ganda (double burden) Perempuan dianggap bertanggung jawab terhadap tugas-tugas domestik seperti membersihkan rumah, memasak, melayani suami dan merawat anak-anak. Ketika perempuan juga bekerja di luar rumah, dan bahkan sering sebagai pencari nafkah utama, beban tugas domestik inipun masih dibebankan padanya. Tugas perempuan menjadi bertumpuk, sangat banyak. Bahkan banyak yang mengatakan tugas perempuan dimulai dari terbitnya matahari sampai “terbenamnya” mata suami. e. Kekerasan terhadap perempuan Banyak
sekali
kekerasan
terhadap
perempuan
disebabkan
oleh
ketidakadilan gender. Kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk
Universitas Sumatera Utara
tindakan kekerasan yang berbasis gender, yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik secara fisik maupun psikologis, baik yang terjadi di ruang publik maupun di ruang
domestik
(pemberdayaanperempuanbrr.wordpress.com;
Listiani,2002:17-26;Fakih,1996:12-23). Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut seperti dua sisi mata uang dalam kehidupan dan pola relasi laki-laki dan perempuan. Kondisi seperti ini sudah sangat lama berlangsung ditengah-tengah masyarakat. Bahkan seluruh element menerimanya sebagai realita budaya yang tidak perlu lagi dievaluasi keberadaannya. Apalagi untuk direkonstruksi ulang dengan memberikan nilainilai budaya baru yang lebih adil untuk semua orang. Budaya baru dalam konteks ini adalah dimana posisi perempuan lebih dihargai derajat individu dan derajat sosialnya daripada kondisi sebelumnya. Pada sisi yang lain terlihat secara nyata, bahwa perempuan secara ekonomi dalam keluarga tidak hanya sebagai komplement, akan tetapi hal yang sesungguhnya adalah perempuan menjadi bahagian dari kunci sukses dalam upaya
mencapai cita-cita keluarga
(Listiani,2002:26). Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang
Universitas Sumatera Utara
tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dapat dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan (Fakih,1996:9).
I.6. Kerangka Konsep 1. Nilai Budaya Nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat. Nilai dapat berfungsi sebagai pedoman orientasi kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan. Sejak kecil manusia telah diresapi oleh berbagai nilai budaya yang hidup di dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep budaya itu telah berakar dalam alam jiwanya. Oleh karena itu, untuk mengganti nilai budaya yang telah dimiliki dengan nilai budaya lain diperlukan waktu yang lama (Koentjaraningrat,1996:7576).
2. Nilai Anak Nilai anak merupakan konsepsi masyarakat tentang jumlah anak yang dianggap ideal dalam suatu keluarga sesuai dengan kebutuhan orang tua yang akan dipenuhi oleh anak. Nilai anak ini sering tercermin dalam kebutuhan psikologis, ekonomi dan sosial yang juga sebagai perwujudan dari konsepsi hidup suatu masyarakat sesuai dengan tuntutan budaya masyarakat tersebut.
3. Nilai Ekonomis Anak Nilai ekonomis anak merupakan hal-hal atau sesuatu yang dianggap berharga dan menguntungkan yang dapat diperoleh oleh orangtua dari setiap
Universitas Sumatera Utara
kelahiran anak. Nilai ekonomis anak biasanya akan diperoleh setelah berada di atas usia sekolah. Dalam usia seperti ini seorang anak telah biasa diharapkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, memasak, dan menjaga
adik-adiknya
yang
masih
kecil
dan
pekerjaan
lainnya
(Zulkarnain,1995:24).
4. Nilai Sosial Anak Nilai sosial anak merupakan hal yang dapat diharapkan dari setiap kelahiran anak. Nilai sosial anak dapat berupa penerus keturunan keluarga, dan sebagai pewaris dari harta warisan. Dalam etnik Nias, anak perempuan dapat menjadi pengembang hubungan keluarga.
5. Nilai Psikologis Anak Nilai psikologis anak merupakan sesuatu yang dapat diperoleh dari setiap kelahiran anak, yakni semacam kepuasan bathin yang diperoleh para suami istri. Kepuasan tersebut adalah dengan mempunyai anak, maka orangtua tidak akan merasa kesepian melainkan merasa hidup sangat berarti, keluarga terasa menjadi lengkap dan sebagai tugas suami istri dapat terpenuhi secara psikologis (Zulkarnain,1995:24).
6. Anak Anak (Zulkarnain,1995:23) merupakan semua yang lahir dari seorang ibu, atau wanita sebagai hasil konsepsi antara suami isteri yang biasanya melalui suatu bentuk perkawinan yang sah menurut adat dan hukum.
Universitas Sumatera Utara
7. Rumah Tangga Dengan menikah, sepasang suami isteri membentuk suatu kesatuan sosial yang disebut rumah tangga, yaitu kesatuan yang mengurus ekonomi rumah tangganya. Rumah tangga biasanya terdiri dari suatu keluarga inti, tetapi mungkin juga terdiri dari 2 sampai 3 keluarga inti. Selama satu keluarga muda belum mampu mengurus ekonomi rumah tangganya sendiri, dan masih turut makan dari dapur orangtua, maka keluarga seperti itu belum dikatakan membentuk rumah tangga.
Dapur
merupakan
lambang
dari
suatu
rumah
tangga
(Koentjaraningrat,1996:77).
I.7. Metodologi Penelitian I.7.1. Tipe Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1989:29) penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifatsifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain. Metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif digunakan untuk mendapatkan deskripsi atau gambaran mengenai nilai anak perempuan dalam keluarga, serta kontribusi atau sumbangan yang diberikan oleh anak perempuan dari sejak kecil, dewasa dan setelah menikah dalam kegiatan ekonomi keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
I.7.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara dan observasi (pengamatan). Wawancara mendalam (depth interview) dan wawancara biasa digunakan untuk memperoleh informasi mengenai nilai anak perempuan dan anak laki-laki serta kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan dalam kegiatan ekonomi keluarganya. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai acuan dan dibantu alat tulis untuk mencatat hasil wawancara. Selain itu digunakan alat perekam seperti tape recorder untuk merekam hasil wawancara sehingga dapat menghindari kelupaan dalam menulis laporan. Informan dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Sisobambowo Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias. Peneliti mengadakan pengkategorisasian informan menjadi informan pangkal, informan kunci, dan informan biasa. Menurut Koentjaraningrat (1989:30) dalam suatu masyarakat baru, tentu kita harus lebih dahulu memulai dari keterangan seorang informan pangkal yang dapat memberikan berbagai keterangan lebih lanjut yang kita perlukan. Informaninforman serupa itu sebaiknya orang yang mempunyai pengetahuan luas mengenai berbagai sektor dalam masyarakat, dan yang mempunyai kemampuan untuk mengintroduksikan kita sebagai peneliti kepada informan lain yang merupakan ahli tentang sektor-sektor masyarakat atau unsur-unsur kebudayaan yang ingin kita ketahui. Sehingga informan pangkal dalam penelitian ini adalah kepala desa karena peneliti beranggapan bahwa kepala desa mengetahui siapa-siapa saja yang dapat diwawancarai untuk mendapatkan informasi.
Universitas Sumatera Utara
Informan kunci merupakan orang-orang yang ahli tentang unsur-unsur kebudayaan yang ingin diketahui. Dalam penelitian ini, informan kunci adalah tokoh-tokoh adat dan masyarakat, dan keluarga yang memiliki anak perempuan dan anak laki-laki. Dari informan kunci ini akan diperoleh informasi yang lebih jelas tentang bagaimana kedudukan dan peranan anak perempuan dan anak lakilaki dalam keluarga, serta kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan dalam ekonomi keluarganya. Selain informan pangkal dan informan kunci dalam penelitian ini dibutuhkan informan biasa. Informan biasa dapat diambil dari keluarga yang tidak memiliki anak perempuan atau sebaliknya tidak memiliki anak laki-laki. Informan ini diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai apa pengaruh tidak memiliki anak perempuan atau anak laki-laki dalam keluarga. Selain itu, anak perempuan di desa ini juga dapat dijadikan sebagai informan biasa untuk menambah kelengkapan data atau informasi dalam penelitian. Selain wawancara penelitian ini juga akan menggunakan observasi (pengamatan) untuk mendapatkan gambaran perilaku atau aktivitas-aktivitas anak perempuan dan anak laki-laki dalam keluarga. Dalam hal ini, peneliti akan mencoba mengamati mereka tanpa mengganggu aktivitas yang mereka lakukan.
Universitas Sumatera Utara
I.7.3. Analisis Data Analisis
data
merupakan
proses
mengatur,
mengurutkan,
mengelompokkan, memberikan kode, dan mengkategorikannya. Dalam penelitian ini, data-data yang sudah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif. Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu melalui wawancara dan observasi. Setelah data dipelajari dan ditelaah, maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataanpernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan ini kemudian dikategorisasikan sambil membuat koding. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Kemudian tahap penafsiran data dan diakhiri dengan penulisan laporan yang bersifat deskriptif. Menurut hasil pengamatan sementara, telah terjadi ketidakadilan gender dalam keluarga etnik Nias. Ketidakadilan tersebut dialami oleh anak perempuan yaitu berupa penomorduaan atau subordinasi. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan analisis gender sebagai alat analisisnya. Analisis gender yang digunakan untuk melihat sistem pembagian kerja antara anak laki-laki dan anak perempuan yaitu model/teknik Harvard. Menurut paradigma konflik, setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang adalah pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan merubah posisi dan hubungan.
Universitas Sumatera Utara
Bagi feminsme sosialis penindasan perempuan terjadi di kelas mana pun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Feminisme sosialis menolak visi marxis klasik yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan banyak masalah. Oleh karena itu analisis patriarkhi perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Dengan demikian kritik eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama disertai kritik keadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi atas kaum perempuan (Fakih,1996:90).
Universitas Sumatera Utara