1. TINJAUAN PUSTAKA a. Praktik Pertanian, Fragmentasi Habitat, dan Keanekaragaman Hayati Bentang alam (lansekap) tropik didominasi oleh sistem pertanian (agroekosistem). Sistem pertanian intensif menyebabkan berkurangnya habitat alami, meningkatnya fragmentasi dan isolasi habitat yang menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati (Saunders et al., 1991) yang kemudian berakibat menurunnya stabilitas dan fungsi ekosistem (Naeem et al., 1995). Dalam kaitannya dengan serangga penyerbuk, fragmentasi habitat menyebabkan menurunnya jumlah spesies (species richness) dan kelimpahan individu (abundance), mengubah perilaku pencarian pakan (foraging behavior), dan merusak interaksi tanaman dengan serangga penyerbuk (Steffan-Dewenter et al., 2002). Kerusakan dan fragmentasi habitat menurunkan kompleksitas struktur lansekap yang berpengaruh terhadap keanekaragaman dan kelimpahan lebah soliter dan bumble bees (Steffan-Dewenter et al., 2002). Disamping itu, fragmentasi habitat dapat menurunkan pembentukan biji dan aliran gen (gen flow) dari populasi tanaman yang terisolasi (Didham et al., 1996). Disamping fragmentasi dan isolasi habitat, menurunnya keanekaragaman serangga penyerbuk juga disebabkan karena penggunaan pestisida (Shephered et al., 2000) dan pertanaman monokultur (Delaplane & Mayer, 2000). Perubahan penanaman polikultur menjadi monokultur mendorong terjadinya isolasi habitat yang dapat mempengaruhi struktur komunitas lebah (Steffan-Dewenter & Tscharntke, 1999). Usaha-usaha menjaga biodiversitas perlu dilakukan, terutama difokuskan pada ekosistem alami (Moguel & Toledo, 1999). Usaha menjaga biodiversitas dapat juga dilakukan dengan praktik pertanian tradisional, seperti agroforestry yang menghasilkan struktur lansekap mosaik dengan keanekaragaman vegetasi tinggi (Pimentel et al., 1992). Disamping itu, usaha untuk meningkatkan kekayaan spesies dan kelimpahan populasi lokal dapat dilakukan dengan memelihara struktur “koridor” sebagai penghubung organisme dalam memanfaatkan sumberdaya yang terpisah secara spasial (habitat connectivity) (Gonzales et al., 1998). Struktur konektivitas juga memungkinkan setiap individu berinteraksi 25
dengan individu lain melalui kemampuan menyebar (With et al., 1999). Disamping itu, habitat dengan konektivitas tinggi meningkatkan populasi musuh alami yang dapat mengendalikan populasi hama di bawah ambang batas (Thies & Tscharntke, 1999). b. Struktur Habitat dan Keanekaragaman Serangga Penyerbuk Penelitian serangga penyerbuk dalam kaitannya dengan struktur habitat telah banyak dilaporkan. Steffan-Dewenter & Tscharntke (1999) melaporkan kelimpahan individu dan kekayaan spesies lebah liar (wild bees) pengunjung bunga sawi (Sinapsis arvensis: Brassicaceae) ditemukan tinggi di habitat alami dan kelimpahannya makin menurun dengan meningkatnya jarak dari habitat alami. Habitat alami merupakan source habitat bagi habitat di sekitarnya. Pada pertanaman kopi dalam sistem agroforestry, Klein et al. (2002) melaporkan intensitas penggunaan lahan berpengaruh terhadap keanekaragaman lebah penyerbuk. Kelimpahan dan kekayaan spesies lebah sosial makin meningkat dengan menurunnya intensitas penggunaan lahan, sedangkan kelimpahan lebah soliter makin meningkat dengan meningkatnya intensitas penggunaan lahan. Dalam kaitannya dengan struktur habitat, Steffan-Dewenter (2002) melaporkan kelimpahan lebah pengunjung bunga Centaurea jacea (Asteraceae) makin meningkat dengan meningkatnya struktur habitat. Struktur habitat juga berpengaruh terhadap aktifitas pencarian pakan lebah penyerbuk. Jumlah kunjungan lebah pada bunga di struktur habitat yang sederhana lebih tinggi dibandingkan dengan struktur habitat yang kompleks (Steffan-Dewenter et al., 2001). Proporsi dan keanekaragaman tipe habitat menjadi faktor penting bagi keberadaan lebah penyerbuk (Steffan-Dewenter & Tscharntke, 1999). c. Taksonomi dan Biologi Lebah Penyerbuk Lebah (Superfamili Apoidea, Ordo Hymenoptera) terbagi dalam 2 Seri, yaitu Apiformes dan Spheciformes. Seri Apiformes memiliki 7 famili, yaitu Stenotritidae, Colletidae, Andrenidae, Halictidae, Melittidae, Megachilidae, dan Apidae. Seri Spheciformes memiliki 3 famili, yaitu Ampulicidae, Sphecidae, dan 26
Crabonidae. Di 16.000
seluruh dunia, jumlah spesies lebah diperkirakan mencapai
(Michener,
2000).
Berdasarkan
struktur
alat
mulutnya,
lebah
dikelompokkan menjadi 2, yaitu lebah dengan alat mulut pendek (short-tongued bees) dan lebah dengan alat mulut panjang (long-tongued bees). Lebah dengan alat mulut pendek diduga sudah ada sejak munculnya tanaman Angiospermae awal yang mempunyai bentuk bunga dangkal (shallow). Lebah dengan alat mulut panjang muncul setelah adanya tanaman Angiospermai dengan struktur bunga yang lebih berkembang. Sejalan dengan meningkatnya kompleksitas bunga angiospermae, lebah dengan alat mulut panjang lebih diuntungkan. Lebah madu merupakan contoh lebah dengan alat mulut panjang (Winston, 1987). Famili Apidae mempunyai 3 subfamili, yaitu Xylocopinae, Nomadinae, dan Apinae. Subfamili Xylocopinae memiliki 3 tribe, yaitu Manueliini (1 genus: Manuelia), Xylocopini (1 genus: Xylocopa), dan Ceratinini (2 genus: Ceratina dan Megaceratina). Subfamili Nomadinae mempunyai 10 tribe, sebagai contohnya tribe Nomadini dengan contoh genusnya Nomia. Subfamili Apinae mempunyai 19 tribe. Tribe Meliponini (contoh Trigona) dan Apini (1 genus: Apis) merupakan serangga sosial dengan tingkatan paling tinggi (Roubik, 1989; Michener, 2000). Lebah dalam subfamili Xylocopinae dan Nomadinae termasuk lebah soliter. Pada umumnya, induk betina lebah soliter tidak pernah bertemu dengan anaknya. Namun pada beberapa spesies Ceratina, Xylocopa, Nomia, dan Megachilidae ditemukan induk-anak atau anak-anak di dalam sarangnya. Diantara lebah dewasa sering menunjukkan pembagian kasta, yaitu mirip ratu dan mirip pekerja (Michener, 2000). Roubik (1989) menyatakan beberapa spesies Ceratina dan Xylocopa termasuk kelompok parasosial, yaitu sebagai komunal, kuasisosial, atau semisosial. Michener (2000) mengelompokkan Xylocopa sebagai lebah subsosial karena anak dan induk ditemukan dalam satu sarang dan induk secara aktif memberi makan anak-anaknya. Trigona spp. dan Apis (subfamili Apinae) termasuk lebah sosial dengan tingkatan paling tinggi (Roubik, 1989; Michener, 2000). Anggota Apinae dicirikan oleh adanya corbicula atau pollen basket pada permukaan luar tibia tungkai belakang yang digunakan untuk membawa serbuksari dan material 27
pembuat sarang (Roubik, 1989). Genus Apis memiliki 9 spesies, yaitu A. mellifera Linnaeus, A. cerana Fabricus, A. dorsata Fabricus, A. laboriosa Smith, A. florea Fabricus, A. andreniformis Smith, A. koschevnikovi Buttel-Reepen, A. nigrocincta, dan A. nuluensis (Michener, 2000). Lebah A. cerana dan A. mellifera merupakan lebah berukuran sedang (10-11 mm), sarang dibuat di dalam lubang yang terdiri beberapa sisir (multiple combs), jumlah pekerja mencapai 6 000-7 000 individu pada A. cerana dan dapat mencapai 100 000 individu pada A. mellifera (Winston, 1987). Sarang A. florea, A. andreniformis, A. dorsata, A. laboriosa ditemukan di tempat terbuka dengan sisir tunggal (single comb) (Michener, 2000). d. Lebah Soliter dan Lebah Sosial Dalam siklus hidupnya, lebah dapat bersifat soliter, sosial fakultatif, atau sosial obligat. Lebah soliter berbeda dengan serangga soliter pada umumnya, karena pada lebah soliter terjadi interaksi antara satu individu dengan individu lain dalam satu sarang. Koloni pada lebah dapat berupa asosiasi multifoundress, ketika beberapa lebah terkonsentrasi di suatu area, atau berupa asosiasi matrifilial, ketika lebah keturunannya hidup bersama dengan induk dalam satu sarang (Roubik, 1989). Sarang lebah soliter dibuat oleh induk betina dan induk tersebut memberi makan keturunannya. Biasanya induk mati atau meninggalkan sarang sebelum keturunannya dewasa. Oleh karena itu, sifat soliter pada lebah dapat berupa: “komunal”, jika sarang digunakan oleh induk dan betina soliter lain; “subsosial”, jika koloni terdiri satu betina dewasa yang memberi makan keturunannya; “kuasisosial”, jika koloni terdiri atas beberapa betina dewasa yang berumur sama dan menghasilkan keturunannya; atau “semisosial”, jika koloni dari lebah dewasa yang berumur sama, biasanya saudaranya, beberapa diantaranya tidak meletakkan telur. Koloni semisosial, kuasisosial, dan komunal secara kelompok disebut “parasosial” (Roubik, 1989). Lebah sosial mempunyai tingkat lebih tinggi dibandingkan lebah soliter. Beberapa ciri lebah sosial adalah membentuk koloni, adanya pembagian kasta sebagai ratu, pekerja, dan jantan, dan pertemuan generasi dalam koloni. Dalam koloni terdapat 1 individu ratu, beberapa-ratusan individu jantan, dan beberapa28
ratusan ribu individu pekerja. Lebah pekerja umumnya tidak kawin dan berperan dalam pemeliharaan koloni, sebagai penjaga, dan mencari pakan. Lebah ratu melakukan perkawinan dengan lebah jantan dan meletakkan telur (Michener, 2000). Lebah madu dan stingless bees (Trigona spp). merupakan lebah sosial dengan tingkatan paling tinggi (Roubik, 1989). Kemungkinan tahapan evolusi lebah soliter ke sosial tertera dalam Gambar 2 dan beberapa contoh spesies lebah soliter dan sosial tertera dalam Tabel 1.
Gambar 2 Kemungkinan evolusi koloni lebah sosial dari lebah soliter. Lingkaran kecil menggambarkan sarang dan lingkaran besar menggambarkan koloni sarang (Roubik, 1989).
29
Tabel 1 Contoh beberapa spesies lebah soliter dan lebah sosial (Roubik, 1989). Lebah soliter: komunal, kuasisosial, semisosial Colletidae Hylaeus Andrenidae Andrena Halictidae Nomia Lasioglossum Apidae Xylocopa Ceratina Euglossa Megachilidae Chalicodoma
Lebah subsosial dan eusosial primitif
Halictidae Halictus Lasioglossum Apidae Bombus Ceratina
Lebah eusosial
Apidae Apis Melliponinae
e. Serbuksari dan Nektar sebagai Sumber Pakan Serbuksari merupakan sumber pakan utama lebah karena mengandung 1630% protein, 1-7 % pati, 0-15% gula, 3-10% lemak, dan 1-9% ashes. Nektar merupakan sumber gula dengan kandungan antara 25-75%. Perbandingan glukosa, fruktosa, dan sakarosa dalam nektar bervariasi pada berbagai spesies tanaman (Faegry & Van Der Pijl, 1971). Selain gula, nektar juga mengandung asam amino, protein, asam organik, phospat, vitamin, dan enzim dalam jumlah kecil (Barth, 1991). Kualitas dan kuantitas nektar dan serbuksari menentukan perkembangan dan kelangsungan hidup koloni lebah. Oleh lebah, nektar diproses menjadi madu sebagai sumber energi bagi koloni. Serbuksari merupakan sumber utama protein bagi perkembangan larva dan perkembangan kelenjar pada lebah pekerja yang masih muda (Winston, 1987). Serbuksari mengandung protein, lemak, karbohidrat, sterol, vitamin, dan mineral yang semuanya merupakan nutrisi yang diperlukan lebah madu, namun nilai nutrisi serbuksari lebih ditentukan
oleh
kandungan proteinnya (Cook et al., 2003). Serbuksari dari spesies tanaman berbeda mempunyai komposisi dan konsentrasi asam amino berbeda. Serbuksari dengan kandungan asam amino esensial yang tinggi mempunyai nilai nutrisi yang 30
tinggi (Day et al., 1990). De Groot (1953) melaporkan asam amino esensial bagi lebah madu adalah methionine, arginine, tryptophan, lysine, isoleucine, phenylalanine, histidine, valine, leucine, dan threonine. Asam amino non esensial bagi lebah adalah tyrosine, cysteine, serine, hydroxyproline, alanine, glycine, dan proline. Perilaku pencarian pakan pada lebah madu dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas nutrisi, termasuk gula, asam amino, dan air (Stone, 1994), dan kondisi iklim mikro (Bosch & Kemp, 2002). Preferensi lebah madu dalam menentukan kualitas serbuksari ditentukan oleh warna dan aromanya. Preferensi tersebut bukan merupakan innate preference, tetapi sesuatu yang dipelajari (acquired). Berdasarkan pembelajaran terhadap warna dan aroma, lebah madu dapat menentukan kualitas makanannya (Cook et al., 2003). f. Serangga Penyerbuk dan Pengaruhnya dalam Pembentukan Biji Penggunaan serangga untuk membantu penyerbukan berbagai tanaman pertanian telah banyak dilaporkan. Penggunaan Bombus vosnesenskii sebagai penyerbuk tanaman tomat di dalam rumah kaca, meningkatkan ukuran buah (Dogterom et al., 1998). Buah tomat hasil penyerbukan serangga mempunyai daging buah lebih padat dan mengandung 20% vitamin C lebih tinggi dibandingkan buah tomat tanpa penyerbukan serangga (Kahono, komunikasi pribadi). Pada tanaman mentimun (Cucumis sativus L.), jumlah kunjungan lebah madu berpengaruh terhadap buah yang dihasilkan. Tanaman yang dikunjungi lebah madu menghasilkan buah tiga kali lebih banyak dibandingkan dari tanaman yang tidak dikunjungi lebah. Kunjungan lebah madu 6 kali meningkatkan lebih dari 50% buah, sedangkan kunjungan kurang dari 1 kali menyebabkan tanaman tidak atau sedikit menghasilkan buah (Gingras et al. 1999). Pada tanaman bunga matahari (Halianthus annuus), keberadaan lebah liar dapat meningkatkan efisiensi penyerbukan lebah madu melalui mekanisme interaksi perilaku interspesies. Keberadaan lebah liar dapat meningkatkan frekuensi lebah madu dalam mentransfer serbuksari ke bunga betina. Efisiensi penyerbukan lebah liar pada bunga matahari bervariasi dari 1 sampai 19 biji per kunjungan. Efisiensi 31
penyerbukan lebah madu meningkat pada waktu kelimpahan lebah liar tinggi (Greenleaf & Kremen, 2006). Peningkatan produksi biji dilaporkan juga terjadi pada beberapa tanaman yang dibantu penyerbukannya oleh serangga (Tabel 2). Tabel 2 Pembentukan biji beberapa spesies tanaman yang dibantu penyerbukannya oleh serangga. Produksi biji (%) Spesies Tanaman
Sumber Pustaka
Tanaman dikurung
Tanaman tidak dikurung
0.7
33.6
Schoonhoven et al., 1998
0
55.6
Schoonhoven et al., 1998
Labrador tea (Ledum groenlandicum)
1.0
96.2
Schoonhoven et al., 1998
Large cranberry (Vaccinium macrocarpon)
4.0
55.7
Schoonhoven et al., 1998
Sarson (Brassica campestris)
34.7
65.3
Khan & Chaudory, 1995
Toria (Brassica napus)
7.46
92.54
Khan, 1995
Wild rosemary (Andromeda glaucophylla) Swamp laurel (Kalmia polifolia)
g. Tanaman Caisin (Brassica rapa: Brassicaceae) Famili Brassicaceae mempunyai lebih dari 300 genus dan 3000 spesies. Anggota famili ini merupakan komoditas sayuran penting, penghasil minyak biji, dan sebagai tanaman hias. Beberapa tanaman dari famili ini memiliki sifat anti kanker. Ciri khas tanaman dalam famili ini adalah tingginya kandungan glukosinolat. Oleh enzim mirosinase, senyawa glukosinolat diubah menjadi senyawa yang berasa pahit, seperti isotiosianat, tiosianat, nitril, dan goitrin yang bersifat goitrogenik (penyebab gondok). Pada spesies yang dibudidayakan dengan seleksi dan pemuliaan, kandungan glukosinolat menjadi sangat berkurang. Genus Brassica merupakan tanaman terpenting dari Brassicaceae yang memiliki sekitar 40 spesies (Rubatzky & Yamaguchi, 2000). 32
Brassica rapa (caisin) merupakan tanaman sayuran penting di Asia. Daun bertangkai, bentuk agak oval, warna hijau mengkilap, tegak, menempel pada batang, tangkai daun hijau muda, berdaging, tinggi tanaman sebelum berbunga berkisar 15-30 cm. Daun dipanen pada umur 30-40 hari setelah tanam (Rubatzky & Yamaguchi, 2000). Pembungaan tanaman ini terjadi setelah fase pertumbuhan daun mulai berhenti. Bunga berwarna kuning terang, tersusun dalam tandan, muncul pada batang yang berdaun kecil, dengan beberapa percabangan. Setiap bunga terdiri dari 4 petal, tersusun bersilangan dengan panjang 1.3-2.5 cm, dengan 6 benangsari, dua diantaranya lebih pendek dan 4 lainnya lebih panjang dari tangkai putik. Kepala putik berada di ujung putik (Delaplane & Mayer, 2000) (Gambar 3). Takayama & Isogai (2005) melaporkan B. rapa bersifat selfincompatibility
(SI)
sehingga
memerlukan
penyerbukan
silang
untuk
pembentukan biji yang optimum. A
B
C
1 mm D
7 mm
Gambar 3 Morfologi tanaman caisin (A), bunga caisin tersusun dalam tandan (B), satu bunga dengan 4 petal dan 6 benangsari (C), dan polong yang mengandung biji (D).
33
Serbuksari tanaman caisin dilindungi oleh lapisan exine kompleks, tanpa kutikula, bertipe triseluler: 2 sel generatif dan 1 sel vegetatif. Sel generatif (sel sperma) terletak di dalam sitoplasma sel vegetatif yang hanya dipisahkan oleh membran sel. Stigma dan stylus merupakan organ glandular. Metabolisme organ tersebut berkaitan dengan proses pembungaan dan penyerbukan. Stigma mengandung sel-sel penerima (receptive cells) untuk mengenali serbuksari dan mengandung substrat untuk membantu perkecambahan. Stigma Brassicaceae hanya dilindungi oleh lapisan pelikel atau adesif sebagai cairan eksudat, sehingga digolongkan sebagai stigma “kering”. Cairan eksudat tersebut berperan penting dalam interaksi serbuksari-kepala putik, seperti meningkatkan adhesi serbuksari, membantu perkecambahan, melindungi dari serangan predator dan mikroba, dan mencegah dehidrasi stigma. Disamping itu, cairan eksudat berperan sebagai nutrisi bagi serbuksari selama pertumbuhan dan sebagai reward bagi penyerbuk (Dafni, 1992). Spesies B. rapa, B. nigra, dan B. oleracea mempunyai genom tunggal (monogenomik), masing-masing dengan 10, 8, dan 9 pasang kromosom. Spesies Brassica dengan genom tunggal diyakini sebagai tetua (ancestor) bagi spesies yang bergenom ganda (amfidiploid), seperti B. carinata (n=17), B. juncea (n=18), dan B. napus (n=19) (Rubatzky & Yamaguchi, 2000). h. Aplikasi Biologi Penyerbukan di Bidang Pemuliaan Tanaman Berkaitan dengan kehidupan manusia, aplikasi biologi penyerbukan mempunyai arti penting dalam penyediaan pangan dan benih (biji). Beberapa metode pemuliaan pada tanaman menyerbuk sendiri berbeda dengan tanaman menyerbuk silang. Metode pemuliaan dapat digunakan untuk mengembangkan benih berbasis varietas bersari bebas. Benih caisin yang beredar di masyarakat kemungkinan besar adalah varietas bersari bebas. Disamping itu, dengan pemuliaan dapat dikembangkan varietas hibrida yang mempunyai sifat unggul. Metode pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri dapat dilakukan melalui introduksi, seleksi massa atau seleksi galur murni, hibridisasi yang dilanjutkan dengan seleksi. Metode pemuliaan tanaman menyerbuk silang sedikit berbeda 34
dengan tanaman menyerbuk sendiri karena pada tanaman menyerbuk silang, dalam populasi alami terdapat individu-individu yang secara genetik heterozigot untuk kebanyakan lokus. Secara genotipe juga berbeda dari satu individu ke individu lainnya, sehingga keragaman genetik dalam populasi sangat besar. Beberapa metode yang populer pada tanaman menyerbuk silang, diantaranya pembentukan varietas hibrida, seleksi massa, seleksi daur ulang, dan dilanjutkan dengan pembentukan varietas bersari bebas atau varietas sintetik (Makmur, 1984). Fenomena lain yang dimanfaatkan dalam tanaman menyerbuk silang adalah ketegaran hibrida atau heterosis, yaitu meningkatnya ketegaran (vigor) dan besaran F1 melebihi kedua tetuanya, sedangkan pada tanaman yang menyerbuk sendiri terjadi tekanan inbreeding (Mohr & Schopfer, 1995).
35