1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Sebagai salah satu pusat marine megabiodiversity dunia, Indonesia memiliki kekayaan spesies cetacea yang tinggi. Dari sekitar 80 extanct spesies cetacea, sedikitnya ada 30 spesies yang tercatat di perairan nusantara (Rudolph et al. 1997, Tomascik et al. 1997), baik yang tinggal menetap maupun yang bermigrasi secara musiman dari perairan dingin di sub-polar atau kutub karena perairan nusantara merupakan satu-satunya wilayah di zona tropis yang menjadi tempat pertemuan massa air dari dua samudera, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Cetacea merupakan salah satu kelompok hewan tingkat tinggi yang tergolong langka dan unik, karena memiliki tingkat intelejensia mengagumkan (Marino 2004) dan beberapa spesies, seperti paus biru (Balaenoptera physalus) dan paus sperma (Physeter macrocephalus) yang merupakan biota nektonik berukuran sangat besar, memiliki kemampuan jelajah tinggi serta diduga memanfaatkan sejumlah perairan celah antar pulau di timur Indonesia sebagai jalur migrasinya (Kahn et al. 2000, Kahn 2001). Selat Ombai merupakan celah perairan antara Pulau Alor dan Pulau Timor yang menghubungkan Laut Banda dan Laut Sawu, selain juga merupakan salah satu pintasan Arus Lintas Indonesia (Gordon 2001, Molcard et al. 2001) serta jalur penting migrasi cetacea dari dan ke laut nusantara (Kahn et al. 2000, Kahn 2001). Perairan Selat Ombai memiliki karakteristik oseanografi yang dinamis (Atmadipoera et al. 2009, Robertson and Ffield 2005, Molcard et al. 2001), ditandai dengan produktivitas primer yang tinggi (Moore and Marra 2001), yang kuantitasnya berubah-ubah dalam jangka waktu singkat akibat proses percampuran massa air yang kompleks (Atmadipoera et al. 2009, Robertson and Ffield 2008, Robertson in press). Sebagai bagian dari Perairan Sunda Kecil, Selat Ombai juga menjadi salah satu fishing ground nelayan pemburu paus tradisional dari Lamalera di Pulau Lembata dan Lamakera dari Pulau Solor (Barnes 1996), karena sedikitnya ada 24 spesies cetacea yang tercatat ada di Selat Ombai dan sekitarnya (Tomascik et al. 1997). 1
Keberadaan cetacea di suatu perairan atau informasi yang spesifik mengenai habitat cetacea masih perlu pemahaman lebih lanjut. Adanya informasi mengenai sebaran cetacea di perairan dengan kedalaman dan rentang temperatur tertentu, berdasarkan data perjumpaan (sightings data), seperti yang didokumentasikan oleh Jefferson et al. (1993), masih memerlukan pertimbangan faktor lingkungan yang lain. Terkait dengan hal tersebut, Viale (1985) mendeskripsikan ekosistem ditemukannya komunitas cetacea di perairan Mediterania berdasarkan sebaran nilai sejumlah parameter oseanografi, seperti suhu permukaan laut, salinitas, dan profil arus musiman, yang dikombinasikan dengan titik perjumpaan cetacea. Memahami bagaimana pengaruh proses-proses oseanografi terhadap komunitas dan habitat cetacea, maupun terhadap komunitas penghuni jenjang trofik dasar yang nantinya berpengaruh pada sebaran cetacea, akan memberikan masukan informasi yang sangat berharga bagi pengelolaan maupun strategi konservasi cetacea. Namun demikian, sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya bila parameter oseanografi, maupun parameter lingkungan perairan laut lain, didata terlebih dahulu dan perekaman data tersebut dilakukan selaras dengan pencatatan data perjumpaan komunitas cetacea di suatu perairan. Di perairan nusantara, walaupun sejumlah desa pesisir di timur Indonesia diketahui sejak lama merupakan pemburu cetacea tradisional yang andal (Tomascik et al. 1997, Barnes 1996), namun kajian ilmiah cetacea baru dimulai pada awal abad XX oleh Weber melalui Ekspedisi Siboga (Rudolph et al. 1997). Setelah itu tidak banyak mengalami perkembangan sampai Benjamin Kahn (APEX-Environmental) bekerja sama dengan The Nature Conservancy memulai pengamatan rutin terhadap cetacea di perairan Taman Nasional Komodo (Kahn et al. 2000, Kahn 2001). Pada awal masa berdirinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan sempat menambah khasanah pemahaman cetacea melalui sejumlah survei di perairan Laut Sawu dan sekitarnya. Adanya beberapa pelayaran INSTANT, atau International Nusantara Stratification and Transport yang merupakan penelitian jangka menengah mengenai karakteristik dan dinamika Arus Lintas Indonesia (Arlindo), dapat menjadi platform yang ideal untuk mengkaji habitat cetacea karena fokus utama pengambilan data oseanografi dilakukan di sejumlah pintasan arus yang potensial menjadi jalur migrasi cetacea. 2
Dengan demikian, penelitian ini akan memaparkan kajian mengenai komunitas cetacea di perairan Selat Ombai dan beberapa parameter lingkungan perairan yang terkait erat dalam mendeskripsikan habitat cetacea.
1.2. Kerangka pendekatan masalah Di lingkungan laut, sebagaian besar spesies cetacea dapat digolongkan sebagai apex predator (predator yang berada di puncak piramida makanan), walaupun hayatinya beberapa spesies cetacea tergolong sebagai planktivor (rorquals). Dengan demikian, sebaran cetacea di perairan laut umumnya sangat erat dengan sebaran mangsanya atau sumber makanannya. Cetacea membutuhkan energi yang relatif tinggi sehingga seringkali mereka dijumpai berada di perairan yang produktivitas primernya tinggi, terutama pada musim panas di perairan Southern Ocean (Bost et al. 2009, Arrigo et al. 1998, Moore and Abbott 2000), Mediterania (Viale 1985), California Current System (Tynan et al. 2005, Yen et al. 2003), dan Gulf of Mexico (Kaltenberg 2004, Davis et al. 2002). Hal tersebut sangat terkait dengan peningkatan biomassa produsen atau kontinuitas produktivitas primer yang menjadi sumber makanan biota grazers pada jenjang trofik lebih tinggi, demikian seterusnya hingga mencapai komunitas predator puncak. Namun demikian untuk melakukan penelitian lapangan yang secara langsung mengkaji cetacea dengan mangsanya merupakan hal yang sangat sulit, sehingga pendekatan pemodelan habitat cetacea seringkali digunakan (Embling et al. 2005, Tynan et al. 2005). Viale (1985) mengatakan bahwa sebaran cetacea di perairan laut sangat terkait dengan profil oseanografi perairan tersebut, sehingga korelasi antara sejumlah parameter lingkungan dengan perjumpaan cetacea dapat meningkatkan pemahaman ekologi cetacea. Sejumlah penelitian telah dilakukan dengan mengaitkan faktor lingkungan perairan dengan sebaran cetacea, terutama jika faktor-faktor tersebut mengarah pada peningkatan produktivitas perairan. Faktorfaktor lingkungan tersebut adalah kedalaman perairan (Moore et al. 2000, Macleod et al. 2004), gradien kemiringan dasar laut (Macleod et al. 2004),
3
topografi dasar laut (Yen et al. 2003), serta suhu permukaan laut, salinitas, kedalaman termoklin, thermal fronts, dan area upwelling (Tynan et al. 2005).
Data SeaWiFS
Ocean color spectra
1. klorofil-a; 2. suhu permukaan laut
Kajian produktivitas primer
Survei visual cetacea Pelayaran INSTANT 1. Spesies, 2. Kelimpahan relatif (jumlah individu, jumlah perjumpaan), 3. Tingkah laku 4. Posisi geografis dan waktu perjumpaan
Kajian komunitas cetacea
Data mooring
Sv, T, z, t (vol. hambur balik, suhu, kedalaman, waktu) 1. Biovolume zooplankton 2. Struktur termoklin
Kajian habitat pelagis dan produktivitas sekunder
Kajian komunitas dan habitat cetacea di Selat Ombai Gambar 1-1. Diagram alir penelitian
Dengan demikian, upaya mengkaji cetacea di habitatnya ditelusuri melalui pendekatan biofisik lingkungan, selain menetapkan suatu perairan sebagai habitat berdasarkan tingkah lakunya berdasarkan survei visual. Pendekatan tersebut disajikan secara ringkas pada Gambar 1-1. Sebagai apex predator, cetacea sangat bergantung pada keberadaan mangsanya. Dalam lingkup tingkatan trofik piramida makanan, mangsa cetacea adalah nekton pelagis yang menghuni stratum tepat di bawah pucuk piramida dan keberadaannya sangat dipengaruhi oleh produktivitas sekunder (zooplankton dan mikronekton) dan produktivitas primer (fitoplankton).
4
Apabila data komunitas cetacea di perairan Selat Ombai diperoleh melalui upaya survei visual dalam kegiatan pelayaran, maka data SeaWiFS digunakan untuk mengkaji produktivitas primer dan fitur lain yang didasarkan pada warna muka laut. Sejumlah sensor suhu dan instrumen Acoustic Doppler Current Profiler yang terdapat pada tambatan (mooring) oseanografi di Selat Ombai digunakan untuk mengkaji struktur termoklin dan lapisan hamburbalik akustik produksi sekunder perairan tersebut. Penulisan tesis ini dibagi menjadi tiga topik terpisah diikuti dengan pembahasan umum, yang menguraikan benang merah antara masing-masing topik untuk bisa memahami bagaimana komunitas cetacea menggunakan perairan Selat Ombai sebagai habitatnya. Topik pertama dituliskan pada Bab 2 dengan judul “Profil oseanografi berdasarkan warna muka laut dan kaitannya dengan sebaran cetacea di Selat Ombai”, yang mengulas sejumlah parameter biofisik lingkungan perairan Selat Ombai, yaitu suhu permukaan laut dan klorofil-a permukaan berdasarkan interpretasi data warna muka laut hasil pencitraan sensor SeaWiFS. Sebagian materi pada bab tersebut telah disampaikan pada INSTANT Workshop yang diselenggarakan di SEAMEO-Biotrop, Bogor pada 5 November 2007. Paparan yang disampaikan pada acara tersebut berjudul “Ecological Role of Cetacean in the Ombai Strait: a spin off idea based on results of INSTANT research”. Topik yang kedua disajikan pada Bab 3 dengan judul “Dinamika lapisan pelagis yang menjadi foraging habitat cetacea di Selat Ombai: profil lapisan termoklin dan hambur balik akustik”. Di bab tersebut diuraikan bagaimana dinamika di kolom perairan pelagis Selat Ombai, berdasarkan struktur termoklin dan struktur lapisan hambur balik akustik, terkait dengan fitur khas oseanografi permukaan dan proses bioenergetika yang menyokong interaksi predator-mangsa dari komunitas apex predator cetacea. Topik yang ketiga disajikan pada Bab 4 dengan judul “Sebaran dan Kelimpahan Relatif Cetacea di Selat Ombai”, membahas mengenai komunitas cetacea yang dijumpai di perairan Selat Ombai berdasarkan hasil survei visual saat Pelayaran INSTANT I pada Desember 2003Januari 2004 dan Pelayaran INSTANT II pada Juni-Juli 2005. Keterkaitan
5
ekologis antara cetacea terhadap dua fitur lingkungan utama, yaitu waktu (periode pengamatan) dan ruang (bentang laut), dikaji menggunakan analisis korespondensi untuk mengetahui profil spasio-temporal sebaran cetacea di perairan Selat Ombai. Sebagian dari materi pada Bab 4 telah dipublikasikan pada Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Volume 7 Nomor 1, yang terbit di tahun 2007. Pada akhirnya, diharapkan tesis ini akan menyajikan pemahaman yang menyeluruh terkait Selat Ombai sebagai habitat cetacea, baik dari lingkup kajian biologi maupun fisik, terutama dengan memanfaatkan tools yang dikembangkan oleh teknologi penginderaan jauh satelit, instrumentasi dan akustik kelautan.
1.3. Tujuan penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1.
Mengkaji karakteristik biofisik perairan habitat cetacea melalui pendekatan warna muka laut, menggunakan data SeaWiFS,
2.
Mengkaji karakteristik biofisik perairan habitat cetacea menggunakan set data mooring oseanografi dari program INSTANT
3.
Mengkaji sebaran, secara spasial dan temporal, dan kelimpahan cetacea di perairan Selat Ombai,
4.
Mengkaji keterkaitan antara butir (1), (2), dan (3) .
1.4. Manfaat penelitian Salah satu lingkup kajian ekologi laut, yang mencari tahu hubungan timbal balik antara suatu jenis organisme dengan organisme lain dan lingkungan yang menjadi tempat hidupnya, adalah analisis komunitas yang diklasifikasikan oleh Odum (1993) berdasarkan (1) bentuk/sifat utama bentuk hidup yang menjadi indikator, (2) habitat fisik komunitas tersebut, dan (3) sifat fungsionalnya. Kajian ekologi cetacea yang dilakukan dalam penelitian ini mengintegrasikan beberapa analisis komunitas yaitu berdasarkan sifat fungsional spesies-spesies cetacea dan habitat fisiknya yang ditinjau dari fitur lingkungan perairan, seperti suhu, klorofila, batimetri, dan biovolume akustik. 6
Jika sebelumnya, penelitian ekologi laut secara klasik memerlukan upaya yang sangat besar di lapangan untuk bisa mendapatkan data dari sejumlah parameter kunci lingkungan perairan, maka dalam penelitian ini data tersebut diupayakan dari sejumlah tools dan kemutakhiran teknologi kelautan. Parameter suhu permukaan laut dan klorofil-a permukaan diperoleh dari analisis data SeaWiFS, yang merupakan salah satu tools mutakhir dalam bidang penginderaan jauh kelautan. Parameter biovolume akustik diperoleh dari instrumen ADCP, yang walaupun bertujuan utama mengukur arus namun volume hambur balik akustik yang direkamnya dapat merepresentasikan profil produktivitas sekunder suatu perairan. Dengan demikian, tesis ini diharapkan dapat bermanfaat dalam lingkup pengembangan bidang ekologi laut yang lebih komprehensif, terutama dalam memahami komunitas cetacea dan perairan yang menjadi habitatnya.
1.5. Hipotesis Hipotesis yangdigunakan dalam penelitian ini adalah bahwa karakteristik lingkungan perairan lokal, seperti suhu perairan, klorofil-a, dan biovolume akustik memiliki peran dalam menentukan sebaran dan kelimpahan cetacea di perairan Selat Ombai.
7