1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan hak atau sering disebut sebagai hutan rakyat yang merupakan lahan milik dengan hasil utama berupa kayu merupakan barang milik pribadi (private good) dari petani hutan rakyat. Private good berdasarkan karakteristik hak kepemilikan (property right) merupakan strata tertinggi dalam pemenuhan haknya (Bromley & Cernea 1989; Schlager & Ostrom 1992; Hanna & Munasinghe 1995; Ostrom 2000; Heltberg 2002). Berdasarkan hal tersebut mengandung makna bahwa petani sebagai pemilik hutan rakyat dalam struktur kelembagaan memiliki kewenangan sepenuhnya dalam pengambilan keputusan. Kebijakan legalitas kayu yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) telah memasuki ranah private, yaitu turut dalam pengaturan pemanfaatan kayu yang berasal dari lahan milik, sehingga menuai pro dan kontra di dalam implementasinya. Kebijakan tersebut ditetapkan dalam bentuk Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009 jo. No. P.68/Menhut-II/2011 jo. No. P.45/Menhut-II/20121. Kebijakan ini di dalam konsiderannya tertuang tujuan sebagai berikut; 1) menuju pengelolaan hutan produksi lestari (sustainable forest management), 2) penerapan tata kelola kehutanan (good forest governance), dan pemberantasan pembalakan liar dan perdagangannya (illegal logging and trade). Kebijakan tersebut dikeluarkan sebagai jawaban pemerintah Republik Indonesia terhadap dunia dalam memberantas pembalakan liar dan perdagangannya melalui pemenuhan tuntutan transparansi dan jaminan akuntabilitas dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Namun diawal implementasinya telah banyak mengundang pertanyaan dan bahkan keraguan banyak pihak, baik
terkait substansi peraturan dan
pengaturannya, lembaga-lembaga yang terlibat, kelompok sasaran, proses audit, kredibilitas SVLK maupun tentang kemanfaatannya di lapangan. Sementara itu Permenhut No. 38/Menhut-II/2009 telah memandatkan pelaksanaannya dimulai 1
Tentang Standard Pedoman Pelaksanaan penilaian Kinerja pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak. Kebijakan ini dikenal dengan regulasi Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang bersifat wajib (mandatory), dan unit usaha yang telah melalui tahapan SVLK akan memperoleh Sertfikat Legalitas kayu (S-LK).
2
sejak 1 September 2009. Khusus untuk pelaksanaan SVLK di hutan rakyat baru terealisasi pada tahun kedua yaitu tahun 2011. Sebagai bentuk implementasi aturan tersebut, lima kelompok hutan rakyat telah mengawali sertifikasi di hutan hak pada tahun 20112. Akan tetapi, di dalam perjalanannya proses SVLK di hutan rakyat mendapat kendala. Kelima kelompok hutan rakyat tersebut mengalami masa penangguhan/pembekuan S-LK, dan salah satu diantaranya telah dilakukan pencabutan S-LK. Terlihat adanya kesenjangan antara kebijakan dan implementasi, sehingga implementasi kebijakan SVLK dianggap belum efisien dan efektif bagi kelompok sasaran sebagai subyek kebijakan secara kelembagaannya. Kesenjangan tersebut perlu diwaspadai terhadap keragaan implementasi SVLK yang di kemudian hari mungkin bukan sebagai sistem untuk mengatasi masalah. Sistem ini mungkin hanyalah sebagai tambahan kewajiban yang secara mikro tidak menjawab tujuannya, dan secara makro mengurangi daya saing usaha kehutanan Indonesia secara umum dan dapat merugikan upaya-upaya perbaikan lingkungan melalui perbaikan tutupan lahan dengan vegetasi tahunan. Pada akhirnya muncul berbagai perdebatan dalam proses perumusan kebijakan hingga perdebatan tataran implementasi, di mana kelompok sasaran mempertanyakan kemanfaatan bagi mereka yang memperoleh S-LK. Rendahnya efektivitas implementasi kebijakan dapat terjadi jika penetapan dan pendefinisian masalah dalam proses perumusan kebijakan tidak tepat (Dunn 2003). Di tingkat makro, mengemuka pemikiran kritis seberapa jauh kebijakan SVLK ini benar-benar dapat mencapai tujuannya dan menjawab tiga persoalan sekaligus (sustainable forest management, good forest governance, dan illegal logging
and
trade).
Bahkan
kelompok
sasaran
peraturan
juga
telah
mempertanyakan dan menagih harga premium (price-premium) yang dijanjikan sebagai insentif penerapan sertifikasi. Persoalan yang mencuat, bukan mendapatkan harga premium tetapi SVLK sendiri tidak mampu untuk dapat dijadikan sarana menekan biaya transaksi dalam bisnis berbasis perkayuan.
2 Siaran Pers Kemenhut No: S.518/PHM-1/2011 tentang penyerahan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) oleh Menhut kepada 5 unit usaha, yaitu Comlog Koperasi Giri Mukti Wana Tirta, Koperasi Wana Manunggal Lestari, Asosiasi Pemili, Gabungan Kelompok Tani Hutan Rakyat Wonosobo Jati Mustika, dan Koperasi Hutan Jaya Lestari.
3
Kasus tersebut merupakan situasi masalah yang dalam prakteknya di lapangan telah menimbulkan penurunan kinerja, dibuktikan dengan tidak efektif dan efisiennya kebijakan tersebut pada tataran implementasi. Efektivitas implementasi suatu kebijakan dapat terjadi hanya apabila kebijakan dirumuskan atas dasar penetapan masalah yang tepat serta terdapat kemampuan dan kapasitas menjalankan solusinya di lapangan (Dunn 2003). Apabila pandangan ini diikuti, maka fenomena penurunan kinerja pembangunan kehutanan merefleksikan hadirnya masalah-masalah pokok, terutama belum tepatnya penetapan dan pendefinisian masalah dalam proses perumusan kebijakan selama ini. Patton & Savicky (1993) menyatakan adanya kekeliruan dalam memandang implementasi kebijakan, yaitu dengan menganggap implementasi sebagai masalah manajemen saja, sementara itu perumusan kebijakan diasumsikan telah dilakukan dengan baik sehingga menghasilkan keputusan yang terbaik. Sutton (1999) dan IDS (2006) telah mengungkapkan bantahan proses pembuatan kebijakan model rasional dari berbagai sudut pandang, baik antropologi, ilmu politik, sosiologi, hubungan internasional, dan manajemen. Pendekatan analisis proses kebijakan seharusnya
dibangun
melalui
kerangka
fikir
yang
menghubungkan
diskursus/narasi, aktor/jaringan, dan politik/kepentingan. Juma dan Clark (1995) berpendapat bahwa proses pembuatan kebijakan sebagai proses evolusi bersifat tidak menentu (chaotic), dengan hasil-hasil yang ditentukan oleh komplikasi kepentingan politik, sosial, dan kelembagaan. Clay dan Schaffer (1984) menyatakan bahwa seluruh ‘hidupnya’ kebijakan berjalan atas maksud dan tujuan tertentu atau merupakan ‘kecelakaan’ belaka dan sama sekali bukan sebagai proses rasional yang berjalan melalui pemilihan strategi terbaik yang biasanya dilakukan oleh para pembuat kebijakan. Berdasarkan ilustrasi tersebut dapat fahami sebagai suatu makna bahwa kebijakan dapat terlahir dari sebuah ketidakteraturan. Oleh karenanya perlu adanya pemahaman proses bagaimana kebijakan dibangun dan diimplementasikan, termasuk bentuk-bentuk di mana kebijakan makro diterjemahkan atau tidak, dan diintegrasikan ke dalam proses-proses operasional dari lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk implementasi (Blaikie & Soussan
2001). Proses
pembuatan kebijakan harus mengintegrasikan berbagai perbedaan pendekatan
4
berdasarkan perspektif yang lahir dari lembaga pendidikan dan berbagai disiplin ilmu untuk mengeksplorasi bagaimana pelaku (actors) membuat dan menyusun berbagai bentuk narasi kebijakan (policy narrative) dengan berbagai kepentingan (interests) atas berbagai keterbatasan yang ada saat itu (Keely & Scoones 2003). Masalah-masalah kehutanan di Indonesia-pun telah pula dirumuskan dan solusi untuk mengatasinya telah pula direkomendasikan. Hasil analisis 324 paper dan non paper yang dilakukan sebagai bahan evaluasi kebijakan, dapat ditunjukkan bahwa hampir seluruh aspek pembangunan kehutanan telah dibahas selama periode tersebut (Kartodihardjo et al. 2006). Namun, dari hasil analisis tersebut rekomendasi yang dibuat belum efektif sebagai bahan pembaruan kebijakan maupun pembaruan praktek kehutanan di lapangan. Ketidakefektifan proses pembaruan dan implementasi kebijakan, dipengaruhi faktor jaringan kekuasaan dan kepentingan maupun hambatan birokrasi, prasyarat berjalannya suatu kebijakan belum dipertimbangkan sebagai bagian dari masalah, dan tingginya biaya transaksi yang timbul akibat pelaksanaan suatu peraturan (Kartodihardjo et al. 2006; Kartodihardjo 2008). Berdasarkan hal tersebut, perdebatan masalah teknis kehutanan dan solusinya dipandang tidak banyak manfaat, karena hanya akan mengulang hal yang sudah dibahas. Masalah yang dihadapi selama ini ternyata bukan tidak ada pengetahuan dan informasi yang diperlukan untuk melakukan pembaruan kebijakan dan praktek-praktek kerja di lapangan, melainkan lemahnya prakondisi, cara, maupun pembaruan kerangka pemikiran yang mempengaruhi adposi pengetahuan dan informasi sebagai dasar pembaruan kebijakan dan praktekpraktek kerja di lapangan (Lackey 2007).
Secara sederhana kebijakan dapat
diartikan sebagai resep untuk mengatasi suatu persoalan nyata, sehingga kinerja yang diharapkan dapat tercapai. Dengan demikian yang seharusnya dihadapi para penentu kebijakan adalah bagaimana mereka menemukan masalah yang sebenarnya, bukanlah symptom dari suatu masalah, sehingga resep yang diformulasikan dan digunakan benar-benar mendatangkan perubahan nyata untuk meningkatkan kinerja. Oleh karena itu kebijakan yang baik dapat dicirikan dengan dapat dilaksanakan, mendatangkan perubahan, dan memperbaiki kinerja sebagaimana yang diinginkan (Kartodihardjo et al 2006).
5
Perumusan Masalah Perumusan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat dilakukan berdasarkan pendekatan administratif, belum berdasarkan pendekatan fakta interaksi sosial yang terjadi di dalam suatu komunitas sosial. Hutan rakyat dengan hasil utama berupa kayu rakyat merupakan barang milik pribadi (private good) yang dimiliki petani hutan rakyat berdasarkan rejim hak kepemilikan (property right regime) merupakan strata paling lengkap (tertinggi) karena memiliki hak memasuki (access right), hak memanfaatkan (withdrawal right), hak menentukan keikutsertaan atau mengeluarkan pihak lain (exclusion right), dan hak memperjualbelikan (alienation right). Hal ini mengandung arti bahwa petani sebagai pemilik hutan rakyat dalam struktur kelembagaan memiliki kewenangan sepenuhnya dalam proses pengambilan keputusan. Sementara itu di dalam kebijakan SVLK mensyaratkan bahwa seluruh kayu yang berasal dari lahan milik masyarakat yang beredar wajib melakukan proses SVLK (mandatory mechanism). Kekuatan petani hutan rakyat sebagai pemilik kayu untuk menjalankan kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan karena dengan hak kepemilikan pribadi ini maka petani berhak menentukan atas keputusan yang akan diambilnya, yaitu apakah mereka akan mengikuti proses SVLK atau tergantung pada keinginan mereka (voluntary mechanism). Selain itu perlu dicermati pula seberapa jauh urgensi dari penerapan kebijakan tersebut terhadap meningkatan kesejahteraan rakyat. Selama ini kebijakan secara intrinsik dianggap sebagai urusan teknis dan rasional, yaitu sebagai alat pemerintah untuk memecahkan masalah dan mengubah keadaan. Dengan kata lain bahwa implementasi hanya dianggap sebagai masalah manajemen belaka dan perumusan kebijakan diasumsikan telah dilakukan dengan baik, sehingga beranggapan bahwa keputusan yang dihasilkan adalah keputusan yang terbaik. Pandangan tersebut di sektor kehutanan pada umumnya tidak memenuhi asumsi dasar. Sehingga perumusan peraturan verifikasi legalitas kayu perlu dianalisis melalui pendekatan fungsional, yaitu dengan menekankan bagaimana masalah didefinisikan dari sejumlah fenomena empiris yang muncul dari kegiatan pengelolaan kehutanan. Sekaligus pula bagaimana berbagai keputusan yang bersifat solusi diambil, dan seberapa jauh kesenjangan antara masalah dan keputusan solusi ini terhadap teks kebijakan yang ada.
6
Para pembuat kebijakan pada umumnya berpandangan bahwa suatu keputusan kebijakan merupakan perwujudan dari pemikiran yang bersifat rasional dan memisahkan keputusan tersebut dari implementasinya. Pandangan tersebut di sektor kehutanan pada umumnya tidak memenuhi asumsi dasar, sehingga perumusan peraturan legalitas kayu perlu dianalisis melalui pendekatan fungsional, yaitu dengan menekankan bagaimana masalah didefinisikan dari sejumlah fenomena empiris yang muncul dari kegiatan pengelolaan kehutanan. Sekaligus bagaimana berbagai keputusan yang bersifat solusi diambil, dan seberapa jauh kesenjangan antara masalah dan keputusan solusi ini terhadap teks kebijakan yang ada. Kebijakan legalitas kayu yang merupakan prosedur legalformal, pada dasarnya terjadi interaksi sosial di saat menginterpretasikan dan menginformasikan teks kebijakan tersebut pada tataran implementasi di lapangan. Interaksi sosial tersebut akan mempengaruhi kinerja suatu lembaga. Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, perlu dikaji lebih mendalam sejauhna kebijakan SVLK telah menyentuh tataran implementasi secara nyata. Seringkali kebijakan hanya diarahkan kepada bagaimana kepentingan administrasi dan politik pemerintah agar dapat dilaksanakan, sehingga permasalahan yang ada sulit atau bahkan tidak pernah terselesaikan dengan baik dan akan selalu berulang menjadi sebuah tradisi kesalahan di setiap periodenya. Hal tersebut dapat dirasakan kesulitan berbagai pihak dalam mengimplementasikan kebijakan di lapangan. Uraian rumusan masalah di atas memunculkan pertanyaan penelitian berikut ini: a) apakah permasalahan perkembangan hutan rakyat dilatarbelakangi oleh kebijakan legalitas kayu? b) mengapa terjadi kesenjangan antara proses pembuatan kebijakan legalitas dengan interaksi sosial yang menyertainya? dan c) bagaimanakah ruang kebijakan untuk perubahan masa depan kebijakan legalitas kayu rakyat yang seharusnya? Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah bertujuan untuk mendapatkan rumusan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui: 1) analisis faktor penentu tipologi hutan rakyat; 2) analisis landasan
7
diskursif penetapan kebijakan; dan 3) analisis ruang dan masa depan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat.
Manfaat Penelitian Keluaran dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan penting bagi pemerintah dalam tata urutan proses pembuatan suatu kebijakan publik, dan memberikan gambaran pengetahuan kebijakan publik dalam pengaturan di hutan rakyat ataupun di lahan milik.
Novelty Berdasarkan state of the art yang telah disarikan di pendahuluan, bahwa penelitian ini mengungkapkan proses pembuatan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat untuk menghasilkan ruang kebijakan (policy space) dengan pendekatan diskursus/narasi kebijakan, politik/kepentingan, dan aktor/jaringan (IDS 2006).