I.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat dimanfaatkan untuk tiga kali pertanaman tanaman semusim dengan berbagai variasi komoditas, yang pemilihannya dapat disesuaikan pada permintaan pasar dengan tetap mempertimbangkan agroklimat dan budaya/kebiasaan petani setempat. Investasi pemerintah untuk membangun sawah irigasi cukup mahal, antara lain untuk pembangunan waduk, jaringan irigasi serta pemeliharaannya, namun sampai saat ini masih banyak ditemukan pemanfaatan sawah irigasi yang belum optimal (Anonim, 2004). Optimalisasi pemanfaatan sawah irigasi tidak saja melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) dengan keragaman komoditas tetapi juga melalui upaya integrasi dengan komoditas lain seperti perkebunan, perikanan dan peternakan (Indeks Diversifikasi/ID). Pemerintah membangun saluran irigasi menyebar pada setiap propinsi. dan mengairi sawah dengan luasan berbeda. Di Pulau Jawa total luas lahan sawah irigasi teknis 1,53 juta ha (Anonim, 2006). Berdasarkan data tersebut, sawah irigasi teknis terluas terdapat di propinsi Jawa Timur (0,67 juta ton), kemudian diikuti Jawa Barat (0,40 juta ha) dan Jawa tengah (0,38 juta ha), sedangkan pada tingkat kabupaten sawah irigasi teknis terluas terdapat di kabupaten Karawang yaitu sebesar 81.698 ha (Anonim, 2005). Dalam satu tahun secara teori sawah irigasi setidaknya dapat dimanfaatkan untuk tiga kali pertanaman (IP) = 300) dengan berbagai variasi komoditas tanaman semusim, namun berdasarkan studi (Pasandaran, dkk, 2003) pemanfaatan lahan sawah irigasi di Jawa yang di hitung dengan IP hanya berkisar 171 – 179. Sedangkan studi pemanfaatan sawah irigasi di Kabupaten Karawang berkisar IP 180 – IP 250 dengan variasi tanaman yang masih rendah (Anonim, 2006). Angka-angka tersebut menunjukan belum maksimalnya
pemanfaatan
lahan
sawah
irigasi
tersebut
sekaligus
2
menunjukkan
masih
adanya
peluang
peningkatan
produksi
melalui
peningkatan indeks pertanaman. Sejarah pembangunan sawah irigasi tidak terlepas dari keinginan untuk berswasembada beras dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, berbagai sumber daya untuk mendukung hal tersebut telah diinvestasikan antara lain; (a) investasi pada penelitian dan pengembangan pertanian sehingga adanya terobosan teknologi biologi dan kimia yang terkenal dengan sebutan revolusi hijau; (b) investasi sarana dan prasarana irigasi dan perluasan areal pertanian, dan (c) kebijakan-kebijakan yang mendukung seperti perdagangan, harga dan subsidi (Badan Litbang, 2004). Indonesia
dinyatakan
berswasembada
beras
pada
tahun
1985.
Keberhasilan swasembada beras disebabkan antara lain oleh dukungan pemerintah yang memprioritaskan pembangunan pertanian disertai kebijakan makro yang mendukung, terobosan teknologi baru budidaya padi sawah dan kebijakan intensifikasi pertanian (BIMAS) yang mengatur penerapan teknologi secara sentralistik. Namun demikian, swasembada beras hanya dapat dipertahankan sampai tahun 1993. Intensifikasi melalui program BIMAS berakhir disebabkan meningkatnya kerusakan lingkungan disertai resistensi hama terhadap pestisida yang disebabkan konsumsi pestisida dan pupuk kimia yang
berlebih
(Badan
Litbang,
2004).
Beberapa
program
untuk
mempertahankan dan meningkatkan produksi padi telah dilakukan namun degradasi lahan terutama pada sawah produktif yang selama ini digunakan untuk intensifikasi usahatani padi berkembang sangat lambat (Tabel 1). Selama hampir tiga puluh dua tahun pola konsumsi makan masyarakat Indonesia yang mulanya sangat bervariasi bergeser kearah yang seragam dengan menempatkan nasi sebagai makanan pokok, sehingga kebijakan pemanfaatan sawah irigasi pun secara langsung maupun tidak langsung diarahkan pada usahatani padi, hal tersebut terus berlanjut, sehingga seakanakan telah menjadi budaya dimana petani selalu menanam padi, walaupun secara ekonomis hal tersebut tidak menguntungkan, bahkan kadang merugi. Kondisi tersebut apabila terus berlanjut akan makin menurunkan tingkat kesejahteraan petani.
3
Tabel 1. Luas panen, produksi dan produktivitas padi di Indonesia dari tahun 1995-2007 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Laju pertumbuhan (%/th)
Luas Panen (ha) 11.438.764 11.569.729 11.140.594 11.730.325 11.963.204 11.793.475 11.500.000 11.521.166 11.488.034 11.922.974 11.839.060 11.786.430 11.757.845 0,20
Produksi (ton) 49.744.440 51.101.506 49.377.054 49.236.692 50.866.387 51.898.852 50.461.000 51.489.694 52.137.604 54.088.468 54.151.097 54.454.937 55.127.430 0,83
Produktivitas (ku/ha) 43,48 44,17 44,32 41,90 42,52 44,01 43,88 44,69 45,38 45,36 45,74 46,20 46,89 0,60
Sumber : BPS, 2007
Dilihat dari beberapa aspek, dimana pertanian Indonesia umumnya adalah pertanian keluarga skala kecil dengan rataan kepemilikan 0,35 ha (Anonim, 2005), maka peningkatan pendapatan yang dapat dilakukan berkaitan dengan usahanya adalah mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki, dengan melakukan diversifikasi usaha. Keuntungan diversifikasi pertanian adalah (a) berdasarkan aspek ekonomi, diversifikasi bertujuan untuk memperkecil resiko usaha karena aspek harga dan faktor ekonomi lainnya; (b) dari segi teknik budidaya dapat berarti mengurangi risiko gagal produksi; (c) dari pemanfaatan sumber daya yang dimiliki diversifikasi berpeluang meningkatkan pemanfaatannya, baik sumber daya manusia (SDM) berupa peningkatan kesempatan kerja dan berusaha, maupun sumber daya alam (SDA); (d) sistem budidaya pertanian sangat dipengaruhi oleh musim, diversifikasi pertanian dapat memperkecil pengaruh musim, disamping itu diversifikasi juga dapat memperkecil serangan hama penyakit, karena dengan diversifikasi yang dilakukan melalui pergiliran tanaman dapat memutus siklus hama dan penyakit; dan (e) diversifikasi konsumsi yang merupakan salah satu
4
program pemerintah di bidang pertanian disamping ketahanan pangan, memberikan peluang pasar kepada petani sawah irigasi agar memanfaatkan lahannya untuk berbudidaya sumber karbohidrat selain padi. System of rice intensification (SRI) merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya padi yang menekankan pada manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan (Deptan, 2007 dalam Simarmata, 2007). Gagasan SRI pada mulanya dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Fr Henri de Laulanie, S.J. Pengembangan SRI juga dilakukan melalui uji coba di berbagai negara Asia, termasuk Asia Selatan maupun Asia Tenggara. Di Indonesia gagasan SRI juga telah diuji coba dan diterapkan di beberapa Kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi serta Papua. Penerapan gagasan SRI berdasarkan pada enam komponen penting : (1) Transplantasi bibit muda, (2) Bibit ditanam satu batang, (3) Jarak tanam lebar, (4) Kondisi tanah lembab (irigasi berselang), (5) Melakukan pendangiran (penyiangan), (6) Hanya menggunakan bahan organik (kompos). Hasil penerapan gagasan SRI di lokasi penelitian (Kabupaten Garut dan Ciamis), menunjukkan bahwa : (1) Budidaya padi model SRI telah mampu meningkatkan hasil dibanding budidaya padi model konvensional, (2) Meningkatkan pendapatan, (3) Terjadi efisiensi produksi dan efisiensi usahatani secara finansial, (4) Pangsa harga pasar produk lebih tinggi sebagai beras organik. Sekalipun demikian, konsep SRI masih belum dapat diterima serta masih menimbulkan polemik dan kontroversial dalam penerapannya hampir di semua tempat maupun di lembaga terkait, termasuk IRRI sebagai Lembaga Penelitian Padi Internasional (Wardana, dkk, 2005). Namun dengan meningkatnya harga pupuk dan pestisida kimia serta semakin rusaknya lingkungan sumberdaya telah mendorong petani di beberapa
tempat
mempraktekan
sistem
pendekatan
SRI.
Peluang
pengembangan SRI ke depan juga didukung oleh tuntutan globalisasi dan konsumen internasional terhadap budidaya padi ekologis ramah lingkungan, kemudian dengan sistem penyuluhan yang mudah dimengerti, juga terkait
5
dengan kondisi peningkatan semua input produksi serta kebutuhan produk organik. Kendala pengembangan dalam skala luas, terkait dengan ketersediaan bahan-bahan organik, tenaga kerja tanam model SRI, serta kemauan dari petani sendiri (Djinis, dkk, 2008).
2. Perumusan Masalah Perkembangan diversifikasi usahatani dan pilihan pola tanam bersifat dinamis, sangat dipengaruhi faktor-faktor teknis, sosial ekonomi dan kebijakan. Kinerja dan perilaku petani dalam melakukan diversifikasi usahatani dan pilihan pola tanam adalah sangat kompleks. Menurut Pakpahan (1989), hubungan antara diversifikasi dengan keuntungan atau pendapatan petani bersifat kondisional. Disadari bahwa persyaratan aspek teknis adalah sangat menentukan (necessary condition), tetapi dukungan lingkungan sosial ekonomi dan kebijakan memegang peranan penting dan merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) yang menentukan. Diversifikasi pertanian di tingkat usahatani akan berkembang secara luas bila didukung oleh prakondisi aspek teknis, sosial ekonomi, dan kebijakan yang kondusif. Peningkatan
curah hujan secara langsung akan mempengaruhi
ketersediaan air, baik air irigasi maupun air tanah. Peningkatan jumlah curah hujan cenderung meningkatkan pangsa areal padi atau menurunkan indeks diversifikasi. Selain faktor teknis, diduga pula bahwa faktor harga padi dan koefisien variasi harga relatif padi terhadap harga komoditas pesaing utama yang semakin tinggi akan menyebabkan peningkatan areal padi atau penurunan indeks diversifikasi. Untuk wilayah yang mempunyai pangsa pendapatan padi masih relatif dominan maka kenaikan pendapatan pertanian akan menyebabkan peningkatan areal padi
atau penurunan tingkat
diversifikasi. Tingkat pemanfaatan sawah yang belum maksimal, serta rendahnya peningkatan produktivitas lahan berpengaruh pada pendapatan petani. Oleh karena itu, kajian tingkat pendapatan petani sawah irigasi dengan diversifikasi pola tanam di kabupaten Karawang, Jawa Barat menjadi perlu untuk memberikan gambaran alternatif petani dalam penggunaan input dan faktor-
6
faktor produksi secara efisien, yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dan pendapatan petani melalui perhitungan pemanfaatan lahan sawah irigasi baik IP maupun ID dan perhitungan tingkat pendapatan usahatani menurut pola tanam. Secara sistematis, permasalahan dalam peneltiian ini adalah : a. Bagaimana keragaan pola tanam di lahan sawah irigasi kabupaten Karawang? b. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani menurut pola tanam yang berlaku di kabupaten Karawang? c. Bagaimana alternatif strategi pemanfaatan lahan sawah irigasi dengan berbasis pada pemenuhan permintaan pasar dan pendapatan usahatani yang lebih stabil, dengan berbagai alternatif pola tanam yang rasional di Kabupaten Karawang?
3. Tujuan Kajian 1. Mengidentifikasi keragaan pola tanam di lahan sawah irigasi kabupaten Karawang 2. Merumusan tingkat pendapatan usahatani menurut pola tanam yang berlaku di kabupaten Karawang; 3. Menyusun strategi pemanfaatan lahan sawah irigasi dengan berbasis pada pemenuhan permintaan pasar dan pendapatan usahatani yang lebih stabil, dengan berbagai alternatif pola tanam yang rasional di Kabupaten Karawang.