1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011, Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading (1.51 juta ton), Ghana (1.03 juta ton), dan Indonesia (440 ribu ton). Pada tahun itu, devisa yang diterima dari ekspor kakao dan produk turunannya mencapai 1.35 milyar USD (Pusdatin-Kementerian Perindustrian, 2012). Pada posisi yang demikian, peran agribisnis kakao cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan petani, dan sumber devisa negara. Kualitas dan cita rasa kakao Indonesia relatif sama dengan kakao Ghana. Kelebihan utama kakao Indonesia di pasar dunia adalah titik lelehnya yang tinggi sehingga cocok untuk blending. Selain itu, kakao Indonesia mengandung lemak cokelat dan dapat menghasilkan bubuk kakao dengan mutu yang baik (Kementerian Perindustrian, 2011). Oleh karena itu, kakao Indonesia mempunyai peluang untuk menguasai pasar, baik pasar ekspor maupun domestik khususnya untuk produk-produk olahan. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka. Sebagai negara net ekspor, selama periode 2007 sampai 2010 neraca perdagangan kakao Indonesia memiliki tingkat laju pertumbuhan rata-rata sebesar 24 persen per tahun. Pada periode yang sama, tingkat laju pertumbuhan rata-rata perdagangan ekspor kakao Indonesia adalah sebesar 25 persen per tahun dan impor sebesar 32 persen per tahun. Namun pada tahun 2011, neraca perdagangan kakao, ekspor dan juga impor mengalami penurunan dari tahun 2010, yaitu sebesar 50 persen untuk neraca perdagangan, 48 persen untuk ekspor, dan 30 persen untuk impor. Hal tersebut terjadi karena telah diterapkannya bea keluar terhadap ekspor biji kakao. Neraca perdagangan biji kakao Indonesia tahun 2007 hingga 2011 dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Neraca perdagangan biji kakao Indonesia tahun 2007-2011 Sumber: Pusdatin–Kemenperin (2012)
2 Perkembangan agribisnis kakao tidak lepas dari adanya dukungan kebijakan pemerintah diantaranya Program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao), Kluster Industri Kakao, penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan penerapan bea keluar atas ekspor biji kakao. Perkembangan agribisnis kakao tidak hanya berkontribusi pada sektor usaha tani dan ekspor tetapi juga mendorong pengembangan wilayah dan agroindustri di Indonesia. Menurut Ditjenbun (2012), perkembangan agribisnis kakao ke depan lebih diprioritaskan pada upaya rehabilitasi dan peremajaan untuk meningkatkan produktivitas kebun kakao, di samping terus melakukan perluasan. Pengembangan agribisnis kakao difokuskan terutama di sentra-sentra perkebunan kakao yang ada saat ini yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Lampung, Maluku dan Irian Jaya. Pada tahun 2010, pembagian luas areal perkebunan kakao di Indonesia berdasarkan 10 besar provinsi dengan total luas areal mencapai 1.65 juta hektar dapat dilihat pada Gambar 2. 16%
Sulawesi Selatan
17%
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara
3%
Sulawesi Barat
4% 14%
4%
Sumatera Utara Sumatera Barat
5%
Aceh Lampung
5% 15%
6% 11%
Jawa Timur Nusa Tenggara Timur Lainnya
Gambar 2 Luas areal perkebunan kakao 10 besar Provinsi di Indonesia 2010 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur, 2012
Jumlah produksi kakao Indonesia pada tahun 2010 berdasarkan 10 besar provinsi dengan total produksi buah mencapai 844 ribu ton dapat dilihat pada Gambar 3. Sentra produksi utama kakao berada di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Namun menurut Arthur (2012), beberapa tahun terakhir ini produksi pada kedua daerah itu mengalami penurunan. Berbeda halnya dengan daerah Jawa Timur yang juga merupakan sentra produksi, selama tiga tahun terakhir produksi biji kakao kering meningkat dari 22 676 ton tahun 2009, menjadi 24 198 ton tahun 2010, dan 27 522 ton tahun 2011. Di Provinsi Jawa Timur, komoditas kakao merupakan komoditas strategis yang dapat meningkatkan pendapatan petani perkebunan dan tumbuhnya sentra ekonomi regional. Kakao di Provinsi Jawa Timur memiliki perkembangan yang baik sejalan dengan kebijakan pemerintah terhadap peningkatan petani tanaman keras. Dengan prospek cerah di pasar bebas, tanaman kakao menjadi komoditas unggulan Provinsi Jawa Timur.
3 11% 1% 3% 3% 4%
Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah
21%
Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Sumatera Utara
4%
Sumatera Barat 17%
8%
Aceh Lampung Jawa Timur
12%
Nusa Tenggara Timur 16%
Lainnya
Gambar 3 Produksi kakao 10 besar provinsi di Indonesia tahun 2010 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur, 2012
Menurut kajian yang dilakukan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur dan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (2011), kebijakan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur menempatkan komoditas kakao sebagai komoditas prioritas utama untuk dikembangkan, dengan pertimbangan yaitu potensi lahan di Jawa Timur yang memenuhi persyaratan agroklimat untuk komoditas kakao masih tersedia cukup luas, utamanya di Zona Tengah maupun Zona Pantai Selatan Jawa (Gambar 4), baik sebagai komoditas utama maupun tanaman diversifikasi; minat masyarakat atau petani untuk menanam kakao sangat besar; daya saing kakao terhadap komoditas perkebunan lainnya cukup kuat; petani memperoleh pendapatan secara kontinu dari hasil penjualan kakao; dan peluang pasar komoditas kakao masih terbuka lebar.
Gambar 4 Zona pengembangan perkebunan di Provinsi Jawa Timur tahun 2011 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur (2012)
4 Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur (2012), pengusahaan perkebunan kakao di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2011 secara total memiliki luas lahan 65 712 hektar yang dijalankan oleh rakyat sebesar 49 persen (30 139 Ha), negara sebesar 43 persen (26 487 Ha), dan swasta 8 persen (4 543 Ha). Pengembangan kakao di Provinsi Jawa Timur didukung dengan adanya Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) Jember untuk melakukan penelitian dan pengembangan inovasi teknologi di bidang budidaya dan pengolahan hasil kakao. Sentra perkebunan kakao rakyat di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2011 seluas 30 139 hektar terbagi atas Kabupaten Madiun (4 751 Ha), Kabupaten Pacitan (4 170 Ha), Kabupaten Trenggalek (3 500 Ha), Kabupaten Blitar (3 363 Ha), serta 18 kabupaten lainnya seperti Ponorogo, Malang, Nganjuk dan lain-lain (Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur , 2012). Meskipun Indonesia memiliki potensi produksi biji kakao yang besar, akan tetapi Indonesia belum memanfaatkan potensi tersebut secara optimal sehingga nilai tambah yang diperoleh masih rendah. Rendahnya nilai tambah kakao nasional tercermin dari nilai ekspor kakao Indonesia yang masih didominasi oleh nilai ekspor produk primernya (biji kakao) dibandingkan dengan ekspor produk sekundernya. Menurut Pusdatin- Kementerian Perindustrian (2012), pada tahun 2010 nilai ekspor biji kakao mencapai 72 persen dari keseluruhan total nilai ekspor produk olahan kakao. Namun setelah diberlakukannya bea keluar terhadap ekspor biji kakao, proporsi dari ekspor biji kakao menjadi berkurang yaitu 46 persen. Menurut ICCO (2011), pada tahun 2010, konsumsi cokelat dunia masih didominasi negara-negara maju terutama masyarakat Eropa, dengan Belgia sebagai negara dengan tingkat konsumsi rata-rata tertinggi yaitu 5.67 kg per kapita per tahun. Sedangkan tingkat konsumsi rata-rata masyarakat Indonesia hanya 0.07 kg per kapita per tahun. Masih rendahnya konsumsi cokelat tersebut, dapat menjadi peluang untuk mengoptimalkan potensi pasar dengan memperbesar pasar domestik yang kemudian dapat mendukung perkembangan industri pengolahan kakao nasional, memperbaiki nilai tambah kakao bagi petani, industri dan negara sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap pasar ekspor. Pada pengembangan agribisnis kakao khususnya subsistem pengolahan memang dibutuhkan dana yang cukup besar, sehingga diperlukan adanya investor terutama untuk pengembangan industri pengolahan kakao yang menghasilkan produk dengan kualitas yang baik. Namun, untuk industri makanan yang berasal dari cokelat, dapat dikembangkan oleh industri kecil dan menengah yang relatif tidak memerlukan investasi terlalu besar dan dapat menggunakan teknologi yang lebih sederhana. Beberapa industri kecil dan menengah yang sudah dikenal namanya antara lain Monggo yang berasal dari Yogyakarta dan Chocodot yang berasal dari Garut. Adanya potensi pengembangan komoditas kakao di Provinsi Jawa Timur, dan Kabupaten Madiun pada khususnya akan sangat baik apabila didukung dengan suatu sistem pemasaran yang efisien. Selain itu juga, kakao sebagai tanaman perkebunan, pengusahaannya pada umumnya diorientasikan ke pasar bukan untuk dikonsumsi sendiri. Sistem pemasaran yang efisien dapat dilihat dari tingkat harga dan stabilitas harga. Semakin tinggi harga jual biji kakao, petani akan termotivasi untuk meningkatkan produksinya. Artinya tidak cukup hanya dengan meningkatkan produktivitas kakao, namun harus diikuti usaha
5 penyempurnaan atau perbaikan dalam sistem pemasaran. Perbaikan dalam sistem pemasaran bertujuan memperbesar tingkat efisiensi pemasaran diupayakan dengan memperbesar nilai yang diterima petani, memperkecil biaya pemasaran dan terciptanya harga jual dalam batas kemampuan daya beli konsumen. Namun, pada umumnya, kondisi tersebut tidak terjadi pada petani kakao. Seperti yang terjadi pada pemasaran biji kakao di Lampung Timur, petani menjadi pihak yang cukup dirugikan. Harga yang diterima petani masih relatif rendah dibandingkan dengan harga pasar eksportir yaitu sebesar 62.31 persen. Pada pemasaran biji kakao di Lampung Timur, arus informasi harga berasal dari eksportir, kemudian diteruskan kepada pedagang pengumpul tingkat kecamatan, pedagang pengumpul tingkat desa hingga petani kakao. Arus informasi ini menjadikan petani sebagai penerima harga (Baktiawan, 2008). Para pelaku pemasaran yang saling berhubungan membentuk suatu saluran pemasaran. Saluran pemasaran merupakan salah satu faktor pendukung suksesnya pemasaran. Menurut Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (2009), dalam saluran pemasaran biji kakao di beberapa sentra kakao di Pulau Sulawesi, banyak terlibat lembaga perantara seperti pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang besar kabupaten, dan eksortir. Dan tiap lembaga memiliki perilaku yang berbeda, sehingga petani kakao akan memilih saluran mana yang akan menguntungkannya. Pada saluran pemasaran terdapat aliran pemasaran yang saling berkaitan menciptakan nilai tambah pemasaran di tiap tingkatan saluran pemasaran. Perkembangan ini merupakan sebuah peluang usaha dengan melakukan kegiatan pemasaran biji kakao sehingga nilai tambah dari usaha ini dapat dinikmati oleh setiap lembaga pemasaran yang berperan di Kabupaten Madiun. Pengembangan komoditas kakao di Kabupaten Madiun sebaiknya tidak hanya didukung oleh sistem pemasaran yang efisien, tetapi juga adanya pengolahan terhadap biji kakao akan meningkatkan nilai tambah dan daya saing biji kakao Kabupaten Madiun, yang kemudian akan meningkatkan harga biji kakao di pasaran. Selain mempengaruhi pendapatan nasional secara keseluruhan, peningkatan produksi komoditas kakao dan olahannya akan mempengaruhi kesejahteraan petani kakao di Kabupaten Madiun khususnya. Mengingat pentingnya peran komoditas kakao dan potensi pengembangan produk olahannya terhadap perekonomian Kabupaten Madiun, maka sangat relevan apabila dilakukan penelitian mengenai pemasaran dan nilai tambah dari pengolahan biji kakao di Kabupaten Madiun. Perumusan Masalah Kecenderungan perdagangan global yang semakin terbuka dan kompetitif merupakan peluang dan tantangan yang sama besarnya bagi seluruh pelaku bisnis, termasuk pelaku dalam rantai pasok kakao. Pemasaran kakao Indonesia terutama biji kakao telah mencapai pasar internasional. Sebagian besar biji kakao Indonesia diekspor ke luar negeri, walaupun sudah ada beberapa industri pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi. Perkembangan ekspor biji kakao dari Indonesia relatif menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk dapat memperoleh pendapatan devisa
6 dari komoditas ini. Negara tujuan ekspor utama biji kakao Indonesia adalah Malaysia, Amerika Serikat, dan Singapura. Rata-rata lebih dari 50 persen biji kakao Indonesia diekspor ke Malaysia, sementara lebih dari 16 persen diekspor ke Amerika Serikat dan lebih dari 13 persen diekspor ke Singapura. Biji kakao Indonesia tersebut diolah di berbagai negara importir tersebut sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi dan sebagian besar diolah menjadi produk antara untuk dapat diekspor kembali ke negara produsen olahan cokelat akhir seperti Eropa dan juga diekspor kembali ke Indonesia. Industri kakao Indonesia kedepan memiliki peranan penting khususnya dalam perolehan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja, karena industri ini memiliki keterkaitan yang luas baik ke hulu maupun ke hilirnya. Di samping memberikan pendapatan bagi petani melalui penjualan biji kakao, apabila diolah di dalam negeri menjadi kakao olahan (cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder) atau yang sering dikenal dengan hilirisasi akan dapat meningkatkan nilai tambah kakao, menguatkan struktur industri kakao, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pertumbuhan sub sektor ekonomi lainnya dan pengembangan wilayah industri. Saat ini, industri hilir olahan kakao telah berkembang di Indonesia seperti industri cokelat, industri makanan berbasis cokelat (roti, kue, confectionary/kembang gula cokelat), dan penggunaan coklat untuk industri makanan dan minuman secara luas. Selain itu juga dalam skala menengah telah muncul industri olahan kakao yang memproduksi produk kosmetik seperti sabun, scrub, dan produk lulur. Perkembangan agroindustri komoditas kakao selama tahun 2007 hingga 2010 relatif stabil, yaitu sekitar seratus perusahaan. Menurut Kementerian Perindustrian (2011), investasi pada agroindustri kakao sampai dengan tahun 2014 diproyeksikan akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan neraca perdagangan komoditas kakao. Sejak April 2010, pemerintah memberlakukan kebijakan bea keluar untuk biji kakao yang akan diekspor. Menurut teori perdagangan internasional, penerapan bea keluar akan membuat harga ekspor meningkat sedangkan harga domestik akan menurun dibandingkan tanpa kebijakan tersebut. Dengan demikian, secara logika kebijakan ini akan menguntungkan industri pengolahan kakao domestik karena harga bahan baku utamanya akan turun sedangkan bagi eksportir dan petani akan dirugikan karena harga jual biji kakao di tingkat petani dan harga ekspor akan turun. Pada kenyataannya pihak industri pengolahan kakao mendukung kebijakan ini sedangkan para eksportir dan petani menentang. Selain itu, kebijakan ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku biji kakao dalam negeri dan untuk meningkatkan nilai tambah serta daya saing industri pengolahan dalam negeri. Di lain pihak, secara tidak langsung kebijakan tersebut akan berdampak kepada petani selaku produsen biji kakao dan meningkatnya persaingan antara industri pengolahan dan eksportir pada rantai pasok kakao dari petani. Kondisi tersebut juga diduga akan mendorong para eksportir dan industri pengolahan untuk membangun hubungan dengan petani dalam meningkatkan rantai pasok kakao yang berdaya saing dan berkelanjutan. Perkembangan produksi kakao di Jawa Timur tiap tahun mengalami peningkatan, namun belum didukung adanya industri pengolahan kakao yang memadai. Menurut DJIKM-Kemenperin (2011), hanya ada dua industri olahan kakao yang berada di Provinsi Jawa Timur adalah PT. Teja Sekawan (kapasitas 24
7 500 ton) dan PT. Budidaya Kakao Lestari (kapasitas 15 000 ton). Dari kapasitas yang dimiliki kedua industri olahan tersebut PT. Teja Sekawan hanya berproduksi 33 persen (8 000 ton) dari kapasitasnya, begitu juga PT. Budidaya Kakao Lestari (5 000 ton). Seharusnya dengan kapasitas yang dimiliki oleh kedua industri olahan tersebut, semua biji kakao yang dihasilkan oleh petani di Jawa Timur dapat tersalurkan dan petani tidak mengalami kesulitan dalam mendistribusikan hasilnya. Jika petani lebih mudah dalam memasok produksinya, maka petani akan meningkatkan produksinya yang pada akhirnya akan meningkatkan penghasilan petani. Namun, dua industri olahan tersebut belum maksimal dalam menyerap hasil panen dari petani kakao. Selama ini sekitar 60-70 persen biji kakao dipasok ke luar Jawa Timur tepatnya di pabrik yang berlokasi di Tangerang, sisanya 40 persen diekspor dalam bentuk biji kering. Kabupaten Madiun sebagai sentra terbesar perkebunan kakao rakyat di Provinsi Jawa Timur. Pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Madiun masih memiliki peluang dan potensi yang cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang sebagian besar masih mengandalkan perkebunan sebagai sumber mata pencaharian utama. Dukungan kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan tanaman kakao, turut memberikan peluang yang besar terhadap pengembangan usaha tanaman kakao di wilayah ini. Pengusahaan perkebunan kakao di Kabupaten Madiun memiliki karakteristik tingkat produktivitas dan kualitas yang masih rendah. Walaupun mengalami peningkatan luas areal dan produksi biji kakao seringkali tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan yang signifikan, hal ini dikarenakan posisi tawar (bargaining position) petani lemah yang menyebabkan petani mendapatkan nilai jual biji kakao yang rendah. Pengusahaan tanaman perkebunan termasuk kakao pada umumnya diorientasikan ke pasar, bukan untuk dikonsumsi sendiri, oleh karena itu sistem pemasaran merupakan hal yang harus mendapatkan perhatian dalam memproduksi suatu komoditas. Selain itu juga, dalam menghadapi liberalisasi perdagangan pemasaran mempunyai peranan penting dalam meningkatkan daya saing komoditas kakao. Lemahnya sistem pemasaran akan memperlemah daya saing yang selanjutnya akan mengurangi pendapatan pelaku usaha. Pemasaran yang efektif sangat dibutuhkan dalam memasarkan biji kakao, salah satu faktor yang menentukan adalah tingkat harga dan stabilitas harga. Semakin tinggi harga jual biji kakao, petani akan termotivasi untuk meningkatkan produksinya. Hal ini berarti, tidak cukup hanya dengan meningkatkan luas areal tanaman kakao maupun produksi biji kakao, harus diikuti usaha penyempurnaan atau perbaikan dalam bidang pemasaran. Memperbesar nilai yang diterima petani kakao, memperkecil biaya pemasaran dan terciptanya harga jual dalam batas kemampuan daya beli konsumen merupakam perbaikan bidang pemasaran yang bertujuan memperbesar tingkat efisiensi pemasaran. Untuk mencapai pendapatan yang diharapkan petani kakao, dalam memasarkan produk yang dihasilkannya memperhitungkan beberapa hal seperti, banyak produksi, lokasi pemasaran, biaya pengangkutan, saluran serta sifat persaingan. Petani kakao bebas memasarkan hasil usaha sesuai pilihannya, misalnya dapat dipasarkan ke pedagang pengumpul, pedagang besar ataupun koperasi unit desa. Karateristik yang unik pada
8 pemasaran komoditas pertanian adalah mata rantai alur produk yang dilalui dari mulai petani sampai dengan konsumen sangat panjang sehingga secara umum saluran pemasaran komoditas kakao diindikasikan banyak pelaku yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam pengaliran komoditas tersebut. Menurut Dinas Perkebunan Kabupaten Madiun (2008), terdapat perjenjangan pedagang untuk penjualan produksi perkebunan oleh petani yaitu pedagang pengumpul tingkat dusun, pedagang desa, dan pedagang kecamatan. Pada sistem pemasaran terdapat aliran pemasaran dimana pada setiap tingkatannya akan terbentuk nilai tambah tersendiri. Pemasaran biji kakao yang dilakukan pada aliran pemasaran yang terdapat di Kabupaten Madiun merupakan salah satu kegiatan untuk menambah nilai, dimana dengan proses pemasaran akan menyebabkan pertambahan nilai yang dilihat dari sudut adanya pertambahan harga jual biji kakao. Maka yang menjadi beberapa pertanyaan awal dalam penelitian adalah pemasaran biji kakao di Kabupaten Madiun secara umum dengan melihat rantai pasok? Dan aktivitas-aktivitas yang menambah nilai (valueadded activities) yang dilakukan para pelaku pada rantai pasok biji kakao serta bagaimana distribusi nilai tambahnya yang terjadi di Kabupaten Madiun. Pada proses pemasaran biji kakao, lembaga perantara memegang peranan yang penting dalam mata rantai aliran biji kakao, hal ini menyebabkan perbedaan tingkat harga di tiap-tiap lembaga pemasaran, sehingga memungkinkan bekerjanya sistem pemasaran yang kurang efisien. Maka yang menjadi pertanyaan berikutnya dalam penelitian adalah pilihan saluran pemasaran (marketing channel choice) yang dilakukan petani pada rantai pasok biji kakao yang terjadi di Kabupaten Madiun? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pilihan petani kakao? Adanya pengolahan hasil dan perbaikan mutu hasil produksi akan berpengaruh terhadap penerimaan marjin dan insentif yang diterima oleh petani, pedagang maupun industri olahan. Kabupaten Madiun merupakan sentra perkebunan kakao rakyat paling besar di Jawa Timur yang dikelilingi oleh beberapa kabupaten sentra tanaman kakao, seperti Lumajang, Malang, Kediri, Jombang, Tulungagung, Trenggalek, Nganjuk, Pacitan, Ngawi, Ponorogo, dan Blitar. Dengan kondisi yang ada, seharusnya Kabupaten Madiun dapat mendirikan pabrik pengolahan biji kakao dan cokelat yang akan berdampak positif terhadap laju perekonomian di daerah tersebut, baik terhadap petani kakao maupun pedagang. Dari uraian tersebut, yang menarik untuk dipertanyakan adalah nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan biji kakao menjadi produk turunannya jika hal tersebut dilakukan di Kabupaten Madiun. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: 1. Performance rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun. 2. Aktivitas-aktivitas yang menambah nilai (value-added activities) yang dilakukan para pelaku pada rantai pasok biji kakao dan distribusi nilai tambah diantara para pelaku tersebut di Kabupaten Madiun.
9 3. Faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran (marketing channel choice) yang dilakukan petani pada rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun. 4. Besarnya nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan biji kakao menjadi produk turunannya di Kabupaten Madiun. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi rekomendasi kebijakan yang mendukung pengembangan agribisnis kakao untuk meningkatkan kesejahteraan petani kakao Indonesia pada umumnya dan Kabupaten Madiun pada khususnya. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai rujukan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian terkait dengan rantai pasok, pilihan saluran pemasaran, dan nilai tambah pada komoditas perkebunan. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mencakup tiga aspek penting. Pertama, menganalisis performance rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun dengan menggunakan Food Supply Chain Network (FSCN). FSCN merupakan kerangka analisis yang tepat dalam melihat performance rantai pasok dari produk pertanian maupun pangan, dimana dalam penelitian ini adalah biji kakao. Pada FSCN dapat dilakukan penilaian kinerja rantai pasok, untuk mengetahui kepuasan konsumen dan seluruh anggota rantai pasok. Pengukuran kinerja rantai pasok dapat dilihat dengan efisiensi pemasaran yang mencerminkan efisiensi rantai pasok. Semua anggota rantai pasok berada pada Kabupaten Madiun, kecuali konsumen perantara yaitu pedagang besar yang berada di Kabupaten Blitar dan Kota Yogyakarta. Kedua, menganalisis pilihan saluran pemasaran yang dilakukan oleh petani kakao di Kabupaten Madiun dalam menjual biji kakao kering yang dihasilkan. Keputusan dalam memilih saluran pemasaran merupakan keputusan penting dalam manajemen rantai pasok. Banyak hal yang mempengaruhi keputusan petani kakao dalam menentukan pilihan saluran pemasaran. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi diantaranya umur petani, lama bertani, pendidikan petani, hasil panen biji kakao kering, harga biji kakao kering per kilogram, dan mata pencaharian utama petani kakao. Ketiga, menganalisis nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan biji kakao di Kabupaten Madiun yang masih dalam tahap pengembangan. Pengolahan biji kakao dilakukan oleh industri skala kecil dan menengah yang menghasilkan produk antara kakao dengan menggunakan bahan baku biji kakao fermentasi. Keterbatasan utama penelitian ini adalah dalam melihat performance rantai pasok dan saluran pemasaran tidak sampai pada produk hilir komoditas kakao, tetapi dibatasi hanya sampai pada produk olahan pasca panen yaitu biji kakao. Hal ini disebabkan sulit mengakses data sampai kepada industri olahan dan eksportir komoditas kakao. Oleh sebab itu dalam melakukan pengukuran seperti farmer share’s yang seharusnya membandingkan harga yang diterima petani kakao dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir, hanya dapat dibatasi dari harga
10 yang diterima petani kakao dengan harga yang diterima oleh pedagang besar sebagai konsumen antara. Keterbatasan lain adalah analisis yang dilakukan pada tiap aspek menggunakan komoditas yang heterogen. Pada aspek rantai pasok dan saluran pemasaran komoditas yang dianalisis adalah biji kakao kering, sementara itu pada aspek nilai tambah komoditas yang dianalisis adalah biji kakao fermentasi. Hal ini terjadi karena industri olahan kakao skala kecil dan menengah yang ada di Kabupaten Madiun hanya menggunakan biji kakao fermentasi sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk dengan kualitas yang baik. Sementara itu, sebagian besar petani kakao di Kabupaten Madiun lebih memilih untuk hanya menghasilkan biji kakao kering.