1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besarnya dasar perairan tersebut memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup yang berada di dasar perairan. Dewasa ini metode baru untuk mendapatkan informasi mengenai tipe dasar, sedimen dasar dan vegetasi bawah air dengan menggunakan echosounder dan pengolahan data secara digital sudah mulai berkembang. Penelitian untuk melihat hubungan tipe substrat dengan biota bentik, bento-pelagik dengan metode akustik telah dilakukan di perairan Tasmania Australia. Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah echosounder Simrad EK 500 dengan frekuensi 12, 38, 120 kHz.
Hasil dari penelitian tersebut adalah diperoleh adanya empat tipe
substrat yang diklasifikasikan sebagai substrat lembut halus, keras halus, keras kasar dan lembut kasar (Siwabessy, 2001). Beberapa penelitian mengenai klasifikasi dasar perairan dengan metode hidroakustik di Indonesia sendiri sudah dilakukan melalui pengukuran dasar laut berdasarkan nilai surface backscattering strength dengan teknik integrasi echo dasar dan pengembangan model numerik ring surface scattering menggunakan Quantitative Echo Sounder di perairan selatan Jawa (Manik et al., (2006)). Pujiyati (2008) mengukur nilai backscattering volume (E1 dan E2) dari dasar perairan yang berlokasi di perairan Laut Jawa bagian Timur, perairan Belitung, Kalimantan Timur dan perairan Laut Jawa. Taruk Allo et al., (2009) melakukan penelitian di perairan Sumur, Pandeglang – Banten untuk melihat nilai backscattering volume yang dikaitkan dengan komposisi sedimen.
Deswati
(2009) melakukan penelitian dengan menggunakan teknologi akustik untuk mendeteksi lamun di wilayah Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Berdasarkan penelitian yang disebutkan diatas metode yang digunakan masih terpisah-pisah. Pemahaman akan sinyal suara yang dihasilkan dari dasar perairan akibat transmisi gelombang akustik adalah sangat sulit. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan parameter fisik pada skala yang berbeda. Untuk karakterisasi dasar perairan, incidence beam (normal incidence) yang vertikal dari sistem echosounding telah lama diakui sebagai proses pengukuran yang sangat berguna. Parameter seperti ukuran butir sedimen, relief permukaan antar muka air-sedimen, dan variasi dalam sedimen secara umum mengendalikan sinyal backscattering dari dasar perairan. Pengukuran sifat akustik dari dasar laut sangat menarik untuk dikaji baik dari segi akustik kelautannya maupun aplikasi geofisiknya.
Kecepatan suara
akustik dan impedansi dasar laut memiliki kaitan langsung dengan propagasi gelombang akustik dimana nilai-nilai tersebut diperlukan untuk analisis yang lebih lengkap seperti masalah propagasi suara. Bentuk dasar perairan cukup beragam serta jenis dasar perairan berbeda. Pengetahuan akan jenis dasar perairan sangat berguna untuk kepentingan geoteknik, perikanan dan lingkungan laut. 1.2. Perumusan masalah Penerapan teknologi akustik di Indonesia dalam penelitian dan pengembangan bidang kelautan hingga saat ini masih sangat terbatas. Minimnya sarana dan prasarana menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan teknologi akustik di Indonesia. Pada kurun waktu terakhir ini teknik akustik mulai banyak digunakan untuk memetakan dasar perairan dan kandungan sumber daya hewan bentik yang ada di daerah dasar perairan (Siwabessy et al. 1999). Kemajuan teknik pemetaan dasar perairan saat ini yang dipicu oleh perkembangan yang berkesinambungan dari sistem akustik (side scan sonar, multibeam sonar, acoustic discrimination systems) menawarkan potensi untuk pekerjaan pemetaan dan monitoring ekosistem dasar laut (Brown et al. 2005). Beberapa tahun belakangan ini, aplikasi metode pemetaan akustik, khususnya penggunaan “Acoustic Ground Discrimination System” (ADGS) dikombinasikan dengan data sampling lapangan (ground truth), telah menjadi kegiatan yang biasa dalam pemetaan dan monitoring habitat dasar laut di sejumlah daerah perlindungan laut di pesisir Inggris. Pendekatan ini memiliki keunggulan yang lebih baik dibandingkan cara-cara lama yang menggunakan grab, dimana
seringkali peta yang dihasilkan dari cara-cara lama itu dipertanyakan tingkat aksurasinya (Brown et al. 2005). Sistem klasifikasi akustik sedimen dasar laut yang dapat memperkirakan tipe sedimen dan sifat geoteknik dari jarak jauh telah banyak digunakan di berbagai bidang geologi kelautan, teknik sipil, ilmu militer dan perikanan (Lambert et al. 2002; Richardson et al. 2002). Sistem klasifikasi dengan akustik ini telah mampu memprediksi secara akurat dan real time dari sifat akustik (kecepatan suara, akustik impedansi dan atenuasi), tipe sedimen (ukuran butiran), dan sejumlah sifat geoteknik (densitas dan porositas). Metode akustik dianggap mampu memberikan solusi dalam pendugaan karakteristik dasar perairan yang mengakibatkan sejumlah penelitian lanjutan mengenai dasar perairan pun dilakukan. Tingginya variasi yang terjadi pada dasar perairan membuat banyak hal yang masih belum jelas dalam pendugaan karakteristik dasar perairan dengan menggunakan metode akustik. Penambahan persyaratan untuk perekaman data first echo dan second echo dapat memberikan beberapa informasi tentang karakteristik dari dasar perairan. Berbeda halnya dengan echosounder multibeam, yang menyediakan area cakupan spasial yang luas, split beam echosounder memberikan informasi tentang dasar perairan tepat dibawah daerah lokasi tracking (normal incidence) yang ditimbulkan oleh pulsa akustik. 1.3. Kerangka pemikiran Sistem klasifikasi akustik dasar perairan secara luas telah digunakan untuk mempelajari karakteristik dasar perairan.
Penentuan nilai backscattering dari
dasar perairan dengan akurasi yang tinggi sangat dibutuhkan dalam dunia perikanan. Hal ini berkaitan erat dimana dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting sebagai habitat dari makhluk hidup yang berasosiasi dengan lingkungan perairan. Penentuan jenis substrat dari dasar perairan di suatu perairan dengan metode hidroakustik tentunya memerlukan beberapa parameter-parameter seperti ukuran partikel dari sedimen, kandungan bahan organik dan porositas. Berdasarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan pengkajian kuantifikasi dasar perairan dengan metode hidroakustik mengenai nilai backscattering strength
dari dasar perairan serta kaitannya dengan parameter fisika dari sedimen yang diduga mempengaruhi nilai backscattering dari dasar perairan. Secara diagramatik kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Masalah identifikasi dasar perairan
Split beam echosounder
Data akustik
Ground truth
Raw data (pengukuran akustik dasar perairan)
Kalibrasi
@ Depth @ Sound speed @ Pulse length
Underwater camera
Nilai backscatter dasar perairan
First echo (Amplitudo, Energi)
Second echo (Amplitudo, Energi)
Roughness
Hardness
Clustering analysis
Core
@ Grain size @ Bulk density @ Porosity
Principal Component Analysis
Karakteristik dasar perairan Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
1.4. Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Menghitung nilai backscattering strength dari dasar perairan dengan menggunakan instrumen hidroakustik split beam echosounder untuk kuantifikasi dan karakterisasi dasar perairan. 2) Mengukur beberapa parameter fisik sedimen (sediment properties) yang diduga mempengaruhi nilai backscattering dasar perairan. 1.5. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Memberikan gambaran karakteristik dasar perairan berdasarkan nilai backscattering strength yang dihasilkan oleh berbagai macam tipe substrat dasar perairan dengan menggunakan split beam echosounder. 2) Pola yang didapatkan diharapkan dapat dijadikan sebagai proses mengklasifikasikan dasar perairan dengan menggunakan instrumen hidroakustik split beam echosounder.