1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Weh yang berada di barat laut Aceh merupakan pulau kecil yang rentan akan bencana seperti gempabumi yang dapat diikuti dengan tsunami, karena pulau ini berada pada zona gempabumi. Di sisi lain Pulau Weh memiliki potensi sumberdaya alam hayati seperti terdapatnya Taman Nasional Alam Laut dan sumberdaya nonhayati seperti panas bumi di Jaboi, Pulau Weh juga berada dijalur pelayaran internasional, dengan demikian perlu memperhatikan bahaya geologi yang bekerja di daerah tersebut. Bentuk bahaya geologi yang terjadi adalah gempabumi yang dapat menimbulkan tsunami. Hal ini disebabkan karena secara geologi Indonesia terletak pada jalur tumbukan antar 3 lempeng yaitu Lempeng Eurasia di utara-barat, Lempeng Pasifik di timur dan Lempeng IndoAustralia di selatan (Gambar 1), kedua lempeng bergerak relatif ke barat dan ke utara terhadap Eurasia. Lempeng Indo-Australia bergerak miring terhadap lempeng Sumatera (yang merupakan bagian dari lempeng Eurasia), dengan kecepatan 50-60 cm per tahun dan kemiringan dari zona penujaman sekitar 12o , terjadi penurunan permukaan dasar laut di tempat pertemuan lempeng tersebut sehingga menimbulkan gelombang laut/tsunami yang merambat dan menerjang pantai. (Lay et al. 2005; Natawidjaya 2003; Prawirodirjo 2000). Bencana gempabumi yang terjadi 26 Desember 2004 sumber gempabumi berada sekitar 250 km barat daya Banda Aceh dengan kedalaman pusat gempa sekitar 45 km (Borreo 2006), dengan kekuatan gempa 9,1-9,3 MW atau 9,3 SR yang terjadi di dasar samudera menyebabkan terjadinya tsunami (Lay et al. 2005; USGS 2004). Akibat dari bencana tersebut menewaskan 300.000 orang penduduk baik yang tinggal di wilayah Aceh dan laut Andaman dikenal sebagai “Bencana yang terdasyat di Dunia tahun 2004” (Meltzner et al. 2005; Subarya et al. 2006). Kejadian bencana selalu menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materi, karena kurangnya kewaspadaan dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya. Bencana gempa bumi yang terjadi disertai dengan tsunami mengakibatkan beberapa wilayah pesisir rusak seperti Pulau Weh, Banda Aceh, Meulaboh, Simeulue dan Pulau Nias.
`
2
U
Keterangan Kecepatan gerak dari lempeng Kecepatan gerak dari lokasi tempat pengukuran monumen GPS antara tahun 1989 dan 2002
Gambar 1. Dinamika umum tektonik Indonesia diperlihatkan oleh respon Kep. Indonesia terhadap pergerakan relatif tiga lempeng bumi dari data GPS (Bock 2003) Sebagaimana diketahui wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu wilayah yang unik secara geologis, ekologis, dan merupakan domain biologis yang sangat penting bagi banyak kehidupan di daratan dan di perairan termasuk manusia (Beatley et al. 1994). Namun wilayah pesisir rentan akan bencana alam, sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana untuk mengeliminasi kerusakan jiwa dan materi. Salah satu wilayah pesisir yang memiliki sumberdaya hayati dan rentan akan bencana gempa bumi dan tsunami adalah Pulau Weh. Pulau Weh memiliki keanekaragaman terumbu karang, ikan hias dan panorama pesisir pantai menjadi daerah objek tujuan wisata bahari. Lokasi yang memiliki keaneka ragaman hayati berada di Pulau Rubiah sehingga berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 928/Kpts/Um/12/1982 tanggal 27 Desember 1982 perairan Pulau Rubiah dengan luas 26 km2 ditetapkan menjadi Taman Laut sedangkan di Pulau Weh
3
khususnya di sekitar Km Nol yang berada di ujung Barat Laut Pulau Weh ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam seluas 13 km2. Daya tarik wisata bawah laut seperti berbagai jenis terumbu karang, menjadi rusak akibat bencana gempa bumi dan tsunami. Kerusakan yang umum terjadi adalah terangkatnya terumbu karang, terumbu karang patah dan pecah karena gelombang. Kerusakan tidak hanya di ekosistem pantai, mangrove dan terumbu karang tetapi juga diikuti dengan kerusakan infrastruktur.
Kerusakan
infrastruktur terjadi di kawasan wisata bahari sekitar pantai Iboih dan Pulau Rubiah. Bentuk kerusakan umumnya berupa rusaknya dermaga, bungalow, pertokoan dan kedai makan. Berdasarkan saksi mata gelombang tsunami menerjang pesisir pantai terjadi sebanyak tiga kali, dengan variasi tinggi gelombang datang (run up) antara 2 m sampai 5 m dan daerah genangan/inundasi sejauh 30 m hingga 50 m dari garis pantai dan kedalaman inundasi antara 50 cm hingga 1 m. Kerusakan ekosistem sumberdaya alam seperti contohnya terumbu karang, tampak beberapa koloni terumbu karang ditemukan ada yang patah, terbalik dan mati tertutup sedimen. Komunitas karang yang paling banyak mengalami kerusakan adalah karang keras. Umumnya kerusakan terumbu karang terjadi pada lapisan yang tidak padat, mudah lepas dan berada di lereng. Dapat pula terjadi di perairan yang dangkal berada di cekungan antara dua pulau, terumbu karang rusak lebih besar dibandingkan yang berada di perairan lepas contoh di sekitar Pantai Iboih (Baird et al. 2005). Morfologi cekungan dasar laut yang terletak diantara dua pulau, menyebabkan energi yang dihempaskan semakin tinggi ketika mencapai teluk dan lekukan pantai, berkumpulnya energi gelombang yang berasal dari laut lepas ketika gelombang masuk celah yang sempit (Diposaptono dan Budiman 2008). Selanjutnya kerusakan ekosistem mangrove akibat gelombang tsunami terjadi di sekitar pantai Lam Nibong, pantai Lhut dan Teupin Layee. Kondisi mangrove tampak ada yang tumbang, patah, tercabut dari akarnya dan hanyut. Jenis mangrove yang terdapat di lokasi tersebut antara lain Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Xylocarpus granatum, Bruguiera sexangula dan Bruguiera gymnorrhiza. Pasca tsunami
masyarakat di sekitar
4
Pantai Iboih menanam mangrove spesies Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa dan Rhizophora apiculata, sesuai dengan keberadaan habitat mangrove sebelumnya. Penanaman mangrove merupakan bantuan dari Japan Red Cross bekerja sama dengan PMI. Tujuan utama dari penanaman mangrove adalah untuk perlindungan pantai dari tsunami. Dengan memperhatikan kondisi kerusakan akibat gempabumi dan tsunami maka penataan wilayah pesisir perlu berbasis mitigasi bencana sesuai dengan pasal 56 Bab X dalam UU No. 27 tahun 2007 yang berisi: Dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu, Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan jenis, tingkat dan wilayahnya. Oleh karena itu penelitian ini membahas Strategi Mitigasi Pemanfaatan Ruang Pesisir Pantai Timur Pulau Weh Berbasis Ekosistem Mangrove. 1.2 Perumusan Masalah Pulau Weh dengan luas 153 km2 dikategorikan sebagai pulau kecil dengan tipologi pulau komposit, merupakan pulau yang rentan akan bencana gempabumi dan tsunami karena berada di daerah zona gempa. Namun Pulau Weh memiliki sumberdaya alam terumbu karang, ikan hias yang beraneka ragam dan vegetasi mangrove sehingga menjadi salah satu daerah objek wisata alam baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Terjadi kerusakan ekosistem sumberdaya alam dan infrastuktur akibat bencana gempabumi yang diikuti dengan tsunami. Tsunami dengan tinggi gelombang datang (run up) 3m-5m yang menerjang pesisir timur Pulau Weh menimbulkan genangan/inundasi. Penyebaran genangan di wilayah tersebut menggenangai semua jenis tutupan lahan. Luas sebaran genangan diperoleh dengan pendekatan model builder salah satu aplikasi dari ARCGIS 9.3 ESRI. Upaya mitigasi yang dilakukan untuk mereduksi genangan peningkatan kerapatan ekosistem mangrove.
berbasis pada
5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan
utama
penelitian
ini
adalah
untuk
mendapatkan
sebaran
genangan/inundasi akibat tsunami dan upaya strategi mitigasi dalam mereduksi genangan. Reduksi genangan dilakukan dengan cara mengoptimalkan kerapatan dan ketebalan ekosistem mangrove. Tujuan utama tersebut dapat dicapai melalui tujuan antara, yaitu:
1. Memetakan tutupan lahan, mengidentifikasikan kerusakan pemanfaatan lahan dan memetakan ekosistem mangrove akibat genangan tsunami di TWA Alur Paneh, Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1, Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2, Pantai Lhut dan Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong, kemudian menspasialkan ekosistem tersebut,
2. Membuat model sebaran genangan tsunami berdasarkan tinggi gelombang datang (run up) dan tingkat kerentanan akan bahaya tsunami,
3. Menyusun strategi mitigasi untuk mereduksi bahaya tsunami dengan mengoptimalkan daya dukung lokal diantaranya meningkatkan kerapatan ekosistem mangrove dan memperluas areal ekosistem mangrove. Manfaat penelitian ini adalah : 1. Melengkapi data dan informasi tentang pemanfaatan yang sesuai dengan kondisi fisik geografi Pulau Weh, 2. Tersedianya analisis spasial mitigasi bencana yang dapat digunakan dalam penataan ruang di daerah rawan bencana. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian 1) Pengamatan deskriptif terdiri dari: a. Ekosistem mangrove meliputi tegakan dan kerapatan, b. Pengambilan sampel tanah di ekosistem mangrove untuk mengetahui penyebaran komposisi tanah yang berkorelasi terhadap habitat mangrove, c. Geologi meliputi struktur geologi dan jenis batuan penyusun pantai, d. Geomorfologi pantai meliputi kemiringan pantai atau kelerengan pantai, jenis pantai/tipologi pantai. Hasil pengamatan dilakukan untuk analisis wilayah pesisir yang rentan terhadap bencana tsunami. 2) Analisis komposisi tanah untuk mengetahui substrat dasar di ekosistem mangrove,
6
3) Pengolahan data mangrove untuk mendapatkan komposisi jenis mangrove dan kerapatan vegetasi mangrove, 4) Pengolahan peta berbasis spasial dengan menggunakan PJ dan SIG untuk mengetahui sebaran kerusakan ekosistem dan daerah-daerah rawan bencana di wilayah pesisir. Hasil olahan analisis spasial akan menghasilkan zonasi pemanfaatan berbasis ekosistem mangrove dan mitigasi, 5) Membuat peta spasial wilayah yang rentan terhadap bencana dan membuat zonasi daerah mitigasi dengan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai pelindung terhadap tsunami, 6) Penerapan skenario optimum dalam pengelolaan sumberdaya pesisir pulaupulau kecil yang rawan bencana. Adapun kerangka pemikiran Strategi Mitigasi Pemanfaatan Ruang Pesisir Pantai Timur Pulau Weh Berbasis Ekosistem Mangrove tertera pada Gambar 2. 1.5 Kebaharuan Penelitian (Novelty) Pulau Weh merupakan pulau kecil yang memiliki luas 153 km2, berada pada jalur gempa sehingga Pulau Weh rentan terhadap bahaya gempabumi yang dapat diikuti dengan tsunami. Dengan memperhatikan karakteristik Pulau Weh maka penelitian ini melakukan upaya mitigasi tsunami berbasis pada tipologi pantai, vegetasi mangrove dan vegetasi pantai. Strategi mitigasi di pulau kecil mengkombinasikan ke tiga unsur di atas, karena keberadaan vegetasi mangrove di pulau kecil yang memiliki ketebalan dan kerapatan relatif lebih rendah dibandingkan dengan pulau besar. Ekosistem mangrove di lokasi penelitian berada pada tipologi pantai berbatu, berpasir dan berlumpur yang mempunyai kemampuan berbeda satu sama lain dalam mereduksi tsunami. Berdasarkan hal tersebut ekosistem mangrove merupakan faktor yang berperan dalam mereduksi tsunami sesuai dengan kapasitasnya. Oleh karena itu penelitian ini menitik beratkan tentang kajian strategi mitigasi tsunami berbasis ekosistem mangrove dalam aplikasi pemanfaatan ruang.
7
Penelitian yang telah dilakukan di Pulau Weh meliputi berbagai aspek seperti penataan ruang dengan pendekatan grid, penataan ruang di wilayah perbatasan, terumbu karang sebelum dan sesudah bencana tsunami, penataan ruang pada wilayah perbatasan dan penentuan kawasan wisata dengan pendekatan cell based modelling. Adapaun ikhtisar peneliti terdahulu tertera pada Tabel 1.
8
Gambar 2. Kerangka pemikiran pemanfaatan ruang berbasis mitigasi bencana
Tabel 1. State of the art dari hasil peneliti terdahulu No
Peneliti
Topik
Kelebihan
Kekurangan
1
Edyanto (1998)
Pengelolaan lahan di pulau kecil .
Bersifat kualitatif, subyektif dan ukuran grid kurang rinci
2
Tim P3K DKP (2004)
Perencanaan tata ruang pulau kecil di wilayah perbatasan
3 4
Campbell et al. (2006) Husnayen (2008)
Ekologi terumbu karang pasca tsunami dan rehabilitasi Penentuan kawasan wisata bahari di Pulau Weh dan tingkat kerentanan
Memperhatikan faktor fisik, proses pengelolaan lahan dibagidalam grid ukuran 1x1 km Analisis menggunakan 4 faktor: Natural Resourches, Prosperity Approach, Environmnet Approach dan Security Approach Pengamatan sebelum dan sesudah pasca tsunami. Aplikasi model penentuan pariwisata menggunakan cell based modelling.
5
Purbani (2011)
Pemanfaatan pesisir timur Pulau Weh yang rentan akan bahaya tsunami dan mitigasi dengan ekosistem mangrove
Model genangan akibat tsunami di modelkan dengan model builder, Mitigasi tsunami dengan ekosistem mangrove
Tidak membahas tata batas kewenangan daerah baik antar kabupaten/kota di dalam satu provinsi dan tata batas antar provinsi. Perlu pengamatan berkala agar dapat diketahui kondisi terumbu karang. Parameter kesesuaian zona pariwisata tidak mempertimbangkan faktor musim. Kerentanan mengacu pada SOPAC yang tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, Formula yang digunakan menggunakan dengan tinggi gelombang datang (run up) 3M. Sedangkan penelitian menggunakan tinggi gelombang datang (run up) 30 M, perlu dievaluasi kembali.
9
9