1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan terpusat seperti pada era lalu dianggap tidak akan mampu lagi mengikuti dinamika masyarakat dan perubahan eksternal yang berkembang semakin cepat, sehingga desentralisasi pembangunan dinilai memiliki makna yang semakin penting. Inti dari desentralisasi ini pada dasarnya adalah pemberdayaan wilayah dan masyarakat, serta pengembangan prakarsa dan kreativitas
lokal.
Desentralisasi
memungkinkan
daerah-daerah
tersebut
mempunyai kewenangan dan keleluasaan yang lebih besar untuk melaksanakan kebijakan sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat serta kondisi daerahnya masing- masing. Salah satu wujud dari implementasi desentralisasi adalah ditindakla njutinya gagasan otonomi daerah melalui penetapan UU nomor 22/1999 jo UU nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal menarik yang patut dicermati adalah adanya salah satu pasal yang mengatur kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah perairan laut dalam skenario otonomi daerah. Disebutkan dalam Pasal 10, bahwa daerah propinsi berwenang mengelola wilayah laut maksimum sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara daerah tingkat dua (Dati II) berwenang mengelola wilayah laut sejauh sepertiga dari batas kewenangan daerah propinsi atau sekitar 4 mil laut dari garis pantai. Jenis kewenangan tersebut mencakup pengaturan kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, serta penegakan hukum. Jelas bahwa implementasi otonomi daerah membawa sejumlah implikasi terhadap
aktivitas
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan.
Pertama,
sudah
seharusnya daerah mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk meregulasi pengelolaan sumberdaya, seperti penentuan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya. Kedua, daerah dituntut bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya perikanan di daerahnya itu. Ketiga, semakin terbuka peluang bagi masyarakat lokal, utamanya nelayan untuk terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya.
Disisi lain, globalisasi perekonomian dan liberalisasi perdagangan dunia sangat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka. Globalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleks dan kompetitif menuntut tingkat efisiensi yang tinggi. Pergerakan ke arah tingkat efisiensi ini menuntut penggunaan teknologi tinggi yang semakin intensif yang harus tetap memperhatikan asas-asas kelestarian lingkungan, serta kemampuan manajerial dan profesionalisme yang semakin meningkat pula. Dampak lain dari kondisi tersebut adalah persaingan yang ketat dalam kualitas produk termasuk produk dan jasa dari sub sektor perikanan tangkap. Terdapat 7 alasan utama mengapa sektor kela utan dan perikanan perlu dibangun. Pertama, Indonesia memiliki sumber daya laut yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, Indonesia memiliki daya saing (competitive advantage) yang tinggi di sektor kelautan dan perikanan sebagaimana dicerminkan dari bahan baku yang dimilikinya serta produksi yang dihasilkannya. Ketiga, industri di sektor kelautan dan perikanan memiliki keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan industri- industri lainnnya. Keempat, sumber daya di sektor kelautan dan perikanan merupakan sumber daya yang selalu dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga bertahan dalam jangka panjang asal diikuti dengan pengelolaan yang arif; Kelima, investasi di sektor kelautan dan perikanan memiliki efisiensi yang relatif tinggi sebagaimana dicerminkan dalam Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang rendah (3,4) dan memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi pula seperti digambarkan dengan Incremental Labor Output Ratio (ILOR) sebesar 7-9. Keenam, pada umumnya industri perikanan berbasis sumberdaya lokal dengan input rupiah namun dapat menghasilkan output dalam bentuk dolar. Ketujuh, dengan berkembangnya sektor kelautan dan perikanan nasional akan semakin mendukung upaya peningkatan ketahanan nasional, mengingat wilayah laut di KTI hingga saat ini merupakan salah satu basis wilayah praktek perikanan ilegal oleh kapal ikan asing (Dahuri, 2003). Usaha penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia saat ini telah berkembang dengan pesat. Perkembanga n tersebut, telah menyebabkan tingginya tekanan pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan di beberapa wilayah
2
perairan Indonesia, sehingga telah menyebabkan terjadinya over fishing seperti di laut Jawa dan Selat Malaka. Namun demikian di beberapa WPP lainnya masih terdapat peluang usaha penangkapan yang masih dapat dikembangkan seperti di WPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Bila perkembangan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak terkendali hingga tingkat pemanfaatannya melebihi daya dukung sumberdayanya, maka kelestarian sumberdaya ikan akan terancam, dan sebagai akibatnya kelangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan juga akan terancam. Agar kelestarian sumberdaya ikan dapat dipertahankan dan kelangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan dapat terjamin, maka pengelolaan sumberdaya ikannya harus dilakukan secara benar. Pengelolaan sumberdaya ikan secara benar adalah sesuai dengan Undang-Undang Perikanan No 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Kode Etik Perikanan yang bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries/CCRF ). Dengan menerapkan pengelolaan sumberdaya ikan secara benar diharapkan dapat mencegah terjadinya penangkapan yang berlebihan atau dapat memulihkan status sumberdaya ikan yang telah mengalami degradasi (Dahuri, 2002). WPP di wilayah Ternate menurut penelitian BRKP masih bisa dilakukan eksploitasi. Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP DKP pada tahun 2001, untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing seperti di Perairan Selat Malaka (176,29 %), Laut Jawa dan Selat Sunda (171,72 %) serta Laut Banda (102,74 %). Sedangkan tingkat pemanfaatan di wilayah pengelolaan lainnya adalah Laut Flores dan Selat Makassar sebesar 88,12 %, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,84 %, Laut Arafura 42,67 % dan Laut Maluku, Teluk Tomini dan Seram 41,83 % (PRPT-BRKP, 2001). Peluang pengembangan masih dapat dilakukan di Wilayah Pengelolaan Perikanan untuk Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram untuk SDl pelagis besar, pelagis kecil dan demersal. Menurut Peta potensi ikan di Ternate masih bisa dieksploitasi untuk ikan Cakalang dengan potensi 36.000 ton baru di produksi 18.000 ton dan Ikan Albakora dengan potensi 34.000 ton baru diproduksi 15.000 ton (www.dkp.go.id).
3
Sumber : BRKP – DKP (2001).
Gambar 1 Peta Potensi Ikan Sumberdaya ikan yang cukup melimpah tidak mempunyai arti dari sisi ekonomi apabila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dan sis tematis untuk mendayagunakannya sehingga mampu memberikan manfaat secara berkelanjutan. Salah satu sarana yang sangat penting dalam rangka memanfaatkan sumberdaya ikan di laut adalah armada penangkapan ikan berupa kapal dan alat penangkap ikan. Selama ini pengembangan armada perikanan harus diakui belum ditangani secara memadai karena adanya berbagai masalah, terutama yang terkait dengan kewenangan dalam pembinaannya yang masih menyebar di berbagai institusi. Untuk itu perlu adanya kesamaan persepsi dan langkah-langkah dari seluruh pihak sehingga armada perikanan Indonesia dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan. Armada penangkapan ikan yang di kota Ternate masih perlu dikembangkan mengingat bahwa secara fisik-geografis sebagian besar wilayah KTI termasuk Ternate adalah laut yang mengandung kekayaan sumberdaya hayati yang sangat besar baik dari jumlah maupun diversitas, yang hingga saat ini pemanfaatannya belum maksimal.
4
Selanjutnya armada perikanan di Ternate yang didominasi armada skala kecil telah banyak menimbulkan berbagai persoalan. Data tahun 2004 menunjukkan jumlah armada penangkapan ikan yang ada di kota Ternate sebanyak 1125 buah kapal yang didominasi perahu tanpa motor sebanyak 762 buah atau 67,73% , kemudian motor tempel sebanyak 344 buah atau 30,57% dan kapal motor sebanyak 19 buah atau hanya 1,68% dari total keseluruhan jumlah kapal (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate 2005). Dari komposisi yang ada menunjukkan keterbatasan jangkauan operasi penangkapan sehingga menyebabkan adanya penumpukkan operasi penangkapan di daerah pantai, pada akhirnya diyakini akan menimbulkan gejala terjadinya over fishing seperti yang terjadi di pantai Utara Jawa. Terbatasnya armada perikanan berukuran besar yang mampu beroperasi di perairan lepas pantai dan bahkan ZEEI, telah dimanfaatkan oleh kapal asing untuk menangkap ikan di perairan tersebut dengan berbagai modus operandi. Oleh karenanya sering terjadi pencurian ikan oleh kapal asing yang menyebabkan kerugian negara yang tidak kecil, selain me ngganggu kedaulatan negara. Disisi lain, upaya pengawasan dan patroli yang semakin ditingkatkan belum dapat mengatasi permasalahan secara keseluruhan karena keterbatasan kemampuan yang ada, baik di jajaran TNI Angkatan Laut maupun instansi lain yang berwenang. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan dalam imp lementasi pembangunan perikanan tangkap hingga saat ini memiliki beberapa permasalahan, dalam aspek : (1) Pengadaan sarana produksi, (2) Pembinaan/layanan pendukung, (3) Pemasaran, (4) Proses produksi, (5) Prasarana, (6) Pengolahan hasil perikanan, dan (7) pemanfaatan sumberdaya ikan. 1) Aspek pengadaan sarana produksi Sarana produksi penangkapan ikan seperti alat tangkap, kapal, alat bantu penangkapan ikan, dan tenaga kerja mempunyai beberapa permasalahan. Masalah yang muncul dari alat tangkap, disebabkan alat tangkap yang digunakan untuk kegiatan penangkapan, masih dominan di import. Hal ini disebabkan kualitas dari 5
alat tangkap lebih baik apabila dibandingkan produksi dalam negeri. Kapal yang diproduksi oleh galangan-galangan kapal di dalam negeri harganya lebih tinggi dan kualitasnya masih rendah. Demikian pula dengan alat bantu penangkapan seperti fish finder, GPS, radio untuk komunikasi harganya masih tinggi, sehingga setiap kapal penangkapan ikan masih sulit menjangkau untuk memiliki alat-alat bantu penangkapan tersebut. Permasalahan yang dihadapi dibidang tenaga kerja adalah jumlah banyak namun keterampilan dan ketahanan melautnya rendah. Meskipun pada kenyataannya sebagian besar penduduk bermukim di kawasan pesisir dan negara Indonesia merupakan negara kepulauan, kebanggaan sebagai bangsa bahari hanya secara nyata ditampilkan oleh beberapa suku bangsa di Indonesia. Salah satu masalah sehubungan dengan hal ini adalah rendahnya minat kaum muda potensial untuk bergelut dengan dunia kebaharian dan perikanan disebabkan rendahnya insentif di sektor ini. Panjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor- faktor produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain itu, krisis moneter juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan. Bagi nelayan penangkap ikan yang produksinya tidak berorientasi ekspor, keadaan demikian telah menurunkan tingkat hidup dan kesejahteraannya. Akibat melonjaknya dolar, harga mesin dan alat tangkap perikanan yang merupakan barang impor, membumbung tinggi. Harga jaring udang berukuran 1,5 inchi meningkat dari Rp 27.500 per buah menjadi Rp 75.000-80.000. Mesin Yanmar 10,5 PK misalnya naik dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 5 juta. 2) Aspek pembinaan/layanan pendukung Permasalahan yang muncul dari pembinaan/layanan pendukung adalah: (1) Kebijakan pemerintah yang diterbitkan masih banyak yang kontradiktif; (2) Permodalan yang dapat mengakses untuk perbankan rendah; (3) Law enforcement rendah; (4) Adanya arogansi sektoral antar departemen; (5) Peran kelembagaan non pemerintah masih rendah. Sebagai suatu sistem aquabisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga sub-sistem utamanya, yakni: (1) Produksi, (2) Pasca panen (penanganan dan pengolahan), dan (3) Pemasaran; tetapi juga oleh sub-sistem 6
penunjangnya yang meliputi: a) Prasarana dan sarana, b) Finansial/keuangan, c) Sumberdaya manusia dan IPTEK, dan d) Hukum dan kelembagaan. Kebijakan pemerintah di ketujuh sub-sistem (bidang) aqubisnis perikanan dinilai secara umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan, seperti kebijakan tentang kredit murah dan lunak yang belum ada, misalnya bunga sekitar 10% untuk mendukung usaha perikanan tangkap ataupun industri pengolahan dan tidak terpenuhinya investasi yang seharusnya dibutuhkan di sektor perikanan tangkap dan sulitnya melakukan investasi. Dari sisi peraturan dan perundang-undangan di bidang perikanan, jika ditinjau dari segi materi peraturan dan perundang-undangan sudah relatif memadai, namun yang belum memadai adalah implementasinya. Untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Kesepakatan pakar dan pengamat pembangunan perikanan dari dalam maupun luar negeri, bahwa implementasi dan penegakkan hukum (law enforcement) bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas pena ngkapan ikan secara ilegal, penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung jawab, dan seterusnya. Di sisi lain, terjadi juga tumpang tindih (over lapping) kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih dari satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal hubungan ekologis-biologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai maupun danau saling terkait satu dengan lainnya. 3) Aspek proses produksi Permasalahan yang muncul dari proses produksi adalah: (1) Biaya kelembagaan tinggi, baik yang merupakan biaya legal maupun illegal; (2) Akses informasi berupa sumberdaya ikan dan informasi pasar masih rendah; (3) Kepastian hukum tentang perizinan dan pengalokasian daerah penangkapan ikan masih rendah serta adanya pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah;
7
(4) Asuransi untuk kegiatan dalam bidang penagkapan ikan masih belum terpecahkan; serta (5) Pendapatan nelayan masih rendah. Berkaitan dengan gejala overfishing di beberapa kawasan, jenis stok sumberdaya perikanan yang telah mengalami overfishing adalah udang (hampir mengalami overfishing di seluruh perairan Indonesia, kecuali L. Seram sampai Teluk Tomini, L. Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia). Kondisi tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia. Mengingat kemampuan nelayan- nelayan kita masih sangat terbatas sehingga sulit melakukan ekspansi penangkapan pada perairan ZEEI. Masalah lain yang terkait dengan produksi perikanan tangkap adalah tentang pencurian ikan oleh nelayan dan kapal asing. Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh ternyata terjadinya surplus hasil penangkapan ikan ke pihak asing tidak lepas dari
peran berbagai pihak, baik pengusaha maupun aparat, melalui beberapa
mekanisme sebagai berikut: (1) Pihak asing seolah-olah memiliki hutang kepada mitra bisnisnya di Indonesia, melalui putusan pengadilan, pihak asing tersebut diharuskan membayar hutangnya dengan menggunakan kapal ikan eks-charter yang izinnya telah habis, (2) Kapal ikan eks-charter atau kapal yang baru dimasukkan dari luar negeri dikamuflase seolah-olah kapal produksi dalam negeri, (3) Pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun transaksi impor tersebut tidak benar-benar terjadi karena tidak melakukan pembayaran, dan (4) Pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun dengan harga yang dibuat semurahmurahnya. Hal tersebut ternyata juga telah menyebabkan kerugian negara sebesar US$ 1,362 milyar per tahun. Kondisi di atas antara lain disebabkan masih belum optimalnya pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, yang antara lain disebabkan (1) Kurangnya sarana dan alat penegakan hukum di laut yang menyebabkan intensitas dan efektivitas monitoring serta pengawasan menjadi berkurang; (2) Pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan ditangani oleh berbagai instansi, sehingga memerlukan koordinasi; (3) Belum diberdayakannya Petugas Pengawas Sumberdaya Ikan (WASDI) dan Pengawas Kapal Ikan (WASKI) secara optimal.
8
Adanya tumpang tindih juga dapat dilihat dari pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah, khususnya yang menyangkut kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut, baik oleh sebagian aparat di daerah, nelayan maupun masyarakat luas. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antar nelayan di beberapa daerah sehubungan dengan perebutan fishing ground, dispute antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, maupun antar Pemerintah Kabupaten/Kota. Apabila kondisi ini berlangsung terus maka pelaksanaan pembangunan perikanan tangkap sangat dimungkinkan akan mengalami hambatan. Keterbatasan teknologi informasi menyebabkan sumberdaya yang tersedia tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Data dan informasi tentang perikanan masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan, sehingga sulit mengaksesnya untuk menetapkan suatu kebijakan. Selain itu tingkat akurasi dan validasinya juga masih diragukan. Masalah utama dalam bidang perikanan tangkap adalah tingkat kemiskinan nelayan. Hal ini terlihat dari kond isi wilayah pesisir yang identik dengan kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah lainnya. Dalam perikanan tangkap, rendahnya produktivitas nelayan disebabkan karena tiga faktor utama, yakni sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga kapasitas tangkapnya rendah. Mereka memiliki berbagai keterbatasan, antara lain dalam hal pengetahuan/ keterampilan, akses permodalan dan pasar serta telah terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass beds), yang merupakan habitat ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan, atau membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut.
9
4) Aspek prasarana Permasalahan yang muncul dari prasarana kegiatan penangkapan ikan adalah: (1) Banyak pelabuhan perikanan tidak berfungsi optimal, disebabkan karena tidak adanya suplai BBM, es, Air tawar, pelelangan, dan suasana keamanan yang tidak kondusif; (2) Sanitasi/hygiene pelabuhan rendah; (3) Pelabuhan ekpor terbatas. Prasarana Perikanan yang ada di Propinsi Maluku Utara terdiri dari 1(satu) buah Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate di Kota Ternate, 2 (dua) buah Pelabuhan Perikanan Pantai yaitu di Tobelo Halmahera Utara dan Bacan Halmahera Selatan. 5) Aspek pengolahan Permasalahan yang muncul dari pengolahan hasil perikanan adalah: (1) Kelangkaan bahan baku berupa ikan, bahan saus media dan tin plate; dan (2) Sumber air yang digunakan untuk kegiatan pengolahan. Diakui bahwa kemampuan teknologi pasca panen (penanganan dan pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara internasional (seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya) masih lemah. Sebagai contoh, Thailand yang volume produksi ikan tunanya di bawah Indonesia, ternyata nilai ekspor produk ikan tuna olahannya jauh melampaui nilai ekspor Indonesia, karena Thailand sangat inovatif dan kreatif dalam mencari nilai tambah melalui berbagai teknologi pengolahan ikan tuna, yang antara lain meliputi: (1) Sashimi, sushi (fresh); (2) Frozen; (3) Loin; (4) Fish Cake; (5) Surimi; (6) Canning; (7) Fish Oil; (8) Salted Fish; (9) Fish Meal; (10) Fish Ball; (11) Tuna Sausage; (12) Tuna Ham; dan (13) Fish Crackers. 6) Aspek pemasaran Permasalahan yang muncul dari pemasaran hasil perikanan adalah: (1) Market intelligence rendah; (2) Harga tidak kondusif; (3) Pangsa pasar; (4) Pasar domestik masih lemah; (5) Transportasi belum menunjang. Pemasaran komoditas perikanan Indonesia di pasar dalam negeri maupun ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer market ). Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan seringkali kurang 10
menguntungkan pihak produsen (nelayan atau petani ikan). Ada dua faktor utama yang membuat pemasaran produk perikanan Indonesia masih lemah. Pertama, karena lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen. Kedua, belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu.
7) Aspek pemanfaatan sumberdaya ikan Sumberdaya ikan merupakan milik bersama (common resources), sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dimiliki secara perorangan, menyebabkan semua lapisan masyarakat berhak untuk memanfaatkan, dan karenanya dapat menimbulkan berbagai macam persaingan antar pelaku, baik antar nelayan dengan nelayan, antar nelayan dan pengusaha, antar pengusaha dengan nelayan, dan antar pengusaha dengan pengusaha yang begitu ketat dan sulit dikendalikan. Potensi sumberdaya akan (standing stock) yang terdapat diperairan Maluku Utara diperkirakan mencapai 694.382,48 ton dengan potensi lestari yang dapat dimanfaatkan (Maximum Sustainable Yield) sebesar 347.191,24 ton per tahun yang terdiri dari ikan pelagis besar 211.590.00 ton per tahun dan ikan demersal 135.005,24 ton per tahun. Dari perkiraan potensi tersebut menunjukan bahwa potensi sumberdaya tersebut cukup prospektif untuk dikelola dan dikembangkan. Sampai tahun 2002 tingkat pemanfaatan baru mencapai 26,51 %, hal ini masih dapat ditingkatkan lagi melalui upaya penangkapan yang ramah lingkungan (PRPT, 2006). Pemanfaatan sumberdaya ikan di Ternate Maluku Utara sebagaimana dipesankan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries diharapkan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan yg bertanggung jawab adalah pengelolaan yang dapat menjamin keberlanjutan perikanan dengan suatu upaya agar terjadi keseimbangan antara tingkat eksploitasi dengan sumberdaya ikan yang ada.
11
1.3 Tujuan Penelitian (1) Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menyusun kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan di Ternate, Maluku Utara. (2) Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : (1) Menyusun pengembangan armada kapal perikanan yang terstruktur, baik itu yang nantinya akan dioperasikan oleh nelayan tradisional maupun perusahaan besar sekalipun; dan (2) Menyusun kebijakan pengembangan yang
nantinya
dapat
dipakai
sebagai
bahan
pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam kaitannya dengan armada penangkapan yang akan beroperasi di perairan Maluku Utara, khususnya di Ternate. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Dalam upaya lebih mempertajam fokus pembahasan agar sesuai dengan tujuan penelitian, maka dalam studi ini dilakukan pembatasan ruang lingkup penelitian. Penelitian ini difokuskan hanya dalam lingkup "kebijakan tentang pengembangan armada penangkapan ikan ". Ruang lingkup penelitian ini, yaitu : (1)
Keadaan perikanan Ternate (Maluku Utara) dimasa kini yang meliputi : pengadaan sarana produksi, proses produksi, prasarana pelabuhan, pengelolaan, pemasaran serta pembinaan perikanan
(2)
Penjabaran isu–isu lokal, nasional dan global dalam pengembangan perikanan tangkap.
(3)
Permasalahan yang dihadapi oleh perikanan tangkap dilokasi penelitian.
(4)
Opini masyarakat dalam pengembangan perikanan tangkap.
(5)
Penyusunan kebijakan pengembangan armada. Pengembangan armada kapal perikanan beserta alat tangkapnya di wilayah
Maluku Utara dalam hal ini di Ternate dalam upaya untuk pemanfaatan sumber daya alam hayati dan non- hayati laut yang dikelola secara komprehensif dan berkelanjutan dimaksudkan untuk peningkatan kesejahteraan bangsa dalam hal ini nelayan tradisional.
12
1.5 Manfaat Penelitian (1) Manfaat bagi pengambil kebijakan (pemerintah) Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan pemerintah dalam hal menetapkan kebijakan dan perencanaan pembangunan perikanan tangkap di tingkat Pusat (Departemen Kelautan & Perikanan, Depnakertrans, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara Lingkungan Hidup) dan di tingkat daerah (BAPPEDA, Dinas Kelautan & Perikanan Propinsi dan Dinas Perikanan Kabupaten/Kota). (2) Manfaat bagi masyarakat perikanan setempat Sebagai bahan pemikiran dan informasi bagi masyarakat perikanan setempat terutama nelayan untuk dapat mengaplikasikan armada perikanan tangkap yang kompetitif, produktif dan berkelanjutan.
13
1.6 Kerangka Pemikiran
PERMASALAHAN : - Pengadaan sarana produksi. - Pemasaran - Pembinaan/layanan pendukung - Ketimpangan - proses produksi Pemanfaatan SDI - Prasarana/Pelabuhan Perikanan - Pengolahan
KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG ADA (Pusat/Daerah)
STATUS PERIKANAN / POLA PENGEMBANGAN DI MASA KINI
ANALISIS YANG DIGUNAKAN : SWOT AHP FINANSIAL CCRF DESAIN KAPAL LGP
•
OPSI PENGEMBANGAN PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN
•
OPSI PENGEMBANGAN ARMADA
Tidak/No Ya/Yes KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA Gambar 2 Diagram Alir Kerangka Pemikiran 14