1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber energi berbasis fosil (bahan bakar minyak) di Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 23 tahun lagi dengan cadangan yang ada sekitar 9.1 milyar barel (ESDM 2006), sedangkan konsumsi energi terus meningkat dari tahun ke tahun. Mengingat kemampuan produksi minyak nasional yang semakin menurun, maka diperlukan pengembangan energi alternatif dengan penggunaan input yang seminimal mungkin. Salah satu energi alternatif adalah energi non fosil yang dikenal dengan nama biofuel. Biofuel adalah bahan bakar nabati yaitu bahan bakar yang ketersediaannya berasal dari tanaman atau bahagian tanaman dan bersifat terbarukan. Biofuel dapat dibagi lagi menjadi biodiesel dan bioetanol. Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Bioetanol dapat dijadikan bahan bakar nabati yang ditujukan untuk menghapus ketergantungan terhadap premium. Menurut Bruce dan Palfreyman (1998), bioetanol dapat diproduksi dari sumber daya yang dapat diperbaharui seperti produk/hasil pertanian dan biomassanya. Sumber daya yang dapat diperbaharui ini dikategorikan ke dalam bahan-bahan berbasis gula (gula bit, gula tebu, dan sorgum), pati (biji-bijian yaitu: jagung, gandum, beras; dan umbi-umbian yaitu kentang, ketela pohon, ubi jalar; serta batang: sagu) dan lignoselulosa (tandan kosong kelapa sawit, kayu, jerami, bagas, limbah sagu, dan sebagainya). Biomassa ampas sagu yang merupakan salah satu bahan berlignoselulosa, mengandung potensi yang cukup besar sebagai bahan dasar bioetanol berdasarkan ketersediaan komponen-komponen tertentu (pati dan selulosa) yang dikandungnya. Program diversifiksasi pangan nasional menghendaki keragaman dalam sumber pangan karbohidrat. Sumber karbohidrat tidak selalu bersandarkan pada beras tetapi juga sumber karbohidrat lain. Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat yang penting. Diversifikasi pangan telah mendorong dalam mengoptimalkan pemanfaatan tanaman sagu yang banyak terdapat di Indonesia, yang juga akan mendorong dalam proses pertanamannya untuk dibudidayakan secara
2
lebih baik. Indonesia memiliki potensi areal sagu terbesar di dunia dengan luas areal sekitar 1.398 juta ha atau 56.5% dari 2.474 juta ha areal sagu dunia, disusul oleh Papua New Guinea sebesar 41.2% (Flach 1997). Dari areal sagu sebesar 1.389 juta ha, terdapat hutan sagu sebesar 1.250 juta ha dan lahan sagu semi cultived sebesar 148 ribu ha di Indonesia (Flach 1997; Balitbanghut 2005). Diperkirakan sekitar 10% dari hutan sagu yang dilaporkan telah mengalami konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, tempat tinggal, dan lainnya. Pada pengolahan sagu, perbandingan tepung dengan ela (ampas) sagu adalah 1 : 6 (Ramalatu 1981). Ampas sagu yang merupakan limbah hasil pengolahan pati sagu dapat mencemari air dan tanah karena belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan limbah sagu dapat menggurangi pencemaran lingkungan. Pengujian mikroskopik mengambarkan sejumlah besar pati terperangkap dalam bahan lignoselulosa ampas sagu (Chew dan Shim 1993). Kandungan pati dalam ampas sagu masih didapati sekitar 30-45% dengan kadar serat sebesar 3035% (Bujang 2011). Agar didapat suatu nilai tambah yang tinggi, diperlukan teknologi pemanfaatan limbah biomassa ampas sagu menjadi produk yang memberi manfaat yang lebih luas. Ampas sagu yang merupakan bahan lignoselulosa mengandung pati, diperoleh melalui proses pengolahan pati dari pohon sagu (Metroxylon sagu Rottb) dapat dipromosikan sebagai bahan baku untuk produksi bioetanol. Ampas sagu merupakan salah satu limbah pengolahan pati sagu yang mempunyai kandungan bahan yang spesifik, yaitu disamping disusun oleh lignoselulosa juga terdapat kandungan pati yang cukup tinggi. Pati pada ampas sagu yang tidak dapat dipisahkan secara fisik dan mekanis lewat ekstraksi pati sagu, dapat dipisahkan/diekstraksi lebih lanjut lewat suatu rekayasa perlakuan fisikkimia dan biologi (enzimatik). Pemisahan bagian pati dari bahan lignoselulosa ampas sagu dapat dipermudah dengan menggunakan perlakuan awal. Perlakuan awal (pretreatment) limbah hasil pertanian yang mengandung lignoselulosa umumnya dilakukan untuk mempermudah terjadinya konversi enzimatik dari selulosa menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya. Pada bagian lain pretreatment ini juga dapat memisahkan komponen lain seperti pati yang terikat kuat pada material dengan lebih baik. Banyak metode pretreatment yang
3
secara terpisah dapat memisahkan dan mendegradasi ikatan dan bahan yang mengandung lignoselulosa. Seluruh teknologi perlakuan awal yang ada secara umum bertumpu pada pada prinsip pemanasan material dalam air pada temperatur 100-200 oC. Perlakuan degradasi/pemecahan dengan uap panas tanpa penambahan asam sebagai katalis telah digunakan untuk pretreatment material pertanian seperti jerami, tongkol jagung, dan kayu keras. Secara umum diketahui bahwa penambahan atau perlakuan material dengan H2SO4 atau bahan mengandung SO2 (0.3 sampai 3% w/w) dapat menurunkan waktu dan temperatur proses, yaitu pada waktu yang sama meningkatkan recovery, menurunkan pembentukan dari inhibitor dan memperbaiki hidrolisis enzimatik (Ballesteros et al. 2003; Varga et al. 2004; Sassner et al. 2006). Dalam penelitian ini dilakukan rekayasa proses pretreatment untuk mengekstraksi/memisahkan pati dari ampas sagu yang akan diperoleh pada bagian larutan hasil ekstraksi (ekstrak), dengan mempertimbangkan selulosa dapat dibebaskan dari ikatan lignoselulosa setelah pretreatment. Proses rekayasa dilaksanakan dengan mengacu pada pretreatment yang dilakukan untuk bahan berlignoselulosa seperti dilaporkan para peneliti sebelumnya. Proses ekstraksi ampas sagu untuk memisahkan bagian pati secara maksimal dari ampas sagu dapat dilakukan dengan menggunakan panas. Rekayasa proses secara fisik menggunakan panas (termal), yang diikuti hidrolisis enzimatik untuk jenis bahan lignoselulosa berpati seperti ampas sagu dikenal sebagai hidrotermal-enzimatik. Metode hidrolisis hidrotermal-enzimatik ini dilakukan untuk mendapatkan hidrolisat mengandung gula yang tinggi dari pati ampas sagu. Proses hidrotermal merupakan pemisahan pati yang sekaligus merupakan proses gelatinisasi pada pati ampas sagu. Perlakuan pemisahan dan gelatinisasi pati ampas sagu dirancang dengan menggunakan panas yang lebih tinggi dari proses gelatinisasi yang umumnya dilakukan. Perlakuan panas secara fisik (termal) ini akan dapat meningkatkan pemisahan kandungan pati yang terikat cukup kuat pada bagian lignoselulosa dalam limbah ampas sagu. Bagian selulosa dari hasil pretreatment ampas sagu dapat dihidrolisis menjadi hidrolisat yang mengandung gula. Selulosa dari bagian biomassa limbah pertanian dapat dikonversi menjadi glukosa dengan menggunakan enzim komersial, tetapi proses ini mahal. Penggunaan enzim-enzim selulase dari mikro-
4
organisme secara langsung dapat menurunkan biaya konversi. Pada penelitian ini, bagian residu selulosa ampas sagu direkayasa untuk dikonversi menjadi hidrolisat yang mengandung glukosa dengan proses satu tahap menggunakan kapang Trichoderma reesei (T. reesei). Gong dan Tsao (1979) menyatakan selulase ekstraseluler dapat diproduksi oleh organisme bila ada substrat tertentu dalam medium pertumbuhannya. Salah satu penginduksi sintesis selulase adalah selulosa. Penginduksi ini mempunyai fungsi ganda, dapat bertindak sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan sel dan sebagai penginduksi untuk sintesis selulase. Salah satu galur kapang yang potensial adalah T. reesei. Enzim selulase yang dihasilkan dapat mengkonversi selulosa ampas sagu yang berlebih dalam substrat menjadi glukosa. Suatu mikroba tertentu akan membutuhkan kondisi proses dan media yang spesifik untuk tumbuh dan memproduksi selulase. Kondisi fermentasi seperti aerasi dan agitasi dapat mempengaruhi hasil fermentasi. Pada bagian ini, dilihat potensi selulosa ampas sagu untuk dapat dikonversi menjadi glukosa mengunakan mikroba T. reesei. Hidrolisat ampas sagu sebagai hasil proses hidrolisis ampas sagu baik dari konversi pati ampas sagu pada umumnya, maupun dari proses konversi bagian selulosa dapat diproduksi menjadi bioetanol. Fermentasi bioetanol yang sempurna menghendaki mikroorganisme yang mampu menguraikan gula heksosa hasil produk hidrolisis. S. cerevisiae merupakan mikroorganisme yang secara tradisional digunakan untuk memproduksi bioetanol karena mampu mengurai substrat yang berasal dari gula heksosa. Produksi bioetanol dari hidrolisat dengan metode hidrolisis yang berbeda dapat memberikan hasil/produktifitas yang berbeda. Produksi hidrolisat yang mengandung gula akan memberi nilai tambah dari ampas sagu. Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang terjadi karena suatu komoditias mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan dalam suatu proses produksi (penggunaan/pemberian input fungsional). Nilai tambah dari konversi ampas sagu menjadi hidrolisat yang mengandung gula serta by-product berupa selulosa ampas sagu, dikaji untuk mengetahui pertambahan nilai ekonomi dari ampas sagu. Penelitian ini merupakan kajian rekayasa proses produksi hidrolisat yang mengandung gula dari ampas sagu sebagai substrat produksi bioetanol. Proses
5
penyediaan hidrolisat dilakukan dari beberapa tahapan proses, diawali dari pendekatan metode pretreatment secara fisik-kimiawi karena ampas sagu merupakan bahan lignoselulosa berpati. Kajian meliputi: pretreatment ampas sagu untuk mempermudah pemisahan dan konversi komponen pati; proses hidrolisis konversi pati ampas sagu menjadi gula sederhana dalam penyediaan hidrolisat untuk produksi bioetanol menggunakan metode hidrotermal-enzimatik dan hidrolisis asam; dan kajian proses konversi selulosa ampas sagu menjadi hidrolisat (glukosa) menggunakan mikroba T. reesei secara satu tahap. Pada bagian akhir penelitian ini dilakukan aplikasi produksi bioetanol dari hidrolisat ampas sagu terpilih serta penghitungan nilai tambah hidrolisat ampas sagu dan by-product residu selulosa dari ampas sagu. 1.2 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian bertujuan untuk mendapatkan hidrolisat yang mengandung gula dari ampas sagu dengan tingkat konversi pati yang tinggi dan dapat tersedia sebagai substrat bagi pertumbuhan mikroba S. cerevisiae dalam produksi bioetanol. Tujuan penelitian secara khusus adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan ekstrak dengan kandungan komponen pati yang maksimal setelah pretreatment ampas sagu. 2. Mendapatkan metode hidrolisis yang terbaik pada bahan berpati dari ampas sagu untuk penyediaan hidrolisat mengandung gula maksimal sebagai substrat produksi bioetanol. 3. Mendapatkan kondisi proses dan hidrolisat mengandung glukosa dari konversi selulosa ampas sagu satu tahap menggunakan mikroba T. reesei. 4. Mendapatkan bioetanol dari proses fermentasi hidrolisat ampas sagu terbaik menggunakan S. cereviseae. 5. Mengetahui nilai tambah hidrolisat yang dihasilkan dari ampas sagu.
1.3 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
6
1. Pretreatment ampas sagu dapat menghasilkan ekstrak dengan kandungan pati maksimal, dimana selulosa tetap tersedia pada residu ampas sagu. 2. Metode hidrotermal-enzimatik dapat memberikan hidrolisat yang mengandung gula dengan nilai konversi pati yang tinggi dari ampas sagu. 3. Selulosa ampas sagu dapat dikonversi menjadi hidrolisat yang mengandung gula (glukosa) dengan menggunakan T. reesei dalam satu tahap. 4. Hidrolisat ampas sagu mempunyai nilai tambah yang tinggi dan dapat diproduksi sebagai substrat bioetanol.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Meningkatkan nilai ekonomi biomassa limbah sagu dan mengurangi dampak pencemaran lingkungan secara keseluruhan. 2. Penyediaan energi alternatif (etanol) dengan memanfaatkan ampas sagu. 3. Pengembangan ilmu pengetahuan dengan adanya rekayasa proses hidrolisis bahan lignoselulosa berpati menjadi hidrolisat yang mengandung gula dalam produksi bioetanol.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Lingkup penelitian adalah sebagai berikut: 1. Analisis komponen dan pretreatment ampas sagu. 2. Hidrolisis pati ampas sagu dengan metode hidrotermal–enzimatik untuk mendapatkan hidrolisat yang mengandung gula sebagai substrat produksi bioetanol. 3. Hidrolisis ampas sagu dengan metode asam (H2SO4) dalam mendapatkan hidrolisat dengan kandungan gula yang dapat tersedia sebagai substrat produksi bioetanol (sebagai pembanding). 4. Konversi selulosa ampas sagu menjadi glukosa secara kultivasi batch menggunakan T. reesei. 5. Aplikasi produksi bioetanol dari substrat hidrolisat ampas sagu. 6. Kajian analisis nilai tambah hidrolisat yang mengandung gula dan residu selulosa dari ampas sagu.