1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia. Hal itu dikarenakan Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau besar dan kecil, dengan garis panjang pantai lebih kurang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 yang terdiri dari 0,3 juta km2 Perairan Teritorial dan 2,8 juta km2 Perairan Nusantara. Pesisir dan laut Indonesia banyak mengandung kekayaan sumberdaya alam, seperti keanekaragaman hayati laut, baik flora dan fauna, ekosistem, dan kandungan bahan mineral seperti minyak dan gas bumi. Sumberdaya alam (SDA) tersebut dimanfaatkan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, swasta hingga masyarakat didalam menyokong keberlangsungan hidup dan pembangunan. Sekitar 65 persen penduduk Indonesia hidup di sekitar wilayah pesisir (Nontji 1993; Dahuri et al. 2001). Penduduk pesisir yang berprofesi sebagai nelayan kecil sekitar 90 persen dari total nelayan Indonesia (Murdiyanto 2004) dan jumlah nelayan Indonesia pada tahun 2004 adalah 3,4 juta orang (DKP 2006). Permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 antara lain adalah: (1) adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang merusak lingkungan, meningkatnya kerusakan dan pencemaran lingkungan di kawasan pesisir yang menurunkan kemampuan daya dukung lingkungan serta tidak menyatunya kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan kegiatan pemanfaatan SDA; (2) rendahnya kesejahteraan dan relatif tingginya tingkat kemiskinan nelayan; dan (3) kualitas SDM Indonesia masih rendah. Pembangunan pendidikan belum merata, masih terdapat disparitas tingkat pendidikan yang cukup tinggi antara penduduk lelaki dan perempuan. Dalam pembangunan pemberdayaan perempuan, masalah mendasarnya antara lain adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan, adanya bentuk praktik diskriminasi terhadap perempuan, rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, serta rendahnya angka GDI dan GEM (RI 2005).
Berdasarkan Human Development Report 2006, angka HDI (Human Development Index) Indonesia adalah 0,711 yang menempati peringkat ke 108 dari 177 negara. Angka GDI (Gender-related Development Index) Indonesia adalah 0,704 yang menempati peringkat 81 dari 140 negara (UNDP 2006). Angka GDI yang lebih rendah dari angka HDI menunjukkan masih adanya kesenjangan gender di Indonesia. Berdasarkan Indonesia Human Development Report 2004, angka GEM (Gender Empowerment Measured) Indonesia adalah 0,546 yang menempati peringkat ke 33 dari 71 negara yang diukur (BPS, Bappenas & UNDP 2004). Data tersebut menunjukkan bahwa potensi perempuan di Indonesia belum sepenuhnya diberdayakan dalam arus pembangunan ataupun dalam memutuskan kebijakan, walaupun perbandingan populasinya hampir seimbang. Menurut data BPS (2006), persentase penduduk Indonesia adalah 49,9 persen perempuan banding 50,1 persen lelaki dari jumlah penduduk sekitar 219,205 juta jiwa. Rasio jenis kelamin (sex ratio) penduduk Indonesia adalah 100,4 yang berarti dari 100 penduduk perempuan terdapat 101 penduduk lelaki. Menurut Moerpratomo (1999), perempuan memiliki potensi yang dapat menjadi salah satu modal dasar pembangunan dan dapat dikembangkan sebagai tenaga produktif. Tanpa pengembangan secara berencana, jumlah yang besar itu dapat berubah menjadi beban nasional. Kiprah perempuan Indonesia dalam pembangunan tidaklah sedikit. Kontribusi ekonomi mereka banyak diwujudkan dalam kegiatan di sektor informal seperti menjadi pedagang, buruh, pekerja rumahan dan pekerja keluarga, demikian halnya dengan kegiatan masyarakat pesisir yang menampakkan kerjasama antara kaum lelaki dan perempuan. Menurut Sharma (2003) dan Kumar (2004), perempuan nelayan memainkan peran penting di bidang perikanan dan dalam memelihara struktur sosial dari rumahtangga dan komunitas mereka, tetapi kontribusi ekonomi mereka tetap tidak dikenali dan peran mereka pun tidak terdokumentasikan. Peran perempuan pada masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya pada masyarakat nelayan, selain sebagai pengelola rumahtangga yang mengerjakan pekerjaan domestik, juga sebagai mitra kerja suami dalam melakukan pekerjaan produktif seperti pengumpul kerang atau nener, pengolah ikan hasil tangkapan
2
dan pedagang ikan. Waktu kerja nelayan tergantung jarak melautnya, sehingga dapat dikategorikan dua macam nelayan yaitu yang melaut harian dan yang melaut lebih dari satu hari bahkan hingga mingguan untuk satu kali perjalanan (trip). Istri nelayan yang suaminya harus melaut dalam jangka waktu lama dapat digolongkan
sebagai
kepala
rumahtangga
(KRT)
perempuan
sementara
(temporer). Mereka harus dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga sendirian dan akibatnya beban yang ditanggung pun semakin berat. KRT perempuan harus bertanggungjawab terhadap urusan rumahtangga dan sekaligus bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002, persentase penduduk perempuan Indonesia yang menjadi kepala rumahtangga (KRT) adalah 12,44 persen dibandingkan 87,56 persen KRT lelaki (BPS 2003). Namun demikian, kaum perempuan di komunitas pesisir jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan perikanan karena dianggap bukan kepala keluarga dan juga bukan nelayan yang sesungguhnya. Menurut Dwi et al. (2002), program pemerintah di wilayah pesisir belum berhasil membangun kesetaraan perempuan pada sektor ekonomi, sosial dan perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir. Minimnya data kuantitatif yang terpilah jenis kelamin dalam dokumen atau data statistik perikanan di Indonesia menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan di dalam pembangunan perikanan pantai belum banyak terdokumentasikan. Dalam rangka mencapai tujuan dari pembangunan perikanan berkelanjutan yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya ikan (SDI) secara berkelanjutan, diperlukan keterlibatan semua pemangku kepentingan di bidang perikanan, termasuk kaum perempuan. Diperkirakan jika keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan perikanan dan mutu sumberdaya manusia (SDM) perempuan dapat lebih ditingkatkan maka akan dapat membantu pencapaian tujuan pembangunan perikanan berkelanjutan dengan suatu asumsi bahwa kemampuan SDM perempuan dan lelaki dapat saling melengkapi. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya dilakukan penelitian ini. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam rangka Revitalisasi Pertanian sebagaimana tercantum dalam Perpres No 7 Tahun 2005 yang terkait
3
dengan komunitas nelayan adalah (1) rendahnya kesejahteraan dan relatif tingginya tingkat kemiskinan nelayan; (2) terbatasnya akses ke sumberdaya produktif, terutama akses terhadap sumber permodalan yang diiringi dengan rendahnya kualitas SDM; dan (3) penguasaan teknologi masih rendah. Arah kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) antara lain ditempuh melalui (1) peningkatan kemampuan nelayan dan pembudidaya ikan serta penguatan lembaga pendukungnya; dan (2) peningkatan produktivitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk perikanan dengan tetap memperhatikan kesetaraan gender dan kepentingan pembangunan berkelanjutan (RI 2005). Terkait dengan kesetaraan gender, komitmen DKP dalam upaya pemberdayaan perempuan sudah tampak dari adanya program Pemberdayaan Perempuan Nelayan, yang merupakan bagian dari proyek Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Program Pemberdayaan Perempuan Nelayan ini ditujukan untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian sumberdaya perempuan dalam hal teknis produksi, kewirausahaan, pengelolaan usaha dan pengambilan keputusan, serta meningkatkan akses pada informasi dan sumberdaya perikanan (DKP 2005b). Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan sudah dilakukan, tetapi kondisi komunitas nelayan belum berubah, maka perlu adanya alternatif dalam kebijakan pengembangannya. Selama ini kontribusi ekonomi kaum perempuan pada komunitas nelayan belum dicatat dan belum ada pelibatan kaum perempuan dalam pembangunan, oleh karena itu penelitian yang menyangkut pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan perikanan pantai menjadi penting untuk dilakukan mengingat Indonesia adalah negara maritim dan kondisi kesejahteraan komunitas nelayannya masih rendah dan belum berubah, dengan tetap memperhatikan pemanfaatan SDI yang berkelanjutan. PUG sudah tercantum dalam arahan kebijakan pemerintah di bidang perikanan, dimana.definisi PUG menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman PUG dalam Pembangunan Nasional adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.
4
Pertanyaan
penelitian
(research
question)
yang
diajukan
adalah
bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di mana terdapat partisipasi yang setara antara lelaki dan perempuan selaku pemangku kepentingan perikanan pantai dengan memperhatikan kebutuhan dan potensi mereka yang berbeda? Pertanyaan rinci yang diajukan dalam penelitian adalah sebagai berikut (1) Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi institusi teknis perikanan, apakah perempuan sudah dilibatkan? Apakah pencatatan pelaku kegiatan di bidang perikanan sudah terpilah berdasarkan jenis kelamin? Bagaimana lelaki dan perempuan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di bidang perikanan? (2) Bagaimanakah sikap komunitas pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai? (3) Bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyusun program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender yang memperhatikan kebutuhan dan potensi berbeda dari pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan. Tujuan penelitian tersebut akan dicapai melalui tujuan-tujuan antara yang meliputi kegiatan (1) Melakukan
analisis
responsif
gender
dalam
pelaksanaan
program
pembangunan kelautan dan perikanan saat ini. (2) Menganalisis sikap komunitas pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai. (3) Menyusun akternatif program bagi pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. 1.3.2 Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi (1) Ilmu pengetahuan, di dalam menambah wawasan kesetaraan gender dan ekologi manusia.
5
(2) Pemerintah, baik tingkat daerah maupun pusat, sebagai pengambil keputusan di bidang perikanan, berupa acuan dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan bidang perikanan pantai yang responsif gender. 1.4 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (1) Pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan saat ini belum responsif gender. (2) Sikap pelaku perikanan pantai terhadap pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender memiliki hubungan dengan latar belakang sosialekonomi-budaya, dengan anak hipotesis sebagai berikut (a) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan tingkat pendidikan formal terakhir. (b) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan matapencaharian. (c) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan status pekerja. (d) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan pendapatan. 1.5 Kerangka Pemikiran Perhatian utama dari pengelolaan perikanan ditujukan pada hubungan antara sumberdaya ikan (SDI) dengan kesejahteraan manusia dan konservasi sumberdaya untuk digunakan oleh generasi mendatang (Pomeroy 1995). Menurut Charles (2001), pembangunan perikanan yang berkelanjutan tergantung empat aspek yaitu berkelanjutan dari aspek sosio-ekonomi, komunitas, kelembagaan dan ekologi. Perikanan dipandang sebagai suatu sistem yang terintegrasi antara komponen ekologi, biofisik, ekonomi, sosial dan budaya, setiap komponen tersebut saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri. Dengan demikian, pembangunan perikanan berkelanjutan tidak hanya bertujuan melindungi stok ikan saja, tetapi juga meliputi pengelolaan semua aspek dari perikanan. Menurut Simatauw et al. (2001), gender sangat berhubungan dengan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam, karena di dalamnya terkait
6
persoalan hubungan kuasa (kontrol) dan peran antara lelaki dan perempuan dalam menjadikan alam sebagai sumber kehidupan. Menurut Depdagri dan BCEOM (1998), keterlibatan pengguna atau pemangku kepentingan dalam proses perencanaan merupakan hal kritis bagi keberhasilan rencana pengelolaan perikanan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keterlibatan dan peranserta pengguna atau masyarakat umum dalam perencanaan pengelolaan perikanan adalah merupakan suatu tantangan. Kerangka pemikiran penelitian ini adalah sebagai berikut: Kondisi perikanan pantai di Indonesia saat ini dipengaruhi oleh kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan dengan cara yang merusak, kerusakan dan pencemaran lingkungan,
tidak
menyatunya
kegiatan
perlindungan
dan
pemanfaatan
sumberdaya alam serta kesejahteraan masyarakat pesisir yang masih rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembangunan perikanan pantai yang bertujuan untuk pemanfaatan
sumberdaya
alam
yang
berkelanjutan
dan
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir. Keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan perikanan pantai membutuhkan partisipasi dari pemangku kepentingan, baik lelaki dan perempuan. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender dengan memperhatikan kebutuhan dan potensi pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan, agar tercapai tujuan pembangunan perikanan pantai. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut dilakukan analisis gender di tingkat kebijakan dan masyarakat serta analisis sikap masyarakat terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai untuk mengetahui kecenderungan pengambilan keputusan. Setelah itu, dilakukan penyusunan strategi dan program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender serta skala prioritas pelaksanaan program. Pelaksanaan program-program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender ini diharapkan dapat meningkatkan kesetaraan gender dalam pembangunan perikanan pantai, dengan demikian tujuan pembangunan perikanan pantai yaitu pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Kerangka pemikiran penelitian tampak pada Gambar 1.
7
- Kegiatan pemanfaatan yg merusak - Kerusakan & pencemaran lingkungan - Kegiatan perlindungan dan pemanfaatan yang tidak menyatu
Kondisi perikanan pantai saat ini
- Pemanfaatan SDA berkelanjutan - Peningkatan kesejahteraan masyarakat
Kesejahteraan masyarakat rendah
Pembangunan perikanan pantai
Partisipasi pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan
Analisis gender
Analisis sikap Analisis kebijakan
Analisis relasi gender dalam komunitas
Skala Likert
GAP
Moser
Strategi dan program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender
SWOT
Prioritas program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender
AHP
Kesetaraan gender dalam pembangunan perikanan pantai = lingkup penelitian
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 1.6 Penelitian Yang Pernah Dilakukan Penelitian tentang peran dan partisipasi perempuan nelayan serta yang terkait gender di bidang perikanan laut dan pantai yang sudah pernah dilakukan oleh berbagai peneliti, yaitu antara lain
8
(1) “Determinan-determinan Peranan Wanita Nelayan Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Rumahtangga. Studi Kasus Di Desa Haria, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku” adalah judul tesis Demianus Resusun, Fakultas Pascasarjana IPB, tahun 1985. Tujuan penelitiannya adalah mengkaji pengaruh nilai sosial budaya, faktor pendidikan, bentuk dan sifat usaha serta pola hubungan kerja nelayan yang diduga mempengaruhi status dan peranan perempuan nelayan dalam berbagai aktivitas. Penelitiannya bersifat deskriptif dan eksplanatoris, dengan wawancara dan kuesioner. Hasilnya yaitu: (a) Peranan perempuan nelayan pada umumnya menonjolkan kegiatan rumahtangga dan sosial dibanding lelaki. Perempuan dari golongan rumahtangga menengah dan kurang mampu ternyata turut menyumbang pendapatan tambahan bagi rumahtangga dibanding perempuan dari strata mampu. (b) Peranan perempuan dalam pengambilan keputusan rumahtangga lebih menonjol pada bidang pengeluaran kebutuhan pokok, sedangkan bidang lain seperti produksi, pembentukan dan pembinaan rumahtangga serta sosial berlaku tipe keputusan bersama dan setara. (2) “Kehidupan Wanita Dalam Rumahtangga Miskin Di Desa Pantai. Studi Kasus Kegiatan Sosial Ekonomi Istri Nelayan Di Desa Samudera Jaya Bekasi” adalah judul tesis Masngudin, Program Pascasarjana UI, tahun 1997. Tujuan penelitiannya adalah mengkaji bagaimana pengaruh kebudayaan kemiskinan dan kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat Jawa dan Sunda yang telah mantap terhadap posisi atau derajat istri nelayan dalam rumahtangganya. Metode penelitiannya adalah pengamatan dan wawancara. Hasilnya adalah: (a) Sosialisasi dalam hal pekerjaan yaitu ayah mengarahkan anak lelakinya untuk menjadi nelayan, dan ibu mengarahkan anak perempuan untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan bekerja sebagai buruh tani; (b) Dari pengerahan tenaga kerja anggota rumahtangga dalam menanggulangi kebutuhannya, memperlihatkan adanya keseimbangan derajat atau posisi suami istri atau lelaki perempuan dalam rumahtangga nelayan miskin. Namun pengaruh
kebudayaan
yang
telah
mantap
dalam
masyarakat
tetap
membedakan derajat atau posisi antara suami istri dalam keluarga.
9
(3) “Studi Rekayasa Model Pembinaan Kelompok Masyarakat Nelayan Miskin Di Pedesaan Pantai Jawa Timur” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh A. Qoid, H. Nursyam, P. Purwanti dan Soemarno dimuat dalam Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Vol. 12 No. 1 Februari 2000. Tujuan penelitian adalah melakukan rekayasa sosial dan kelembagaan. Metode penelitiannya adalah kaji tindak, yaitu pengujian terhadap rancangan model. Hasilnya menunjukkan bahwa strategi pola pembinaan kelompok nelayan miskin di perdesaan pantai perlu dilakukan melalui penerapan lima unsur pembinaan: pertama, yaitu dua unsur pokok yang mencakup industrialisasi perdesaan pantai dan inovasi teknologi penangkapan, dan kedua adalah tiga unsur penunjang yaitu pembenahan kelembagaan keuangan dan perkreditan bagi hasil, renovasi sistem pemasaran komoditi perikanan dan pembinaan perilaku masyarakat perdesaan pantai diarahkan kepada perilaku yang lebih produktif. (4) “Gender, Work, And Household Survival In South Indian Fishing Communities: A Preliminary Analysis” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh H.M. Hapke dimuat dalam The Professional Geographer Vol 53 No 3 tahun 2001. Tujuan penelitian adalah mempelajari saling mempengaruhi antara gender, agama dan kasta, serta formasi strategi mempertahankan hidup keluarga antara masyarakat nelayan Islam dan Kristen di India Selatan. Metode yang digunakan adalah survei terhadap pola kerja lelaki dan perempuan di dua desa. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana ideologi gender dan pekerjaan tertentu terkait dengan komunitas agama dan kasta yang berbeda
akan
mempengaruhi
pengadopsian
atau
pemakaian
strategi
rumahtangga individual yang berbeda pula. (5) “Community Formation And Fisheries Conservation In Southern Thailand” adalah judul penelitian oleh C. Johnson yang dimuat dalam Development And Change Vol 32 tahun 2001. Penelitian ini mengeksplorasi teori komunitas, milik umum (common property) dan aksi kolektif melalui pemikiran pada pengelolaan dan pemagaran dari perikanan pantai di Thailand Selatan. Tujuan penelitian adalah (a) mengeksplorasi insentif yang memotivasi penduduk desa untuk mendukung dan menjalankan common property regime (CPR); (b) mempertimbangkan isu kepemimpinan, mengidentifikasi alasan perorangan
10
berminat untuk berhubungan dengan perikanan yang mahal; dan (c) menguji cara-cara
dimana
agama
dan
identitas
suku
membantu
menempa
penggambaran komunitas yang dapat mendorong aksi kolektif. Hasilnya menunjukkan bahwa usia, gender dan kelas masyarakat memiliki dampak yang besar pada keinginan perorangan untuk ikutserta dalam kegiatan sosiopolitik penting ini. Dalam melakukannya, digambarkan cara yang dinamis dimana kekuasaan, struktur dan sejarah hubungan sosial dapat membentuk komunitas, milik umum dan aksi kolektif. (6) “Peranan Istri Nelayan Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Rumahtangga Nelayan Di Pedesaan Pantai Pondokdadap Malang Selatan” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh D. Arfiati, P. Purwanti dan A. Tumulyadi dimuat dalam Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences) Vol. 13 No. 2 Agustus 2001. Tujuan penelitian adalah mempelajari seluruh waktu istri nelayan yang tersedia dan jenis pekerjaan yang dilakukan wanita nelayan. Metode yang digunakan adalah metode survei. Dari analisis diperoleh hasil: (a) Waktu yang dialokasikan untuk kegiatan produksi rumahtangga (memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengasuh anak dan menyiapkan makan) dalam sehari rataan sebesar 26,47 persen, untuk kegiatan pada pasar tenaga kerja (sebagai buruh atau penjual) sebesar 46,26 persen, dan penggunaan waktu luang sebesar 46,22 persen (bersantai, makan, tidur, ibadah dan kegiatan sosial); (b) Keputusan untuk bekerja dan mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan ditentukan oleh wanita itu sendiri dan suami memberikan dukungan. (7) “Curahan Waktu Dan Produktivitas Kerja Wanita Nelayan Di Pedesaan Pantai Kabupaten Pasuruan” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh P. Purwanti, E.Y. Herawati dan A.R. Dani dari Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya dimuat dalam Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences) Vol. 16 No. 1 Februari 2004. Tujuan penelitian adalah menelaah seluruh waktu istri nelayan yang tersedia serta produktivitas kerja wanita nelayan, mempelajari faktorfaktor yang mempengaruhi curahan kerja wanita nelayan. Metode yang digunakan adalah metode survei. Hasil penelitiannya adalah: (a) Waktu yang dihabiskan oleh perempuan untuk kegiatan produksi pasar tenaga kerja adalah 4-7 jam, untuk kegiatan produksi rumahtangga adalah 4 jam, dan sisanya
11
sekitar 13-16 jam untuk penggunaan waktu luang; (b) Curahan kerja wanita nelayan secara bersama-sama dipengaruhi oleh upah, banyaknya anak, umur, pendidikan, dan status pekerjaan; (c) Wanita nelayan pengolah ikan kering memiliki produktivitas yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis usaha lainnya; (d) Keputusan untuk bekerja adalah atas kemauan sendiri. (8) “Women And Natural Resource Management: Illustrations From India And Nepal” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh B. Upadhyay dari International Water Management Institute (IWMI) Gujarat dimuat dalam Natural Resources Forum Vol. 29 tahun 2005. Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dengan penekanan peran mereka dalam pengelolaan air, pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Teknik yang digunakan adalah partisipasi dengan menggunakan in-depth survey, focus group discussion dan observasi–partisipasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perempuan mengalahkan lelaki dalam hal keterlibatan mereka memanfaatkan dan mengelola semua sektor yang diteliti. Namun, mereka menghadapi pengabaian dan penolakan pembagian yang sama dari keuntungan yang diperoleh dari SDA tersebut. Hasil-hasil penelitian yang terdahulu menunjukkan bahwa kaum perempuan dari komunitas nelayan banyak berperan di kegiatan domestik. Namun demikian, perempuan dari keluarga nelayan miskin juga terlibat dalam berbagai kegiatan produktif dalam rangka menambah pendapatan rumahtangga. 1.7 Novelty Kebaruan (novelty) dari penelitian ini terletak pada (1) Penggunaan kombinasi analisis gender (GAP dan Moser), analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) dan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP). (a) Gender
Analysis
Pathway
(GAP)
merupakan
alat
analisis
pengarusutamaan gender (PUG) di tingkat kebijakan dan program pembangunan kelautan dan perikanan di Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Kabupaten Subang;
12
(b) Analisis Moser merupakan alat analisis untuk perencanaan program pembangunan dengan menganalisis masalah dan isu gender di tingkat rumahtangga komunitas perikanan; (c) Analisis SWOT untuk menyusun strategi pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. (d) Pendekatan AHP untuk membuat urutan prioritas program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Secara bersama-sama kombinasi analisis ini akan menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang mengintegrasikan aspirasi, pengalaman dan masalah lelaki dan perempuan selaku pemangku kepentingan perikanan, dan selanjutnya akan menyusun alternatif program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. (2) Pengembangan konsep pembangunan perikanan pantai yang dilandaskan atas prinsip kesetaraan gender yang melibatkan pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan. (3) Obyek penelitian yang bersifat holistik mencakup masyarakat pesisir, kelembagaan
pemerintah
daerah
(Dislutkan,
Badan
Pemberdayaan
Masyarakat Desa/koordinator Forum Komunikasi, Konsultasi dan Koordinasi Gender Kabupaten Subang) dan kelembagaan ekonomi (KUD Mina, Bakul Ikan) di Kabupaten Subang.
13