1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia adalah negara yang sedang berkembang dalam berbagai sektor
salah satunya adalah sektor industri manufaktur. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya perusahaan manufaktur seperti Toyota Manufacturing, ASTRA, Krakatau Steel (Bursa Efek Indonesia, 2015). Dengan adanya perusahaan – perusahaan besar tersebut juga memicu perkembangan teknologi manufaktur yang ada di Indonesia, salah satunya adalah teknologi pengelasan. Penggunaan teknologi pengelasan dalam bidang manufaktur cukup luas. Hal ini disebabkan karena teknologi las memiliki beberapa keunggulan diantaranya konstruksinya lebih ringan dibanding dengan teknik penyambungan lainnya serta proses pengelasan lebih sederhana dan cepat sehingga biaya keseluruhan menjadi lebih murah (Wiryosumarto dan Okumura, 2000). Oleh karena itu pengembangan teknologi las terus diteliti dan dikembangkan untuk mencapai suatu kondisi sambungan yang diinginkan. Aplikasi pengelasan diantaranya digunakan pada industri transportasi, penyambungan dua pelat atau poros dan lain-lain. Oleh karena itu konstruksi las harus memperhatikan kesesuaian antara jenis material yang akan dilas dan metode yang digunakan dalam proses pengelasan, sehingga hasil dari pengelasan memiliki kekuatan sambungan yang bagus dan sesuai dengan yang diinginkan. Salah satu material yang masih mengalami kesulitan dalam proses pengelasan dengan menggunakan metode las busur konvensional adalah aluminium paduan. Menurut Wiyosumarto dan Okumura (1996), kendala pada pengelasan aluminium meliputi beberapa hal : 1. Sukar untuk dipanaskan atau dicairkan sebagian saja karena pengaruh daya hantar yang tinggi.
1
2
2. Aluminium juga mudah teroksidasi dan membentuk oksida aluminium dengan titik cair yang tinggi. 3. Mudah terjadi deformasi sehingga cenderung membentuk retak panas pada paduan yang getas. 4. Akan terbentuk rongga halus bekas kantong-kantong hidrogen apabila proses pembekuannya terlalu cepat akibat perbedaan yang tinggi antara kelarutan hidrogen dalam logam cair dan logam padat. 5. Mudah terkontaminasi zat lain yang terbentuk saat pengelasan disebabkan berat jenis paduan aluminium rendah. 6. Daerah yang terkena panas mudah mencair dan jatuh menetes dikarenakan titik cair dan viskositasnya rendah. Aluminium paduan terdiri dari aluminium paduan seri 1000, seri 2000, seri 3000, seri 4000, seri 5000, seri 6000, dan seri 7000. Berdasarkan efek perlakuan panas dan unsur paduan terhadap sifat mekanis, aluminium dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis yaitu aluminium yang bisa diberi perlakuan panas dan tidak bisa diberi perlakuan panas. Aluminium paduan seri 1000, seri 3000, seri 4000 dan seri 5000 merupakan jenis aluminium yang tidak bisa diberi perlakuan panas, sementara aluminium seri 2000, seri 6000 dan seri 7000 merupakan jenis aluminium yang bisa diberi perlakuan panas. Semakin tipis aliminium maka akan semakin sulit untuk dilakukan proses pengelasan. Hal ini dikarenakan daya hantar panas aluminium yang tinggi seperti yang telah disebutkan Wiyosumarto dan Okumura (1996). Padahal perkembangan teknologi saat ini mengacu pada teknologi - teknologi mikro dimana barang – barang yang diproduksi adalah barang dengan dimensi dan ketebalan yang sangat kecil (dibawah 1 mm). Berdasarkan permasalahan tersebut banyak dilakukan penelitian – penelitian yang berkaitan dengan pengelasan pada plat – plat tipis. Untuk pengelasan pada plat – plat mikro akan sangat sulit bila dilakukan dengan pengelasan dengan metode konvensional seperti GTAW maupun GMAW. Salah satu metode pengelasan yang bisa diaplikasikan untuk plat - plat tipis aluminium adalah Friction Stir Welding (FSW). FSW sendiri adalah salah satu
3
metode pengelasan yang dikembangkan oleh Wayne Thomas di The Welding Institute
(TWI)
pada
tahun
1991.
Berbeda
dengan
las
busur
yang
penyambungannya terjadi pada fase cair, pada FSW penyambungan terjadi pada fase lumer (solid state). Pada FSW tool yang berbentuk pin berputar dan ditekan pada area penyambungan antara dua material yang akan disambung. Gesekan yang terjadi antara tool dengan material akan menyebabkan terjadinya panas sehingga akan melelehkan material namun tidak mencapai melting point atau mencapai kondisi solid state. Pada saat mencapai kondisi ini kemudian tool FSW digerakkan searah dengan arah penyambungan yang dilakukan. Karena pengelasan terjadi pada kondisi lumer maka dapat menghindari retak panas akibat pembekuan. Keuntungan lain yang diberikan FSW antara lain distorsinya lebih kecil, penyusutan rendah, konsumsi energi dan biaya yang lebih hemat, tidak menimbulkan asap dan tidak meradiasi mata, dan dapat memberikan sifat mekanis yang lebih baik terhadap daerah yang terpengaruh panas atau heat affected zone (HAZ). Namun banyak parameter yang mempengaruhi kualitas hasil dari FSW ini antara lain adalah kecepatan putaran tool, laju pemakanan pengelasan, geometri dari tool yang semuanya itu berpengaruh terhadap panas yang ditimbulkan sehingga material mendapatkan panas yang sesuai untuk mencapai solid state. Selain itu, material yang akan disambung harus di tahan dengan kuat sehingga saat proses pengelasan tidak terjadi pergeseran yang akan mengakibatkan cacat pada hasil pengelasan. Untuk aplikasi FSW pada plat – plat tipis sendiri sudah ada pengembangannya yang dinamakan micro-Friction Stir Welding (µFSW). MikroFSW sendiri pertama kali dikembangkan oleh Nishihara dan Nagasaka (2004). Karena mikro-FSW ini masih bisa dikatakan sesuatu hal yang baru, maka belum banyak penelitian yang berkaitan dengan hal ini. Dalam proses FSW, kecepatan putaran tool dan laju pemakanan adalah beberapa parameter terpenting yang menentukan hasil dari FSW. Berdasarkan FSW technical handbook (ESAB, 2010) kecepatan putaran tool akan berpengaruh terhadap panas yang dihasilkan, pemecahan lapisan oksida yang terbentuk, dan
4
proses penggabungan dari material. Sedangkan laju pemakanan akan berpengaruh untuk menjaga suhu pengelasan dan menentukan bentuk hasil pengelasan.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka dapat diambil
rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaruh putaran tool dan laju pemakanan terhadap struktur mikro sambungan mikro-FSW pada plat tipis aluminium. 2. Bagaimanakah pengaruh putaran tool dan laju pemakanan terhadap kekerasan sambungan mikro-FSW pada plat tipis aluminium. 3. Bagaimanakah pengaruh putaran tool dan laju pemakanan terhadap kekuatan tarik sambungan mikro-FSW pada plat tipis aluminium.
1.3
Batasan Masalah Batasan masalah pada penilitian ini sebagai berikut: 1. Material yang digunakan untuk mikro-FSW adalah aluminium dengan ketebalan 0,5 mm. 2. Tool yang dipakai memiliki ukuran diameter shoulder 3 mm, diaemeter pin 1 mm, dan panjang pin 0,45 mm. 3. Sudut pemasangan tool diatur pada 2o. 4. Variasi putaran tool yang digunakan adalah 1800, 2000 dan 2200 rpm. 5. Variasi laju pemakanan yang digunakan adalah 25, 50, 75 mm/min
5
1.4
Tujuan Penulisan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh putaran tool dan laju
pemakanan
terhadap sifat mekanis sambungan las mikro-FSW plat tipis
aluminium melalui: 1. Struktur mikro sambungan mikro-FSW pada plat tipis aluminium. 2. Kekerasan sambungan mikro-FSW pada plat tipis aluminium. 3. Kekuatan tarik sambungan mikro-FSW pada plat tipis aluminium.
1.5
Manfaat Penelitian Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pengembangan teknologi pengelasan khususnya mikro-FSW. Dengan adanya penelitian ini akan diketahui pengaruh putaran tool dan laju pemakanan pada mikro-FSW sehingga didapatkan sambungan las yang berkualitas. Karena masih sedikit referensi tentang teknologi mikro-FSW, dengan penelitian ini akan menambah
referensi
tentang
mikro-FSW
perkembangan teknologi mikro-FSW.
sehingga
akan
menunjang