Saraf Perifer
LO saraf Perifer-Juli.indd 1
4/3/2013 12:09:34 AM
Saraf Perifer Masalah dan Penanganannya SERI BUKU AJAR
Editor:
Dr. Tjokorda Gde Bagus Nahadewa, M. Kes., dr. SpBs Co Editor: Tjokorda G. A. Senapathi, dr. SpAnKAR Prakata: Prof. Darto Satoto, dr. SpAn-KAR
PT Indeks, Jakarta 2013
LO saraf Perifer-Juli.indd 2-3
4/3/2013 12:09:34 AM
Saraf Perifer Penulis: Dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M. Kes., dr. SpBs Penyunting: Tim Indeks Koordinator editorial: Tjokorda G. A. Senapathi, dr. SpAnKAR Penata letak: Danish Art 77 Pemodifikasi desain sampul: Marcella Virginia
Prakata
Hak Cipta Bahasa Indonesia © 2013 PT Indeks Permata Puri Media Jl. Topaz Raya C2 No. 16 Kembangan Utara-Jakarta Barat 11610 e-mail:
[email protected]
All rights reserved. No part of this book may be reproduced or transmitted, in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopying, recording or by any information storage retrieval system, without permission in writing from the publisher or copyrights holder. Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa seizin tertulis dari penerbit atau pemegang hak cipta.
ISBN
10 9
10 13 8
7
Cetakan I, 2013
9 7 8 6
5
4
3
2
979-0629 79- 0 6 2 1
Di dalam buku teks yang sangat komprehensif ini pembaca dapat mengikuti pengetahuan yang paling baru fisiologi dan anatomi anestesia regional dan penanganan nyeri dan informasi secara evidencebased yang melingkupi banyak topik termasuk embriologi susunan saraf dan anatomi, histologi dan patologi yang relevan. Pada topik neurofisiologi dan farmakologi dari obat-obat analgesik sangat esensial untuk dimengerti untuk pendekatan yang optimal pada prosedur teknik anestesia regional pada pembedahan dan pencegahan nyeri pasca operasi dan sindroma nyeri kronis. Pengetahuan mengenai terjadinya dampak penyakit-penyakit penyerta dan usia tua pada praktek anestesia regional sangat penting untuk mendapatkan teknik yang aman dan efektif terutama pada penanganan nyeri pada kasus-kasus risiko tinggi. Pemakaian opioid dan non opioid pada teknik penanganan nyeri multimodal juga dibahas dalam buku teks ini karena pentingnya mendapatkan hasil yang memuaskan pasien. Kemajuan-kemajuan masa kini dalam pemakaian alat-alat modern dalam prosedur anestesia regional: stimulator saraf, jarum-jarum stimulasi, USG, kateter disposibel dan lain-lain, yang memungkinkan ahli anestesi lebih trampil dalam melakukan blok saraf, memperpanjang durasi analgesia dengan teknik infus dan mengurangi komplikasi (trauma saraf dan infeksi). Juga dibahas prosedur anestesia regional pada kasus-kasus spesifik misalnya pada pasien-pasien ambulatory, geriatri, pasien-pasien obstetri, dan nyeri akut dan kronis, dan pada kasus-kasus emergensi.
v
LO saraf Perifer-Juli.indd 4-5
4/3/2013 12:09:36 AM
vi
Saraf Perifer
Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk berpartisipasi dalam buku teks ini yang diciptakan oleh para pakar muda dalam bidangnya. Menurut saya buku teks ini akan menjadi teks standar untuk para praktisi kedokteran dan spesialis.
Kata Pengantar
Prof. Darto Satoto, dr. SpAn-KAR (FK UI)
Buku ”cedera saraf tepi” ini merupakan tulisan yang membahas berbagai topik mengenai cedera saraf tepi, aspek klinis dan penatalaksanaannya sebagai dasar untuk mempelajari dan memahami cedera saraf tepi untuk kemudian dapat diaplikasikan secara klinis. Buku ini disusun sebagai sajian untuk mahasiswa kedokteran, paramedis, bahan untuk Program Profesi Dokter dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I) Saraf, Anestesi, Bedah, Bedah Saraf, Bedah Tulang, Rehabilitasi Medik maupun disiplin ilmu lain yang terkait dan dengan adanya bahan ini diharapkan peserta didik dapat belajar mandiri. Mengingat perkembangan ilmu khususnya Saraf Tepi yang masih nisbi, kami harapkan buku ringkas ini sebagai pelita dalam kegelapan sehingga selalu dapat mengikuti perkembangan ilmu yang terjadi. Harapan kami buku ini akan dapat memberikan manfaat. Terimakasih.
Denpasar, Agustus 2012 Penulis
vii
LO saraf Perifer-Juli.indd 6-7
4/3/2013 12:09:37 AM
Buku ini saya persembahkan untuk: Istri tercinta Tjok Indira Kusumadewi, Ananda Tjok Sri, Ananda Tjok Mahadewi, Ananda Tjok Mahaputra, Ananda Tjok Mahaputri dan Ananda Tjok Maharani. Serta Ayahanda dr. Tjokorda Gde Subamia Ibunda A.A. Alit Suarthi
Tjokorda GB Mahadewa
LO saraf Perifer-Juli.indd 8-9
4/3/2013 12:09:37 AM
Kata Sambutan Rektor Universitas Udayana
Om Swastyastu, Pertama-tama marilah kita bersama memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya buku ini, yang merupakan kumpulan makalah, tentang cedera saraf tepi dilihat dari aspek klinis dan penatalaksanaannya. Sebagai Rektor Universitas Udayana (UNUD), saya bangga atas apa yang telah dikerjakan oleh staf Satuan Medik Fungsional (SMF) Bedah Saraf, Anestesi, Saraf dan Rehabilitasi Medis Fakultas Kedokteran (FK) UNUD/Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah-Denpasar. Buku ini merupakan bukti bahwa dokter Universitas Udayana bisa memberikan sumbangsihnya untuk khasanah ilmu kedokteran. Pada prinsipnya saya menyambut baik diterbitkannya buku ini, karena semua hal tersebut sangat penting diketahui oleh mahasiswa, paramedis, dokter umum maupun dokter residen, yang bertugas di Puskesmas maupun Rumah Sakit Daerah. Mudah-mudahan apa yang didapatkan dari buku ini dapat menambah pengetahuan para pembaca dan dapat bermanfaat dalam tugas sehari-hari di tempat tugas masingmasing. Om Shanti Shanti Shanti Om
Prof. Dr. I Made Bakta, dr. SpPD-KHOM
xi
LO saraf Perifer-Juli.indd 10-11
4/3/2013 12:09:38 AM
Daftar Kontributor
Prof. Darto Satoto, dr.SpAn-KAR Kepala Divisi Anestesia Regional Konsultan Anestesi Regional Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM Prof. (Emr) Dr. Kahdar Wiriadisastra, dr. SpBS(K) Konsultan Bagian/SMF Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK UNPAD)/RS dr Hasan Sadikin-Bandung Prof. Dr. Abdul Hafid Bajamal, dr. SpBS(K) Kepala Bagian/SMF Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR)/RS dr Soetomo-Surabaya Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, dr.SpS(K) Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Konsultan SMF Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali Prof. Dr. Sri Maliawan, dr. SpBS(K) Kepala Divisi Neurofunctional Surgery Konsultan dan Kepala SMF Bedah Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali Prof. Dr. Andi Asadul Islam, dr. SpBS(K) Konsultan dan Kepala Bagian/SMF Bedah Saraf FK UNHAS-Makassar
xiii
LO saraf Perifer-Juli.indd 12-13
4/3/2013 12:09:39 AM
xiv
Saraf Perifer
Prof. Dr. Made Wiryana, dr. SpAN(KIC) Konsultan Intensive Care dan Kepala Bagian /SMF Anestesiologi-Terapi Intensif dan Penanganan Nyeri FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali Dr. M.Z. Arifin, dr. SpBS(K) Kepala Bagian/SMF Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK UNPAD)/RS Hasan Sadikin-Bandung
Daftar Isi
Dr. Nyoman Golden, dr. SpBS(K) Kepala Divisi Neurooncology Konsultan SMF Bedah Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali Dr. Tjokorda G.B. Mahadewa, M.Kes, dr. SpBS Kepala Divisi Neurospine & Peripheral Nerve Konsultan SMF Bedah Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali Dr. DPG Purwa Samatra, dr.SpS(K) Kepala Bagian/SMF Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali
Prakata ................................................................................................................ Kata Pengantar .................................................................................................
Dr. Thomas Eko Purwata, dr.SpS(K) Konsultan SMF Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali
Kata Sambutan Rektor UNUD .....................................................................
I Gusti Ngurah Purna Putra, dr. SpS(K) Konsultan SMF Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali
Daftar Isi ...........................................................................................................
Aida Tantri, dr.SpAn-KAR Konsultan Anestesi Regional Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM Pryambodho,dr.SpAn-KAR Konsultan Anestesi Regional Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM Tjokorda Gde Agung Senapathi, dr. SpAn-KAR Konsultan Anestesi Regional SMF/Bagian Anestesiologi-Terapi Intensif dan Penanganan Nyeri FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali Tjokorda Dalem Kurniawan, dr. SpRM Kepala SMF Rehabilitasi Medik FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali
Daftar Kontributor ..........................................................................................
1. Pendahuluan ............................................................................................. Abdul Hafid Bajamal 2. Epidemiologi Cedera Saraf Tepi ............................................................ MZ Arifin 3. Anatomi dan fisiologi saraf tepi ............................................................ DPG Purwa Samatra 4. Patofisiologi Cedera saraf tepi ............................................................... Nyoman Golden 5. Diagnosis Cedera saraf tepi ................................................................... AA Raka Sudewi 6. Tatalaksana Cedera saraf tepi ................................................................. Kahdar Wiriadisastra 7. Cervical Root Syndrome .......................................................................... Tjokorda GB Mahadewa
xv
LO saraf Perifer-Juli.indd 14-15
4/3/2013 12:09:39 AM
xvi
Saraf Perifer
Saraf Perifer
xvii
8. Thoracic Outlet Syndrome ...................................................................... Tjokorda GB Mahadewa
25. Dasar-dasar Anestesi Regional .............................................................. Tjokorda GA Senapathi
9. Cedera Pleksus Brachialis ....................................................................... Tjokorda GB Mahadewa
26. Blok Saraf Perifer ...................................................................................... Tjokorda GA Senapathi
10. Subscapular dan Ulnar Neuropathy ..................................................... Tjokorda GB Mahadewa
27. Pengenalan Tehnik Regional Anestesi dengan Tuntunan USG...... Tjokorda GA Senapathi
11. Cedera Bahu dan Saraf tepi .................................................................... Tjokorda GB Mahadewa
28. Ringkasan ................................................................................................... Tjokorda GB Mahadewa
12. Carpal Tunnel Syndrome ....................................................................... Tjokorda GB Mahadewa
Daftar Pustaka
13. Ischialgia .................................................................................................... Tjokorda GB Mahadewa 14. Meralgia Paresthetica ............................................................................... Tjokorda GA Senapathi 15. Peroneus dan Saphenous Neuropathy ................................................. Tjokorda GB Mahadewa 16. Tarsal Tunnel Syndrome ......................................................................... Tjokorda GB Mahadewa 17. Cubital Tunnel Syndrome....................................................................... Tjokorda GB Mahadewa 18. Tumor Saraf Tepi....................................................................................... Sri Maliawan 19. Radial Nerve Entrapment ........................................................................ Andi Asadul Islam 20. Neuropati Perifer ...................................................................................... Made Wiryana 21. Elektrodiagnostik pada cedera saraf tepi ............................................ Thomas Eko Purwata, I G N Purna Putra 22. Tatalaksana Konservatif pada Cedera saraf tepi ................................ I G N Purna Putra, Thomas Eko Purwata 23. Rehabilitasi cedera saraf tepi ................................................................. Tjokorda Dalem Kurniawan, Made Ramayani 24. Sejarah Anestesia Regional saraf tepi ................................................. Darto Satoto, Aida Tantri, Pryambodho
LO saraf Perifer-Juli.indd 16-17
4/3/2013 12:09:40 AM
Biodata Editor
Dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M.Kes., dr. SpBS, putra Puri Peliatan Ubud-Gianyar, dari pasangan Tjokorda Gde Subamia, dr., dan A.A. Alit Suarthi pada 6 September 1974. Pendidikan dokter diselesaikan di FK UNUD (1999), Magister Kesehatan dan Spesialis Bedah Saraf FK UNPAD (2005), selesai Doktor di FK UNUD (2012) dan Spine Fellow Aichi Medical University (AMU) Japan; sebagai Kepala Divisi Neurospine and peripheral nerve di FK UNUD/ RSUP Sanglah 2005-sekarang. Aktif berbicara di seminar ilmiah, Nasional maupun Internasional, dengan karya tulis ilmiah yang dihasilkan dan dimuat di jurnal Nasional maupun Internasional. Beberapa tulisannya berjudul: Complete Sudden Paraplegia from Lumbar Schwannoma: A case report (Journal of Neurosurgery-USA); Intramedulary Neurosarcoidosis in the medula oblongata: A case report (Surgical Neurol Journal USA); C7 fracture treated with a pedicle screw system under a navigation guidance: A case report, diterbitkan Singapore Medical Journal; A comparative study of bilateral laminotomy and laminectomy with fusion for lumbar stenosis (Neurology Asia). Menulis buku Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Tulang Belakang (Sagung Seto, 2009) dan Cedera Saraf Tulang Belakang (Udayana University Press, 2009) yang dijadikan referensi kuliah para mahasiswa kedokteran dan residennya yang sedang pendidikan spesialisasi Bedah.
xix
LO saraf Perifer-Juli.indd 18-19
4/3/2013 12:09:41 AM
xx
Saraf Perifer
Selain beraktivitas sebagai pendidik, dokter spesialis bedah saraf, intruktur “ATLS”, aktif sebagai Ketua Yayasan Otak dan Saraf Tulang Belakang (YOSTB), anggota Dewan Penyantun Persaudaraan Beladiri Kempo Indonesia (PERKEMI) Bali, pelatih dan wasit Randori Nasional KEMPO Indonesia.
Bab 1
Pendahuluan Abdul Hafid Bajamal
S
araf tepi terdiri dari saraf kranial dan spinal yang menghubungkan otak dan medula spinalis ke jaringan tepi. Medula spinalis terdiri dari 31 pasang saraf spinal yang mengandung campuran serabut-serabut sensorik dan motorik. Dalam saraf tepi, serabut disusun dalam berkas terpisah yang dikenal dengan fascikel. Kurang dari setengah saraf dilapisi oleh lapisan myelin. Serabut-serabut yang tak bermyelin berjalan sepanjang permukaan sel-sel Schwann. Tiap sel Schwann dikelilingi jaringan serabut-serabut kolagen retikular, yaitu endoneurium. Cedera saraf tepi biasanya sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor, laserasi oleh benda tajam, penetrasi trauma, trauma peregangan dan penekanan dan fraktur, dan luka tembak. Cedera saraf terjadi pada laki-laki muda dan sebagian besar kelompok umur produktif. Cedera saraf yang berhubungan dengan trauma menjadi berkurang setelah umur tujuh puluhan. Cedera saraf sebagian besar terjadi pada ekstremitas atas dan sebagian besar mengenai saraf ulnar, radial, dan digital. Pada negara berkembang kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab tersering cedera saraf tepi, cedera saraf yang disebabkan oleh injeksi intramuscular yang kurang aman juga masih sering terjadi (Eser dkk, 2009). Kerusakan saraf akibat trauma tergantung pada jenis, letak serta besarnya cedera pada saraf yang bersangkutan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya cedera saraf tepi, namun tiga penyebab paling sering yang menimbulkan cedera adalah luka terbuka, traksi, patah tulang serta cedera sendi. Lebih jarang lagi adalah kerusakan yang disebabkan oleh jepitan atau tekanan pada saraf karena pemasangan bidai atau bebat yang terlalu kencang, torniket, atau
1
LO saraf Perifer-Juli.indd 20-1
4/3/2013 12:09:41 AM
2
Saraf Perifer
keadaan yang menimbulkan iskemik. Kadang bisa terjadi kerusakan akibat penyuntikan yang kebetulan masuk di dalam jaringan saraf, misalnya nervus iskhiadikus (neuropati suntikan). Cedera saraf tepi dapat menyebabkan ketidakmampuan yang bermakna. Dalam menangani cedera saraf tepi membutuhkan lokasi yang akurat dan penilaian terhadap beratnya cedera (Eser dkk, 2009). Studi pada 938 pasien di Turki dengan cedera saraf dan distribusi cedera saraf menunjukkan bahwa cedera saraf tepi sebesar 1165; cedera Pleksus Brakhialis sebesar 76; dan cedera Pleksus Lumbalis sebesar 7. Umur rata-rata yang terkena adalah 31,8 tahun (terentang dari 2-81 tahun) dan ratio laki-laki terhadap perempuan sebesar 2,4:1. Cedera saraf yang paling sering adalah cedera saraf ulnar pada ekstremitas atas dan cedera saraf iskhiadikus pada ekstremitas bawah (Eser dkk, 2009).
Bab 2
Epidemiologi Cedera Saraf Tepi MZ Arifin
D
i negara berkembang, kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab tersering cedera saraf tepi, cedera saraf yang disebabkan oleh injeksi intramuscular yang kurang aman juga masih sering terjadi. Cedera saraf terjadi pada laki-laki muda dan sebagian besar kelompok umur produktif. Cedera saraf yang berhubungan dengan trauma menjadi berkurang setelah usia tujuh puluhan. Cedera saraf sebagian besar terjadi pada ekstremitas atas dan sebagian besar mengenai saraf ulnaris, radialis, dan digitalis. Data mengenai insiden dari cedera saraf tepi di Amerika Utara didapatkan dari populasi pasien trauma di Kanada, dimana dari 5777 pasien yang dirawat antara 1 Januari 1986 dan 30 November 1986, sebanyak 162 pasien diidentifikasi terkena cedera paling tidak pada satu saraf tepi, kurang lebih 2,8%. Dilaporkan insiden rata-rata dari cedera saraf dengan fraktur suprakondilar pada anak-anak berkisar antara 12-16%. Fraktur displace medial, sering berhubungan dengan penekanan pada saraf. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 86-100% dari cedera ini adalah neuropraksia (Eser dkk, 2009). Cedera saraf sering disertai dengan dislokasi, yang disebabkan oleh tarikan ke saraf, terjadi pada 18% kasus atau lebih banyak pada dislokasi lutut dan lebih dari 13% pada dislokasi hip posterior. Cedera saraf biasanya terjadi pada dislokasi bahu dengan angka insiden 48%. Pada tahun 1967, Bado melaporkan bahwa insiden dari palsy saraf radial dengan dislokasi kepala radial lateral sebanyak 20%. Literatur menyatakan bahwa cedera saraf dari dislokasi traumatic dan fraktur dislokasi dari hip memiliki angka insiden sebanyak 10% pada orang dewasa dan 5% pada anak-anak. Kehilangan aksonal pada dislokasi anterior bahu tampak pada 48% dari 77 pasien. Pada pasien tersebut,
3
LO saraf Perifer-Juli.indd 2-3
4/3/2013 12:09:42 AM
4
Saraf Perifer
sebanyak 51% berupa cedera saraf soliter dan saraf aksilari terdapat pada 42% pasien. Cedera saraf tepi biasanya akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Sebagian besar faktor etiologi adalah trauma musculoskeletal dan penyebab tersering trauma skeletal adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera saraf kemungkinan berhubungan dengan trauma langsung dan peregangan. Penyebab tersering kedua cedera saraf tepi adalah laserasi oleh benda tajam. Trauma penetrasi oleh benda tajam atau tumpul biasanya menyebabkan transeksi atau leserasi saraf dan rekonstruksi dini diindikasikan untuk cedera saraf tepi oleh benda tajam. Pada beberapa studi 11,2% penyebab adalah iatrogenik. Setengah dari cedera saraf sciatika berhubungan dengan injeksi intragluteal atau antroplasti pinggul. Pada negara berkembang, cedera saraf yang disebabkan oleh injeksi intramuskular yang kurang aman masih sering terjadi (Eser dkk, 2009). Mekanisme cedera saraf yang berhubungan dengan injeksi meliputi trauma jarum langsung, iskemia saraf, konstruksi melingkar dari jaringan parut, dan cedera serabut saraf langsung oleh agen neurotoksik. Selama prosedur injeksi, faktor-faktor penting meliputi titik tempat masuknya jarum, ukuran jarum, dan sudut tempat masuknya jarum. Luka tembak menyebabkan cedera saraf tepi sebesar 83,3% cedera pada studi di Pakistan dan 7,4% pada studi di Kanada dan sebesar 9,3% pada studi di Turki. Pada negara berkembang, kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab tersering. Kecelakaan ini sebagian besar menyebabkan cedera Pleksus brakhialis dan Pleksus lumbalis. Faktor lain meliputi tarikan dan tekanan pada Pleksus brakhialis dan luka tembak pada cedera Pleksus lumbalis. Luka tembak adalah faktor penyebab lain dari cedera Pleksus brakhialis. Selain karena trauma, cedera saraf tepi juga dapat disebabkan oleh infeksi (difteri, TBC, lepra), keracunan (kemoterapeutik, antibiotik, logam berat, gas CO), dan gangguan metabolik (diabetes militus, leukemia) (Eser dkk, 2009; Robinson, 2005).
Bab 3
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi DPG Purwa Samatra
S
istem persarafan terdiri dari neuron dan neuroglia yang tersusun membentuk sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf tepi merupakan sistem saraf di luar sistem saraf pusat yang membawa pesan dari dan menuju sistem saraf pusat untuk menjalankan otot dan organ tubuh. Tidak seperti sistem saraf pusat, sistem saraf tepi tidak dilindungi tulang, sehingga rentan terhadap trauma (Snell,2006). Sistem saraf tepi terbagi menjadi sistem saraf somatik dan sistem saraf otonomik. Saraf-saraf tersebut mengandung serabut saraf aferen dan eferen. Pada umumnya serabut eferen terlibat dalam fungsi motorik, seperti kontraksi otot atau sekresi kelenjar sedangkan serabut aferen biasanya menghantarkan rangsang sensorik dari kulit, selaput lendir dan struktur yang lebih dalam (Groot ,1997). Stimulasi diterima oleh reseptor sistem saraf tepi yang selanjutnya akan dihantarkan oleh sistem saraf sensoris dalam bentuk impuls listrik ke sistem saraf pusat. Pada sistem saraf pusat impuls diolah dan diinterpretasi untuk kemudian jawaban atau respons diteruskan kembali melalui sistem saraf tepi menuju efektor yang berfungsi sebagai pencetus jawaban akhir. Sistem saraf yang membawa jawaban atau respons adalah sistem saraf motorik. Jawaban yang terjadi dapat berupa jawaban yang dipengaruhi oleh kemauan (volunter) dan jawaban yang tidak dipengaruhi oleh kemauan (involunter). Jawaban volunter melibatkan sistem saraf somatik sedangkan yang involunter melibatkan sistem saraf otonom. Efektor dari sistem saraf somatik adalah otot rangka sedangkan untuk sistem saraf otonom, efektornya adalah otot polos, otot jantung dan kelenjar sebasea (Ganong,2003).
5
LO saraf Perifer-Juli.indd 4-5
4/3/2013 12:09:43 AM
6
Saraf Perifer
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi
III.1 ANATOMI SISTEM SARAF TEPI Struktur serabut saraf tepi Neuron merupakan unit fungsional dasar susunan saraf. Neuron terdiri dari badan sel saraf dan prosesus-prosesusnya. Badan sel saraf merupakan pusat metabolisme dari suatu neuron. Badan sel mengandung nukleus dan sitoplasma. Nukleus terletak di sentral, berbentuk bulat dan besar. Di dalam sitoplasma terdapat retikulum endoplasma serta mengandung organel seperti substansi Nissl, apparatus Golgi, mitokondria, mikrofilamen, mikrotubulus dan lisosom. Membran plasma dan selubung sel membentuk membran semipermeabel yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui membran ini dan menghambat ion-ion lainnya. Processus sel neuron terbagi menjadi dendrit-dendrit dan sebuah akson. Neuron mempunyai banyak dendrit yang menghantarkan impuls saraf ke arah badan sel saraf. Akson merupakan processus badan sel yang paling panjang menghantarkan impuls dari segmen awal ke terminal sinaps. Segmen awal badan sel merupakan elevasi badan sel berbentuk kerucut yang tidak mengandung granula Nissl dan disebut akson hillock (Snell, 2006).
Neuron memiliki kemampuan metabolisme yang sangat tinggi, tetapi tidak dapat menyimpan zat-zat makanan dan oksigen. Oleh karena itu neuron perlu didukung oleh neuroglia yang menyuplai zat makanan dan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Sel-sel pendukung yang sangat penting antara lain adalah sel satelit dan sel Schwann. Sel Schwann pada susunan saraf tepi bersifat seperti oligodendroglia pada SSP. Sebagian besar akson pada susunan saraf tepi dilapisi myelin dan membentuk segmen-segmen seperti di SSP. Tiap sel Schwann hanya melapisi satu segmen, berbeda dengan oligondendroglia yang mengembangkan beberapa “tangan” ke tiap segmen. Sel Schwann juga berbeda dari oligodendria dalam hal pembentukan sel baru. Bila terjadi kerusakan pada saraf tepi, sel Scwhann membentuk serangkaian silinder yang berperan sebagai penunjuk arah pertumbuhan akson (Kahle,2000). Jenis-jenis neuron diklasifikasi berdasarkan morfologi neuron yang ditentukan oleh jumlah, panjang, dan bentuk percabangan neuritnya antara lain neuron unipolar, neuron bipolar dan neuron multipolar. Pada sistem saraf tepi neuron sensorik berbentuk unipolar dan neuron motorik berbentuk multipolar (Sukardi, 1985).
NEURON
Axon Terminals (transmitter)
Nucleus
Dendrites (receivers)
Cell Body
Axon (the conducting fiber)
Gambar 3.1.
LO saraf Perifer-Juli.indd 6-7
Nodes of Ranvier
Nucleus Schwann-cell nucleus Axon
Myelin Sheath (insulating fatty layer that speeds transmision)
Struktur neuron (Sumber dari http://www.brianjogrady.com/braincongenital.html).
Schwann-cell nucleus
Myelin sheath
Schwan’s Cells (they make the myelin)
Node of Ranvier
7
Gambar 3.2.
Axon
Cross-section
Axon terminals
Serabut saraf bermielin di susunan saraf tepi (Sumber dari http://www.cell.com/ trends/biotechnology//retrieve/pii/S0167779997011657).
4/3/2013 12:09:44 AM
8
Saraf Perifer
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi
Basic Neuron Types
9
Node of Ranvier Layers of myelin Axon
Schwann cell Nodes of Ravier
Gambar 3.4. Bipolar (Interneuron)
Gambar 3.3.
Unipolar (Sensory Neuron)
Multipolar (Motoneuron)
Piramidal Cell
Jenis neuron pada susunan saraf tepi (Sumber dari http://dsc.discovery.com/tvshows/curiosity/topics/nervous-system-pictures.htm).
Pembentukan mielin pada susunan saraf tepi Mielin adalah campuran dari lipid dan protein. Pada susunan saraf tepi, selubung mielin diproduksi oleh sel Schwann dan hanya terdapat satu sel Schwann untuk setiap segmen serabut saraf. Mulamula serabut saraf atau akson membentuk lekukan di tepi sebuah sel Schwann. Lalu membran eksternal sel Schwann membentuk mesakson yang menggantung akson di dalam sel Schwann saat akson menyatu dengan sel Schwann. Selanjutnya sel Schwann berotasi mengelilingi akson sehingga membran plasma membungkus akson berbentuk seperti spiral. Arah spiral sesuai dengan arah jarum jam pada beberapa segmen, dan berlawanan arah dengan jarum jam pada segmen lain. Awalnya selubung ini longgar, namun sitoplasma antar lapisan membran menghilang secara bertahap. Yang tertinggal hanya sitoplasma yang ada di dekat permukaan dan daerah nukleus. Selubung menjadi ketat dengan maturasi serabut saraf. Ketebalan mielin bergantung pada jumlah spiral membran sel Schwann. Selubung sel Schwann dan mielin yang dikandungnya, diselingi setiap 1-2 mm oleh konstruksi berbentuk cincin yang disebut nodus Ranvier. Pada nodus Ranvier, dua sel
LO saraf Perifer-Juli.indd 8-9
Nucleus of Schwann cell
Serabut saraf bermielin yang memperlihatkan nodus Ranvier (Sumber dari http:// www.mcatzone.com/glosslet.php?letter=n&pagenum=2).
Schwann yang berdekatan berakhir dan selubung mielin menjadi lebih tipis. Nodus ini memainkan peranan penting dalam perkembangan efek rangsangan dari reseptor ke medula spinalis atau sebaliknya, dengan mengadakan konduksi cepat impuls melalui konduksi saltatori dari potensial aksi. Makin tebal selubung mielin makin cepat konduksi serat saraf (Snell,2006). Sel-sel Schwann dilapisi oleh selapis jaringan ikat, yaitu endoneurium. Jaringan ikat yang melapisi beberapa berkas serat saraf disebut perineurium dan jaringan ikat yang membungkus saraf lebih besar disebut epineurium. Lapisan jaringan ikat ini melindungi saraf dari cedera mekanis dan kontak langsung dengan bahan yang merusak saraf. Jaringan ikat membawa pembuluh darah yang memberi makan serat saraf (Duus,1996).
Komponen sistem saraf tepi Susunan saraf tepi terdiri dari susunan saraf motorik dan saraf sensorik. Susunan saraf ini dimulai dari neuron motorik dan neuron sensorik menuju ke neuromuscular junction dan otot. Terdapat 31 pasang nervus spinalis yang meninggalkan medula spinalis dan berjalan melalui foramina intervertebralis di kolumna vertebralis. Masing-masing nervus spinalis berhubungan dengan medula spinalis melalui 2 radiks yaitu radiks anterior dan radiks posterior. Radiks anterior terdiri dari berkas serabut saraf yang membawa impuls saraf dari SSP (serabut eferen). Radiks posterior terdiri dari berkas serabut saraf yang membawa im-
4/3/2013 12:09:45 AM
10
Saraf Perifer
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi
Skeletal muscle of back Dorsal Root Ganglion Dorsal Horns Sensory neuron
Sensory receptors Dorsal of back Root Spinal Nerve Dorsal Ramus MIXED MIXED Ventral Ramus MIXED
Ventral Root Ventral Horns
Gambar 3.5.
Ventral horn motor neurons
Sensory receptors of limbs and trunk
Segmen radiks spinalis (Sumber dari http://www.med.umich.edu/lrc/coursepages/ m1/anatomy2010/html/modules/spinal_cord_module/spinalcord_12.html).
puls menuju SSP (serabut aferen). Badan sel serabut saraf ini terletak dalam pembesaran radiks posterior yang disebut ganglion spinalis. Radiks anterior bergabung dengan radiks posterior tepat di distal ganglion spinalis, dan keduanya membentuk saraf tepi spinalis. Jadi setiap segmen tubuh mempunyai pasangan saraf spinalisnya masing-masing (Snell,2007). Dalam perjalanannya, saraf tepi bercabang dan bergabung dengan saraf tepi di dekatnya sehingga membentuk jaringan saraf yang disebut pleksus nervosus. Pleksus memungkinkan redistribusi serabut saraf di dalam saraf tepi yang berbeda. Pembentukan pleksus-pleksus ini menyebabkan serat-serat dari setiap pasang radiks bercabang menjadi saraf-saraf tepi yang berbeda, artinya setiap saraf tepi dibuat dari serat beberapa radiks segmental yang berdekatan (Duus,1996).
11
impuls yang datang dari otot, sendi, fascia dan jaringan lain mencapai tingkat kesadaran, kebanyakan melayani kontrol otomatis aktivitas motorik yang diperlukan untuk berjalan dan berdiri (Duus,1996). Ke arah tepi dari saraf, serat aferen yang berasal dari satu radiks dorsalis bergabung dan mensuplai daerah segmen tertentu dari kulit disebut dermatom. Jumlah dermatom adalah sebanyak radiks segmental. Karena dermatom berhubungan dengan berbagai segmen radiks medula spinalis maka mempunyai nilai diagnostik yang besar dalam menentukan tingkat ketinggian dari kerusakan medula spinalis (Duus,1996). Serat yang membentuk saraf tepi berasal dari berbagai radiks. Akibatnya, hilangnya sensorik yang disebabkan oleh kerusakan saraf tepi memperlihatkan pola yang sangat berbeda dengan yang disebabkan oleh kerusakan radiks spinalis. Tumpang tindih daerah sensorik dari saraf yang berdekatan agak terbatas dibandingkan dengan tumpang tindih daerah sensorik radikular. Keadaan ini sangat mempermudah deteksi adanya gangguan sensorik (Duus,1996).
Susunan saraf tepi sensorik Susunan saraf tepi sensoris adalah sepanjang jalur sensoris antara reseptor di kulit sampai dengan ganglion spinalis. Semua impuls yang berasal dari reseptor di kulit, otot, sendi, dan organ dalam dikirim ke pusat melalui saraf tepi, pleksus, saraf spinalis, radiks posterior dan kemudian membentuk ganglion spinalis yang berada di foramen intervertebralis, selanjutnya menuju ke dalam medula spinalis untuk diteruskan ke otak. Ketika saraf mencapai ganglion spinalis, serat terbagi menjadi kelompok menurut fungsi khususnya. Hanya beberapa dari
LO saraf Perifer-Juli.indd 10-11
Gambar 3.6.
Peta Dermatom (Sumber dari http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/dermatome).
4/3/2013 12:09:45 AM
12
Saraf Perifer
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi
Jika saraf tepi rusak, daerah hipestesia umumnya lebih besar daripada daerah hipalgesia. Yang mungkin sulit adalah membedakan gangguan sensorik yang disebabkan oleh cedera radikular C8 dari gangguan sensorik yang disebabkan oleh kerusakan saraf ulnaris, dan gangguan sensorik cedera radikular L5-S1 dengan gangguan sensorik yang disebabkan oleh kerusakan saraf peronealis, karena daerah yang terlibat hampir sama. Setiap saraf sensorik tepi memiliki daerah yang pasti untuk inervasinya memungkinkan untuk mengidentifikasi kerusakan saraf melalui pemeriksaan yang cermat (Duus,1996). Serabut saraf dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan diameternya, kecepatan hantarannya, dan ciri-ciri fisiologisnya. Serabut A adalah serabut yang besar dan bermielin dengan hantaran yang cepat dan menghantarkan berbagai impuls motorik atau sensorik. Serabut ini paling peka terhadap gangguan akibat tekanan mekanik atau kekurangan oksigen. Serabut B lebih kecil daripada serabut A dan bermielin, serabut ini menghantarkan dengan lambat dan berfungsi otonom. Serabut C adalah serabut yang paling kecil dan tidak bermielin, serabut ini menghantarkan impuls paling lambat dan menghantarkan rasa nyeri dan berfungsi otonom (Snell,2007). Serabut yang berdiameter besar paling mudah dirangsang dengan rangsangan listrik. Saraf itu sendiri paling peka terhadap perangsangan dan otot paling kurang peka, sedangkan sambungan mioneural
Tabel 3.1. Klasifikasi serabut saraf (Sumber dari Snell,2007).
Tipe serabut
Kec.hantar (m/dt)
Diameter (µm)
Fungsi
Mielin
Alfa
70-120
12-20
Motorik,otot rangka
Ya
Beta
40-70
5-12
Sensoris, raba, tekan, getar
Ya
Gamma
10-15
3-6
Muscle spindle
Ya
Delta
6-30
2-5
Nyeri (tajam, lokal), suhu, raba
Ya
Serabut tipe B
3-15
<3
Otonom praganglion
Ya
Serabut tipe C
0,5-2,0
0,4-1,2
Nyeri (difus, dalam), suhu, otonom postganglion
Tidak
Serabut tipe A
LO saraf Perifer-Juli.indd 12-13
13
mempunyai tingkat kepekaan di antara keduanya. Kecepatan hantaran saraf yang normal 50-60 m/d pada nervus ulnaris dan nervus medianus dan 45-55 m/d pada nervus peronealis komunis. Kecepatan hantaran saraf dapat melambat secara mencolok akibat penurunan suhu, kompresi dan kondisi yang lain. Kecepatannya mungkin berkurang 2 m/d setiap penurunan suhu 1 derajat celcius. Kecepatan hantaran paling cepat terjadi pada serabut bermielin (sampai 50 kali lebih cepat daripada serabut yang tidak bermielin) (Groot,1997).
Susunan saraf tepi motorik Susunan saraf tepi motorik dimulai dari motor neuron di kornu anterior medula spinalis. Neuron-neuron yang menyalurkan impuls motorik dari medula spinalis ke sel otot skeletal dinamakan lower motor neuron. LMN dengan aksonnya dinamakan final common pathway impuls motorik. LMN dibedakan menjadi alfa motorneuron (berukuran besar dan menjulurkan aksonnya yang tebal ke serabut otot ekstrafusal) dan gamma motorneuron (berukuran kecil, aksonnya halus dan mensarafi otot intrafusal). Tiap motorneuron menjulurkan hanya satu akson yang ujungnya bercabang-cabang sehingga setiap akson dapat berhubungan dengan sejumlah serabut otot. Penghambatan gerakan dilakukan oleh interneuron (sel Renshaw). Akson menghubungi sel serabut otot melalui sinaps. Bagian otot yang bersinap itu dikenal sebagai motor end plate, yang merupakan penghubung antar neuron dan otot. Setiap serabut otot memiliki satu motor end plate. Ujung-ujung terminal dari akson mengandung mitokondria dan gelembung-gelembung sinaptik yang mengandung asetilkolin. Pelepasan asetilkolin melalui membran presinaptik terjadi saat potensial aksi tiba di membran tersebut. Terlepasnya asetilkolin mengakibatkan depolarisasi pada membran postsinaptik. Interaksi antara asetilkolin dengan reseptornya menghasilkan perubahan pada konduktans di membran postsinaptik, yang mempermudah permeabilitas bagi ion natrium dan kalium. Ion-ion mengalir melalui kanal yang dibuka oleh interaksi reseptor asetilkolin mengakibatkan depolarisasi setempat pada motor end plate, sehingga melepaskan potensial aksi yang membuat serabut otot berkontraksi. Aksi asetilkolin pada membran postsinaptik berlangsung sangat cepat. Penghentian aksi dilakukan oleh enzim asetilkolinesterase yang membelah molekul menjadi 2 bagian kolin dan asetat (Mardjono,2006).
4/3/2013 12:09:46 AM
14
Saraf Perifer
Otot-otot individual dipersarafi oleh beberapa serat-serat radiks spinalis ventral (persarafan plurisegmental). Akibatnya, jika satu radiks dipotong, tidak ada kehilangan fungsi yang nyata. Paralisis pola radikular hanya tampak bila beberapa radiks yang berdekatan rusak. Setiap radiks motorik mempunyai otot indikatornya sendiri, sehingga memungkinkan untuk mendiagnosis kerusakan radiks dengan elektromiogram, terutama jika daerah servikal atau lumbal terlibat (Duus,1996). Radiks ventralis dan dorsalis bergabung di foramen intervertebrale sehingga menjadi satu berkas saraf spinal dan dinamakan sesuai foramen intervertebrale yang dilewati. Di tingkat torakal dan lumbal atas, saraf spinal langsung berlanjut sebagai saraf tepi. Saraf tepi yang berasal dari radiks C2-C4 membentuk Pleksus Servikalis dan saraf tepi dari C5-T1 membentuk Pleksus Brakhialis, terdiri dari 3 trunkus utama yaitu trunkus superior (C5,C6), medial (C7) dan inferior (C8,T1). Saraf yang berasal dari T12-L4 membentuk Pleksus Lumbalis dan saraf yang berasal dari L5-S3 membentuk Pleksus Sakralis. Pleksus Servikalis dan Pleksus Brakhialis terdapat pada pangkal ekstremitas atas, dan Pleksus Lumbalis serta Pleksus Sakralis terdapat pada pangkal ekstremitas bawah. Sehingga serabut saraf yang berasal dari berbagai segmen medula spinalis disusun dan didistribusikan secara efisien di dalam trunkus saraf, yang berbeda menuju berbagai bagian ekstremitas atas dan bawah (Mardjono,2006). Pleksus Brakhialis membentuk 3 berkas yaitu fasikulus lateralis, posterior dan medialis sesuai dengan topografinya terhadap a.aksilaris. Fasikulus posterior merupakan induk n.radialis, fasikulus medialis menjadi pangkal n.ulnaris, sedangkan n.medianus disusun oleh serabut dari fasikulus lateralis dan medialis. Sindrom horner berkorelasi dengan cedera di Pleksus Brakhialis karena sindrom horner dihasilkan oleh terputusnya hubungan ortosimpatetik dari ganglion servikale superior yang terletak di daerah Pleksus Brakhialis. Enam saraf tepi penting keluar dari Pleksus Brakhialis yaitu n.torakalis longus, n.aksilaris, n.radialis, n.muskulokutaneus, n.medianus dan n.ulnaris. Pada sindrom Pleksus Brakhialis akibat proses difus terdapat gejala motorik dan sensorik terutama di area C5 dan C6. Sindrom kelumpuhan akibat cedera Pleksus Brakhialis yaitu sindrom kelumpuhan Erb-Duchene (bagian atas Pleksus Brakhialis) dan sindrom kelumpuhan Klumpke (bagian bawah Pleksus Brakhialis) (Mardjono,2006). Penataan Pleksus Lumbosakralis lebih sederhana daripada Pleksus Brakhialis. Pleksus Lumbosakralis terdiri dari Pleksus Lumbalis dan Pleksus
LO saraf Perifer-Juli.indd 14-15
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi
15
Brachial Prexus
Gambar 3.7.
Pleksus Brakhialis (Sumber dari http://www.medicalook.com/human_anatomy/ organs/Brachial_nerve_plexus.html).
Sakralis. Pleksus Lumbalis disusun oleh cabang anterior saraf spinal L1,2,3 dan sebagian L4. Saraf tepi yang berinduk pada Pleksus Lumbalis adalah n. kutaneus femoralis lateralis, n.femoralis, n.genitofemoralis dan n.obturatorius. Pleksus Sakralis disusun oleh cabang anterior saraf spinal L4-S3. Saraf tepi kutan yang berasal dari Pleksus Sakralis adalah n.gluteus superior dan inferior, n.kutaneus femoralis posterior dan n.iskiadikus. Saraf tepi kutan yang mengurus kulit daerah inguinal ialah n.ilioinguinalis, sedangkan daerah kulit tungkai atas lainnya disarafi n.kutaneus femoralis lateralis dan n.kutaneus femoralis anterior. Persarafan kutan tungkai bawah, bagian medial diurus cabang Pleksus Lumbalis dan bagian lateral posterior diurus oleh cabang Pleksus Sakralis. Seluruh kulit kaki, kecuali yang menutupi maleolus medialis, diurus cabang Pleksus Sakralis. N.iskiadikus merupakan kelanjutan Pleksus Sakralis, pada fosa poplitea n.iskiadikus bercabang dua yaitu n.tibialis dan n.peroneus komunis. Cabang kutan n.tibialis adalah n.kutaneus surae medialis, n.plantaris dan n.plantaris medialis. Cabang kutan n.peroneus komunis ialah n.kutaneus surae lateralis, n.peroneus profundus dan superfisialis, n.kutaneus dorsalis pedis intermedius dan n.kutaneus dorsalis pedis medialis (Netter,2002).
4/3/2013 12:09:46 AM
16
Saraf Perifer
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi
LUMBOSACRAL PLEXUS Lumbosacral spine
Femoral nerve Common peroneal nerve
Nerve roots
Sciatic nerve
Sympathetic chain Lateral femoral cutaneous nerve
Genitofemoral nerve
Femoral nerve
Sacrum
Tibial nerve
Pudendal nerve
Selatic nerve ANTERIOR VIEW
Gambar 3.8.
17
distal dari tempat cedera, termasuk ujung-ujungnya yang disebut degenerasi Wallerian. Pada susunan saraf tepi, akson membengkak dan berbentuk ireguler pada hari pertama, dan akson terpecah menjadi fragmen-fragmen pada hati ketiga atau keempat serta debris dicerna oleh sel Schwann dan makrofag jaringan yang ada di sekitarnya. Seluruh akson akan hancur dalam waktu seminggu. Sementara itu selubung mielin akan terurai menjadi butir-butir lemak yang akan difagosit oleh makrofag jaringan (Snell,2006). Pertumbuhan kembali akson (motorik, sensorik dan otonom) mungkin terjadi pada susunan saraf tepi, bergantung pada adanya tabung endoneurial serta kemampuan khusus yang dimiliki oleh sel Schwann. Sel Schwann yang telah mengalami mitosis akan mengisi ruang di dalam membrana basalis tabung endoneurial potongan proksimal sampai ke nodus Ranvier berikutnya, potongan distal, hingga mencapai ujung akhir organ. Bila terdapat celah kecil antara potongan proksimal dan distal, sel Schwann yang telah memperbanyak diri membentuk sejumlah pita untuk menjembatani celah tersebut. Dibutuhkan beberapa
Pleksus Lumbosakralis (Sumber dari http://www.seifmedgraphics.com/seifstore/ index.php?main_page=product_info&cPath=7&products_id=58).
Reaksi neuron terhadap cedera saraf tepi Degenerasi akson merupakan perubahan yang terjadi pada sebuah sel saraf jika aksonnya terpotong atau mengalami cedera. Perubahan mulai timbul dalam 24-48 jam setelah cedera, besarnya perubahan tergantung pada beratnya cedera terhadap akson dan akan lebih besar jika cedera terjadi di dekat badan sel. Sel saraf membengkak dan menjadi bulat, nukleus membengkak dan terletak eksentrik serta granula Nissl tersebar ke arah pinggir sitoplasma. Ketahanan sitoplasma suatu neuron terhadap cedera bergantung pada adanya hubungan dengan nukleus meski secara tidak langsung. Nukleus berperan penting pada sintesis protein yang akan dibawa ke dalam proses sel dan menggantikan protein yang telah dimetabolisme oleh aktivitas sel. Akibatnya sitoplasma akson dan dendrit akan ssegera megalami degenerasi jika prosesus ini terpisah dari badan sel saraf. Neuron yang hancur dikeluarkan oleh aktivitas fagosit yaitu oleh sistem retikuloendotelial pada susunan saraf tepi. Pada susunan saraf tepi, terpotongnya sebuah akson diikuti oleh usaha untuk regenerasi dan perubahan reparatif badan sel. Jika akson sel saraf terputus, akan terjadi perubahan degeneratif pada segmen
LO saraf Perifer-Juli.indd 16-17
Gambar 3.9.
Reaksi neuron terhadap cedera saraf (Sumber dari http://www.medscape.com/ content/2004/00/48/00/480071/480071_fig.html).
4/3/2013 12:09:47 AM
18
Saraf Perifer
bulan agar akson mencapai organ akhir yang sesuai, tergantung pada tempat cedera. Kecepatan pertumbuhan diperkirakan sekitar 2-4 mm per hari. Filamen akson yang membesar dalam tabung endoneurial hanya mencapai sekitar 80% dari diameter awalnya. Akibatnya kecepatan konduksi saraf tidak sebesar kecepatan konduksi semula (Sukardi,1985).
III.2 FISIOLOGI SARAF TEPI Transmisi Sinaptik Neuron menghasilkan dan menghantarkan potensial aksi ke neuron lain melalui sinaps. Bentuk yang paling umum adalah sinaps yang terjadi antara akson sebuah neuron dengan dendrit atau badan sel neuron kedua. Ketika akson mendekati sinaps, maka dapat terjadi pelebaran terminal (bouton terminal) atau perluasan serial yang membentuk hubungan sinaps. Transmisi impuls pada sebagian besar sinaps melibatkan pelepasan dari neurotransmiter (Groot,1997). Pada keadaan istirahat dan tidak dirangsang, sebuah serabut saraf berada terpolarisasi dengan perbedaan potensial sekitar -80 Mv dengan bagian dalam lebih negatif daripada bagian luar. Potensial membran istirahat ini disebabkan oleh difusi ion natrium dan kalium melalui kanal pada membran plasma dan dipertahankan oleh pompa Natrium-Kalium (Na-K) dengan melibatkan transpor aktif yang membutuhkan Adenosine Tri Phospate (ATP) (Snell,2006). Sebuah potensial aksi dimulai oleh sebuah stimulus yang adekuat pada permukaan neuron pada segmen inisial akson yang merupakan bagian akson yang paling peka. Stimulus mengubah permeabilitas membran terhadap ion Na sehingga ion Na masuk ke akson dengan cepat. Ion-ion positif diluar aksolema berkurang dengan cepat hingga mencapai nol disebut dengan depolarisasi. Potensial istirahat -80 mV dengan bagian luar membran lebih positif daripada bagian dalam, potensial aksi sekitar +40 mV dengan bagian luar membran lebih negatif daripada bagian dalam. Potensial aksi saat ini bergerak sepanjang serabut saraf, ion Na yang masuk kedalam akson berkurang dan permeabilitas aksolema terhadap ion K meningkat. Sekarang ion K berdifusi keluar akson dengan cepat sehingga potensial membran istirahat kembali seperti semula ion Na keluar akson dan ion K kedalam akson. Permukaan luar aksolema kembali lebih positif daripada permukaan dalamnya (Hackett,1992). Kecepatan konduksi serabut saraf sebanding dengan daerah penampang melintang akson, serabut saraf yang lebih tebal menghantar-
LO saraf Perifer-Juli.indd 18-19
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi
19
kan saraf lebih cepat daripada yang berdiameter lebih kecil. Serabut motorik besar (serabut alfa) dapat mencapai kecepatan 70-120 meter per detik. Pada serabut saraf yang bermielin, selubung mielin berfungsi sebagai insulator. Akibatnya serabut saraf bermielin hanya dapat distimulasi pada nodus ranvier tempat akson terbuka dan potensial aksi melompat dari satu nodus ke nodus berikutnya (saltatory conduction). Mekanisme ini lebih cepat daripada mekanisme konduksi pada saraf yang tidak bermielin (Ganong,2003). Neurotransmiter yang digunakan untuk melanjutkan impuls ke otot skletal adalah asetilkolin. Asetilkolin dibentuk dalam mitokondria dari persenyawaan kolin dan asetil-koA, dengan bantuan asetil kolin transferase. Asetil kolin disimpan dalam vesikel sinaptik pada ujungujung saraf. Bila suatu impuls sampai pada membran presinaptik maka permeabilitas dari membran tersebut akan bertambah untuk Ca++. Influks dari Ca++ ini menyebabkan terlepasnya asetilkolin di dalam celah sinaptik. Dalam waktu singkat asetilkolin itu dapat sampai pada membran postsinaptik dan diterima oleh reseptor tertentu. Tertangkapnya asetilkolin oleh membran postsinap itu menyebabkan permeabilitas dari membran itu bertambah untuk ion Na dan K. Meningkatnya ion Na di dalam otot akan menimbulkan depolarisasi yang kemudian meluas keseluruh otot dan terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin kemudian diuraikan oleh asetilkolinesterase menjadi kolin dan asetat, sehingga membran post sinaptik itu menjadi sensitif kembali terhadap rangsang yang berikutnya. Selain neurotransmiter utama, dari membran prasinaps ke celah sinaps juga dikeluarkan zat-zat yang mampu memodulasi dan memodifikasi aktivitas neuron postsinaps dan disebut neuromodulator, seperti: asetilkolin (muskarinik), serotonin, histamin, neuropeptida, dan adenosin. Fungsi neuromodulator ini menguatkan, memperpanjang, menghambat atau membatasi efek neurotransmiter utama di membran postsinaps (Ngoerah,1991; Ganong,2003). Inhibisi presinaptik dan postsinaptik biasanya disebabkan oleh adanya perangsangan pada sistem tertentu yang bersinap konvergen pada suatu neuron post sinaptik (inhibisi aferen). Neuron-neuron juga dapat menghambat dirinya sendiri dalam bentuk umpan balik negatif (inhibisi umpan balik negatif). Setiap neuron motorik spinal biasanya memberikan satu cabang kolateral yang bersinap dengan interneuron inhibisi yang bersinap di badan sel neuron spinal itu dan neuron motorik spinal lain. Neuron inhibisi itu dinamakan sel Renshaw, sesuai nama penemunya. Neurotransmiter yang digunakan dalam sinaps sel Renshaw dengan sel motoneuron adalah Gamma Amino Butiric Acid (GABA). GABA ini dibentuk di dalam mitokondria dari sel
4/3/2013 12:09:47 AM
20
Saraf Perifer
Renshaw dan disimpan dalam vesikel sinaptik pada ujung-ujung akson sel itu. Bila ada impuls yang sampai pada ujung akson, maka GABA dilepas dicelah sinap dan menyebrang ke membran postsinap. GABA menambah permeabilitas dari membran postsinaptik, tapi hanya bagi ion kalium dan tidak bagi ion natrium. Kadar kalium dalam sel otot akan menurun sehingga potensial membran dari otot itu akan meningkat (hiperpolarisasi). Impuls yang berasal dari neuron motorik menggiatkan interneuron inhibisi untuk melepaskan mediator inhibisi, yang memperlambat atau menghentikan pelepasan impuls dari neuron motorik. Inhibisi presinaptik yang disebabkan oleh adanya jalur desenden yang berakhir di jalur aferen kornu dorsalis mungkin berperan dalam pengaturan gerbang pada transmisi nyeri (Ganong,2003). Setiap serabut saraf bermielin alfa besar yang masuk ke otot rangka bercabang-cabang dan selanjutnya berakhir pada sambungan neuromuskular atau motor end plate. Impuls saraf (potensial aksi) mencapai membran prasinaps motor end plate, membuka kanal-kanal voltage gate calcium (Ca) yang memungkinkan ion Ca masuk kedalam akson. Keadaan ini menstimulasi penggabungan beberapa vesikel sinaptik yang menyebabkan pelepasan asetilkolin ke celah sinap. Jika saraf tepi campuran terganggu, hanya otot yang dipersarafi oleh saraf ini yang mengalami paralisis, dan paralisis akan berhubungan dengan gangguan sensorik yang disebabkan oleh interupsi serat aferen. Paralisisnya bersifat flaksid. Otot tidak hanya paralisis, tapi juga hipotonik dan arefleks, karena interupsi dari refleks regangan monosinaptik. Atrofi dari otot yang paralisis dimulai setelah beberapa minggu, menggambarkan bahwa sel kornu anterior mempunyai pengaruh pada serat otot, yang merupakan dasar dalam mempertahankan fungsi otot normal. Dengan menggunakan Electromyography (EMG) untuk menilai kerusakan, memungkinkan untuk menentukan apakah kornu anterior, radiks anterior, pleksus atau saraf tepi yang terlibat (Snell, 2006).
Lengkung Refleks Refleks Monosinaptik (Refleks Regang) Refleks adalah suatu respons involunter terhadap suatu stimulus. Refleks bergantung pada keutuhan lengkung refleks. Dalam bentuk yang paling sederhana, sebuah lengkung refleks terdiri dari struktur anatomi: organ reseptor, neuron aferen, neuron efektor dan organ efektor. Lengkung refleks seperti ini hanya memiliki satu sinaps disebut lengkung refleks monosinaptik. Bila suatu otot rangka dengan per-
LO saraf Perifer-Juli.indd 20-21
21
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi
sarafan yang utuh diregangkan maka akan timbul kontraksi yang disebut refleks regang. Rangsangannya adalah regangan pada otot dan responsnya berupa kontraksi otot yang diregangkan. Reseptornya adalah kumparan otot (muscle spindle). Impuls yang timbul akibat peregangan dihantarkan ke SSP melalui serat saraf sensorik cepat yang langsung bersinap dengan neuron motorik otot yang teregang (Ganong, 2003). Beberapa persarafan segmental menimbulkan refleks otot sederhana yaitu: refleks tendon biceps brakhii C5-6 (fleksi sendi siku), refleks tendon triceps C7-8 (ekstensi sendi siku), refleks abdominalis superfisial atas (T6-7), tengah (T8-9), bawah (T10-12), refleks tendon patella (KPR) L2,3,4 (ekstensi sendi lutut), refleks tendon achilles (APR) S1-2 (plantar fleksi) (Duus,1996). Serat otot ekstrafusal berada dalam panjang yang tetap selama istirahat. Bila otot teregang, demikian juga gelendong otot, maka ujung saraf anulospiral segera bereaksi terhadap peregangan dengan mengirimkan potensial aksi ke motoneuron besar dalam medulla spinalis melalui serat aferen Ia konduksi cepat dan serat eferen tebal alfa1 yang konduksinya juga cepat ke otot ekstrafusal. Begitu otot berkontraksi, maka panjang asalnya akan kembali. Setiap regangan otot akan segera mencetuskan mekanisme ini. Dengan dikirimnya impuls ke moto-
dorsal root
cerebro-spinal ruid
Spinal Nerve relay neuron
ventral root Sensory (afferent) neuron
motor (efferent) neuron muscle
patella (knee cap)
spinal cord
femur ligament
Gambar 3.10. Refleks Monosinaptik (Sumber dari http://psychology.wikia.com/wiki/Reflex_arc).
4/3/2013 12:09:48 AM
22
Saraf Perifer
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi
neuron kornu anterior, perangsangan ini segera menyebabkan kontraksi singkat. Arkus refleks melibatkan tidak lebih dari 1 atau 2 segmen medulla spinalis, sehingga merupakan nilai diagnostik yang nyata dalam menentukan lokasi cedera (Duus, 1996).
Refleks Polisinaptik: Refleks Fleksor (Withdrawal Reflex) Jalur refleks polisinaps bercabang secara kompleks dan jumlah sinaps di tiap cabang bermacam-macam. Refleks fleksor merupakan refleks polisinaps khas yang terjadi sebagai jawaban terhadap rangsang nosiseptif dan biasanya nyeri di kulit, jaringan subkutan serta otot. Respons yang timbul berupa kontraksi otot fleksor dan inhibisi otot ekstensor, sehingga bagian yang terkena melakukan fleksi dan tertarik dari rangsang tersebut. Respons ekstensor menyilang (crossed extensor response) merupakan bagian dari refleks fleksor. Refleks ekstensor silang menunjukkan stimulasi aferen pada lengkung refleks menyebabkan fleksi pada ekstremitas ipsilateral dan ekstensi pada ekstremitas sisi kontralateral (Ganong, 2003). Berjalan di atas batu yang tajam dan runcing akan menyebabkan rasa sakit yang segera menimbulkan gerakan terprogram. Kaki
23
yang tangkas diangkat (fleksi) dan berat badan dipindahkan ke tungkai lain. Perpindahan segera akan menyebabkan jatuh bila otot-otot tubuh, bahu, leher dan lengan tidak segera mengkompensasi ketidakseimbangan dan memastikan posisi tegak dari tubuh. Peristiwa ini membutuhkan sirkuit yang agak rumit di medula spinalis yang berhubungan dengan daerah di pusat otak dan serebelum. Seluruh urutan ini terjadi dalam waktu 1 detik, dan tidak terjadi sampai terasa adanya nyeri. Bagian impuls dari otot, tendon, sendi dan jaringan yang lebih dalam, menuju serebelum melalui traktus spinoserebelaris (Duus,1996). Suatu refleks yang dibangkitkan pada satu sisi tubuh akan menyebabkan reaksi yang berlawanan pada ekstremitas sisi kontralateral. Refleks ekstensor silang menunjukkan stimulasi aferen pada lengkung refleks, menyebabkan fleksi pada ekstremitas ipsilateral dan ekstensi pada ekstremitas sisi kontralateral (Duus,1996).
���
interneurons
Afferent fiber
Extensor inhibited Flexor stimulated
Key: + Excitatory synapse – Inhibitory synapse
Efferent fiber
Efferent fiber
Flexor inhibited
Arm movements
Right arm (site of stimulus)
Extensor stimulated
Left arm (site of reciprocal activation)
Copyright ©2004 Pearson Education, Inc., publishing as Benjamin Cummings
Gambar 3.11. Refleks Polisinaptik (Sumber dari http://apbrwww5.apsu.edu/thompsonj/Anatomy &Physiology/2010).
LO saraf Perifer-Juli.indd 22-23
4/3/2013 12:09:48 AM
Bab 4
PATOFISIOLOGI CEDERA SARAF TEPI Nyoman Golden
Struktur Mikroskopis Saraf Serabut-serabut saraf tepi diklasifikasikan dalam hubungannya dengan kemampuan konduksinya, dimana umumnya diproporsikan dengan ukuran dan fungsi. Grup A terdiri dari serabut-serabut yang berdiameter di atas 20µm (dibagi menjadi α, β, γ, dan δ), grup B berdiameter di atas 3µm, dan grup C di atas 2µm. serabut-serabut yang paling tebal menunjukkan kemampuan konduksi yang lebih cepat. Serabut-serabut bermyelin yang terbesar kemungkinan merupakan motorik atau proprioseftif, dan yang terkecil baik yang bermyelin ataupun tidak merupakan autonomik atau sensori. Namun bagaimanapun, tidak mungkin menentukan serabut-serabut individual hanya berdasarkan tandatanda struktural saja (Osbourne, 2007). Dalam saraf tepi, serabut disusun dalam berkas terpisah yang dikenal dengan fasikulus. Kurang dari setengah saraf dilapisi oleh lapisan myelin. Serabut-serabut yang tak bermyelin berjalan sepanjang permukaan sel-sel Schwann. Tiap sel Schwann dikelilingi jaringan serabut-serabut kolagen retikular, yaitu endoneurium. Tiap fascikel ditutupi oleh epithelium, yaitu perineurium. Semua fascikel dikelilingi oleh epineurium (jaringan vascular longgar) yang menutupi saraf individual. Secara umum arteri regional mensuplai saraf dengan percabangan longitudinal yang beranastomosis secara bebas dalam epinerium, sehingga saraf-saraf tersebut dapat ditempatkan secara luas dari pangkalnya tanpa menimbulkan risiko pada suplai darahnya (Osbourne, 2007).
25
LO saraf Perifer-Juli.indd 24-25
4/3/2013 12:09:49 AM
26
Saraf Perifer
Blood supply
Patofisiologi Cedera Saraf Tepi
Epineurium
Perineurium Endoneurium
Schwann cell Myelin
Perineurium
Axon
Axon
Gambar 4.1.
Schwann cell
Struktur mikroskopis saraf grup A, B, dan C (Sumber dari Osbourne, 2007).
Patofisiologi Respon saraf terhadap cedera tidak hanya pada tempat cedera, namun juga meliputi tubuh sel yang terdapat pada medula spinalis dan ganglion. Di mana yang paling berperan adalah sel Schwann, makrofag dan sel-sel inflamasi (Burnett dan Zager, 2004).
Dasar Tipe Cedera Cedera yang berhubungan dengan peregangan merupakan tipe cedera yang umum terjadi. Saraf tepi secara herediter elastis karena endoneurium kolagennya, namun saat tarikan memaksa secara berlebihan kapasitas saraf untuk meregang, maka akan terjadi cedera. Jika paksaan tersebut besar, akan terjadi hilangnya kontinuitas secara komplet pada robekan terbuka Pleksus Brakhialis. Cedera pada tipe ini dapat dilihat pada isolasi (sebagai contoh pada Erb palsy dan cedera Pleksus Brakhialis saat lahir) atau dalam hubungannya dengan fraktur ekstremitas pada tempat di mana saraf dan tulang sangat berdekatan (sebagai contoh, cedera saraf radial setelah fraktur humeral) (Burnett dan Zager, 2004). Laserasi seperti yang disebabkan oleh goresan pisau merupakan tipe cedera saraf tepi yang sering lainnya, meliputi 30% cedera serius. Di mana cedera ini dapat dilakukan transeksi komplet, sehingga lebih sering beberapa elemen saraf masih ada yang mamiliki kontinuitas. Kompresi merupakan tipe tersering ketiga dari cedera saraf tepi. Cedera
LO saraf Perifer-Juli.indd 26-27
27
ini meliputi ‘Saturday Night palsy’ yang disebabkan oleh kompresi saraf radialis dan juga entrapment neuropathi dan tidak meliputi pemotongan atau robekan elemen saraf. Kehilangan total fungsi motorik dan sensorik dapat terjadi, namun patofisiologi terjadinya hal ini masih belum jelas karena kontinuitas saraf masih terjaga. Dua mekanisme patologi dipercaya berperan pada cedera ini: kompresi mekanik dan iskemia. Setidaknya kompresi dalam waktu yang singkat, iskemia dan tidak hanya penekanan saja yang menyebabkan blokade konduksi fisiologikal secara resultan. Secara nyata iskemia jangka pendek dapat meningkatkan blokade yang tidak dapat ditentukan, namun serabut-serabut besar bermyelin terlihat lebih rentan terhadap efek iskemik daripada serabutserabut kecil tak bermyelin. Terjadi sedikit atau tidak terjadi perubahan histologikal pada cedera ini, dan efeknya reversibel kecuali jika iskemia menetap selama lebih dari kira-kira 8 jam (Burnett dan Zager, 2004). Deformasi mekanik merupakan mekanisme primer pada kasuskasus yang lebih berat pada cedera kompresi seperti Saturday Night palsy yang mana fungsinya dapat hilang selama beberapa minggu dan penyembuhan secara penuh tidak selalu terjadi. Eksperimen dengan pneumatic cuff untuk membuat cedera kompresi jangka pendek memperlihatkan bahwa saraf menglami perubahan degeneratif pada pinggir area kompresi dan tidak di bawah pusat cuff di mana iskemia lebih berat. Pemeriksaan ultrastruktural dari saraf memperlihatkan bahwa aksoplasma dan myelin di bawah cuff terdorong menjauhi tempat kompresi yang terbesar dan menuju pinggir cuff, deformasi mekanik bertanggung jawab terhadap cedera ini (Burnett dan Zager, 2004).
Klasifikasi Cedera Saraf Cedera saraf tepi dapat diklasifikasikan dengan menggunakan klasifikasi Seddon. Seddon membagi cedera saraf berdasar tingkat keparahannya menjadi tiga kategori: neurapraksia, aksonotmesis, dan neurotmesis.
Neuropraksia Neurapraksia, yaitu tipe cedera paling ringan. Dimana terjadi sedikit atau tidak terjadi cedera struktural karena tidak adanya kehilangan kontinuitas saraf, sehingga tidak terjadi kehilangan kemampuan fungsional. Gejala-gejalanya bersifat sementara dan sebagian besar disebabkan oleh blokade konduksi lokal yang diinduksi oleh ion pada tempat cedera, meskipun terjadi sedikit perubahan dari struktur myelin,
4/3/2013 12:09:50 AM
28
Saraf Perifer
Patofisiologi Cedera Saraf Tepi
29
Endoneurium
Axon
Gambar 4.2.
Myelin
Neuropraksia(Sumber dari www.fotosearch.com).
sebagai akibat dari kombinasi kompresi mekanik dan iskemia. Tidak ada pemotongan atau robekan pada elemen-elemen neural dan terdapat sedikit atau tidak ada terlihat perubahan histologikal. Efeknya bersifat reversibel, kecuali jika iskemia menetap selama kurang lebih 8 jam. Sebagai contoh dari tipe cedera ini meliputi entrapment neuropathi, seperti carpal tunnel syndrome, dan Saturday night palsy, yaitu paralisis saraf radial yang disebabkan oleh penekanan pada lengan setelah seseorang terjatuh pada posisi tidur. Terjadi penyembuhan yang sempurna dari neuropraksia yang secara normal dalam beberapa minggu atau bulan (Robinson, 2005; Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004).
Aksonotmesis Adalah istilah yang digunakan saat terjadi intrupsi komplet dari saraf akson dan lapisan myelinnya, namun struktur-struktur mesenkimal seperti perineurium dan epineurium seluruhnya atau sebagian utuh. Tipe cedera ini kemungkinan terlihat pada isolasi, seperti pada cedera Pleksus Brakhialis dihubungkan dengan kelahiran, atau dalam hubungannya dengan fraktur seperti cedera saraf radial sekunderi terhadap fraktur humerus. Laserasi seperti yang disebabkan oleh pecahan kaca, juga merupakan tipe cedera yang sering menyebabkan aksonotmesis. Prognosis dari aksonotmesis tergantung dari luasnya cedera. Degenerasi akson dan myelin terjadi di bagian distal dari cedera, menyebabkan tidak terjadinya inervasi secara komplet. Penyembuhan untuk kedepannya sangatlah bagus pada cedera tersebut karena sisa mesenkimal yang tidak mengalami cedera menyediakan bagian untuk tunas akson selanjutnya untuk menginervasi kembali organ targetnya (Robinson, 2005; Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004).
LO saraf Perifer-Juli.indd 28-29
Gambar 4.3.
Aksonotmesis (Sumber dari www.fotosearch.com).
Neurotmesis Terjadi saat saraf, bersama dengan stroma yang mengelilinginya terputus. Kehilangan fungsi terjadi secara komplet. Pada tipe ini tidak terjadi kesembuhan spontan dan bahkan setelah operasi prognosisnya buruk karena pembentukan jaringan parut dan hilangnya mesenkimal dan penyembuhan tanpa operasi biasanya tidak terjadi. Tipe cedera ini hanya terlihat pada trauma mayor. Sistem klasifikasi Sunderland menyesuaikan tiga tipe cedera oleh Seddon dengan lima kategori berdasarkan tingkat keparahannya. Cedera tingkat pertama sama dengan neurapraksia Seddon dan cedera tingkat kedua sama dengan aksonotmesis. Cedera saraf tingkat ketiga tejadi saat terjadi disrupsi akson (aksonotmesis) dan juga cedera parsial pada endoneurium. Kategori ini menempati tingkat ketiga antara aksonotmesis dan neurotmesis Seddon. Tergantung dari
Gambar 4.4.
Neurotmesis(Sumber dari www.fotosearch.com).
4/3/2013 12:09:51 AM
30
Saraf Perifer
luasnya cedera endoneurial, penyembuhan fungsi kemingkinan terjadi. Sunderland membagi neurotmesis Seddon menjadi cedera tingkat keempat dan kelima. Pada cedera tingkat keempat, seluruh bagian dari saraf mengalami disrupsi kecuali epineurium. Penyembuhannya tidak mungkin tanpa operasi. Cedera tingkat kelima meliputi semua bagian saraf secara lengkap (Robinson, 2005; Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004).
Respon Jaringan Saraf Terhadap Cedera Sebelum regenerasi serabut-serabut saraf terjadi, beberapa proses degenerasi harus terjadi, di antaranya direct prelude menuju regenerasi. Keberhasilan dari regenarasi sangat tergantung pada beratnya cedera awal dan perubahan degenerasi yang terjadi selanjutnya. Perubahan patologikal yang terjadi ringan atau tidak ada pada cedera tingkat pertama dimana mekanismenya yaitu hanya blokade konduksi, dan tidak ada degenerasi atau regenerasi yang nyata. Pada cedera tingkat kedua (aksonotmesis) terjadi sedikit perbahan histologikal pada atau bagian proksimal tempat cedera. Pada bagian distal dari tempat cedera terjadi proses yang dimediai kalsium yang dikenal dengan degerasi Wallerian (atau anterograd) (Osbourne, 2007)
Gambar 4.5.
LO saraf Perifer-Juli.indd 30-31
Patofisiologi Cedera Saraf Tepi
31
Pada degenerasi Wallerian, perubahan histologikal meliputi fragmentasi fisikal dari akson dan myelin, di mana proses ini terjadi dalam beberapa jam setelah cedera. Secara ultrastruktur, neurotubulus dan neurofilamen akan menjadi kacau dan bentuk akson menjadi tidak rata, dimana ini disebabkan oleh pembengkakan varicose. Dalam 48 sampai 96 jam setelah cedera, kontinuitas akson menghilan dan konduksi dari rangsangan tidak dimungkinkan terjadi dalam waktu lama. Disintegrasi myelin sedikit terlambat di bawah akson namun masih baik pada 36 sampai 48 jam. Sel-sel Schwann mempunyai peranan dalam degenerasi Wallerian. Secara dini sel ini akan aktif dalam 24 jam setelah cedera, menunjukkan pembesaran nuclear dan sitoplasma dan juga peningkatan mitosis. Se-sel ini membelah secara cepat untuk membentuk sel anak dediferensiasi yang meng-up-regulasi ekspresi gen untuk memperbanyak molekul agar dapat membantu degenerasi dan proses perbaikan. Peran awal sel Schwann adalah membantu memindahkan akson yang mengalami degenerasi dan debris myelin dan kemudian membawanya ke makrofag. Makrofag bermigrasi menuju bagian yang mengalami trauma, terutama melalui jalur hematopoietik, melintas melalui dinding kapiler-kepiler, dimana menjadi permeabel pada zona cedera. Sel-sel Schwann dan makrofag bekerja bersama-sama untuk memfagosit dan membersihkan tempat cedera dalam proses yang membutuhkan waktu 1 minggu sampai beberpa bulan (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). Sel-sel mast endoneural juga sangat berperan penting dalam proses ini, berproliferasi secara nyata dalam 2 minggu pertama setelah cedera. Sel ini melepaskan histamine dan serotonin, dimana meningkatkan permeabilitas kapiler dan memfasilitasi migrasi makrofag. Selama stadium awal, tubulus endoneurial membengkak sebagai respons terhadap trauma, namun setelah 2 minggu pertama diameternya akan mengecil. Dalam 5 sampai 8 minggu, proses degeratif biasanya sudah lengkap, dan sisa serabut saraf terdiri dari sel-sel Schwann dalam lapisan endoneurial. Pada cedera tingkat ketiga, terjadi reaksi lokal yang diinduksi trauma yang lebih bermakna. Cedera intravascikular meliputi retraksi dari ujung-ujung serabut saraf karena endoneurium yang elastis. Trauma vaskular local akan menyebabkan pendarahan dan edema, yang akan menyebabkan respons peradangan yang berat. Proliferasi fibroblas, dan dense fibrous scar menyebabkan pembengkakan fusiform dari segmen yang cedera. Jaringan parut interfascikular juga terjadi (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004).
Degenerasi wallerian (Sumber dari Ousborne, 2007).
4/3/2013 12:09:51 AM
32
Saraf Perifer
1. Segmen distal Bagian distal dari segmen yang cedera, degenerasi Wallerian sangat mirip dengan yang terjadi pada cedera tingkat kedua. Satu perbedaan penting adalah dimana cedera intrafascikular mengganggu regenerasiaksonal dan oleh karena itu tubulus endoneurial tetap tidak mendapatkan inervasi dalam periode yang lama. Saat tidak mendapatkan inervasi, tubulus endoneural mulai mengkerut dalam proses yang mencapai maksimum kira-kira 3 sampai 4 bulan setelah cedera. Lapisan endoneurial secara progresif menebal secara sekunder tarhadap penumpukan kolagen sepanjang permukaan terluar dari membrane basal sel Schwann. Jika tubulus endoneurial tidak mendapatkan regenerasi akson, fibrosis progresif menyebabkan terjadinya obliterasi pada tubulus. Susunan proses-proses sel Schwann menunjukkan mengempisnya tubulus endoneurial yang terlihat secara mikroskopis pada progresi degenerasi Wallerian pada cedera yang lebih bermakna. Kolumkolum sel Schwann yang dikenal dengan band of Bungner dan menjadi pedoman penting untuk tunas akson selama inervasi kembali. Band menyediakan ilustrasi awal peranan kedua dari sel-sel Schwann setelah cedera saraf, yaitu yang berperan neurosuportif untuk pertumbuhan kembali akson (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). Pada cedera tingkat keempat dan kelima adalah reaksi lokal terhadap trauma berat. Tubulus endoneurial, dan juga fascikuli mengalami disrupsi. Epineurium juga mengalami cedera dan fibroblas epineurial reaktif juga terdapat pada ujung potongan saraf dalam 24 jam. Ini diikuti oleh proliferasi sel-sel Schwann dan fibroblas perineurial dan epineurial. Puncak proliferasi selular dalam 1 minggu dan berlanjut selama periode yang panjang. Seperti cedera ringan, permeabilitas kapiler mengalami peningkatan, kemungkinan sebagai akibat dari degranulasi sel mast, dan edema serta infiltrasi makrofag yang mengikuti. Besarnya respons ini berhubungan dengan beratnya trauma saraf dan jaringan sekelilingnya (Burnett dan Zager, 2004). Pada cedera tingkat keempat dan kelima, ujung-ujung saraf menjadi masa yang membengkak dari sel-sel Schwann, kapiler-kapiler, fibroblas, makrofag, dan serabut kolagen yang tidak terorganisir. Regenerasi akson mencapai ujung proksimal yang membengkak dan membuat barier yang hebat untuk pertumbuhan selanjutnya. Beberapa akson membentuk lingkaran dalan jaringan parut atau membelok ke belakang sepanjang segmen proksimal atau keluar menuju jaringan sekitar. Beberapa akson yang mengalami regenerasi dapat mencapai ujung distal, hasilnya tergantung dari banyak faktor, meliputi beratnya
LO saraf Perifer-Juli.indd 32-33
Patofisiologi Cedera Saraf Tepi
33
cedera asli, perluasan pembentukan jaringan parut, dan perlambatan sebelum akson mencapai tempat cedera. Seperti pada cedera tingkat ketiga, tubulus endoneural tidak ditempati selama periode yang panjang yang akan berlanjut menjadi berkerut dan fibrosis secara progresif, dan akan secara komplet mengalami obliterasi oleh adanya serabut-serabut kolagen (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004).
2. Segmen proksimal dan tubuh sel Perubahan tubuh sel neuronal dan dalam serabut-serabut saraf proksimal terhadap tempat cedera tergantung pada beratnya cedera dan dekatnya segmen cedera dengan tubuh sel. Sel-sel Schwann mengalami degradasi sepanjang segmen proksimal dekat area cedera, dan aksonakson serta myelin diameternya mengecil. Degradasi proksimal ini dapat minimal (terentang dari tempat cedera sampai kembali ke nodus Ranvier berikutnya) atau dapat meluas ke semua jalur dan kembali ke tubuh sel. Jika tubuh sel secara aktual mengalami degenerasi, dimana dapat terjadi pada trauma yang beat, segmen proksimal akan mengalami degenerasi Wallerian dan akan difagosit. Setelah terjadi cedera bermakna, segmen proksimal akson diameternya akan mengecil, khususnya jika koneksi fungsional terhadap organ yang sesuai tidak ditemukan. Kemampuan konduksi saraf akan mengalami penurunan. Seperti proses regenerasi, diameter akson membesar, namun tidak akan mencapai seperti saat belum terjadi cedera. Saling ketergantungan definitif terjadi antara tubuh sel dan akson pada istilah penyembuhan: tubuh sel tidak akan sembuh secara penuh tanpa terjadi koneksi fungsi tepi, dan diameter akhir akson tergantung pada luasnya penyembuhan tubuh sel (Burnett dan Zager, 2004). Tubuh sel saraf sendiri bereaksi terhadap cedera aksonal. 6 jam setelah cedera, nukleus bermigrasi ke tepi dari sel dan granula-granula Nissle, endoplasmic reticulum kasar, pecah dan berpencar. Proses ini disebut sebagai kromatolisis. Secara simultan, respons proliferasi cepat dari sel glial granul-granul Nissl, endoplasmic reticulum kasar, pecah dan berpencar. Proses ini disebut sebagai kromatolisis. Secara simultan, respons proliferasi cepat dari sel glial perineuronal, sebagian besar kemungkinan mendapatkan tanda pada beberapa keadaan oleh proses kromatolisis. Proses sel glial meluas ke neuron yang terkena dan mengalami interupsi koneksi sinaptik, yang memungkinkan terjadinya isolasi saraf pada fase penyembuhan. Kemampun hidup sel tidak dapat dipastikan setelah cedera saraf. Insiden apoptosis yang berhubungan dengan kematian sel pada radiks dorsalis saraf ganglion
4/3/2013 12:09:52 AM
34
Saraf Perifer
pada aksonotmesis sebesar 20-50%. Kematian terjadi lebih sering jika aksonotmesis terjadi secara prksimal dan pada cedera yang meliputi saraf cranial dan sensori. Saraf sentral memiliki kapasitas untuk bergenerasi kembali dalam lingkungan tepi, dan saraf tepi kehilangan kemampuannya saat berada dalam lingkungan sentral (Burnett dan Zager, 2004).
Regenerasi Saraf Pada kasus yang berat regenerasi saraf dimulai hanya setelah degenerasi Wallerian, namun pada cedera ringan proses regenerasi dan perbaikan dimulai secara dini. Untuk cedera tingkat pertama dan kedua (neurapraksia dan aksonotmesis), biasanya dilakukan pemulihan fungsi. Ini terjadi secara awal melalui pembalikan blokade konduksi atau secara lambat melalui regenerasi aksonal. Penyembuhan fungsional terjadi secara komplet pada tipe cedera tingkat lebih ringan. Perubahan morfologikal dan fisiologikal secara penuh reversibel. Pada kasus cedera yang lebih berat, dimana tubulus endoneurial disrupsi, regenerasi akson tidak dalam waktu lama terjadi, dapat membelok menuju jaringan sekitar atau menuju tubulus andoneurial yang kurang tepat, jadi gagal untuk menginervasi kembali organ akhirnya yang sesuai (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). Penyembuhan fungsional setelah cedera saraf meliputi beberapa step, tiap step dapat melambat atau mengganggu proses regeneratif. Pada kasus yang termasuk salah satu tingkat cedera, ini digunakan secara awal untuk mengkategorikan step-step regeneratif ini secara anatomik pada tingkat secara kasar. Rangkaian regenerasi dapat dibagi menjadi zona-zona anatomik: 1. 2. 3. 4. 5.
Tubuh sel saraf Segmen antara tubuh sel dan tempat cedera Tempat cedera sendiri Segmen distal antara tempat cedera dan organ akhir Akhir organ sendiri.
Regenerasi yang terlambat atau regenerasi yang tidak berhasil kemungkinan sebagai akibat perubahan patologikal yang mengganggu proses perbaikan pada satu atau lebih zona ini (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). Fase regenerasi dan perbaikan setelah cedera saraf dapat berakhir sampai beberapa bulan. Tanda yang paling awal dari fase ini
LO saraf Perifer-Juli.indd 34-35
Patofisiologi Cedera Saraf Tepi
35
adalah perubahan yang terlihat pada tubuh sel yang merupakan tanda pembalikan kromatolisis. Nukleus kembali ke pusat sel dan nukleoprotein mengalami organisir kembali menjadi granul-granul Nissl yang kompak. Setelah cedera, beberapa fungsi metabolik subselular mengalami perubahan selama kromatolisis. Demikian juga sintesis Ribo nucleic acid (RNA) mengalami peningkatan dan sintesis neurotransmitter menurun. Kromatolisis menunjukkan pergeseran pada fungsi sel dari transmisi sinaptik menuju perbaikan selular. Metabolisme tubuh telah deprogram sehingga sel mampu menghasilkan sejumlah besar protein dan lipid yang diperlukan untuk pertumbuhan kembali aksonal selama fase regenerasi. Aksoplasma digunakan untuk regenerasi ujung akson, yang diperoleh dari segmen proksimal akson dan tubuh sel. Komponen cepat dan lambat dari aksoplasma mengangkut suplai material dari tubuh sel menuju tempat regenerasi aksonal. Tingkat peningkatan sintesis protein dan lipid pada tubuh sel memengaruhi percepatan dan diameter akhir dari akson yang beregenerasi. Kapasitas saraf tepi manusia untuk mengawali respons regeneratif menetap selama sekurang-kurangnya 12 bulan setelah cedera, dan respons kuat dapat ditimbulkan bahkan setelah cedera berulang (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). Panjang segmen antara ujung akson yang beregenerasi dan tempat cedera tergantung pada beratnya cedera dan akibat degradasi retrograd. Tanda pertama dari pertumbuhan kembali akson pada segmen ini kemungkinan terlihat dalam 24 jam setelah cedera, atau dapat mengalami perlambatan selama beberapa minggu pada cedera berat. Tingkat pertumbuhan kembali aksonal ditentukan oleh perubahan dalam tubuh sel, aktivitas dari pertumbuhan kerucut khusus pada ujung tiap tunas akson, dan resistensi dari jaringan yang cedera antara tubuh sel dan organ akhir. Kemungkinan multiplikasi tunas akson dalam tiap lapisan endoneurial, meskipun pada cedera yang lebih ringan, yang tidak meliputi destruksi lapisan itu sendiri. Waktu proses degeratif dan regeneratif harus tumpang tindih antara beberapa segmen. Sebagai contoh, pada cedera yang lebih ringan dimana tidak ada perlambatan yang bermakna pada regenerasi di daerah tempat cedera, pertumbuhan kerucut pada ujung akson harus bertemu dengan debris degenerasi Wallerian pada segmen distal. Debris ini tidak menggang regerasi, kemungkinan karena pertumbuhan kerucut mensekresi protease yang dapat membantu material yang terlarut memblok jalurnya (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). Pada cedera sangat proksimal dimana dipertimbangkan terjadi perlambatan sebelum ujung akson mencapai segmen distal, tubulus
4/3/2013 12:09:52 AM
36
Saraf Perifer
endoneurial yang kosong di bagian distal diameternya mengecil. Faktor ini kemungkinan bertanggung jawab sebagai bagian dari perlambatan pengakhiran pertumbuhan kembali akson. Intervensi operasi yang menghentikan masuknya nutrisi arteri tidak terlihat menunjukkan gangguan pada regenerasi aksonal, hal ini menunjukkan bahwa arteri longitudinal dalam saraf itu sendiri tidak mengalami interupsi. Pada cedera yang lebih berat yang mengganggu tubulus endoneurial, fascikel saraf, atau tulang belakang, menjadi rintangan yang berat untuk regenerasi akson mencapai tempat cedera. Kemungkinan di sini terjadi gap antara ujung saraf yang yang terganggu, mengizinkan tunas akson yang mengalami regenerasi sampai berjalan menuju jaringan sekitar. Pembentukan jaringan parut pada tempat cedera yang berat, perluasannya tergantung pada multipel faktor meliputi waktu terjadinya regenerasi tunas setelah cedera (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). Sebelumnya akson yang tak bermyelin dapat mengalami regenerasi menuju lapisan endoneurial yang mengandung akson yang bermyelin (dan vice versa). Resistensi bahwa akson ditemukan pada tempat cedera menyebabkan pembentukan tunas-tunas akson kecil. Anak-anak akson ini tidak semua membuat jalurnya menuju segmen distal. Tidak ada neurotropisme spesifik yang diketahui dapat memacu pertumbuhan akson yang berregenerasi menuju tubulus endoneurial, namun beberapa bentuk pengaruh neurotropik masih diperlihatkan pada paradigma eksperimental. Pembentukan jaringan parut pada jaringan mengganggu regenerasi dan tunas akson yang misindirek menuju tubulus endoneurial yang tidak berhubungan secara fungsional. Sisa jaringan parut juga mengganggu proses maturasi akson. Akson yang berhasil memasuki tubulus endoneurial pada segmen distal menuju tempat cedera memberikan pencapaian yang bagus pada organ akhir, memberikan kondisi pertumbuhan. Tingkat regenerasi distal melambat jika tubulus endoneurial terganggu karena tunas akson pertama kali menemukan jalurnya menuju tubulus sebelum tumbuh. Pertumbuhan kerucut khusus pada ujung tiap tunas akson mengandung filopodia multipel yang melekat ke lamina basalis sel Schwann dan menggunakannya sebagai panduan. Panduan kontak dan kemotaksis penting pada pertumbuhan kerucut. Karena beberapa tunas akson kecil dapat masuk pada tubulus endoneurial yang sama, serabut saraf yang berregenerasi dapat mengandung lebih dari satu akson daripada saraf asli (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). Jika organ akhir yang tidak berhubungan secara funsional dicapai, perkembangan selanjutnya dari akson dan myelinisasi kembali tidak
LO saraf Perifer-Juli.indd 36-37
Patofisiologi Cedera Saraf Tepi
37
terjadi. Perkembangan dan maturasi akson gagal jika organ akhir, karena tidak mendapat inervasi, mengalami perubahan yang tidak mengizinkan terjadinya koneksi secara fungsional. Jika masuknya akson yang berregenerasi menuju segmen distal terlambat lebih dari kira-kira 4 bulan, akson akan memasuki tubulus endonerial dengan diameter kecil, umumnya 3µm atau kurang. Pengerutan ini dapat membuat lebih sulit untuk tunas akson untuk menempati dan memasuki tubulus neuronal, namun ini tidak menunjukkan gangguan pada pertumbuhan kembali akson segera setelah tunas-tunas memasuki tubulus. Ini disebabkan oleh endoneurium yang elastis. Kembalinya fungsi tidaklah membutuhkan penyembuhan yang absolute dari arsitektur saraf. Efek dari tidak mendapatkan inervasi dalam jangka panjang, dimana akan mengganggu penyembuhan fungsional, pada tempat cedera mencegah regenerasi akson dari masuknya pada tubulus endoneurial yang sesuai atau pada organ akhir. Akhir organ mengalami perubahan karakteristik histologikal dengan degenerasi saraf dan inervasi kembali. Atrofi serabut-serabut otot sangat cepat dan nukleus sel cenderung pada daerah sentral daripada posisi normalnya di tepi (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). Proliferasi hebat fibroblas juga menjadi karakteristik gambaran histologikal dari saraf yang tidak mendapatkan inervasi. Kolagen baru menumpuk pada endomysium dan perimysium. Umumnya, serabut otot tidak diganti oleh jaringan ikat namun serabut-serabut mengalami atrofi yang dipisahkan oleh jaringan ikat tebal, sehingga semua pola internal dari serabut-serabut otot masih ada. Terkadang pengeluaran serabut otot terjadi. Ini merupkn fenomena yang lambat, umumnya terjadi pada 6 dan 12 bulan setelah tidak mendapatkan inervasi. Regenerasi tunastunas akson mengikuti sel-sel Schwann asli untuk tidak menginervasi motor endplate untuk pembentukan kembali neuromuscular junction. Pertunasan kolateral juga terjadi, menghasilkan kelompok serabut saraf yang mendapat inervasi kembali. Ini merupakan karkteristik penemuan otot yang mengalami inervasi kembali, bertolak belakang dengan pola acak yang ditemukan pada otot normal. Penyembuhan motorik yang terjadi tidak komplet setelah cedera sedang sampai berat. Ini disebabkan oleh beberapa faktor dalam otot itu sendiri dan dalam saraf yang berregenerasi. Fibrosis intramuskular dapat membatasi kegunaan kontrksi yang dihasilkan oleh rangsangan saraf. Terapi fisik yang tepat dapat membantu menjaga otot yang tidak mendapatkan inervasi dalam kondisi optimal untuk menerima akhiran akson yang beregenerasi. Penyembuhan motorik fungsional secara nyata terganggu jika beberapa akson tidak dapat membentuk koneksi fungsional kembali dengan
4/3/2013 12:09:52 AM
38
Saraf Perifer
otot. Meskipun dengan jumlah yang cukup, kesalahan inervasi kembali yang menyilang dapat mnghasilkan fungsi suboptimal: otot “cepat” yang asli kemungkinan mendapatkan inervasi kembali dari akson yang sebelumnya menginervasi otot “lambat”, dan akibatnya kemungkinan bentuk campuran dengan kontraksi yang tidak efisien (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). Pada kasus-kasus dimana penyembuhan motorik bermakna terjadi, hasil fungsional kemungkinan diganggu oleh deficit sensori yang mengikuti, khususnya proprioseptif. Reseptor sensori yang tidak mendapatkan inervasi tetap hidup dan dapat membuat penyembuhan fungsional setelah satu tahun dan kemungkinan setelah beberapa tahun. Pada cedera tingkat pertama dan kedua dan kedua, kembalinya sensasi terjadi secara komplet, meskipun setelah 6 sampai 12 bulan tidak mendapatkan inervasi. Ini disebabkan oleh inervasi yang baik oleh akson aslinya terhadap reseptor sensori (Burnett dan Zager, 2004). Setelah cedera berat dan perbaikan saraf, penyembuhan sensori tidak terjadi secara komplet. Hal ini dihubungkan dengan kombinasi faktor, meliputi kegagalan akson sensori untuk mencapai kulit, penyilangan inervasi kembali (akson biasanya dari satu tipe reseptor membuat hubungan dengan tipe reseptor lain), dan kemungkinan degenerasi reseptor sensori. Inervasi kembali sensori menunjukkan sebagai modal spesifik, namun ini lebih jarang daripada inervasi kembali motorik, dimana ini berarti penyilangan inervasi kembali sensori lebih sering terjadi. Terjadi kematian reseptor-reseptor sensori berkapsul yang tidak mendapatkan inervasi, seperti korpuskel Pacini, korpuskel Meissnerr, dimana secara cepat mengadaptasi reseptor-reseptor yang memediai sentuhan cahaya dan vibrasi, dan juga sel-sel Merkel, dimana secara lambat mengadaptasi reseptor-reseptor yang memediai sentuhan konstan dan tekanan. Dipercaya bahwa pengkhususan reseptorreseptor tetap ada pada keadaan atrofi selama periode yang panjang, menunggu kedatangan akhiran saraf yang sesuai. Sensasi proteksi, dimana penyembuhan beberapa tahun setelah tidak mendapatkan inervasi, dimediai oleh reseptor-reseptor sensori. Tingkat regenerasi aksonal cenderung konstan. Laporan tingkat regenerasi bervariasi dari 0,5 sampai 9 mm per hari. Keragaman ini disebabkan oleh beberapa faktor: 1. Tingkat pertumbuhan akson menurun dengan peningkatan jerak dari tubuh sel menuju ujung akson. 2. Pengukuran regenerasi akson dibuat dalam jenis yang berbeda setelah metode-metode yang berbeda dari cedera saraf.
LO saraf Perifer-Juli.indd 38-39
Patofisiologi Cedera Saraf Tepi
39
3. Teknik-teknik untuk pengukuran regenerasi berbede-beda (sebagai contoh, tanda Tinel dibandingkan dengan penyembuhan fungsional). Tingkat regenerasi dapat tergantung pada beratnya cedera saraf, durasi tidak mendapatkan inervasi, dan kondisi dari jaringan tepi. Regenerasi setelah perbaikan operasi saraf lebih lambat daripada regenerasi yang tidak terkomplikasi, sebagian besar kemungkinan sebagai akibat dari beratnya cedera yang terjadi. Penuaan juga menyebabkan perlambatan tingkat pertumbuhan kembali aksonal (Burnett dan Zager, 2004). Regenerasi aksonal tidak sama dengan pengembalian fungsi. Proses maturasi mendahului pengembalian fungsi. Perubahan morfologi dari maturasi yang mengawali sepanjang akson yang berregenerasi terjadi secara lambat daripada pertumbuhan akson dan berlanjut selama periode proteksi. Myelinisasi kembali berkembang pada keadaan yang sama dengn perkembangan serabut-serabut saraf, meliputi pelurusan sel-sel Schwann dan pelingkaran akson untuk membentuk lapisan multilamela. Proses ini dimulai dalam 2 minggu dari onset regenerasi aksonal dan menyebabkan akson yang bermyelin sangat mirip dengan aslinya kecuali terjadinya pemendekan antarnodus. Diameter akson meningkat secara progresif sampai dimensi normal dicapai, namun pelebarannya tergantung pada terjadinya koneksi fungsional antara ujung akson dan organ akhir yang sesuai (Burnett dan Zager, 2004).
Faktor Faktor Neurotropik Tedapat kaskade cell-signaling molecule dan faktor tropik yang mirip dengan respons peradangan. Faktor-faktor neurotropik seperti Neural Growth Factor (NGF), brain-derived neurotrophic factor, faktor siliari neurotropik, dan lainnya yang penting dalam proses perbaikan saraf. Faktor pertumbuhan saraf merupakan molekul neurotropik pertama yang teridentifikasi dan tetap sebagai karakteristik terbaik. Ini meliputi kemampuan hidup dan pemeliharaan sel saraf dalam keadaan normal dan menjadi komponen penting dari proses perbaikan saraf. Faktorfaktor seperti NGF secara kuat dilepaskan dari target organ saraf tepi dan diangkut menuju tubuh sel saraf melalui pengankutan aksonal retrograd. Ini kemungkinan bahwa penurunan NGF dan faktor topik lainnya mencapai tubuh sel disebabkan oleh disrupsi aksonal yang terjadi secara dini setelah cedera saraf memerlukan signal molecular
4/3/2013 12:09:52 AM
40
Saraf Perifer
Cedera
Peningkatan NGF dan NGF messenger RNA
Bab 5
DIAGNOSIS CEDERA SARAF TEPI
Sel Schwann
Reseptor NGF (band of bungner)
AA Raka Sudewi
Badan sel saraf
Rangsangan pertumbuhan
Gambar 4.6.
Skema faktor neurotropik (Sumber dari Burnett dan Zager, 2004).
untuk memacu proses perbaikan. Segera setelah cedera, jumlah NGF dan NGF messenger RNA sangat meningkat, sejalan dengan perannya sebagai faktor neurotropik. Meskipun invasi makrofag merangsang produksi NGF malalui pelepasan interleukin-1β, dimana mengesankan bahwa makrofag berperan pada pagositosis dan regenerasi. Sel-sel Schwann menghasilkan faktor-faktor neurotropik meliputi NGF pada tempat cedera (Burnett dan Zager, 2004). Faktor-faktor neurotropik, seperti molekul signaling lainnya, berikatan dengan reseptor-reseptor inase tirosin spesifik dan mentransmisi signal yang mengatur aktivitas gen. konsentrasi reseptor faktor pertumbuhan saraf pada sel-sel Schwann membentuk band of Bungner yang meningkat setelah cedera. NGF yang berikatan dengan reseptorreseptor ini pada sel-sel Schwann terjadi untuk pertumbuhan kembali tunas akson. NGF ini diambil oleh akson kemudian diangkut secara retrograd dari kerucut yang tumbuh menuju tubuh sel, menyediakan rangsangan berkelanjutan untuk pertumbuhan dan juga panduan untuk akson yang tumbuh (Burnett dan Zager, 2004).
���
P
enyembuhan sering terhambat oleh hilangnya kemampuan fungsional secara menetap dan oleh nyeri neurotropik. Nyeri neurotropik biasanya terjadi hanya setelah cedera dan menetap selama beberapa minggu atau bahkan tahun, dan sangat tidak menyenangkan dan resisten terhadap sebagian besar strategi terapiutik, sehingga menurunkan kualitas hidup. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya nyeri neuropatik kurang dimengerti namun kemungkinan oleh mekanisme sentral dan tepi. Gejala-gejala pertama dapat disebabkan oleh reaksi peradangan lokal yang dapat mengiritasi saraf. Transeksi saraf memacu kaskade beberapa selular dan humoral. Makrofag dan sel-sel mast menginvasi tempat cedera dan menghasilkan sitokin dan faktor-faktor yang memacu pembentukan jaringan ikat parut. Beberapa dari sitokin ini dan faktor lainnya seperti histamine atau serotonin bertanggung jawab terhadap produksi nyeri. Bagaimanapun reaksi peradangan hanya berakhir dalam beberapa minggu, namun nyeri neurotropik bersifat kronis, kemungkinan disebabkan oleh aktivitas ektopik serabutserabut C yang tersensititasi, permintaan ektra nosiseptor, dan aktivitas abnormal spontan pada tunas-tunas saraf yang beregenerasi. Baru-baru ini difokuskan perhatian tarhadap neuroma dan mikroneuroma yang berkembang pada tempat cedera yang kemungkinan sebagai penyebab nyeri neuropatik (Robinson, 2005). Nyeri neuroma merupakan gejala sisa yang paling sering pada cedera saraf, dimana biasanya tidak mempan terhadap pengobatan farmakologikal dan membutuhkan indikasi operasi. Neuroma dapat terjadi setelah biopsi diagnostik saraf oleh karena itu neuroma harus dipertimbangkan sebagai masalah klinis serius karena tidak dapat
41
LO saraf Perifer-Juli.indd 40-41
4/3/2013 12:09:54 AM
42
Saraf Perifer
sembuh meski dengan operasi mikro. Neuroma merupakan penebalan berbentuk pentolan yang terbentuk oleh tidak tepatnya dan tidak ratanya serabut-serabut saraf yang beregenerasi. Diagnosis cedera saraf tepi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang (Kowalik dkk, 2006)
Anamnesis Pada anamnesis dapat diketahui dengan pasti lokasi dan saraf yang terkena cedera, bisa didapatkan macam dan jenis kelainan patologik, sedangkan dengan pemeriksaan neurologik akan menentukan lokasi kerusakanya. Riwayat trauma baik yang lama ataupun baru harus ditelusuri dengan teliti karena penting sekali mengetahui dengan pasti penyebab kerusakan. Dari pemeriksaan neurologik lengkap, gangguan motorik, sensorik, dan refleks harus dianalisis dan dikaitkan sehingga dapat ditentukan berat dan luasnya kerusakan. Gejala klinis dari cedera pada saraf tepi tergantung dari saraf yang terkena. Cedera pada saraf motorik menyebabkan hilangnya fungsi otot, sedangkan cedera pada saraf sensoris menyebabkan hilangnya sensasi dari distribusi sensori saraf yang terkena dan atau neuromatous atau nyeri kausalgia (Sjamsuhidajat dan Dong, 2004).
Pemeriksaan fisik Permeriksaan fisik untuk cedera saraf tepi meliputi pemeriksaan pada semua otot yang dipersarafi oleh saraf tepi. 1. Pemeriksaan motor Penekanan atas pemeriksaan motor secara klinis untuk cedera saraf spesifik adalah tahap terpenting dalam mengelola semua cedera saraf, adalah pemeriksaan teliti anggota, dengan perhatian besar pada semua fungsi motor dan sensori. Pemeriksaan harus menentukan apakah kehilangan distal sisi cedera lengkap atau tidak. Pemeriksaan motor cukup sebagai bukti regenerasi bila pemulihan jelas. Pengamatan klinis fungsi motor volunter dapat juga ditentukan dengan respons motor terhadap stimulasi. Stimulasi saraf terutama berguna dalam pengenalan awal adanya pemulihan peroneal memadai dan mencegah perlunya operasi. Pasien dengan cedera saraf peroneal tidak mampu memulai aksi volunter pada otot peroneal dan tibial anterior (eversi dan dorsofleksi kaki). Ini
LO saraf Perifer-Juli.indd 42-43
Diagnosis Cedera Saraf Tepi
43
berlangsung beberapa minggu setelah perbaikan elektrofisiologis yang ditunjukkan oleh kontraksi otot yang kuat pada stimulasi saraf peroneal: (1) tepat di belakang kepala fibula, atau (2) tepat di dalam hamstring lateral, di mana batang saraf mudah dipalpasi. 2. Tanda Tinel Bila parestesi dihasilkan oleh perkusi saraf distal dari cedera, ini menunjukkan beberapa akson sensori utuh dari titik perkusi melalui cedera ke egati saraf pusat. Bila respons selanjutnya bergerak ke distal dengan berjalannya waktu, terutama bila berkaitan dengan berkurangnya parestesi sebagai respons atau ketukan pada daerah cedera, membuktikan regenerasi serabut saraf terus berlangsung melewati egativ distal terjadi (tanda Tinel positif). Tanda Tinel positif hanya menunjukkan regenerasi serabut halus dan tidak menunjukkan apa pun tentang kuantitas dan kualitas yang sebenarnya dari serabut yang baru. Di sisi lain, interupsi saraf total ditunjukkan oleh tiadanya respons sensori distal (tanda Tinel egative) setelah waktu yang memadai telah berlalu untuk terjadinya regenerasi serabut halus (4-6 minggu). Tanda Tinel negatif lebih bernilai dalam penilaian klinis dibanding tanda Tinel positif. 3. Berkeringat Kembalinya keringat didaerah otonom menunjukkan regenerasi serabut simpatis bermakna. Pemulihan ini mungkin mendahului pemulihan motori atau sensoris dalam beberapa minggu atau bulan, karena serabut otonom pulih dengan cepat. Pemulihan berkeringat tidak selalu berarti akan diikuti fungsi motorik atau sensoris. 4. Pemulihan sensoris Pemulihan sensori sejati adalah tanda yang berguna, terutama bila terjadi didaerah otonom di mana tumpang tindih saraf berdekatan minimal. Daerah otonom saraf median adalah permukaan volar dan dorsal telunjuk dan permukaan volar jempol. Saraf radial tidak mempunyai daerah otonom yang tegas. Bila terjadi kehilangan sensoris pada distribusi ini, biasanya mengenai sejumput daerah anatomis tertentu. Daerah otonom saraf ulnar adalah permukaan palmar 11 falang distal kelingking. Daerah otonom saraf tibial adalah tumit dan sebagian telapak kaki, sedang saraf peroneal adalah tengah dorsal kaki. Sayangnya pemulihan sensoris, bahkan pada daerah otonom, tidak pasti diikuti pemulihan motorik. (Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000)
4/3/2013 12:09:54 AM
44
Saraf Perifer
45
Diagnosis Cedera Saraf Tepi
Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan radiologis, meliputi: 1. Sinar-X Tulang Belakang Servikal dan lainnya Fraktur tulang belakang servikal sering berhubungan dengan cedera regang proksimal yang berat yang tidak dapat direparasi, paling tidak pada tingkat akar ruas tulang belakang bersangkutan. Fraktur tulang lain seperti humerus, klavikula, skapula dan/atau diamati memberikan perkiraan kasar atas kekuatan yang menghantam bahu, lengan atau leher, namun tidak selalu membantu menentukan tingkat atau luasnya cedera. Kerusakan pleksus biasanya lebih proksimal dibanding sisi fraktur yang tampak, sering pada tingkat akar. Fraktur humerus tengah terutama berkaitan dengan cedera saraf radial. Fraktur kominuta radius dan ulna pada tingkat lengan bawah tengah juga berkaitan dengan cedera saraf median dan ulnar, dan terkadang dengan palsi saraf interosseus posterior. Komponen peroneal saraf siatik sering, namun tidak selalu, terkena secara khusus pada dislokasi atau cedera panggul. Fraktur femur bawah dan fraktur tibial dan fibuler bisa mengenai saraf peroneal dan/ atau tibial. Sekali lagi, cedera saraf mungkin lebih proksimal dari daerah fraktur yang diperkirakan. Fraktur femur tengah bisa berkaitan dengan cedera regang siatik lebih ke proksimal pada tingkat bokong. Radiograf dada bisa menampakkan elevasi diafragma yang tidak berfungsi, yang berarti paralisis saraf frenik. Ini tanda prognosis yang relatif buruk untuk reparasi akar saraf C5 setelah cedera tertutup, karena biasanya berarti kerusakan proksimal pada tingkat leher (Solomon dkk, 2003).
Gambar 5.1.
CT Scan servikal irisan sagital
3. Tomografi Terkomputer (CT) dan Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI) Pencitraan tomografi terkomputer dengan kontras intratekal dimanfaatkan pada cedera regang walau terkadang abnormalitas tetap tidak dijumpai karena irisan biasanya tidak cukup rapat untuk mencakup semua daerah radik pada setiap tingkat. Akibatnya, mielografi tetap merupakan pemeriksaan radiologis yang disukai. Pencitraan resonansi magnetik mungkin membantu menampilkan akar saraf. Pemeriksaan MRI ini hanya memperkuat mielogram dan tidak menggantikannya. Cairan Serebrospinal (CSS) di dalam meningosel dapat tampak pada MRI, namun biasanya kurang jelas bila dibanding mielografi. (Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000)
2. Mielografi Menjadi bagian penting dalam mengelola pasien dengan cedera regang Pleksus Brakhialis berat. Biasanya tidak diindikasikan untuk cedera pleksus di tingkat infraklavikuler atau aksiler (kebanyakan luka tembak pada pleksus), kecuali ada bukti radiologis kerusakan tulang belakang servikal atau trayeknya supraklavikuler medial. Mielografi modern dengan kontras larut air bisa menampilkan akarakar pada ruang subarakhnoid, dan membandingkan sisi terkena dan sisi sehat menentukan daerah disrupsi akar. Mielografi tetap berguna membantu perencanaan pada cedera pleksus (Edward, 2000). Gambar 5.2.
LO saraf Perifer-Juli.indd 44-45
MR Myelogram
4/3/2013 12:09:54 AM
46
Saraf Perifer
47
Diagnosis Cedera Saraf Tepi
Sedangkan pemeriksaan elektrofisiologik, meliputi: 1. Elektromiografi Pemeriksaan EMG dasar 2-3 minggu setelah cedera menunjukkan perluasan denervasi dan menegaskan pola atau distribusi cedera. Pemeriksaan EMG harus dilakukan serial untuk mencari tanda-tanda reinervasi atau denervasi yang persisten. Pada regenerasi, aktivitas insersional mulai pulih dan fibrilasi serta potensial denervasi berkurang dan terkadang digantikan oleh potensial aksi motor yang timbul sewaktu-waktu. Setiap perubahan menunjukkan bahwa beberapa serabut yang mengalami regenerasi mencapai otot dan terjadi beberapa rekonstruksi hubungan akson-motor end plate. EMG menjadi penting karena dapat membuktikan regenerasi beberapa minggu atau bulan sebelum fungsi motor volunter tampak. Juga melacak adanya sisa unit motor yang berarti cedera parsial segera setelah cedera (Edward, 2000). EMG terutama membantu menentukan tingkat cedera cedera Pleksus Brakhialis hingga bisa menyeleksi pasien untuk dioperasi beserta jenis operasi yang akan dilakukan. Denervasi otot paraspinal mengarahkan pada cedera proksimal pada satu atau lebih akar dan karenanya merupakan temuan negatif. Kerusakan proksimal pada tiga akar terbawah dapat berakibat denervasi paraspinal ekstensif dimana akar C5 dan bahkan C6 mungkin cedera lebih ke lateral dan karenanya dapat diperbaiki. Elektromiografer memiliki kesulitan membedakan tingkat spinal di dalam otot paraspinal karena sangat tumpang tindih. (Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000)
SNAP from Median nerve
Stimulus or voluntary effect
Muscle potential
Stimulus (A) Electromyography (EMG)
Gambar 5.3.
(B) Sensory Nerve Action Potential (SNAP)
Ilustrasi EMG dan SNAP (Sumber dari Rengachary dan Wilkin, 2000).
3. Somatosensory-Evoked Potential (SSEP) Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera apakah preganglionik atau post ganglionik, pada cedera Pleksus Brakhialis. Ia bernilai terbatas pada bulan-bulan pertama cedera. Pemeriksaan somatosensori berguna pada saat operasi atas cedera brakhial karena regangan atau kontusi. Bila cedera postganglionik, stimulasi akar proksimal dari tingkat cedera membangkitkan potensial somatosensori di atas tulang belakang servikal (SSP) dan membangkitkan (evoked cotical respon/ECR) respons kortikal di atas kra-
2. Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP) Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada cedera Pleksus Brakhialis. Cedera tingkat akar yang terbatas didaerah preganglion dan tidak meluas ke daerah post ganglion berakibat hilangnya sensori distal lengkap dan tetap mempertahankan konduksi sensori distal. Yang terakhir ini bertahan karena kerusakan serabut sensori distal ganglion akar saraf tidak berdegenerasi. Stimulasi telunjuk (bahkan jempol) yang anestetik dapat menimbulkan SNAP pada distribusi saraf median bila baik akar C6 atau C7, atau C6 dan C7, rusak pada tingkat preganglionik. Ini menjadikannya sulit untuk menentukan pada pemeriksaan SNAP apakah cedera akar C6 terjadi preganglionik. Keadaan ini kurang jelas pada akar C5 karena tidak ada stimulasi noninvasif spesifik atau daerah pencatatan untuk hantaran ini (Edward, 2000).
LO saraf Perifer-Juli.indd 46-47
DRG Stimulating electrode SSP
ECR
(C) Somatosensory Evoked Potentials (SSEP)
Gambar 5.4.
Ilustrasi SSEP (Sumber dari Rengachary dan Wilkin, 2000).
4/3/2013 12:09:55 AM
48
Saraf Perifer
Diagnosis Cedera Saraf Tepi
Injury site
Recording electrode
Stimulating electrode
(D) Intraoperative nerve action potential (NAP)
Gambar 5.5. Ilustrasi NAP (Sumber dari Rengachary dan Wilkin, 2000).
nium kontralateral. Bila cedera preganglionik, stimulasi terhadap akar, bahkan di dalam atau dekat foramen intervertebral, tidak membangkitkan respons apa pun, maka reparasi jarang berhasil (Edward, 2000). 4. Potensial Aksi Saraf Intrabedah (NAP) Mencakup pemeriksaan NAP batang saraf pada setiap sisi cedera. Karena pelacakan yang ideal untuk memutuskan apakah akan mereparasi saraf 8 minggu setelah cedera, NAP menjadi pemeriksaan definitif yang penting bila dicurigai adanya neuroma yang parah pada kontinuitas dan otot sasaran pertama berjarak lebih dari 3 inci di bawahnya (Rengachary dan Wilkin, 2000). Beberapa contoh cedera saraf tepi dan cara menegakkan diagnosisnya, di antaranya: 1. Cedera Pleksus Brakhialis Pleksus Brakhialis dibentuk dari pertemuan saraf C5 sampai T1. Cedera traksi diklasifikasikan menjadi supraklavikuler (65%), infraklavikuler (25%) serta kombinasi keduanya sebanyak 10%. Cedera supraklavikula umumnya terjadi pada kecelakaan sepeda motor, dimana pada luka yang lebih berat, lengan secara praktis mengalami avulsi dengan ruptur arteri subklavian. Sedangkan cedera infraklavikula biasanya berhubungan dengan fraktur atau dislokasi
LO saraf Perifer-Juli.indd 48-49
49
dari bahu, dimana pada beberapa kasus disertai dengan robeknya arteri aksilaris. Perbedaan yang paling penting adalah adanya cedera preganglionik dan post ganglionik. Cedera preganglionik tidak dapat diperbaiki sedangkan cedera post ganglionik masih dapat diperbaiki. Gambaran dari avulsi ’root’ adalah nyeri terasa membakar pada tangan yang mengalami pembiusan; paralisis otot skapula / diafragma, sindrom Horner’s ptosis, miosis, enopthalmos dan anhidrosis; cedera vaskular berat; berhubungan dengan fraktur cervikal berat; disfungsi spinal cord. Tes dengan histamin dapat pula dipergunakan, dimana hasil tes negatif pada cedera post ganglionik karena kontinuitas saraf antara kulit dan ’dorsal root ganglion’ terganggu. Pada CT myelografi tampak pseudomeningocoeles hasil dari avulsi ’root’ (Solomon dkk, 2003). 2. Cedera Nervus Radialis Cedera dapat terjadi pada siku, lengan atas maupun di aksila. Biasanya pada cedera yang lebih ringan disebabkan oleh fraktur atau dislokasi pada siku, atau luka lokal. Pasien mengeluhkan adanya kekakuan dan pada tes tidak dapat ekstensi sendi metakarpophalangeal. Dapat juga terjadi kelemahan abduksi dan ekstensi interphalangeal. Cedera yang berat terjadi dengan fraktur pada humerus menyebabkan terjadinya kelemahan ekstensor radial dari pergelangan tangan seperti juga ketidakmampuan untuk ektensi sendi. Kehilangan sensorik terbatas pada potongan kecil dari dorsum disekeliling cedera. Jika pasien datang dalam keadaan palsy, dapat ditunggu dahulu selama 6 minggu untuk melihat proses penyembuhan. Jika tidak memungkinkan, EMG dapat dilakukan, jika hasilnya menunjukkan potensial denervasi dimana neuropraksia dieksklusi maka saraf dapat dieksplorasi (Solomon dkk, 2003). 3. Cedera Nervus Ulnaris Cedera pada nervus ulnaris biasanya terjadi di dekat pergelangan tangan atau siku, walaupun luka terbuka mungkin berbahaya pada berbagai tingkatan. Pada cedera yang ringan sering disebabkan oleh luka pecahan gelas. Terdapat mati rasa pada ulnar dan setengah dari jari, tangan kemudian membentuk suatu posisi tertentu (the claw hand deformity) dengan hiperekstensi sendi metakarpophalangeal dari kelingking, karena kelemahan otot intrinsik. Tangan pasien diperintahkan untuk menjepit kertas kemudian pemeriksa berusaha untuk menariknya, fleksi dari sendi interphalangeal jari menanda-
4/3/2013 12:09:55 AM
50
Saraf Perifer
kan kelemahan aduksi policis dan dikompensasikan dengan fleksor policis longus (Froment’s sign). 4. Cedera Nervus Medianus Cedera yang sering terjadi di dekat pergelangan tangan atau pada lengan bawah. Cedera yang ringan disebabkan oleh pemotongan di depan pergelangan tangan atau dislokasi carpal. Pasien tidak bisa abduksi dari ibu jari dan kehilangan sensasi pada radial dan setengah dari jari. Sedangkan cedera yang lebih berat disebabkan oleh fraktur pada lengan bawah atau dislokasi siku, namun tikaman dan luka tembakan dapat membahayakan saraf pada berbagai tingkat. Tandanya sama seperti pada cedera ringan namun terdapat tambahan berupa flexi panjang ke ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, pergelangan radial serta otot pronasi lengan bawah mengalami paralisis. Khas terdapat ’tanda pointing’ yaitu tangan memegang jari ulnaris dan jari telunjuk lurus (Solomon dkk, 2003). 5. Carpal Tunnel Syndrome Sindrom ini biasanya terjadi pada usia menopause, atritis rematoid, kehamilan dan myxoedema. Adanya nyeri dan parastesia pada nervus median di tangan. Setiap malam penderita terbangun karena rasa terbakar pada tangan, kesemutan dan mati rasa. Mengantungkan tangan pada sisi atas tempat tidur dirasakan dapat mengurangi keluhan. Pada tingkat yang lebih tinggi mungkin terdapat kekakuan dan kelemahan, terutama pada tugas yang memerlukan manipulasi seperti mengikat kancing. Delapan kali lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dengan usia berkisar 40 sampai 50 tahun. Gejala sensoris sering disebabkan oleh pukulan di atas nervus medialis (Tinel’s sign) atau dengan memegang pergelangan tangan yang difleksikan dalam satu atau dua menit (Phalen’s test). Pada kasus yang lanjut terdapat hilangnya otot thenar, kelemahan abduksi ibu jari dan hilangnya sensorik pada daerah nervus medialis. Pada tes elektrodiagnostik menunjukkan pergerakan lambat dari konduksi saraf melewati pergelangan tangan, dan merupakan gejala tidak khas. Gejala radikuler dari spondilosis cervikal mungkin meragukan diagnosis dan bersamaan dengan Carpal Tunner Syndrome (Solomon dkk, 2003). 6. Cubital Tunnel Syndrome
Diagnosis Cedera Saraf Tepi
51
berhubungan dengan posisi siku yang khas, misalkan pasien tidur dengan posisi terlentang dengan posisi siku fleksi atau ketika memegang koran. Pada kasus yang lanjut akan tampak kelemahan dalam memegang, ‘slight clawing’, hilangnya otot intrinsik, dan menurunan sensibilitas pada daerah nervus ulnaris. Froment’s sign dan kelemahan abduksi digiti minimi sering tampak. Tes Tinel’s Percussion, nyeri tekan pada saraf di belakang epikondial medialis, reproduksi gejala dengan fleksi dari siku, kelemahan flekors carpi ulnaris dan fleksor digitorium profunda ke jari kelingking, diperkirakan akibat kompresi pada siku. Diagnosis dikonfirmasikan dengan tes konduksi saraf (Solomon dkk, 2003). 7. Thoracic Outlet Syndrome Gejala neurologis dan vaskular serta tanda pada lengan atas disebabkan oleh kompresi pada trunkus bawah dari Pleksus Brakhialis (C8-T1) dan pembuluh darah subklavian antara klavikula dan kosta pertama. Kelainan ini merupakan kelainan kongenital dan jarang terjadi sebelum umur 30 tahun. Hal ini dikarenakan dengan peningkatan umur, shouder sag, akan menyebabkan traksi lebih besar pada kumpulan saraf dan pembuluh darah; sehingga jatuhnya bahu akan meyebabkan sindrom dan gejala berhubungan dengan postur tubuh. Pada pasien wanita usia tiga puluhan biasanya nyeri dan parastesia dari bahu, bagian dalan ulnar dan lengan hingga dua jari medial dirasakan, nyeri tersebut terasa lebih berat pada malam hari dan diperparah dengan pemberian beban pada bahu. Tanda dan gejala vaskuler jarang ditemukan, berupa sianosis, coldness, dan hipersekresi keringat pada jari tangan. Gejala berupa fenomena Raynaund‘s. Pada Adson’s test leher pasien ekstensi dan mengarah ke sisi yang terkena, pasien disuruh bernapas dalam, sehingga terjadi kompresi ruang interskalin yang menyebabkan parastesia dan obliterasi pulsasi radialis. Tes Wright lengan mengalami abduksi dan rotasi eksternal. Kemudian bisa juga dilakukan tes Root’s dimana pasien diminta mengangkat lengannya tinggi di atas kepala, dan membuka dan menutup jari-jari tangan dengan cepat, menyebabkan kram pada sisi yang terkena. Pada pemeriksaan rontgen leher tampak adanya abnormalitas sepanjang C-7. Tes elektrodiagnostik berfungsi untuk megeksklusi cedera saraf tepi seperti kompresi pada nervus medialis atau ulnaris (Solomon dkk, 2003).
Pasien mengeluhkan adanya rasa kesemutan dan mati rasa pada setengah ulnar dari jari manis, gejala mungkin hilang timbul dan
LO saraf Perifer-Juli.indd 50-51
4/3/2013 12:09:55 AM
52
Saraf Perifer
8. Tarsal Tunnel Syndrome Nyeri dan gangguan sensorik pada permukaan plantar kaki mungkin disebabkan oleh kompresi nervus tibial posterior di belakang dan di bawah maleolus medialis. Nyeri mungkin dipicu oleh mengangkat beban terlalu lama. Biasanya memburuk dimalam hari dan berkurang dengan berjalan. Parastesis dan mati rasa harus diikuti dengan karakteristik distribusi sensorik. Tes perkusi Tinel mungkin positif di belakang maleolus medialis. Diagnosis susah untuk ditegakkan namun konduksi saraf menunjukkan perlambatan konduksi sensorik dan motorik (Solomon dkk, 2003).
Bab 6
TATALAKSANA CEDERA SARAF TEPI Kahdar Wiriadisastra
9. Cedera Pleksus Iskhiadikus Pada kasus ini sering terjadi pada dislokasi hip traumatik dan fraktur pelvik. Pada cedera komplet, otot hamstring dan otot-otot di bawah lutut mengalami paralisis, ankle jerk tidak ditemukan. Sensorik di bawah dari lutut juga tidak ditemukan kecuali pada sisi medial dari kaki yang di suplai oleh cabang Saphenous dari nervus femoralis. Biasanya pada kasus ini pasien-pasien berjalan dengan posisi kaki ‘drop foot’ dan ‘high stepping gait’ untuk menghindari kaki yang tidak sensitif menempel pada lantai. Jika ditemukan adanya kehilangan sensorik pada daerah paha dan otot gluteal mengalami kelemahan, maka harus dipikirkan kemungkinan terjadi cedera pada Pleksus Lumbosakral. Pada kasus yang lanjut, otot-otot kaki akan mengalami atropi dengan ditemukannnya deformitas pada telapak kaki (Solomon dkk, 2003).
���
Penatalaksanaan A B C trauma (Airway, Breathing, Circulation) harus dinilai dan dijaga. Trauma life support harus diberikan jika diperlukan. Tingkat cedera saraf kemungkinan dapat diketahui dengan interpretasi penemuan klinis dan neurofisiologikal berdasarkan klasifikasi Seddon. Tingkat cedera biasanya diketahui melalui pemeriksaan dan pengetahuan anatomi distribusi saraf. Pada neuropraksia dan kasus ringan aksonotmesis tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang (Seddon, 1943; Osbourne, 2007; Kowalik dkk, 2006; Midha, 2006).
Konservatif Biasanya dilakukan pada cedera yang terjadi akibat hilangnya fungsi pada saraf tepi, atau yang dikenal dengan neuropraksia. Terapi awal biasanya untuk melindungi sendi, termasuk sekeliling ligamen dan tendon dari stresor lebih jauh. Splint, sling atau keduanya digunakan pada kasus ini. Sebagai contoh, pada cedera nervus radialis dengan hilangnya ekstensi pada pergelangan tangan dan jari, lemah pada pergelangan tangan. Splint pada pergelangan tangan dapat dipergunakan untuk menyokong lengan dalam posisi netral dan menempatkan tangan pada posisi yang lebih fungsional. Pada pasien dengan cedera Pleksus Brakhialis, terutama ketika segmen C5-6 terkena, tekanan lebih lanjut pada sendi glenohumeral dapat menyebabkan sendi tersebut mengalami subluksasi tanpa sokongan dari otot rotator. Sling berguna untuk merelaksasikan sendi tersebut, mencegah dislokasi bahu dan mengurangi nyeri. Hor-
53
LO saraf Perifer-Juli.indd 52-53
4/3/2013 12:09:56 AM
54
Saraf Perifer
mon eritropoitin telah berhasil digunakan untuk meningkatkan fungsi setelah Cedera. Terapi fisik dimulai pada tahap awal setelah cedera nervus untuk menjaga ‘ROM’ pada sendi yang terkena dan untuk mempertahankan kekuatan otot pada otot yang terkena (Osbourne, 2007; Robinson, 2005).
Pembedahan Dalam mengelola pasien dengan cedera saraf tepi perlu mengetahui mekanisme cedera, respons patologis, dan kapasitas regenerasi yang akan terjadi. Terdapar beberapa faktor yang menentukan apakah cedera saraf akan dioperasi atau tidak, yaitu: 1. mekanisme cedera, 2. beratnya kehilangan neurologis, 3. adanya nyeri yang hebat. Pada kasus yang lebih berat dari aksonotmesis diperlukan operasi. Untuk pemeriksaan yang tepat dari tingkat cedera kemungkinan memerlukan eksplorasi di bawah pengaruh anastesi. Penilaian kandungan potensial aksi otot dengan electro-diagnosis juga membantu dalam klasifikasi cedera (meskipun pada awalnya gambaran aksonotmesis dan neurotmesis terlihat identik). Neurotmesis dapat dengan mudah terdeteksi dengan operasi eksplorasi seperti saraf yang dapat dilihat dapat secara komplet ditranseksi. Pada neurotmesis, operasi dianjurkan apabila tidak ada harapan terjadi penyembuhan secara spontan (Robinson, 2005).
Reparasi primer Reparasi dini (primer) adalah pilihan untuk cedera laserasi sederhana serta bersih, seperti diakibatkan oleh kaca dan pisau. Pada cedera sipil, reparasi primer terbaik untuk cedera transeksi tajam saraf siatik dan Pleksus Brakhialis tingkat supraklavikuler dan aksiler; eksplorasi segera memberikan kesempatan terbaik akan identifikasi akurat serta reparasi ujung-ujung tanpa diperlukannya tandur. Ini terutama untuk cedera pleksus tajam di mana terdapat kerusakan vaskuler yang harus diperbaiki segera. Bila setiap sisi luka dieksplorasi beberapa minggu kemudian, biasanya akan dihadapi parut yang parah dengan akibat diseksi dan identifikasi elemen saraf yang terkena menjadi sulit. Pada saat eksplorasi, pertama harus dipastikan bahwa transeksinya tajam
LO saraf Perifer-Juli.indd 54-55
55
Tatalaksana Cedera Saraf Tepi
dan bersih sebelum reparasi primer dilakukan. Bila dijumpai saraf yang transeksi, faktor berikut menunjuang reparasi primer: 1. Puntung saraf mudah ditentukan tempatnya dan hubungannya dengan jaringan sisi cedera lain biasanya utuh. 2. Puntung saraf mengalami retraksi minimal. 3. Tindakan operasi tunggal adalah definitif dan mungkin merupakan satu-satunya operasi yang diperlukan untuk memperbaiki cedera jaringan lunak dan saraf. (Osbourne, 2007; Brandon dkk, 2008; Rochkind, 2009).
Reparasi sekunder Biasanya terjadi dalam beberapa minggu atau bulan, diindikasikan karena adanya: -
Fraktur tertutup namun tidak tampak adanya perbaikan. Diagnosis awal keliru sehingga pasien datang pada fease lambat Repair primer yang gagal.
Kebanyakan cedera tertutup pada saraf diakibatkan regangan atau kontusi. Saraf tidak terputus dan terdapat berbagai derajat kerusakan intraneural. Ia bisa berupa campuran aksonotmesis, neurotemesis dan neuropraksia, atau bisa karena neurotemesis lengkap. Jadi penundaan beberapa bulan diperlukan, karena akan memungkinkan (1) Semua elemen neuropraksia untuk pulih, (2) Cedera yang menyertai untuk sembuh, dan (3) Terpenting, penilaian fisiologis atas cedera di meja operasi. Bila regenerasi adekuat terjadi, aktivitas spontan dapat dilacak dengan tehnik perekaman NAP intrabedah 8-10 minggu pascacedera (Osbourne, 2007; Rochkind, 2009; Friedman dkk, 2009). Tabel 6.1 Klasifikasi cedera saraf tepi (Sumber dari Seddon, 1943; Osbourne, 2007).
Neuropraksia
Aksonotmesis
Neurotmesis
Kehilangan motorik
Komplet
Komplet
Komplet
Kehilangan sensorik
Separuh
Komplet
Komplet
Masih ada
Tidak ada
Tidak ada
Fungsi autonomic
4/3/2013 12:09:56 AM
56
Saraf Perifer
Tatalaksana Cedera Saraf Tepi
Tabel 6.1 (lanjutan)
Konduksi saraf distal terhadap cedera Fibrilasi pada EMG Penyembuhan
Neuropraksia
Aksonotmesis
Neurotmesis
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
Cepat,komplet
1mm per hari, bagus
1mm per hari, biasanya tidak komplet
Waktu saat operasi perbaikan saraf sangatlah penting untuk penyembuhan yang optimal. Pada setiap kasus cedera akut, ahli bedah saraf harus memutuskan apakah primary repair atau early secondary repair yang menjadi pilihan pengobatan. Waktu dapat dibagi menjadi immediate, early (1 bulan), delayed (3-6 bulan), dan late (1-2 tahun atau lebih). Immediate repair dianjurkan saat saraf terpotong. Ujung saraf harus intact jika terjadi cedera mengelilingi saraf, operasi harus ditunda (delayed) sampai proses peradangan sekitarnya berkurang (Osbourne, 2007). Early reconstruction dianjurkan untuk cedera yang disebabkan oleh trauma tumpul atau robekan terbuka, dimana dapat menyebabkan destruksi saraf komplet. Tindakan operasi yang dilakukan adalah neurolysis (internal/eksternal), nerve repair yaitu end to end repair (epineural dan fasikuler) dan autologus nerve graft. Nerve graft biasanya diindikasikan karena ujung saraf biasanya berkontraksi dan /atau jaringan parut ingin direseksi. Autologous nerve graft memberikan regenerasi akson,
Gambar 6.1.
LO saraf Perifer-Juli.indd 56-57
Autologous nerve graft (Sumber dari Osbourne, 2007).
57
dimana dikumpulkan dengan sel-sel Schwann yang dikelilingi oleh lamina basalis. Banyaknya nerve graft menyebabkan co-morbiditi meliputi pembentukan jaringan parut, kehilangan sensasi, dan kemungkinan pembentukan neuroma yang sangat nyeri. Graft yang digunakan biasanya dari sural nerve (Osbourne, 2007). Suatu nervus graft jenis autogenous bisa digunakan untuk menyambung suatu celah hingga suatu jarak. Nervus suralis adalah jenis yang sering digunakan, hingga sepanjang 40 cm dan bisa digunakan pada kedua kaki. Karena diameter saraf tersebut kecil maka perlu digunakan beberapa lapis (sering disebut cable graft). Graft yang digunakan harus panjang agar bisa diletakkan tanpa tekanan, dan harus berada pada daerah dengan vaskularisasi yang baik. Sangat penting setiap fasikulus motorik dan sensorik dihubungkan secara tepat pada graft. Sedangkan vascularized graft hanya digunakan pada situasi tertentu, misal pada saat kedua nervus ulnaris dan medianus terkena kerusakan (Vollkasmasn iskemia), suatu pedicle graft digunakan untuk menyambung celah di median, selain itu juga mungkin digunakan pada Cedera Pleksus brachial (Osbourne, 2007). Delayed reconstruction dianjurkan saat tingkat cedera belum dapat diketahui. Sebagai contoh, jika perluasan aksonotmesis tidak diketahui, kemudian akan direkomendasikan untuk menunda operasi, karena penyembuhan alami lebih baik dibandingkan dengan perbaikan melalui operasi. Bagaimanapun, kualitas dari penyembuhan motorik menurun setelah 6 bulan keterlambatan perbaikan. Late reconstruction umumnya
Gambar 6.2.
Ilustrasi Epineural repair (Sumber dari Osbourne, 2007).
4/3/2013 12:09:57 AM
58
Saraf Perifer
Tatalaksana Cedera Saraf Tepi
59
cara bermakna setelah perbaikan operasi kecil. Setelah operasi, area yang terkena tidak boleh bergerak selama 6 minggu. Setelah ini, pergerakan dianjurkan dan fisioterapi sebagian besar digunakan. Pergerakan meregang kemungkinan dilakukan saat menggunakan electro-stimulating device. Setelah beberapa minggu, otot hipertropi serabut otot akan meningkatkan kekuatan. Pasien harus di follow-up secara teratur setalah periode operasi untuk mengukur tingkat penyembuhan. Dimana ini harus meliputi pemeriksaan fisik dan electromyography (EMG) (Osbourne, 2007; Roganovic dan Pavlicevic; 2006).
Rehabilitasi Gambar 6.3.
lustrasi Fascicular repair (Sumber dari Osbourne, 2007).
hanya digunakan untuk pengontrolan nyeri, seperti reseksi neuroma. Standar operasi baru-baru ini adalah perbaikan epineural dengan jahitan nilon (Osbourne, 2007). Keberhasilan dari operasi sangat bervariasi dan luas. Penyembuhan sensori terlihat sama pada semua saraf. Bagaimanapun, fungsi motorik bervariasi berdasarkan saraf individu itu sendiri. Pada sebuah studi, penyembuhan motorik pada saraf ulnar 71% lebih rendah dibandingkan dengan saraf median. Umur (umur yang lebih muda lebih baik), tempat, cedera saraf, dan keterlambatan mempengaruhi prognosis se-
Semenjak terjadinya Cedera, ekstrimitas dijaga dalam posisi fungsional dan dinamik. Jaringan fibrotik di kencangkan dan di mobilisasi. Prinsip pergerakan aktif tidak bisa ditinggalkan dan aktivitas seharihari harus bisa dilakukan. Aspek yang paling penting dari terapi adalah penggunaan splint dinamik yang harus di fabrikasi untuk setiap pasien dan berubah kapan pun ada indikasi. Pada ekstrimitas atas, fungsi akan di tingkatkan dengan program reedukasi motorik dan sensibilitas. Reedukasi motorik berfungsi untuk mencegah kebiasaan motorik abnormal yang terdiri dari dua fase, yaitu monitoring visual dari pola aktivitas serta transfer tendon yang awal. Prinsip dari transfer tendon awal adalah menggunakan hanya satu tendon dan menggunakan transfer yang tidak menyebabkan deformitas, terjadi pernyembuhan saraf secara spontan. Reedukasi sensibilitas terdiri dari kesadaran dalam memegang objek ketika membuka mata kemudian menutup mata. Tujuan dari reedukasi ini adalah agar hal tersebut dapat dipergunakan dalam pekerjaan pasien. Reedikasi sensibilitas tidak akan efektif bila pasien tidak dapat mengenal sensasi vibratori di atas zona autonomi dari saraf yang terlibat. Tes picking up timed akan meningkat secara kuantitatif pada pasien dengan palsy median atau ulna (Osbourne, 2007; Roganovic dan Pavlicevic; 2006).
Prognosis
Gambar 6.4.
LO saraf Perifer-Juli.indd 58-59
Ilustrasi Nerve graft (Sumber dari Osbourne, 2007).
Pada kerusakan aksonotmesis dan neurotmesis, regenerasi akson berlangsung dengan kecepatan 1 cm per bulan sampai 1 mm per hari, tergantung pada letak kerusakannya. Oleh karena itu biasanya perbaikan tidak akan terlihat sampai beberapa bulan. Faktor yang dapat memperlambat proses penyembuhan adalah terlibatnya saraf moto-
4/3/2013 12:09:58 AM
60
Saraf Perifer
rik dan sensorik sekaligus, usia lanjut, cedera yang terletak proksimal, besarnya serabut saraf yang cedera, dan adanya kerusakan jaringan sekitar (Robinson, 2005; Roganovic dan Pavlicevic; 2006).
���
Bab 7
CERVICAL ROOT SYNDROME Tjokorda GB Mahadewa
PENDAHULUAN Pada daerah leher, banyak terdapat jaringan yang bisa menjadi sumber terjadinya nyeri. Biasanya rasa nyeri berasal dari jaringan lunak atau ligamen, akar saraf, faset artikular, kapsul, otot serta duramater. Nyeri bisa diakibatkan oleh suatu proses degeneratif, infeksi atau inflamasi, iritasi serta trauma. Selain itu perlu juga diperhatikan timbulnya nyeri alih dari organ atau jaringan lain yang merupakan distribusi dermatomal yang dipersarafi oleh saraf servikal. Beberapa orang bisa mengalami nyeri leher yang bisa merambat ke bahu atau bahkan tangan. Nyeri yang timbul ini sering disebabkan oleh adanya cedera pada atau dekat dengan akar dari saraf spinal. Nyeri pada leher ini sering disebut dengan cervical root syndrome. Cervical root syndrome adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh iritasi atau penekanan akar saraf servikal oleh penonjolan diskus invertebralis. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri leher yang menyebar ke bahu, lengan atas dan bawah, parasthesia, dan kelemahan atau spasme otot. Salah satu contoh penyakitnya adalah radikulopati servikal. Radikulopati berarti radiks posterior dan anterior yang mengalami suatu proses patologik (Eubanks, 2010; Carette dkk, 2005; Melanga, 2009). Nyeri pada leher sering menjadi keluhan pasien, selain nyeri juga dikeluhkan adanya rasa lemah dan lemas dari pasien. Cervical root syndrome merupakan kumpulan gejala yang sangat mengganggu aktivitas pasien, sehingga penanganan yang tepat sangat diperlukan oleh pasien. Penanganan yang dapat diberikan bisa berupa penanganan non-
61
LO saraf Perifer-Juli.indd 60-61
4/3/2013 12:09:59 AM