Judul
: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012
Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM
: 11100011
FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA
ABSTRAK Tujuan Penelitian ini adalah Mengkaji perlindungan Anak Berhadapan Hukum dalam ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA. Pada kenyataannya banyak kasus kejahatan yang pelakunya anak-anak. Anak sebagai tersangka harus melewati proses peradilan pidana, yaitu meliputi seluruh prosedur acara pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana. Dengan diundangkannya UU SPPA merupakan pengganti terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Substansi yang paling mendasar dalam undang-undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan Si anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Metode dalam penelitian ini menggunakan penelitian normatif karena peneliti mengkaji perlindungan Anak Berhadapan Hukum dalam ketentuan UU SPPA yang kemudian dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan dan teori-teori dari berbagai literatur yang telah disajikan dalam landasan teori. Pemberlakukan UU SPPA ini sangat tepat sekali mengingat filosofi sistem peradilan pidana anak adalah mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak sebagai orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa. Dengan adanya UU SPPA, anak dapat lebih terlindungi dari sistem peradilan yang tidak ramah anak sehingga dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak yang dapat menentukan sikap dan perilaku anak di masa yang akan datang.
Kata kunci : Perlindungan Anak Berhadapan Hukum dalam SPPA
1
A.
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi penentu nasib bangsa dimasa depan, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang. Ajaran agama menyatakan setiap anak terlahir ke dunia dalam keadaan bersih dan tidak berdosa, seperti kertas putih yang bersih tanpa noda. Kemudian orang tuanya yang menjadikan Sang anak menjadi baik ataukah sebaliknya yaitu menjadi jahat. Anak nakal itu merupakan hal yang wajar saja, karena tidak seorangpun dari orang tuanya yang menghendaki kenakalan anaknya berlebihan sehingga menjurus ke tindak pidana. Pada kenyataannya banyak kasus kejahatan yang pelakunya anak-anak. Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) erat kaitannya dengan penegakan hukum itu sendiri, penanganan ABH diatur secara khusus dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile justice system). Dengan diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan pengganti terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Substansi yang
2
paling mendasar dalam undang-undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan Si anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. 2. Perumusan Masalah Bagaimana upaya perlindungan Anak Berhadapan Dengen Hukum (ABH) khususnya Anak Berkonflik dengan Hukum atau Anak sebagai Pelaku tindak pidana dalam ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, jika dibandingkan dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ?
B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Anak Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 ada beberapa pengertian terkait dengan anak, Menurut Pasal 1 Butir 2 disebutkan bahwa Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Selanjutnya Pasal 1 Butir 3 menyebutkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam Pasal 1 butir 4 menyatakan bahwa Anak
3
yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Selanjutnya yang terakhir diatur dalam Pasal 1 Butir 5 yang menyatakan bahwa Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Penetapan usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik di berbagai negara. 2.
Sistem Peradilan Pidana Anak UU No. 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
4
Tujuan Sistem Peradilan Anak menurut UU No. 11 Tahun 2012 agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Demikian antara lain yang disebut dalam bagian Penjelasan Umum UU SPPA. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersamasama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
5
Menurut Paulus Hadisuprapto, tujuan peradilan anak harus menekankan pada tujuan kesejahteraan anak. Jika apabila anak tetap di pertanggung jawabkan atas perbuatannya, maka sanksi yang dijatuhkan haruslah beraspek pada kesejahteraan anak, sanksi yang dijatuhkan pada anak juga harus memperhatikan tujuan pemidanaan dimana unsur paedagogi menjadi unsur utama……….(Setya Wahyudi, 2011:16-17) Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang, orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menentukan: “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”
C.
METODE PENELITIAN
1. JENIS PENELITIAN Jenis
penelitian
yang
dilakukan
dalam
penelitian
UPAYA
PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11
TAHUN 2012 adalah penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto, Penelitian hukum normatif yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum. …………(Soerjono Soekanto, 1983:51)
6
2. SIFAT PENELITIAN Penelitian hukum ini bersifat diskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan objek penelitian………..(Zainuddin Ali, 2011:105 – 106). 3. BAHAN/MATERI PENELITIAN Mengingat bahwa jenis penelitian hukum ini adalah normatif maka materi atau bahan yang dibutuhkan bersifat data sekunder, Yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan.………..(Zainuddin Ali, 2011:105 – 106) 4. ALAT PENGUMPULAN DATA Adapun alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Penelitian ini dilakukan melalui teknik Studi Pustaka, yaitu merupakan cara pengumpulan data dengan cara mempelajari bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengar, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut dengan melalui media internet……….(Mukti Fajar ND, 2010:160).
7
D.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Lingkup Kajian mengenai kejahatan anak tersebut dapat digambarkan dengan skema berikut :
GAMBAR. 1 LINGKUP KAJIAN PENANGANAN ABH PELAKU
KORBAN ANAK ANAK BERMASALAH DALAM PRILAKUNYA
PELAKU
SARANA PENAL
IUS CONSTITUTUM
IUS CONSTITUENDUM
8
SARANA NON PENAL
PENDEKATAN KRIMINOLOGIK
Perkembangan hukum yang pada akhirnya menghapus ketentuan Pasal 45 KUHP dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, kemudian perkembangan sosial yang juga berpengaruh
pada
berkembangnya
peraturan
perundang-undangan,
akhirnya melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ketentuan Sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dapat dilihat dan dibandingkan pada tabel berikut : TABEL. 1 PERUMUSAN SANKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 NO
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 1 Sanksi Pidana 1. Pidana Pokok
a) b) c) d)
Pidana Penjara Pidana Kurungan Pidana Denda, atau Pidana Pengawasan
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 1. Pidana Pokok
a) Pidana Peringatan b) Pidana dengan syarat (1) Pembinaan diluar Lembaga (2) Pelayanan Masyarakat, atau (3) Pengawasan c) Pelatihan Kerja d) Pembinaan Dalam Lembaga e) Penjara
1. Pidana Tambahan 2. Pidana Tambahan a) Perampasan barang a) Perampasan keuntungan barang tertentu, dan atau yang diperoleh dari b) Pembayaran ganti tindak pidana, atau rugi b) Pemenuhan kewajiban adat.
9
2 Sanksi Tindakan
1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh. 2. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau 3. Menyerahkan pada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial, Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja
1. Pengembalian kepada orang tua/wali; 2. Penyerahan kepada seseorang; 3. Perawatan di rumah sakit jiwa; 4. Perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) 5. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh Pemerintah atau Badan Swasta; 6. Pencabutan Surat Ijin Mengemudi; dan/atau 7. Perbaikan akibat tindakan pidana.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 meletakkan pidana penjara sebagai pidana pokok yang paling akhir (ultimum remidium), sebagai wujud pelaksanaan perbaikan, pembinaan, dan mendidik Anak pelaku tindak pidana, serta memberikan sanksi tindakan yang jauh lebih banyak sebagai hal yang lebih mendukung tujuan pembinaan dalam undang-undang ini. Pasal 69 ayat (2) menyebutkan bahwa pemberian sanksi pidana maupun sanksi tindakan ditentukan berdasarkan usia anak pelaku, Anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Jangka waktu penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut :
10
TABEL. 2 Jangka Waktu Penahanan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997
PROSES
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012
PENAHANAN
PERPANJANGAN
JUMLAH
PENAHANAN
PERPANJANGAN
JUMLAH
PENYIDIKAN
20 hari
10 hari
30 hari
7 hari
8 hari
15 hari
PENUNTUTAN
10 hari
15 hari
25 hari
5 hari
5 hari
10 hari
PENGADILAN
15 hari
30 hari
45 hari
10 hari
15 hari
25 hari
PENGADILAN TINGGI
15 hari
30 hari
45 hari
10 hari
15 hari
25 hari
MAHKAMAH AGUNG
25 hari
30 hari
55 hari
15 hari
20 hari
35 hari
JUMLAH
200 hari
JUMLAH
Apabila jangka waktu penahanan sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah berakhir, maka petugas tempat
Anak ditahan harus segera
mengeluarkan Anak demi Hukum. Hal ini berbeda dengan ketentuan jangka waktu penahanan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, bahwa apabila jangka waktu penahanan yang telah ditentukan berakhir, maka penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang dengan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan, yakni paling lama 15 (lima belas) hari, jika masih diperlukan perpanjangan penahanan dapat dilakukan perpanjangan lagi untuk waktu paling lama 15 (lima belas) hari. Sistem Peradilan Pidana Anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 berbeda dengan Sistem Peradilan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997, dimana dalam Undang-Undang Nomor 11 11
110 hari
Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif melalui upaya Diversi. Dari paparan di atas penulis berpendapat bahwa tujuan dari adanya proses diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan
perkara
anak
di
luar
proses
peradilan
sehingga
menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan. Proses diversi dalam penyelesaian kasus dengan pelaku anak merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, proses diversi juga merupakan proses yang dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak agar mendapatkan bimbingan dan binaan dari orangtua serta dari lembaga-lembaga terkait. Pemberlakukan UU SPPA ini sangat tepat sekali mengingat filosofi sistem peradilan pidana anak adalah mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak sebagai orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak masih memerlukan perlindungan dari negara dan masyarakat untuk jangka waktu ke depan yang masih panjang. Hal lain yang perlu diingat adalah anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat banyak dipengaruhi beberapa faktor lain di luar dirinya seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Oleh sebab itu peran orang tua, lingkungan bermain, dan pelayanan dasar anak seperti kesehatan serta pendidikan harus menjadi perhatian bersama.
12
E.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan ketentuan dari peraturan perundang-undangan dan pembahasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Upaya perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) khususnya Anak Berkonflik dengan Hukum atau Anak sebagai Pelaku tindak pidana dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, jika dibandingkan dengan Undan-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah sebagai berikut: Pemberlakukan UU SPPA berdasarkan pada filosofi sistem peradilan pidana anak mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap anak sebagai pelaku, karena berdasarkan norma-norma yang diatur dalam UU SPPA tersebut mengutamakan terjadinya Restorative Justice (RJ)/keadilan yang memulihkan dengan memberikan pengaturan terhadap batasan usia anak yang dapat berproses hukum, adanya diversi dan lebih mengutamakan putusan dalam bentuk tindakan daripada perampasan kebebasan terhadap anak. Dengan adanya UU SPPA, anak dapat lebih terlindungi dari sistem peradilan yang tidak ramah anak sehingga dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak yang dapat menentukan sikap dan perilaku anak di masa yang akan datang. Dengan adanya UU SPPA ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang hak anak atas kelangsungan hidup tumbuh
13
dan berkembang serta hak atas perlindungan atas kekerasan dan diskriminasi dapat di lindungi dengan lebih baik karena Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara sehingga anak sebagai subjek hukum yang dipandang khusus oleh hukum, mendapatkan jaminan pada setiap tahapan proses dalam peradilan anak, sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik anak seperti yang telah ditetapkan dalam Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU Mukti Fajar ND. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Setya Wahyudi. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.Yogyakarta: Genta Publishing. Soerjono Soekanto. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Zainuddin Ali. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
14