SURAU DI KOTA SENJA RACKA-MAULANA Allahu akbar…Allahu akbar…! Suara lantang itu keluar juga dari moncong speaker tua di surau sebelah. S uaranya serak, seserak daun-daun kering yang terinjak kaki manusia. Sinar jingga sudah menyoroti surau itu dari tadi. Menyisakan bayangan yang begit u klasik di tembok kamarku. Ya, hanya satu-dua berkas sinar yang berhasil lolos dari celah-celah dinding surau yang tebuat dari bambu tersebut. Sepi …hening…! Suara panggilan itu tidak memberikan pengaruh apa-apa pada orang-orang d i daerah ini. Mereka lebih menganggapnya sebagai orang yang sedang latih an berteriak. Bahkan dianggap terlalu mengganggu aktivitas mereka. Telev isi, suara musik, gitar, terasa lebih merdu bagi mereka. Mengapa? Bukank ah alunan adzan itu sangat mulia? Seperti biasa hanya jasad-jasad tua yang melangkah mendekati surau itu. J asad-jasad yang setua surau itu. Langkah mereka tertatih dan terseret. Pa ndangannya sayu seakan meninggalkan kepedihan. Ya, kepedihan akan kehilan gan sebuah generasi yang mewarisi tradisi mereka, setidaknya anak cucu me reka. Surau itu hanya berisi satu-dua orang jamaah. Seorang imam, serta bebera pa makmum pria dan wanita tua. Aku bisa menempati shaf pertama. Kukenali jelas orang yang selalu mengurusi surau ini. Seorang imam surau sekalig us sebagai muadzin, Pak Mukmin. Aku memang belum terlalu mengenalnya, tapi penduduk sini menyebutnya d engan nama itu. Menurut mereka, dulu lelaki tua itu adalah ketua prema n pasar Ngemplak yang sangat ditakuti dan disegani para penduduk. Nama nya Gendung. Setiap hari para pedagang pasar selalu memberinya uang ke amanan kepadanya. Tidak ada yang berani melawannya. Sejak kematian istrinya, lelaki itu mengurung diri di rumah sebulan penu h. Awalnya tetangganya tidak peduli dengan apa yang ia lakukan. Tapi par a pedagang pasar mengeluh karena barang mereka sering hilang sejak Gendu ng tidak lagi menariki uang keamanan. Tidak ada yang mengamankan barangbarang mereka . Sejak itu keberadaannya menjadi sering dibicarakan. Walaupun Gendung selama ini menjadi preman yang menariki uang keamanan, tetapi para pedagang percaya akan kejujurannya. Tidak pernah ada baran g hilang ataupun kerusuhan yang terjadi di pasar. Gendung benar-benar m enjaga keamanan pasar, sehingga mereka merasa terlindungi. Tetangga Gendung semakin heran dengan kealimannya, sebulan setelah kema tian istrinya. Gendung menjadi sering pergi ke surau, belajar mengaji d engan pak Haji Toha. Semakin ramah dengan penduduk. Ia juga membantu Pa k Toha mengajari anak-anak ngaji Al-Qur’an. Sejak saat itu surau menj
adi ramai dengan anak-anak ngaji. Para pedagang tidak tinggal diam, mereka semakin gelisah dengan keamana n mereka di pasar. Suatu hari perwakilan para pedagang itu mendatangi r umah Gendung. ― Mas Gendung, saya mewakili para pedagang pasar, anu mas…anu…― ― Anu apa,pak? Apa ada yang salah?― tanya Gendung heran. ― Begini mas Gendung, kami ingin mas Gendung kembali menjaga keamanan pasar karena akhir-akhir ini suasana pasar jadi kacau. Banyak barang-bar ang pedagang yang hilang, bahkan uang saya yang berada di dompet daganga n hilang semua. Jadi…ya, gitu…― paparnya polos. Gendung terdiam me natap laki-laki itu. ― Bukankah dulu ketika saya sering meminta uang dengan paksa, para pe dagang sering mengeluh?― hardiknya. ― Tapi itu kan dulu, nyatanya ketika itu pasar juga aman. Maka dari itu kami ingin mas Gendung kembali.― balas laki-laki itu sembari melirik Gen dung. ― Wah, sepertinya saya nggak bisa pak, saya pengin tobat, pengin punya p ekerjaan tetap.― jawabnya halus. ― Wuah, jangan khawatir, Mas! Kita juga sudah sepakat agar mas Gendung digaji tiap bulan seperti pegawai itu lho! Hayo gimana?― Gendung hanya tersenyum pada mereka. Kilatan matanya mengisyaratkan k eengganannya untuk kembali pada kehidupan masa lalu. ― Coba dipertimbankan, enak lho Mas, cuma tinggal ongkang-ongkang.†• Gendung menatap pedagang itu. ***** Sejak Pak Haji Toha sakit-sakitan, Gendung sering menggantikannya menjad i imam di surau dan dipercaya mengurusi anak-anak yang ngaji. Begitu ber lanjut hingga ketika pak Haji meninggal Gendung menggantikan posisinya m enjadi pemimpin surau. Ia juga mendapat warisan dari Pak Haji sesuai den gan surat wasiat, karena walaupun kaya, Pak Haji tidak memiliki anak dan istri. Surau menjadi ramai. Gendung berhasil mengajak anak-anak muda untuk m emakmurkan surau. Suasana surau menjadi meriah. Alunan bacaan Al-Qurâ €™an selalu mengalun ketika petang menjelang. Teriakan anak-anak yang menyanyikan sholawat menjadikan desa itu hidup kembali. Mereka tidak lagi memanggil lelaki itu dengan sebutan Gendung tetapi Muk min. Tapi lelaki itu tetap menerima saja sebutan yang diberikan masyarak at kepadanya, karena itu merupakan penghormatan masyarakat terhadapnya. Ia menjadi sosok yang jadi panutan di masyarakat, bahkan Pak Kepala Desa
sering memintai pendapatnya tentang keputusan yang akan diterapkan di d esa itu. Ketika Ramadhan menjelang, banyak perubahan terjadi. Suatu hal yang bel um pernah diadakan sebelumnya. Banyak kegiatan dilakukan untuk menyemar akkan Ramadhan kali ini. Dari sholat tarawih, pesantren anak-anak, bahk an tadarusan yang melimpah setelah sholat tarawih. Ketika jam buka puasa menjelang, surau menjadi pasar rakyat, dikelilingi para penduduk yang menjajakan makanan buka puasa. Kolak, manisan, lonto ng, ketupat, es Buah, kolang kaling, putu, bajigur dan banyak lagi. Buka n hanya penduduk sekitar yang membeli makanan itu, ada juga yang jauh-ja uh datang ke surau itu sekedar mencari makanan pencuci mulut. Pukul dua pagi rumah-rumah sudah terang. Mereka saling menukar makana n. Terlebih Pak Mukmin selalu mendapat kiriman makanan dari penduduk, bahkan sering sisa. Ada di antara pemuda yang sengaja membawa makana n dari rumah dan memakannya bersama-sama di surau. Setelah itu, merek a mengadakan ronda sahur untuk membangunkan penduduk yang masih terle lap. ***** ― Nak…!― sapanya mengejutkanku. Aku segera menutup mushaf kecilku dan membetulkan kaca mataku. Tak kusa dari surau telah sepi, tinggal kami berdua, aku dan Pak Mukmin. ― Dari tadi Bapak mendengarkan bacaan Qur’anmu Nak. Suaramu bag us.― mata tuanya mengamatiku. ― Ah, Bapak bisa saja.― ― He he he …Bapak sudah tidak bisa baca Qur’an, mata bapak suda h kabur. Jadi, bapak senang mendengarkan orang membaca Al-Qur’an.†• Aku terkejut. Dengan mata kabur, Pak Mukmin masih tetap meluangkan wakt unya untuk mengadzani surau ini dengan tubuh tuanya. Maghrib, isya, sub uh … Ah betapa naifnya aku. ― Nak, siapa nama kamu?― lelaki tua itu memegang pundakku, hangat. ― Harun, Pak!― jawabku singkat. ― Harun … ? hmm…nama yang bagus, seperti nama nama seorang Nabi ,― terkanya kagum. Aku hanya menatapnya. ― Bapak senang ada anak muda seperti Nak Harun yang masih mau meluangka n waktu untuk sholat di surau ini. Para pemuda di sini sudah tidak peduli lagi dengan surau ini. Ya…hanya kami-kami yang sudah tua yang mengisi surau ini. Kami sedih …― kulihat wajah keriputnya begitu tegar. ― Nak Harun, berapa lama di sini?― ― KKN saya tinggal satu minggu lagi, lalu saya harus pulang, Pak― ― Satu minggu lagi?― tanya laki-laki itu berat. Sepertinya ia sangat m
enyayangkan pernyataan yang baru saja didengarnya. ― Berarti sudah satu bulan lebih Nak Harun KKN di sini?― ― Ya, Pak― kembali jawabku singkat. Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. ― Mengapa bapak tidak tahu ya…? Padahal sebulan lebih Nak Harun sholat di surau ini …. Ah, mungkin bapak sudah terlalu tua.― Ya … Allah, terimalah tobatku ini! Hatiku serasa tersayat sembilu mend engar kata-katanya. Hampir dua bulan aku sia-siakan waktu KKN-ku. Apa ya ng kuperbuat selama ini? Kesana-kemari, kumpul-kumpul tidak jelas…meng apa aku lewatkan sebuah surau kecil di depan kosku? Betapa piciknya akuâ €¦. ― Saya memang tidak pernah sholat di surau ini, Pak! Baru kali ini!― j awabku malu. ― kalau saja aku tidak terjatuh dari pohon itu, bagaimana mungkin aku akan singgah ke surau ini. Kakiku yang bengkak mengharuskanku untuk isti rahat total di kos dan melimpahkan tanggung jawabku sebagai koordinator kepada teman-teman. Kejenuhanku dalam kos menyempatkanku untuk melirik s urau tua di depan kosku ini. Lelaki tua itu tersenyum ramah padaku. Aku semakin malu dengan Pak Mukmin, malu pada diriku sendiri. Jika ada sejuta lebih orang-orang seperti Pak Mukmin yang gigih dalam mencapai r idha-Nya, masih adakah surga untukku? Atau mungkin bau surgapun tak aka n tersentuh sama sekali di hidungku? ― Wah, jawaban Nak Harun seakan membuat penglihatan bapak sembuh saj a, he he….Bapak salut anak semuda Nak Harun masih punya keinginan un tuk mendekatkan diri pada Allah. Tidak seperti bapak waktu masih muda. Setidaknya ini merupakan awal dari hijrah Nak Harun untuk semakin ber takwa kepada-Nya. Hidayah Allah itu mahal….!― ― Benar-benar mahal…― ulangnya lagi dengan suaranya yang parau. Dengan penuh kebijaksanaan, lelaki tua itu menanggapiku. Wajah penuh dam ai itu menatapku hangat. Sifat-sifat yang tidak pernah ada dalam jiwaku. Egois, emosi, angkuh… Semua menyelimuti hatiku tanpa sisa, bahkan telah menjadi bagian dari hidupku. ― Nak Harun, sudah lama bapak tidak mendengarkan bacaan Al-Qur’an d i surau ini. Semua jamaah di sini sudah tua-tua, sama seperti bapak. Ja di mereka juga kesulitan membaca Al-Qur’an…surau ini sepi….― ma tanya berkaca menatapku. Aku hanya menunduk. Betapa kutemukan hal-hal yang selama ini tidak ters entuh olehku, baru di pengujung studiku. Lelaki tua itu seolah memukul kembali lonceng hatiku yang beku. Tepat sebelum aku meninggalkan dunia yang penuh dengan logika semata. ― Bapak ingin…ya, kalau Nak Harun punya waktu….―
― Insya Allah, Pak! Katakan saja,― jawabku cepat. ― Ya kalau tidak keberatan bapak ingin Nak Harun membacakan Al-Qur’ an di surau ini setelah sholat. Bapak rindu sekali dengan lantunan Al-Q ur’an, sudah lama bapak tidak mendengarkannya lagi….― Tak tahan aku meneteskan air mata. Rindu? Jangankan untuk rindu, membukanya saja aku sangat berat. Mushaf kecilku ini tidak lebih dari tumpukan kertas yang tidak berguna yang te rletak di pojok meja belajar, menunggu debu-debu yang hinggap menyelimu tinya. Apalagi hasrat untuk mengetahui kandungannya…maknanya…ah…! ― Bisa, kan?― tatapnya memastikanku. ― Insya Allah, Pak.― ***** Siluet senja meninggalkan berkas di dinding kamarku. Inilah harmoni teri ndah yang pernah kualami. Saat-saat yang paling kunanti diantara hari-ha riku yang menjenuhkan dalam penantian yang sungguh membosankan. Sudah beberapa hari ini aku membacakan Al-Qur’an sehabis sholat magh rib. Tidak hanya Pak Mukmin, para jamaah lain juga mendengarkan. Merek a begitu khusyu’ mendengarkan bacaanku, sembari menundukkan kepalany a yang layu. Entah mereka bisa mengerti artinya atau tidak, aku tidak tahu. Yang pasti mereka adalah orang-orang yang teguh di mataku. ― Nak Harun, bisa mengantar bapak pulang?― suaranya sesak. Aku mengernyitkan dahi. ― Ya, Pak! Bapak sakit?― kucoba menerka. ― Sepertinya… Dada bapak sakit! Antarkan bapak, ya?― pintanya tulus. Kuraih tangan keriput itu untuk menuntunnya pulang. Dingin. Wajahnya te rtunduk lemas, mungkin memendam sakit yang amat sangat. Aku harus meran gkul dan menuntunnya pelan. Tubuhnya tidak begitu berat, bahkan sangat ringan! Dimana keperkasaannya di masa muda dulu? Jagoan yang disegani? Kini dia hanya laki-laki tua yang tidak berdaya. Kami tiba di sebuah rumah sederhana. Dinding anyaman bambu, kayu penyan gga yang keropos, genting yang pecah-pecah, pintu yang berderit…lusuh …ah, betapa sederhananya orang ini. Tapi rumah ini begitu damai, mung kin karena pemiliknya mengisi rumah ini dengan jiwa-jiwa bening. ― Bapak sakit apa?― tanyaku hati-hati. Lelaki tua itu hanya diam. ― Sudah lama bapak sakit ini?― mata tuanya menatapku lembut. ― Ah…biasa saja sudah tua, paling-paling penyakit tua. Ya…batuk-ba tuk kecil. Tidak apa-apa kok, sebentar lagi juga sembuh. Mungkin bapak m asuk angin,― paparnya tenang. Aku cuma tersenyum manatapnya. ― Iya, Nak Harun, setiap pagi bapak kan mencangkul di sawah, ya…unt uk menyambung hidup, supaya bisa makan.―
Mencangkul di sawah…? Setua ini…? Oh, great …! Aku sendiri..? Apa y ang aku lakukan selma ini? Makan, tidur, belajar, main, minta uang…waja h tampan, punya mobil, handphone, komputer, televisi…dan berbagai fasil itas kemewahan di kamar kosku. Ke masjid…? Nihil! Ya Allah, betapa selama ini aku menganggap diriku telah memberikan sega lanya pada-Mu. Aku menganggap diriku telah berbakti pada orang tua. mas ih pantaskah aku merasa diatas semua ciptaan-Mu dan menganggap diriku s ebagai orang yang terbaik dihadapan-Mu? Aku menunduk tajam. ― Nak Harun, kok diam saja?― ― Eh…tidak Pak…kok bisa…eh iya…enak tidak, pak pijatannya?― ja wabku gagap. ― He he he…melamun ya…?― laki-laki tua itu tersenyum padaku. Aku tertunduk malu. ― Nak Harun, kalau melihat Nak Harun memijat, bapak jadi teringat deng an anak bapak yang bernama Mushlih…dia sering membantu bapak mengurus surau,― mata lelaki tua itu sayu. ― Bapak punya putra?― sejenak aku menghentikan tanganku. Pak Mukm in hanya mengangguk sedih. ― Sekarang dimana dia?― tanyaku. Lelaki itu hanya menelan ludah. Sesekali ia sesegukan dan menghembuskan napas yang berat namun panjang. ― Dia ikut teman-teman seusianya kerja di Jakarta. Sekarang mungkin di a sudah meninggal. Dulu ketika Jakarta ramai demonstrasi mshasiswa, Mush lih, putra bapak ikut-ikutan bersama rombongan mahasiswa yang turun ke j alan. Katanya ingin ikut memperbaiki negara yang sudah hancur. Rupanya d ia menjarah barang-barang di toko bersama teman-temannya, tapi ia dicidu k aparat, dan tidak tahu sekarang bagaimana….― paparnya sedih, menge nang masa lalunya. ― Bapak tidak melaporkannya pada polisi atau LSM?― aku semakin pena saran. ― Sudah, Pak RT yang menyarankan, tapi kata mereka Mushlih melarikan diri dan tidak tahu kabarnya sampai sekarang….― suaranya melemah. Sudah empat tahun Mushlih tidak kembali. Tidak ada yang tahu. LSM? Komi si HAM? Pak Mukmin tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada mereka . Bagaimana mereka mau mengurusi masalah seperti ini. Sudah begitu bany ak orang yang hilang. Mungkin mereka muak mengurusi hal-hal kecil seper ti ini. Ya…paling-paling ditangkap aparat, kurang lebih seperti itu. ― Ya…surau itu jadi sepi, Nak Harun. Di kampung ini tidak ada lagi an ak muda yang mengurusi surau. Mereka semua mencari pekerjaan ke Jakarta, hanya orang-orang tua saja yang mengisi surau itu…mungkin ini sudah tak dir Allah….― Lelaki itu meletakkan tangannya di dada.
― Nak Harun?― desahnya memecah sepi. ― Ya, Pak.― kudekatkan telingaku ke wajahnya, suaranya semakin lirih. ― Tolong bacakan surah Yaasin, ya…bapak ingin mendengarnya dari Nak Harun… Tidak keberatan, kan? ― InsyaAllah tidak, Pak.― Kudekatkan lampu minyak yang menerangi kamar Pak Mukmin hingga meneran gi mushafku. Sesekali kulirik lelaki itu. ― Bismillaahirrahmaanirrahiim…Yaaasiin, walquranil hakiim….― Dalam temaram lampu minyak, kunikmati alunan demi alunan bacaan Qur ’an. Damai….malam begitu hening hingga kuselesaikan bacaanku. Pak Mukmin sudah memejamkan mata, mungkin ia sudah tertidur karena letih. Wajah d amai itu terbaring lemah menengadah keatas. Malam semakin pekat. ― Pak… Pak Mukmin… Harun pulang dulu….― bisikku lemah. Sepi… Ku pegang tangan kering itu, dingin…. Pak… Pak Mukmin… Pak Mukmin…. Tak ada respons, bahkan tak ada lag i desah nafas! Innalillahi wainna ilaihi roji’un…kukecup mushaf kecilku, haru…. *****