ISSN 1829-6610
Vol. 6 No. 1, April 2013
JURNAL ARSITEKTUR & PERENCANAAN JOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES
Diterbitkan oleh: JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
ISSN 1829-6610
Vol. 6 No. 1, April 2013
JURNAL ARSITEKTUR & PERENCANAAN JOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES
Diterbitkan oleh: JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
JURNAL ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN (JAP) (JOURNAL OF ARCHITECTURE AND PLANNING STUDIES)
Editorial Board: Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP, Ph.D Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D Dr. Ir. Budi Prayitno, M.Eng. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, M.Eng. Diananta Pramitasari, ST., M.Eng., Ph.D.
Managing Director: Syam Rachma Marcillia, ST., M.Eng., Ph.D.
Editorial Assistant: Nadia Aghnia Fadhillah
Editorial and Distribution Address: Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika No.2, Yogyakarta, 55281, Indonesia Telp.: +62 274 902320/902321 Fax.: +62 274 580854 Website: www.archiplan.ugm.ac.id E-mail:
[email protected],
[email protected]
i
ii
CONTENTS
Proses Menempati dan Kecenderungan Penggunaan Ruang_____________________________01 Pada Area Perdagangan Informal Ahmad Sarwadi, Bambang Hari Wibisono Repairing and Retrofitting Considerations in Concrete Construction_____________________ 11 Anni Susilowati, Sarito Transformasi Permukiman Suku Dayak Bukit________________________________________ 18 (dari Pondok menjadi Kampung) Bani Noor Muchamad, Tony Atyanto Dharoko, Arya Ronald, Heddy Shri Ahimsa-Putra Maintenance of Rigid Pavement on Peaty Soil________________________________________ 26 Endang Mulyani, Lusiana Pola Ruang Kriminalitas Kota: Studi Kasus Kota Surabaya____________________________ 39 Karina Pradinie Tucunan, Bakti Setiawan, Yori Herwangi The Using of Aerated Lightweight Concrete as an Alternative Substitution________________ 49 for Solid Red Brick Ninik Paryati
iii
iv
Transformasi Permukiman Suku Dayak Bukit (dari Pondok menjadi Kampung) Settlement Transformation of Dayak Bukit Tribes (from Hut to Village) Bani Noor Muchamad1, Tony Atyanto Dharoko2, Arya Ronald2, Heddy Shri Ahimsa-Putra4 1
2
Mahasiswa S3 Jur. Arsitektur dan Perencanaan FT-UGM, Yogyakarta Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 4 Dosen, Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
Abstract This paper aims to explain the transformation of the Dayak Bukit's settlement in Meratus Mountain region in South Kalimantan Province. Transformation of the settlement is an advanced research of Dayak Bukit's dwelling changes. Such transformation is very interesting because it still conserve the early of the settlement. This study utilized naturalistic paradigm. By focusing on local people in developing and building the living tradition, this research employed ethnography methods, particularly field observations and indepth interviews. This study found that the changes of Dayak Bukit’s dwelling are build the hut, extended the bilik or living space at the balai-adat, build the huts behind the bilik or living space, build houses around the balai-adat, and formed the village. The changes of Dayak Bukit’s dwelling is a transformation process of the settlements from the hut to the village. Generally, the transformation of the Dayak Bukit’s settlement can be divided into three phases, namely: (a) phase of the hut, (b) phase of the balai-adat, and (c) phase of the village. Keywords: transformation, Dayak Bukit tribes, vernacular architecture, settlement, dwelling change.
I. Pendahuluan Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian disertasi tentang konsep hunian suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan. Dalam upaya menggali dan merumuskan konsep tersebut, ternyata di lapangan sudah terjadi banyak perubahan dari kondisi aslinya, terutama dilihat dari aspek ruang dan bentuk. Berdasar pengetahuan umum yang berkembang di masyarakat lokal, hunian suku Dayak Bukit, yaitu balai-adat, adalah sebuah bangunan tunggal yang dihuni oleh beberapa keluarga yang masih memiliki ikatan kekeluargaan (gambar 1). Namun demikian, kondisi empiris saat ini menunjukkan adanya berbagai perubahan fungsi dan keragaman bentuk. Untuk itu, proses penelitian selanjutnya berangkat dari perubahan fungsi dan keragaman bentuk yang ada hingga akhirnya menghasilkan sebuah tesis tentang transformasi permukiman suku Dayak Bukit. Tesis tentang transformasi permukiman suku Dayak Bukit sangat menarik diteliti karena merupakan pengembangan penelitian tentang perubahan hunian suku Dayak Bukit sebelumnya (Muchamad, dkk. Bani Noor Muchamad ---Mahasiswa S3 Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FTUGM, Yogyakarta. Tel: 0274 6935088 E-mail:
[email protected]
18 JAP Vol.6 No.1 Apr. 2013
2013) dan seluruhnya dirumuskan dari bukti-bukti yang masih ada. Pada umumnya, dalam sebuah proses transformasi, bukti-bukti untuk fase awal hanya dapat dilihat dari sisa-sisa peninggalannya saja, tetapi tidak demikian dengan transformasi permukiman suku Dayak Bukit ini. Bukti-bukti untuk setiap fase transformasi justru masih ada di lapangan. Berbagai perubahan fungsi ruang dan keragaman bentuk yang terjadi dan masih ada saat ini bagaikan komponen mata-rantai yang dapat dirangkai kembali menjadi sebuah rantai yang utuh. Meskipun di lapangan masih dapat diperoleh berbagai bukti, namun bagaimana memahami dan meletakkan masing-masing komponen mata rantai tersebut? Bagaimana keterkaitan antar komponen, serta hubungan apa yang menyatukan komponen tersebut hingga menyusunnya menjadi sebuah rantai yang utuh adalah permasalahan utama penelitian ini. Gambaran transformasi permukiman suku Dayak Bukit sebagaimana permasalahan di atas adalah tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini. Sudah tentu seluruh temuan, baik yang sudah direncanakan, yaitu konsep hunian, maupun temuan ‘baru’-transformasi permukiman -, atau yang lainnya selama dalam proses penelitian ini tentu sangat berarti bagi pengembangan disiplin ilmu arsitektur.
Bani Noor Muchamad
Gambar 1. Tipikal arsitektur balai-adat Sumber: Muchamad, 2007.
II. Arsitektur dan Kebudayaan Membicarakan arsitektur, khususnya sebuah hunian atau tempat tinggal manusia, tidak dapat dilepaskan dari konteks manusianya. Dalam bukunya, Ekistics: an introduction to the science of human settlements (1968), Doxiadis menjelaskan bahwa human settlements adalah tempat tinggal yang dihuni oleh manusia yang mencakup elemen isi (content) yaitu manusia, baik seorang maupun bersama-sama, dan elemen wadah (container) yaitu fisik tempat tinggal, baik yang alamiah maupun buatan manusia. Dua elemen dasar, yaitu: isi dan wadah, ini selanjutnya dirinci oleh Doxiadis menjadi lima elemen, yaitu: alam (nature), manusia (man/antrophos), masyarakat (society), pelindung (shells), dan jejaring infrastruktur (networks). Dalam konsep Ekistics, dari lima elemen tersebut, elemen manusia (man/anthropos) adalah yang menjadi titik pusat. Selanjutnya, menurut Haviland (1995, hal. 332), sudut pandang yang paling tepat untuk memahami manusia adalah melalui kebudayaannya. Hal ini dikarenakan dari sekian banyak kelompok masyarakat yang ada di muka bumi seluruhnya memiliki kebudayaan. Dengan kata lain walaupun masingmasing kelompok masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda tetapi semuanya memiliki satu kesamaan, yaitu memiliki kebudayaan. Dari sekian banyak aspek yang dapat dilihat dalam kebudayaan suku Dayak Bukit, terdapat dua aspek yang sangat berpengaruh dalam menuntun ‘penemuan’ transformasi hunian suku Dayak Bukit: sistem religi dan sistem sosial-kemasyarakatan. 2.1 Sistem Religi Menurut Radam (2001, hal. 343), religi suku Dayak Bukit pada masa kini sebenarnya adalah religi huma. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa sebagian besar tindakan religius dan simbolis berkomunikasi dengan sesuatu yang dipandang adikodrati dan menggenggam nasib berada dalam semua aktivitas berladang (bahuma). Dalam kehidupan suku Dayak Bukit, kegiatan berupacara sangat menonjol menyertai keyakinan mereka. Upacara yang rutin dilaksanakan suku Dayak Bukit dimaksudkan untuk memelihara keyakinan yang ada, sehingga antara keyakinan dan upacara merupakan dua unsur esensial dan saling melengkapi; keyakinan menggelorakan upacara dan
upacara membenarkan keyakinan. Upacara-upacara yang diselenggarakan oleh suku Dayak Bukit adalah upacara yang wajib dilaksanakan oleh seluruh anggota kekerabatan (bubuhan) dan menyangkut tahapan bercocok tanam (bahuma). Khusus berkaitan dengan kegiatan berladang, setidaknya terdapat sembilan upacara (aruh) yang dilakukan suku Dayak Bukit sejak persiapan membuka ladang hingga setelah panen: (1) aruh mamuja tampa, atau upacara untuk memuja alat-alat pertanian, (2) aruh mencari daerah tabasan (ladang baru yang akan dibuka), (3) aruh patilah, yaitu upacara untuk menebang rumpun bambu bila di bakal ladang itu ditumbuhi rumpun bambu, (4) aruh katuan atau aruh marandahakan balai Diyang Sanyawa, yaitu upacara untuk merobohkan balai Diyang Sanyawa yang terletak di pohon-pohon terbesar yang ada di lahan yang akan dibuka, (5) aruh bamula, yaitu upacara untuk memulai menanam padi, (6) aruh basambu umang, yaitu upacara untuk menyembuhkan atau merawat umang, (7) aruh menyindat padi, yaitu upacara untuk mengikat rumput dan tangkai padi dan manatapakan tihang babuah, yaitu upacara untuk menegakkan tangkai padi yang berbuah, (8) aruh bawanang, yaitu upacara memperoleh restu (wanang), dan (9) aruh mamisit padi, yaitu upacara untuk memasukkan padi ke dalam lumbung. Tiga aruh pertama dilakukan oleh setiap keluarga (umbun) pemilik lahan yang bersangkutan, sedangkan aruh lainnya dilakukan oleh beberapa umbun dalam kelompok atau bubuhan yang bersangkutan. Saat panen raya adalah aruh yang paling besar yaitu aruh wanang atau sering disebut sebagai aruh ganal (Radam, 2001). 2.2 Sistem Sosial-Kemasyarakatan Dalam sistem sosial suku Dayak Bukit terdapat dua pihak yang berpengaruh, yaitu balian dan ketua balai-adat. Balian adalah pemimpin keagamaan suku Dayak Bukit dan pemimpin upacara adat. Balian terbagi empat tingkatan, yaitu balian muda, balian tangah, balian tuha, dan balian guru jaya. Setiap kelompok (bubuhan) suku Dayak Bukit memiliki beberapa orang balian dalam tingkatan dan jumlah yang berbeda-beda. Dengan adanya balian ini maka eksistensi bubuhan dan juga balai-adat (dalam konteks sebagai tempat pelaksanaan upacara adat/ aruh) tetap akan terpelihara. Menurut Radam (2001), inti dalam kepercayaan suku Dayak Bukit adalah terdapatnya beberapa ilah (utama dan pendamping) yang memiliki tugas-tugas khusus terkait alam semesta, manusia, dan padi. Keyakinan suku Dayak Bukit dapat dipahami melalui tiga mitos, yaitu tentang kejadian alam semesta, mitos manusia pertama, dan mitos asal-muasal tanaman padi. Dalam keyakinan suku Dayak Bukit masingmasing ilah memiliki tempat/kedudukan, peran/tugas, dan beberapa mitos pendukung lainnya yang berkaitan dengan tiga mitos utama ini.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 19
Selanjutnya melengkapi keyakinan dalam religi huma, terdapat juga beberapa upacara-upacara rutin yang dilaksanakan oleh suku Dayak Bukit. Secara umum, upacara yang dilaksanakan dapat dibagi dua: (1) berkaitan dengan kegiatan dan masa berladang, serta (2) kegiatan berkaitan dengan ritual peralihan tahap kehidupan. Dari semua upacara yang dilaksanakan, yang dianggap wajib adalah upacara yang berkaitan dengan kegiatan berladang (bahuma) dan masa berladang. Kedua unsur kebudayaan di ataslah yang sangat berperan dalam menjelaskan bagaimana transformasi hunian suku Dayak Bukit. III. Metode Penelitian Berdasar realitas dan kebudayaan suku Dayak Bukit, penelitian ini berangkat dengan pendekatan paradigma naturalistik. Peneliti meyakini bahwa hunian suku Dayak Bukit dan juga perubahannya tidak bisa dilihat secara parsial, hanya sebatas perubahan ruang dan bentuk semata, melainkan terikat dengan konteks kehidupan suku Dayak Bukit secara menyeluruh. Adapun untuk memperoleh temuan penelitian, maka pemilihan metode penelitian yang sesuai mengacu pada Creswell (1994) yaitu berdasar fokus. Berdasar fokus pada sekelompok masyarakat lokal berbagi budaya dan pengetahuan dalam mengembangkan tradisi bermukim serta membangun maka penelitian ini menggunakan atau mengacu pada metode etnografi yang dijelaskan dalam Spradleys (1979; 1980) untuk memperoleh temuan penelitian. Metode etnografi disini menekankan pada teknik observasi langsung di lapangan dan wawancara secara mendalam untuk memperoleh gambaran kehidupan sehari-hari suku Dayak Bukit, khususnya terkait tradisi bermukim dan membangun. Dari hasil analisis etnografi inilah dapat dirumuskan sebuah interpretasi atas realitas budaya yang ada, dalam hal ini tradisi bermukim dan membangun hunian suku Dayak Bukit. Penelitian mengambil lokasi di Desa Loksado, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan (gambar 2) yang mencakup 21 balai-adat yang ada di Kecamatan Loksado sebagai kasus penelitian (lihat Lampiran B & C).
IV. Hasil dan Pembahasan Proses analisis etnografi tentang konsep hunian suku Dayak Bukit mencakup empat tahapan analisis: (1) analisis domain, (2) analisis taksonomi, (3) analisis komponensial, dan (4) analisis tema. Namun demikian, sebagaimana dijelaskan dalam pendahuluan tulisan ini, riset tentang transformasi permukiman ini diperoleh dari hasil interpretasi atas temuan bentuk perubahan hunian sebelumnya. Untuk itu, dalam bagian Hasil dan Pembahasan ini, sepenuhnya akan diuraikan proses transformasi permukiman suku Dayak Bukit sebagai interpretasi yang dilengkapi dengan berbagai data / bukti empiris pendukung. 4.1 Asal-mula tradisi bermukim Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, suku Dayak Bukit dikenal sebagai masyarakat yang menganut religi huma, di mana kegiatan berladang menanam padi (bahuma) merupakan inti kebudayaan serta inti kegiatan lainnya sepanjang tahun (Radam, 2001, hal. 38). Dalam menjalankan kewajiban dan pekerjaan utama berladang inilah maka membangun lampau (pondok terbuka) merupakan suatu kebutuhan akan ruang yang paling dasar bagi setiap umbun yang sedang membuka lahan garapan. Berlandaskan religihuma, suku Dayak Bukit memahami kedudukan dan kewajiban mereka di dunia, pandangan terhadap tanaman padi dan kegiatan berladang, serta elemenelemen alam yang berpengaruh bagi kehidupan/ hunian mereka. Suku Dayak Bukit selalu mengisi hari-hari dengan berladang padi (bahuma). Bahkan pada saat sekarang ini pun, jika kita berkunjung ke Loksado (salah satu kawasan permukiman suku Dayak Bukit) maka akan sangat jarang dapat menjumpai warga di balai-adat. Mungkin hanya ada beberapa perempuan atau anakanak yang dijumpai, selebihnya balai-adat terlihat hampir tak berpenghuni. Kondisi ini disebabkan seluruh warga melakukan aktifitas di ladang-ladang mereka. Baik orang tua maupun anak-anak seluruhnya bergotong-royong membuka lahan, memelihara tanaman padi, hingga tiba masa panen. Kondisi ini berlangsung cukup lama, antara 8-10 bulan dalam setahun. Fenomena tinggal di huma dalam konteks berladang inilah yang menjadi hakekat bermukim bagi suku Dayak Bukit. Selain itu, selama suku Dayak Bukit bermukim di huma, mereka juga wajib selalu memohon perlindungan dari ilah-ilah yang dipercaya, roh datu-nini, dan ingunan-ingunan (roh penunggu) yang ada di lingkungan alam sekitar. Seluruh proses dilaksanakan melalui serangkaian upacara (aruh) sedangkan keberadaan lampau adalah bagian yang tak terpisahkan.
Gambar 2. Lokasi penelitian. (A) Provinsi Kalimantan Selatan, (B) Kab. Hulu Sungai Selatan, (C) Kecamatan Loksado Sumber: diolah dari berbagai sumber, 2013.
20 JAP Vol.6 No.1 Apr. 2013
Bani Noor Muchamad
Gambar 3. Lampau (early hut) Sumber: dokumentasi peneliti, 2013.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami mengapa dalam sebuah wilayah permukiman tradisional (banua) milik suatu bubuhan akan terdapat banyak ladang-ladang yang dibuka dan juga lampau yang dimiliki oleh umbun-umbun. Setiap kegiatan bahuma akan selalu diawali dengan kegiatan pembukaan hutan agar dapat ditanami dan membangun lampau-lampau untuk tempat beristirahat. Oleh karena itulah di kawasan pegunungan Meratus banyak sekali dijumpai lampau dan pondok di tengah hutan ataupun di ladang-ladang pertanian. 4.2 Dimulainya tradisi membangun Setelah masa pembukaan ladang (huma) selesai, selanjutnya dimulai masa menanam padi. Pada masa ini lampau dikembangkan menjadi pondok dan kehidupan suku Dayak Bukit sehari-hari diisi dengan
Pada masa awal membuka lahan, dibangun lampau (pondok terbuka) yang hanya terdiri dari lantai dan atap. Fungsi lampau ini adalah untuk tempat duduk-duduk beristirahat sambil membersihkan lahan dan menanam bibit padi.
menjaga dan merawat tanaman padi. Selain itu mereka juga berburu dan meramu hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Manakala ladang garapan telah ditanami hingga 2-3 kali masa tanam, selanjutnya suku Dayak Bukit akan membuka kembali lahan garapan baru di lokasi lain. Hal ini dikarenakan lahan garapan yang ada sudah tidak subur dan tidak dapat mengahasilkan panen yang bagus. Dengan kondisi ini maka siklus pembukaan lahan garapan dan membangun lampau hingga menjadi pondok akan terulang kembali di lokasi yang baru. Sementara itu pondok yang ada (di lahan yang sudah ditinggalkan) akan dikembangkan menjadi lumbung tempat penyimpanan padi hasil panenan. Berkaitan dengan lumbung ini, masyarakat suku Dayak Bukit percaya bahwa seluruh hasil panen akan aman disimpan di lumbung meskipun tidak ditunggu/dijaga. Mereka percaya bahwa setiap lumbung dan juga huma memiliki ‘penunggu’ yang menjaganya. Adapun pencuri akan menerima balasan berupa kutukan (tulah) dan kecelakaan (bala). Selain itu terdapat hukum adat dan pantangan yang menjadikan keamanan lumbung terjamin. Proses transformasi ruang dari sebuah lampau kemudian dikembangkan menjadi pondok hingga akhirnya menjadi lumbung, sebagaimana diuraikan di atas diilustrasikan dalam Gambar 4 berikut. Tradisi ini merupakan awal tradisi membangun bagi suku Dayak Bukit.
Pada masa tanam, di mana padi mulai tumbuh maka ladang wajib dijaga dan dipelihara. Untuk itu lampau mulai dipasang dinding penutup untuk jadi tempat bermukim sementara. Seluruh keluarga menghabiskan waktu selama masa tanam dengan tinggal di pondok yang ada di huma.
Pada masa panen dan sesudahnya, pondok-pondok berubah fungsi dari tempat tinggal menjadi lumbung tempat menyimpan padi hasil panen. Seluruh warga pada masa-masa ini kembali ke balai-adat. Adapun hasil panen tetap disimpan di pondok (lumbung) ini.
Gambar 4. Transformasi dari lampau menjadi lumbung Sumber: analisis peneliti, 2013.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 21
4.3 Terbentuknya hunian bersama (balai-adat) Berawal dari transformasi lampau hingga menjadi lumbung inilah peneliti meyakini bahwa suku Dayak Bukit juga membangun hunian atau balai-adat mereka dari pondok ini. Didasari kebutuhan untuk tempat berkumpul dan melaksanakan aruh bahuma secara bersama-sama agar memperoleh vitalitas maka beberapa umbun mulai berkumpul. Proses berkumpulnya umbun-umbun ini selanjutnya diikuti dengan penggabungan pondok-pondok hingga membentuk sebuah hunian bersama (cikal bakal balai-adat). Jika pada awalnya, umbun-umbun hanya berkumpul di salah satu pondok yang ada maka selanjutnya mereka mulai menggabungkan dan memperluas pondok yang ada. Perluasan pertama adalah dengan cara menambah
Lampau/pondok/ lumbung yang dibangun terpisah dan tersebar di ladang-ladang milik umbun
Salah satu pondok dipilih sebagai tempat pelaksanaan upacara adat secara komunal
luasan lantai ke seluruh sisi dan ditandai oleh perbedaan ketinggian lantai antar ruang upacara, berkumpul, dan tempat tinggal (bilik). Argumentasi ini didukung fakta adanya enam tiang utama yang sebelumnya merupakan konstruksi sebuah pondok. Perluasan kedua adalah menambah ruang-ruang bilik (sebagai representasi pondok milik masing-masing umbun) di sekitar upacara (ruang pamatang). Berdasar proses inilah akhirnya tercipta sebuah balai-adat yang memiliki ruang upacara (ruang pamatang) di bagian tengah, ruang komunal (ruang laras) yang mengelilingi ruang upacara, dan ruang-ruang bilik (ruang ujuk) di sekeliling ruang komunal sebagaimana keberadaan balai-adat saat ini. Berikut ilustrasi uraian di atas.
Untuk memperkuat pelaksana an upacara dibangunlah ruang tambahan untuk menampung segenap warga
Pondok-pondok milik umbun mulai bergabung dan dibangun berupa bilik-bilik di sekitar ruang upacara yang ada
Gambar 5. Transformasi pembentukan balai-adat Sumber: analisis peneliti, 2013
Argumentasi adanya proses penggabungan pondok, selain terlihat dari enam tiang guru dan atap pelana yang berasal dari sebuah pondok, juga terlihat dari sifat kepemilikan individu (umbun) terhadap masing-masing bilik. Hampir pada seluruh balai-adat yang menjadi kasus-penelitian diperoleh gambaran bahwa status kepemilikan ruang bilik (ruang ujuk) berdampak pada perbedaan kondisi ruang bilik, baik dari segi pemeliharaan, material, hingga fungsi/ pemanfaatannya. Setelah tercipta sebuah balai-adat, suku Dayak Bukit selanjutnya tetap melaksanakan tradisi bermukim sebagaimana tradisi sebelumnya, yaitu setiap umbun yang melaksanakan kewajiban berladang akan membangun lampau dan pondok di ladang-ladang milik mereka. Dengan kata lain, siklus kehidupan awal-mula tradisi bermukim sebagaimana sebelumnya terulang kembali. Kondisi seperti inilah yang menjadikan seluruh bukti perkembangan fase tradisi bermukim suku Dayak Bukit masih dapat dijumpai dan terpelihara baik di lapangan. 4.4 Adaptasi terhadap kebutuhan ruang hunian Selanjutnya, akibat pertambahan jumlah anggota keluarga maka balai-adat sebagai hunian bersama mulai dirasa kurang mencukupi. Penambahan keluarga baru akibat anak-anak yang sudah dewasa mulai berkeluarga dan juga keinginan meningkatkan taraf kehidupan adalah alasan utamanya. Untuk itu setiap
22 JAP Vol.6 No.1 Apr. 2013
keluarga (umbun) dan kelompok (bubuhan) mulai melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan ruang yang semakin luas dan layak. Beberapa upaya dilakukan dengan tetap memegang atau tidak melanggar hukum adat, yaitu tidak melakukan perubahan pada ruang upacara (ruang pamatang). Beberapa perubahan dan keragaman balai-adat yang ada saat ini tidak terlepas dari akibat perluasan ruang yang dilakukan tersebut. 4.4.1 Perluasan ruang bilik dalam balai-adat. Secara fisik, perubahan akibat perluasan ruang ujuk ini terlihat jelas dari perubahan selubung bangunan balai-adat. Hal ini karena perluasan ruang ujuk dibuat dengan cara penambahan ruang namun dengan tetap menyatu atau menempel pada bangunan induk. Perluasan ruang ujuk didorong oleh kebutuhan wadah atau tempat untuk aktivitas keluarga yang lebih besar, baik akibat penambahan jumlah anggota keluarga maupun perabotan. Penambahan volume (panjang, lebar, dan tinggi) berbeda-beda tergantung kebutuhan dan kemampuan ekonomi masing-masing, sehingga tidak pada semua balai-adat ditemukan perluasan ruang ujuk. Begitu juga dengan konstruksi dan material yang digunakan, namun umumnya dibuat dengan bahan yang lebih sederhana daripada ruang laras dan ruang pamatang. Perluasan ruang ujuk dibangun menggunakan konstruksi tiang kayu yang diperoleh dari lingkungan
Bani Noor Muchamad
alam sekitar. Dinding dibuat dari bambu (paring) yang dibelah-dilebarkan (dinding balatai) atau dianyam, penutup lantai dibuat dari bahan bambu yang dibelahbelah, rangka atap menggunakan bahan bambu, sementara penutup atap menggunakan bambu yang dibelah dan disusun secara bersilang (atap tangkup) atau atap daun rumbia. Seluruh konstruksi menggunakan teknik penyambungan dengan ikatan rotan atau bambu tali (gigantochloa apus).
Gambar 6. Perluasan ruang bilik Sumber: ilustrasi peneliti, 2013.
Fenomena perluasan ruang ujuk masih bisa dijumpai pada beberapa balai-adat yang ada saat ini, namun karena sudah tidak lagi dipergunakan sebagai tempat tinggal sehari-hari maka kondisi ruang ujuk umumnya sudah rusak parah.
pilihan membangun pondok/rumah di luar balai-adat adalah sebuah alternatif yang paling mudah dan murah. Selain untuk kebutuhan tempat tinggal, alasan pembangunan pondok adalah untuk menyimpan berbagai hasil perkebunan atau hasil hutan. Adapun padi hasil dari ladang pertanian tetap disimpan di pondok (lampau) yang terletak di ladang pertanian. Selain hasil kebun, hutan, dan ladang pertanian, terdapat juga hasil kebun karet berupa blok-blok getah yang disimpan dengan cara direndam di sungaisungai. Saat ini, pondok yang dibangun di sekitar balaiadat sangat mudah dijumpai, mulai dari kondisi asli hingga pondok yang sudah direhab. Setiap umbun akan membangun rumah-pondok tepat di belakang ruang ujuk masing-masing. Hal ini juga menegaskan aspek kepemilikan sekaligus menggambarkan kebutuhan ruang masing-masing umbun. Sebagaimana perluasan bilik, pembangunan pondok juga disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan ekonomi setiap umbun.
Gambar 8 Pembangunan pondok di sekitar balai-adat Sumber: ilustrasi peneliti, 2013.
Gambar 7. Kondisi bilik saat ini yang sudah rusak Sumber: dokumentasi peneliti, 2013.
Pada masa sekarang ini, di mana masyarakat sudah tidak lagi tinggal dalam balai-adat, pondok-pondok yang ada berfungsi pula untuk menampung tamu undangan yang hadir pada saat upacara (aruh) dan tempat menyiapkan hidangan untuk para undangan. Pada saat diselenggarakan upacara (aruh), para tamu, baik dari kalangan suku Dayak Bukit maupun masyarakat lain, yang umumnya berasal dari jauh akan diinapkan di pondok ini. Begitu juga dengan para umbun dari warga bubuhan yang sekaligus pemilik ujuk akan tinggal di ruang ujuk masing-masing atau dalam pondok mereka. Dengan kata lain, selama aruh ganal berlangsung, maka balai-adat berfungsi penuh sebagai tempat tinggal. Inilah yang menyebabkan pondok umumnya lebih terawat kondisinya.
4.4.2 Membangun pondok di sekitar balai-adat Perubahan selanjutnya adalah pembangunan pondok di sekitar balai-adat. Alasan utama dibangun nya pondok ini adalah untuk menampung anggota keluarga yang semakin banyak dan sudah tidak bisa lagi ditampung dalam ruang ujuk yang ada. Manakala memperbesar balai-adat (untuk menambah ruang ujuk) dengan cara merubah struktur utama balai-adat menuntut berbagai persyaratan yang berat maka
4.4.3 Membangun rumah di sekitar balai-adat Dalam perkembangannya, banyak pondok yang direhab menjadi rumah tinggal yang lebih permanen. Sedangkan bagi keluarga yang mampu secara ekonomi mereka dapat langsung membangun rumah tinggal permanen. Perkembangan pondok di sekitar balai-adat inilah yang menjadi cikal bakal munculnya perkampungan suku Dayak Bukit. Manakala sebagian besar keluarga atau umbun
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 23
sudah membangun dan tinggal dalam rumah tinggal masing-masing maka pada akhirnya akan membentuk sebuah perkampungan. Di kawasan Loksado, di sepanjang jalan-jalan yang menghubungkan antar balai-adat sering dijumpai rumah-rumah tinggal pribadi milik setiap keluarga dari suku Dayak Bukit, baik yang dibangun di sekitar balai-adat.
dua pola: membangun rumah tinggal di sekitar balaiadat dan membangun rumah tinggal (baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama) jauh dari balaiadat. Secara kronologis, bentuk perubahan diawali dari dimulainya pembangunan pondok di sekitar balaiadat. Pada masa lalu, seluruh balai-adat pernah mengalami fenomena pembangunan pondok di sekitar balai-adat, namun setelah warga mampu membangun rumah tinggal maka saat balai-adat dibangun kembali di lokasi yang baru atau lokasi yang sama, warga tidak lagi membangun rumah-pondok di sekitar balai-adat, melainkan langsung membangun rumah tinggal secara swadaya maupun melalui bantuan pemerintah (seperti program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil/ PKAT), hingga akhirnya pada saat ini, sebagian permukiman suku Dayak Bukit sudah berubah menjadi perkampungan.
Gambar 9. Rumah tinggal yang dikembangkan dari pondok yang ada. Sumber: dokumentasi peneliti, 2013.
V. Kesimpulan dan Saran Jika seluruh proses yang diuraikan di atas disatukan maka tergambar sebuah proses transformasi permukiman suku Dayak Bukit secara utuh dari asalmula terbentuknya tradisi bermukim hingga saat ini. Meskipun demikian, secara umum, transformasi dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu: (a) fase pondok, (b) fase balai-adat, dan (c) fase perkampungan. Berikut (lihat Gambar 10) memperlihatkan fase-fase tersebut dan hubungannya.
4.5. Terbentuknya perkampungan Terbentuknya sebuah perkampungan merupakan fenomena yang paling dominan nampak saat ini di permukiman suku Dayak Bukit. Dengan berbagai perubahan yang terjadi, saat ini sebuah perkampungan suku Dayak Bukit akan mencakup balai-adat, rumah tinggal, dan pondok. Berkaitan dengan perkampungan yang terbentuk dari proses pembangunan rumah tinggal, secara garis besar dapat dibedakan menjadi
Membangun rumah
Rumah tinggal
Gambar 10. Transformasi dari lampau hingga menjadi sebuah perkampungan Sumber: analisis peneliti 2013.
Fase pondok. Fase ini merupakan awal terbentuknya permukiman suku Dayak Bukit. Selain membangun tempat berteduh (lampau), fase ini juga ditandai dengan tradisi tinggal secara menetap di satu tempat walaupun masih sebatas untuk masa tanam. Fase balai-adat. Fase ini merupakan fase tinggal secara bersama dalam satu hunian. Pada fase ini muncul permukiman berpindah-pindah untuk periode waktu tertentu (sekitar 5 – 15 tahun). Fase perkampungan. Dalam fase ini, suku Dayak Bukit sudah tinggal secara permanen di satu lokasi. Bentuk permukiman sangat menarik karena sudah tidak berbeda dengan permukiman pada umumnya, namun jika dilihat dari struktur masyarakat dan relasi
24 JAP Vol.6 No.1 Apr. 2013
antar balai-adat dengan rumah tinggal di sekitarnya maka akan terlihat jelas perbedaannya. Berdasar struktur kemasyarakatan, sebuah perkampungan suku Dayak Bukit selalu mempertahankan kekerabatan dan ruang upacara yang ada dalam balai-adat. Dengan kata lain, perkampungan adalah perluasan dari balai-adat juga. Jika sebelumnya setiap keluarga tinggal dalam ruang bilik maka dalam bentuk perkampungan, setiap keluarga sudah tinggal dalam rumah tinggal pribadi. Selebihnya tidak ada yang berbeda, namun demikian balai-adat wajib dipertahankan keberadaannya sebagai tempat upacara adat. Mengacu pada temuan tentang perubahan hunian (Muchamad, dkk. 2013) dan transformasi permu-
Bani Noor Muchamad
kiman ini, maka dapat dilakukan penelitian lanjutan berkaitan apa yang menjadi muatan makna (konsepsi) dari perubahan hunian dan transformasi permukiman suku Dayak Bukit. Bentuk perubahan hunian dan proses transformasi permukiman sangat penting sebagai landasan penyusunan rencana dan program pembangunan bidang perumahan bagi masyarakat tradisional umumnya, dan suku Dayak Bukit khususnya.
sekaligus menjadi konsep temuan yang menjelaskan hunian SDB. huma : ladang tempat menanam padi lampau : pondok peristirahatan yang hanya terdiri dari lantai (panggung) dan atap dauh tanpa dinding, dibangun secara sederhana dengan bahan-bahan lokal yang diperoleh dari lingkungan sekitar serta konstruksi yang juga sederhana. pondok : bangunan sederhana yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi (hasil panen). Umumnya dikembangkan dari lampau sehingga tetap berada di ladang-ladang pertanian. umbun : keluarga batih atau keluarga inti yang terdiri dari keduaorang tua dan anak-anak.
Ucapan terima kasih Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian untuk disertasi penulis di bawah bimbingan promotor Prof. Tony Atyanto Dharoko, Dr. Arya Ronald, dan Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra. Terima kasih juga peneliti sampaikan kepada Kementrian Pendidikan Nasional c.q. Ditjen Dikti, Universitas Gadjah Mada, dan Jurusan Arsitektur dan Perencanaan yang telah memfasilitasi beasiswa BPPS dan studi S3 peneliti.
LAMPIRAN B: Kasus penelitian No 1
Desa Malinau
2
Tumingki
3
Kamawakan
4
Lok Lahung
5 6
Loksado Haratai
Referensi 1) Creswell, John. (1994). Research Design: Quantitative and Qualitative Approaches. Thousand Oaks, California: Sage Publications. 2) Doxiadis, Constantinos A. (1968). Ekistics, an introduction to the science of human settlements. New York: Oxford University Press. 3) Haviland, William A. (1995). Antropologi. Terj. R.G. Soekadijo. Jakarta : Erlangga 4) Muchamad, Bani Noor, (2007). Anatomi Rumah Adat Balai. Banjarmasin: Pustaka Banua. 5) Muchamad, B. N., Dharoko, T. A., Ronald, A., & Ahimsa-Putra, H. S. (2013, Januari). Perubahan Hunian Tradisional Suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan (Kajian Perubahan dengan Metode Etnografi). Forum Teknik Majalah Ilmiah Teknologi, 35(1), 1-11. 6) Radam, N. H. (2001). Religi suku Dayak Bukit. Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Yayasan Semesta. 7) Spradley, J. P. (1979). The Ethnographic Interview. Forth Worth: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers 8) Spradley, James P. (1980). Participant observation. New York, Holt Rinehart and Winston.
Nama balai-adat Balai Padang Balai Jalai Balai Bidukun Balai Aitih Balai Haruyan Balai Mentaih Balai Bumbuyanin Atas Balai Bumbuyanin tengah Balai Bumbuyanin bawah Balai Cempaka Balai Sungai Binti Balai Malaris Balai Lua Panggang Balai Manakili atas Balai Manakili bawah Balai Manutui/Kamiri Balai Uruy/Kukundu Balai Haratai Balai Waja Balai Hujung atas Balai Lian Buluh/Paku Balai Landuyan
Kasus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
JUMLAH Keterangan: = kasus penelitian Sumber: diolah dari berbagai sumber
LAMPIRAN C: Sebaran kasus-penelitian
LAMPIRAN A: Glosarium balai-adat : tempat tinggal; sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau kediaman bersama (communal dwelling) bagi beberapa keluarga SDB yang masih memiliki ikatan kekerabatan. bahuma : berladang balian : pemimpin religi/upacara banih : padi banua : kampung halaman bawanang : upacara mewanangi padi, alam sekitar, dan diri manusia bubuhan : keluarga luas utrolokal atau virilokal. Utrolokal adalah adat yang memberi kebebasan kepada pasangan pengantin baru untuk tinggal menetap di dekat keluarga suami atau istri. Virilokal adalah adat bertempat tinggal atau dekat dengan keluarga laki-laki. Adat yang mengatur bahwa istri harus tinggal pada keluarga suami atau bertempat pada keluarga laki-laki. Dalam penelitian ini, istilah bubuhan juga
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 25