ISSN 1829-6610
Vol. 6 No. 1, April 2013
JURNAL ARSITEKTUR & PERENCANAAN JOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES
Diterbitkan oleh: JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
ISSN 1829-6610
Vol. 6 No. 1, April 2013
JURNAL ARSITEKTUR & PERENCANAAN JOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES
Diterbitkan oleh: JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
JURNAL ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN (JAP) (JOURNAL OF ARCHITECTURE AND PLANNING STUDIES)
Editorial Board: Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP, Ph.D Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D Dr. Ir. Budi Prayitno, M.Eng. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, M.Eng. Diananta Pramitasari, ST., M.Eng., Ph.D.
Managing Director: Syam Rachma Marcillia, ST., M.Eng., Ph.D.
Editorial Assistant: Nadia Aghnia Fadhillah
Editorial and Distribution Address: Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika No.2, Yogyakarta, 55281, Indonesia Telp.: +62 274 902320/902321 Fax.: +62 274 580854 Website: www.archiplan.ugm.ac.id E-mail:
[email protected],
[email protected]
i
ii
CONTENTS
Proses Menempati dan Kecenderungan Penggunaan Ruang_____________________________01 Pada Area Perdagangan Informal Ahmad Sarwadi, Bambang Hari Wibisono Repairing and Retrofitting Considerations in Concrete Construction_____________________ 11 Anni Susilowati, Sarito Transformasi Permukiman Suku Dayak Bukit________________________________________ 18 (dari Pondok menjadi Kampung) Bani Noor Muchamad, Tony Atyanto Dharoko, Arya Ronald, Heddy Shri Ahimsa-Putra Maintenance of Rigid Pavement on Peaty Soil________________________________________ 26 Endang Mulyani, Lusiana Pola Ruang Kriminalitas Kota: Studi Kasus Kota Surabaya____________________________ 39 Karina Pradinie Tucunan, Bakti Setiawan, Yori Herwangi The Using of Aerated Lightweight Concrete as an Alternative Substitution________________ 49 for Solid Red Brick Ninik Paryati
iii
iv
Proses Menempati dan Kecenderungan Penggunaan Ruang Pada Area Perdagangan Informal - Sebuah Kajian dengan Kasus pada Area di Tepian Selokan Mataram, Dukuh Karangasem, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Occupation Process and Trends in Use of Space in an Informal Commercial Area – A Case Study in Selokan Mataram Canal-side Area, Dukuh Karangasem, District of Depok, Sleman Regency, Yogyakarta Special Region Ahmad Sarwadi1, Bambang Hari Wibisono1 1
Staf Pengajar Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM
Abstract This research aims to reveal the occupation process and use of space in an informal commercial area. Illegal occupation of the areas for informal commercial activities have existed in urban areas and there have been both spatial and social problems. The research uses questionnaire, interview and field observation in order to get data and information. Descriptive statistics was employed to explain results of the survey. It is found that all users occupied the area illegally. Most of them had done commercial activities in other areas before occupying the Selokan Mataram-canalside area. The area has become a second place for their commercial activities. Results of the analysis show that the number and kind of commercial activities increased, particularly in 1995-2003. The buildings also tend to become more permanent. There is no indication that the users want to move to other places. The research also formulates a scheme of occupation process in the area. Keywords: occupation process, use of space, informal commercial activities, Selokan Mataram
I. Latar belakang 1.1 Pengantar Keberadaan pedagang informal yang menggunakan area yang tidak diperkenankan secara hukum untuk bangunan merupakan kenyataan yang hampir selalu ada di wilayah perkotaan di Indonesia. Contoh area-area yang dilarang untuk bangunan adalah daerah tepian rel kereta api, di bawah jembatan layang atau area-area tepian sungai. Masalah menjadi muncul ketika dilakukan penataan atau penertiban bangunan. Penggusuran pada saat ini dipandang sebagai suatu kebijakan yang tidak populer. Oleh karenanya upaya penataan atau kebijakan pada area-area tersebut memerlukan kajian yang mendalam, holistik agar Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, M.Eng. ---Staf Pengajar Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM e-mail:
[email protected] Prof. Ir. Bambang Hari Wibisono, MUP., M.Sc., Ph.D. ---Staf Pengajar Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM; e-mail:
[email protected]
kebijakan yang diambil dapat lebih diterima oleh segenap pihak yang terlibat. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberi sumbangan pengetahuan tentang fenomena para pedagang informal yang dalam hal penggunaan ruang serta proses menempati area yang dilarang untuk didirikan bangunan. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap proses menempati dan kecenderungan penggunaan ruang pada suatu area perdagangan informal yang secara peraturan dilarang untuk didirikan bangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: - Bagaimanakah penghuni melalukan proses menempati area perdagangan informal di Area Tepian Selokan Mataram? - Seperti apakah kecenderungan penggunaan ruang di Area Tepian Selokan Mataram ?
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1
1
1.3 Tinjauan Pustaka Penelitian-penelitian tentang pemukiman-pemukiman yang dibangun pada area yang secara legalnormatif dilarang untuk pembangunan telah cukup banyak dilakukan. Kawasan-kawasan di pinggiran sungai termasuk dalam kategori area yang dilarang untuk pembangunan. Untuk Yogyakarta, penelitian tentang kawasan sepanjang Sungai Code telah banyak dilakukan seperti Bakti Setiawan (1998) yang meneliti tentang bagaimana penduduk kampung mendapatkan sumberdaya meskipun dalam status kampung mereka yang ilegal. Alvianson (1998) juga melakukan studi di permukiman di tepian Sungai Code dengan tema partispasi masyarakat dalam mengelola prasarana lingkungan permukiman. Darwis Kudori (2002) menulis tentang pembangunan permukiman di tepian Sungai Code oleh Romo Mangun, dengan usulan pembangunan permukiman dan penataan kota yang lebih aspiratif terhadap kaum miskin kota. Aniaty Yulisma (1999), telah melakukan penelitian di permukiman tepian Sungai Musi Palembang dengan kajian tentang sistem aktifitas dan sistem `setting’ dari penghuni di permukiman tersebut. Sarwadi (2002) juga meneliti tentang permukiman di tepian Sungai Musi dengan pokok kajian tentang proses menempati dan tatanan ruang lingkungan hunian. Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini mengkaji proses menempati dan penggunaan ruang pada tepian sebuah saluran/selokan yang penggunaan ruangnya tumbuh relatif pesat dan digunakan untuk kegiatan komersial. Pada riset ini area tersebut disebut sebagai area perdagangan informal. Berkaitan dengan materi penelitian ini Iskak Hadir (2010) meneliti kawasan sekitar Pasar Lawata di Kota Kendari dengan hasil bahwa keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Eks Pasar Lawata tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat umum. PKL dapat memberikan kenyamanan yang tidak hanya murah dan berkualitas namun juga dapat dicapai dengan dengan tingkat aksesibilitas yang sangat tinggi. Kondisi tersebut berdampak kepada masih eksisnya PKL di kawasan tersebut, meskipun telah ditegaskan oleh Pemda Kota Kendari bahwa kawasan tersebut tidak lagi difungsikan sebagai kawasan komersial. Ambarwaty (2003) juga meneliti tentang Aktifitas Pedagang Kaki Lima dalam Pemanfaatan Ruang di Kota Salatiga. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
2 JAP Vol. 6 No. 1 Apr. 2013
bahwa lokasi pedagang kaki lima cenderung dekat dengan aktifitas masyarakat seperti area perdagangan, pendidikan, perkantoran atau juga permukiman. Di samping itu lokasi pedagang kaki lima pada umumnya terletak pada lokasi yang mempunyai kemudahan pencapaian oleh sarana transportasi umum kota. Wijayaningsih (2007) dalam penelitiannya tentang Keterkaitan Pedagang Kaki Lima terhadap Kualitas dan Citra Ruang Publik di Koridor Jalan Kartini Semarang pada masa pra-pembongkaran menemukan bahwa semakin banyak dan bertambah jumlah PKL yang tergolong ilegal menyebabkan turunnya kualitas fisik kawasan Jalan Kartini dalam kebersihan, keindahan, dsb, sehingga hal tersebut mempengaruhi kenyamanan dan keamanan. Pencapaian yang mudah menyebabkan sebagian besar pengunjung merasa nyaman untuk berbelanja di tempat tersebut. Dari tiga riset di atas didapatkan kenyataan bahwa lokasi pedagang kaki lima atau sektor informal cenderung menempati lokasi yang dekat dengan aktifitas masyarakat dan mempunyai kemudahan pencapaian bagi pengunjung. Pedagang cenderung memakai tempat tersebut walaupun tempat tersebut ditegaskan bukan untuk kawasan perdagangan. Pertumbuhan pedagang pada kawasan yang ilegal cenderung tidak terkontrol. 1.4 Landasan Teori Sarwadi (2002) dalam penelitiannya di area tepian Sungai Musi Palembang mengidentifikasi proses menghuni pada permukiman yang tumbuh spontan, “illegal” yang dimulai dari asal usul penghuni, proses mendapatkan lahan atau rumah, aktifitas membangun rumahnya, karakteristik aktifitas dan kecenderungan perpindahan ke tempat lain. Dalam penelitian tersebut diungkapkan pula tentang proses pertumbuhan pemukiman yang dilakukan melalui penyelusuran sejarah penggunaan ruang melalui proses interview. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa permukiman di tepian Sungai Palembang merupakan “first step housing” (rumah tahap pertama) untuk para migran dari sekitar Kota Palembang sebelum mereka dapat menempati rumah yang lebih layak. Seperti halnya permukiman di tepian Sungai Musi Palembang, pedagang informal yang menghuni area di tepian Selokan Mataram, Sleman, Yogyakarta tumbuh secara spontan dan ilegal. Berdasarkan fenomena yang mirip tentang cara pertumbuhannya, penelitian ini menggunakan pendekatan dan cara penyelidikan yang Ahmad Sarwadi
digunakan Sarwadi di atas yaitu mengidentifikasi asal usul penghuni, proses mendapatkan lahan atau bangunan, aktifitas membangun, pertumbuhan jumlah dan ragam bangunan, karakteritsik menempatinya dan kecenderungan penghuni untuk pindah ke tempat lain. 1.5 Metoda Penelitian Proses penelitian yang dilakukan meliputi pengumpulan data, analisis dan mengkonstruksi hasil analisis untuk mendapatkan skema proses menempati. Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk deskripsi kuantitatif. Untuk analisis menuju pembuatan skema proses menempati dilakukan secara kualitatif. Untuk pengumpulan data terlebih dahulu dimulai dengan
survei umum untuk menentukan batas-batas fisik area penelitian. Dalam hal ini batas area yang diteliti adalah di sebelah barat berbatasan dengan Jembatan di Jalan Kaliurang dan di sebelah Timur penelitian dilakukan hingga jalan lingkungan yang berada di sisi sebelah Utara Selokan Mataram berbelok ke arah Utara (lihat Gambar 1). Kegiatan pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan penyebaran kuesioner, interview serta observasi lapangan. Hasil survei disajikan dengan menggunakan statistik deskriptif dan dianalisis secara kualitatif untuk mengidentifikasi seperti apa penggunaan ruang lahan yang terjadi dan merekonstruksi proses penghuni menempati area tersebut.
Gambar 1 Lokasi Area Penelitian
II. Hasil Peneltian 2.1 Cara Mendapatkan Lahan dan Bangunan Seluruh pengguna area di tepian Selokan Mataram ditemukan tidak memiliki izin formal untuk menggunakan area tersebut. Namun demikian hampir separuh dari mereka mendapatkan izin dari pihak-pihak tertentu yang secara informal mempunyai `kekuasaan` atas area tersebut. Untuk mendapatkan lahan tersebut 28%
dari mereka harus membayar baik dalam bentuk sewa atau uang jasa namun sebagian besar (62%) dari mereka dapat menempati area tanpa biaya. Dari lima kasus transaksi penyewaan bangunan, survey ini menemukan bahwa harga sewa tertinggi telah mencapai tiga juta rupiah per tahun, sedang untuk harga sewa terendah adalah Rp. 180.000,- /tahun (lihat Tabel 2). Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1
3
Tabel 1 Cara untuk dapat menggunakan lahan Uang jasa
Jenis Beaya Sewa Sewa per per bulan tahun
TOTAL Tidak bayar
Jumlah
14
0
5
31
50
Prosentase
28%
0%
10%
62%
100%
(Sumber: Survei lapangan, 2003)
Tabel 2 Harga Sewa pada Beberapa Kasus Kasus 1 2 3 4 5
Harga sewa/ tahun (Rp.) Keterangan 3000000 Rata-rata 2000000 1500000 Rp.1536000/tahun 1000000 180000 (Sumber: Survei lapangan, 2003)
Sebagian besar dari penghuni sebelum menempati area tepian Selokan Mataram telah melakukan kegiatan usaha di tempat lain. Hanya 22% dari penghuni yang belum pernah membuka usaha di tempat lain (lihat Tabel 3). 56% diantaranya pernah berusaha dengan lokasi di luar Propinsi DIY atau Kabupaten Sleman atau juga Kecamatan Depok. 60% dari penghuni menempati area tepian Selokan Mataran dalam rangka untuk mendekati pembeli/konsumen dan 14 % lainnya dikarenakan melihat kondisi lahan yang masih kosong (lihat Tabel 4). 74% dari penghuni merupakan penghuni pertama dari bangunan yang ditempatinya sedangkan 26% lainnya mendapatkan bangunan dari pihak-pihak lain melalui proses membeli, menerima dari teman atau saudara atau menyewa (lihat Tabel 5,6).
Tabel 3 Lokasi Tempat Usaha Sebelumnya Lokasi usaha sebelum menempati tepian Selokan Mataram A B C D E F G 3 1 11 8 10 6 11 6% 2% 22% 16% 20% 12% 22%
Jumlah Prosentase
TOTAL 50 100%
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
Catatan: A = di bagian lain di tepian Sel. Mataram B = di lain desa C = di lain kecamatan D = di lain kabupaten
E = di lain propinsi F = berpindah-pindah.keliling G = belum pernah usaha
Tabel 4 Alasan memilih tempat usaha di Tepian Selokan Mataram Asal pemilihan tempat usaha Jumlah Prosentase
TOTAL
A
B
C
D
E
F
30
2
2
7
2
7
50
4%
4%
14%
4%
14%
100%
60%
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
Catatan: A = dekat pembeli/pemakai B = dekat tempat tinggal C = alternatif tempat yang murah
D = tanah.lahan masih kosong E = kombinasi A dengan B dan C F = lain-lain
Tabel 5 Status Penghunian
Jumlah Prosentase
Status penghunian Penghuni pertama Penghuni bukan pertama 35 15 70% 30%
TOTAL 50 100%
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
Tabel 6 Pemilik Bangunan Sebelumnya
Jumlah Prosentase
Saudara 1 2%
Teman 5 10%
Pemilik Bangunan Sebelumnya Pihak yang meyewakan Pihak yang menjual 7 2 14% 4%
Belum ada 35 70%
TOTAL 50 100%
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
4 JAP Vol. 6 No. 1 Apr. 2013
Ahmad Sarwadi
Kebanyakan dari penghuni untuk mendirikan bangunan dilakukan dengan mengupah tukang (30%), dibangun sendiri dengan keluarga (20%), gotong royong dengan teman (20%) (lihat Tabel 7). 50% dari
penghuni memperoleh informasi tentang area di tepian Selokan Mataran beserta informasi tentang kemungkinan untuk dapat tinggal lokasi dari teman-teman dan saudaranya (lihat Tabel 10).
Tabel 8 Cara Mendirikan Bangunan Cara mendirikan bangunan B C E 10 10 7 20% 20% 14%
A 15 30%
Jumlah Prosentase
F 6 12%
G 2 4%
TOTAL 50 100%
(Sumber: Survei lapangan, 2003)
Catatan: A = mengupah tukang B = dibangun sendiri dengan keluarga C = dibangun gotong-royong dengan teman
E = menyewa yang sudah ada F = menerima dari pihak lain G = membeli yang sudah ada
Tabel 8 Sumber Informasi tentang Lahan Teman 15 30%
Jumlah Prosentase
Informasi tentang lahan kosong Saudara Pihak tertentu 10 9 20% 18%
Sendiri 16 32%
TOTAL 50 100%
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
2.2 Penggunaan Ruang 74 % dari penghuni menggunakan ruang di area tepian Selokan Mataram sebagai tempat usaha dan hanya 26% dari penghuni menggunankannya sebagai tempat usaha dan tinggal (lihat Tabel 9). 53% dari
penghuni yang tinggal di area tepian Selokan Mataram adalah sendiri, sedang 47% lainnya tinggal di area tersebut dengan keluarga atau teman atau saudaranya dengan rerata jumlah mereka yang tinggal dalam satu bangunan adalah 2 orang (lihat Tabel 10, 11).
Tabel 9 Penggunaan Ruang/Bangunan Jenis penggunaan ruang Sebagai tempat tinggal dan usaha Sebagai tempat usaha 13 37 26% 74%
Jumlah Prosentase
TOTAL 50 100%
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
Tabel 10 Jenis Pengguna yang Tinggal di Tempat Usaha Sendiri 6 46%
Jumlah Prosentase
Kelompok yang tinggal Satu keluarga Dengan saudara 3 1 23% 8%
Dengan teman 3 23%
TOTAL 13 100%
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
Tabel 11 Jumlah orang yang tinggal di tempat usaha
Jumlah Prosentase
Jumlah orang yang tinggal 1 orang 2 orang 3 orang 4 orang 5 orang 6 3 4 0 0 46%
23%
31%
0%
0%
>6 orang 0 0%
TOTAL
Rerata orang yang tinggal
13 100%
1,8 = 2 orang
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
Selanjutnya hasil survey menunjukkan bahwa jumlah penghuni bangunan yang berkerja dari pagi hingga malam adalah lebih besar pada mereka yang
tinggal di tempat usahanya (77%) dibandingkan dengan penghuni yang tinggal di luar tempat usahanya (41%) (lihat Tabel 12). Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1
5
Tipe Penghunian
Tempat usaha tidak digunakan sebagai tempat tinggal Tempat usaha sekaligus sebagai tempat tinggal Total pengguna
Tabel 12 Jam Kerja Penghuni Jam Kerja Penghuni Pagi-Sore Pagi-Malam Siang/Sore-Malam
Total pengguna
14 (38%)
15 (41%)
8 (22%)
37
2 (15%)
10 (77%)
1 (8%)
13
16
25
9
50
(Survai lapangan, 2003)
2.3 Pertumbuhan Bangunan dan Aktifitasnya Berdasarkan hasil survai lapangan diketahui bahwa area di tepian Selokan Mataram mulai digunakan sebagai area perdagangan informal di tahun 1970-an. Pada akhir tahun 1980 area tersebut telah dihuni oleh 7 buah bangunan. Akhir tahun 1990 jumlah bangunan telah menjadi 14 buah. Di tahun 2000-an bangunan telah mencapai jumlah 50 buah. Berdasar data tersebut, kita dapat mengenali bahwa pertumbuhan jumlah bangunan perdagangan meningkat dengan cukup pesat pada kurun waktu 1995-2003 (lihat Tabel 13, Gambar
2). Adalah sebuah dugaan peneliti bahwa peningkatan jumlah yang pesat tersebut terkait dengan adanya krisis ekonomi di negara ini di sekitar tahun 1998. Berdasar Tabel 13 kita juga dapat mengenali bahwa telah terjadi peningkatan ragam dari fungsi bangunannya. Terdapat kecenderungan bangunan-bangunan untuk menjadi lebih permanen dan digunakan tidak hanya sebagai tempat usaha tetapi sekaligus sebagai tempat tinggal (lihat Tabel 14, 15).
Selokan Mataram
utara
Selokan Mataram
Gambar 2 Distribusi dan Fungsi Bangunan di Tepian Selokan Mataram Tahun 2003
6 JAP Vol. 6 No. 1 Apr. 2013
Ahmad Sarwadi
Tabel 13 Penggunaan Ruang di Area Tepian Selokan Mataram Jumlah Bangunan 1970
Fungsi Bangunan Jumlah A B C D E F G H
1
I Ragam Fungsi Bangunan
1
JUMLAH
1
1980
Prosentase 100%
Jumlah
1990
Prosentase
Jumlah
Prosentase
Jumlah
Prosentase
4
57%
5
36%
7
35%
2
29%
5 1 1 1
36% 7% 7% 7%
5 1 1 2 1
25% 5% 5% 10% 5%
1
14%
1
7%
3
15%
2 100%
1995
7
6
2003 Jumlah
7
100% 14 100% (Sumber: Survai lapangan, 2003)
20
Prosentase
15 9 9 3 2 2 2 2
30% 18% 18% 6% 4% 4% 4% 4%
6
12%
9 100%
50
100%
Keterangan A: Warung makan; B: Rak buku; C: Toko kelontong; D: Bengkel; E: Fotokopi; F: Pangkas rambut; G: Permak pakaian; H: Rental computer; I: Lain-lain
Tabel 14 Beberapa Kasus Perbaikan Bangunan Kasus 1
Jenis Usaha Kelontong
2
Warung makan
3
Kelontong (dan wartel)
4
Fotokopi
5
Bengkel
Tahun 1993 2002 1970 2000 1992 1999 2001 1992 2000 2000 2001
Jenis perbaikan dinding triplek mengganti triplek menjadi batako pembatas bambu (gedheg) ganti menjadi tembok dinding dari papan ganti menjadi tembok untuk wartel menambah tembok untuk sumur dan KM dinding dari papan/bambu/seng ukuran 3x7 m ditembok dengan ukuran 3x4 m dinding dari bambu (gedheg) ditembok
(Sumber: Survei lapangan, 2003)
Tabel 15 Jumlah Bangunan Menurut Fungsinya Tahun
Jumlah tempat usaha & tinggal (A)
Jumlah tempat usaha (B)
Prosentase A/B
1970-1980
1
7
14.3%
1981-1990
2
14
14.3%
1991-2003
13
50
26.0%
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
2.4 Kecenderungan Terhadap Perpindahan Penghuni area di tepian Selokan Mataram sebagian besar (70%) menyatakan tidak ingin pindah ke tempat lain. 28% dari penghuni lainnya menyatakan ingin pindah dengan alasan untuk mengembangkan usaha, tempat yang ditempati adalah bukan miliknya dan takut adanya penggusuran (lihat Table 16,17). 86% dari penghuni menyatakan bahwa penggunaan area di tepian Selokan Mataram sebaiknya diper-
bolehkan dengan alasan merupakan tempat mencari makan (40%) dan 30% dari penghuni mengusulkan perlunya syarat untuk penggunaannya. Syarat-syarat yang diusulkan antara lain meliputi: tertib, bersih, menjaga keamanan, tidak mengganggu jalan dan selokan, harus izin, penggunaan hanya untuk kios bukan bangunan, dsb (lihat Tabel 18, 19).
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1
7
Tabel 16 Aspirasi Penghuni untuk Pindah Keinginan pindah Ada Jumlah Prosentase
TOTAL
Tidak ada Tidak tahu
14
35
1
50
28%
70%
2%
100%
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
Tabel 17 Alasan Penghuni untuk Pindah Alasan Pengembangan usaha Takut penggusuran Bukan milik sendiri Lain-lain Tanpa alasan Jumlah
Jumlah 5 4 3 1 1 14
Prosentase 36% 29% 21% 7% 7% 100%
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
Tabel 18 Pendapat Penghuni tentang Penggunaan Ruang Pendapat ttg banyaknya pedagang di tepi sungai Sebaiknya dibolehkan Sebaiknya dilarang Ragu-ragu 43 5 2 86% 10% 4%
Jumlah Prosentase
TOTAL 50 100%
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
Tabel 19 Alasan diperbolehkan Menggunakan Ruang
Gambar 3 Skema Proses Menempati dan Kecenderungan
menurut Penghuni
Penggunaan Ruang
Alasan Dibolehkan Menggunanakan Ruang Alasan ekonomi (cari makan) Dibolehkan dengan syarat
Jumlah 17 13
Prosentase
Keadaan lahan (kosong)
4
8%
Supaya menjadi ramai
3
6%
Lain-lain
13
26%
Total
50
100%
34% 26%
(Sumber: Survai lapangan, 2003)
Berdasarkan fakta di atas dapat dikonstruksikan proses menempati area perdagangan informal pada area tepian Selokan Mataram adalah sebagai berikut, yakni: - pertama, pada pedagang datang dari tempat lain di mana pedagang tersebut melakukan kegiatan dagangnya - kedua, pedagang membangun kedai untuk kegiatannya dengan alasan untuk mendekati konsumen - ketiga, perkembangan jumlah dan fungsi bangunan meningkat - keempat, jenis konstruksi bangunan yang digunakan berkembang menggunakan bahan permanen - kelima, penghuni bangunan cenderung untuk tidak mau pindah, tetapi bersedia mengikuti persyaratan tertentu. Secara diagramatis proses menempati area perdagangan informal tersebut digambarkan dalam gambar berikut ini.
8 JAP Vol. 6 No. 1 Apr. 2013
III. Pembahasan Temuan dari hasil pengolahan data menunjukkan bahwa penggunaan ruang/lahan di area tepian Selokan Mataram makin intensif seiring dengan berjalannya waktu. Mendekati tahun 2003 jumlah penghuni makin banyak. Fungsi bangunan menunjukkan makin bervariasi. Jenis bangunan yang digunakan juga menunjukkan makin permanen. Penghuni juga menggunakan tempatnya tidak hanya untuk kegiatan komersial tetapi juga meningkat jumlahnya untuk tempat tinggal. Alasan pedagang menempati area tepian Selokan Mataram adalah untuk mendekati konsumen yaitu mendekati pusat-pusat kegiatan Ahmad Sarwadi
masyarakat yaitu Kampus UGM dan permukiman yang banyak dihuni oleh para mahasiswa. Situasi diatas nampaknya mirip dengan hasil temuan Iskak Hadir (2010), Ambarwaty (2007) dan Wijayaningsih (2003) yang menunjukkan bahwa pedagang kaki lima cenderung untuk memilih lokasi yang dekat dengan pusat aktifitas dan lokasi yang mempunyai kemudahan pencapaian untuk pengunjungnya. Riset Wijayaningsih di atas juga menunjukkan bahwa perkembangan PKL yang pesat cenderung menjadikan area tersebut tidak nyaman karena tidak bersih dan tidak indah. Dalam konteks Area Perdagangan Informal di Tepian Selokan Mataram ini pertumbuhan ragam dan intensitas penggunaan ruang bila tidak terkontrol akan menjadikan kondisi dan situasi yang tidak baik dalam arti tidak teratur, bersih dan nyaman. Penelitian ini menemukan bahwa penghuni berkecenderungan untuk tidak pindah bahkan mereka tidak tahu harus pindah kemana ketika mereka harus pindah. Keberadaan UGM dengan jumlah mahasiwa yang sangat banyak menjadi daya tarik utama bagi mereka untuk melakukan kegiatan komersial terkait dengan kebutuhan mahasiswa. Temuan tersebut berbeda dengan temuan di area permukiman informal di tepian Sungai Musi Palembang. Temuan penelitian Sarwadi (2002) di Palembang menunjukkan bahwa penghuni Permukiman di Tepian Sungai Musi berkeinginan untuk tidak tetap tinggal di tempat tersebut. Mereka mencari tempat yang lebih layak di tempat lain ketika kemampuan ekonomi mereka meningkat. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa bangunan yang digunakan adalah sebagian besar sebagai tempat usaha, sebagian lainnya menjadi tempat tinggalnya sekaligus tempat usaha dan Tepian Selokan Mataram bukanlah tempat pertama mereka dalam membuka usaha. Area Tepian Selokan Mataram merupakan tempat yang dituju karena dianggap mempunyai prospek yang baik untuk kegiatan komersial yaitu dekat dengan calon pembeli. Kondisi tersebut berbeda dengan kasus di Tepian Sungai Palembang dimana bangunan yang ada adalah sebagian besar berfungsi sebagai rumah tinggal, penghuni rumah bekerja di area dekat dengan rumah tinggal tersebut. Terdapat perbedaan situasi dan kondisi yang berbeda antara Tepian Selokan Mataram dengan Tepian Sungai Musi yang nampaknya menjadikan kecenderungan penggunaan ruang dan proses
menempati ruangnya juga berbeda. Tepian Selokan Mataram adalah lebih sebagai tempat usaha, sedangkan Tepian Sungai Musi adalah lebih sebagai tempat tinggal. Hal ini sesuai dengan teorinya Amos Rapoport (1990) bahwa sistem aktifitas terjadi pada sistem setting. Artinya berbagai aktifitas yang terjadi seperti penggunaan ruang dan proses menempati ruang di area perdagangan informal di tepian Selokan Mataram terkait dengan sistem setting yang ada baik seting fisik maupun setting non fisiknya, dalam hal ini sesuai juga hasil riset Iskak Hadir, Ambarwaty dan Wijayaningsih bahwa aktifitas pedangang kali lima atau sektor informal cenderung mencari tempat dengan setting fisik yang dekat dengan pusat aktifitas masyarakat dan mempunyai kemudahan pencapaian bagi pengunjungnya, walaupun pada lokasi yang jelas-jelas terlarang untuk didirikan bangunan. IV. Kesimpulan Berdasarkan temuan-temuan di atas, penelitian ini mengungkap bahwa adanya lahan yang terletak pada lokasi yang dekat pusat kegiatan masyarakat yaitu Kampus UGM dan permukiman yang merupakan tempat kos (tempat tinggal) mahasiswa, dan lokasi yang mudah dicapai memunculkan tumbuhnya kegiatan komersial informal pada area yang sesungguhnya tidak diperkenankan untuk didirikan bangunan. Penggunaan ruang/lahan di area tersebut menunjukkan pertumbuhan yang tidak hanya menyangkut jumlah dan fungsi bangunan, tetapi juga tumbuhnya bangunan untuk menjadi lebih permanen. Fungsi bangunan tidak hanya sebagai tempat berdagang namun juga sebagai tempat tinggal. Persoalan akan muncul manakala penataan lingkungan terhadap kawasan tersebut dilakukan mengingat sebagian dari pengguna area tersebut berkecenderungan untuk tidak ingin pindah. Hal tersebut terkait dengan penghuni yang berpendapat bahwa area perdagangan informal di Tepian Selokan Mataram adalah lokasi yang memungkinkan pedagang untuk dekat dengan calon pembelinya. Pertumbuhan bangunan yang makin intens tersebut menunjukkan tidak adanya kontrol yang cukup pada area tersebut. Persoalan menjadi nyata ketika Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman melakukan penataan area tepian Selokan Mataram untuk dijadikan area hijau pada tahun 2004, di mana para pedagang tidak bersedia untuk pindah, walaupun pada akhirnya semua bangunan dapat dibersihkan. Pelajaran yang dapat Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1
9
ditarik adalah kontrol terhadap penggunaan lahan terutama pada lahan kosong di dekat pusat aktifitas masyarakat dan juga lahan yang mempunyai kemudahan pencapaian yang baik harus dilakukan secara intensif, sebagai bentuk kegiatan preventif dari penggunaan ruang/lahan secara ilegal. Daftar Pustaka 1) Alviason (1998), Peran Serta Anggota Masyarakat Dalam Pengelolaan Prasarana Lingkungan Permukiman di Sekitar Sungai Code, Tesis, Magister Perencanaan Kota dan Dae- rah, Universitas Gadjah Mada. 2) Ambarwaty, Srie Hany (2003), Studi Aktifitas Pedagang Kakilima Dalam Pemanfaatan Ruang di Kota Salatiga, Tesis, Magister Teknik Pembangunan Kota, Universitas Diponegoro. 3) Aniaty, Yulisma (1999), Kajian Sistem kegiatan dan Sistem Seting Penduduk Kampung Kota, Tesis, Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada. 4) Kadir, Iskak (2010) Studi Karakteristik Penggunaan Ruang Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kawasan Eks Pasar Lawata, Studi Kasus : Jl. Taman Surapati Kota Kendari, Metropilar
10 JAP Vol. 6 No. 1 Apr. 2013
Volume 8 Nomor 1 Januari 2010, Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik Universitas Haluoleo, Kendari. 5) Kent, Susan (1990), A Cross-cultural Study of Segmentation, Architecture and the Use of Space, dalam Domestic Architecture and the Use of Space, edited by Susan Kent, Cambridge University Press, Cambridge. 6) Kudori, Darwis (2002), Menuju Kampung Pemerdekaan, Yayasan Pondok Rakyat, Yogyakarta. 7) Rapoport, Amos (1990), System of Activities and System of Settings, dalam Domestic Architecture and the Use of Space, edited by Susan Kent, Cambridge University Press, Cambridge. 8) Sarwadi, Ahmad (2002), Inhabitation Process and Spatial Order of Living Space in the Urban Riverside Area, A Case Study in Musi Urban Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra, Indonesia, Dissertation, Kyoto University. 9) Setiawan, Bakti (1998) Local Dynamics in Informal Settlement Development: Case Study of Yogyakarta Indonesia, Dissertation, the University of British Columbia. 10) Wijayaningsih, Retno (2007), Keterkaitan Pedagang Kaki lima Terhadap Kualitas dan Citra Ruang Publik di Koridor Jalan Kartini Semarang Pada Masa Pra-Pembongkaran, Studi Kasus: Penggal Jl. Dr.Cipto – Jl. Barito, Tesis, Magister Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro.
Ahmad Sarwadi
Repairing and Retrofitting Considerations in Concrete Construction
Anni Susilowati1, Sarito1 1
State Polytechnic of Jakarta (PNJ)
Abstract Damage to buildings occurs, either structure damage or non-structure. This paper will present the consideration of methods and materials repair and retrofitting that can be used to overcome the damage that occurred, and quality control during and after the implementation of process improvements and retrofitting. In this case, it is needed retrofitting / temporary restrictions, such as: installation of the pillar, restriction on the used of the area or the evacuation of the structure location until remedial measures carried out by using an alternative repair with the rehabilitation and strengthening. Keywords: Repairing, Retrofitting, Rehabilitation
I. Introduction As we all know, the damage on concrete construction are caused by fire, earthquake, and aggressive environmental condition. The influence of fire with temperature exceeding 300ºC to the concrete structure causes the color change on concrete to be reddish, crack, spalling, where some parts of the concrete are falling, and crazing which is the indication of crack on the concrete surface. After earthquake happen, it will cause structure and non-strucutre crack and spalling. The environmental condition which is corrosive because of particular chemical material production causes more severe process on reinforcement corrosion, as well as steel plate of reinforced concrete (RC) structure which is not protected. This process will make the concrete crack and broke. The demands that the building suffered damage should be immediately used again, it is necessary to handle the damage that occurred, either by doing a repairing or retrofitting. Because of limited time, the repairing or retrofitting often does not pay attention to some of the rules relating to the capacity of the structure and implementation procedures and quality control. Therefore to get the proper repairing and retrofitting in order to achieve the targets, in order to investigate to gate data of damage through visual observation or non-destructive testing and semidestructive and also review documents from the existing structure. As the results of the investigation, analysis and evaluation was performed on these structures to determine whether the damage occurred Anni Susilowati --- State Polytechnic of Jakarta (PNJ) Email:
[email protected] Phone: 08159378852 Sarito --- State Polytechnic of Jakarta (PNJ) Email:
[email protected] Phone: 08159641434
only need repairing or need retrofitting or in the worst condition of the damaged structure must be unloaded and built new structures. In this paper will discuss the repairing and retrofitting methods that can be used in the handling of damage that occurs in concrete construction (Heru, 2009). Preparation of this paper aims to study each case resulting from a corrosion that occur around the environment in daily activity, especially corrosion that occurs in the building structure using reinforced concrete and corrosion prevention measures are. Atmospherie environmental conditions in Indonesia are generally wet, humidity averages about 85%, when the air contains dust or pollution so that condensation will occur practically wet environmental conditions in general are acid with a pH of 5. The collapse of the infrastructure, such as bridges, overpasses, docks, etc., all of a sudden often bring huge financial losses. The results of observations field indicate that corrosion steel in concrete is one cause of premature failure of an infrastructure. Air pollution by industrial gases is a major threat to the construction of steel that is around it. Erosive environment influences the corrosion of steel is air, the atmosphere, dirt, water and humidity, the gas industry, soil, chemicals (alkalis, acids, etc). The mechanism functions on the corrosion inhibitor is dissolved in water, forming a film on metal surfaces (protective film), inhibit the corrosion reaction by preventing the occurrence of hydration of metal ions (metal) and the reduction of dissolved oxygen on metal surfaces. To avoid premature failure due to iron corrotion in concrete and in an effort to increase the resistance (durability) of the infrastructure, some states have required that periodically checks performed on each infrastructure against possible attacks on the surface of iron corrosion in concrete. Corrosion in concrete due to the formation of enttringite happens because of the chemical reaction between the elements in the concrete with calcium Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 11
sulfate salt from the outside. Iron within the concrete actually can resist corrosion due to the nature of the concrete alkali (pH = 12-13), so that the passive layer formed on the surface of iron in the concrete. The iron will be corroded when the coating is damaged. The process of carbonization (Carbonation) & Intrusion of chloride ion and CO2 into the concrete are the factors that cause damage to the coating that continues with the corrosion of iron in the concrete. Concrete has a weakness that is not water-resistant, water is easily absorbed into concrete causing corrosion of structural failure resulting in quality decrease. The decrease in the quality of concrete makes it easy for the concrete to be damaged. Regarding the damage caused by corrosion of concrete buildings, modeling calculations based on the service life of concrete buildings on the property damage caused by corrosion of reinforcing steel is needed. Serviceability of a building period is the period since the start of building worked until the building does not work anymore because of the damages on the building so that the performance decreases (Anggraen, et al, 2005). Concrete structures that are susceptible to corrosion is the structure of the marine environment: offshore platforms, docks, bridges etc., and the structure that is located in the soil: foundation, basement, tunnel, etc., and the structure that is located in the structure of high CO2 environment. The concept of serviceability: • Service life is viewed from a technical point: the age of serviceability of the building structure until the limit value has been reached, it is characterized by the presence of defects such as spalling on the concrete surface, the collapse of the structural elements • Service life in terms of function: a service life until the structure can not functioned in accordance with changes in design or function, such as the expansion area, the addition of load (types of vehicles, equipment, etc) • Service life in term of economics: an period where there is a change of structure or portion thereof which considered more economically favorable than the current conditions Limit of Service Life: • Limitation of the safety value of the structure has been exceeded as a result of degradation of concrete materials or the loading has exceeded the design load limits.
Preventive Maintenance
Figure 1. Preventive Maintenance
• Degradation of material has been quite severe, such as reinforcement corrosion induced by chloride ion diffusion, etc. • The requirement for maintenance has exceeded the limits of resources available. • It does not meet the aesthetic value. • Bearing capacity of the structure was not able to meet the needs (lack of capacity, etc) Cracks In Concrete • Concrete can crack over time as a result of the development of the reaction between aggregates containing active silica with alkali produced from the hydration process of cement, additives or external source (such as for water treatment, groundwater, etc)
Figure 2. The occurrence of cracks
• Corrosion will develop the volume of steel reinforcement, which will lead to flaking and cracks in concrete.
Figure 3. Corrosion processes occurring in Concrete
12 JAP Vol.6 No.1 Apr. 2013
Anni Susilowati
Case Study Construction Concrete Bridge Beams (The bottom the bridge) had suffered spalling off.
Picture 4. Spalling on the bridge beam
Carbonation Process Carbonation is the result of interaction between gaseous CO2 in the atmosphere with alkaline hydroxides in concrete. This process will release water and form acids. The acid does not attack the cement paste is for, but it will neutralize the alkaline properties in concrete pores and form pores in the CaCO3. CO2 + H2O
H2 CO3
Gas
Carbonit Acid
Water
H2CO3+Ca(OH2) CaCO3. 2H2O Carbonit Acid Pore Solution II. Method Determination of method and material improvement generally depends on the type of damage there, besides a large and extent of the damage, the environment in which the structure is located, the equipment available, the ability of executive power and the limits of its owner such as limited working space, ease of implementation, the execution time and repair costs (Basuki, 2009). 2.1. Methods and Materials Repair This type of damage that often occurs is the damage in the form of cracking and spalling (the release of the concrete). A. Rift Differentiated rift structures cracked and nonstructural. Cracks generally occur in the structure of reinforced concrete structural elements, are non-
structural cracks occur in the masonry or concrete walls of non-other. For non-structural cracks, injection method can be used with cement paste material mixed with expanding agent and latex or just do it with a sealing material polymer mortar or polyurethane sealant. As for the cracked structure, the injection method is used with epoxy material having a low viscosity, so it can refill and simultaneously attach a separate concrete sections Injection process can be done manually or with machines that pressure, depending on the width and depth of the rift. B. Spalling Spalling damage repair methods, depending on the size and depth of spalling that occurred. Repair method can be done by: a. Patching To spalling is not too deep (less than a blanket of concrete) and the area is not large, can be used patching method. This repair method is the method of repair manuals, by doing the sticking mortar manually. At the time of execution that must be considered is the emphasis placed on the mortar; so really get solid results. The material used must have a tractable nature, no shrinkage and no fall after installed (see the maximum thickness that can be mounted each layer), especially for overhead repair work. Generally the mortar used was monomer, polymer mortar and epoxy mortar. b. Grouting Being on the concrete cover spalling in excess, can be used grouting method, the method of repair by doing the casting material using non-shrink mortar. This method can be done manually (gravity) or using a pump. In this repair method to note is attached to formwork must be really tight, so there are no leaks that resulted in the loss of species and must be strong to be able to withstand the pressure of the grouting material. The material used must have the properties of flow and no shrinkage. Commonly used cement or epoxy base material. c. Shot-Crete (Concrete Shoot) If the spalling that occurs in a very wide area, then you should use the methods Shot-Crete. In this method no longer required formwork as well as casting in general. Shotcrete method there are two systems of drymix and wet-mix. In the dry-mix system, which included a mixture of dry mixture in the engine, and will be mixed with water at the end of the hose. So the
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 13
quality of concrete is highly dependent on the expertise fired power that holds the hose, which regulates the amount of water. But this system is extremely easy in maintenance shotcrete machine, because it never happened 'blocking'. In wet-mix system, a mixture that is inserted in the machine a mixture of wet, so the quality of concrete is more uniform fired. But this system requires high engine maintenance, especially when it came to happen 'blocking'. In shotcrete method, commonly used additive to accelerate the drying (accelerator), with the goal of accelerating the hardening and reduce the occurrence of many materials that reflected and falls (rebound). d. Aggregate Preplaced Grout (Concrete Prepack) Other repair methods to repair the considerable damage in the form of spalling is Preplaced Grout Aggregate method. In this method the concrete is produced by placing a number of aggregates (usually 40% of the volume of damage) into the formwork, after it's done pumping grout material, into the formwork. Grout material is a polymer commonly used grout, which has a high enough flow and no shrinkage (Heru, 2009).
Evaluation Method of Concrete Structures damage (ACI 364.1R – 2007).
Figure 5. Evaluation Method of Damage to Concrete Structures
Figure 6. Flow Chart Visual Inspection Activities
Table 1. Crack Growth Time
14 JAP Vol.6 No.1 Apr. 2013
2.2. Methods and Materials Retrofitting In the selection method of retrofitting, be aware of some things that the capacity of the structure, the environment in which the structure is located, the equipment available, the ability of executive power and the limits of its owner such as limited working space, ease of implementation, the implementation time and cost of retrofitting.
Anni Susilowati
Retrofitting methods are generally carried out are: - Shortening the spans of the structure or the concrete construction with steel construction. The goal is to minimize the forces that occur, but must be re-analyzed as a result of this landscape that causes shortening of the changes in these forces. Generally done by adding either beams or columns of concrete and steel. - Zoom in dimension than the concrete construction. Commonly used concrete as a material to enlarge the dimensions of the structure; with concrete Admixture of a new generation, it is possible to produce concrete that can be solidified themselves (self-compacting concrete), discussed in section 4. - Self-compacting Concrete. As a result of the addition of these dimensions, it should be noted that the overall load of the building is increased, so have done a thorough analysis of the structure above the foundations. - Adding a steel plate. The purpose of this addition is to add tensile strength on the part of the building structure. In addition of the steel plate, must be guaranteed that the steel plate into a single unit with the existing structure, generally to ensure coherency between the steel plate with epoxy adhesive used concrete structures. - Perform external prestressing. With this method, the capacity of the structure improved by prestress outside of the structure, not the inside as on the new structure. Noteworthy is the placement of the anchor head, so it does not cause weakening of the existing structure. The material generally used is steel prestress, but at the moment is starting to use material from FRP (Fibre Reinforced Polymer). III. Discussion Implementation of Improvement and Strengthening Prior to the implementation of improvements or retrofitting, should be the last checking whether the methods and materials that have been determined in accordance with field conditions and can be implemented. At the time of implementation that need attention are: - Surface Preparation Concrete surface to be repaired or reinforced need to be prepared, in order to place a good bond; so that the material with the repair or retrofitting old concrete into a single unit. Concrete surface to be repaired or strengthened, should be a strong and solid surface, there is no loss or other weak parts (except when using the injection method to fill the gap loss); and must be clean of dust and other impurities. If there is a rusty reinforcement, it is necessary to cut concrete up to + 20 mm below the rusty bars. And the rust should be cleaned, and given anti-rust coating.
-
-
-
Surface that has been prepared, whether it should be on the dry or saturated must be done first before the next coating. It really depends on the material used. For cement-based material or a polymer, the concrete surface must be saturated in advance, but if the material used epoxy, the concrete surface must be dry. Comparison of the mixture. To produce the quality of material improvements or bonding material used in accordance with the recommended retrofitting of the plant, then the ratio of the mixture of the material must be followed exactly, especially when using epoxy based materials. When using concrete which can condense itself, to note the amount of water, flow of concrete and confirmed the absence of bleeding and segregation. Pot life. Is the time required from the stirring until the material is installed. If the time has exceeded its pot life, it is already mixed material should not be used. Compressive Strenght As in the implementation of new construction, which carried out quality control on the quality of existing concrete; the current implementation of repairs and retrofitting, should also be done the same thing, by performing appropriate sampling of existing standards. (ASTM C39 - Concrete, ASTM C109 - mortar cement and ASTM D495 - epoxy) (Hartono, et al, 2007)
After the implementation of quality control also needs to be done, to see whether the implementation of repair and retrofitting is in conformity with existing standards. - Injection. The purpose of quality control after injection of the work done is to see whether the injected material fills a gap already existing cracks, and also see the quality of attachment of the tie material injection slit cracks. Was done by coring Ø 50 mm (ASTM C42) to see the penetration of injection, and then press the cores are tested (ASTM C39) or splitting (ASTM C496) to determine the quality of attachment that occurs. Or it can also be done with the quality control of non-destructive test of the UPV (Ultra Pulse Velocity) - ASTM C597 or Impact Echo. - Patching, Grouting, Shot-Crete, Concrete and Concrete Prepack SCC. The purpose of quality control in this work is to see the attachment that occurs between the old concrete with repair materials. Performed with Direct tensile bond test-ACI 503R Appendix A or Pull-Off Test - ICRI Technical Guideline 03 739.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 15
-
Retrofitting with FRP. The purpose of quality control in this work is to see the coherence between the epoxy adhesive used to bond FRP. Performed with Direct tensile bond test-ACI 503R Appendix A or Pull-Off Test - ICRI Technical Guideline 03 739
Type of Testing Concrete In Infrastructure Facilities
Table 2. Type of Testing Concrete.
(a)
(b)
(c) Figure 7a - 7c. Testing Activities
Detailed investigation 1. A detailed investigation conducted as a follow-up of earlier investigations in which the results of the research requires the identification / assessment of
16 JAP Vol.6 No.1 Apr. 2013
a more thorough examination of the behavior and condition of concrete structures to be able to determine the repair and restoration alternatives. 2. This investigation includes additional asesment of concrete structures, modification of the strategy of investigation and economic analysis. Information required to be associated with the structural design of buildings, among others: – Design drawings, specifications and calculations; – Implementation of the image (Shop drawings) – Location of reinforcement concrete images; – Change of plans / changes in the material order; – Drawings of buildings (As-built drawings), photographs, employment records, test data; – Planning standards used at the time of initial design – A description of construction materials, test data and information from the factory – The maintenance, inspection and repair reports – Age design service life. Structure Analysis Analysis of the structure that is attached undertaken to determine the magnitude and direction the force or tension or to determine the stability of the whole structure. Data loading is required: - Dead load, consisting of its own weight of the structure and the additional dead load - Live load, scale, location and orientation - Wind loads - Loads of rain - Earthquake load - Thermal load - Shrinkage and creep - Hydrostatic pressure / soil Analysis analytically, the analysis is based on the application / implementation of a mechanical theory of the structure with the following provisions: – The condition of loading for the building has been known for certain after checking the data / information available. – Figure detail the structure and material specifications are available and can be guaranteed reliability or confirmed by the results of field survey. – The condition of loading for the building has been known for certain after checking the data / information available. – Analysis by finite element method (finite element) both linear and non-linear is used for cases where conventional methods are not sufficiently / less accurate – A more accurate analysis requires consideration of experts (engineering judgment) with the following provisions:
Anni Susilowati
All assumptions are required to perform the structural analysis have been documented / recorded. All assumptions are important for structure analysis was performed in theory should provide information relating to limit values for the capacity of a safe working load on the structure Criteria for Structural Capacity Analysis Results The structure and elements of fitness for a particular purpose. The structure and its elements are able to bear the burden of work as planned but no fitness for a particular purpose. The structure and its elements are not able to bear the burden of work as planned. Analysis Results May Be Shared 3 Possible Analysis shows that the building or structure elements in compliance with security restrictions in accordance with design standards (ACI 318, SNI). Analysis shows a design capacity less than that needed to be factored loading loading but meet to work (not factored load / service load). In this case, the bearing capacity of the building or structure elements are not sufficient. In some cases, be decided in accordance with the imposition of restrictions on the use of the power value permits the calculation / analysis. Analysis shows the design capacity of the structure is less than that required for the imposition of work (not factored load / service load) required under the appropriate standard. In this case the action required retrofitting / temporary restrictions such as: installation of the pillar, restrictions on the use of the area or the evacuation of the location of such structures to be remedial measures (Basuki, 2011).
(c)
(d)
Figure 8a – 8d. Rehabilitation and Strengthening
IV. Conclusion Selection of alternative coping with damage: Prevent damage process continues (preservation), Make improvements or modifications of the structure (rehabilitation), Return on the initial condition of the structure according to the conditions / design (restoration) Undertake structural strengthening (strengthening) In this case the alternative improvements with rehabilitation and strengthening References 1) ACI 364.IR – 2007, Metode Evaluasi kerusakan Struktur Beton 2) Basuki, A., 2011, Inspeksi & Investigasi Kerusakan Konstruksi Bangunan Beton, Seksi Inspeksi Teknik Non Logam (Beton), Balai Besar Bahan dan Barang Teknik Kementrian Perindustrian. 3) Hartono, Prajitno, H., Pelupessy, R., 2007, Pertimbangan Pada Perbaikan Dan Perkuatan Struktur Bangunan Pasca Gempa, Seminar HAKI 21/22 Agustus 2007 4) Heru, A., 2009, Struktur Beton, http://reggaeyangnetral.blogspot. com/2009/12/struktur-beton.html
Rehabilitation and Strengthening
(a)
(b)
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 17
Transformasi Permukiman Suku Dayak Bukit (dari Pondok menjadi Kampung) Settlement Transformation of Dayak Bukit Tribes (from Hut to Village) Bani Noor Muchamad1, Tony Atyanto Dharoko2, Arya Ronald2, Heddy Shri Ahimsa-Putra4 1
2
Mahasiswa S3 Jur. Arsitektur dan Perencanaan FT-UGM, Yogyakarta Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 4 Dosen, Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
Abstract This paper aims to explain the transformation of the Dayak Bukit's settlement in Meratus Mountain region in South Kalimantan Province. Transformation of the settlement is an advanced research of Dayak Bukit's dwelling changes. Such transformation is very interesting because it still conserve the early of the settlement. This study utilized naturalistic paradigm. By focusing on local people in developing and building the living tradition, this research employed ethnography methods, particularly field observations and indepth interviews. This study found that the changes of Dayak Bukit’s dwelling are build the hut, extended the bilik or living space at the balai-adat, build the huts behind the bilik or living space, build houses around the balai-adat, and formed the village. The changes of Dayak Bukit’s dwelling is a transformation process of the settlements from the hut to the village. Generally, the transformation of the Dayak Bukit’s settlement can be divided into three phases, namely: (a) phase of the hut, (b) phase of the balai-adat, and (c) phase of the village. Keywords: transformation, Dayak Bukit tribes, vernacular architecture, settlement, dwelling change.
I. Pendahuluan Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian disertasi tentang konsep hunian suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan. Dalam upaya menggali dan merumuskan konsep tersebut, ternyata di lapangan sudah terjadi banyak perubahan dari kondisi aslinya, terutama dilihat dari aspek ruang dan bentuk. Berdasar pengetahuan umum yang berkembang di masyarakat lokal, hunian suku Dayak Bukit, yaitu balai-adat, adalah sebuah bangunan tunggal yang dihuni oleh beberapa keluarga yang masih memiliki ikatan kekeluargaan (gambar 1). Namun demikian, kondisi empiris saat ini menunjukkan adanya berbagai perubahan fungsi dan keragaman bentuk. Untuk itu, proses penelitian selanjutnya berangkat dari perubahan fungsi dan keragaman bentuk yang ada hingga akhirnya menghasilkan sebuah tesis tentang transformasi permukiman suku Dayak Bukit. Tesis tentang transformasi permukiman suku Dayak Bukit sangat menarik diteliti karena merupakan pengembangan penelitian tentang perubahan hunian suku Dayak Bukit sebelumnya (Muchamad, dkk. Bani Noor Muchamad ---Mahasiswa S3 Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FTUGM, Yogyakarta. Tel: 0274 6935088 E-mail:
[email protected]
18 JAP Vol.6 No.1 Apr. 2013
2013) dan seluruhnya dirumuskan dari bukti-bukti yang masih ada. Pada umumnya, dalam sebuah proses transformasi, bukti-bukti untuk fase awal hanya dapat dilihat dari sisa-sisa peninggalannya saja, tetapi tidak demikian dengan transformasi permukiman suku Dayak Bukit ini. Bukti-bukti untuk setiap fase transformasi justru masih ada di lapangan. Berbagai perubahan fungsi ruang dan keragaman bentuk yang terjadi dan masih ada saat ini bagaikan komponen mata-rantai yang dapat dirangkai kembali menjadi sebuah rantai yang utuh. Meskipun di lapangan masih dapat diperoleh berbagai bukti, namun bagaimana memahami dan meletakkan masing-masing komponen mata rantai tersebut? Bagaimana keterkaitan antar komponen, serta hubungan apa yang menyatukan komponen tersebut hingga menyusunnya menjadi sebuah rantai yang utuh adalah permasalahan utama penelitian ini. Gambaran transformasi permukiman suku Dayak Bukit sebagaimana permasalahan di atas adalah tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini. Sudah tentu seluruh temuan, baik yang sudah direncanakan, yaitu konsep hunian, maupun temuan ‘baru’-transformasi permukiman -, atau yang lainnya selama dalam proses penelitian ini tentu sangat berarti bagi pengembangan disiplin ilmu arsitektur.
Bani Noor Muchamad
Gambar 1. Tipikal arsitektur balai-adat Sumber: Muchamad, 2007.
II. Arsitektur dan Kebudayaan Membicarakan arsitektur, khususnya sebuah hunian atau tempat tinggal manusia, tidak dapat dilepaskan dari konteks manusianya. Dalam bukunya, Ekistics: an introduction to the science of human settlements (1968), Doxiadis menjelaskan bahwa human settlements adalah tempat tinggal yang dihuni oleh manusia yang mencakup elemen isi (content) yaitu manusia, baik seorang maupun bersama-sama, dan elemen wadah (container) yaitu fisik tempat tinggal, baik yang alamiah maupun buatan manusia. Dua elemen dasar, yaitu: isi dan wadah, ini selanjutnya dirinci oleh Doxiadis menjadi lima elemen, yaitu: alam (nature), manusia (man/antrophos), masyarakat (society), pelindung (shells), dan jejaring infrastruktur (networks). Dalam konsep Ekistics, dari lima elemen tersebut, elemen manusia (man/anthropos) adalah yang menjadi titik pusat. Selanjutnya, menurut Haviland (1995, hal. 332), sudut pandang yang paling tepat untuk memahami manusia adalah melalui kebudayaannya. Hal ini dikarenakan dari sekian banyak kelompok masyarakat yang ada di muka bumi seluruhnya memiliki kebudayaan. Dengan kata lain walaupun masingmasing kelompok masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda tetapi semuanya memiliki satu kesamaan, yaitu memiliki kebudayaan. Dari sekian banyak aspek yang dapat dilihat dalam kebudayaan suku Dayak Bukit, terdapat dua aspek yang sangat berpengaruh dalam menuntun ‘penemuan’ transformasi hunian suku Dayak Bukit: sistem religi dan sistem sosial-kemasyarakatan. 2.1 Sistem Religi Menurut Radam (2001, hal. 343), religi suku Dayak Bukit pada masa kini sebenarnya adalah religi huma. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa sebagian besar tindakan religius dan simbolis berkomunikasi dengan sesuatu yang dipandang adikodrati dan menggenggam nasib berada dalam semua aktivitas berladang (bahuma). Dalam kehidupan suku Dayak Bukit, kegiatan berupacara sangat menonjol menyertai keyakinan mereka. Upacara yang rutin dilaksanakan suku Dayak Bukit dimaksudkan untuk memelihara keyakinan yang ada, sehingga antara keyakinan dan upacara merupakan dua unsur esensial dan saling melengkapi; keyakinan menggelorakan upacara dan
upacara membenarkan keyakinan. Upacara-upacara yang diselenggarakan oleh suku Dayak Bukit adalah upacara yang wajib dilaksanakan oleh seluruh anggota kekerabatan (bubuhan) dan menyangkut tahapan bercocok tanam (bahuma). Khusus berkaitan dengan kegiatan berladang, setidaknya terdapat sembilan upacara (aruh) yang dilakukan suku Dayak Bukit sejak persiapan membuka ladang hingga setelah panen: (1) aruh mamuja tampa, atau upacara untuk memuja alat-alat pertanian, (2) aruh mencari daerah tabasan (ladang baru yang akan dibuka), (3) aruh patilah, yaitu upacara untuk menebang rumpun bambu bila di bakal ladang itu ditumbuhi rumpun bambu, (4) aruh katuan atau aruh marandahakan balai Diyang Sanyawa, yaitu upacara untuk merobohkan balai Diyang Sanyawa yang terletak di pohon-pohon terbesar yang ada di lahan yang akan dibuka, (5) aruh bamula, yaitu upacara untuk memulai menanam padi, (6) aruh basambu umang, yaitu upacara untuk menyembuhkan atau merawat umang, (7) aruh menyindat padi, yaitu upacara untuk mengikat rumput dan tangkai padi dan manatapakan tihang babuah, yaitu upacara untuk menegakkan tangkai padi yang berbuah, (8) aruh bawanang, yaitu upacara memperoleh restu (wanang), dan (9) aruh mamisit padi, yaitu upacara untuk memasukkan padi ke dalam lumbung. Tiga aruh pertama dilakukan oleh setiap keluarga (umbun) pemilik lahan yang bersangkutan, sedangkan aruh lainnya dilakukan oleh beberapa umbun dalam kelompok atau bubuhan yang bersangkutan. Saat panen raya adalah aruh yang paling besar yaitu aruh wanang atau sering disebut sebagai aruh ganal (Radam, 2001). 2.2 Sistem Sosial-Kemasyarakatan Dalam sistem sosial suku Dayak Bukit terdapat dua pihak yang berpengaruh, yaitu balian dan ketua balai-adat. Balian adalah pemimpin keagamaan suku Dayak Bukit dan pemimpin upacara adat. Balian terbagi empat tingkatan, yaitu balian muda, balian tangah, balian tuha, dan balian guru jaya. Setiap kelompok (bubuhan) suku Dayak Bukit memiliki beberapa orang balian dalam tingkatan dan jumlah yang berbeda-beda. Dengan adanya balian ini maka eksistensi bubuhan dan juga balai-adat (dalam konteks sebagai tempat pelaksanaan upacara adat/ aruh) tetap akan terpelihara. Menurut Radam (2001), inti dalam kepercayaan suku Dayak Bukit adalah terdapatnya beberapa ilah (utama dan pendamping) yang memiliki tugas-tugas khusus terkait alam semesta, manusia, dan padi. Keyakinan suku Dayak Bukit dapat dipahami melalui tiga mitos, yaitu tentang kejadian alam semesta, mitos manusia pertama, dan mitos asal-muasal tanaman padi. Dalam keyakinan suku Dayak Bukit masingmasing ilah memiliki tempat/kedudukan, peran/tugas, dan beberapa mitos pendukung lainnya yang berkaitan dengan tiga mitos utama ini.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 19
Selanjutnya melengkapi keyakinan dalam religi huma, terdapat juga beberapa upacara-upacara rutin yang dilaksanakan oleh suku Dayak Bukit. Secara umum, upacara yang dilaksanakan dapat dibagi dua: (1) berkaitan dengan kegiatan dan masa berladang, serta (2) kegiatan berkaitan dengan ritual peralihan tahap kehidupan. Dari semua upacara yang dilaksanakan, yang dianggap wajib adalah upacara yang berkaitan dengan kegiatan berladang (bahuma) dan masa berladang. Kedua unsur kebudayaan di ataslah yang sangat berperan dalam menjelaskan bagaimana transformasi hunian suku Dayak Bukit. III. Metode Penelitian Berdasar realitas dan kebudayaan suku Dayak Bukit, penelitian ini berangkat dengan pendekatan paradigma naturalistik. Peneliti meyakini bahwa hunian suku Dayak Bukit dan juga perubahannya tidak bisa dilihat secara parsial, hanya sebatas perubahan ruang dan bentuk semata, melainkan terikat dengan konteks kehidupan suku Dayak Bukit secara menyeluruh. Adapun untuk memperoleh temuan penelitian, maka pemilihan metode penelitian yang sesuai mengacu pada Creswell (1994) yaitu berdasar fokus. Berdasar fokus pada sekelompok masyarakat lokal berbagi budaya dan pengetahuan dalam mengembangkan tradisi bermukim serta membangun maka penelitian ini menggunakan atau mengacu pada metode etnografi yang dijelaskan dalam Spradleys (1979; 1980) untuk memperoleh temuan penelitian. Metode etnografi disini menekankan pada teknik observasi langsung di lapangan dan wawancara secara mendalam untuk memperoleh gambaran kehidupan sehari-hari suku Dayak Bukit, khususnya terkait tradisi bermukim dan membangun. Dari hasil analisis etnografi inilah dapat dirumuskan sebuah interpretasi atas realitas budaya yang ada, dalam hal ini tradisi bermukim dan membangun hunian suku Dayak Bukit. Penelitian mengambil lokasi di Desa Loksado, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan (gambar 2) yang mencakup 21 balai-adat yang ada di Kecamatan Loksado sebagai kasus penelitian (lihat Lampiran B & C).
IV. Hasil dan Pembahasan Proses analisis etnografi tentang konsep hunian suku Dayak Bukit mencakup empat tahapan analisis: (1) analisis domain, (2) analisis taksonomi, (3) analisis komponensial, dan (4) analisis tema. Namun demikian, sebagaimana dijelaskan dalam pendahuluan tulisan ini, riset tentang transformasi permukiman ini diperoleh dari hasil interpretasi atas temuan bentuk perubahan hunian sebelumnya. Untuk itu, dalam bagian Hasil dan Pembahasan ini, sepenuhnya akan diuraikan proses transformasi permukiman suku Dayak Bukit sebagai interpretasi yang dilengkapi dengan berbagai data / bukti empiris pendukung. 4.1 Asal-mula tradisi bermukim Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, suku Dayak Bukit dikenal sebagai masyarakat yang menganut religi huma, di mana kegiatan berladang menanam padi (bahuma) merupakan inti kebudayaan serta inti kegiatan lainnya sepanjang tahun (Radam, 2001, hal. 38). Dalam menjalankan kewajiban dan pekerjaan utama berladang inilah maka membangun lampau (pondok terbuka) merupakan suatu kebutuhan akan ruang yang paling dasar bagi setiap umbun yang sedang membuka lahan garapan. Berlandaskan religihuma, suku Dayak Bukit memahami kedudukan dan kewajiban mereka di dunia, pandangan terhadap tanaman padi dan kegiatan berladang, serta elemenelemen alam yang berpengaruh bagi kehidupan/ hunian mereka. Suku Dayak Bukit selalu mengisi hari-hari dengan berladang padi (bahuma). Bahkan pada saat sekarang ini pun, jika kita berkunjung ke Loksado (salah satu kawasan permukiman suku Dayak Bukit) maka akan sangat jarang dapat menjumpai warga di balai-adat. Mungkin hanya ada beberapa perempuan atau anakanak yang dijumpai, selebihnya balai-adat terlihat hampir tak berpenghuni. Kondisi ini disebabkan seluruh warga melakukan aktifitas di ladang-ladang mereka. Baik orang tua maupun anak-anak seluruhnya bergotong-royong membuka lahan, memelihara tanaman padi, hingga tiba masa panen. Kondisi ini berlangsung cukup lama, antara 8-10 bulan dalam setahun. Fenomena tinggal di huma dalam konteks berladang inilah yang menjadi hakekat bermukim bagi suku Dayak Bukit. Selain itu, selama suku Dayak Bukit bermukim di huma, mereka juga wajib selalu memohon perlindungan dari ilah-ilah yang dipercaya, roh datu-nini, dan ingunan-ingunan (roh penunggu) yang ada di lingkungan alam sekitar. Seluruh proses dilaksanakan melalui serangkaian upacara (aruh) sedangkan keberadaan lampau adalah bagian yang tak terpisahkan.
Gambar 2. Lokasi penelitian. (A) Provinsi Kalimantan Selatan, (B) Kab. Hulu Sungai Selatan, (C) Kecamatan Loksado Sumber: diolah dari berbagai sumber, 2013.
20 JAP Vol.6 No.1 Apr. 2013
Bani Noor Muchamad
Gambar 3. Lampau (early hut) Sumber: dokumentasi peneliti, 2013.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami mengapa dalam sebuah wilayah permukiman tradisional (banua) milik suatu bubuhan akan terdapat banyak ladang-ladang yang dibuka dan juga lampau yang dimiliki oleh umbun-umbun. Setiap kegiatan bahuma akan selalu diawali dengan kegiatan pembukaan hutan agar dapat ditanami dan membangun lampau-lampau untuk tempat beristirahat. Oleh karena itulah di kawasan pegunungan Meratus banyak sekali dijumpai lampau dan pondok di tengah hutan ataupun di ladang-ladang pertanian. 4.2 Dimulainya tradisi membangun Setelah masa pembukaan ladang (huma) selesai, selanjutnya dimulai masa menanam padi. Pada masa ini lampau dikembangkan menjadi pondok dan kehidupan suku Dayak Bukit sehari-hari diisi dengan
Pada masa awal membuka lahan, dibangun lampau (pondok terbuka) yang hanya terdiri dari lantai dan atap. Fungsi lampau ini adalah untuk tempat duduk-duduk beristirahat sambil membersihkan lahan dan menanam bibit padi.
menjaga dan merawat tanaman padi. Selain itu mereka juga berburu dan meramu hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Manakala ladang garapan telah ditanami hingga 2-3 kali masa tanam, selanjutnya suku Dayak Bukit akan membuka kembali lahan garapan baru di lokasi lain. Hal ini dikarenakan lahan garapan yang ada sudah tidak subur dan tidak dapat mengahasilkan panen yang bagus. Dengan kondisi ini maka siklus pembukaan lahan garapan dan membangun lampau hingga menjadi pondok akan terulang kembali di lokasi yang baru. Sementara itu pondok yang ada (di lahan yang sudah ditinggalkan) akan dikembangkan menjadi lumbung tempat penyimpanan padi hasil panenan. Berkaitan dengan lumbung ini, masyarakat suku Dayak Bukit percaya bahwa seluruh hasil panen akan aman disimpan di lumbung meskipun tidak ditunggu/dijaga. Mereka percaya bahwa setiap lumbung dan juga huma memiliki ‘penunggu’ yang menjaganya. Adapun pencuri akan menerima balasan berupa kutukan (tulah) dan kecelakaan (bala). Selain itu terdapat hukum adat dan pantangan yang menjadikan keamanan lumbung terjamin. Proses transformasi ruang dari sebuah lampau kemudian dikembangkan menjadi pondok hingga akhirnya menjadi lumbung, sebagaimana diuraikan di atas diilustrasikan dalam Gambar 4 berikut. Tradisi ini merupakan awal tradisi membangun bagi suku Dayak Bukit.
Pada masa tanam, di mana padi mulai tumbuh maka ladang wajib dijaga dan dipelihara. Untuk itu lampau mulai dipasang dinding penutup untuk jadi tempat bermukim sementara. Seluruh keluarga menghabiskan waktu selama masa tanam dengan tinggal di pondok yang ada di huma.
Pada masa panen dan sesudahnya, pondok-pondok berubah fungsi dari tempat tinggal menjadi lumbung tempat menyimpan padi hasil panen. Seluruh warga pada masa-masa ini kembali ke balai-adat. Adapun hasil panen tetap disimpan di pondok (lumbung) ini.
Gambar 4. Transformasi dari lampau menjadi lumbung Sumber: analisis peneliti, 2013.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 21
4.3 Terbentuknya hunian bersama (balai-adat) Berawal dari transformasi lampau hingga menjadi lumbung inilah peneliti meyakini bahwa suku Dayak Bukit juga membangun hunian atau balai-adat mereka dari pondok ini. Didasari kebutuhan untuk tempat berkumpul dan melaksanakan aruh bahuma secara bersama-sama agar memperoleh vitalitas maka beberapa umbun mulai berkumpul. Proses berkumpulnya umbun-umbun ini selanjutnya diikuti dengan penggabungan pondok-pondok hingga membentuk sebuah hunian bersama (cikal bakal balai-adat). Jika pada awalnya, umbun-umbun hanya berkumpul di salah satu pondok yang ada maka selanjutnya mereka mulai menggabungkan dan memperluas pondok yang ada. Perluasan pertama adalah dengan cara menambah
Lampau/pondok/ lumbung yang dibangun terpisah dan tersebar di ladang-ladang milik umbun
Salah satu pondok dipilih sebagai tempat pelaksanaan upacara adat secara komunal
luasan lantai ke seluruh sisi dan ditandai oleh perbedaan ketinggian lantai antar ruang upacara, berkumpul, dan tempat tinggal (bilik). Argumentasi ini didukung fakta adanya enam tiang utama yang sebelumnya merupakan konstruksi sebuah pondok. Perluasan kedua adalah menambah ruang-ruang bilik (sebagai representasi pondok milik masing-masing umbun) di sekitar upacara (ruang pamatang). Berdasar proses inilah akhirnya tercipta sebuah balai-adat yang memiliki ruang upacara (ruang pamatang) di bagian tengah, ruang komunal (ruang laras) yang mengelilingi ruang upacara, dan ruang-ruang bilik (ruang ujuk) di sekeliling ruang komunal sebagaimana keberadaan balai-adat saat ini. Berikut ilustrasi uraian di atas.
Untuk memperkuat pelaksana an upacara dibangunlah ruang tambahan untuk menampung segenap warga
Pondok-pondok milik umbun mulai bergabung dan dibangun berupa bilik-bilik di sekitar ruang upacara yang ada
Gambar 5. Transformasi pembentukan balai-adat Sumber: analisis peneliti, 2013
Argumentasi adanya proses penggabungan pondok, selain terlihat dari enam tiang guru dan atap pelana yang berasal dari sebuah pondok, juga terlihat dari sifat kepemilikan individu (umbun) terhadap masing-masing bilik. Hampir pada seluruh balai-adat yang menjadi kasus-penelitian diperoleh gambaran bahwa status kepemilikan ruang bilik (ruang ujuk) berdampak pada perbedaan kondisi ruang bilik, baik dari segi pemeliharaan, material, hingga fungsi/ pemanfaatannya. Setelah tercipta sebuah balai-adat, suku Dayak Bukit selanjutnya tetap melaksanakan tradisi bermukim sebagaimana tradisi sebelumnya, yaitu setiap umbun yang melaksanakan kewajiban berladang akan membangun lampau dan pondok di ladang-ladang milik mereka. Dengan kata lain, siklus kehidupan awal-mula tradisi bermukim sebagaimana sebelumnya terulang kembali. Kondisi seperti inilah yang menjadikan seluruh bukti perkembangan fase tradisi bermukim suku Dayak Bukit masih dapat dijumpai dan terpelihara baik di lapangan. 4.4 Adaptasi terhadap kebutuhan ruang hunian Selanjutnya, akibat pertambahan jumlah anggota keluarga maka balai-adat sebagai hunian bersama mulai dirasa kurang mencukupi. Penambahan keluarga baru akibat anak-anak yang sudah dewasa mulai berkeluarga dan juga keinginan meningkatkan taraf kehidupan adalah alasan utamanya. Untuk itu setiap
22 JAP Vol.6 No.1 Apr. 2013
keluarga (umbun) dan kelompok (bubuhan) mulai melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan ruang yang semakin luas dan layak. Beberapa upaya dilakukan dengan tetap memegang atau tidak melanggar hukum adat, yaitu tidak melakukan perubahan pada ruang upacara (ruang pamatang). Beberapa perubahan dan keragaman balai-adat yang ada saat ini tidak terlepas dari akibat perluasan ruang yang dilakukan tersebut. 4.4.1 Perluasan ruang bilik dalam balai-adat. Secara fisik, perubahan akibat perluasan ruang ujuk ini terlihat jelas dari perubahan selubung bangunan balai-adat. Hal ini karena perluasan ruang ujuk dibuat dengan cara penambahan ruang namun dengan tetap menyatu atau menempel pada bangunan induk. Perluasan ruang ujuk didorong oleh kebutuhan wadah atau tempat untuk aktivitas keluarga yang lebih besar, baik akibat penambahan jumlah anggota keluarga maupun perabotan. Penambahan volume (panjang, lebar, dan tinggi) berbeda-beda tergantung kebutuhan dan kemampuan ekonomi masing-masing, sehingga tidak pada semua balai-adat ditemukan perluasan ruang ujuk. Begitu juga dengan konstruksi dan material yang digunakan, namun umumnya dibuat dengan bahan yang lebih sederhana daripada ruang laras dan ruang pamatang. Perluasan ruang ujuk dibangun menggunakan konstruksi tiang kayu yang diperoleh dari lingkungan
Bani Noor Muchamad
alam sekitar. Dinding dibuat dari bambu (paring) yang dibelah-dilebarkan (dinding balatai) atau dianyam, penutup lantai dibuat dari bahan bambu yang dibelahbelah, rangka atap menggunakan bahan bambu, sementara penutup atap menggunakan bambu yang dibelah dan disusun secara bersilang (atap tangkup) atau atap daun rumbia. Seluruh konstruksi menggunakan teknik penyambungan dengan ikatan rotan atau bambu tali (gigantochloa apus).
Gambar 6. Perluasan ruang bilik Sumber: ilustrasi peneliti, 2013.
Fenomena perluasan ruang ujuk masih bisa dijumpai pada beberapa balai-adat yang ada saat ini, namun karena sudah tidak lagi dipergunakan sebagai tempat tinggal sehari-hari maka kondisi ruang ujuk umumnya sudah rusak parah.
pilihan membangun pondok/rumah di luar balai-adat adalah sebuah alternatif yang paling mudah dan murah. Selain untuk kebutuhan tempat tinggal, alasan pembangunan pondok adalah untuk menyimpan berbagai hasil perkebunan atau hasil hutan. Adapun padi hasil dari ladang pertanian tetap disimpan di pondok (lampau) yang terletak di ladang pertanian. Selain hasil kebun, hutan, dan ladang pertanian, terdapat juga hasil kebun karet berupa blok-blok getah yang disimpan dengan cara direndam di sungaisungai. Saat ini, pondok yang dibangun di sekitar balaiadat sangat mudah dijumpai, mulai dari kondisi asli hingga pondok yang sudah direhab. Setiap umbun akan membangun rumah-pondok tepat di belakang ruang ujuk masing-masing. Hal ini juga menegaskan aspek kepemilikan sekaligus menggambarkan kebutuhan ruang masing-masing umbun. Sebagaimana perluasan bilik, pembangunan pondok juga disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan ekonomi setiap umbun.
Gambar 8 Pembangunan pondok di sekitar balai-adat Sumber: ilustrasi peneliti, 2013.
Gambar 7. Kondisi bilik saat ini yang sudah rusak Sumber: dokumentasi peneliti, 2013.
Pada masa sekarang ini, di mana masyarakat sudah tidak lagi tinggal dalam balai-adat, pondok-pondok yang ada berfungsi pula untuk menampung tamu undangan yang hadir pada saat upacara (aruh) dan tempat menyiapkan hidangan untuk para undangan. Pada saat diselenggarakan upacara (aruh), para tamu, baik dari kalangan suku Dayak Bukit maupun masyarakat lain, yang umumnya berasal dari jauh akan diinapkan di pondok ini. Begitu juga dengan para umbun dari warga bubuhan yang sekaligus pemilik ujuk akan tinggal di ruang ujuk masing-masing atau dalam pondok mereka. Dengan kata lain, selama aruh ganal berlangsung, maka balai-adat berfungsi penuh sebagai tempat tinggal. Inilah yang menyebabkan pondok umumnya lebih terawat kondisinya.
4.4.2 Membangun pondok di sekitar balai-adat Perubahan selanjutnya adalah pembangunan pondok di sekitar balai-adat. Alasan utama dibangun nya pondok ini adalah untuk menampung anggota keluarga yang semakin banyak dan sudah tidak bisa lagi ditampung dalam ruang ujuk yang ada. Manakala memperbesar balai-adat (untuk menambah ruang ujuk) dengan cara merubah struktur utama balai-adat menuntut berbagai persyaratan yang berat maka
4.4.3 Membangun rumah di sekitar balai-adat Dalam perkembangannya, banyak pondok yang direhab menjadi rumah tinggal yang lebih permanen. Sedangkan bagi keluarga yang mampu secara ekonomi mereka dapat langsung membangun rumah tinggal permanen. Perkembangan pondok di sekitar balai-adat inilah yang menjadi cikal bakal munculnya perkampungan suku Dayak Bukit. Manakala sebagian besar keluarga atau umbun
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 23
sudah membangun dan tinggal dalam rumah tinggal masing-masing maka pada akhirnya akan membentuk sebuah perkampungan. Di kawasan Loksado, di sepanjang jalan-jalan yang menghubungkan antar balai-adat sering dijumpai rumah-rumah tinggal pribadi milik setiap keluarga dari suku Dayak Bukit, baik yang dibangun di sekitar balai-adat.
dua pola: membangun rumah tinggal di sekitar balaiadat dan membangun rumah tinggal (baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama) jauh dari balaiadat. Secara kronologis, bentuk perubahan diawali dari dimulainya pembangunan pondok di sekitar balaiadat. Pada masa lalu, seluruh balai-adat pernah mengalami fenomena pembangunan pondok di sekitar balai-adat, namun setelah warga mampu membangun rumah tinggal maka saat balai-adat dibangun kembali di lokasi yang baru atau lokasi yang sama, warga tidak lagi membangun rumah-pondok di sekitar balai-adat, melainkan langsung membangun rumah tinggal secara swadaya maupun melalui bantuan pemerintah (seperti program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil/ PKAT), hingga akhirnya pada saat ini, sebagian permukiman suku Dayak Bukit sudah berubah menjadi perkampungan.
Gambar 9. Rumah tinggal yang dikembangkan dari pondok yang ada. Sumber: dokumentasi peneliti, 2013.
V. Kesimpulan dan Saran Jika seluruh proses yang diuraikan di atas disatukan maka tergambar sebuah proses transformasi permukiman suku Dayak Bukit secara utuh dari asalmula terbentuknya tradisi bermukim hingga saat ini. Meskipun demikian, secara umum, transformasi dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu: (a) fase pondok, (b) fase balai-adat, dan (c) fase perkampungan. Berikut (lihat Gambar 10) memperlihatkan fase-fase tersebut dan hubungannya.
4.5. Terbentuknya perkampungan Terbentuknya sebuah perkampungan merupakan fenomena yang paling dominan nampak saat ini di permukiman suku Dayak Bukit. Dengan berbagai perubahan yang terjadi, saat ini sebuah perkampungan suku Dayak Bukit akan mencakup balai-adat, rumah tinggal, dan pondok. Berkaitan dengan perkampungan yang terbentuk dari proses pembangunan rumah tinggal, secara garis besar dapat dibedakan menjadi
Membangun rumah
Rumah tinggal
Gambar 10. Transformasi dari lampau hingga menjadi sebuah perkampungan Sumber: analisis peneliti 2013.
Fase pondok. Fase ini merupakan awal terbentuknya permukiman suku Dayak Bukit. Selain membangun tempat berteduh (lampau), fase ini juga ditandai dengan tradisi tinggal secara menetap di satu tempat walaupun masih sebatas untuk masa tanam. Fase balai-adat. Fase ini merupakan fase tinggal secara bersama dalam satu hunian. Pada fase ini muncul permukiman berpindah-pindah untuk periode waktu tertentu (sekitar 5 – 15 tahun). Fase perkampungan. Dalam fase ini, suku Dayak Bukit sudah tinggal secara permanen di satu lokasi. Bentuk permukiman sangat menarik karena sudah tidak berbeda dengan permukiman pada umumnya, namun jika dilihat dari struktur masyarakat dan relasi
24 JAP Vol.6 No.1 Apr. 2013
antar balai-adat dengan rumah tinggal di sekitarnya maka akan terlihat jelas perbedaannya. Berdasar struktur kemasyarakatan, sebuah perkampungan suku Dayak Bukit selalu mempertahankan kekerabatan dan ruang upacara yang ada dalam balai-adat. Dengan kata lain, perkampungan adalah perluasan dari balai-adat juga. Jika sebelumnya setiap keluarga tinggal dalam ruang bilik maka dalam bentuk perkampungan, setiap keluarga sudah tinggal dalam rumah tinggal pribadi. Selebihnya tidak ada yang berbeda, namun demikian balai-adat wajib dipertahankan keberadaannya sebagai tempat upacara adat. Mengacu pada temuan tentang perubahan hunian (Muchamad, dkk. 2013) dan transformasi permu-
Bani Noor Muchamad
kiman ini, maka dapat dilakukan penelitian lanjutan berkaitan apa yang menjadi muatan makna (konsepsi) dari perubahan hunian dan transformasi permukiman suku Dayak Bukit. Bentuk perubahan hunian dan proses transformasi permukiman sangat penting sebagai landasan penyusunan rencana dan program pembangunan bidang perumahan bagi masyarakat tradisional umumnya, dan suku Dayak Bukit khususnya.
sekaligus menjadi konsep temuan yang menjelaskan hunian SDB. huma : ladang tempat menanam padi lampau : pondok peristirahatan yang hanya terdiri dari lantai (panggung) dan atap dauh tanpa dinding, dibangun secara sederhana dengan bahan-bahan lokal yang diperoleh dari lingkungan sekitar serta konstruksi yang juga sederhana. pondok : bangunan sederhana yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi (hasil panen). Umumnya dikembangkan dari lampau sehingga tetap berada di ladang-ladang pertanian. umbun : keluarga batih atau keluarga inti yang terdiri dari keduaorang tua dan anak-anak.
Ucapan terima kasih Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian untuk disertasi penulis di bawah bimbingan promotor Prof. Tony Atyanto Dharoko, Dr. Arya Ronald, dan Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra. Terima kasih juga peneliti sampaikan kepada Kementrian Pendidikan Nasional c.q. Ditjen Dikti, Universitas Gadjah Mada, dan Jurusan Arsitektur dan Perencanaan yang telah memfasilitasi beasiswa BPPS dan studi S3 peneliti.
LAMPIRAN B: Kasus penelitian No 1
Desa Malinau
2
Tumingki
3
Kamawakan
4
Lok Lahung
5 6
Loksado Haratai
Referensi 1) Creswell, John. (1994). Research Design: Quantitative and Qualitative Approaches. Thousand Oaks, California: Sage Publications. 2) Doxiadis, Constantinos A. (1968). Ekistics, an introduction to the science of human settlements. New York: Oxford University Press. 3) Haviland, William A. (1995). Antropologi. Terj. R.G. Soekadijo. Jakarta : Erlangga 4) Muchamad, Bani Noor, (2007). Anatomi Rumah Adat Balai. Banjarmasin: Pustaka Banua. 5) Muchamad, B. N., Dharoko, T. A., Ronald, A., & Ahimsa-Putra, H. S. (2013, Januari). Perubahan Hunian Tradisional Suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan (Kajian Perubahan dengan Metode Etnografi). Forum Teknik Majalah Ilmiah Teknologi, 35(1), 1-11. 6) Radam, N. H. (2001). Religi suku Dayak Bukit. Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Yayasan Semesta. 7) Spradley, J. P. (1979). The Ethnographic Interview. Forth Worth: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers 8) Spradley, James P. (1980). Participant observation. New York, Holt Rinehart and Winston.
Nama balai-adat Balai Padang Balai Jalai Balai Bidukun Balai Aitih Balai Haruyan Balai Mentaih Balai Bumbuyanin Atas Balai Bumbuyanin tengah Balai Bumbuyanin bawah Balai Cempaka Balai Sungai Binti Balai Malaris Balai Lua Panggang Balai Manakili atas Balai Manakili bawah Balai Manutui/Kamiri Balai Uruy/Kukundu Balai Haratai Balai Waja Balai Hujung atas Balai Lian Buluh/Paku Balai Landuyan
Kasus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
JUMLAH Keterangan: = kasus penelitian Sumber: diolah dari berbagai sumber
LAMPIRAN C: Sebaran kasus-penelitian
LAMPIRAN A: Glosarium balai-adat : tempat tinggal; sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau kediaman bersama (communal dwelling) bagi beberapa keluarga SDB yang masih memiliki ikatan kekerabatan. bahuma : berladang balian : pemimpin religi/upacara banih : padi banua : kampung halaman bawanang : upacara mewanangi padi, alam sekitar, dan diri manusia bubuhan : keluarga luas utrolokal atau virilokal. Utrolokal adalah adat yang memberi kebebasan kepada pasangan pengantin baru untuk tinggal menetap di dekat keluarga suami atau istri. Virilokal adalah adat bertempat tinggal atau dekat dengan keluarga laki-laki. Adat yang mengatur bahwa istri harus tinggal pada keluarga suami atau bertempat pada keluarga laki-laki. Dalam penelitian ini, istilah bubuhan juga
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 25
Maintenance of Rigid Pavement on Peaty Soil Endang Mulyani1, Lusiana1 1
Dosen Fak. Teknik Jurusan Teknik Sipil Kelompok pengajar Manajemen Rekayasa Konstruksi Universitas Tanjungpura Pontianak (UNTAN)
Abstract Rigid pavement development on peaty soil need high construction cost because bearing capacity of the existing soil should be remediated first. Large number of investment must be followed by maintenance in order to maintain the pavement in an optimal function during the life cycle time. Damages to rigid pavement due to repetition of excessive traffic load and low bearing capacity of peaty soil are as follow: pumping, settlement or faulty, rocking and cracks. Those damages are divided into low damage, medium damage, and high damage. The maintenance is accord with the damage level. Grouting can be conducted for light damage to increase the road level to the initial level. For medium damage, partial reconstruction can be conducted as the maintenance action. And for high damage, one or more slab can be reconstructed. Keywords: Maintenance, Damage, Peaty Soil.
I. Introduction Road maintenance is an activity related to treatment and reparation of the road. Maintenance is on the stage in management besides planning and implementation. Road maintenance is needed and planned to maintain road condition so the road can has optimum function to serve the traffic during the life cycle time. Maintenance of road construction is important because road construction is one of the infrastructure which has a great capital investment, so if the maintenance is ignored, then it will result in a high reconstruction cost. Purpose of the reconstruction is to maintain the standard performance of the road. User’ demands for convenient and safety of the road is considered in the road management program. But, the condition of road pavement will be reduced as time passes. Reduction of the road condition is caused by the continuous pressure as the result of the traffic load which can cause minor damage to the pavement. Other factors which can reduce the road condition besides the load are water, climate, weather, humidity, and environment. Benefits of road maintenance are as follow: 1) Maintain road condition so the road can serve the Ir. Rr. Endang Mulyani, MT., --- Dosen Fak. Teknik Jurusan Teknik Sipil Kelompok pengajar Manajemen Rekayasa Konstruksi Universitas Tanjungpura Pontianak (UNTAN) Tel. : 0811560301 E-mail:
[email protected] Lusiana, ST., MT., --- Dosen Fak. Teknik Jurusan Teknik Sipil Kelompok pengajar Manajemen Rekayasa Konstruksi Universitas Tanjungpura Pontianak (UNTAN) Tel.: 081345544995
26 JAP Vol. 6 No. 1 Apr. 2013
traffic in ensuring the safety and increase the road service. Therefore, accident as the result of bad condition of the road can be reduced and the good condition of the road will bring convenient to the user. 2) Reduce the operational cost of the vehicle. Operational cost of the vehicle depends on the type of vehicle, geometry and condition of the road. If the road is in a good condition, then the vehicle operational cost will not increase. 3) Slow down the rate of deterioration in order to extend the life cycle time. The area of peat land in Indonesia is the fourth largest after Canada, Russia, and America. The area of peat land in Indonesia is 18,264,000 hectare. West Kalimantan has 4.61 million hectare of peat land which is the largest area of peat land in Indonesia. In other words, ± 25% peat land of Indonesia is located in West Kalimantan. As a province with largest area of peat land, it is interesting to study about the characteristic of building on peat land. According to USCS (Unified Soil Classification System), peaty soil is classified in to soft soil with high organic content. Peaty soil has more than 75% organic content. Peaty soil has bad bearing capacity to support a building or construction. Additional action and responsible maintenance are required to remediate the soil structure if a building is going to be built on peat land. Problems often occur in West Kalimantan which has a large area of peat land, especially in road development. The problem will occurs when the only choice for planner is to develop a road on peat land. For certain area in West Kalimantan, it is hard to avoid developing road on peat land. Accessibility factor is
Endang Mulyani
also considered in determining the road path. Avoiding peat land will result in longer road path and it is no longer optimum from the point of view of road user’s accessibility. Therefore, in certain condition we have to build road construction on peat land. But, with appropriate planning system, implementation method, and maintenance method, the cost of road development can be more efficient. Road pavement consist of two type, they are flexible and rigid pavement. Each type has advantages and disadvantages. Selection of pavement type is based on the comparison of advantages and disadvantages between both of them. From the table above, it can be concluded that flexible pavement has lower initial cost of construction, but it has shorter planning age and the pavement strength is determined by the interaction of each layer. Rigid pavement needs higher initial cost of construction, but it has longer planning age, that is 40 years. Strength of rigid pavement is determined by the strength of concrete slab. For an area which has large area of peat land, such as West Kalimantan, it is an appropriate solution to use rigid pavement in order to lower the maintenance cost and increase the planning age. If the rigid pavement is chose, then remediation of soil structure and systematic maintenance effort are necessary. Purpose of this writing is to create a maintenance system of rigid pavement on peaty soil. This writing is intend to give suggestion to road organizer about road maintenance system, such as condition investigation, damage investigation, and actions to ensure the service time appropriate with the plan. II. Method Rigid pavement or pavement of Portland cement concrete generally consists of two layers, those are concrete slab and sub base. Sometimes, asphalt layer is added on the slab surface during the development period or after the development is complete. Rigid pavement
Sub base
Existing soil
Figure 1. Typical rigid pavement
Depends on the condition, rigid pavement can be a slab without steel reinforcement, low steel reinforcement slab, continuous steel reinforcement slab, pre-stress concrete or fiber concrete. Concrete slab is usually placed on compacted granular material or sub base which is supported by existing soil.
Concrete slab has high flexural strength and stiffness so it can distribute the loads acting on the concrete to a large area and result low stress to the layers beneath it. To maximize the capability of the pavement, foundation bearing beneath concrete slab must be uniform. Although most of the loads on the rigid pavement are supported by concrete slab, the durability and strength of the slab is strongly influenced by characteristic, bearing capacity, and uniformity of the existing soil. Uniformity of bearing capacity of existing soil will help to decrease the effect of stress to concrete slab. Existing soil as road foundation consists of the material at the base of excavation or at the top of heap beneath the pavement structure. Integrity of pavement structure depends on the stability of existing soil. Thereby, existing soil must be in a stable condition at constant water content. Existing soil must be well compacted in order to minimize volumetric deformation or ununiformed settlement due to the vehicle loads. Bearing capacity of the existing soil must be considered in the planning. If the bearing capacity is do not meet the requirement, then the existing soil musty be remediated. And neither is the rigid pavement development on peat land in West Kalimantan, provided that the existing soil is capable to bear the rigid pavement and loads acting on it (traffic loads) As limitation, this writing only concern about maintenance of road with rigid pavement related to the possible damages due to the construction on soft soil such as peaty soil. III. Discussion To actualize road maintenance which can meet the requirement is not easy. Because it needs an early detection and reparation of the pavement to prevent minor damage which can lead to a pavement construction failure. Generally, categories of road damage are as follow: 1) Structural Damage Structural damage is a damage of road structure which results in incapability of the pavement to bear the loads acting on it. Structural damage is generally caused by the fatigue due to the load increment and traffic repetition, or bad drainage system, or unstable condition of existing soil. Structural damage can be indicated by the Cracks or permanent deformation of the soil. 2) Functional Damage Functional damage is damage of road surface which results in disturbance of the road function in serving the traffic. Pavement still capable in bearing the loads acting on it but it cannot provide the convenient which meet the
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 27
requirement. Functional damage can be indicated by surface defect/surface deterioration and damage at the edge of pavement. Pavement damage affects the convenient quality of the vehicle, structural capacity and its appearance so it needs a method of damage quantity estimation and uniformity of giving the name. Therefore, a catalogue of types of damage commonly occurred is necessary. The catalogue can facilitate the identification of the type of damage and its causal factor. After the damage and its causal factors are identified, appropriate action to overcome the damage can be determined. This writing is intends to determine the appropriate maintenance of damage due to the unstable soil (especially peat). The damages will be selected based on the causal factor to determine appropriate reparation. Types of rigid pavement damage: 1) Deformation Deformation is any kind of change of pavement surface from the initial form. Deformation consists of: pumping, blow up, settlement, punch out and rocking. Descriptions of each deformation are as follow: a. Pumping Pumping is phenomenon when a mixture of water, sand, clay, and silt is pumped out along the transversal or longitudinal joint and at the edge of pavement by repetitive movement of concrete slab due to the traffic loads (Figure 2). This type of damage is hard to identify. The possibility of damage can be identified from the joint or Cracks with deposit of fine granular material nearby.
3) Damage of the concrete reduce the convenient and safety of the vehicle. b. Blow-Up/ Buckling Blow-Up/buckling are damage due to local buckling of concrete pavement (Figure 3). Usually occur at Cracks or transversal joint which having high compressive stresses if some hard materials fill the joint and constrain the concrete slab expansion. Therefore, concrete slab will heave locally at the end and buckling will occur near the joint. Blow-Up usually occur in the summer when the slab expanse excessively.
a) A-B Segment Midpoint Joint Joint
Joint Traffic
Shoulder
Figure 3. Blow-ups scheme on rigid pavement
Figure 4. Damage of rigid pavement joint due tothe blow-up.
Figure 2. Fine grain pumped out when the rain
Causal factor of the damage: Due to the pumping out of fine granular material from existing soil and foundation layer, when the Cracks or joint is flooded and traversed by the vehicle repeatedly, the bearing capacity of existing soil to concrete slab will be reduced. Advanced risk: 1) Larger area of pumping 2) Trigger the Cracks and rocking.
28 JAP Vol. 6 No. 1 Apr. 2013
Causal factor of damage: Slab joint is filled with hard materials which are not easily compacted (sand, gravel, etc.) and then constrains the concrete slab expansion Advanced risk : 1) Result in Cracks. 2) Blow-ups with near distance will result in functional damage of the highway. c. Settlement or Faulty Settlement of faulty is elevation difference between two concrete slabs at the joint or Cracks. Faulty usually occurs because of no load transfer between the slabs and continued by compaction or volumetric shrinkage of the soil beneath the slabs. Figure 5 shows the rigid pavement without load transferring device at the
Endang Mulyani
joint. Fault at the joint cause the functional damage and reduce the convenient
1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) Larger area of Cracks and followed by collapse. e. Rocking Rocking is dynamic phenomenon of vertical movement at the joint or Cracks due to traffic load (Figure 7). Usually, rocking occur due to settlement of existing soil or pumping of layer beneath the slab, so the support is vanish and result in permanent fault.
Figure 5. Faulty due to elevation difference between two slabs
Causal factor of damage: 1) Shock-load of the traffic on the joint 2) Bad bearing capacity of existing soil and foundation layer. 3) Folded or wavy slab due to the change of temperature and humidity. 4) Loss of fine granular material due to pumping. 5) Volumetric change of the existing soil. Advanced risk : 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) Cause the noise when traversed by vehicle. d. Punch Out Punch-Out is local damage on concrete pavement which is broken in to relative small pieces, and usually followed by the sinking of the fraction (Figure 6). Punch-Out has many shape difference, usually defined from the Cracks and joint, or Cracks in close range (usually range in 1.5 m).
Figure 6. Concrete pavement which is broken in to relative small pieces, and usually followed by the sinking of the fraction (punch-out).
Causal factor of damage: 1) Concrete pavement slab is too thin. 2) Bad concrete casting. Advanced risk:
Figure 7. Rocking at the joint
Causal factor of damage: 1) Bad compaction of the sub base. 2) Bad condition of existing soil. 3) Differential settlement of existing soil. 4) Loss of fine granular material of the sub base due to pumping. Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) Cracks followed up with faulty. 3) Larger area of rocking which is followed up with concrete fracture. 2) Cracks Cracks in concrete pavement are caused by several factors, with different Cracks pattern. Causal factor of this difference is also varying. Shrinkage Cracks is caused by shrinkage of the concrete. It usually occurs during the dehydration period. The Cracks are short with random range in the longitudinal or transversal direction. Every Portland cement concrete pavement will have shrinkage Cracks, but in can be controlled with a good planning so it will not damage the pavement. Cracks of concrete slab can cause: 1) Functional failure. 2) Loss of capability of concrete slab to distribute the load to the layer beneath it. 3) Ruin the road surface. 4) Corrosion of the steel reinforcement of concrete. 5) Water infiltration to lower layer and weaken the bearing capacity.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 29
Edge Corner
Block
Road Axis
Zigzag
Figure 8. Types of Cracks in rigid pavement
a. Longitudinal Cracks Longitudinal cracks are not related to each other along the pavement (Figure 9). Cracks also appear as individual or group of parallel cracks.
Figure 9. Longitudinal crack
Causal factor of damage: 1) Differential settlement of existing soil. 2) Lateral shrinkage because the slab is too wide. 3) Longitudinal joint is too close to the traffic traverse path. 4) Longitudinal joint is too shallow. 5) The slab is not thick enough. Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) Cracks can develop become faulty or spalling. 3) Crack at the whole area of the concrete slab. b. Transversal Cracks Transversal crack is individual crack and not related to each other across the pavement. In a long slab, transversal cracks may occur due to excessive contraction of the slab. Example of transversal crack is shown in Figure 10. Portland cement concrete pavement without steel reinforcement for the change of temperature will have a higher risk of wide transversal crack. If the cracks in such a way that there are no loads transfer at crack section, then the damage probably continues.
30 JAP Vol. 6 No. 1 Apr. 2013
Figure 10. Transversal crack.
Causal factor of damage : 1) Concrete shrinkage during treatment period and excessive length of the slab. 2) Rocking (vertical movement at joint or crack due to traffic dynamic loads). 3) The slab is not thick enough Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) Cracks can develop become faulty or spalling. 3) Crack at the whole area of the concrete slab. c. Diagonal Cracks Diagonal crack is individual crack or not related to each other which are across the concrete pavement diagonally. Figure 11 shows the diagonal cracks due on rigid pavement due to the fracture of the structure which is built on fine sand as the existing soil. The concrete breaks at the corner. It is caused by the compaction of the fine sand so bearing capacity is reduced. This condition results in the broken of the concrete slab due to excessive stress in the slab.
Figure 11. Diagonal cracks of rigid pavement
Causal factor of damage: 1) Concrete shrinkage during treatment period and excessive length of the slab. 2) Settlement of existing soil and pavement. 3) The slab is not thick enough. 4) Rocking of the pavement.
Endang Mulyani
Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) Cracks can develop become faulty or spalling. 3) Crack at the whole area of the concrete slab. d. Meandering Cracks Meandering crack is irregular individual crack or not related to each other (Figure 12).
Figure 12. Meandering cracks of rigid pavement
Causal factor of damage: 1) Concrete shrinkage during dehydration period and excessive length of the slab. 2) The slab is not thick enough. 3) Rocking of the pavement. 4) Settlement of existing soil and pavement. Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) Cracks can develop become faulty or spalling. 3) Crack at the whole area of the concrete slab. e. Corner Breaks/Corner Cracks Corner breaks/ corner cracks are breaks or cracks occur at the corner of concrete slab in the shape of triangle (Figure 13). Corner breaks are different with corner spalling. Corner breaks cut the whole slab vertically while spalling cut in certain angle (Shahin, 1994).
Figure 13. Corner breaks/ corner cracks.
Causal factor of damage : 1) Excessive and repetitive traffic loads and low bearing capacity of existing soil due to pumping or loss of loads transfer at the longitudinal or transversal joint. 2) The slab is not thick enough. Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) Cracks can develop become faulty or spalling. 3) Crack at the whole area of the concrete slab. f. Warping Cracks If the rigid pavement has no joint, then warping cracks may occur randomly. Warping cracks which form longitudinal cracks is shown in Figure 14. This shows that movement difference has been occurred at the cracks and followed up with the concrete damage. Warping cracks is not dangerous if it is reinforced to overcome the change of temperature. Warping cracks also occur in transversal direction if the slab is too long. But these cracks are also not dangerous provided that the load transfer is provided by the reinforcement steel and shear among the grain.
Figure 14. Warping cracks which form longitudinal cracks
Causal factor of damage : 1) Change of temperature. Change of length due to the temperature increment, results in high stress on the pavement surface so the warping cracks occur. 2) Traffic loads tends to increase number of cracks. Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. Confusing the driver about axial line of the road. 2) Cracks can develop become faulty or spalling. 3) Crack at the whole area of the concrete slab.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 31
g. Shrinkage Cracks Shrinkage cracks are small cracks which have the length of several feet and do not cut the slab.(Figure 15). These cracks occur during the treatment period of the concrete.
Figure 15. Shrinkage cracks in rigid pavement
a. Scalling /Map Cracksing / Crazing Map Cracksing or crazing forms a net of shallow cracks, fine cracks in the concrete surface. The cracks tend to have angle of 120°. Map Cracksing or crazing is usually caused by over finishing and result in scalling which break the concrete surface to the depth of ¼ - ½ in. (6 – 13 mm) (Shahin, 1994).Scalling is exfoliation of the surface of Portland concrete little by little due to loss of mortar followed by loss of aggregates and conversely. In serious damage condition, the exfoliation may continue to the deeper part of the concrete (Figure 17). Scalling is easily recognized, and commonly occur. From the point of view of structure strength, this kind of damage does not have serious effect.
Causal factor of damage : Concrete shrinkage during the treatment period. Advanced risk: Cracks spread to entire depth of slab. h. Shattered Slab Intersecting Cracks Shattered Slab Intersecting Cracks are the cracks shatter the slab become four or more pieces due to excessive traffic loads or bad bearing capacity (Figure 16).
Figure 16. Shattered Slab Intersecting Cracks.
Causal factor of damage : 1) Excessive loads and low bearing capacity of sub base and existing soil. 2) Fatigue of concrete slab, or the slab shatter as the result of the other cracks. 3) The slab is not thick enough. Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) Crack at the whole area of the concrete slab. 3) Disintegration Disintegration is raveling of the concrete slab to become small particles. If this kind of damage is not prevented early, the pavement may need total reparation.
32 JAP Vol. 6 No. 1 Apr. 2013
Figure 17. Scalling near the concrete slab joint.
Causal factor of damage : 1) Bad concrete mixing 2) Dirty aggregates which result in the flow of mud/ silt and clay on the surface at the finishing stage. 3) Bad treatment or dehydration of concrete. 4) Freeze-melt cycle, loss of ice layer. Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) Reduction in concrete strength. 3) More serious damage may occur. b. Spalling Spalling at the joint and corner is the disintegration of the concrete at the edge and joint of the pavement or cracks in longitudinal and transversal direction (Figure 18). Spalling will not extend to the whole surface of slab, but only cross a part of the joint or cracks at the corner. Causal factor of damage : 1) The result of bad covering of the joint or cracks so hard material can get into the joint gap or cracks. 2) Bad form of joint. Spalling may be caused by slab expansion due to heat. The expansion breaks the slab at the
Endang Mulyani
joint. Cracks filled with hard material due to the constrained expansion. 3) Dowel which is used as load transfer device, cross the expansion joint and not in parallel position with the axial line and surface of the pavement.
aggregate expansion which result in the material getting out of the pavement and spread on the surface (Figure 20). Diameter of Pop outs usually in the range of 25 - 100 mm with the depth of 13 - 50 mm.
Figure 20. Pop outs. Figure 18. Spalling at the joint.
Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) More serious damage may occur. c. Polished Aggregate Polished Aggregate is aggregate on the surface of the pavement which is polished by the attrition (Figure 19). Sometime, the surface of the pavement is become smooth and glossy.
Figure 19. Polished aggregate due to attrition.
Causal factor of damage : 1) Bad quality of the aggregates which result in the attrition, especially in wet condition. The aggregates should be broken in the concrete mixing to increase the roughness of the surface. 2) Bad quality of the mortar on the surface. 3) Bad concrete casting which result in bleeding of the concrete. Advanced risk: 1) Slippery surface will endanger the road user. 2) Extension of damaged area. d. Pop outs Pop outs are small fraction of pavement due to the action of freeze-melt combination and
Causal factor of damage : The action of freeze-melt combination and aggregate expansion which result in the material getting out of the pavement and spread on the surface Advanced risk: Pop outs extension. 4) Lane/ Shoulder Drop-Off Shoulder drop-off relatively to the pavement.(Figure 21). This condition is caused by settlement of the shoulder of the pavement as the result of erosion. Causal factor of damage : 1) Differential settlement between road shoulder and pavement. 2) Erosion of road shoulder. 3) Inappropriate planning of the thick of shoulder. 4) Bad drainage and road shoulder compaction. Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) Loss of lateral bearing capacity of the pavement, which leads to the cracks of the pavement edge. 3) Increase the water infiltration
Figure 21. Shoulder drop-off relatively to the pavement.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 33
5) Patching and Utility Cuts Patching is existing area which is excavated and replaced with filler material. Patching is usually conducted in the pavement area where there are some holes or drainages need to be repaired. Because of the less compaction, the area will settle and damaged the patch (Figure 22).
7) Joint Seal Damage Joint Seal Damage is any condition which enables deposit of soils and rocks at the joint or any condition which enables excessive water infiltration and creates small embankment at joint (Figure 24). Damaged filler material may get in to it and constrain the horizontal expansion. This condition results in excessive stress at the joint which causes spalling. Besides that, water infiltration also causes pumping.
Figure 22. Damage of asphalt patching on rigid pavement.
Causal factor of damage : 1) Less compaction of the patching 2) Wrong patching method. Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) More serious damage may occur. 6) Pothole Pothole is a kind of damage in form of hole due to the settlement of pavement surface without spalling (Figure 23). The rigid pavement is broken and settled. Depth of the hole may increase which is affected by water. Pothole is caused by cracks and disintegration of the concrete slab.
Figure 23. Pot hole at the corner of concrete slab.
Causal factor of damage : 1) Local cracks in the exposed reinforcement steel. 2) Freezing action 3) Placement of dowel is too near to the surface. 4) Uncovered cracks or other damage. Advanced risk: 1) Disturb the convenient and safety of the traffic. 2) Increase of the size of the hole.
34 JAP Vol. 6 No. 1 Apr. 2013
Figure 24. Joint Seal Damage.
Causal factor of damage : 1) Attrition and weathering of joint seal material. 2) Bad preparation of the installment of joint seal. 3) Low quality of joint seal material. 4) Less adhesion between the joint seal material and joint wall. 5) Lack of joint seal material or excessive material inside the joint. 6) Bad shape of joint seal. 7) Pumping and rocking of the slab. Advanced risk: 1) May cause the pumping or rocking. 2) Reduction in riding convenient. 3) Increase the noise. 8) Frozen Dowel Bars Restrain stress may occur when the dowel is not straight or not smooth, so concrete slab cannot expand and shrink deliberately. Damage usually occurs on one side of the concrete slab. Frozen dowel bars can cause spalling. Causal factor of damage : Dowel is not straight or not smooth, so concrete slab cannot expand and shrink deliberately. High shear stress occurs in swellshrink cycle. Dowel bars which cannot move deliberately will result in cracks. Advanced risk: 1) May cause the spalling and cracks of the slab. 2) Serious damage may disturb the convenient and safety of the traffic.
Endang Mulyani
Types of damage above are the classification of damage probably occurs in the rigid pavement. This identification process is intends to formulate the type of damage of the road on soft soil, such as peaty soils. Appropriate maintenance is formulated after the identification. Damage of the bearing capacity of the existing soil can be caused by: a. Bad condition of existing soil b. Movement of soil structure due to the traffic loads The identified types of damage are as follow: 1. Pumping 2. Settlement or Faulty 3. Rocking 4. Longitudinal Cracks 5. Transversal Cracks 6. Diagonal Cracks 7. Meandering Cracks 8. Corner Cracks 9. Shattered Slab Intersecting Cracks
Instrumentation - Concrete bore machine - Air compressor - Grouting machine Method 1) Create holes on the slab by the means of concrete bore machine. Diameter of the hole about 50 - 60 mm. The position of the hole can be seen in Figure 25.. 2) Clean the holes by the means of air compressor. 3) Prepare the grouting machine and filler asphalt in temperature of ±210 °C. 4) Pump the filler asphalt from the machine to the holes with the pressure of2 - 4 kg/cm2. (Figure 26)
Generally, road maintenance action to repair the damage of rigid pavement consists of three groups as follow: grouting, partial reconstruction, and reconstruction. Three methods above can be chosen according to the damage occurred. The descriptions of those methods are as follow: 1) Grouting Grouting is intends to return the elevation of concrete slab back to the initial elevation or same elevation with the surrounding slab. The materials which are used in grouting are cement or asphalt. a. Cement grouting Material Cement as the filler material which meets the requirement. Instrumentation - Concrete bore machine - Air compressor - Grouting machine Method 1) Create holes on the slab by the means of concrete bore machine. Diameter of the hole about 50 - 60 mm. The position of the hole can be seen in Figure 25. 2) Clean the holes by the means of air compressor. 3) Prepare the grouting machine and filler material (add water with cement water ratio ≤ 0.45). 4) Pump the filler cement from the machine to the holes with the pressure of 3 - 5 kg/cm2. b. Asphalt grouting Material Asphalt used as filler material is Pen 40 hard asphalt which meets the requirement.
Figure 25. Placement of the grouting holes.
Figure 26. Asphalt grouting machine.
2) Partial reconstruction Partial reconstruction is conducted by replace the partial slab and foundation layer if the corner cracks, longitudinal cracks, and transversal cracks are already reach the base of the slab and if load transferring system is no longer function. The reparation method of
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 35
corner cracks is different with the method for the reparation of longitudinal and transversal cracks. The reparation method for diagonal cracks is the same with the method for corner cracks if the location of cracks < 2 meter from the joint corner, either for the transversal joint or longitudinal joint. a. Partial reconstruction for corner cracks Materials Concrete mixture - Cement - Aggregates - Water Joint filler material Dowel or tie-bar Instrumentation - Concrete saw / cutter - Air compressor - Leveling tool - Shovel - Drum mixer - Vibrator Method 1) Mark the area of cracks and include the area with visually in good condition (about radius of 10 cm outside the cracks) with chalk or paint. 2) Cut the marked area by the means of concrete saw/cutter to the depth of 2 - 3 cm perpendicularly the edge. Round the cutting corner to reduce the stress concentration. 3) Remove the marked area without damage the dowel or tie-bar.
b. Partial reconstruction for longitudinal and transversal cracks Materials Concrete mixture - Cement - Aggregates - Water Joint filler material Dowel or tie-bar Instrumentation - Concrete saw / cutter - Air compressor - Leveling tool - Shovel - Drum mixer - Vibrator Method 1) Mark the area of cracks and include the area with visually in good condition (about radius of 10 cm outside the cracks) with chalk or paint. 2) Cut the marked area by the means of concrete saw/cutter to the depth of 2 - 3 cm. 3) Remove the marked area. Method for joint is the same method for partial reconstruction of the slab corner 4) Create hole in the slab, fill the cement mortar and dowel size of 25 x 700 mm, to the depth of half of its length. 5) Cover dowel with asphalt and fill the mixture of filler material. 6) If the slab does not have steel reinforcement, then replace the concrete with a whole slab because damage usually occurs during the reparation period.
Patching Wall Patching Wall A
Cracks Line Tiebars
A-A B
A
Figure 27. Partial reconstruction for corner cracks.
4) Replace the subgrade and foundation layer if they are not in a good condition. Remediation can be conducted by soil cement because of the small area for implementation and compaction. 5) Check existing dowel and replace the damaged dowel. 6) Cut the joint path after the concrete is hard and fill the mixture of cement to the joint.
36 JAP Vol. 6 No. 1 Apr. 2013
B
Patching
B-B
Figure 28. Partial reconstruction for transversal cracks
3) Reconstruction Reconstruction is conducted if the construction is heavily damaged so maintenance will take no effect. Material which is used to reconstruction is mixture of cement concrete Materials Concrete mixture - Cement - Aggregates - Water
Endang Mulyani
IV. Conclusion From the discussion above, we can conclude that the road maintenance system of rigid pavement is divided into 3 groups, they are: 1) The cause of the damage especially caused by the effect of peaty soil. It is divided into : - The low bearing capacity of the existing soil - The over load of traffic 2) Damages that may happen There are 9 types of damage that might happen because of the causal factor above: 1. Pumping 2. Settlement or Faulty 3. Rocking 4. Longitudinal Cracks 5. Transversal Cracks 6. Diagonal Cracks 7. Meandering Cracks 8. Corner Cracks 9. Shattered Slab Intersecting Cracks
3) Maintenance Appropriate maintenance is divided into three stage, those are: Grouting (for low damage) Partial reconstruction (for medium damage and still has probability to be fixed) Reconstruction (for high damage condition that unable to be grouted or do partial reconstruction) This chart below is made to help readers in understanding the maintenance system on rigid pavement on peaty soil. Over load of traffic and Low bearing capacity of the existing soil
Cause Damage Maintenance
Adhesive layer material Instrumentation - Concrete saw / cutter - Shovel - Steel brush - Leveling tools - Canal steel - Drum mixer - Vibrator Method 1) Remove the concrete steel, minimum one unit of slab. 2) Excavate the foundation layer without damage the surrounding pavement. 3) Compact foundation layer by the means of surface-grinding machine if it is possible. If not, compaction can be conducted by the means of vibro hammer especially for the area compacted imperfectly. 4) Pour the mixture of concrete, do the compaction by the means of vibrator. 5) Distance between transversal joint is determined as same as the existing rigid pavement. If the reconstruction is only conducted at one lane, then the position and joint construction must be the same with the existing condition. At the longitudinal and transversal joint of existing and the new slab, install tie bar by creating a hole at the existing concrete surface or using the concrete nail. 6) Longitudinal and transversal joint between the existing and the slab must be filled with the joint filler. 7) The quality of the concrete must be at least the same as the quality of the existing slab.
Types of damage of rigid pavement: 1. Pumping 2. Settlement or Faulty 3. Rocking 4. Longitudinal Cracks 5. Transversal Cracks 6. Diagonal Cracks 7. Meandering Cracks 8. Corner Cracks 9. Shattered Slab Intersecting Cracks
Low
Medium
High
Grouting
Partial reconstruction
Reconstruction
Figure 29. Scheme of maintenance system on rigid pavement on peaty soil
V. Acknowledgement From this writing above, we can learn a lot about the maintenance of rigid pavement. This article is just a small part of what we want to share because it only discuss about rigid pavement on peaty soil. There are different maintaining characteristics for the flexible pavement and the other types of existing soil. Besides that, there are still many concrete structures (bridge, buildings, irrigation, tunnels, etc.). Talking about maintaining concrete structure, there are many things we must learn and those things are not given at college. Knowledge about concrete structure maintenance is very important and it is necessary at the life cycle time, so that the structure will remain in good condition and be durable based on the planning. That’s why we recommended this material to be put in the syllabus so from the beginning we learn about concrete structure so we will be able to anticipate the maintenance.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 37
VI. References 1) Christady Hardiyatmo, H (2007), Pemeliharaan Jalan Raya (Perkerasan Drainase Longsoran), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 2) Justanto (2009), Modul Pemeliharaan Konstruksi Jalan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Departemen Pekerjaan Umum 3) Suryawan, A (1993), Perkerasan Jalan Beton (Rigid Pavement), Meta Offset, Yogyakarta 4) Triwiyono, A (2003), Bahan Ajar Evaluasi dan Rehabilitasi Struktur Beton, Magister Teknologi Bahan Bangunan UGM, Yogyakarta
38 JAP Vol. 6 No. 1 Apr. 2013
5) Yamin, A; Siegfried (2005), Perencanaan Perkerasan Lentur dan Kaku, Departemen Pekerjaan Umum 6) _______ (2000), Panduan Geoteknik 1 (Penyelidikan Tanah Lunak; Desain & Pekerjaan Lapangan), Pusat Litbang Prasarana Transportasi 7) _______ (2000), Panduan Geoteknik 2 (Penyelidikan Tanah Lunak; Desain & Pekerjaan Lapangan), Pusat Litbang Prasarana Transportasi 8) _______ (2002), Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 9) _______ (2011), Sosialisasi Sistem Manajemen Mutu Jalan, Modul 2, PT. Sarana Multi Daya, Banjarmasin
Endang Mulyani
Pola Ruang Kriminalitas Kota: Studi Kasus Kota Surabaya (The Spatial Pattern of Urban Crime: The Case of Surbaya City) Karina Pradinie Tucunan1,Bakti Setiawan2, Yori Herwangi3 1
Peneliti di Laboratorium Pengembangan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2 Dosen, Pengajar dan Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 3 Dosen, Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Abstract There are two motivations of urban crimes which are structural and cultural crimes. Structural crime theory argued that the economic deprivation (including: highly poverty and unemployment rate, and also lack of accessibility) become the main reason of the some variety of crimes. Meanwhile the cultural crime argued that diversity in urban ethnicity and social disorganization is the reasons of the other variety of crime. Furthermore, space is also contributed to crime. These study aims to: 1).explore how the cultural and structural crime motivations lead to different variety and number of the crime and also to identify the space patterns which encourage the crime level in the Surabaya city area. 2) explore how the concept of defensible space can be applied in the area where the motivation of crime is different from each other. This research was conducted by deductive explanatory approach, defined mixed methodology-rationalistic perception to capture the generalization of the grand theoretic with the reflective relationship adjusted with the Surabaya city’s criminal site. This is a case study research, using embedded – multiple case design model. The case is consists of structural and cultural crime, while the unit analysis consists of Arab, Javanese and Maduranese (to explore the cultural case) and Gubeng,Wonokromo,Wonocolo,Semampir and Lakarsantri (to explain the structural case). The results of the study are 1). exploration about how the cultural motive leads to cultural crime (like drugs, drunks, gambling and adultery) and the structural motive lead to structural crime (like felony, burglaries and property crime). 2). explanation about how the cultural motives intensity may brought to higher number of the structural crime on the particular areas. 3). exploration that there is different circumstances space patterns of the crimes. The cultural crimes tends to occur on the space with lack of public facilities that leads to uncontrolled use of the public space becoming community space, limited space for activities which is imply to higher density on the area, and it is often happening on the organic settlement. On the other side, the structural crimes are occurs on the space with high accessibility, single land use and real estate settlement which is built by the private sector. 4). defensible space area concepts which are adjusted with the circumstance of the Surabaya city. First is DSA 1, concept that defense the area from the structural motives with several activities like using mixed land use, access control, encouraging sightlines and territorial reinforcement. Second is DSA 2 concept that defense the area from the cultural motives like adding the public facilities with limited access and activity distribution of the community. Keywords: urban, crimes, spatial, patterns I. Latar Belakang dan Tujuan Penelitian Permasalahan kriminalitas merupakan fenomena sosial yang tidak lepas dari problema perkotaan yang selama ini masih jarang menjadi bahasan utama dalam perencanaan kota di Indonesia. Di negara – negara maju kriminalitas dalam ruang perkotaan telah menjadi kajian tersendiri sehingga beberapa literatur mengenai pentingnya kajian ini dapat ditemukan dalam berbagai macam perspektif keruangan, sebagai contohnya Karina Pradinie Tucunan --- Peneliti di Laboratorium Pengembangan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Tel: 081703719158 e-mail:
[email protected]
adalah mengenai wilayah khusus di Amerika yang disebut dengan Ghetto dalam buku Urban Spatial Structure, kemudian disusul dengan Defensible Space Theory oleh Newman (1972) dan bahkan di literatur Social geography bahasan ini menjadi satu topik yang dikaji tersendiri. Kaitan mengenai aspek keruangan dalam kriminalitas sangat dipengaruhi oleh jenis kriminalitas yang terjadi di kawasan tersebut. Surabaya sebagai ibukota Propinsi Jawa Timur merupakan kota dengan jumlah kasus kejahatan terbanyak di Jawa Timur dengan kenaikan sebesar 1.917 kasus pada tahun 2007 ke tahun 2008. Data kepolisian juga mengungkapkan bahwa selama ini kasus yang paling banyak terjadi di Kota Surabaya adalah kasus dengan motif pencurian
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 39
seperti curat (pencurian dengan pemberatan) dan curas (pencurian dengan kekerasan). Dengan identifikasi pola keruangan yang tepat, diharapkan permasalahan kriminalitas dapat direduksi. Pola ruang permukiman Kota Surabaya dalam tinjauan mengenai kriminalitas, terbagi atas ruang dengan tingkat kriminalitas tinggi, sedang dan menengah. Ruang dengan tingkat kriminalitas tinggi dalam periode 1997 berada di kawasan Surabaya Utara yang merupakan kota lama, namun perkembangan yang terjadi mengisyaratkan bahwa kecenderungan kriminalitas mengarah di kawasan Surabaya Selatan (Maridjan, 1998). Pada tahun 2009 ruang selain bergeser ke arah Selatan, tingginya tingkat kriminalitas bergeser ke arah timur, yaitu tepatnya di Kecamatan Gubeng (Polwiltabes Surabaya, 2009). Berbeda dengan ruang dengan tingkat kriminalitas yang bergeser, ruang dengan jenis kriminalitas tertentu relatif tetap di satu lokasi, salah satu indikator penting diambil berdasarkan data yang dirilis oleh Polres Surabaya Utara (2010), dimana tingkat pengungkapan kasus narkoba tertinggi tetap di Surabaya Utara yang tepatnya berada di wilayah Krembangan. Data ini konsisten dengan data yang dipublikasikan dalam penelitian Maridjan (1998). Kecenderungan adanya pergeseran ruang tinggi rendahnya tingkat kriminalitas, mengindikasikan bahwa ruang atau wadah yang ada menjadi penunjang bagi dinamika atau aktivitas manusia yang ada di wilayah tersebut, baik secara ekonomi maupun sosial. Pergesaran aktivitas kriminalitas merupakan suatu pertanda bahwa terjadi perubahan-perubahan dinamika ekonomi dan sosial di ruang yang terkait. Sedangkan untuk jenis kriminalitas, peran ruang masih dipertanyakan. Ruang kriminalitas tidak terlepas dari keberadaan motif kriminalitas. Motif tersebut dalam ranah tinjauan urban crime terbagi atas dua pendapat yaitu motif struktural (motif ekonomi) dan motif kultural (motif sosial kultural). Kota Surabaya, secara umum merupakan wilayah permukiman dengan karakteristik ekonomi dan sosial yang dinamis, tidak ada perbedaan yang mencolok antara bagian kota satu dengan yang lainnya (dalam tinjauan administratif kecamatan) secara perekonomian. Perbedaan sosio –kultural yang sangat kentara terletak di wilayah Surabaya Utara. Di wilayah tersebut, merupakan wilayah kota lama yang dihuni oleh berbagai macam etnis dan kultur yang berbeda dibandingkan dengan wilayah lain di Kota Surabaya, di antaranya adalah etnis arab, madura dan china. Konsep defensible space area yang dikenal dalam keseluruhan wilayah di Kota Surabaya teraplikasikan dalam bentuk perumahan yang dibangun oleh developer, sedangkan wilayah yang tidak mengaplikasikan defensible space area kebanyakan merupakan perumahan organik atau perkampungan. Selama ini, dalam perspektif penulis defensible space area yang digagas dalam perspektif Newman (1972)
40 JAP Vol. 6 No. 2 Apr. 2013
adalah konsep pertahanan ruang dengan motif ekonomi (struktural) walaupun Newman mengaplikasikan dalam segala kondisi. Tinjauan secara makro dan mezo wilayah lebih mengarah ke ranah desain sehingga hanya dapat diaplikasikan dalam skala kawasan. Dari rumusan permasalahan di atas dihasilkam pertanyaan penelitian sebagai berikut : Bagaimana motif kultural dan struktural mempengaruhi tingkat dan jenis kriminalitas di wilayah – wilayah permukiman Kota Surabaya dan mengidentifikasikan aspek ruang yang mendukung untuk kedua motif tersebut? Bagaimana konsep defensible space area yang sesuai untuk area di Kota Surabaya Tujuan penelitian ini adalah untuk : a) Melakukan pendalaman aspek kultural dan struktural yang mempengaruhi tingkat dan jenis kriminalitas di Kota Surabaya serta mengidentifikasi aspek ruang yang mendukung untuk kedua motif tersebut. b) Mengetahui bagaiamana konsep defensible space area yang sesuai untuk area di Kota Surabaya. II. Tinjauan Teoritik Penelitian ini berangkat dari temuan Newman (1972) mengenai konsepsi pertahanan ruang atau yang dikenal dengan defensible space area, yang mengisyarakatkan bahwa ruang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kriminalitas di kawasan tertentu. Namun, konsepsi ruang dalam perspektif Newman adalah ranah arsitektural atau bergerak di level bangunan hinga blok,walaupun Newman juga sedikit membahas mengenai level makro. Di sisi yang lain, penelitian ini bertujuan untuk mencari aplikasi konsepsi pertahanan ruang level superblock hingga level kecamatan. Keterbatasan wilayah penelitian Newman, mengantarkan perluasan studi mengenai sosiologi dan kriminologi. Banyak teori yang berbeda pandapat mengenai apakah kriminalitas disebabkan oleh ekonomi atau sosial suatu wilayah permukiman, yang mendukung pendapat bahwa kriminalitas disebabkan karena bentukan ekonomi membuat teori mengenai aspek struktural sebagai penyebab kriminalitas seperti Kenneth C Land, David Cantor, Stephen T Russel dan lain – lain, sedangkan yang menyatakan bahwa kriminalitas disebabkan oleh sosial mengembangkan teori mengenai penyebab kultural kriminalitas teori ini dianut oleh William Isaac Thomas and Florian Znaniecki (1981), Robert Ezra Park and Ernest W. Burgess (1921), Edwin Sutherland (1924), Ruth Shonle Cavan (1983), Clifford Shaw and Henry D. McKay (1942), Robert E. Lee Faris dan Robert J. Sampson (1924). Kesimpulan dari semua studi tersebut menghasilkan pemikiran bahwa motif kriminalitas yang berbeda akan menghasilkan jenis kriminalitas yang bebeda pula.
Karina Pradinie Tucunan
Motif terjadinya kriminalitas yang disebabkan oleh sebab struktural menekankan bahwa angka kriminalitas yang terjadi tinggi, sedangkan yang disebabkan oleh faktor ekonomi seperti tingkat pengangguran, kemiskinan di wilayah tersebut ditambah dengan rendahnya akses terhadap sumberdaya. Motif ini mengakibatkan jenis kejahatan pencurian dan kejahatan terhadap property.Sedangkan sebab kultural, motif atau alasan seseorang melakukan tindak kriminalitas adalah karena pengaruh lingkungan sekitarnya yang tidak baik (terjadi pola disorganisasi social). Motif ini menyebabkan jenis kejahatan yang bersifat destruktif di masyarakat seperti narkoba, minuman keras, perzinahan, dan perjudian.
Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian Sumber: Tucunan,2011
Perbedaan motif yang menghasilkan jenis kriminalitas yang berbeda mengakibatkan perbedaan kebutuhan pertahanan ruang yang ada. Pola pertahanan ruang yang dirumuskan oleh Newman (1972) lebih banyak berfokus pertahanan ruang kriminalitas dengan motif struktural (ekonomi). Sedangkan di sisi yang lain kriminalitas dengan motif kultural masih sedikit terdidentifikasi sehingga Newman mengonsepkan satu jenis pertahanan ruang untuk semua jenis kriminalitas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di kerangka teoritik, di gambar 1 yang merupakan kerangka penting dalam membangun penelitian dengan metode rasionalistik, dalam penelitian ini semacam klub malam, tempat karaoke dan hotel. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deduktif rasionalistik. Penerapan pendekatan penelitian rasionalistik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, pertama-tama, dalam persiapan penelitian, terlebih dulu dirumuskan konseptualisasi teoritik sebagai grand theory yang berkaitan dengan konsep Urban Crime beserta indikator -indikatornya, serta teori tentang konsep Defensible Space Area untuk mengurangi tingkat kriminalitasnya. Kemudian, obyek penelitian tetap dilihat dalam konteksnya yang tercakup dalam konstruksi teoritik, karena topik yang berkaitan dengan kriminalitas
wilayah permukiman memang tak dapat berdiri sendiri karena adanya keterkaitan antara faktor-faktor di dalamnya. Dan yang terakhir adalah tahap generalisasi hasil yaitu menarik sebuah kesimpulan berdasarkan hasil analisis dan didukung dengan landasan teori yang digunakan dengan kenyataan empirik yang muncul dari hasil analisis. III. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yang pertama adalah metode deduktif kuantitatif untuk menganalisis mengenai hubungan motif struktural wilayah dan kaitannya dengan tingkat dan jenis kriminalitas, kemudian yang kedua adalah deduktif kualitatif rasionalistik yang digunakan untuk menganalisis hubungan kultural wilayah dan kondisi fisik wilayah dengan tingkat dan jenis kriminalitas. Memang tidak lazim menggunakan dua metode dalam satu penelitian, disebabkan pernah terjadi jembatan besar antara aliran yang mempercayai kebenaran metode kuantitatif dan aliran yang mempercayai metode kualitatif. Namun, metode yang kini dikenal sebagai mixed methodology (Creswell & Creswell, 2009) kini juga menjadi salah satu metode yang diakui keabsahannya. Yang menjadi catatan adalah kedua metode dalam penelitian ini tidak serta merta dicampur aduk menjadi satu, karena secara ontologis, epistemology dan aksiology sangat berbeda. Maka yang dapat dilakukan adalah menggunakan metode tersebut secara berurutan yaitu dengan menggunakan mixed methodology jenis exsplanatory Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggunakan studi kasus (case study). Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Selain itu, ada juga yang menyatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu Penelitian studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan beberapa unit analisis (konteks kultural dan struktural) dan terkait dengan beberapa kasus (studi kasus 5 wilayah dan Studi kasus 3 etnis). Teknik analisis: a. Melakukan uji reabilitas dan validitas data b. Penjodohan Pola (Pattern Matching): membandingkan pola empiris dengan pola yang diprediksikan (atau dengan beberapa alternatif prediksi). Bila polanya cocok, maka hasilnya akan dapat menguatkan validitas internal. c. Membangun Penjelasan Naratif (Explanation Building): tujuannya adalah menganalisis studi kasus dengan menjelaskan pemikiran logis dari kasus yang diteliti secara naratif. Penjelasan yang merefleksikan proposisi teoritis, membuat semakin kuat kasus itu dijelaskan, dan semakin
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 41
dapat meyakinkan pembaca akan “kebenaran” penelitian tadi. d. Analisis Silang data. IV. Temuan dan Pembahasan a. Kriminalitas di Permukiman Kota Surabaya Surabaya sebagai ibukota Propinsi Jawa Timur merupakan kota dengan jumlah kasus kejahatan terbanyak di Jawa Timur dengan kenaikan sebesar 1.917 kasus pada tahun 2007 ke tahun 2008 dimana kota – kota lain terbanyak hanya mencapai kenaikan 821 kasus pada tahun yang sama. Polda Jatim bahkan mencamtumkan Kota Surabaya sebagai Kota paling rawan se Propinsi Jawa Timur dengan selisih yang cukup besar dibandingkan dengan kabupaten lain (Polda Jatim, 2009). Berdasarkan hasil Analisa Evaluasi (Anev) secara umum situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di wilayah Polwiltabes Surabaya menyebutkan, pada 2008 angka kriminalitas di Surabaya meningkat. jumlah peristiwa kriminal yang terjadi pada 2008 meningkat sebanyak 1,26% dibandingkan 2007 lalu sedangkan menurut data tahun 2005 dan 2006 terjadi peningkatan sebesar 17% dari tahun 2005 dan 2006. Kasus terbanyak yang terjadi di wilayah Surabaya, berupa pencurian dengan pemberatan (curat), yakni sebanyak 2.719 dan 1.378 yang baru diselesaikan. Disusul dengan pencurian kendaraan bermotor (curanmor) sebanyak 2.415 kasus dan baru 129 yang terselesaikan (Polwiltabes Surabaya, 2009). Hasil studi yang dilakukan oleh litbang Surabaya Post tahun 2009 menunjukkan pola yang sama dengan banyaknya terjadinya curat dan curas. Tidak kurang dari 58 -74% masyarakat Kota Surabaya merasa ketakutan ketika memiliki barang berharga dan hanya 20-38% masyarakat yang merasa takut meninggalkan rumahnya yang kosong atau ketika mereka tidak ada di rumah. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Kota Surabaya tidak banyak yang merasa takut meninggalkan barang berharga di rumah, ketakutan masyarakat meningkat apabila masyarakat tinggal atau memiliki barang berharga baik di rumah maupun di ruang publik. Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya berada dalam wilayah hukum Polwiltabes Surabaya. Kondisi Komando wilayah Surabaya meliputi lima Polresta yaitu : Polresta Surabaya Utara, Polresta Surabaya Selatan, Polresta Surabaya Timur serta Polresta Tanjung Perak (KP3) Tanjung Perak. Polresta – Polresta tersebut membawahi 18 Polsekta kecuali Polresta Tanjung Perak yang berdiri sendiri dan tidak membawahi polsekta (Mari-
42 JAP Vol. 6 No. 2 Apr. 2013
djan, 1998 dan Polda Jatim, 2009). Sebaran kejahatan yang terjadi paling banyak di Kota Surabaya hingga tahun 1996 adalah di distrik KP3 perak, dengan luasan wilayah yang terkecil dibandingkan dengan satuan polresta yang lain. Rata – rata polresta lain melayani 4 kali lipat luasan pelayanan dibandingkan dengan KP3 Perak. Namun, pada tahun 1996 pergerakan kriminalitas merambah ke arah Surabaya selatan tepatnya di Kecamatan Wonokromo. Pada tahun 1997-1998 terjadi fenomena kriminalitas terbesar di Surabaya Utara yaitu di kecamatan perak, kecamatan bubutan dan kecamatan krembangan. Suku yang dituju adalah etnis tioghoa yang memang kebanyakan bermukim di wilayah tersebut. Tingkat kriminalitas tersebut di picu oleh keadaan krisis moneter dan politik di pemerintahan Indonesia. Pada tahun 2009, berdasarkan situs resmi yang dirilis oleh Polda Jatim (diunduh 25 Februari, 2009) diketahui sebaran kerawanan Kota Surabaya seperti yang terlihat di gambar 2.
Surabaya Utara Surabaya Barat
Surabay a Pusat
Surabaya
Surabaya Timur
Selatan
Kerawanan kriminalitas tertinggi Kerawanan kriminalitas tinggi Kerawanan kriminalitas sedang Kerawanan kriminalitas rendah
Gambar 2 Peta Kriminalitas di Surabaya Sumber: Polda Jatim, 2009
b. Kriminalitas Kultural dan Pola Keruangannya Kriminalitas kultural, seperti yang telah disebutkan sebelumnya adalah pola kriminalitas yang tidak disebabkan oleh motif ekonomi, namun lebih pada motif yang bersifat perilaku dan pola pendidikan dan terjadinya disorganisasi sosial pada suatu masyarakat tertentu. Pembahasan pola kriminalitas kultural didasarkan dari penelitian terhadap perilaku pelaku kriminalitas dalam sudut pandang etnis tertentu yang mewakili sebagian besar masyarakat di Surabaya, yakni Arab, Madura dan Jawa.
Karina Pradinie Tucunan
Peneliti menggunakan teknik In-Depth Interview (IDI) dalam memperoleh hasil yang mendalam pada responden yang berasal dari etnis tersebut sendiri, sehingga hasil yang didapatkan diharapkan tidak bias. Perbandingan pola kriminalitas kultural pada 3 etnis adalah sebagai berikut (Tucunan, 2011): Jenis kriminalitas yang ada pada ketiga etnis tersebut merupakan perjudian dan minuman keras. Jenis kriminalitas kultural yang dominan pada etnis Arab di Kota Surabaya adalah narkoba, KDRT dan juga prostitusi dengan menggunakan modus nikah siri. Jenis kriminalitas kultural yang dominan pada etnis Madura di Kota Surabaya, terdiri atas 2 periode. Pada periode sebelum tahun 2000, kriminalitas yang dominan adalah carok, sedangkan setelah tahun 2000 yang berkembang adalah anirat yang merupakan transformasi dari carok, narkoba dan perjudian. Pada etnis Jawa, kriminalitas kultural yang dominan adalah penipuan, KDRT dan perzinahan. Jenis – jenis kriminalitas kultural yang dialami tiap etnis tersebut memiliki motivasi yang berbeda- beda, yakni (Tucunan, 2011); Pada etnis arab pola kriminalitas yang terjadi sebagian besar dimotivasi oleh pencarian terhadap kesenangan (pleasure), sehingga jenis narkoba yang dipilih bersifat ringan, seperti ineks dan sabu – sabu. Pada etnis Madura pola kriminalitas yang terjadi sebagian besar dimotivasi oleh pola ingin coba – coba yang kemudian mengarah pada pola kecanduan. Hal ini tampak pada pemilihan jenis narkoba yang berbeda dengan etnis Arab. Pada etnis Madura jenis narkoba yang dipilih yang memiliki sifat kerasa dan dapat berpeluang mematikan seperti kokain. Pada etnis Jawa sebagian besar kriminalitas yang terjadi disebabkan adanya pengaruh dari lingkungan sekitar. Perbedaan disorganisasi sosial yang terjadi pada ketiga etnis tersebut merupakan latar belakang dari perbedaan motivasi dan jenis kriminalitas kultural; Disorganisasi sosial pada etnis Arab terjadi pada level pergaulan remaja, pada saat ini etnis tersebut membentuk kelompok – kelompok masif yang tidak dapat dimasuki oleh kelompok lain ditunjang dengan adanya pola pendidikan formal yang masih
relatif rendah. Disorganisasi sosial pada etnis Madura terjadi pada level keluarga. Secara tidak sengaja keluarga pelaku kriminalitas mengajarkan pelaku bertindak kriminal seperti perjudian. Disorganisasi sosial pada etnis Jawa hampir memiliki pola yang sama dengan etnis Arab, yakni sejak remaja dan terbentuk dari kelompok – kelompok pergaulan. Perbedaan utama dengan etnis Arab adalah kelompok – kelompok yang terbentuk tidak bersifat kaku/masif. Preferensi pola keruangan pelaku kriminalitas pada ketiga etnis memiliki beberapa perbedaan namun juga memiliki kesamaan, yakni (Tucunan,2011): Etnis Arab: etnis Arab sebagian besar memiliki preferensi rumah yang tertutup (privasi tinggi) yang memungkinkan pada pelaku kriminalitas etnis Arab menggunakan ruang di rumahnya untuk aktivitas kriminal yang digunakan oleh kelompok tertentu dimana pendatang atau orang tidak dikenal tidak diperbolehkan untuk bergabung pada komunitas ini. Jenis kriminalitas yang dilakukan pada ruang tersebut meliputi; penggunaan narkoba dan minum – minuman keras. Selain pada ruang privat, bagi sebagian etnis Arab yang kaya cenderung menggunakan ruang privat lain semacam klub malam, tempat karaoke dan hotel. Etnis Madura dan Jawa : kedua etnis ini memiliki preferensi penggunaan ruang yang hampir sama dalam perilaku kriminalitasnya. Bertolak belakang dengan etnis Arab yang menggunakan ruang privat sebagai ruang publik, kedua etnis ini menggunakan ruang publik untuk melakukan jenis kriminalitas kultural seperti; minum – minuman keras dan narkoba serta perjudian. Wadah yang digunakan adalah cangkrukan yang dilakukan mulai remaja hingga dewasa. Pada level masyarakat dengan taraf kehidupan yang lebih baik, sama dengan etnis Arab penggunaan ruang privat semacam klub malam, tempat karaoke dan hotel juga digunakan. Dari kajian pola kriminalitas kultural terdapat pola- pola yang dapat digeneralisasi, pola tersebut adalah : a) Pola kejahatan yang terjadi seringkali merupakan pola kejahatan yang bersifat penyimpangan di masyarakat, yaitu narkoba, perjudian dan juga minumminuman keras. b) Pola sosial masyarakat yang seringkali
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 43
menokohkan orang-orang dengan karakteristik tertentu baik itu secara material dan spiritual c) Pola disorganisasi sosial yang memiliki karakteristik pandangan dari masyarakat yang tidak mementingkan pendidikan formal, dan menyerahkan pendidikan akhlak anak – anak dan remaja kepada institusi keagamaan secara membabi buta, pola bermasyarakat tidak memungkinkan untuk mengingatkan satu sama lain bila terjadi tindak penyimpangan. d) Pola pembentukan komunitas yang umumnya dimulai sejak dini karena aktivitas yang sama sejak remaja hingga bekerja, pergaulan yang terisolasi dari tempat lain. e) Pola penciptaan area publik secara mandiri, dalam hal ini etnis Arab memenuhinya dengan menggunakan menggunakan ruang privatnya, etnis Madura dan Jawa menciptakan ruang publik terbatas (tempat cangkruk). c. Kriminalitas Struktural dan Pola Keruangannya Pola kriminalitas yang menekankan ekonomi sebagai akar permasalahan awal atau motif dari munculnya sebuah kriminalitas dikenal dengan pola struktural. Pola ini mengindikasikan mengenai beberapa bahasan penting yang kemudian diterjemahkan menjadi variabel yaitu mengenai permukiman dengan karakter istik pendapatan rendah (Logan & Molotch, 1987, Jankowski,1991) yang diterjemahkan oleh peneliti sebagai variabel tingkat kemiskinan suatu wilayah. Kedua, adalah terdapat ketidaksetaraan dalam akses sumberdaya (Hagan & Petterson, 1995) yang diterjemahkan oleh peneliti aksesibilitas meliputi akses wilayah dan akses terhadap infrastruktur umum dan sosial dan permasalahan pengangguran (Cantor & Land, 1985). Berbeda dengan pola kriminalitas kultural yang membahas dari perspektif etnisitas, kriminalitas struktural dianalisis dari sudut pandang kewilayahan. Pemilihan wilayah didasari dari pertimbangan 1). Tingkat kriminalitas terbanyak dan 2). Tingkat kriminalitas terendah. Adapun beberapa kecamatan tersebut meliputi kecamatan Wonokromo, Wonocolo, Semampir dan Lakarsantri. Pembahasan ini menggunakan analisis sederhana dari data – data kuantitatif yang di dapatkan dari dokumen – dokumen yang diperoleh dari lapangan. Analisis yang digunakan dalam kriminalitas ini adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan alat SPSS yang mengkaitkan beberapa
44 JAP Vol. 6 No. 2 Apr. 2013
variabel yang diduga berpengaruh pada tingkat kriminalitas yakni; variabel kemiskinan, pengangguran, aksesibilitas tehadap fasilitas vital dalam kebutuhan manusia seperti pendidikan, kesehatan, peribadatan dan RTH. Variabel kemiskinan, pengangguran dan variabel tingkat aksesibilitas pada fasilitas vital kebutuhan manusia (fasilitas pendidikan, kesehatan) merupakan variabel yang menjadi indikasi dari motif ekonomi (struktural) tingkat kriminalitas di suatu wilayah, dengan asumsi apabila tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi maka tingkat kriminalitas juga akan tinggi. Variabel keruangan juga digunakan untuk melihat apakah ada kaitan antara pola keruangan di suatu wilayah tertentu dengan tingkat kriminalitas. Variabel yang digunakan adalah besaran RTH dan juga aksesibilitas transportasi. Variabel besaran RTH dalam suatu wilayah merupakan variabel yang diuji peneliti didasarkan, adanya temuan kualitatif pada pola kriminalitas kultural yang seringkali menggunakan ruang publik yang diciptakan secara mandiri oleh pelaku kriminalitas kultural (wadah cangkrukan), peneliti mengindikasikan bahwa semakin rendah tingkat RTH dalam suatu wilayah berkorelasi positif dengan tingkat kriminalitas. Sedangkan di sisi yang lain peneliti menduga bahwa wilayah dengan aksesibilitas transportasi yang baik lebih rentan terhadap aktivitas kriminalitas struktural. Pengujian secara statistik dengan menggunakan software SPSS dilakukan dengan metode korelasi baik metode parametrik dan non parametrik, adapun temuan yang didapatkan oleh peneliti adalah sebagai berikut (Tucunan, 2011); Tingkat kemiskinan berkorelasi negatif dengan tingkat kriminalitas, semakin tinggi kemiskinan di suatu wilayah semakin rendah tingkat kriminalitas struktural (pencurian, penjambretan, dll) yang terjadi di wilayah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kriminalitas struktural sutau wilayah tidak diwarnai oleh kemiskinan di wilayah tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kriminalitas struktural lebih cenderung terjadi pada wealthy area. Peneliti mengujikan tingkat pengangguran suatu wilayah dengan tingkat kriminalitas struktural di wilayah tersebut dan ternyata hasil yang didapatkan oleh peneliti menyatakan bahwa tingkat pengangguran tidak berkorelasi dengan tingkat kriminalitas struktural. Dalam perspektif ini peneliti berusaha mengujikan salah satu indikator kriminalitas kultural (yakni; perjudian) dan hasil yang didapatkan oleh peneliti adalah
Karina Pradinie Tucunan
tingkat pengangguran berkorelasi erat dengan perjudian tersebut. Pengujian terhadap akses fasilitas juga tidak menunjukkan sigifikansi dengan kriminalitas struktural. Pengujian tingkat aksesibilitas wilayah mengindikasikan bahwa semakin tinggi aksesibilitas wilayah maka tingkat kriminalitas struktural semakin tinggi.
merupakan milik sebuah komunitas yang kuat sangat kurang. Indikasi dari lemahnya territorial reinforcement adalah tidak ada penanda bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan khusus, penghuni tidak mengenali apakah pendatang merupakan penghuni atau bukan. 6. Tingkat aksesibilitas tinggi, biasanya di jalan level lokal primer atau lokal sekunder
Kesimpulan yang didapatkan peneliti menunjukkan bahwa variabel – variabel yang seharusnya berkorelasi langsung dengan tingkat kriminalitas struktural tidak terbukti, namun di sisi yang lain variabel tersebut berpengaruh pada jenis kriminalitas kultural. Peneliti menyimpulkan bahwa ada kaitan antara kriminalitas kultural dengan kriminalitas struktural yang akan dibahas pada pembuktian proposisi. Karena beberapa data dan hasil pengujian yang dirasakan kurang memberikan hasil yang komprehensif, maka peneliti mengambil 7 (tujuh) studi kasus kriminalitas struktural dengan fokus jenis kriminalitas curat (pencurian pemberatan) dan mengaitkan dengan elemen – elemen defensible space area yang dirumuskan oleh Newman, 1972. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut; 1. Umumnya kejahatan curat tersebut terjadi di perumahan dengan tata guna lahan yang lebih seragam. Dalam konteks ini adalah jenis permukiman yang dikelola oleh developer yang menyasar pada segmen menengah ke atas. 2. Tingkat pencahayaan bangunan lemah. Yang dimaksud dengan tingkat pencahayaan lemah adalah kurang dari 2 lux, dengan indikator penghuni tidak dapat melihat jelas keadaan di luar bangunan. 3. Sightlines bangunan yang lemah. Sightlines bangunan diindikasikan dari adanya halangan pandangan pada komponen bangunan sehingga penghuni bangunan tidak memiliki kejelasan pandangan pada area sekitar bangunan. 4. Sightlines kawasan sedang. Hampir keseluruhan kawasan yang ada di area tindak kriminalitas curat tersebut memiliki sightlines sedang yang diindikasikan dari bagaimana penghuni bangunan dapat melihat/mengawasi kawasan di sekitarnya, semisal apabila ada pencurian di kawasan neighborhoodnya. 5. Territorial reinforcement lemah. Keseluruhan kawasan memiliki tingkat territorial reinforcement yang rendah, yang bermakna bahwa nuansa bahwa kawasan tersebut
d. Pengujian Terhadap Proposisi-Proposisi Dengan adanya pengujian baik secara kualitatif pada kriminalitas kultural dan secara kuantitatif dan kualitatif pada kriminalitas struktural, peneliti memiliki proposisi yang diujikan. Proposisi tersebut terdiri atas proposisi mayor dan minor. Proposisi mayor merupakan proposisi yang membangun gagasan keseluruhan penelitian sedangkan proposisi minor merupakan penjelasan dari proposisi mayor. Pembahasan mengenai pembuktian proposisi mayor dan minor, dapat dilihat sebagaimana berikut ini: Proposisi Mayor Tingkat dan jenis kriminalitas (Y) dipengaruhi oleh kriminalitas dengan karakter kultural (X1), kriminalitas dengan karakter structural (X2) dan keadaan fisik wilayah (X3). Pembuktian : Proposisi ini dari hasil pengujan ditemukan bahwa tidak sepenuhnya benar, tingkat dan jenis kriminalitas disebabkan oleh sebab yang berbeda, sehingga susunan yang benar adalah seperti gambar 3. Sehingga proposisi yang benar adalah aspek struktural (x1) dan kultural wilayah (x2) mempengaruhi jenis kriminalitas (Y1), ruang yang mendukung (x3) dan pola sosial bermasyarakat (x4) menentukan tingkat kriminalitas (Y2). Sedangkan untuk prosesnya dapat dilihat di Gambar 4.
Gambar 3 Pembuktian Proposisi Mayor Sumber: Hasil Analisis Peneliti, 2010
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 45
Gambar 4 Proses Keterkaitan Kriminalitas Kultural dan Struktural Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2010
Proposisi Minor 1. Wilayah permukiman yang dipengaruhi oleh karakter struktural (X1) akan menimbulkan jenis kejahatan (Y) seperti curat, curas dan curanmor. Pembuktian : Untuk proposisi kedua ini, peneliti menyatakan bahwa proposisi ini hanya memiliki kebenaran 50%, tidak semua daerah dengan motif struktural menyebabkan jenis kejahatan tersebut. Hal ini terlihat dari variabel pengangguran yang lebih berhubungan dengan tingkat kriminalitas perjudian yang termasuk dalam sebab kultural. Di sisi yang lain, pengolahan data yang menunjang propisisi ini di antaranya adalah kaitan antara tingkat kriminalitas yang lebih banyak berkorelasi dengan curas, curat dan curanmor terhadap data kemiskinan. Namun, yang menjadi catatan adalah hubungan antara kedua variabel tersebut bersifat terbalik, sehingga belum tentu benar daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi akan menjadi daerah yang rawan dari kejahatan tersebut. Ditunjang dengan data penelitian kualitatif, wilayah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi lebih mudah terjangkiti penyakit kriminalitas yang lebih dekat kepada penyimpangan seperti narkoba, perjudi-
46 JAP Vol. 6 No. 2 Apr. 2013
an, dll yang secara tidak langsung dapat menyebabkan terjadinya kriminalitas curat, curas dan curanmor. 2. Wilayah permukiman yang dipengaruhi oleh karakter cultural (X1) akan menimbulkan jenis kejahatan (Y) yang bersifat penyimpangan seperti narkoba, perjudian, perzinahan dan lain-lain. Pembuktian : Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, proposisi ini adalah benar dan terbukti adanya seperti yang terlihat di pola-pola yang dibahas dalam sub bab sebelumnya. Secara umum (hasil generalisasi) memang tidak terdapat angka pasti mengenai tingkat kejahatan, namun secara kualitatif membuktikan bahwa kriminalitas tersebut terjadi dalam bentuk yang relatif banyak di daerahnya masing- masing dengan pola rasial yang berbeda dan disorganisasi sosial yang sama. Berikut ini merupakan pola sederhana dari bagaimana penyimpanganpenyimpangan tersebut terjadi di pola kultural. 3. Wilayah permukiman yang dipengaruhi oleh karakter cultural (X1) akan menimbulkan jenis kejahatan (Y) yang bersifat penyimpangan seperti narkoba, perjudian, perzinahan dan lain-lain.
Karina Pradinie Tucunan
Pembuktian : Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, proposisi ini adalah benar dan terbukti adanya seperti yang terlihat di pola-pola yang dibahas dalam sub bab sebelumnya. Secara umum (hasil generalisasi) memang tidak terdapat angka pasti mengenai tingkat kejahatan, namun secara kualitatif membuktikan bahwa kriminalitas tersebut terjadi dalam bentuk yang relatif banyak di daerahnya masing-masing dengan pola rasial yang berbeda dan disorganisasi sosial yang sama. Berikut ini merupakan pola sederhana dari bagaimana penyimpanganpenyimpangan tersebut terjadi di pola kultural.
Gambar 5 Proses Bagaimana Individu Menjadi Menyimpang Dalam Masyarakat Sumber: Hasil Analisis Peneliti,2010
4. Karakter ruang dan fisik wilayah (X3) untuk DSA penting untuk memperhatikan karakter cultural (X1) dan struktural (X2) suatu wilayah permukiman. Pembuktian : Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan elemen fisik wilayah memegang peranan penting dalam tingkat dan jenis kriminalitas, baik di wilayah struktural maupun kultural. Untuk wilayah struktural jenis elemen yang berpengaruh merupakan elemen meso yaitu variabel jenis perumahan. Sedangkan kejahatan kultural yang paling banyak jenisnya terjadi pada pola permukiman perkampungan, sedangkan variable pola perumahahan memicu serius atau tidaknya suatu kasus kejahatan. Kasus kejahatan yang seringkali ditemui di media adalah kejahatan yang terjadi di skala perumahan. Adapun variabel yang perlu diperhatikan adalah : Tata guna lahan yang seragam memicu lebih banyak kriminalitas Tingkat pencahayaan bangunan lemah Sightlines bangunan dan kawasan
Territorial reinforcement lemah Tingkat aksesibiltas yang tinggi. V. Kesimpulan dan Saran Studi yang dilakukan dengan menggunakan penekitian studi kasus di Kota Surabaya ini menghasilkan beberapa hasil sebagaimana berikut ini. a. Terdapat dua pola kriminalitas yang terjadi di Kota Surabaya, pola yang pertama adalah pola kultural, merupakan jenis kriminalitas yang terjadi disebabkan permasalahan -permasalahan interaksi sosial masyarakat (disorganisasi sosial) dan pola kultural suatu etnis tertentu, yang kedua adalah pola struktural yang bermotif permasalahan perekonomian dan rendahnya akses terhadap sumberdaya. b. Pola kriminalitas kultural juga memiliki karakteristik penggunaan ruang yang hampir sama antara ketiga etnis tersebut, yaitu pola penciptaan area publik secara mandiri, dalam hal ini etnis Arab memenuhinya dengan menggunakan menggunakan ruang privatnya, etnis Madura dan Jawa menciptakan ruang publik terbatas (tempat cangkruk). c. Pola kriminalitas struktural atau lebih jelasnya adalah kriminalitas yang disebabkan oleh variabel perekonomian didekati secara kuantitatif dengan pengolahan SPSS. Motif ekonomi yang diduga berpengaruh kepada tingkat dan jenis kriminalitas diantaranya adalah pengangguran, kemiskinan dan keterbatasan aksesibilitas (fasilitas dan aksesibilitas wilayah). d. Pola keruangan kriminalitas struktural ini diuji berdasarkan skala keruangannya yaitu makro dan meso. i. Level makro : Di tatanan level kecamatan (level makro) ini, variabel yang digunakan untuk mengukur adalah variabel tata guna lahan, dengan menggunakan metode kuantitatif diketahui bahwa variabel tata guna lahan tidak berpengaruh terhadap tingkat dan jenis kriminalitas, namun variabel aksesibilitas wilayah berpengaruh. ii. Level Meso : Di level meso diketahui bahwa Pola pengadaan rumah secara organik atau perkampungan berpotensi untuk memiliki tingkat kriminalitas yang lebih tinggi dan lebih bervariatif. Sedangkan di sisi lain pola pengadaan perumahan secara real estate menunjukkan tingkat kriminalitas yang lebih rendah, namun memiliki kualitas atau derajat keseriusan yang lebih tinggi. Di level ini juga diketahui bahwa terdapat pola-pola yang dapat digeneralisasi sebagai berikut : 1. Umumnya kejahatan curat tersebut terjadi di perumahan dengan tata guna lahan yang lebih seragam 2. Tingkat pencahayaan bangunan lemah
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 47
3. 4. 5. 6.
Sightlines bangunan yang lemah Sightlines kawasan sedang Territorial reinforcement lemah Tingkat aksesibilitas tinggi, biasanya di jalan level lokal primer/ lokal sekunder e. Pengembangan selanjutnya menemukan bahwa antara kriminalitas struktural dan kultural dapat saling berkait antara satu dan yang lain. VI. Daftar Pustaka 1) Cantor, David, Kenneth Land dan Stephen T Russel. 1985. Unemployment and crime rates in the post World War II United States: A theoretical and empirical analysis. American Sociological Review 50: 317-332. 2) Cavan, Ruth Shonle. 1983. "The Chicago School of Sociology, 1918-1933". Urban Life 11. (January): 407-420 3) Creswell, John,W dan David Crewell. 2009. Mixed Method Research, Developments, Debates and Dilemma.Berret-Koehler Publisher. 4) Faris, R. E. L. 1955. Social Disorganization. 2nd edition. New York: The Ronald Press Company. 5) Hagan, John and Peterson, D. Ruth 1995. “Crime and Inequality” California: Stanford University Press 6) Jankowski, Martin Sanchez. 1991 “Island in the street: gangs and American Urban Society”, Berkeley: University of California press. 7) Logan, John and Molotch, Harvey. 1987. Urban Fortunes: The Political Economy of Place. Los Angeles: University of California
48 JAP Vol. 6 No. 2 Apr. 2013
Press. 8) Maridjan, Kacung, 1998. Usaha Pengamanan Swakarsa Warga Masyarakat Terhadap Tindak Kejahatan (Studi Sosiologi Usaha Pengamanan Swakarsa di Daerah Rawan Kejahatan dan Tindak Rawan Kejahatan di Surabaya).Surabaya : Universitas Airlangga. 9) Newman, O., 1972, Defensible Space : Crime Prevention Through Urban Design, MacMillan, New York. 10) Park, Robert & Burgess, Ernest W. 1921. Introduction to the Science of Sociology. Chicago: University of Chicago Press 11) Shaw, Clifford R. & McKay, Henry D. 1942. Juvenile Delinquency in Urban Areas. Chicago: University of Chicago Press. 12) Sampson, Robert J. and William Julius Wilson. 1995. "Toward a Theory of Race, Crime, and Urban Inequality." In Crime and Inequality, edited by John Hagan and Ruth Peterson. Stanford, CA: Stanford University Press. 13) Sutherland, Edwin. 1924. "Principles of Criminology. 14) Thomas, W. I. & Znaniecki, F. 1918. The Polish Peasant in Europe and America. Chicago: University of Chicago Press 15) Tucunan, Karina Pradinie. 2011. Pola Ruang Kriminalitas Kota; Studi Kasus Kota Surabaya. Thesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Internet 1) Polda Jawa Timur. Crime Rate Indeks, dipublikasikan Polda Jawa Timur di Website, diunduh Tahun 2009. 2) Polwiltabes Surabaya. Analisa Evaluasi (Anev) Situasi Keamanan and Ketertiban Masyarakat (Kamtibnas) Tahun 2005,2006 and 2009. Diunduh di Website terkait Oktober 2009.
Karina Pradinie Tucunan
The Using of Aerated Lightweight Concrete as an Alternative Substitution for Solid Red Brick Ninik Paryati1 1
45 Islamic University Bekasi
Abstract Aerated lightweight concrete or called Autoclaved Aerated Concrete, is also one of the alternative substitution material of solid red brick. Aerated lightweight concrete now has been widely marketed in several building materials stores and it is used in the project in Indonesia. Aerated lightweight concrete is a concrete which has a lighter specific gravity than a concrete which is generally made by adding the expandable material to create any cavities within, as thus the weight becomes lighter. Aerated lightweight concrete has two types: the wall panel type and the block type, with varied sizes depending on the manufacturer and type of utility. Aerated lightweight concrete weights around 600 - 1600kg/m3 and it can withstand loads up to ± 1200 psi or ± 84.372kg/cm2. Therefore, it is good for construction, especially for wall-constructing since it reduces the burden which is distributed to the foundation. The installation is faster and precise; hence it will save the time and reduce the cost of repairing. Keywords: Aerated Lightweight Concrete, concrete
Aerated lightweight concrete or called Autoclaved Aerated Concrete, is also one of the alternative substitution material of solid red brick. Aerated lightweight concrete now has been widely marketed in several building materials stores and it is used in the project in Indonesia. Aerated lightweight concrete is a concrete which has a lighter specific gravity than a concrete which is generally made by adding the expandable material to create any cavities within, as thus the weight becomes lighter. Aerated lightweight concrete has two types: the wall panel type and the block type, with varied sizes depending on the manufacturer and type of utility. Aerated lightweight concrete weights around 600 1600kg/m3 and it can withstand loads up to ± 1200 psi or ± 84.372kg/cm2. Therefore, it is good for construction, especially for wall-constructing since it reduces the burden which is distributed to the foundation. The installation is faster and precise; hence it will save the time and reduce the cost of repairing. I. Background of Study Recently, the development of industry in Indonesia is growing rapidly, especially in the Jabodetabek, thus, lots of urban residents come and live in that area. Along with that problem, the construction of housing, shopping-centers, entertain-ment-centers, sport and other support facilities are also growing. In those constructions, some building materials are required. One of the building materials which are needNinik Paryati, ST. --- 45 Islamic University Bekasi E-mail:
[email protected]
ed is the solid red brick for constructing a wall-pair. Nowadays, the production of the red brick in any other regions decreases. This is probably due to the limited main raw material—clay—because the land which is used to produce the bricks has been turned into buildings. It finally leads to the higher prices of the bricks. Moreover, the smoke of the burning in the brick-making process can disturb the convenience of the local people; hence, the alternative substitution of solid red brick materials is starting to be developed. On one hand, the development of the building materials is rapidly growing, for example, is Aerated lightweight concrete or Autoclaved aerated concrete. This Aerated lightweight concrete has been widely marketed in several building material stores and it is now widely used in the project in Indonesia as an alternative substitution for the solid red brick materials. Since this lightweight aerated concrete has several strengths which make it for being considered as an alternative substitution one, it starts to change the using of the red bricks in Indonesia. II. Theoretical Approach a. Aerated Lightweight Concrete Aerated lightweight concrete is a concrete which has a lighter specific gravity than a concrete which is generally made by adding the expandable material to create any cavities within, as thus the weight becomes lighter. Lightweight concrete was firstly developed in 1923, in Sweden, as an alternative material to reduce the deforestation due to any loggings. Then, it was developed by Joseph Hebel in West Germany in 1943 which is developed in several countries later. Indonesia has
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 49
also developed the using of this alternative material, precisely in Karawang, West Java. b. Various kinds of Aerated Lightweight Concrete Aerated lightweight concrete has several types, including: Wall Panel Type Wall panel type has some measures; the measurement is around 4.20 m x 1.20 m x 60m, or some other sizes. Each of manufacturers has their own standard size depending on the usage. This wall panel type is designed by making a wall panel formation. It has a connecting design which is like a puzzle on the edge of the panel or beside the panel in order to tighten the connection between panels.
looking round some of the location of the projects in Jakarta and Bekasi. The writer also writes this writing based on the writer’s experience while working on several projects in order to obtain the accurate data. IV. Discussion and Analysis a. The Way of Making Aerated Lightweight Concrete • Materials
- Quartz sand
- Cement Source: http://chensco1.en.made-in-china.com
Block Type Block type is designed by resembling the rectangular red brick. The size is about 60cm x 20cm x 10cm, or may have any other measurements since each manufacturer has their own standard size. This type is basically designed in order to resemble the solid red brick, yet, it is lighter and more precise.
- Foam like spectafoam
-
Gypsum
-
Aluminum Paste (expandable substance) Water.
http://aplicatorhebel.blogspot.com
III. Method of Writing In this writing, the writer uses the method of literature taken from several books and internet. The writer also uses the method of observation by directly
50 JAP Vol. 6 No.1 Apr. 2013
Ninik Paryati
• Instruments - Autoclave chamber
Source : http://bandhsolutionsltd.com
-
Containers/tanks Mould of the block or wall panel type
Source http://ptsama.indonetwork.co.id/
-
2. After all materials are dry, place it all in the containers / tanks to be mixed with water and then stir until blended. 3. The blended dough, then, is casted in the 4.20 m x 1.20 m x 0.60 m panel mould or in any provided mould, then fills in the mixed material for ½ part of the mould. 4. Wait until ± 7-8 hours until the dough are fluffed into the foam which makes the volume of the dough twice larger than the original volume. It is because of chemical reaction between the aluminum paste and calcium hydroxide within the quartz sand and water as thus produces hydrogen which forms the air bubbles in the concrete mixture. These air cavities make a lightweight concrete. After the hydrogen release into the air, the texture of the concrete remains solid and smooth. 5. After the dough of the aeration becomes hard, it will be easily formed as needed by cutting it using the wire depending on the wanted size. 6. Next, put it into the autoclave chamber for 12 hours for the hardening process. During the hardening process, the temperature will reach 190 Celsius degrees and the pressure can reach 12 bar or 174 psi. 7. After removing it from the autoclave chamber, the aerated lightweight concrete has hardened and ready to use.
Mixer b. The Weight and the Strength of Aerated Lightweight Concrete Aerated lightweight concrete weights around 600 - 1600kg/m3 which is lighter than normal weight of Solid Red Brick which weights 15001700kg/m3. Although aerated lightweight concrete has many air cavities, but it can withstand the loads up to ± 1200 psi or 84.372kg/cm2 which is greater than the compressive strength of grade 25 solid Red Brick (25kg / cm2) and 50 (50kg/cm2). Source :http://www.kaskus.us
• The Way of Making 1. The materials for the dough of raw aerated lightweight concrete (except water) are taken into the autoclave chamber or are given a steam heat and high pressure. The temperature inside the autoclave chamber is around 183 Celsius degrees. It is purposed as a process of drying or ripping.
c. The installation of Aerated Lightweight Concrete 1. Installing the Wall Panel Type The wall panel aerated lightweight concrete is usually installed by setting up the panels and tying each panel by combining a specific part which is supposedly designed to strengthen the bond/connection between panels (resembling when someone arranges a puzzle), then, fills in the gaps between panels
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 51
with the instant mortar. For specific needs, it is usually required the cutting iron or any other connection types for tightening the panels.
2. Installing the Block Type The installation of the block aerated lightweight concrete is like arranging the bricks by alternating intervals or as needed. Each connection uses a thin instant mortar; ± 3 mm. It does not require much space and time to prepare the materials since using the instant mortar. The way is quiet simple, by pouring the mortar from the wrapper and mixing it with water based on the rule.
Source : http://bmsquipanel.blogspot.com/2011
It does not only for wall pair, aerated lightweight concrete also can use to floor pair, like the picture bellow :
Source : http://www.eramuslim.com
3. Finishing For maintaining the durability of the aerated lightweight concrete, it is still required the wall plaster as little as 1-1,5cm more thin than if we make solid red brick couse workers are able to create precision. d. The Connection System of Aerated Lightweight Concrete for Wall Panel Type The way to connection Aerated Lightweight Concrete is as follows : 1. Placement of aerated lightweight concrete on steel structure Source : http://www.eramuslim.com
Source : http://aplicatorhebel.blogspot.com
52 JAP Vol. 6 No.1 Apr. 2013
Ninik Paryati
2. Placement of aerated lightweight concrete on concrete structure
e. The Price Comparated Between Aerated Lightweight Concrete and Solid Red Brick Usually, aerated lightweight concrete ( type block ) have size average 20 x 60 x 10 cm or smaller can be a bit thick. While the solid red brick have size approximately 25 x 12 x 4.5 cm or smaller few centimeters. In a 1 m2 pair-wall, use solid red brick approximately 85 pcs and use approximately of 8.5 pcs aerated lightweight. When viewed in terms of price , aerated lightweight concrete price ranges Rp. 6500, - / pcs and solid red brick price range Rp 375, - / pcs. Thus, for 1m2 pair-wall requires a cost Rp Rp. 6500, - x 8.5 = Rp. 55 250, - for aerated lightweight concrete and Rp. 375, - x 85 = Rp. 31 875, - if use solid red brick (outside of the speci). f. The Excesses of Aerated Lightweight Concrete 1. Easy to be shaped and cuting order to fulfill the needs of the building by using a saw or other cutting tools.
Source : http://jayacelcon.co.id
2. Easy to Use Aerated lightweight concrete has larga size means that construction working is fast. All off-cuts can also be safely utilized minimizing wastage. 3. Easy to be loaded since it is lightweight. 4. Reducing the burden which is connected to the foundation as thus it will reduce the cost for tightening the foundation 5. The shape is precision as thus the pair of walls can also be prectise.
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 53
2. Housing at Taman Nyiur, Sunter, Jakarta (Aerated lightweight concrete use for wallpair)
Source : http://flickriver.com
6. The risks of production’s failure are fewer since the process of production is wellcontrolled. 7. It uses particular cement instead of using a ± 3mm mortar; hence the wall-pair is tidier and it can reduce the costs for repairing. 8. The size which is larger than the solid red brick will shorten the installation time. 9. Heat, fire, and earthquake resistant. Aerated lightweight concrete that produces contains silica and giving it impressive heat insulation qualities. Aerated lightweight concrete will give a fire resistance of 4 hour. 10. Durable, resilience is roughly equal to the conventional concrete. 11. Soundproofed Aerated lightweight concrete has good sound insulation qualities compared to other building materials g. Some Project That Use Aerated Lightweight Concrete 1. Fasade Green Bay Pluit at Pluit , Jakarta (Aerated lightweight concrete use for wallpair)
3. Home Renovation at Harapan Indah, Bekasi (Aerated lightweight concrete use for wallpair)
4. Green Court at Cengkareng, Jakarta (Aerated lightweight concrete use for wall-pair)
5. Senayan Residences at Senayan, Jakarta (Aerated lightweight concrete use for toilet wall-pair )
54 JAP Vol. 6 No.1 Apr. 2013
Ninik Paryati
6. Mall of Indonesia at Kelapa Gading, Jakarta (Aerated lightweight concrete use for boundary wall ) 7. Citra Bajatama Office at Taman Nyiur, Sunter , North Jakarta (Aerated lightweight concrete use for wall-pair) 8. Aim Food Manufacturing Industry at Cibitung, West Java (Aerated lightweight concrete use for wall-pair) 9. Maple Park Apartment at Kemayoran, Jakarta (Aerated lightweight concrete use for wall-pair) 10. Warehouse of Mitrasarana Indonippon Logistik at Cibitung, West Java (Aerated lightweight concrete use for wall-pair) 11. Postgraduate Building at Islamic’45 University, Bekasi, West Java (Aerated lightweight concrete use for wall-pair) 12. Villa Mutiara Gading City at Bekasi, West Java (Aerated lightweight concrete use for wall-pair) 13. Etc V. Conclusions and Recommendations a. Conclusion 1. Aerated lightweight concrete is ranged about 600 - 1600kg/m3 and it can withstand the loads up to ± 1200 psi or 84.372kg/cm2, therefore, it is good for wall construction, especially for wallpair.
2. There are some project at Jakarta and West Java Use Aerated lightweight concrete 3. Aerated lightweight concrete has several advantages which can save the time, reduce the costs of installing or repairing. b. Suggestion The aerated concrete should be developed by using inexpensive, environmental friendly materials and local materials. Bibliography 1) Tata Surdia, Shinroku Saito, 1992. Pengetahuan Bahan Teknik. PT. Pradnya Paramita : Jakarta. 2) Ninik Paryati ,2001 .Kuat Tekan Beton Dengan Penambahan Serbuk Besi dan Baja UNY : Yogyakarta. 3) Ninik Paryati ,2004 .Kualitas Bata dengan Penambahan Kotoran Sapi. UJB : Yogyakarta. 4) Anonim.1987. Standart Industri Indonesia (Mutu dan Cara Uji Bata Merah Pejal). Departemen Perindustrian : Jakarta http://chensco1.en.made-in-china.com http://sanggapramana.wordpress.com http://pu.go.id http://kingponselku.com http://www.eramuslim.com http://flickriver.com http://jayacelcon.co.id http://konstruksiplus.blogspot.com http://bandhsolutionsltd.com http://www.gafindo-wahana.com http://jayacelcon.co.id http://beling.net/articles/about/Portland_cement http://www.nrri.umn.edu http://bmsquipanel.blogspot.com/2011
Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/April 2013/1 55
PEDOMAN BAGI PENULIS Deskripsi Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) diterbitkan pertama kali tahun 2004 oleh Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Sesuai dengan namanya, jurnal ini mempunyai misi sebagai media pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang arsitektur dan perencanaan. Area tulisan dalam jurnal ini sangat luas, mulai dari teknologi bangunan, arsitektur, disain kota, sampai perencanaan lingkungan kota, dan beberapa derivasinya. Cakupan penulisan mulai dari teori maupun praktik yang ditulis dengan kaidah-kaidah penulisan ilmiah yang baik dan benar. JAP direncanakan terbit 2 kali dalam setahun.
Kriteria Tulisan JAP menerima dan menerbitkan tulisan ilmiah yang memenuhi persyaratan atau kriteria dengan tipe atau kualitas sebagai berikut: 1. Tulisan mengandung materi asli yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu di bidang arsitektur dan perencanaan. 2. Tulisan memberi kerangka penelitian atau proyek yang ringkas, jelas dan pembahasan yang sesuai dengan tujuan penulisannya. 3. Tulisan mengandung informasi dan referensi detail yang bisa diketahui pembaca, sehingga bila dikehendaki pembaca akan mudah memverifikasi keakuratannya. 4. Tulisan bebas dari usaha komersial, kepentingan pribadi, atau pun politik, di samping tidak mengandung unsur SARA. 5. Kontribusi lain berupa diskusi yang terkait dengan tulisan yang pernah dipublikasikan juga dimungkinkan untuk diterbitkan, dengan memenuhi persyaratan yang berlaku.
Persiapan Tulisan Tulisan seharusnya ditulis dan diatur dalam sebuah format atau gaya yang singkat, padat, jelas, serta mudah untuk diikuti. Sebuah tulisan informatif dengan judul yang singkat, diawali oleh abstrak dan kata kunci yang representatif. Sebuah latar belakang atau pengantar yang ditulis secara baik akan membantu mewujudkan tujuan ini. Jika ditulis dalam Bahasa Indonesia, seharusnya menerapkan kaidah penulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ditulis dengan bahasa yang sederhana, berstruktur kalimat singkat, dengan pemilihan istilah yang tepat akan membantu mengkomunikasikan informasi yang ada dalam tulisan lebih efektif. Penyimpangan pembahasan dari pokok yang seharusnya dituju sebaiknya dihindari. Tabel dan gambar seharusnya digunakan untuk lebih membuat jelas tulisan. Pembaca seharusnya dipandu secara hati-hati, tetapi jelas, dalam memahami keseluruhan tulisan. Penulis dituntut untuk selalu berpikir bagi kepentingan pembaca. Tulisan diskusi atau tanggapan (discussion manuscript) juga harus mengikuti persyaratan aturan tulisan baku. Tulisan jenis ini harus dikirimkan paling lambat 6 bulan setelah tulisan yang ditanggapi terbit.
Prosedur Review Redaksi akan menyerahkan tulisan yang telah diterima kepada sidang redaksi untuk menentukan review bagi tulisan yang telah diterima. Pada dasarnya setiap tulisan akan direview oleh seorang ahli (mitra bestari) yang berkompeten di bidang yang menjadi fokus tulisan. Sistem yang dipakai adalah ”double blind” proses, di mana mitra bestari tidak akan mengetahui penulis, dan sebaliknya penulis juga tidak akan mengetahui nama mitra bestari. Berdasar hasil review pertama, Sidang Redaksi akan menentukan prosedur lanjutan dari sebuah tulisan, diterima dengan perbaikan minor; diterima dengan perbaikan mayor, atau ditolak. Tulisan yang telah direview dan memerlukan perbaikan, akan segera dikirim kepada penulis kontak yang tertera dalam tulisan. Selain substansi tulisan yang diatur dalam proses review, Redaksi juga berhak meminta perbaikan teknis, sebelum tulisan benar-benar diterbitkan. Waktu perbaikan harus memenuhi ketentuan seperti yang diberikan. Setelah proses perbaikan selesai, dan tulisan dinyatakan siap terbit, maka penulis juga harus menyerahkan pernyataan pengalihan hak cipta bagi distribusi tulisan kepada Redaksi JAP atau Penerbit. Semua tulisan yang masih dalam proses review, menjadi tanggung jawab redaksi dan redaksi akan bertanggung jawab terhadap kerahasiaan isi tulisan. Semua
tulisan dan dokumen lain yang telah diserahkan kepada redaksi tidak akan dikembalikan. Redaksi menghimbau bagi tulisan yang ditulis dengan bahasa Inggris dan penulis tidak sebagai penutur asli, sebaiknya mencantumkan hasil review bahasa, sebelum diserahkan ke redaksi.
Biaya Penerbitan Tidak dikenakan biaya pada tulisan maupun pembahasan yang diterbitkan. Namun demikian, perubahan format dari standar penerbitan yang diminta oleh penulis, akan dibebankan pada penulis. Untuk semua kontak penggandaan tulisan, silakan kontak alamat redaksi.
Hak Cipta Penyerahan tulisan pada JAP ini mengimplikasikan bahwa tulisan yang diterbitkan harus orisinal, karya sendiri, belum pernah atau tidak sedang dalam proses penerbitan di publikasi yang lain. Penulis akan diminta menyerahkan surat keterangan bermaterai yang berisi penyerahan hak cipta (copyright) tulisan kepada penerbit, dalam hal ini redaksi JAP. Hak cipta ini secara ekslusif akan meliputi hak untuk memproduksi, menterjemahkan, atau mengambil sebagian/utuh tulisan (termasuk tabel, gambar, lampiran) untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Jika ada pihak ketiga yang mengajukan izin untuk memproduksi atau menggandakan tulisan, maka seharusnya Redaksi JAP yang dihubungi, kemudian Redaksi akan menghubungi penulis untuk meminta persetujuannya. Penulis yang menginginkan mempublikasikan ilustrasi atau gambar dan akan digunakan dalam tulisan, seharusnya memperoleh izin tertulis dari penerbit yang bersangkutan, termasuk memuatnya dalam keterangan ucapan terima kasih (acknowledgement) dalam gambar yang digunakan. Izin tertulis hendaknya disertakan dalam versi final tulisan sebelum diterbitkan.
PEDOMAN FORMAT TULISAN Tulisan ditulis dengan software pengolah kata (saat ini yang paling disarankan adalah MS World, sementara Page Maker dan software lainnya belum diterima) dalam kertas ukuran A4 (210x297cm). Tepi atas dan bawah adalah 25mm dan tepi samping (kanan maupun kiri) adalah 20mm. Tulisan diatur dalam 2 kolom, dengan lebar kolom adalah 82mm dan jarak antarkolom selebar 6mm. Gambar, tulisan, dan keterangannya diletakkan dan diatur (lay-out) masuk dalam tulisan. Tulisan ditulis dalam bahasa Indonesiaa (dengan abstrak berbahasa Inggris) atau keseluruhan dalam bahasa Inggris, menggunakan jenis huruf Times New Roman ukuran 10.5point. Sebisa mungkin atur spasi dalam area tulisan untuk bisa mengakomodasi 59 baris tulisan dari atas sampai bawah. Tulisan tangan akan langsung ditolak. Jumlah halaman dihitung mulai halaman judul. Panjang tulisan yang diserahkan harus memenuhi ketentuan batas halaman yang diizinkan. Tulisan –dalam hal ini termasuk gambar, tabel, referensi, maupun ruang sisa- tidak diperkenankan melebihi 8 halaman. Halaman judul adalah halaman pertama tulisan. Halaman judul ini harus mengandung judul tulisan, penulis (bisa perseorangan atau pun grup penulis), posisi, afiliasi, dan kontak penulis yang berisi nama, posisi, afiliasi, alamat lengkap yang disertai nomer telpun, faksimili, dan e-mail. Judul tulisan tidak diizinkan melebihi 75 karakter, termasuk spasi di antara judul. Abstrak dan kata/frase kunci dimuat pada halaman pertama (halaman judul). Abstrak tidak lebih dari 200 kata dan ditulis dalam bahasa Inggris. Abstrak harus secara jelas menjelaskan isi tulisan, mulai permasalahan, metode, termasuk kesimpulannya. Kata kunci (keywords) juga perlu dipilih secara hati-hati, sehingga pembaca terbantu secara mudah dalam pencariannya. Tulisan utama dibagi-bagi ke dalam beberapa bagian (heading) yang mencerminkan urutan sekaligus mengantarkan cerita dalam tulisan. Misalnya: Pengantar akan mendeskripsikan latar belakang, motivasi, atau maksud riset; metode akan memberikan informasi yang diperlukan sehingga pembaca bisa memahami dan mengikuti pekerjaan atau riset yang sama; Keseimpulan akan menyatakan kesimpulan dari fokus yang dikerjakan
secara jelas, sehingga bebas dari interpretasi. Referensi menggunakan Harvard System. Referensi dalam teks seharusnya dikutip sesuai aturan yang ada, misalnya Katz (1994) atau (Jenks dan Burgess, 2000) atau jika lebih dari 2 orang, Williams, dkk. (1998). Referensi atau daftar pustaka ini harus disusun berdasar abjad di akhir tulisan dengan menampilkan nama keluarga penulis (surname). Jika ada daftar pustaka yang ditulis orang yang sama dalam tahun yang sama, maka harus dibedakan dengan tambahan abjad, seperti 2000a dan 2000b. Aturan penulisan referensi atau daftar pustaka ini seharusnya mengikuti contoh berikut: Referensi dalam bentuk buku Nama keluarga penulis, Inisial (tahun publikasi), Judul, Edisi (jika bukan edisi pertama), Penerbit, Tempat diterbitkan Misalnya: Ronald, A (2005), Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Referensi dalam bentuk jurnal Nama keluarga penulis, Inisial (tahun publikasi), Judul Tulisan, Judul Jurnal, Volume dan nomer jurnal, Penerbit, Halaman Misalnya: Sarwadi, A; Tohiguchi, M; Hashimoto, S. (2001) A typological analysis of houses and people-gathering places in an urban riverside settlement. A Case Study in the Musi Urban Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra, Indonesia, Journal of Architecture, Planning, and Environmental Engineering (Transactions of AIJ) No 546, 207-214 Referensi dari internet, sesedikit mungkin digunakan. Jika digunakan, maka penulisannya pun tetap harus mengikuti kaidah penulisan referensi yang ada, ditambah tanggal terakhir diakses. . Catatan kaki masih dimungkinkan bila tulisan memang memerlukan keterangan tambahan, tetapi hendaknya dibatasi. Cara penulisannya harus disesuaikan, dengan memberi keterangan angka yang lebih kecil (superscript) pada akhir kalimat yang akan diberi keterangan. Daftar keterangannya diletakkan sesuai nomer urut pada bagian akhir tulisan, sebelum daftar pustaka, dengan ukuran tulisan yang lebih kecil (9point). Rumus matematika dan simbolnya juga dimungkinkan untuk ditambahkan, dengan memperhatikan penulisan rumus yang benar dan meletakkan angka atau tanda yang lebih kecil secara benar (subscript atau superscript). Standar internasioanl (SI) untuk ukuran seharusnya digunakan bila mencantunkannya. Bila ukuran tidak dalam SI maka persamaan dalam standar SI seharusnya ditulis dibelakangnya menggunakan tanda kurung. Tabel dan gambar bisa ditata hanya menggunakan satu kolom (82mm) atau dua kolom sekaligus (170mm), sesuai kebutuhan dan mengingat estetika perletakan. Cara penulisan tabel atau gambar adalah diurutkan dan menggunakan angka arab, misalnya Tabel 1, Tabel 2, atau Gambar 1, Gambar 2, dan seterusnya. Isi tabel atau pun detil gambar sebisa mungkin harus tetap terbaca dengan jelas. Untuk diharap memperhatikan kekontrasan maupun resolusi gambar, sehingga memungkinkan perbesaran/perkecilan dengan baik. Untuk negatif gambar, tidak akan diterima dan saat penerbitan izin dari penggunaan gambar (orang lain atau sumber asli) harus disertakan. Pada dasarnya JAP diterbitkan dalam format hitam-putih. Cetak warna dimungkinkan dengan biaya tambahan dibebankan pada penulis. Sebaiknya hindari teknik gambar transparansi. Penulis dalam mempersiapkan tulisan, disarankan dengan sangat untuk menggunakan model format (template) yang telah disediakan dan dapat diunduh (download) di http://www.archiplan.ugm.ac.id/
GUIDELINES FOR WRITERS The Description on Journal of Architecture and Planning Studies (JAP) Journal of Architecture and Planning Studies (JAP) was first published in 2004 by Department of Architecture and Planning, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University. As the name implies, this journal has a mission as a medium for the development of science and technology, especially in architecture and planning studies. JAP has broad topics of writing, ranging from technology of building, architecture, city design, to urban environmental planning and its derivations. The coverage of writing in JAP starts from theories to practices, and they are well-writen according to the correct scientific writing rules. JAP is planned to publish twice a year.
Writing Criteria JAP accepts and publishes scientific papers that meet requirements or criteria as follows: 1. It contains beneficial authentic material for science development in architecture and planning studies. 2. It gives brief and clear research of project framework, as well as an appropriate explanation due to the purpose of writing. 3. It contains detail information and references generally known so that readers are able to verify its accurancy if it is needed. 4. It is free from any commercial, personal or political interests, and does not contain the four elements of SARA (ethnicity, religions, races, and inter-classes). 5. Another contribution in the form of discussion related to published paper is also possible to publish, with terms and conditions applied.
Writing Preparation Papers should be written and arranged in a consice, clear, and understandable format. It is also should be informative with brief title, preceded by abstract and representative keywords, plus a well-writen background or introductory paragraph. If it is written in Indonesian, the rules on good and correct writing in Indonesian should be applied. Furthermore, papers should be written in simple language, short-sentence structured with appropriate terms and dictions. Deviation from the main discussion should be avoided. Tables and figures should be used to clarify the papers. Readers should be guided carefully but clearly, in understanding the whole text. The author is required to think for the benefit of the readers. Discussion manuscript or written responses also must follow the requirements of standard written rules. This type of writing should be submitted no later than 6 months after the paper responded is published.
Procedure Review The Editor will submit all papers received to editorial staff to determine the paper review. Basically, every article submitted to editorial staff will be reviewed by a competent expert (mitra bestari). The system used is “double blind” process, where the mitra bestari will not recognize the author, and the author will not recognize also the name of the mitra bestari. Based on the results of the first review, Editor Meeting will determine the continuation procedures of a paper, which are: accepted with minor revision, accepted with major revision, or rejected. Papers reviewed and in need of revision will be sent to the authors according to the listed contacts. The Editor has a right to regulate the writing substance in review process and to request technical improvements, before the writing is actually published. The revision period has to meet the requirement. After revision process is completed and papers are declared to be ready to publish, the authors must submit a statement of copyright transfer toward the writing distribution to the JAP Editor or Publisher. All writing in the review process becomes the responsibility of the Editor and the confidentiality of the writing contents is guaranteed. All papers and other documents submitted to the Editor will not be returned. The Editor suggests to Indonesian authors who submit their English written papers to include the language review before it submitted to the Editor.
Publishing Cost The papers and discussions published are not charged. However, if the author requests for any format changes, the cost will be charged upon the author. For all copies made, please contact the Editor address.
Copyright The Editor accepts only authentic and original writings that have not published yet or not in the process of publishing in other publications. The author will be asked to submit a stamped letter containing the writing copyright transfer to the Editor of JAP. This copyright will exclusively include the right to reproduce, translate, or take part/whole text (including tables, images, attachments) to interest of science development. If there is a third party who asks for a permission to produce or reproduce the writing, the Editor of JAP should be contacted, then the Editor will ask the authors for approval. The author, who would like to publish illustrations or images will be used in his/her writing, should obtain the written permission from the related publisher, including put down the acknowledgement for images used. Written permission should be included in the final version writing before publication.
Guidelines for Writing Format The paper is written with word processing software (most recommended is MS Word, while Page Maker and other software are not yet suggested). It is written in A4 size paper (210x297 cms), with top and bottom edge is 25 mms and the margin (right and left) is 20 mms. The writing is formatted in 2 columns with its column width is 82 mms and its inter-column width is 6 mms. Images, writings, and notes are placed and formatted into the text. The paper written in Indonesian (with English abstract) or a whole paper is in English should use Times New Roman font with 10,5 point. Wherever possible, please arrange the space in the writing area to accomodate 59 lines of sentences from top to bottom. Handwriting will automatically be rejected. The number of page is calculated from the title page. The length of submitted paper must comply with the provisions of the page limit allowed. A paper – including images, tables, references, and remained space – are not allowed to exceed 8 pages. The title page is the first page of the paper. The title page should contain title, author (could be individual or group of authors), position, affiliation, and author’s contact contained of name, positions, affiliation, complete address with telephone number, fax, and email. The paper title is not permitted beyond 75 characters, including spaces between titles. The abstract and keywords/keyphrases are stated in the first page (the title page). The abstract is no more than 200 words and written in English. It must clearly describe the contents of writings, problem formulation, methods, and the conclusion. Keywords should be selected carefully, so that readers can be easily understood. The main writings are divided into several headings which reflect the order and its discussion, for example: Introduction will describe the background, motivation, or the research aims; Methods will provide the necessary information so that readers can understand and follow the discussion; Conclusion will wrap up the focus in clear explanation and interpretation free. The writing on references should use the Harvard System. References in text should be cited according to the rules, for example Katz (1994) or (Jenks and Burgess, 2000) or if it is more than two people: Williams, et al. (1998). References or bibliography should be arranged alphabetically in the end of text by displaying the author ’s family name/surname first. If there is a reference written by the same person in the same year, it must be distinguished by additional letters, such as 2000a or 2000b. Rules on writing references or bibliography should go after example follows: References from Books Author’s surname, Initial (year of publication), Title, Edition (if it is not the first edition), Publisher, Place of publication
For example: Ronald, A (2005), Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. References from Journals Author’s surname, Initials (year of publication), Paper Title, Journal Title, Volume and number of journal, Publisher, Page For example: Sarwadi, A; Tohiguchi, M; Hashimoto, S. (2001), A typological analysis of houses and people gathering places in an urban riverside settlement. A Case Study in the Musi Urban Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra, Indonesia, Journal of Architecture, Planning, and Environmetal Engineering (Transactions of AIJ) No. 546, 207-214. References from internet are used as little as possible. If it is used, the writing still follows the rules of referencing, plus the last data accessed. Footnote is still possible if the paper requires additional infornations, but it should be limited instead. Its format should be adjusted too, by using superscript format at the end of the sentence which needs additional notes. The description list is placed according to serial number at the end of the writing before bibliography, with a smaller size text (9 points). Any mathematical formulas and symbols are also possible to add by putting more attention to the correct formula writing and putting the numbers or smaller signs correctly (either subscript or superscript). The International Standard (SI) for measure should be used if it is required. If the measurement is not in the SI equation, thus it should be written using parentheses behind. Tables and images can be arranged using only one column (82 mms) or two columns at once (170 mms), according to the needs and layout aesthetic. The format on putting tables or drawings are sorted by using Arabic numbers, such as Table 1, Table 2, or Figure 1, Figure 2, and so on. The content of tables or detail images should be clearly readable as good as possible. Please notice to the contrast or image resolution, so the magnification/ reduction can be well applied if it is needed. The negative image will not be accepted. The permission letter of pictures using from others or original sources should be included when it is published. Basically, JAP is published in black and white format. Color printing is possible with additional fees charged to the author. Avoid transparency image technique. In preparing paper, it is suggested to the authors to use the template format provided and can be downloaded at http://www.archiplan.ugm.ac.id/