- Penghargaan K. Nadha Nugraha 2003 Dikutip dari: Harian Bali Post, 05 Januari 2003 Sepuluh Tokoh Bali Penerima 'K. Nadha Nugraha' 2003 DUA tahun lalu, 5 Januari 2001, tokoh pers Bali K. Nadha, perintis yang sekaligus mengabadikan sepenuh hidupnya di pers khusus Bali Post dipanggil Yang Maha Kuasa. Untuk menghargai jasa Sang Perintis, Kelompok Media Bali Post, sebagai penerus cita-cita perjuangan beliau, mengabadikan nama K. Nadha untuk sebuah gedung kegiatan pers dengan sebutan "Gedung Pers Bali K. Nadha", berlokasi di Jl Kebo Iwa Denpasar. Peresmian Gedung Pers Bali K. Nadha dilaksanakan Minggu (5/1) hari ini oleh Gubernur Bali Drs. Dewa Beratha, lewat acara yang disiarkan secara langsung oleh Bali TV, mulai pukul 10.00 pagi. Gedung ini akan dimanfaatkan untuk kegiatan pers multimedia. Di sinilah akan dapat ditemui catatan sejarah Bali khususnya dalam bentuk cetak maupun audio visual. Tokoh-tokoh Bali yang berperan penting berdasarkan pilihan pers akan diabadikan dalam bentuk patung perunggu lengkap dengan hasil karya mereka dan peninggalannya. Diharapkan, dari gedung ini akan dapat disimak perjalanan sejarah Bali di kemudian hari oleh generasi penerusnya. Nantinya gedung ini akan dilengkapi seluruh data dan patung para Bupati se-Bali, Walikota, Gubernur, Ketua DPRD Bali, Panglima, dan Kapolda yang pernah menjabat di Bali. Penerus cita-cita dan perjuangan K. Nadha menyadari bahwa perjuangan beliau mengajegkan Bali merupakan kerja bersama seluruh masyarakat Bali. Oleh karena itulah, setiap tahun sejak 2002 lalu, Bali Post mempersembahkan "K. Nadha Nugraha" kepada tokoh-tokoh yang tak henti-hentinya mengabdikan dirinya dan menunjukkan komitmen mulia bagi Bali. "K.Nadha Nugraha" tahun 2002 diberikan kepada ilmuwan dan aktivis sosial Prof. Dr. LK Suryani dan tokoh meditasi Merta Ada. Tahun 2003, tokoh Bali yang menerima "K. Nadha Nugraha" berjumlah sepuluh orang, sebagian adalah tokoh-tokoh segenerasi dengan K. Nadha yang bersama-sama bekerja keras di bidang masing-masing membangun Bali dalam arti luas, seperti bidang pendidikan, politik, budaya, adat dan agama Hindu. Tentu saja jumlah sepuluh tokoh yang terpilih menerima "K. Nadha Nugraha" kali ini sangat kecil jumlahnya dibandingkan dengan sekian banyak putra terbaik Bali yang telah berjuang di bidangnya masing-masing untuk memajukan Bali. Diharapkan, pemberian "K. Nadha Nugraha" ini dapat merangsang berbagai pihak dan masyarakat pada umumnya untuk sudi dengan segala ketulusan mengenang dan mengapresiasi pengabdian dan prestasi tokoh-tokoh Bali lainnya yang telah dan terus mengabdikan diri dan kemampuannya untuk membangun Bali tercinta ini. Semua itu dengan harapan generasi penerus Bali dapat melanjutkan cita-cita perjuangan ini. Direncanakan, setiap tahun akan dipilih sepuluh tokoh Bali yang akan didokumentaiskan di Gedung Pers Bali ini. Dua dari tokoh yang masih melaksanakan tugas swadarma-nya dan delapan dari tokoh yang telah menyelesaikan tugas swadarma-nya. Berikut adalah profil penerima "K. Nadha Nugraha" 2003. I Gusti Bagus Sugriwa (1900-1977) - Intelektual, Sastrawan Intelektual dan sastrawan Bali yang lahir pada Sukra Landep 4 Maret 1900 di Bungkulan, Buleleng, ini masuk sekolah rakyat (SR) dalam usia yang relatif "tua". Beliau menjadi murid SR di Kubutambahan tahun 1916-1917, berarti setelah beliau berumur 16 tahun. Hal ini tentu tidak perlu mengejutkan karena pada zaman penjajahan Belanda jumlah sekolah di Bali dan peluang untuk mengikuti pendidikan formal sangat terbatas. Setamat SR, dengan semangat untuk maju, I Gusti Bagus Sugriwa mengikuti Normal Cursus, kursus menjadi guru, di Singaraja 1918-1920. Mulai Agustus 1920, pemuda cerdas ini diangkat menjadi guru sekolah di desa kelahirannya. Mungkin tak pernah disangka sebelumnya, tetapi kenyataannya, profesi sebagai guru dilakoni Sugriwa hampir selama hidupnya, mulai dari zaman Belanda, Jepang, dan sesudah Indonesia merdeka, baik sebagai guru formal maupun guru informal, seperti mengajar mawirama dan kursus bahasa Bali kepada peneliti asing. Selama menjadi guru pada zaman Belanda dan zaman Jepang, beliau sempat menulis buku pelajaran bahasa Bali, membaca dan budi pekerti, antara lain Niti Praya bahasa Bali huruf Bali, Purwa Sastra (jilid 1-5), Purwa Kala (dua jilid), dicetak di Jakarta dan dijadikan bukuajar di sekolah-sekolah. Beliau juga menulis buku Giri Kuta (bahasa Bali huruf Latin), Rama Dewa (bahasa Bali huruf Bali, 3 jilid). Selain mengajar dan menulis buku, beliau juga menulis artikel di Kalawarta Santi Adnyana (terbit 1920-an) dan majalah Bhawanegara, Djatajoe (terbit 1930-an), semuanya di Singaraja. Lewat media massa ini beliau tumbuh sebagai intelektual dan budayawan bersama tokoh Buleleng lainnya seperti Panji Tisna, Mr. I Gde Panetja, I Wayan Bhadra, I Nyoman Kadjeng, I Wayan Simpen AB, dan lain-lain. Ketika NICA datang hendak menjajah (lagi) Indonesia, Sugriwa bergabung bersama pemuda pejuang. Dalam perjuangan itu beliau menggunakan nama samaran Kantayadnya atau Arya Arja Sumurddha. Beliau ditangkap NICA beberapa kali. Setelah NICA pergi, kembalinya kedaulatan Indonesia, Sugriwa pada 16 Oktober 1950, dipilih sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah Bali (DPD Bali), antara lain bersama I Gusti Putu Merta (penerima "K Nadha Nugraha"). Beliau juga pernah tercatat sebagai anggota tertua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali tahun 1950-an. Sugriwa adalah salah satu tokoh yang berperan penting dalam memperjuangkan agar agama Hindu bisa diterima menjadi salah satu agama yang diakui secara resmi oleh negara. Awal tahun 1950-an, beliau juga aktif mengisi acara siaran kebudayaan Bali di RRI stasiun Denpasar, yang juga disiarkan RRI secara nasional. Antara 1953-1955, Sugriwa menjadi pemimpin redaksi majalah Damai, diterbitkan Yayasan Kebhaktian Pejuang, terbit di Denpasar. Dalam mengelola majalah ini, beliau didampingi Anak Agung (Tjokorda) Bagus Sayoga, Made Tukir dan ilustrator Ida Bagus Tilem. Di majalah Damai-lah beliau menerbitkan secara bersambung terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dan penafsiran atas kakawin Dharma Sunya dan Bhisma Parwa. Beliau juga pernah memimpin Cri Buddhaya Bali, kelompok kesenian Bali yang sering diundang melakukan pementasan di luar Bali seperti Jakarta dan Bandung. Awal 1970-an, atas permintaan I Gusti Made Tamba (penerima "K Nadha Nugraha") dari Perguruan Rakyat Saraswati, beliau mengajar cara mewirama dan mabebasan kepada siswa di sana. Beliau juga aktif mengajar di lembaga pendidikan Dwijendra, Perguruan Rakyat Saraswati, Sekolah Pendidikan Guru Hindu Negeri (PGHN), kini menjadi Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH), di mana sosok beliau diabadikan dalam bentuk patung. Di samping itu, beliau juga sempat mengajarkan bahasa Bali kepada sejumlah peneliti dari Eropa dan Australia. Sebagai pejuang, intelektual, sastrawan dan budayawan, Sugriwa yang meninggal pada usia 77 tahun, Selasa 22 http://www.baliusada.com
Powered by Joomla!
Generated: 7 February, 2017, 07:34
November 1977, telah menulis 32 judul buku, banyak di antara buku tersebut yang masih digunakan sampai sekarang oleh pelajar dan masyarakat. Putra-putrinya kini berusaha untuk mengumpulkan dan menyelamatkan semua warisan budaya beliau, seperti buku, naskah, kaset rekaman gaguritan, dan pustaka lontar. "Kami semua mengagumi sosok ayah, yang piawai dalam bidang seni sastra budaya dan agama Hindu. Sebisa kami, cita-cita beliau membangun Bali akan kami teruskan," ujar putra bungsunya, Drs. I Gusti Bagus Sudhyatmaka Sugriwa, yang mengikuti jejaknya di bidang siaran radio, kewartawanan dan tulis-menulis. Ketut Bangbang Gde Rawi (1910-1989) - Perintis Kalender Bali Beliau lahir di Desa Celuk, Sukawati, Sabtu Pon Sinta 17 September 1910 sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Jro Mangku Wayan Bangbang Mulat dan Jro Mangku Nyoman Rasmi. Tahun 1929, setelah tamat sekolah Goebernemen Negeri di Sukawati, dalam usia 19 tahun, Ketut Bangbang Gde Rawi sudah mulai tekun mempelajari ihwal wariga, adat, dan filsafat agama Hindu. Proses perburuan ilmu ini dilakukan dengan cara bertandang ke griya-griya, mencari lontar, menekuni wariga dan berdiskusi dengan peranda-peranda. Di samping menekuni ilmu wariga, Rawi juga tertarik pada bidang seni tari dan seni rupa, seperti memahat dan melukis, dilakukan sepanjang tahun 1930-an. Dekade ini, Ketut Bangbang Gde Rawi yang ulet bekerja juga pernah menjadi tukang jahit, jual-beli pakaian jadi, dan perhiasan emas. Awal 1940-an, sebelum Indonesia merdeka, beliau pernah menjadi perbekel di desa kelahirannya, Celuk. Saat itulah, Rawi yang mewarisi banyak pustaka lontar sering dimintai untuk mencari hari baik untuk pelaksanaan upacara atau kegiatan adat lainnya. Lama-kelamaan, bakat beliau di bidang menentukan hari baik untuk melakukan sesuatu (padewasaan) mulai tumbuh dan tersiar di kalangan masyarakat luas sehingga beliau didesak oleh para tokoh adat dan agama se-Kabupaten Gianyar untuk menyusun kalender. Desakan itu ditolak dengan rasa rendah hati. Namun, dalam rapat-rapat sulinggih Bali Lombok antara tahun 1948-1949, muncullah keputusan untuk memberikan kepercayaan kepada beliau untuk membuat kalender Bali. Tampaknya keputusan ini sulit beliau tolak. Setahun kemudian, atas dorongan Ida Pedanda Made Kemenuh, Ketua Paruman Pandita Bali-Lombok, Rawi mulai menyusun kalender. Kalender hasil karya beliau yang pertama dicetak penerbit Pustaka Balimas, salah satu penerbit besar di Bali saat itu. Tahun 1954, beliau dilantik menjadi anggota DPRD Bali berkat keahliannya di bidang adat dan agama. Banyak intelektual Bali mencoba menyusun kalender, tetapi sampai tahun 1980-an, praktis kalender Ketut Bangbang Gde Rawi yang populer dan banyak dijadikan pegangan oleh masyarakat. Selain karena isinya yang diyakini ketepatannya, yang khas dalam kalendernya adalah pemasangan foto diri yang mengenakan dasi dan kacamata. Mengapa bukan foto yang mengenakan destar? Tak jelas, tetapi foto berdasi itu adalah potret beliau sebagai anggota DPRD Propinsi Bali. Semula foto itu dipasang di kalender sebagai tanda pengenal semata, tetapi lama-lama menjadi merk dagang (trade mark). Kalender beliau tampil khas, pinggirannnya dihiasi dengan pepatran ukiran dedaunan, di atasnya tercetak gambar swastika simbol agama Hindu. Menurut Jro Mangku Nyoman Bambang Bayu Rahayu, cucu Ketut Bangbang Gde Rawi yang kini menjadi penerus penyusunan kalender, bentuk, bingkai, ilustrasi, susunan hari, potret diri dan nama penyusun kalender itu sudah dipatenkan sejak April 2002. Ini berarti model kalender beliau tidak boleh dijiplak. Meski demikian, kalender Bali lain yang muncul belakangan mau tak mau mengikuti pola kalender Ketut Bangbang Gde Rawi meski tidak persis sama. Kecemerlangan Rawi di bidang adat, wariga, dan agama Hindu mendapat pengakuan dari Institut Hindu Dharma (IHD, kini Unhi). Buktinya, tahun 1972, beliau ditunjuk menjadi dosen untuk mata kuliah "wariga" di IHD. Tahun 1976, beliau juga mengabdikan diri di Parisadha Hindhu Dharma Pusat yang berkedudukan di Denpasar sebagai anggota komisi penelitian. Selain membuat kalender dan mengajar, Rawi juga menerbitkan beberapa buku, seperti Kunci Wariga (dua jilid, 1967) dan Buku Suci Prama Tatwa Suksma Agama Hindu Bali (1962). Ketut Bambang Gde Rawi meninggal 18 April 1989 dengan mewariskan kecerdasan yang monumental, yakni pengetahuan tentang cara menyusun kalender Bali. Sejak kepergiannya, penyusunan kalender diteruskan oleh putranya, Made Bambang Suartha. Tugas ini dikerjakan sekitar delapan tahun, tepatnya hingga Made Bambang Suartha meninggal 10 April 1997. Warisan ilmu menyusun kalender itu kemudian menurun pada Jro Mangku Nyoman Bambang Bayu Rahayu, cucu Ketut Bangbang Gde Rawi. Sampai sekarang kalender Ketut Bangbang Gde Rawi tetap hadir di tengah-tengah masyarakat. Di bawah potret Ketut Bangbang Gde Rawi tertera tulisan "Disusun oleh Ketut Bangbang Gde Rawi (alm) dan Putra-putranya". Bagi masyarakat Bali di Bali, dan mereka yang ada di daerah transmigran, termasuk yang menetap di luar negeri, kalender Bali sudah menjadi kebutuhan. Dengan menggantung kalender Bali di rumah, mereka dengan mudah bisa mengetahui hari khusus agama Hindu seperti purnama tilem, Galungan Kuningan, Nyepi dan sebagainya. Belakangan sejumlah ahli penyusun kalender Bali yang lain selain "dinasti Ketut Bangbang Gde Rawi", juga bermunculan dan mereka berhasil membuat kalender yang diterima publik. Perkembangan penyusunan kalender Bali ini tentu tak bisa dipisahkan dari jasa Bambang Gde Rawi, sang perintis. Usaha Rawi dan penyusun kalender Bali lainnya besar jasanya kepada masyarakat dalam usaha menjaga kearifan lokal Bali. I Nyoman Oka (1911-1993) - Tokoh Pemandu Wisata I Nyoman Oka alias Nang Lecir adalah salah satu pemandu wisata atau guide Bali yang memiliki pengetahuan budaya dan sikap profesionalisme yang tinggi. Beliau lahir di Desa Beratan, Singaraja, tahun 1911. Seperti halnya generasi sezamannya, setelah menamatkan pendidikan dasar dan lanjut pada zaman Belanda, Oka mengikuti sekolah calon guru. Beliau pernah menjadi guru, tetapi ini bukanlah satu-satunya profesi yang pernah atau akhirnya ditekuninya. Oka pernah menjadi pegawai kantor pos di Surabaya. Zaman revolusi nasional tahun 1940-an, Oka ikut berjuang mengusir penjajah. Jabatan sebagai Ketua Dewan Pemerintah Daerah Swapraja Tabanan juga pernah didudukinya tahun 1950-an sebagai bagian dari aktivitasnya di dunia politik, khususnya Partai Nasional Indonesia. Setelah mendalami berbagai profesi di berbagai bidang, Oka akhirnya banting setir ke dunia pariwisata. Jasa penting yang pernah dia buat adalah sebagai salah direktur NV Gabungan Tourisme Bali, disingkat NV Bali Tour Ltd, biro perjalanan pertama di Bali yang berdiri 30 April 1956. Pendiri NV Bali Tour adalah I Gst Made Bengkel (partikelir) dan Ida Bagus Oka (pedagang), sedangkan I Nyoman Oka diangkat sebagai direktur. I Gusti Putu Merta (penerima "Nadha Nugraha") yang waktu itu menjadi Ketua DPRD Bali menjadi salah satu komisaris. Bali Tour pernah minta izin berkantor di Bali Hotel, tetapi gagal karena ruang dan kamar hotel tersebut terbatas. Meski demikian, Bali Tour tetap diizinkan melakukan aktivitas bisnis di hotel tersebut, dengan http://www.baliusada.com
Powered by Joomla!
Generated: 7 February, 2017, 07:34
mengoperasikan taksi, bus, menjual paket tari kecak dan tontonan lainnya. Bali Tour banyak menangani tamu asing. Hingga akhir 1950-an, Bali Tour menjalin kerja sama dengan 13 biro perjalanan luar negeri. Laju usaha Bali Tour akhirnya dijegal oleh pemerintah Pusat. Lewat Menteri Perhubungan Darat dan PTT, GPH Djatikusumo, pemerintah Pusat mengeluarkan SK No. H 2/4/9, 30 Maret 1960, yang isinya antara lain menetapkan biro perjalanan Nitour yang berpusat di Jakarta sebagai badan usaha yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan langsung kepada wisatawan internasional. Dengan kata lain, Nitour diberikan monopoli menangani turis asing, sedangkan Bali Tour hanya boleh menangani turis domestik, yang saat itu tidak berkembang alias belum ada. Kebijakan pemerintah Pusat membuat ruang gerak bisnis Bali Tour lenyap. Kesempatan hidup Bali Tour sebetulnya masih ada kalau mau bergabung dengan Nitour. Sebagai Direktur Bali Tour, Nang Lecir menolak tegas untuk bergabung. "Jika perlu, menjadi pedagang kacang pun rasanya lebih baik daripada bergabung," kata Nyoman Oka tegas. Keputusan pemerintah membuat kegiatan bisnis Bali Tour merosot, lalu bubar pelan-pelan. Belakangan nama Bali Tour muncul sebagai nama usaha biro perjalanan di Bali, namun tak ada hubungan langsung dengan NV Bali Tour yang dipimpin Nang Lecir. Meski biro perjalanannya bubar, Nyoman Oka tetap berkiprah di dunia biro perjalanan, khususnya menjadi guide. Pengalamannya menjadi pemandu wisata sejak 1950-an diteruskan dengan profesionalisme yang tinggi, sampai akhirnya dia mendapat berbagai penghargaan, termasuk sebagai tokoh pariwisata Indonesia yang diberikan asosiasi biro perjalanan Asia Pasific (PATA) berupa plakat "Hall of Fame". Selama menjadi guide, pengalaman penting Nyoman Oka adalah ketika dia mengantar wartawan majalah terkemuka, National Geographic, yang memuat artikel mendalam dengan foto-foto indah. Sebagai pemandu wisata yang lancar berbahasa Inggris, Nyoman Oka juga memiliki perhatian tinggi mengamati perkembangan bahasa Indonesia. Jika beliau membaca ada ungkapan yang keliru atau penggunaan bahasa Indonesia yang salah kaprah, beliau biasanya mengirim tanggapan lewat harian Bali Post. Selain lewat media cetak, beliau juga sering menyampaikan koreksi pemakaian bahasa Indonesia lewat diskusi. Dalam suatu diskusi seni dan sastra di rumah seniman Abu Bakar tahun 1980-an, Nyoman Oka mengoreksi pemakaian kata "membilang" untuk maksud "mengatakan". "Itu salah," katanya sembari menguraikan bahwa kata "membilang" berarti "menghitung", dengan kata dasar "bilang", lalu ada bentuk "bilangan" yang artinya "angka". Beliau menyunting Wayan Madri dan Ketut Mustaning, dikarunia 10 putra-putri. Putra keduanya, I Made Yuda Negara, mengikuti jejak Nyoman Oka menjadi pemandu wisata. "Saya menjadi pemandu wisata karena pengaruh ayah," ujar Made Yuda, yang sempat sempat mengikuti pendidikan perhotelan di Bandung. Nang Lecir kerap mengenakan destar dan gemar naik sepeda untuk menjangkau tujuan-tujuan di seputar Denpasar. Sepeda tua itu termasuk salah satu warisan Nang Lecir yang replikanya disimpan keluarganya hingga kini. Nang Lecir dipanggil Yang Kuasa tahun 1993, meninggalkan kesan harum di dunia biro perjalanan. Selain itu, beliau juga meninggalkan sejumlah pemikiran di bidang adat dan budaya lewat tulisan-tulisan kritisnya yang dimuat koran Bali Post. I Gusti Putu Merta (1913-1992) - Politikus, Pejabat Gubernur Bali Mantan pejabat Gubernur Bali 1965-1967 ini lahir 10 Januari 1913 Desa Pemecutan, Denpasar. Pendidikan dasar pada zaman Belanda ditempuh di Denpasar, sedangkan pendidikan lanjut ditempuh di Makassar, 1931. Sepulang dari Makassar, I Gusti Putu Merta aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan organisasi, seperti Bali Darma Laksana Cabang Denpasar, organisasi pemuda dan pelajar Bali yang berpusat di Singaraja. Bali Darma Laksana menerbitkan majalah bulanan Djatajoe (1936-1941). Sesekali beliau menulis artikel di majalah ini, minat yang diteruskan awal 1950-an lewat tulisan yang muncul di majalah Damai. Saat aktif di organisasi Bali Darma Laksana, Merta bertemu dengan I Gusti Ayu Rapeg, yang kemudian menjadi istrinya. Mereka menikah 10 Oktober 1940. I Gusti Ayu Rapeg, kelahiran Banjar Belaluan Denpasar tahun 1917, masih sehat sampai sekarang, adalah aktivis organisasi Putri Bali Sadar, dan menulis beberapa artikel di majalah Djatajoe yang isinya banyak memperjuangkan derajat hak kaum wanita. I Gusti Putu Merta dan I Gusti Ayu Rapeg mula-mula aktif sebagai tenaga menjadi guru dan aktif dalam program pemberantasan buta huruf. Pengalaman Merta di dunia pendidikan kemudian berguna tahun 1946 saat membantu I Gusti Made Tamba mendirikan lembaga pendidikan yang menjadi cikalbakal Perguruan Rakyat Saraswati. Pada zaman revolusi nasional, Merta terjun ke dunia politik. Beliau ikut mendirikan Parrindo (Partai Rakyat Indonesia), 4 Desember 1946, yang tujuan pokoknya antara lain memompa semangat nasionalisme dan spirit demokrasi rakyat. Beliau merupakan tokoh penting dalam sejarah beririnya Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bali. Setelah berhasil mendirikan pembentukan PNI di tingkat kabupaten, Mei 1950 beliau dipilih menjadi Ketua DPD PNI Bali. Beliaulah ketua DPD PNI Bali yang pertama. Karier di bidang politik ini mengantarkannya terpilih sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali sejak 1950 sampai 1965 -- selama 15 tahun. Beliau menjadi Pejabat Gubernur Bali menggantikan Anak Agung Bagus Suteja pasca-kudeta tahun 1965. Posisi sebagai pejabat Gubernur Bali dipegang dua tahun, 1965-1967. Tahun 1950-an, ketika menjadi Ketua DPRD Bali, beliau diangkat sebagai sekretaris panitia Persiapan Perguruan Tinggi Nusa Tenggara, yang bertugas memantapkan dan merealisasikan pendirian Fakultas Sastra di Bali. Panitia inilah yang akhirnya tahun 1958 berhasil mendirikan Fakultas Sastra, cikal bakal Universitas Udayana. Ketika menjadi Pejabat Gubernur Bali, I Gusti Putu Merta memperjuangkan kepada Presiden Soekarno dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX pendirian dua proyek pembangunan fasilitas pariwisata Bali. Pemerintah Pusat pada mulanya memberikan pilihan kepada Bali, apakah ingin proyek hotel atau pembangunan bandar udara? Beliau minta keduanya, karena hotel tidak ada artinya dibangun kalau tidak dilengkapi airport internasional, demikian juga sebaliknya. "Perjuangan beliau berhasil, buktinya pemerintah Pusat merestui pendirian Hotel Bali Beach sekaligus perluasan bandara Ngurah Rai," ujar putra sulung I Gusti Putu Merta, I Gusti Bagus Yudhara, yang kini menjadi pengusaha pariwisata. Kedua fasilitas itu merupakan tonggak penting perkembangan pariwisata Bali. Sejak akhir 1960-an, Bali yang sudah terkenal di mata pelancong mancanegara, mulai ramai dikunjungi wisatawan asing. Mantan pejabat gubernur Bali ini ternyata senang mengoleksi lukisan. Ada sekitar 40 lukisan yang ditinggalkan, semuanya karya maestro pelukis Indonesia seperti Affandi, Abdul Azis, I Gusti Nyoman Lempad, Sobrat, dan pelukis asing yang tinggal di Bali seperti Bonnet, Theo Maier, dan Hans Snell. "Lukisan Walter Spies tidak ada," tambah IGB Yudhara. Masa purnabhakti I Gusti Putu Merta diisi dengan kegiatan sosial dan berkunjung ke desa-desa, sampai http://www.baliusada.com
Powered by Joomla!
Generated: 7 February, 2017, 07:34
akhirnya beliau dipanggil yang Maha Kuasa 19 November 1992. Dr. I Gusti Made Tamba (1917-1999) - Tokoh Pendidikan I Gusti Made Tamba adalah tokoh pendidikan perintis pendidikan rakyat di Bali yang memiliki karya besar dan monumental. Beliaulah pendiri Perguruan Rakyat Saraswati, lembaga pendidikan yang memiliki sekolah dari TK sampai perguruan tinggi, yang sampai kini terus menjalankan tugas mulianya dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Beliau lahir tahun 1917 di Desa Duda, Selat Karangasem. I Gusti Made Tamba menyelesaikan pendidikan sekolah desa di Selat, lalu melanjutkan ke Vervolg School di Manggis, Karangasem, sebelum akhirnya bersekolah di Taman Siswa di Denpasar (lokasinya di belakang Bali Hotel sekarang). Ketika hendak melanjutkan ke Jawa, keluarganya khawatir alias tak sudi melepas beliau pergi jauh. Namun, keinginan keras melanjutkan sekolah membuat beliau akhirnya berhasil melanjutkan ke Taman Siswa di Solo dan kemudian Taman Dewasa di Madiun tahun 1934. Kecerdasan otaknya membuat Tamba didorong oleh guru-gurunya melanjutkan ke Taman Dewasa Raya di Batavia (1936), di mana beliau bertemu dengan tenaga pengajar seperti Marah Rusli (pengarang novel Siti Nurbaya) dan sesama pemuda Taman Siswa seperti Asrul Sani dan Pramudya Ananta Toer, keduanya dikenal sebagai sastrawan. Sepulang dari sekolah di Jawa, Tamba sempat mengajar dan menjadi pimpinan Taman Siswa di Tejakula. Tanggal 8 Desember 1946, bersama kawan-kawan antara lain I Gusti Putu Merta (penerima "Nadha Nugraha") memutuskan untuk mendirikan Sekolah Lanjutan Oemoem (SLO yang kini menjadi SLU), yang menjadi cikal-bakal Yayasan Perguruan Rakyat Saraswati, yang ulang tahunnya diperingati setiap 8 Desember. SLU pertama yang didirikan berlokasi di tengah kebun kelapa di Kayumas Kelod, Denpasar. NICA mencurigai gerakan Tamba sehingga dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara sebagai tahanan politik. Cita-cita dan gerakan Tamba berjuang di bidang pendidikan mendapat inspirasi dari perjuangan Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia sekaligus pendiri Taman Siswa yang dikaguminya. Cita-cita ini terus diperjuangkan meski berbagai rintangan menghadang. Setelah dibebaskan dari penjara, tahun 1949, beliau mengembangkan lembaga pendidikan yang dibangun dengan membuka SD dan TK di Taensiat. Sejak itu, sekolah untuk berbagai tingkat sampai dibangun sehingga jadilah PR Saraswati semakin besar dan berkembang. Menurut catatan Nyoman S. Pendit dalam buku "Mencari Inovasi" (biografi I Gusti Made Tamba dan sejarah perkembangan PR Saraswati), tahun 1946/47 jumlah siswa PR Saraswati hanya 150 orang, tahun 1954/1955 melonjak menjadi 1425 orang. Cabang-cabang sekolah dibangun di seluruh Bali, belakangan juga di Lombok. Veteran pejuang banyak mendukung pergerakan PR Saraswati. PR Saraswati dikembangkan sebagai lembaga pendidikan modern yang berusaha menerapkan program pendidikan siap pakai dengan porsi "lebih banyak praktik" sesuai dengan semangat Taman Siswa Ki Hajar Dewantara. Sejak 1970-an, Tamba memutuskan untuk mengajarkan bahasa asing untuk siswa mulai kelas II SD, yaitu Inggris (English Class) dan Jepang (Japanese Class), mengingat Bali saat itu sudah ditetapkan sebagai daerah pariwisata. Langkah maju Tamba yang dulu dicibir dalam pengajaran bahasa asing akhirnya ditiru secara luas, buktinya bahasa Inggris kini diajarkan sejak SD. I Gusti Made Tamba adalah sosok yang gemar seni dan olah raga. Beliau senang bermain dan tenis dan mendaki gunung. Ketika masih sehat, dia kerap mendaki gunung bersama siswa. Perhatiannya di bidang seni juga tinggi, terbukti dari pemberian ekstrakurikuler kesenian di sekolah-sekolah Saraswati mulai dari seni tradisional seperti tari dan gamelan, sampai dengan seni modern seperti bina vokalia dan musik. I Gusti Made Tamba sudah lama meninggal, tepatnya 23 Juli 1999, meski demikian Perguruan Rakyat Saraswati yang ditinggalkan sampai kini terus melaksanakan pengabdiannya mendidik tunas-tunas bangsa. Beliau kini dikenang sebagai pejuang-pendidik yang besar yang pernah dilahirkan Bali. I Gusti Ketut Kaler (1923-1995) - Intelektual, Budayawan Lahir Buda Wage Langkir 1 Agustus 1923 di Desa Blahkiuh, Badung, I Gusti Ketut Kaler tumbuh menjadi budayawan atau intelektual Bali yang "keras" -- keras dalam mempertahankan gagasan. Masa kecil dan pendidikan dasarnya diselesaikan di desanya tahun 1936. Sesudah mengikuti kursus jadi guru, beliau menjadi tenaga pendidik di beberapa desa, seperti Sanur, Kesiman, Blakiuh, Mengwitani antara tahun 1941-1943. Pada zaman revolusi, beliau bergabung Pemuda Republik Indonesia (PRI) Cabang Kesiman, dibentuk 30 September 1945. Organisasi ini bersifat nasionalis dan dengan tegas mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Aktivitasnya dalam revolusi membuat dia ditangkap NICA dan terpaksa meringkuk di penjara selama setahun, 1947-1948. Sesudah kedaulatan Indonesia diterima lagi, di samping bekerja sebagai guru, beliau juga aktif di dunia politik, yakni menjadi ketua PNI ranting Blakiuh. Aktivitas di dunia partai ini membuka jalan untuk I Gusti Ketut Kaler menjadi anggota DPRD Bali (1951-1960). Pada periode inilah, beliau ikut gigih bersama tokoh Bali lainnya seperti I Gusti Bagus Sugriwa melakukan lobi-lobi politik untuk memperjuangkan agar Hindu diterima sebagai agama resmi negara, seperti halnya agama lain. Berkat pengetahuan dan otoritas beliau di bidang adat dan agama Hindu, antara 1961-1967, beliau terpilih menjadi anggota Majelis Permusrawarat Rakyat Semetara (MPRS). Pekerjaan terakhir sebagai Kepala Bagian Urusan Hindu Bali Kakanwil Departemen Agama Propinsi Bali. Beliau dikenal sebagai salah satu tokoh terkemuka yang menggali dan memperkenalkan kepada masyarakat konsep Tri Hita Karana, filsafah keharmonisan hidup berdasarkan ajaran Hindu yang kini menjadi salah satu kata kunci dalam wacana dan pelaksanaan pembangunan Bali. Ketika bekerja di departemen agama, beliau rajin menulis, dengan massa produktif dalam rentang waktu 1970-an sampai akhir 1980-an. Aktivitas menulis sudah beliau awali tahun 1950-an di majalah Damai, dengan nama samaran Arya Utara Wungsu (utara artinya kaler) dan Arya Wuruju Lor (lor = kaler). Popularitas beliau sebagai penulis mencuat lewat rubrik tetap "Butir-butir Tercecer tentang Adat Bali" yang muncul setiap minggu di harian Bali Post. Tulisan-tulisan dalam rubrik ini diterbitkan menjadi dua jilid buku tahun 1982. Buku ini memperbanyak jumlah buku yang telah beliau karang sebelumnya, yaitu Tuntutan Muspa (1971) dan Cudamani Pawiwahan/Perkawinan dalam Masyarakat Hindu Bali (1976). Tahun 1993, beliau menerbitkan buku "Ngaben, Mengapa Mayat Dibakar", buku yang membahas tradisi ngaben mulai dari filsafatnya, proses awal sampai akhir secara lengkap. Buku-buku karya beliau sudah dicetak ulang dan masih menjadi salah satu pustaka penting yang banyak dibaca masyarakat. Dalam sejarah kebudayaan Bali, beliau juga dikenang karena idenya mencetuskan pentingnya pendirian Museum Subak di Tabanan. Ide yang dicetuskan tahun 1975 itu direalisasikan oleh Gubernur Bali Ida Bagus Mantra. I Gusti Ketut Kaler juga pernah menjadi anggota tim penasihat pembuatan film di Bali, http://www.baliusada.com
Powered by Joomla!
Generated: 7 February, 2017, 07:34
seperti film "Panji Tengkorak", "Kabut Kitamani" dan "Kutukan Dewata". Intelektual dan budayawan Bali yang brilian ini dipanggil Yang Maha Kuasa 28 Desember 1995. "Ajik lama menderita penyakit paru-paru," ujar I Gusti Agung Sudaratmaja, salah seorang putranya. Ciri khas I Gusti Ketut Kaler adalah meski dalam keadaan sakit, kalau terlibat dalam diskusi mengenai adat, budaya dan agama Hindu, beliau selalu semangat. Tjokorda Bagus Sayoga (1923-1998) - Politikus Beliau lahir Rabu Pahing Kuningan 26 September 1923 di Puri Satria, Denpasar. Ayahnya, Tjokorda Alit Ngurah, adalah satu-satunya keturunan Raja Badung yang selamat dari perang Puputan Badung, 1906. Dengan demikian, leluhur Tjokorda Bagus Sayoga adalah keturunan Raja Badung. Sebagai orang puri, beliau memiliki perhatian di bidang kesenian dan terjun dalam kancah perjuangan, namun sesudah kemerdekaan, waktunya banyak digunakan untuk terjun di dunia politik. Dunia politik membuat beliau dekat dengan rakyat. Beliau masuk HIS (Holland Inlandsche School) di Denpasar, dan tahun 1940 melanjutkan ke MULO (Mer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Solo. Di antara sesama pelajar Bali di rantau inilah, beliau aktif di bidang seni dan tabuh, dan olah raga seperti renang dan pencak silat. Beliau terpaksa pulang ke Bali, meninggalkan pendidikan, tahun 1942 menyusul kekacauan sosial politik akibat penjajahan Jepang.
http://www.baliusada.com
Powered by Joomla!
Generated: 7 February, 2017, 07:34