INKONTINENSIA URINE DAN KUALITAS HIDUP LANSIA DI BANDA ACEH URINARY INCONTINENCE AND LIFE QUALITY OF ELDERLY IN BANDA ACEH Erni Meutia Rani¹; Teuku Tahlil² ¹Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ²Bagian Keilmuan Keperawatan Komunitas, Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh email:
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Inkontinensia urine merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada lansia dan dapat mempengaruhi kualitas hidup. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi adanya hubungan antara inkontinensia urine dengan kualitas hidup lansia di Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan desain korelatif. Populasi dalam penelitian ini adalah 65 orang lansia di sebuah panti jompo di Banda Aceh dan teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 30 (46,2%) responden mengalami inkontinensia urine dan 35 (53,8%) responden tidak mengalami inkontinensia urine. Sedangkan untuk variabel kualitas hidup, sebanyak 33 (50,8 %) responden memiliki kualitas hidup yang baik dan 32 (49,2%). responden memiliki kualitas hidup yang kurang baik. Hasil uji Chi Square menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara inkontinensia urine dengan kualitas hidup (p-value= 0,000). Perawat komunitas diharapkan dapat memberikan penyuluhan dan perawatan kepada lansia tentang inkontinensia urine dan kualitas hidup agar kualitas hidup lansia menjadi lebih baik. Kata kunci
: Inkontinensia urine, kualitas hidup, lansia
ABSTRACT Urinary incontinence is a health problem that is quite common in the elderly and can affect the quality of life. The objective of this study was to identify the relationship between urinary incontinence and quality of life of the elderly in Banda Aceh. This research used correlative study design. The population in this study comprised 65 people, and sampling technique used was the total sampling method. Data were collected using a questionnaire. Results of the research showed that 30 (46.2%) respondents experienced urine incontinence, and 35 (53.8%) respondents did not experience urinary incontinence. Whereas, for life quality variable, 33 (50.8%) respondents had a good quality of life and 32 (49.2%) respondents had a poor quality of life. The results of the Chi-Square test showed that there was a significant relationship between urine incontinence and life qualitative (p-value=0. 000). Community nurses are expected to provide education and care to the elderly about urinary incontinence and life quality to improve their life quality. Keywords
: Urine incontinence, life quality, elderly
1
PENDAHULUAN Inkontinensia urine merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada orang berusia lanjut, khususnya perempuan. Inkontinensia urine seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang memalukan atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urine, dan menganggap bahwa kondisi tersebut merupakan sesuatu yang wajar pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati (Setiati & Pramantara, 2006). Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya urine. Diperkirakan bahwa 25-35% dari seluruh orang dewasa akhir akan mengalami inkontinensia urine selama hidup mereka (Onat, 2014). Prevalensi inkontinensia urine di Kanada sama dengan Amerika Serikat, yaitu sebesar 10% dari populasi. Di perkirakan sekitar 3,5 juta orang di Kanada mengalami inkontinensia urine (The Canadian Continence Foundation, 2014). Di Skotlandia, diperkirakan antara 210.000 dan 335.000 orang dewasa memiliki masalah yang signifikan dengan inkontinensia urine (Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2004). Prevalensi inkontinensia urine di Turki adalah sebesar 16,4-49,7% (Onat, 2014).Survei yang dilakukan di berbagai negara Asia didapat bahwa prevalensi pada beberapa negara Asia adalah rata-rata 21,6% (14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria). Dibandingkan pada usia produksi, pada usia lanjut prevalensi inkontinensia lebih tinggi. Prevalensi inkontinensia urine pada manula wanita sebesar 38% dan pria 19%. Inkontinensia urine mengenai individu dengan segala usia meskipun paling sering dijumpai di antara para lansia, kondisi tersebut bukan konsekuensi normal dari penuaan dan sering kali dapat diobati (Kozier, 2010). Di Indonesia data tentang lansia dengan masalah inkontinensia urine belum ada, sehingga prevalensi pasti tentang hal
tersebut tidak diketahui. Survei inkontinensia urine yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada 208 usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA) di Jakarta (2002) didapatkan angka kejadian inkontinensia urine tipe stress 32,2% (Setiati & Pramantara, 2006, p.1392). Sedangkan hasil survei yang dilakukan sebelumnya di Poliklinik Geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo terhadap 179 pasien geriatri didapatkan angka kejadian inkontinensia urine stress sebanyak 20,5% pada laki-laki dan 32,5% pada perempuan. Penelitian di Poli Geriatri RS Dr. Sardjito mendapatkan angka prevalensi inkontinensia urine 14,74% (Setiati & Pramantara, 2006). Inkontinensia urine dapat menimbulkan berbagai permasalahan, seperti: masalah medik, sosial dan ekonomi (Purnomo, 2012). Dampak fisik inkontinensia urine berupa resiko jatuh, fraktur, infeksi kulit atau iritasi, infeksi saluran kemih, dan pembatasan terhadap status fungsional. Dampak psikososial inkontinensia urine meliputi penurunan kualitas hidup, merasa malu, ansietas, depresi, isolasi sosial, dan hilangnya kepercayaan diri (Miller, 2009). Masalah ekonomi timbul akibat pemakaian popok atau perlengkapan lain yang memerlukan biaya yang besar (Purnomo, 2012). Di Amerika Serikat, biaya perawatan inkontinensia urine untuk dewasa diperkirakan mencapai $19,5 milyar (Gorina, Schappert & Bercovitz, 2014). Sedangkan di Kanada, total biaya yang diperlukan untuk inkontinensia urine lebih dari $1 milyar per tahunnya (The Canadian Continence Foundation, 2014). METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain/rancangan korelatif (correlational study). Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah 65 orang lansia di sebuah panti jompo di Banda Aceh Pengambilan sampel dilakukan dengan 2
teknik total sampling. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan mulai Juli sampai dengan Agustus 2016, menggunakan kuesioner inkontinensia urine dan kuesioner baku kualitas hidup WHOQOL. Pengisian kuesioner didampingi oleh peneliti, kecuali untuk responden yang tidak bisa membaca atau mengisi kuesioner. Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu editing, coding, transferring dan tabulating. Analisa data dilakukan dengan program SPSS, mencakup analisa univariat dan analisa bivariat. Persetujuan etik didapatkan dari komisi penilai etik Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala dengan kode penelitian 1605201289. HASIL Karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Data Demografi Lansia (n=65) Data Frekuensi Persentase Demografi Umur (WHO) a. 60-74 tahun 48 73,8 b. 75-90 tahun 16 24,6 c. > 90 tahun 1 1,5 Jenis Kelamin a. Perempuan 46 70,8 b. Laki-Laki 19 29,2 Agama a. Islam 65 100,0 Pendidikan Terakhir a. Tidak Sekolah 18 27,7 b. SD 29 44,6 c. SMP 11 16,9 d. SMA 6 9,2 e. S1 1 1,5 Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa kebanyakan responden adalah berusia antara 60-74 tahun (73,8%), dan perempuan (70,8%), semua responden adalah Islam (100%), dan sebagian berpendidikan SD (44,6%). Inkontinensia Urine pada Lansia Inkontinensia urine lansia dilihat pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Frekuensi Inkontinensia Urine pada Lansia (n=65) Inkontinensia Frekuensi Persentase Urine Inkontinensia 30 46,2 Tidak 35 53,8 inkontinensia Tabel 2 menunjukkan bahwa lebih dari setengah (53,8%) responden tidak mengalami inkontinensia. Kualitas Hidup Lansia Kualitas hidup lansia dapat dilihat pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Gambaran Kualitas Hidup Lansia Ditinjau dari Domain Kesehatan Fisik, Domain Psikologis, Domain Hubungan Sosial dan Domain Lingkungan (n=65) Kualitas Frekuensi Persentase Hidup Domain kesehatan fisik a. Baik 34 52,3 b. Kurang 31 47,7 baik Domain psikologis a. Baik 35 53,8 b. Kurang 30 46,2 baik Domain hubungan sosial a. Baik 32 49,2 b. Kurang 33 50,8 baik Domain lingkungan a. Baik 35 53,8 b. Kurang 30 46,2 baik Tabel 3 menunjukkan bahwa kebanyakan responden mempunyai kualitas hidup dalam kategori baik jika ditinjau dari domain kesehatan fisik (52,3%), psikologis (53,8%), lingkungan (53,8%), dan kurang baik jika dilihat dari domain hubungan sosial (50,8%).
dapat
3
Hubungan Inkontinensia Urine dengan Kualitas Hidup Lansia Hubungan inkontinensia urine dengan kualitas hidup lansia dapat dilihat pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Hubungan Inkontinensia Urine dengan Kualitas Hidup Lansia (n=65) Kualitas Hidup pInkontin Baik Kurang value ensia baik Urine f % f % Inkontinen 2 6,7 28 93,3 sia 0,000 Tidak inkontinen 31 88,6 4 11,4 sia Total 33 50,8 32 49,2 Hubungan Inkontinensia Urine dengan Kualitas Hidup Lansia Ditinjau dari Domain Kesehatan Fisik Hubungan inkontinensia urine dengan kualitas hidup lansia ditinjau dari domain kesehatan fisik dapat dilihat pada Tabel 5 berikut: Tabel 5. Hubungan Inkontinensia Urine dengan Kualitas Hidup Lansia Ditinjau dari Domain Kesehatan Fisik (n=65) Kualitas Hidup pInkontin Baik Kurang value ensia baik Urine f % f % Inkontinen 2 6,7 28 93,3 sia 0,000 Tidak inkontinen 32 91,4 3 8,6 sia Total 34 52,3 31 47,7 Hubungan Inkontinensia Urine dengan Kualitas Hidup Lansia Ditinjau dari Domain Psikologis Hubungan inkontinensia urine dengan kualitas hidup lansia ditinjau dari domain psikologis dapat dilihat pada Tabel 6 berikut: Tabel 6. Hubungan Inkontinensia Urine dengan Kualitas Hidup Lansia Ditinjau dari Domain Psikologis (n=65)
Inkontin ensia Urine Inkontinen sia Tidak inkontinen sia Total
Kualitas Hidup Baik Kurang baik f % f % 2
6,7
28
93,3
33
94,3
2
5,7
35
53,8
30
46,2
pvalue
0,000
Hubungan Inkontinensia Urine dengan Kualitas Hidup Lansia Ditinjau dari Domain Hubungan Sosial Hubungan inkontinensia urine dengan kualitas hidup lansia ditinjau dari domain hubungan sosial dapat dilihat pada Tabel 7 berikut: Tabel 7. Hubungan Inkontinensia Urine dengan Kualitas Hidup Lansia Ditinjau dari Domain Hubungan Sosial (n=65) Kualitas Hidup pInkontin Baik Kurang value ensia baik Urine f % f % Inkontinen 1 3,3 29 96,7 sia 0,000 Tidak inkontinen 31 88,6 4 11,4 sia Total 32 49,2 33 50,8 Hubungan Inkontinensia Urine dengan Kualitas Hidup Lansia Ditinjau dari Domain Lingkungan Hubungan inkontinensia urine dengan kualitas hidup lansia ditinjau dari domain lingkungan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut: Tabel 8. Hubungan Inkontinensia Urine dengan Kualitas Hidup Lansia Ditinjau dari Domain Lingkungan (n=65) Kualitas Hidup pInkontin Baik Kurang value ensia baik Urine f % f % Inkontinen 2 6,7 28 93,3 sia 0,000 Tidak inkontinen 33 94,3 2 5,7 sia 4
Total
35
53,8
30
46,2
PEMBAHASAN Hubungan Inkontinensia Urine dengan Kualitas Hidup Lansia Charalambous & Trantafylidis (2009) menyebutkan bahwa inkontinensia urine sering dikaitkan dengan penurunan kualitas hidup. Walaupun tidak mengancam nyawa, inkontinensia urine dapat mempengaruhi kondisi fisik, psikologis, dan sosial pasien. Dampak fisik inkontinensia urine meliputi infeksi bakteri dan jamur, selulitis, infeksi kulit, ulkus dekubitus, resiko jatuh, fraktur, dan disfungsi seksual. Dampak psikologis inkontinensia urine meliputi stress, depresi, kehilangan kepercayaan diri dan rasa malu. Sedangkan menghindari aktivitas sosial, mengurangi kegiatan pribadi, kehilangan kemandirian dan pengeluaran biaya yang besar merupakan dampak sosial dari inkontinensia urine. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa ada hubungan inkontinensia urine dengan kualitas hidup lansia (p-value= 0,000). Hal tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Ghafouri, et al (2014) tentang Urinary Incontinence in Qatar: A Study of The Prevalence, Risk Factors and Impact on Quality of Life pada 1606 responden, didapatkan bahwa inkontinensia urine dapat mempengaruhi kualitas hidup (p-value= 0,005). Menurut Sari (2013), kualitas hidup jika dilihat dari dimensi kesehatan merupakan evaluasi dari kepuasan dan kebahagiaan terhadap aspek-aspek kesehatan fisik seperti rasa sakit dan ketidaknyamanan akibat penyakit, kebugaran dan tenaga, kualitas tidur, serta ketergantungan obat. Hal tersebut berarti semakin puas seseorang terhadap aspek kesehatan fisik tersebut, semakin baik pula kualitas hidupnya. Prevalensi inkontinensia urine meningkat seiring meningkatnya usia. Lansia sering kali memiliki kondisi medik yang dapat mengganggu proses berkemih yang secara
langsung mempengaruhi fungsi saluran berkemih, perubahan status volume dan eksresi urine, atau gangguan kemampuan untuk ke jamban. Pada orang usia lanjut di panti, inkontinensia urine dikaitkan dengan terdapatnya gangguan mobilitas, demensia, depresi, stroke, diabetes, dan Parkinson (Setiati & Pramantara, 2006). Menurut peneliti, kesejahteraan fisik berhubungan dengan kesehatan fisik. Kondisi kesehatan fisik secara keseluruhan mengalami kemunduran sejak seseorang memasuki fase lansia dalam kehidupannya. Inkontinensia urine merupakan salah satu kemunduran fungsi anatomi dan fisiologi pada lansia yang akan menghambat pencapaian kesejahteraan fisik karena dapat menimbulkan resiko jatuh, kerusakan kulit, dan lain-lain. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia. Hasil analisa data penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara inkontinensia urine dengan kualitas hidup jika ditinjau dari domain kesehatan fisik (p-value= 0,000). Inkontinensia urine yang berkepanjangan dengan dampak yang dibawanya menyebabkan kualitas hidup dan harga diri lansia menurun. Kondisi kualitas hidup dan harga diri yang rendah menyebabkan timbulnya kekhawatiran lansia terhadap kondisi kehidupannya dan pada akhirnya dapat membawa lansia pada kondisi depresi (Jackson, 2005). Menurut peneliti, faktor psikologis menjadi faktor penting bagi individu untuk melakukan kontrol terhadap semua kejadian yang dialaminya dalam hidup. Penurunan kemampuan psikologis dapat disebabkan karena penurunan fungsi fisiologis, misalnya fungsi perkemihan menurun menyebabkan lansia merasa malu, rendah diri, stress dan depresi. Hal tersebut dapat mempengaruhi tingkatan untuk memperoleh kepuasan dalam hidup dan menjadi salah satu faktor yang ikut berperan dalam menentukan kualitas hidup lansia. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Chesor (2015) tentang Hubungan Antara Inkontinensia Urine dengan Depresi pada 5
Lanjut Usia di Panti Wreda Dharma Bakti Pajang Surakarta pada 43 responden dengan teknik simple random sampling menunjukkan terdapat hubungan antara inkontinensia urine dengan depresi dengan hasil uji statistik Chi Square didapatkan p-value 0,002. Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Ekowati (2010) tentang Hubungan Inkontinensia Urine dengan Tingkat Depresi pada Usia Lanjut di Posyandu Lansia “Flamboyan” Desa Onggobayan Ngestiharjo Kasihan Bantul pada 50 responden yang diambil dengan menggunakan teknik total sampling terdapat hubungan antara inkontinensia urine dengan tingkat depresi dengan hasil uji statistik Chi Square didapatkan p-value 0,002. Berdasarkan Tabel 6, diketahui bahwa dari hasil uji statistik dengan ChiSquare pada ɑ= 0,05 didapatkan p-value 0,000, yang berarti ada hubungan inkontinensia urine dengan kualitas hidup lansia ditinjau dari domain kesehatan psikologis. Sholichah (2009) menyebutkan dukungan sosial merupakan sumber koping yang dapat mempengaruhi situasi yang stressfull dan juga menyebutkan orang yang stress juga mampu mengubah situasi, arti situasi atau reaksi emosinya terhadap situasi yang ada. Menurut Smeltzer (2001), dukungan dapat diperoleh dengan cara berbicara dengan orang lain yang mengalami kondisi serupa, dengan demikian dapat mendorong pasien untuk dapat mengekspresikan perasaan, berbagi masalah praktis, dan meningkatkan koping efektif yang akhirnya akan berdampak pula pada kualitas hidup pasien sendiri. Selain itu, dukungan sosial ini mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran, usulan, informasi atau umpan balik (Friedman, 2010). Menurut peneliti, inkontinensia urine menyebabkan lansia kurang melakukan kontak sosial dan partisipasi sosial dengan lingkungannya karena merasa malu akibat inkontinensia yang dideritanya.
Ketidakaktifan lansia dalam aktivitas sosial akan berpengaruh pada penurunan kualitas hidupnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat membantu individu untuk beradaptasi dengan segala situasi dan peristiwa yang tidak diinginkan, baik yang berkaitan dengan segala situasi dan peristiwa yang tidak diinginkan, baik yang berkaitan dengan kondisi fisik maupun psikologis. Berkaitan dengan kesehatan, dukungan sosial yang efektif dapat menurunkan kecemasan pada penderita penyakit kronis. Pasien yang memperoleh dukungan sosial tinggi menunjukkan prognosa dan penyesuaian yang lebih baik (Ambarwati, 2008). Inkontinensia urine pada lansia berdampak pada timbulnya penurunan kualitas hidup lansia. Dampak psikososial inkontinensia urine meliputi penurunan kualitas hidup, merasa malu, ansietas, depresi, isolasi sosial, dan hilangnya kepercayaan diri (Miller, 2009). Berdasarkan Tabel 7, diketahui bahwa dari hasil uji statistik dengan ChiSquare pada ɑ= 0,05 didapatkan p-value 0,000, yang berarti ada hubungan inkontinensia urine dengan kualitas hidup lansia ditinjau dari domain hubungan sosial. Menurut Hutapea (2011), dibutuhkan kondisi hidup yang menunjang agar lansia dapat menjalani masa tuanya dengan baik dan memuaskan. Kondisi hidup yang menunjang juga amat dibutuhkan agar lansia tidak merasa tertekan karena ketidaksiapan memasuki masa tuanya. Kondisi hidup yang menunjang tersebut antara lain adalah sosial ekonomi, kesehatan, kemandirian dan kesehatan mental. Menurut Ismail (2013), inkontinensia urine merupakan masalah yang memberikan efek secara langsung pada pasien dan keluarga. Implikasi lain yang dapat di alami individu adalah masalah kesehatan, hubungan sosial, dan masalah pembiayaan. Diperkirakan biaya untuk mengatasi inkontinensia lebih dari 1,5 juta dolar per tahun. Lansia mungkin mengalami masalah khusus dengan inkontinensia akibat 6
keterbatasan fisik dan lingkungan tempat tinggalnya. Lansia yang mobilitasnya terbatas mempunyai peluang lebih besar untuk mengalami inkontinensia karena ketidakmampuan mereka untuk mencapai toilet pada waktunya (Potter & Perry, 2005). Lingkungan tempat tinggal menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia. Lingkungan tempat tinggal yang berbeda mengakibatkan perubahan peran lansia dalam menyesuaikan diri. Bagi lansia, perubahan peran dalam keluarga, sosial ekonomi, dan sosial masyarakat tersebut mengakibatkan kemunduran dalam beradaptasi dengan lingkungan baru dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Yuliati, Baroya & Ririanty, 2014). Menurut peneliti, tempat tinggal harus dapat menciptakan suasana yang tentram, damai, dan menyenangkan sehingga dengan demikian, lansia akan terdukung oleh lingkungan untuk mencapai kualitas hidup yang tinggi. Berdasarkan Tabel 8, diketahui bahwa dari hasil uji statistik dengan ChiSquare pada ɑ = 0,05 didapatkan p-value 0,000, yang berarti ada hubungan inkontinensia urine dengan kualitas hidup lansia ditinjau dari domain lingkungan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara inkontinensia urine dengan kualitas hidup lansia. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai kajian ilmu yang bermanfaat untuk mempelajari kejadian inkontinensia urine dan kualitas hidup lansia serta meningkatkan peran perawat khususnya perawat komunitas dan perawat gerontik dalam promosi kesehatan sebagai health educator terhadap pentingnya pengetahuan tentang inkontinensia urine dan kualitas hidup pada lansia, sehingga dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup lansia menjadi lebih baik. Peneliti
selanjutnya dapat melakukan penelitian yang lebih kompleks terkait hubungan inkontinensia urine dengan kualitas hidup lansia. REFERENSI Ambarwati, W. (2008). Hubungan antara persepsi dukungan sosial dengan tingkat kecemasan pada penderita Diabetes Melitus melalui http://isjd.pdii.go.id/admin/jurnal/10 2087073.pdf. Diakses pada tanggal 8 Agustus 2016. Charalambous, S & Trantafylidis, A. (2009). Impact of urinary incontinence on quality of life. Pelviperineologi, 28, 51-53. Chesor,
A. (2015). Hubungan antara inkontinensia urin dengan depresi pada lanjut usia di Panti Wreda Dharma Bakti Pajang Surakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Ekowati, S. (2010). Hubungan inkontinensia urine dengan tingkat depresi pada usia lanjut di Posyandu Lansia “Flamboyan” Desa Onggobayan Ngestiharjo Kasihan Bantul. Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta. Friedman, M., Bowdens, B. V & Jones, G. E. (2010). Buku ajar keperawatan keluarga: Riset, teori dan praktik (ed. 5). Jakarta: EGC. Ghafouri, A., Alnaimi, A. R., Alhothi, H. M., Alroubi, I., Alrayashi, M., Molhim, N. A, et al. (2014). Urinary incontinence in Qatar: A study of the prevalence, risk factors and impact on quality of life. Arab Journal of Urology, 12, 269-274.
7
Gorina, Y., Schappert, S & Bercovitz, A. (2014). Prevalence of incontinence among older Americans. Hyattsville, Maryland: U.S. Department of Health and Human Services Centers for Disease Control and Prevention National Center for Health Statistics. Hutapea, B. (2011). Emotional intelligence dan psychological well-being pada manusia lanjut usia anggota organisasi berbasis keagamaan di Jakarta. Diunduh dari http://journal.unair.ac.id/filerPDF/113_2.pdf. Diakses pada tanggal 7 Agustus 2016. Ismail,
D. D. S. L. (2013). Aspek keperawatan pada inkontinensia urine. Jurnal Ilmu Keperawatan, 1 (1), 3-11.
Jackson, S. R., Delia, S., Edward, J. B., Stephan, D. (2005). Urinary incontinence and diabetes in post menopause. New York: Mc Graw and Hill.
Purnomo, B. B. (2012). Dasar-dasar urologi. Jakarta: CV. Sagung Seto. Sari, N. K. (2013). Status gizi, penyakit kronis, dan konsumsi obat terhadap kualitas hidup dimensi kesehatan fisik lansia. Jurnal Penelitian Kesehatan, Jurusan Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 3 (2), 20-26. Scottish Intercollegiate Guidelines Network, management of urinary incontinence in primary care. (2004). Scotland: Royal College of Physicians. Setiati, S & Pramantara, I. D. P. (2006). Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kozier, B. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan praktik (ed. 7). Jakarta: EGC.
Sholichah, R. D. (2009). Hubungan antara dukungan sosial dengan derajat depresi pada penderita DM tipe II dengan komplikasi melalui http://eprints.uns.ac.id/10497/1/1483 31608201010561.pdf. Diakses pada tanggal 7 Agustus 2016.
Miller, C. A. (2009). Nursing for wellness in older adults (6th ed). Ohio: Wolters Kluwer.
Smeltzer, S. C. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.
Onat, S. S., Delialioglu, S. U., Guzel, O & Ucar, D. (2014). Relationship between urinary incontinence and depression in elderly patients. Journal of Clinical Gerontology & Geriatrics, 5, 86-90. Potter, A. P & Perry, A. G. (2005). Fundamental keperawatan: Konsep, proses, & praktik. Vol 1 & 2. Jakarta: EGC.
The
Canadian Continence Foundation, incontinence: The Canadian perspective. (2014). Canada: Cameron Institute.
Yuliati, A., Baroya, N., Ririanty, M. (2014). Perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di komunitas dengan di pelayanan sosial lanjut usia. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, 2(1), 87-94.
8